• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis dampak perdagangan bebas regional terhadap kinerja perdagangan jagung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis dampak perdagangan bebas regional terhadap kinerja perdagangan jagung"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN JAGUNG

APRI LAILA SAYEKTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN JAGUNG

APRI LAILA SAYEKTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Saya menyatakan dengan ini sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

ANALISIS DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN JAGUNG

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan ketua dan anggota komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2009

(4)

Economic Integration on Corn Trade (DEDI BUDIMAN HAKIM as the Chairman and RATNA WINANDI as the Member of Advisory Committee).

Corn as one of important agricultural commodities which its demand is continuously increasing not only as human’s food but also as livestock’s feed. In 2004, Indonesian import has reached 1.089 million tons. On the other hand, the corn farming system will face different environment because of domestic and international changes like implementation of trade liberalization through AFTA (Asean Free Trade Area) starting in 2003. This research objectives are: (1) to analyze factors that affect to corn trade, (2) to asses the impact of regional economic integration under AFTA agreement on production, export and import and (3) to formulate policy recommendation related to regional economic integration on corn trade. This research used time series data from 1980 to 2006. Model estimated by 2SLS (Two Stage Least Squares) method. Results show that corn area and productivity were not responsive to price variable, so that corn production increase was prioritized on technology improvement trough increase research and development of corn. Corn demand for feed industry was not responsive to the price change but in the long run period, food industry responsive to explanatory variables change. Corn demand for direct consumption was responsive to the price change, indicating that corn has been no longer for primary food of Indonesian people. Corn import from USA was responsive to price change and import tariff. Import from ASEAN was not affected by CEPT (Common Effective Preferentisl Tariff). AFTA agreement would not significantly effort corn import from other ASEAN member because of its high reliance on corn import from the USA.

(5)

APRI LAILA SAYEKTI. 2009. Analisis Dampak Perdagangan Bebas Regional terhadap Kinerja Perdagangan Jagung (DEDI BUDIMAN HAKIM, sebagai Ketua, dan RATNA WINANDI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Jagung sebagai salah satu komoditi penting terus mengalami peningkatan permintaan, tidak hanya sebagai bahan makanan manusia tetapi juga sebagai bahan baku pakan ternak sehingga impor jagung diduga akan terus meningkat. Sementara itu implementasi liberalisasi perdagangan terus berkembang dan pelaksanaannya dimulai pada tahun 2003 untuk negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia melalui kesepakatan AFTA (Asean Free Trade Area). Adapun tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perdagangan jagung, (2) mengkaji pengaruh perdagangan bebas regional yang disepakati anggota AFTA terhadap produksi, ekspor dan impor dan (3) merumuskan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan penerapan perdagangan bebas regional terhadap kinerja perdagangan jagung. Penelitian ini menggunakan datatime series tahun 1980 sampai dengan tahun 2006. Pendugaan parameter dilakukan dengan metode 2SLS (Two Stage Least Squares).

(6)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(7)

TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN JAGUNG

APRI LAILA SAYEKTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama Mahasiswa : Apri Laila Sayekti Nomor Pokok : A151050171

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Dr. Ir. Ratna Winandi, MS

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuania, petunjuk dan kemurahan-Nya, sehingga karya ilmiah dengan judul: "Analisis Dampak Perdagangan Bebas Regional Terhadap Kinerja Perdagangan Jagung", dapat diselesaikan.

Melalui penelitian ini dapat terungkap dan diketahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perdagangan jagung, bagaimana pengaruh perdagangan bebas regional yang disepakati anggota AFTA terhadap produksi, ekspor dan impor serta rumusan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan penerapan perdagangan bebas regional terhadap kinerja perdagangan jagung.

Selama penulisan karya ilmiah ini penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. dan Dr. Ir. Ratna Winandi, MS. selaku komisi pembimbing yang yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, masukan, dukungan dan nasehat kepada penulis hingga tesis ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS. selaku penguji luar komisis yang telah memberikan saran dan masukan. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr.Ir.Bonar M. Sinaga, MA. selaku Ketua Jurusan Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta seluruh staff dan dosen yang telah memberikan bimbingan dan ilmu selama perkuliahan.

(11)

Dewi Hariyani, Desi dan Sayekti Handayani beserta teman-teman di Kawah Kelud, Farikha Agustina, Ika Pranata, Dan Pratisari, Yulia, Tyas.

4. Pihak-pihak lain yang telah banyak membantu penulis selama penelitian dan penulisan tesis ini.

Rasa terima kasih yang tak terkira penulis sampaikan kepada kedua orangtua penulis, Ayahanda Mohammad Yahman dan Ibunda Siti Mujayanah, saudaraku Yanwar Irfani dan Rahayu Dwinastiti atas dukungan spiritual dan material serta doa yang tak henti-hentinya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada suami tercinta, Abdul Muis Hasibuan yang telah memberikan bantuan moril dan spirituil beserta Bou dan Amangboru atas semua motivasi, doa dan pengorbanan yang diberikan.

Akhirnya penulis tetap menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, namun demikian penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Februari 2009

(12)

Penulis dilahirkan di Blitar, Propinsi Jawa Timur pada tanggal 18 April 1981, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Mohammad Yahman dan Ibu Siti Mujayanah, SPd. Penulis menikah dengan Abdul Muis Hasibuan, SP pada tahun 2008.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama, serta pendidikan sekolah menengah umum di kota kelahirannya pada tahun 1994, 1997, dan 2000. Pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (SP) pada Jurusan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. Kemudian pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Teori Ekonomi Internasional ... 15

2.2. Perdagangan Bebas ... 19

2.3. Perjanjian Perdagangan ... 21

2.4. Ekonomi Politik Proteksionisme ... 30

III. KERANGKA TEORI ... 41

3.1. Produksi dan Penawaran Jagung ... 41

3.2. Permintaan Jagung ... 42

3.3. Penawaran Ekspor dan Permintaan Impor Jagung ... 46

3.4. Dampak Kesepakatan Perjanjian Perdagangan ... 51

IV. PERUMUSAN MODEL DAN PROSEDUR ANALISIS ... 55

4.1. Data dan Sumber Data ... 55

4.2. Spesifikasi Model ... 55

4.2.1. Produksi Jagung Indonesia ... 58

4.2.2. Penawaran dan Permintaan Jagung Indonesia ... 60

4.2.3. Impor dan Ekspor Jagung Indonesia ... 64

4.2.4. Harga Jagung Domestik... 66

(14)

ii

4.6. Simulasi Model ... 71

4.6.1. Dampak Perdagangan Bebas Regional ASEAN ... 71

4.6.2. Dampak Perdagangan Bebas Unilateral... 72

4.6.3. Dampak Depresiasi Rupiah Sebesar 20 Persen... 73

4.6.4. Dampak Penurunan Harga Jagung Dunia Sebesar 10 Persen ... 74

4.6.5. Dampak Kenaikan Populasi Ternak Sebesar 10 Persen ... 75

4.6.6. Dampak Alternatif Kombinasi Kebijakan... 76

V. KERAGAAN MODEL KINERJA PERDAGANGAN JAGUNG .. 77

5.1. Hasil Pendugaan Model ... 77

5.2. Pembahasan Hasil Pendugaan Model Kinerja Perdagangan Jagung ... 78 PERUBAHAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP KINERJA PERDAGANGAN JAGUNG ... 102

6.1. Validasi Model... 102

6.2. Hasil dan Pembahasan Simulasi Model ... 104

6.2.1. Dampak Perdagangan Bebas Regional ASEAN ... 105

6.2.2. Dampak Perdagangan Unilateral... 107

6.6.3. Dampak Depresiasi Rupiah Sebesar 20 Persen... 109

6.2.4. Dampak Penurunan Harga Jagung Dunia Sebesar 10 Persen ... 111

(15)

iii

7.1. Kesimpulan ... 117

7.2. Implikasi Kebijakan ... 121

7.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 124

(16)

Nomor Halaman

1. Perkembangan Penggunaan Jagung Dalam Negeri ... 2

2. CEPTListuntuk Tahun 2003 ... 29

3. Matrik Kebijakan Pemerintah di Sektor Pertanian Tanaman Pangan ... 38

4. Perbandingan KebijakanMarket Access, Domestic Supportdan Export Subsidiesdi Berbagai Negara ... 39

5. Hasil Pendugaan Parameter Luas Areal Jagung... 79

6. Hasil Pendugaan Parameter Produktivitas Jagung... 82

7. Hasil Pendugaan Parameter Permintaan Jagung oleh Industri Pakan Ternak... 86

8. Hasil Pendugaan Parameter Permintaan Jagung untuk Konsumsi Langsung ... 88

9. Hasil Pendugaan Parameter Permintaan Jagung oleh Industri Pangan ... 90

10. Hasil Pendugaan Parameter Impor Jagung dari Amerika ... 93

11. Hasil Pendugaan Parameter Impor Jagung dari ASEAN ... 96

12. Hasil Pendugaan Parameter Ekspor Jagung... 98

13. Hasil Pendugaan Parameter Harga Jagung Domestik ... 100

14. Hasil Validasi Model Kinerja Perdagangan Jagung... 103

15. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kebijakan Perdagangan Bebas Regional ASEAN, Tahun 1993 - 2006... 105

16. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kebijakan Perdagangan Bebas Unilateral, Tahun 1993 - 2006... 108

(17)

v

19. Perubahan Nilai Rata-Rata Simulasi Kebijakan Kenaikan

(18)

Nomor Halaman

1. Pasar Negara Eksportir... 47

2. Pasar Negara Importir ... 48

3. Trade Creation Akibat Keikutsertaan Indonesia dalam AFTA ... 52

4. Trade DivertionAkibat Keikutsertaan Indonesia dalam AFTA ... 53

5. Kerangka Pemikiran Model Kinerja Perdagangan Jagung ... 57

(19)

Nomor Halaman 1. Data Dasar Kinerja Perdagangan Jagung ... 129 2. Program Pendugaan Model Kinerja Perdagangan Jagung,

Tahun 1980-2006. ... 132 3. Hasil Pengolahan Data Model Kinerja Perdagangan Jagung,

Tahun 1980-2006 ... 135 4. Program Validasi dan Simulasi Model Kinerja Perdagangan

Jagung, Tahun 1993-2006... 144 5. Dampak Perubahan Alternatif Kebijakan terhadap Kinerja

(20)

1.1. Latar Belakang

Sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia masih cukup signifikan, diantaranya melalui penyerapan tenaga kerja, sumbangan terhadap devisa dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), penyedia kebutuhan pokok serta sebagai jalur utama perekonomian pedesaan. Sumbangan sektor pertanian pada tahun 2006 terhadap PDB nasional adalah sebesar Rp 430.50 triliun atau sebesar 12.97 persen, sedangkan tanaman pangan menyumbang sebesar Rp 214 triliun atau 6.42 persen (BPS, 2008). Jagung dalam subsektor tanaman pangan adalah kontributor terbesar kedua setelah padi terhadap perekonomian nasional. Sumbangan jagung terhadap PDB terus meningkat setiap tahun sekalipun pada saat krisis ekonomi. Kontribusi jagung pada tahun 2000, terhadap perekonomian Indonesia sebesar Rp 9.40 triliun dan pada tahun 2003 meningkat tajam menjadi Rp 18.20 triliun (Suryana et al. 2005). Kondisi ini mengindikasikan besarnya peranan jagung dalam memacu pertumbuhan subsektor tanaman pangan dan perekonomian nasional pada umumnya.

(21)

akhir (final demand), yaitu untuk konsumsi langsung. Sebesar 94 persen produksi jagung pada tahun 1980 digunakan untuk memenuhi konsumsi langsung dan sisanya untuk industri pakan. Sementara itu, penggunaan jagung untuk industri makanan pada waktu itu belum ada datanya, seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Penggunaan Jagung Dalam Negeri

Konsumsi Industri Pangan Industri Pakan

Tahun

(000 ton) (%) (000 ton) (%) (000 ton) (%)

Total (000 ton)

1980 3 705 93.99 0 0.00 237 6.01 3 942

1990 3 703 86.44 499 7.56 396 6.00 6 598

2000 4 657 43.48 2 340 21.85 3 713 34.67 10 710

2001 4 567 41.76 2 415 22.08 3 955 36.16 10 937

2002 4 478 40.11 2 489 22.29 4 197 37.59 11 164

2003 4 388 38.53 2 564 22.51 4 438 38.96 11 390

2004 4 299 37.01 2 638 22.71 4 680 40.29 11 617

Rata-rata*) 4 478 40.17 2 489 22.29 4 197 37.53 11 164

r (%/th) -1.98 -3.95 3.04 0.97 5.96 3.83 2.05

Sumber: Suryanaet al. 2005

Keterangan: *) Rata-rata dan pertumbuhan untuk periode 2000-2004

(22)

Berdasarkan hasil penelitian Ariani dan Pasandaran (2005), jagung sebagai bahan makanan sekarang dianggap sebagai bahan inferior, sehingga ketika pendapatan naik maka konsumsinya akan menurun. Di sisi lain, peningkatan pendapatan per kapita menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap produk turunan jagung, seperti makanan yang menggunakan bahan baku jagung, daging, ayam, telur dan sebagainya.

Penggunaan jagung untuk industri pakan dan pangan meningkat masing-masing sebesar 5.76 persen dan 3.00 persen per tahun (Suryana et al. 2005). Penggunaan jagung untuk industri pakan ternak meningkat sangat pesat seiring dengan pesatnya perkembangan usaha peternakan ayam ras dan sapi perah. Jagung merupakan salah satu bahan pakan, dimana proporsinya dalam komposisi pakan rata-rata sebesar 54.00 persen untuk pakan pedaging, 47.14 persen untuk ayam petelur dan 49.34 persen untuk babi grower (Tangendjaja et al. 2005). Selain harganya relatif murah, jagung mengandung kadar kalori relatif tinggi dan merupakan sumber protein dengan kandungan asam amino yang lengkap (Erwidodoet al. 2003).

(23)

2005 diperkirakan sebesar 11.80 juta ton, pada tahun 2010 meningkat menjadi 13.60 juta ton dan pada tahun 2015 dan 2020 masing-masing sebesar 15.90 dan 18.90 juta ton (Suryanaet al. 2005).

Perkembangan produksi jagung di sisi lain belum dapat memenuhi permintaan yang peningkatannya sangat pesat tersebut. Menurut Suryana et al. (2005) selama periode 1990 sampai 2004, luas areal pertanaman jagung di Indonesia rata-rata sebesar 3.37 juta hektar dengan peningkatan hanya sebesar 0.49 persen per tahun. Dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya, luas pertanaman jagung pada periode yang sama hanya sekitar 0.31 kali luas pertanaman padi atau 2.49 kali luas pertanaman kedelai.

Produktivitas jagung Indonesia juga masih rendah, yaitu sebesar 3.34 ton per ha, meskipun mengalami peningkatan sebesar 3.34 persen per tahun. Rata-rata produksi jagung selama periode 1990 sampai 2004 sebesar 8.72 juta ton dan mengalami meningkat sebesar 3.71 persen per tahun. Sementara itu kebutuhan jagung mencapai 11.62 juta ton pada tahun 2004, padahal jika menggunakan benih hibrida dan pemeliharaan yang intensif, produktivitas jagung bisa mencapai 6 ton per ha (Suryana et al. 2005). Kondisi tersebut menggambarkan kurangnya penggunaan benih jagung berkualitas dan pemeliharaan yang belum intensif dalam produksi jagung di Indonesia.

(24)

Meskipun demikian, peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih terbuka luas melalui peningkatan produktivitas dan pemanfaatan potensi lahan yang masih luas, terutama di luar Jawa.

Perkembangan permintaan jagung yang terus meningkat pesat dan peningkatan produksi dalam negeri yang masih rendah menyebabkan Indonesia melakukan impor jagung. Impor jagung dalam kurun waktu 1990 sampai 2003 rata-rata sebesar 750 ribu ton per tahun dengan peningkatan sebesar 10.46 persen per tahun, bahkan pada tahun 2004 sudah mencapai 1.09 juta ton. Ketergantungan pabrik pakan dalam negeri mulai tahun 1994 terhadap jagung impor sangat tinggi, mencapai 40.30 persen. Penggunaan jagung impor dan domestik dalam industri pakan ternak pada tahun 2000 sudah hampir berimbang, masing-masing sebesar 47 dan 53 persen (Suryanaet al. 2005).

(25)

Beberapa hasil penelitian sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif untuk memproduksi jagung hibrida, tidak hanya untuk tujuan substitusi impor tetapi juga promosi ekspor. Hal ini berarti usahatani jagung hibrida mampu menghasilkan keuntungan yang layak dan mempunyai daya saing terhadap jagung impor sehingga layak untuk diusahakan dan dikembangkan oleh pemerintah (Erwidodo et al. 2003; Simatupang, 2005).

(26)

Menurut teori perdagangan internasional, perdagangan antar negara yang tanpa hambatan berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara melalui spesialisasi produksi komoditas yang diunggulkan oleh masing-masing negara tersebut. Namun pada kenyataannya, semakin terbuka suatu perekonomian tidak langsung meningkatkan kemakmuran bagi negara-negara yang terlibat. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan dapat menguntungkan atau merugikan, tergantung dilihat dari sisi mana. Negara maju maupun negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, umumnya pemerintah melakukan intervensi, baik dalam hal produksi maupun perdagangan komoditas pertanian yang pada akhirnya dapat menyebabkan pasar komoditas pertanian terdistorsi.

