• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe)"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH

(STUDI KASUS DI KOTA LHOKSEUMAWE)

TESIS

Oleh

MISWAR

067024037/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH

(STUDI KASUS DI KOTA LHOKSEUMAWE)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Magister Studi Pembangunan pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MISWAR

067024037/SP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH (STUDI KASUS DI KOTA LHOKSEUMAWE

Nama Mahasiswa : Miswar

Nomor Pokok : 067024037 Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) (Drs. Kariono, M.Si)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 8 Juli 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, M.Si

Anggota : 1. Drs. Kariono, M.Si

2. Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si 3. Drs. Agus Suriadi, M.Si

(5)

PERNYATAAN

STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH (Studi Kasus di Kota Lhokseumawe)

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 8 Juli 2008

(6)

ABSTRAK

Efisiensi merupakan hal yang secara normatif memang harus dilaksanakan oleh organisasi manapun. Dari sisi normatifnya pula, efisiensi adalah sesuatu yang mudah diucapkan oleh siapapun tapi tidak mudah untuk dilaksanakan dan tentu bukannya merupakan sesuatu yang bebas kendala. Ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Tidak terkecuali yang terjadi di Pemerintah Kota Lhokseumawe. Berbagai keterbatasan, tantangan dan persoalan tersebut secara berbeda dan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Sebagian daerah menangkap bola otonomi dengan antusias dan kreativitas tinggi dalam rangka optimalisasi pelayanan publik dan mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu daerah yang layak mendapat apresiasi dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Lhokseumawe yang telah melakukan banyak hal berupa program-program inovatif dengan keterbatasan yang sama dengan daerah lain. Oleh karena itu, peneliti ini hendak melihat strategi efisiensi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe dan apa saja kendalanya.

Pembahasan mengenai strategi efisiensi dalam pemerintahan daerah akan terkait dengan beberapa teori atau konsep, diantaranya teori pemerintahan daerah desentralisasi, otonomi dan pemerintahan wirausaha, serta efisiensi beserta strategi efisiensi itu sendiri dari Rodinelli, Osborn dan Gaebler. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan pengamatan langsung dan wawancara semi terstruktur. Informan yang dipilih sebagai sumber data ditentukan secara purposive yang berjumlah 14 orang dan berasal dari pejabat pemerintah dari walikota sampai kepala desa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, Strategi efisiensi birokrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe adalah Strategi Dana, Orang dan Aset, yaitu pendayagunaan anggaran keuangan, personal termasuk struktur organisasi dan seluruh asset/fasilitas/sarana secara seefisien mungkin dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan, manfaat dan kesinambungan yang mengacu pada tujuan organisasi pemerintah daerah dan bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Kedua, efisiensi orang atau personil. Dilakukan dengan restrukturisasi organisasi birokrasi pemerintah daerah yang sebelumnya gemuk dan boros menjadi ramping. Miskin struktur kaya fungsi. Rasionalisasi struktur organisasi ini mencakup jumlah organisasinya dan jumlah jabatan serta jumlah personil yang dibutuhkan. Ketiga, efisiensi aset/alat. Antara lain dengan pemanfaatan aset berupa gedung, tanah dan lain-lain secara maksimal.

(7)

ABSTRACT

The efficiency is the normative case that must be done by every organization. In the normative part, the efficiency is a easy thing to said by everyone but it is not easy to be done and it is not a free trouble. It is interesting to learn deeply. It is unexcept that happened in Lhokseumawe government. Every the limitation, the challenges and the problems have different way and it will result different things. A part of area receive the outonomy enthusiastically and high creativity in public serve optimalitation case and reaching security council people. One of areas that is suitable get the appreciation is Lhokseumawe government that has done many case such as innovative programs by the same limitation as other areas. Even though researcher will know the efficient strategy that is held by Lhokseumawe government and the problem is.

The explaination about the efficient strategy in district government will be connected by some theories and concepts, some of them are desentralization of district government, autonomy and industry life, also efficient and efficient strategy it self by Rodinelly, Osborn and Gaebler. Kind of the research that is used is descriptive with kwalitative approach by using direct research the semi structure interview. The object that chosen as data resourch determined purposively that account 14 persons they are from officials government from chief of town to chief of village.

The result of the research shows that the first, the efficient strategy of bureaucracy that done by Lhokseumawe government is fund strategy, people and properties, those are using financial budget, personil include organization structure and all of properties/facilities efficiently by considering needs, usefull and continuing aspect that based of district government organization purpose and resource on safety people. The second, it is the person efficient. It is done by restructurization of district government bureaucracy organization that was before fat and waste to be slim. Poor structure rich function. Rasionalization of the organization structure include amount of organizations officials and people needed. The third, it is equipment efficient. Part of them by using properties such as buildings, lands and soon maximally.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang senantiasa

memberikan rahmat, hidayah dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan tesis ini dengan judul “Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah”

(Studi Kasus di Kota Lhokseumawe).

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua

pihak yang dengan keiklasan dan ketulusan telah banyak memberikan bantuan baik

secara moriel maupun materil untuk kelancaran studi dan penulisan tesis ini, yaitu :

1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, DSAK, selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Prof. Dr. Ir. Chairun Nisa, B. M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Ketua Program Magister Studi

Pembangunan Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku dosen Pembimbing I, yang telah

banyak memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam

penyelesaian tesis ini. Bapak Drs. Kariono, M.Si, selaku dosen Pembimbing II,

yang telah memberikan waktu dan pemikiran dalam penyelesaian tesis ini

5. Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nst, M.Si, selaku dosen Penguji I, yang selalu

(9)

Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku dosen Penguji II, yang tidak

bosan-bosannya memberikan waktu dan arahannya dalam penyelesaian tesis ini

6. Bapak Munir Usman, Selaku Wali Kota Lhokseumawe beserta seluruh jajaran

yang telah banyak membantu dalam memberikan arahan dan data bagi penulis.

7. Para rekan-rekan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana USU Program Studi- Studi

Pembangunan angkatan X (sepuluh) yang telah memberikan dukungan dan

bantuan guna kelancaran studi ini. Segenap civitas akademika, terutama dosen

dan staf sekretariat Sekolah Pascasarjana Studi Pembangunan USU yang telah

memberikan pelayanan akademik dan adminstratif guna kelancaran studi ini.

8. Teristimewa untuk seluruh anggota keluarga, ibunda sulbiah yang berbahagia,

isteri yang tercinta Asmiati dan anak-anakku Dedy Iswardy, Fachrizaldy,

Fachrurrazi dan Fachrurreza yang telah memberikan inspirasi dan dukungan serta

doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di MSP-USU Medan

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

turut andil dan memberi bantuan langsung maupun tidak langsung, sehingga

penelitian ini dapat diselesaikan. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita

semua dan atas segala saran dan kritik untuk penyempurnaan tesis ini, penulis

mengucapkan terima kasih.

Medan, 8 Juli 2008 Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

Identitas

Nama : Miswar

Tempat/Tgl.Lahir : Aceh Utara, 15 Agustus 1960

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Jabatan : Kabag. Humas dan Sistem Informasi Setdako Lhokseumawe

Alamat : Jalan Cut Nyak Sada 4 Cot Girek Kandang Kec.Muara Dua

Kota Lhokseumawe

Status Perkawinan : Kawin

Nama Isteri : Asmiati

Nama Anak : 1. Dedy Iswardy

2. Fachrizaldy

3. Fachrurrazi

4. Fachrurreza

Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri Kutablang Lhokseumawe...Tahun 1967 – 1972

2. SMP Negeri I Lhokseumawe... Tahun 1974 – 1976

3. SMEA Negeri Lhokseumawe... Tahun 1977 – 1980

(11)

Riwayat Pekerjaan

1. Bendaharawan Proyek UPP-PKKR Lhoksukon... Tahun 1980 – 1984

2. Bendaharawan Bag.Pro. Wilayah II Aceh Utara-Tengah... Tahun 1984 – 1985

3. Sekretaris Korpri Sub Unit Dinas Perkebunan Aceh Utara... Tahun 1986 – 1991

4. Bendaharawan Gaji dan Rutin Dinas Perkebunan Aceh Utara. Tahun 1991 – 1995

5. Pj. Kaur Umum Dinas Perkebunan Aceh Utara... Tahun 1996 – 1999

6. Kaur Umum Dinas Perkebunan Aceh Utara... Tahun 1999 – 2001

7. Pj. Kasubbag Umum Disbunhut Aceh Utara... Tahun 2001 – 2005

8. Sekretaris Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Lsm... Tahun 2005 – 2007

9. Kabag. Humas dan Sistem Informasi Setdako Lhokseumawe.. Tahun 2008.

Medan, 8 Juli 2008

(12)