Harga komoditas pertanian termasuk jagung, di pasar internasional dan domestik tidak semata-mata digerakkan oleh kekuatan penawaran dan permintaan, melainkan juga dipengaruhi oleh adanya perubahan lingkungan internasional antara lain adanya liberalisasi ekonomi dan perdagangan, sehingga terkait erat dengan perubahan kebijakan masing-masing negara. Oleh karena itu kebijakan yang komprehensif dan konsisten dibutuhkan dalam sistem perdagangan jagung. Kebijakan-kebijakan perdagangan yang diambil terkait dengan keadaan perkembangan perdagangan dan perjanjian-perjanjian dengan negara lain, terutama perjanjian regional harus ditinjau akan menguntungkan kinerja perdagangan Indonesia atau tidak.

1.2. Perumusan Masalah

(27)

termasuk Indonesia melalui kesepakatan AFTA (Asean Free Trade Area) yang berkembang menjadi AFTA Plus dengan Jepang, China dan Korea Selatan. Selanjutnya pada tahun 2005 untuk negara-negara kawasan Asia Pasifik melalui kesepakatan APEC (Asia Pasifik Economic Cooperation) dan pada tahun 2020 di seluruh dunia melalui kesepakatan WTO. Konsekuensi diratifikasinya perjanjian-perjanjian tersebut adalah negara-negara yang memiliki posisi ekspor kuat akan memperoleh manfaat yang lebih besar karena mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif yang tinggi sehingga mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk tetap eksis bahkan melakukan penetrasi dan penguasaan pasar internasional (Stephenson dan Erwidodo, 1995). Sebaliknya, negara-negara yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif rendah termasuk Indonesia tidak akan mampu mengembangkan ekspornya, bahkan komoditas dari negara pesaing akan mengisi pasar domestiknya. Komoditas jagung adalah salah satu komoditas yang keunggulan komparatif dan kompetitifnya rendah. Apabila hal ini tidak diantisipasi secara dini, lemahnya keunggulan komparatif dan kompetitif jagung akan mengakibatkan permintaan jagung Indonesia oleh pasar internasional maupun pasar domestik akan terus menurun sehingga pada akhirnya akan menghambat perekonomian nasional dan mempengaruhi kesejahteraan petani jagung, pengusaha dan investor terkait.

(28)

berbagai bidang termasuk pertanian dengan terbentuknya WTO pada tahun 1994, dinamika dan pertumbuhan perjanjian perdagangan bebas bilateral dan kawasan atau regional (bilateral and regional free trade agreements) semakin pesat dan seolah-olah bertolak belakang dengan semangat multilateralisme perdagangan yang telah dicanangkan.

Perjanjian perdagangan bebas bilateral maupun regional banyak ditemukan di wilayah Asia, seperti AFTA yang diikuti oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan ASEAN Plus yang mengikutsertakan China, Jepang dan Korea Selatan. AFTA sendiri menggunakan mekanisme penurunan tarif istimewa secara efektif dan serempak (Common Effective Preferential Tariff (CEPT)), yaitu pedoman pengurangan tarif regional dan menghapus hambatan bukan tarif selama periode 15 tahun yang dimulai pada tanggal 1 Januari 1993, dimana produk-produk yang diikutsertakan dimasukkan ke dalam tiga kategori yang berbeda, yaitufast track atau jalur cepat,normal track atau jalur normal dan exclusion list atau daftar pengecualian secara sementara.

(29)

persen untuk semua produk, termasuk produk-produk yang sebelumnya masuk dalam daftar pengecualian (Hutabarat, 2005). Hal tersebut akan diikuti dengan pengembangan jumlah produk-produk yang akan dipindahkan dari exclusion list keinclusive list.

Beberapa ahli berpendapat bahwa perjanjian perdagangan bebas bilateral seperti perdagangan terbatas Indonesia dengan China pada tahun 2004, merupakan kesempatan yang baik bagi Indonesia. Program penerapan liberalisasi dini (Early Harvest Package) untuk beberapa kelompok komoditas, tarifnya telah dipotong. Namun ada beberapa ketertinggalan langkah Indonesia dalam menjalin kerjasama dibanding negara tetangga seperti Malaysia yang mendapatkan bea masuk tambahan yang lebih rendah untuk produk turunan dari minyak kelapa sawitnya. Oleh karena itu diperlukan perjuangan untuk menurunkan bea masuk yang berlaku bagi produk Indonesia termasuk hambatan bukan tarif lainnya. Di lain pihak kerjasama ekonomi yang lebih mendalam di antara negara-negara ASEAN dalam kerangka AFTA masih bersifat politis. Perdagangan antar negara-negara ASEAN masih belum berkembang secara dramatis sejak pencanangan persetujuan AFTA. Sebelum AFTA dilaksanakan, persentase perdagangan antar negara ASEAN hanya berkisar 18 persen hingga tahun 2004, persentase perdagangan antar negara-negara ASEAN hanya naik lima persen menjadi 23 persen.

(30)

dilatarbelakangi ciri makroekonomi yang berbeda telah menunjukkan adanya kesenjangan teknologi dan daur produk. Hutabarat et al. (2005) menyimpulkan bahwa ketidakmampuan negara berkembang dalam melaksanakan kewajiban perjanjian perdagangannya seringkali disebabkan oleh faktor-faktor yang berada di luar kemampuan mereka karena kurangnya kemampuan teknis dan sumberdaya manusia atau perjanjian itu sendiri. Dengan demikian, hal tersebut tidak hanya dapat diatasi dengan pemberian bantuan teknis kepada negara berkembang tetapi juga diperlukan perbaikan perjanjian yang mengarah pada pemanfaatan kerjasama perdagangan bebas yang diatur dalam perjanjian WTO.

(31)

hingga 40 persen. Berbagai kebijakan juga telah dilakukan oleh negara-negara lain untuk melindungi petaninya seperti Amerika Serikat sebagai produsen dan eksportir jagung terbesar dunia, India, Polandia dan Mexico dengan jaminan harga minimum dan China dengan kebijakan pupuk, lahan, varietas, penggunaan mekanisasi, peningkatan teknologi usahatani dan sebagainya.

(32)

ternak adalah jagung. Hal ini menjadi dilema bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan karena dalam setiap pengambilan kebijakan akan terjadi trade morf sehingga ada pihak-pihak yang dikorbankan jika ingin meningkatkan kesejahteraan suatu pihak. Pihak tersebut dalam hal ini adalah petani jagung atau peternak unggas.

Kesulitan pemenuhan kebutuhan jagung seharusnya mendorong pemerintah yang menuntut dilakukannya impor jagung. Namun, di sisi lain perlu adanya proteksi pemerintah untuk melindungi petani jagung yang keunggulan komparatif dan kompetitifnya masih rendah sehingga memerlukan tindakan preventif dan mulai memikirkan dampak perjanjian regional dengan negara-negara anggota AFTA dan AFTA Plus yang telah menyepakati diberlakukannya CEPT apakah lebih menguntungkan kinerja perdagangan jagung atau tidak. Hal ini menjadi penting mengingat dengan pemberlakuan CEPT akan menyebabkan terjadinya liberalisasi perdagangan jagung di kemudian hari, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah kondisi tersebut akan mendorong produksi dan promosi ekspor jagung Indonesia yang sebagian besar ke negara-negara ASEAN atau malah akan meningkatkan impor Indonesia dengan pengalihan impor dari negara-negara di luar ASEAN ke negara-negara ASEAN yang akan berdampak pada petani jagung.

(33)

tarif selanjutnya sehingga akan mendukung pembangunan ekonomi dan pertanian yang efisien dan berkelanjutan. Oleh karena itu studi “Analisis Dampak Perdagangan Bebas Regional terhadap Kinerja Perdagangan Jagung” penting dilakukan.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perdagangan jagung. 2. Mengkaji pengaruh perdagangan bebas regional yang disepakati anggota

AFTA terhadap produksi, ekspor dan impor jagung.

(34)

2.1. Teori Ekonomi Internasional

Pada dasarnya setiap negara di dunia saling tergantung satu sama lain sehingga setiap negara melakukan perdagangan internasional. Ada dua alasan suatu negara melakukan perdagangan internasional yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gain of trade) bagi mereka. Pertama, negara-negara melakukan perdagangan karena mereka berbeda satu dengan yang lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-individu, selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan diantara mereka melalui pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak dapat melakukan sesuatu secara relatif lebih baik. Kedua, negara-negara saling melakukan perdagangan untuk mencapai economies of scale dalam produksi. Seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumberdayanya sehingga dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar sehingga lebih efisien daripada jika negara tersebut memproduksi berbagai jenis barang sekaligus.