DAFTAR ISI

2.4.3.1 Entrepreneur dan Entrepreneurship... 32

2.4.3.2 Makna ”Pemerintahan Wirausaha” ... 36

2.4.3.3 Inovasi ... 43

2.4.3.4 Organisasi Berkinerja Tinggi ... 46

2.5. Strategi Efisiensi dan Manajemen Biaya Strategik untuk Mengendalikan Pengeluaran Daerah... 48

2.6. Kesejahteraan Sebagai Fungsi Pelayanan Pemerintah Daerah... 49

2.7. Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha... 50

2.7.1. Strategi Inti... 50

2.7.2. Strategi Konsekuensi... 51

2.7.3. Strategi Pelanggan... 52

2.7.4. Strategi Kontrol... 53

(13)

BAB III METODE PENELITIAN ... 55

3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 55

3.2. Teknik Pemilihan Informan ... 56

3.3. Teknik Pengumpulan Data... 58

3.4. Analisis Data ... 59

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS... 60

4.1. Gambaran Umum Kota Lhokseumawe... 60

4.1.1. Sejarah Singkat Lahirnya Kota Lhokseumawe ... 60

4.1.2. Letak Geografis Kota Lhokseumawe... 65

4.1.3. Jumlah Penduduk Kota Lhokseumawe ... 67

4.1.4. Lembaga Pendidikan dan Sarana Prasarana Kota Lhokseumawe... 67

4.2. Visi dan Misi Pemerintah Kota Lhokseumawe... 69

4.2.1. Visi ... 69

4.2.2. Misi ... 69

4.3. Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah... 70

(14)

4.6. Analisis... 117

4.6.1. Strategi Efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe... 117

4.6.2. Faktor-faktor yang menjadi Penghambat dan Pendukung dalam Pelaksanaan Strategi Efisiensi... 121

4.6.3. Peran Kebijakan Strategi Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat... 125

BAB V PENUTUP... 127

5.1. Kesimpulan ... 127

5.2. Saran... 129

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Penetapan Informan Berdasarkan Informasi yang dicari ... 57

2. Jumlah Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe ... 66

3. Jumlah Penduduk dan Konsentrasi Penduduk per kecamatan dalam Kota Lhokseumawe... 67

4. Jumlah Lembaga Pendidikan di Kota Lhokseumawe ... 68

5. Kondisi Jalan Raya dalam Wilayah Kota Lhokseumawe ... 68

6. Kondisi Jembatan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe... 69

7. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Lhokseumawe... 102

8. Jumlah Sekolah di Kota Lhokseumawe Tahun 2001 – 2006... 103

9. Jumlah Murid/Siswa Sekolah di Kota Lhokseumawe Tahun 2001 – 2006 ... 104

10. Rasio Sekolah, Guru dan Murid/Siswa Sekolah di Kota Lhokseumawe 2006 ... 104

11. Perkembangan Angka Kematian Ibu Hamil dan Bayi Kota Lhokseumawe Tahun 2006 – Mei 2008... 107

12. Struktur Perekonomian Kota Lhokseumawe Tahun 2000-2006... 111

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Grand Strategy Pemerintah Pemko Lhokseumawe dalam

Pemanfaatan Sumber daya ... 75

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan akan pemerintahan yang efektif adalah suatu keniscayaan bagi tiap

masyarakat/negara, apapun model, bentuk negara dan ideologi yang diadopsi dan

bagaimanapun cara mereka memandang sejauh mana batas keterlibatan atau peran

pemerintah dalam menangani urusan-urusan rakyatnya, terutama untuk mencapai

tujuan kesejahteraan rakyat.

Dalam kacamata pembangunan sosial sebagai suatu pendekatan, cara pandang

perspektif institusional (institutional perspective), yang berupaya untuk memobilisir

berbagai institusi sosial termasuk pasar, masyarakat dan pemerintah/negara untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, manempatkan peran pemerintah di jajaran

terdepan. Posisi pemerintah yang memiliki peran yang besar tersebut juga semakin

menunjukkan urgensi terhadap pemerintah yang efektif baik dalam memobilisir

berbagai institusi sosial maupun menjalankan fungsi utamanya sebagai pemberi

pelayanan kepada masyarakat.

Menurut Loughlin, pemerintahan yang efektif dalam wacana politik dan

pemerintahan dicirikan salah satunya adalah bersifat desentralistik, bukan yang

sentralistik berlebihan. Ini disebabkan adanya kekhawatiran bahwa sentralisasi

(19)

untuk mengakomodasikan pluralitas di dalam suatu negara modern.

Keberadaan/pembentukan daerah otonom melalui desentralisasi pada

hakekatnya adalah untuk menciptakan efisiensi dan inovasi dalam pemerintahan

(Sarundajang, 2001:5). Dalam konteks pelayanan sebagai salah satu fungsi hakiki

pemerintahan, pelaksanaan asas desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada

daerah dapat membuat penyediaan pelayanan publik juga menjadi lebih efektif dan

efisien. Hal ini menurut Rondinelli dalam Kurniawan dapat terjadi terutama karena

melalui otonomi terjadi optimalisasi hirarkhi dalam penyampaian layanan akibat dari

penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh institusi yang merniliki kedudukan lebih

dekat dengan masyarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat lebih mudah

dibuat; juga karena adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan kondisi

yang ada di tingkat lokal sehingga alokasi anggaran dapat disesuaikan dengan

kebutuhan dan kondisi yang ada di wilayahnya.

Kondisi ideal tersebut tampaknya masih cukup sulit untuk diwujudkan di

Indonesia karena sejumlah alasan. Salah satu determinan yang menjadi sorotan oleh

berbagai kalangan adalah bahwa birokrasi peninggalan orde baru yang cenderung

lemah dan lamban, akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kondisi

yang demikian, maksud penyelenggaran otonomi daerah (penyediaan pelayanan yang

efektif dan efisien. serta pemerintahan yang efisien, inovatif) yang bermuara pada

(20)

Berbicara soal kesajahteraan, tentu kita be!um bisa berbangga hati dengan

tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia dewasa ini. Berdasarkan data Menteri

Koordinator Perekonomian, pada akhir Tahun 2004 masih terdapat 16 persen

penduduk miskin di Indonesia. Apabila menuruti ukuran kemiskinan Bank Dunia

US$ 2 per hari, maka masih ada 47 persen penduduk yang tergolong miskin (Tempo

Interaktif, 2004), Posisi HDI (Human Development Index) Indonesia pada Tahun

2004 ada di urutan 111 (setingkat di atas Vietnam, tetapi masih di bawah Filipina,

Malaysia, dan Thailand). Indeks itu didasarkan pada ukuran pendapatan per kapita

serta tingkat pendidikan, kasehatan dan harapan hidup dalam lingkup kesejahteraan

nasional. Di bidang pendidikan khususnya, data dari Depdiknas menunjukkan, Tahun

2004 angka putus sekolah SD/MI mencapai 650.000 siswa, sedangkan angka tidak

melanjutkan mencapai 500.000. Adapun jenjang SMP/MTs angka putus sekolah

mencapai 100.000 dan SMA/MA/SMK mancapai 45.000. Angka-angka tersebut

kait-mengait dengan angka buta huruf di Indonesia yang jumlahnya 15,5 juta jiwa.

Angka tersebut di atas tergolong cukup tinggi dan mengkhawatirkan,

mengingat masalah pendidikan adalah unsur yang sangat menentukan kemajuan

bangsa di samping sebagai salah satu tolok ukur tingkat kesejahteraan tentunya.

ironisnya hal tersebut masih terjadi, padahal sejak tahun 2003 melalui UU SPN

(Sistem Pendidikan Nasional) No 20/2003 sudah ditetapkan alokasi dana minimal 20

persen dari APBN dan APBD. Kenyataannya hal itu belum terpenuhi di tingkat

(21)

Ketidakmampuan tersebut di atas, sebabnya cukup beragam untuk masing

masing daerah. Ada yang memang karena kemampuan daerah yang sangat minim,

tapi tidak jarang pula karena faktor birokrasi pemerintahannya yang bermasalah.

Daerah tersebut sebenarnya punya kemampuan (karena kekayaan sumber daya

alamnya misalnya), tetapi karena kesalahan skala prioritas (dengan melaksanakan

program mercusuar, rumah dinas yang mewah dll), inefisiensi, korupsi dan lain

sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang menurut Lusk sebagai penghalang

upaya-upaya pembangunan sosial dengan merujuk pada kondisi inefisiensi birokrasi

(bureaucratic inefficiency), peraturan/perundang-undangan yang berbelit-belit

(complex rules and regulations) dan korupsi pemerintahan (political corruption) di

Amerika Latin.