(35)

efisien (mengalami kerugian absolut) (Koo and Kennedy, 2005). Konsep perdagangan selanjutnya yang diperkenalkan oleh David Ricardo sekitar abad ke-18 (ke-1823) didasarkan atas keunggulan komparatif yang selanjutnya dikenal dengan Model Ricardian atau Hukum Keunggulan Komparatif (The Law of Comparative Advantage). Ricardo menyatakan bahwa meskipun sebuah negara

memiliki keunggulan absolut yang lebih rendah dari negara lain dalam memproduksi kedua komoditas, namun masih tetap terdapat dasar bagi negara tersebut untuk melakukan perdagangan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar atau memiliki kerugian komparatif (Salvatore, 1997). Sementara itu dalam Model Ricardian, kemungkinan-kemungkinan produksi ditentukan oleh alokasi satu faktor tunggal, yaitu tenaga kerja ke berbagai sektor ekonomi. Model ini menyatakan gagasan dasar yang penting mengenai keunggulan komparatif, namun tidak memungkinkan untuk membahas distribusi pendapatan (Krugman and Obstfeld, 2003).

(36)

negara sebagai determinasi perdagangan yang paling penting. Teori H-O menganggap bahwa setiap negara akan mengekspor komoditas yang relatif intensif menggunakan faktor produksi yang melimpah karena biayanya akan cenderung murah serta mengimpor komoditas yang faktor produksinya relatif langka dan mahal.

Model perdagangan standar membentuk kurva penawaran relatif dunia dari kemungkinan-kemungkinan produksi dan kurva permintaan relatif dunia atas dasar preferensi-preferensi masyarakat. Harga ekspor relatif terhadap impor atau nilai tukar perdagangan suatu negara sepenuhnya akan ditentukan oleh perpotongan antara kedua kurva tersebut. Jika faktor-faktor lain cateris paribus, kenaikan nilai tukar perdagangan suatu negara akan meningkatkan kesejahteraan penduduknya dan sebaliknya (Krugman and Obstfeld, 2003).

Apabila gagasan mengenai keuntungan perdagangan merupakan konsep teoritis yang paling penting dalam studi ekonomi internasional, maka pertentangan abadi antara perdagangan bebas dan proteksi perdagangan sepertinya merupakan tema kebijakan yang penting. Sejak munculnya bentuk negara pada abad ke-16, pemerintah sudah mengkhawatirkan dampak yang ditimbulkan oleh persaingan internasional terhadap keberhasilan industri-industri domestik sehingga berupaya menghindari kejatuhan industri-industri dari pesaing luar negeri dengan memberlakukan pembatasan impor atau membantu sektor industri domestik dalam meningkatkan daya saing di pasar internasional dengan memberikan subsidi ekspor.

(37)

mengembangkan kerangka analisis yang praktis namun memiliki kemampuan dalam menentukan dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi perdagangan. Kerangka tersebut tidak hanya memperkirakan dampak kebijakan, melainkan juga menerapkan suatu analisis biaya manfaat (cost-benefit analysis) dan menetapkan kriteria untuk menentukan apabila ada campur tangan dari pemerintah yang berdampak positif bagi perekonomian (Krugman and Obstfeld, 2003), namun yang sering dilakukan adalah analisis berdasarkan perspektif keseimbangan parsial (partial equilibrium). Analisis tersebut menggunakan kurva-kurva permintaan dan penawaran, kemudian untuk analisis yang lebih kompleks dengan menerapkan perspektif keseimbangan umum (general equilibrium) yang juga melihat batas-batas kemungkinan produksi (production

possibility frontiers) dan kurva indiferen (indifferent curve).

(38)

kebijakan-kebijakan perdagangan dan moneter internasional yang bisa diterima oleh setiap negara tanpa perlu membentuk suatu pemerintahan dunia yang berwenang mengatur semua negara mengenai apa yang harus dilakukan.

2.2. Perdagangan Bebas

Sejak masa Adam Smith, para ekonom memandang perdagangan bebas sebagai sesuatu yang ideal sehingga kebijakan perdagangan bebas harus selalu diupayakan. Integrasi pasar dunia dengan pasar domestik lama kelamaan tidak bisa dihindarkan lagi, namun sebenarnya alasan yang melatarbelakangi pandangan bahwa perdagangan bebas tidaklah sederhana seperti gagasannya sendiri. Sebenarnya, sangat sedikit negara yang melaksanakan perdagangan secara benar-benar bebas. Hongkong mungkin merupakan satu-satunya negara modern yang sama sekali tidak mengenakan tarif atau pembatasan impor (Krugman and Obstfeld, 2003). Awalnya, model-model teoritis perdagangan menegaskan bahwa perdagangan bebas akan menghindarkan terjadinya inefisiensi yang seringkali diakibatkan oleh adanya proteksi.

Kasus efisiensi bagi perdagangan bebas merupakan kebalikan dari analisis cost benefit dari tarif. Banyak ekonom meyakini bahwa perdagangan bebas

(39)

skala ekonomi (economies of scale) sehubungan dengan meluasnya pasar. Sebuah negara yang memiliki hubungan dagang yang intensif dengan negara-negara lain mempunyai kesempatan untuk memperbesar skala ekonominya. Adanya perdagangan mendorong terjadinya spesialisasi produksi sehingga meningkatkan skala produksi dan meningkatkan penggunaan input-input produksi seperti tenaga kerja sehingga memacu investasi, tabungan dan pertumbuhan pendapatan nasional. Pasar yang diproteksi tidak saja akan memecah-mecah kegiatan produksi secara internasional, melainkan juga mengurangi daya saing dan potensi meningkatkan laba serta cenderung mendorong berbagai perusahaan untuk memasuki industri yang diproteksi tersebut sehingga semuanya akan terjebak dalam pola produksi yang tidak efisien. Hasil simulasi Hutabarat et al. (2007) juga menunjukkan bahwa dampak penurunan tarif terhadap produksi, ekspor bersih, PDB dan kesejahteraan menunjukkan hasil yang positif. Oleh karena itu, jika sarana dan prasarana yang mendukung terciptanya kondisi liberalisasi perdagangan di Indonesia dapat bersifat kondusif tidak perlu ada kekuatiran terjadinya dampak negatif akibat liberalisasi perdagangan.

(40)

cara-cara baru untuk mengekspor atau bersaing dengan impor, maka pola perdagangan bebas segera terbentuk dan akan mampu menawarkan lebih banyak peluang untuk belajar dan melakukan berbagai macam inovasi, dibandingkan

dengan peluang yang diberikan oleh sistem perdagangan yang ”terkendali”, yakni

dimana pemerintah mengadakan campur tangan dengan langsung mengatur secara ketat pola-pola impor dan ekspor.

Argumen politik bagi perdagangan bebas mencerminkan kenyataan bahwa di kalangan tertentu terdapat suatu komitmen politik bagi dilangsungkannya hubungan perdagangan bebas. Bonilla dan Reca (2000) menyimpulkan beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara tingkat pembukaan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi, namun para ekonom seringkali mengingatkan bahwa kebijakan perdagangan dalam kenyataannya lebih didominasi oleh pertimbangan politik dan kepentingan khusus daripada pertimbangan-pertimbangan cost-benefit dan manfaat ekonomi nasional. Pelaksanaan kebijakan perdagangan sebagai niat baik pemerintah untuk campur tangan dalam perekonomian selalu saja terbuka terhadap kemungkinan ditunggangi oleh kelompok-kelompok yang berusaha membelokkan kebijakan pemerintah bagi redistribusi pendapatan ke sektor-sektor yang secara politik berpengaruh atau bahkan untuk melayani kepentingan-kepentingan sendiri.

2.3. Perjanjian Perdagangan

(41)

berpendapat bahwa pendekatan yang kedua tidak mungkin mendukung upaya yang pertama atau bahkan mengalihkan tujuan yang pertama.

Meskipun beberapa kemajuan telah dicapai selama dasawarsa 1930-an dalam usaha-usaha liberalisasi perdagangan melalui serangkaian perjanjian bilateral, namun sejak selesainya Perang Dunia kedua, koordinasi internasional terutama diupayakan lewat perjanjian-perjanjian multilateral di bawah naungan General Agreement on Tariff and Trade (GATT). GATT yang terdiri dari kelembagaan birokrasi serta seperangkat aturan main, merupakan lembaga pusat dari sistem perdagangan internasional pasca perang. Seri perundingan terakhir GATT juga menyetujui pembentukan sebuah organisasi baru, yaitu World Trade Organization (WTO), untuk memantau dan menegakkan kesepakatan yang ada.

Seperti diketahui upaya multilateral telah berjalan dalam waktu yang sangat panjang melalui berbagai tahapan perundingan internasional. Tujuan perundingan internasional ini adalah menurunkan tarif dan hambatan bukan tarif perdagangan komoditas internasional. Terhitung sejak tahun 1945 telah terjadi delapan kali perjanjian perdagangan multilateral. Lima perjanjian pertama serupa dengan negosiasi bilateral sejajar, dimana suatu negara bernegosiasi dengan sejumlah negara mitranya sekaligus secara berpasangan (Hutabarat, 2005). Misalnya, apabila Jerman menawarkan pemotongan tarif yang menguntungkan Perancis dan Italia, Jerman dapat meminta kedua negara tersebut melakukan hal yang sama.