Problem yang dihadapi di negeri ini dapat dikatakan relatif sama. Birokrasi

Indonesia dan negara-negara berkembang saat ini oleh Prasojo digambarkan sebagai

sesuatu yang berat, lambat, tidak kreatif dan tidak sensitif terhadap publik (Prasojo,

Kompas 2004). Islamy menilai birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk

Indonesia cenderung bersifat negara patrimonialistik tidak efesien, tidak efektif (over

consuming and under producing). tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum. tidak lagi

menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil

(22)

Penilaian lain juga mengungkapkan, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa

hasil penelitian, bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah

"parkinsonian" dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan

pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi

bukan karena tuntutan fungsi dan kebutuhan, tetapi semata-mata untuk memenuhi

tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan terjadinya birokrasi

"orwellian" yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga

kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi

Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan

tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan

mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.

Seorang konsultan manajemen organisasi bisnis dan publik sempat mengamati

perilaku pegawai birokrasi (pemerintahan) di salah satu propinsi kawasan Indonesia

Timur. Sebagian pegawai datang pukul delapan untuk absen, setengah jam kemudian

pergi ke warung kopi sampai pukul satu, kemudian kembali ke kantor dan pukul dua

ia sudah menghilang. Ketika berdialog dengan pimpinan mereka, sang Gubernur

langsung mengeluhkan "saya tidak tahu bagaimana caranya agar birokrasi di tempat

saya, bisa melayani rakyat lebih baik lagi. Saya tidak mau ada filsafat "kalau bisa

diperlambat, kenapa dipercepat" katanya. Dalam kondisi yang seperti ini, berbicara

(23)

Berbagai "penyakit' pun seakan tak pernah lekang dari tubuh birokrasi.

Fenomena ini belakangan sering disebut dengan istilah patologi birokrasi (penyakit

birokrasi). Siagian mencirikan kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku

birokrasi dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam dan gaya

manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan. tindakan melanggar hukum

keperilakuan, dan adanya situasi internal. Kategorisasi yang terdiri dari 5 poin itu,

bila dirinci bisa melahirkan puluhan penyakit birokrasi, seperti penyalahgunaan

wewenang dan jabatan, menerima sogok, mempertahankan status quo, penipuan,

tidak peduli kritik/saran, tidak mau bertindak, takut mengambil keputusan, kurangnya

komitmen, kurangnya kreativitas dan eksperimentasi. Kurangnya visi yang imajinatif,

nepotisme. patronase, keengganan mendelegasikan, ritualisme, xenophobia,

ketidakmampuan belajar dan berkembang, pura-pura sibuk, cara kerja legalistik, tidak

disiplin dan pertentangan kepentingan, kurangnya prakarsa, ketakutan pada

perubahan, inovasi dan resiko, penggemukan pembiayaan, korupsi kontrak fiktif,

bertindak sewenang-wenang. kaku, tidak peka, tidak peduli mutu kinerja, tanggung

jawab rendah, kerja berbelit-belit, kerja asal jadi, tidak profesionaI, pemborosan,

ketidak tepatan sasaran dan tujuan, pengangguran terselubung, terlalu banyak

pegawai, sarana dan prasarana yang tidak tepat, dan masih banyak jenis penyakit

birokrasi lainnya (Siagian, 1994:35-145).

Munculnya ekonomi biaya tinggi, yang membuat rakyat terbebani. Juga

(24)

diidentikkan dengan pola perilaku 4-D: duduk, datang, diam dan (dapat) duit. Bahkan

birokrasi juga dituduh sebagai penyebab menyebarnya kultur negatif, aji mumpung,

korupsi dan sebagainya. Pada birokrasi melekat stigma kaku, reaktif, inefisien. Jauh

dari bayangan ideal Weber tiga abad silam, yang sampai abad keduapuluh birokrasi

dipercaya sebagai satu-satunya organisasi yang bisa mengatur mekanisme

pemerintahan secara efisien.