(42)

putaran ini berhasil menurunkan tarif rata-rata sebesar 35 persen (Krugman and Obstfeld, 2003). Putaran Tokyo, perundingan ke tujuh, yang berlangsung dalam kerangka kerja GATT diakhiri pada April 1979, menurunkan tarif dengan suatu rumus yang lebih rumit dari rumus yang digunakan dalam Putaran Kennedy berdasarkan kelompok komoditas yang luas, bukan atas dasar pertimbangan produk per produk. Pada putaran ini pemotongan tarif yang disepakati mencapai 31 persen untuk Amerika Serikat, 27 persen untuk Uni Eropa (UE), 28 persen untuk Jepang dan 34 persen untuk Kanada (Chacoliades, 1990). Tetapi kebanyakan pemotongan ini berlangsung delapan tahun sejak Januari 1980. Selanjutnya, putaran ini berhasil membuat suatu aturan untuk mengawasi semakin berkembangnya hambatan nontarif. Akhirnya pada tahun 1994, perundingan ke delapan yang disebut Putaran Uruguay berhasil menghasilkan beberapa perjanjian di bidang pertanian meskipun masih belum sesuai harapan karena alotnya perundingan.

(43)

sebelumnya yang akhirnya untuk sementara mengesampingkan rumus-rumus yang dikembangkan sebelumnya seperti Uruguay Round Formula, Swiss Formula dan Blended Formula (Hutabarat, 2005). Sampai saat ini berbagai kelompok atau

koalisi negara telah mengajukan berbagai usulan, tetapi belum menuju suatu titik temu yang pasti sehingga sidang komisi pertanian akan tetap berjalan pada masa-masa yang akan datang sampai dicapai kesepakatan.

(44)

Penetapan tarif yang berbeda antar anggota FTA selain menyebabkan terciptanya perdagangan atau trade creation dan beralihnya perdagangan atau trade divertion seringkali menyebabkan terjadinya trade deflection atau pengalihan perdagangan. Trade deflection dapat dihindari dengan membedakan secara efektif antara barang yang berasal dari anggota lain dari kelompoknya sendiri atau dari luar kelompok. AFTA mengaturnya ke dalam Rule of Origin (ROO) dimana suatu produk dapat diperlakukan sebagai produk asal apabila tidak kurang dari 40 persen berisi dengan produk original dan jika nilai material sebagian atau yang dihasilkan tidak lebih dari 60 persen dari nilai FOB negara penghasil. Kemudian ditambah lagi dengan adanya Cumulative ROO, yaitu apabila produk akhir tidak lebih dari 40 persen.

Menurut Kenen (1989) negara yang menjalin kerjasama perdagangan umumnya mempunyai ciri: (1) yang berpendapatan tinggi dan dapat terlibat perdagangan intraindustri, (2) yang berpendapatan rendah kurang terlibat perdagangan intraindustri, dan (3) negara yang berorientasi keluar akan semakin sedikit pembatasan perdagangannya, semakin besar porsi perdagangan industrinya. Sementara itu hubungan bilateral dapat dicirikan oleh semakin dekat jarak antar negara dan semakin menyatu masyarakatnya, cenderung membuat perdagangan intraindustrinya semakin berkembang.

(45)

ekspor dari negara partner. Setelah produk baru berkembang dan mulai menguntungkan pasar domestik, perusahaan yang melakukan inovasi memperoleh keuntungan monopoli di pasar internasional akibat adanya entry lag. Keuntungan monopoli akan mendorong imitasi di negara lain, terutama jika inovasi telah memasyarakat. Teori ini secara implisit berkategori teori limpasan atau spillover yaitu dengan kecepatan memasyarakatnya teknologi menyebabkan perusahaan-perusahaan di sekitarnya akan dengan mudah meniru inovasi teknologi baru yang diterapkan oleh perusahaan lain sehingga perusahaan inovator tidak akan lama menikmatientry lag hasil inovasinya tersebut.

Elger et al. (2006) melihat permasalahan ini dengan melakukan analisis yang berimbang mengenai dampak kesepakatan perdagangan kawasan dimana kesepakatan perdagangan kawasan tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka (building block) atau penghambat (stumbling block) menuju perdagangan bebas. Kesepakatan perdagangan kawasan tersebut bisa menjadi kerangka perdagangan bebas apabila: (1) tetap melengkapi atau sejalan dengan perjanjian multilateral sebagaimana dinyatakan dalam WTO, (2) menggalakkan kerjasama antara negara-negara mitra wilayahnya serta mendorong mereka untuk menyelaraskan berbagai undang-undang yang dibutuhkan, dan (3) menjadi tempat penyelesaian isu-isu perdagangan yang rawan dengan ketersediaan integrasi yang lebih dalam yang tidak mungkin terjadi dalam perundingan WTO.

(46)

melebur menjadi suatu Free Trade Agreement, (3) kerjasama perdagangan kawasan seringkali mendorong peningkatan tarif eksternal, sehingga menghambat liberalisasi multilateral, dan (4) kerjasama perdagangan kawasan dapat menambah kekuatan kelompok lobi perlindungan dan mengalihkan sumberdaya perundingan yang terbatas dari perundingan multilateral.

Di wilayah Asia, telah semakin intensif jalinan kerjasama perdagangan dengan negara lain di kawasan yang sama maupun di luar kawasannya. Indonesia sendiri saat ini telah terlibat dalam beberapa kawasan perdagangan bebas, antara lain: (1) di lingkungan ASEAN yang disebut AFTA (Asean Free Trade Area), (2) Bilateral and Regional Free Trade Agreement ASEAN dengan China atau ASEAN-China FTA, dan (3) Indonesia-China FTA dan akan muncul perjanjian-perjanjian bebas kawasan yang lain seperti Korea FTA, Indonesia-Jepang FTA, Indonesia-India FTA, Indonesia-Pakistan FTA, Indonesia-Australia-Selandia Baru FTA dan mungkin juga Indonesia-USA FTA atau Indonesia-Uni Eropa FTA. Khusus Indonesia-China FTA telah diratifikasi perjanjian kerjasama ekonomi dengan Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 2004 dengan menerapkan tarif bea masuk dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China menjadi 0 persen tahun 2006 untuk produk-produk tertentu.

(47)

Effective Preferential Tariff (CEPT). Klasifikasi produk dalam skema CEPT dibagi ke dalam empat daftar, yaitu: (1) Inclusion List (IL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang memenuhi kriteria dapat mengikuti jadwal penurunan tarif, tidak ada pembatasan kuantitatif dan hambatan non-tarifnya harus dihapuskan dalam waktu lima tahun, (2) General Exception List (GEL), yaitu daftar produk yang dikecualikan dari skema CEPT oleh suatu negara karena dianggap penting untuk alasan perlindungan keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan manusia, binatang atau tumbuhan serta nilai barang-barang seni, bersejarah atau arkeologis, ketentuan mengenai GEL dalam perjanjian CEPT konsisten dengan artikel X dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT), contohnya adalah senjata amunisi, narkotika dan sebagainya, (3) Temporary Exclusions List (TEL), yaitu daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT, tetapi produk-produk dalam TEL tidak dapat menikmati konsensi tarif CEPT dari negara anggota lainnya, karena TEL tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk-produk yang tercakup dalam GEL, dan (4) Sensitive List (SL), yaitu daftar yang berisi produk-produk pertanian bukan olahan (Unprocessed Agricultural Product/UAP). Sebagian produk pertanian dikecualikan dalam penurunan tarif sehingga waktu liberalisasi perdagangan menjadi lebih lama yaitu 2010. Adapun rincian besarnya jumlah pos tarif masing-masing negara anggota ASEAN tertera dalam Tabel 2.

(48)

dengan fasilitas perdagangan tersebut dalam penyediaan input-input industri dan dengan pembentukan integrasi vertikal kerjasama multilateral tersebut tidak bisa dipandang sama pengaruhnya terhadap perdagangan dengan negara-negara di luar ASEAN. Total impor ASEAN pada tahun 2003 menurun, sementara itu ekspornya meningkat. Penurunan impor ASEAN tersebut lebih banyak karena penurunan impor dari negara-negara lain di luar ASEAN, sementara peningkatan ekspor juga memperlihatkan sebagian besar terjadi penurunan ekspor ke negara-negara di luar ASEAN. Secara parsial, hal ini menunjukkan bahwa kerjasama tersebut menciptakan adanya trade creation, seperti yang telah ditemukan oleh studi-studi terdahulu.

Tabel 2. CEPTList untuk Tahun 2003

Negara Inclusion

Anggota Baru 16 126 5 603 395 207 22 331

Persentase 72.21 33.02 1.77 0.93 100

Total ASEAN 60 516 5 821 687 207 67 231

Persentase 90.01 8.66 1.02 0.31 100

(49)

2.4. Ekonomi Politik Proteksionisme

Tarif merupakan kebijakan perdagangan yang paling umum, yaitu sejenis pajak yang dikenakan atas barang-barang yang diimpor maupun diekspor. Dalam kasus impor, tarif spesifik (spesific tariffs) dikenakan sebagai pajak atau beban tetap tiap unit barang yang diimpor. Sedangkan tarif ad valorem (ad valorem tariff) adalah pajak yang dikenakan berdasarkan persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor. Tujuan utama pengenaan tarif biasanya tidak semata-mata untuk memperoleh pendapatan pemerintah sebagai bentuk fiscal policy, melainkan juga sebagai bentuk perlindungan sektor-sektor tertentu di dalam negeri.

Sebagian besar perangkat tarif, quota impor dan kebijakan perdagangan lainnya pada dasarnya dipilih dan diterapkan untuk melindungi kepentingan produsen atau konsumen meskipun hal ini ternyata seringkali untuk melindungi arus pendapatan dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu dalam negara yang bersangkutan. Sekalipun para ekonom seringkali mengatakan bahwa setiap bentuk penyimpangan dari kaidah-kaidah perdagangan bebas akan menurunkan kesejahteraan nasional, dalam kenyataannya memang terdapat sejumlah landasan teoritis untuk meyakini bahwa aktivitas kebijakan perdagangan terkadang dapat meningkatkan kesejahteraan suatu negara secara keseluruhan.

(50)

impor yang menggunakan tenaga kerja murah. Argumen ini masih lemah karena yang mempengaruhi biaya produksi bukan hanya upah tenaga kerja yang rendah tetapi juga produktivitas tenaga kerjanya. Bahkan jika produktivitasnya lebih rendah, perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat terselenggara atas dasar keunggulan komparatif. Artinya, negara yang mempunyai tenaga kerja murah dapat melakukan spesialisasi produksi dan ekspor atas komoditas yang padat karya dan sebaliknya negara lain dapat melakukan spesialisasi dengan mengandalkan faktor produksi lainnya.

Argumen lain yang patut dipertanyakan validasinya adalah argumen ketenagakerjaan yang mengatakan proteksi diperlukan untuk mengurangi pengangguran dalam negeri dan argumen neraca pembayaran dimana proteksi diperlukan untuk mengurangi defisit neraca pembayaran (Salvatore, 1997). Kedua argumen ini menyatakan bahwa jika impor dibatasi maka devisa dapat dihemat sehingga defisit neraca pembayaran dapat diatasi dan akan tercipta sejumlah lapangan kerja baru yang akan mengurangi pengangguran. Tindakan ini ternyata dapat memacu negara lain melakukan tindakan yang sama karena setiap negara memiliki kecenderungan untuk mengambil keuntungan atas pengorbanan negara lain (beggar-thy-neighbor) (Salvatore, 1997).

(51)

kebijakan-kebijakan lain demi meningkatkan nilai tukar perdagangannya. Di lain pihak, negara-negara besar dapat mempengaruhi nilai tukar mereka, tetapi dengan mengenakan tarif, mereka akan menghadapi tekanan yang lebih besar sehubungan dengan adanya perjanjian-perjanjian perdagangan yang tidak mengijinkan hal itu.

Argumen yang memang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi yang cukup jelas dan logis adalah argumen industri bayi (infant industry). Pada dasarnya argumen ini menyatakan bahwa proteksi diperlukan untuk melindungi industri yang baru tumbuh karena jika tidak diberikan proteksi akan tertindas oleh tekanan kompetisi produk-produk impor yang industrinya sudah jauh lebih mapan. Argumen industri bayi menyatakan bahwa setiap negara memiliki potensi keunggulan komparatif dalam komoditi tertentu, namun karena keterbatasan teknologi dan tingkat output pertamanya, maka akan sulit bersaing jika masih baru berkembang sehingga perlu mendapat proteksi perdagangan secara temporer sampai cukup mapan.

(52)

Alasan lain bagi ditinggalkannya perdagangan bebas mengacu pada kegagalan pasar domestik (domestic market failure), dimana suatu pasar dalam suatu negara tidak mampu melakukan fungsi-fungsinya sebagaimana mestinya seperti adanya ketidaksempurnaan pasar modal dan tenaga kerja yang menghalangi pengalihan sumberdaya secepat mungkin ke sektor-sektor yang memberikan imbalan relatif lebih tinggi dan adanya kemungkinan-kemungkinan kelebihan-kelebihan teknologi dari sejumlah sektor industri baru, khususnya yang bersifat inovatif. Sebagai contoh umpamakan bahwa produksi suatu barang bisa menghasilkan keuntungan atau manfaat khusus berupa terobosan baru yang akan menyempurnakan teknologi produksi di suatu perekonomian secara keseluruhan, akan tetapi perusahaan inovator tersebut ternyata tidak dapat memanfaatkan keuntungan tersebut secara penuh sehingga tidak memperhitungkannya dalam pengambilan keputusan produksi. Hal ini berarti terdapat keuntungan sosial marginal (marginal social benefit) bagi diadakannya produksi tambahan yang tidak tercakup dalam pengukuran surplus produsen. Keuntungan sosial marginal ini dapat dijadikan sebagai pembenaran bagi pemberlakuan tarif atau kebijakan perdagangan lainnya dengan adanya eksternalities tersebut, yaitu keuntungan yang jatuh ke pihak-pihak luar (Krugman and Obstfeld, 2003).

Kemunculan argumen domestic market failure yang menentang dilangsungkannya perdagangan bebas ini sesungguhnya merupakan sebuah kasus khusus dari perkembangan konsep yang lebih umum yang dikenal denganTheory of the second best. Pada intinya, teori ini menyebutkan bahwa kebijakan

(53)

diperlukan oleh suatu pasar asalkan pasar-pasar lainnya dapat bekerja dengan baik dan bersih dari segala macam kegagalan. Dalam menerapkan teori ini para ekonom berdalih bahwa ketidaksempurnaan dalam fungsionalisasi internal dari suatu perekonomian bisa membenarkan tindakan campur tangan pemerintah dalam menata hubungan-hubungan ekonomi eksternalnya. Dengan demikian argumen ini mengakui bahwa perdagangan internasional bukan merupakan sumber persoalan, akan tetapi mereka tetap meyakini kegunaan kebijakan perdagangan (Krugman and Obstfeld, 2003). Masing-masing kebijakan mencakup berbagai macam dan langkah atau tindakan yang berbeda-beda. Tindakan-tindakan tersebut meliputi antara lain pengenaan pajak terhadap beberapa macam transaksi internasional, pemberian subsidi oleh pemerintah, pembatasan resmi terhadap nilai atau volume impor dan berbagai bentuk pengaturan lainnya.

(54)

jagung telah menyerap sembilan juta petani sehingga diperlukan proteksi terhadap komoditas jagung.

Sementara itu berdasarkan hasil penelitian Yusdja dan Agustian (2003) memberikan hasil yang berbeda, dimana pada saat itu nilai tukar mendekati Rp 9 000/US$ dan harga jagung 122 US$/ton, biaya pokok usahatani jagung hibrida di tiga provinsi berkisar antara Rp 712 sampai Rp 871 per kg, berarti dengan asumsi pada tingkat harga dunia berlaku di dalam negeri maka keuntungan petani berkisar antara 26 sampai 54 persen. Pada saat itu maka tidak cukup alasan menerapkan tarif impor jagung. Pembatasan impor jagung yang pernah dilakukan oleh pemerintah pada masa 1980 sampai 1990 mengakibatkan 200 pabrik pakan rakyat dan 40 000 peternak rakyat bangkrut karena industri pakan dan peternak skala besar menguasai jagung yang tersedia di dalam negeri.

Keterkaitan kebijakan-kebijakan tersebut dengan perdagangan jagung adalah ternyata kita tidak bisa hanya melihat dari sisi petani jagung saja tetapi juga kepada konsumen jagung karena ada para peternak unggas yang perlu dipertimbangkan juga keberadaannya. Peranan pemerintah dalam perdagangan jagung sangat dilematis, karena jika pemerintah menetapkan tarif impor yang terlalu tinggi dengan alasan perlindungan terhadap petani jagung, maka akan menyebabkan harga pakan ternak meningkat karena komposisi pakan ternak sebagian besar adalah jagung. Hal ini menyebabkan ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah terkait perdagangan jagung karena alasan harus memperhatikan kedua belah pihak tersebut.