Keburukan birokrasi memang sudah begitu jelasnya dan telah menjadi gejala

yang sangat merata. Mempersoalkannya tidak lagi dirasakan sebagai kritik keilmuan

dan tidak mesti datang dari seorang pakar. Kesan negatif terhadap birokrasi meluas

menjadi pemahaman umum bagi masyarakat yaitu bahwa birokrasi adalah

representasi organisasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan

peraturan, serta rantai hirarkhi komando, tidak lagi berjalan baik. Birokrasi menjadi

bengkak, boros dan tidak efektif.

Saat ini kesadaran terhadap problem yang melekat pada birokrasi akhirnya

mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa harus ada "sesuatu" untuk memperbaiki

kebobrokan birokrasi sebagai organisasi publik. Sesuatu itu adalah

"perubahan/pembaharuan”. Dalam wacana akademik maupun praktisi muncul

istilah-istilah seperti reformasi birokrasi, reformasi administrasi, reformasi manajemen

sektor publik dan lain sebagainya. Walaupun latar belakang lahirnya dan

definisi-definisi tersebut tidak sama persis, namun mempunyai titik temu pada upaya

(25)

Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik telah

banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai istilah, misalnya dengan nama

“managerialism" oleh Pollitt, "new public management” oleh Hood, "market based

public administration" oleh Lan dan Rosenbloom, dan "entrepreneurial government/reinventing government" oleh Osborn dan Gaebler. Apapun istilah yang dipergunakan, yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah

orientasi fokus peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih

mementingkan "process" menuju ke "product', atau dari "rule governance" menuju

ke "goal governance", yang pada pelaksanaannya membutuhkan paradigma baru,

inovasi, perubahan struktur, kreativitas, tekad/keberanian, efisiensi tinggi, kecepatan,

fleksibelitas, optimisme, kegigihan dan lain sebagainya berupa nilai-nilai yang

sebelumnya dianggap hanya milik organisasi bisnis dan para entrepreneur.

Dalam konteks Indonesia, upaya perbaikan citra/pembenahan birokrasi yang

telah mengalami "distorsi" memang sudah mulai dilakukan. Reformasi 1998 dan

otonomi daerah dalam hal ini menduduki peranan yang strategis. Otonomi daerah di

Indonesia dapat dikatakan buah dari reformasi sekaligus salah satu wadah dari

reformasi birokrasi. Keberadaan reformasi birokrasi sendiri sudah merupakan sesuatu

yang tidak bisa ditawar lagi demi tercapainya apa yang biasa disebut good

governance. Arus good governance ini menjadi penting sebagai salah satu aspek reformasi Yang dituntut oleh masyarakat yang memiliki makna mencakup

(26)

partisipatif terhadap kebijakan pemerintah yang merupakan bentuk dari tata kelola

pemerintahan yang baik.

Pelaksanaan otonomi daerah idealnya akan mengubah perilaku pemerintah

daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu

melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan

(bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang

akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan

baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya. Dari

sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan persaingan

dan liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi

internal, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge

based society) dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding community).

Kecenderungan peningkatan kecerdasan masyarakat dan banyaknya tuntutan

yang mereka serukan akan menjadi pressure bagi pemerintah. Yang ditujukan tentu

adanya optimalisasi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Pelayanan

publik yang optimal akan mustahil tercapai tanpa adanya organisasi pemerintah

daerah yang bekerja secara profesional dan efisien serta memiliki sumber daya

aparatur yang memiliki jiwa kewirausahaan. Ini mutlak dibutuhkan mengingat

sumber daya terbatas (dana, personal, peralatan) sementara tuntutan akan out put

(27)

gelombang tekanan politik (political pressures) domestik maupun luar negeri

kesulitan anggaran dan keuangan (fiscal pressures), pemerintah dan pemerintah

daerah bisa terhindar dari keterpurukan dan kebangkrutan.

Hal tersebut memang bukan persoalan mudah. Namun, secara teoritik, salah

satu prasyarat penting agar birokrasi pemerintah dapat mendinamisasikan dirinya

ialah dengan cara mentransfomasikan diri dari birokrasi yang kaku menjadi

organisasi pemerintahan yang strukturnya desentralisasi, inovatif, fleksibel dan

responsif.