(55)

ditingkatkan menjadi 10 persen selama kurun waktu 1980 sampai 1993. BULOG (Badan Urusan Logistik) merupakan lembaga pemerintah pemegang ijin tunggal bagi pelaksanaan impor jagung pada tahun 1982 dengan SK Menteri Perdagangan No.165/Kp/XII/82 tanggal 27 Desember 1982 dan pada tahun 1988 Menteri Perdagangan RI melalui SSK. No. 375/1988 tanggal 21 November 1988 telah membebaskan ketentuan tataniaga impor untuk beberapa barang hasil pertanian antara lain jagung. Selanjutnya pada tahun 1994, tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 5 persen, namun pada tahun 1995 dihapuskan. Kemudian pada tahun 2005 tarif impor jagung dinaikkan kembali menjadi lima persen (Imron, 2007). Sementara itu, terdapat pengecualian dimana Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMK) dibebaskan dari bea masuk impor 90 000 ton melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan No.114/KMK.00/1991 yang dikeluarkan pada tanggal 12 November 1991. Dikeluarkannya SK tersebut dibentuk Pokja Perunggasan yang diharapkan dapat mengatasi masalah pemenuhan bahan baku pakan ternak dan gejolak harga jagung pada saat itu.

(56)

tahun 1984 meskipun ijin ekspor tetap diberlakukan. Selanjutnya pada tanggal 23 Desember 1987, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang dikenal dengan ‘Pakdes 1987’ melalui SK Menteri Perdagangan No. 331/Kp/XII/87 dimana salah

satu isinya menyebutkan bahwa perlu dilakukan deregulasi terhadap tataniaga ekspor jagung yang menyatakan bahwa pengawasan terhadap tataniaga jagung dihilangkan.

Sementara itu kebijakan yang dilakukan guna melindungi petani tidak hanya mengenai perdagangan saja tapi juga subsistem yang lain. Sebelum merumuskan kebijakan, perlu dilakukan tinjauan terhadap kebijakan apa saja yang telah dilakukan pemerintah selama ini di sektor tanaman pangan. Tinjauan terhadap kebijakan pemerintah untuk pemberdayaan dan peningkatan pendapatan petani dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel tersebut memperlihatkan rangkaian kebijakan terakhir yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk sektor pertanian dan pemerintah sudah melaksanakan konsep yang baik dalam melindungi petani tetapi tetap terkait erat dengan kegiatan dan instansi penanggungjawab kegiatan tersebut.

(57)

Sementara itu kebijakan yang umum dilakukan untuk subsidi ekspor (export subsidies) adalah kebijakan larangan ekspor dan subsidi untuk mengurangi biaya pemasaran.

Tabel 3. Matrik Kebijakan Pemerintah di Sektor Pertanian Tanaman Pangan

Komponen

1. Perumusan pengaturan guna pengendalian alih fungsi lahan sawah, pemanfaatan lahan tidur, pengendalian

teknologi baru dengan teknologi tepat dan spesifik lokasi

5. Mendorong rasionalisasi pemanfaatan air dan input 6. Meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas petani

Menetapkan kebijakan pendukung bagi efektivitas kebijakan harga perlindungan petani:

a. Pembelian oleh pemerintah saat panen raya sesuai outlet yang tersedia pada tingkat harga sama dengan harga perlindungan petani atau lebih besar (sesuai harga pasar)

b. Penetapan tarif impor dengan memperhatikan disparitas harga domestik dan internasional dengan memperhatikan ketentuan WTO

(58)

Tabel 4. Perbandingan KebijakanMarket Access, Domestic Support danExport Subsidiesdi Berbagai Negara

Negara Market Acces Domestic Support Export Subsidies

China Tarif, non tarif, tarif

(59)
(60)

3.1. Produksi dan Penawaran Jagung

Kajian produksi jagung pada studi ini mengacu pada model penyesuaian Nerlove, seperti yang telah dilakukan oleh Sitepu (2002) dan Kariyasa (2003). Pada kenyataannya, respon produksi jagung terhadap perubahan harganya sendiri dan faktor lain memerlukan tenggang waktu (time lag) karena proses produksi jagung memerlukan waktu sehingga ketika ada informasi atau terjadi perubahan harga yang mempengaruhi keuntungan tidak dapat direspon dengan segera jika produksi telah terlanjur berjalan.

Salah satu spesifikasi model yang terkenal dalam respons studi penawaran adalah model penyesuaian Nerlove. Menurut model ini, produksi jagung bukan merupakan persamaan struktural, namun hanya merupakan persamaan identitas yaitu perkalian antara areal panen dan produktivitas sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Q = A*Y ... (3.1) dimana:

Q = produksi (kg)

A = luas areal panen (ha) Y = produktivitas (kg/ha)

Menurut asumsi model Nerlove, respon areal jagung (A) yang direncanakan dapat dirumuskan sebagai berikut:

At* = a0 + a1Hjt + a2Zt ………...………..… (3.2)

(61)

dimana μ adalah koefisien penyesuaian parsial, Hjt adalah harga jagung dan Zt

adalah peubah lainnya yang menentukan respon areal. Koefisien μ yang bernilai

0≤ μ ≤ 1 merupakan pengukur kecepatan penyesuaian areal aktual sebagai respon

terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi areal yang direncanakan (Labys, 1973).

Jika persamaan (3.2) disubstitusikan ke persamaan (3.3) maka:

At = a0μ + a1μ Hjt + a2μ Zt + (1-μ ) At-1 ………... (3.4) dan untuk memudahkan estimasi maka aiμ didefinisikan sebagai bi sehingga persamaan tersebut ditransformasi menjadi:

At = b0 + b1Hjt + bZt + b3 At-1 +t ... (3.5) Sementara itu untuk menentukan respons produktivitas jagung (Y*) dengan pendekatan Nerlove peubah areal dimasukkan menjadi satu faktor penentu, yaitu:

Yt* = c0 + c1Hjt + c2 At + c3Zt ... (3.6) Yt– Yt-1 = σ (Yt* - Yt-1) ... (3.7)

dimana σ adalah koefisien penyesuaian parsialnya.

Jika persamaan (3.6) disubstitusikan ke persamaan (3.7) maka persamaannya menjadi:

Yt = c0σ + c1σHjt + c2σZt+ (1- σ) Yt-1 ... (3.8) jika ditransformasikan persamaan pendugaannya yaitu:

Yt = d0 + d1Hjt + d2At + d3Zt + d4 Yt-1 +t ... (3.9)

3.2. Permintaan Jagung

(62)

permintaan jagung untuk konsumsi langsung juga dapat diturunkan dari fungsi kegunaan konsumen jagung. Fungsi utilitas konsumen jagung dapat dirumuskan sebagai berikut:

U = f ( Cj, Cnj) ... (3.10)

dimana U: tingkat utilitas konsumen, Cj: jumlah konsumsi jagung dan Cjn: jumlah konsumsi barang lain (non jagung), dengan asumsi konsumen yang rasional akan selalu berusaha memaksimumkan kepuasannya dalam mengonsumsi barang-barang tersebut pada tingkat harga dan pendapatan tertentu. Pada tingkat harga jagung Pj, harga barang selain jagung Pnj dan pendapatan konsumen Y, maka dapat dituliskan fungsi anggaran konsumen sebagai berikut:

Y = Pj * Cj + Pnj * Cnj ... (3.11)

Dari persamaan (3.10) dan (3.11) dapat dirumuskan fungsi kepuasan yang akan dimaksimumkan dengan formula fungsi Lagrange (L) dan lagrange multiplier (λ) sebagai berikut:

L = u ( Cj, Cnj) + λ (Y – Pj*Cj– Pnj*Cnj) ………... (3.12)

Jika syarat pertama dan kedua dipenuhi, maka fungsi utilitas dapat dimaksimumkan sebagai berikut:

Cj’ – λ * Pj = 0 atau Cj’ = λ * Pj ... (3.13)

(63)

dimana Cj’ adalah marginal utility dari konsumsi jagung, sedangkan Cnj’ adalah

marginal utility dari konsumsi barang lain atau selain jagung. Dengan menyubstitusikan persamaan (3.13) dan (3.14) maka akan diperoleh:

λ =

Pj Cj'

= Pnj Cnj'

... (3.16)

Persamaan (3.16) menunjukkan bahwa kepuasan konsumen dalam menkonsumsi sejumlah barang akan maksimum jika utilitas marginal dibagi dengan harga harus sama bagi kedua komoditi tersebut.

Dari persamaan (3.15) dan (3.16) diketahui bahwa Pj, Pnj dan Y merupakan peubah eksogen yang mempengaruhi permintaan jagung. Dengan demikian fungsi permintaan jagung dapat dirumuskan sebagai berikut:

Qd = d (Pj, Pnj, Y) ……….. (3.17)

Persamaan (3.17) menunjukkan bahwa jumlah permintaan jagung merupakan fungsi dari harga jagung, harga komoditi lain dan pendapatan konsumen.

Selain untuk konsumsi langsung, jagung merupakan komposisi utama bahan baku industri pakan ternak. Selebihnya adalah bungkil kedelai, tepung ikan dan bekatul. Fungsi permintaan jagung oleh industri pakan ternak merupakan fungsi permintaan turunan (derived demand) karena jagung merupakan faktor produksi dari proses produksi komoditas pakan ternak dan di sisi lain jagung merupakan output dari produsen, yaitu petani jagung. Oleh karena itu, fungsi permintaan jagung oleh industri pakan ternak dapat diturunkan dari fungsi produksi industri pakan ternak.

(64)

dimana Qpt: produksi pakan ternak, Qj: jumlah penggunaan jagung dan Qnj: jumlah penggunaan input bukan jagung lainnya. Bila Pp : harga pakan ternak, Pj: harga jagung dan Pnj: harga input lainnya, maka keuntungan pabrik pakan ternak dapat dirumuskan sebagai berikut:

π = Pp*Qpt (Qj,Qnj)– (Pj*Qj + Pnj*Qnj) ... (3.19)

Untuk memaksimumkan fungsi keuntungan tersebut dan bila second order condition dapat dipenuhi, maka keseimbangan pada pabrik pakan ternak adalah

sebagai berikut:

Qj’ = Pj/Pp ... (3.20) Qnj’ = Pnj/Pp ... (3.21)

Oleh sebab itu, persamaan permintaan input industri pakan ternak dapat dirumuskan sebagai berikut:

QDPTj = f (Pp, Pj, Pnj) ………...…….…… (3.22) QDPTnj = f (Pp, Pj, Pnj) ………...………… (3.23)

dimana QDj: permintaan jagung dan QDnj: permintaan input non jagung.

Fungsi permintaan jagung untuk industri makanan juga merupakan fungsi turunan (derived demand) karena di sini jagung juga sebagai bahan baku produknya. Dengan cara yang sama dapat dirumuskan fungsi permintaan jagung untuk bahan baku industri pangan yaitu:

(65)

dimana QDIPj adalah permintaan jagung oleh industri pangan dan Pop: harga pangan olahan jagung tersebut.

3.3. Penawaran Ekspor dan Permintaan Impor Jagung

Perdagangan bebas menyebabkan adanya ketergantungan antar negara yang terlibat dalam perdagangan internasional karena adanya ekspor-impor antar negara. Analisis ekspor dan imporsmall country yang tidak dapat mempengaruhi harga internasional pada pasar internasional dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan konsep dasar fungsi penawaran ekspor dan permintaan impor dengan suatu komoditi perdagangan tertentu, misalnya jagung. Gain from trade dapat ditunjukkan dengan kurva penawaran ekspor dan permintaan impor Marshallian.

(66)

mengurangi penawaran ekspor sehingga harga yang dihadapi negara tersebut adalah P**, dengan volume ekspor sebesar Qs– Qd.

Sumber: Tweeten (1992); Krugman and Obstfeld (2003); Koo and Kennedy (2005)

Gambar 1. Pasar Negara Eksportir

Sementara itu jikasmall country tersebut merupakan negara importir maka ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 2. Penawaran dan permintaan domestik negara importir ini adalah S dan D. Permintaan impor negara tersebut sebesar selisih penawaran dan permintaan domestik pada tingkat harga tertentu dimana selisih tersebut merupakan kelebihan permintaan dan penawaran pasar internasional yang dihadapi sebesar harga dunia karena merupakansmall country. Keadaan ini terjadi tanpa memperhitungkan biaya transportasi dan biaya-biaya lain termasuk barrier to trade. Biaya transportasi menurunkan permintaan impor negara tersebut karena akan meningkatkan harga yang dihadapi konsumen dalam

Kuantitas Pw=Dw

s d

Qd Qs

p Harga

(67)

negeri. Harga yang diterima konsumen berubah menjadi P* setelah ditambah dengan biaya tambahan tersebut. Impor negara tersebut adalah qs– qd.

Sumber: Tweeten (1992); Krugman and Obstfeld (2003); Koo and Kennedy (2005)

Gambar 2. Pasar Negara Importir

Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat saling ketergantungan antar negara yang terlibat dalam perdagangan internasional. Jika karena satu atau beberapa hal, misalnya peningkatan pendapatan atau pergeseran preferensi konsumen menyebabkan permintaan jagung di negara tersebut meningkat, maka harga domestik akan meningkat. Oleh karena harga domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar internasional, maka akan meningkatkan permintaan impor. Jika negara tersebut merupakan large country, yang dapat mempengaruhi harga dunia, maka peningkatan permintaan impor akan meningkatkan harga dunia sehingga negara eksportir akan terpacu meningkatkan ekspornya. Hal ini mengakibatkan volume perdagangan akan mengalami

Kuantitas qd

Pw=Sw

qs P*

p Harga

(68)

peningkatan. Dengan demikian dapat ditunjukkan bahwa dengan perdagangan bebas maka perubahan kondisi internal dalam suatu negara dapat ditransmisikan ke negara lainnya melalui perubahan harga di pasar internasional jika negara tersebut merupakan large country. Hal yang sama dapat terjadi jika ada perubahan kondisi internal negara-negara anggota suatu perjanjian seperti AFTA maka akan mempengaruhi negara-negara anggota yang lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa penawaran ekspor komoditi selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan pasar dalam negeri juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang muncul dari pasar luar negeri atau pasar internasional. Secara matematis konsep penawaran eksporsmall countrydapat didefinisikan sebagai berikut:

Qx = Qs– Qd ………...….. (3.25) dimana:

Qx = penawaran ekspor suatu komoditi di negara pengekspor Qs = jumlah penawaran suatu komoditi di negara pengekspor Qd = jumlah permintaan suatu komoditi di negara pengekspor

Dalam pengertian yang lebih luas, ekspor suatu negara merupakan kelebihan penawaran domestik atau produksi yang tidak dikonsumsi oleh konsumen negara yang bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk stok. Oleh sebab itu persamaan ekspor jagung dapat juga dirumuskan sebagai berikut:

Qxt = Qpt– Ct + Qpt-1 ... (3.26) dimana:

(69)

Ct = jumlah konsumsi jagung pada tahun ke-t Qpt-1 = jumlah stok jagung pada tahun sebelumnya

Pengaruh faktor luar negeri dalam perdagangan antar negara sehubungan dengan penawaran ekspor ini dapat dilihat melalui harga luar negeri (Free on Board) suatu komoditi atau Px, dimana harga tersebut adalah sama dengan harga domestik (Pd) setelah dikoreksi dengan biaya angkut dan biaya penanganan antar pelabuhan (C) dan dinilai dengan satuan mata uang yang sama. Selain itu penawaran ekspor suatu barang dipengaruhi oleh tingkat bunga dan nilai tukar valuta asing, yang secara matematis dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:

Qxt = f (Pt,Pmt, ERt, Zt, Qxt-1) ... (3.27) dimana:

Pt = harga tahun ke-t

Pmt = harga jagung di negara importir pada tahun ke-t ERt = nilai tukar mata uang asing tahun ke-t

Zt =faktor lain yang mempengaruhi penawaran ekspor pada tahun ke-t Qxt-1 = jumlah ekspor jagung tahun sebelumnya

Komponen perdagangan lainnya adalah permintaan impor. Krugman dan Obstfeld (2003) menyatakan bahwa permintaan impor domestik merupakan kelebihan dari apa yang diminta konsumen atas penawaran produsen domestik. Jika jumlah impor jagung pada tahun ke-t adalah Qmt maka persamaan impor dapat dirumuskan sebagai berikut:

Gambar

Tabel 1. Perkembangan Penggunaan Jagung Dalam Negeri
Tabel 2.  CEPT List untuk Tahun 2003
Tabel 3.  Matrik Kebijakan Pemerintah di Sektor Pertanian Tanaman Pangan
Gambar 1. Pasar Negara Eksportir
+7

Referensi

Dokumen terkait

4 Karyawan harus berusaha bekerja keras untuk hasil maksimal sesuai kompetensi. 5 Karyawan harus saling bekerja sama untuk menghasilkan sinergi optimal

Paradigma Baru Pembelajaran Sebagai Referensi Bagi Pendidikan dalam Implementasi Pembelajaran Yang Efektif

Oleh karena itu pemerintah membuat salah satu program pemberdayaan masyarakat SANIMAS (Sanitasi Oleh Masyarakat) yang merupakan salah satu opsi program untuk peningkatan

Maka, penulis beserta kelompok yaitu kelompok 24, bersama sama ikut serta dalam kegiatan praktek kerja lapang agar dapat menambah wawasan dibidang praktis, mampu

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

[r]

Terwujudnya infrastruktur transportasi, listrik, komunikasi dan air bersih menuju pemukiman dan

Virus komputer merupakan program computer yang dapat menggandakan atau menyalin dirinya sendiri dan menyebar dengan cara menyisipkan salinan dirinya ke dalam program atau