Setelah pelaksanaan otonomi daerah, beberapa pemerintah daerah terbukti

telah membentuk sistem birokrasi yang lebih mudah bagi pelayanan publik. Dalam

beberapa daerah studi, hal ini menghasilkan rasionalisasi tata kerja, jam kerja dan

transparansi yang lebih besar. Penyederhanaan ini khususnya muncul dalam kasus

pemberian ijin. Pelayanan ini menjadi lebih mudah dan lebih efisien, dan dilakukan

dalam satu atap. Pemerintah pusat juga mendorong Pemkab dan Pemko untuk

mengembangkan sistem pelayanan satu atap atau Sistem Administrasi Manunggal

Satu Atap (SAMSAT) untuk tujuan ini. Se!ain itu, rasionalisasi pada divisi tenaga

kerja menghasilkan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab administratif yang

lebih besar.

Selama beberapa tahun terakhir ini semenjak diberlakukannya otonomi (mulai

dari UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai sekarang setelah keluar

(28)

pemerintahan di daerah yang menangkap bola otonomi melalui program-program

inovatif dan terobosan-terobosan baru yang di era orde baru hampir tidak pernah

terdengar. Kita dapat mengetahui sejumlah inovasi program yang telah dan sedang

dilakukan oleh sejumlah pemerintah daerah. Sebut saja inovasi program yang

dilakukan oleh Pemerintah Pemko Banjarnegara melalui Pembenahan Manajemen

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjarnegara dan Tabanan, Pemko Deli

Serdang melalui Pembentukan LEPP-M3 (Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir

Mikro Mitra Mina) sebagai upaya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir serta

melalui Pengembangan Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Saluran

Irigasi yang Partisipatif. Pemko Gianyar melalui Program Gianyar Sejahtera (PGS)

dan Pemko Sumba Timur dengan Pelatihan Aparatur Pemerintahan Desa (Apkasi,

2003 dalam Prasojo, Dkk, 2004:2).

Daerah lain yang juga punya prestasi yang tidak kalah menariknya seperti

Sragen. Pemko Sragen beberapa waktu sempat memperoleh penghargaan sebagai

daerah dengan iklim investasi terbaik se-Jawa Tengah. Predikat iklim investasi

terbaik yang disandang oleh Pemko Sragen tidak lepas dari upaya efisiensi birokrasi,

kecepatan, kepastian dan faktor keamanan. Upaya Pemerintah Pemko Sragen untuk

menarik investasi di antaranya adalah penyediaan informasi daerah. dan pelayanan

one stop sevice (OSS), kemudahan, jaminan keamanan dan dukungan sarana

(29)

Pemko Kudus belakangan juga menjadi sorotan para Walikota-waIikota. Para

Walikota tersebut ingin belajar dari Pemko Kudus. Walikota Kudus dengan pola

pelayanan izin satu pintunya mampu mendongkrak investasi di daerahnya hingga

mencapai 250%. Oleh karenanya, tidak heran bila Walikota Kudus mendapatkan.

"Pemuda Award 2005", karena prestasinya di bidang ini.

Hal yang sama juga terjadi di Sragen, Walikota Sragen menempuh pola Yang

tak kalah inovatif, memberikan pelayanan tanpa dipungut biaya bagi IKM/UKM

pemula. Langkah Walikota Sragen. tersebut bukan tanpa tantangan, karena ia harus

menghadapi kepentingan banyak lembaga birokrasi yang sudah mendapat

kenyamanan karena eksklusivisme dan egosektoralnya selama ini, dan untuk itu perlu

keberanian dan komitmen besar untuk menatanya secara terpadu. Dampaknya pun

langsung terlihat, karena dengan pelayanan satu pintunya, Walikota Sragen mampu

menumbuhkan wirausahawan baru secara sangat signifikan di daerahnya sampai

700% pada Tahun 2004. Dampak ikutannya adalah peningkatan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) Sragen yang signifikan. Maka tak ketinggalan Walikota lain di Jawa

Tengah seperti Walikota Wonosobo, Banjarnegara, dan Purbalingga. ikut merevolusi

pelayanan publiknya dengan pola yang sama.

Satu lagi daerah yang belakangan ini sering menjadi perbincangan di era

otonomi daerah adalah Pemerintah Kota Lhokseumawe. Hal ini dikarenakan sejumlah

program inovasi yang digulirkan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe yang terbukti

(30)

Persoalan yang terjadi selama ini dalam konteks kesejahteraan rakyat adalah

kemampuan keuangan atau APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) suatu

daerah yang tinggi tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan yang

signifikan bagi masyarakatnya. Daerah-daerah yang tergolong "sedang" juga

menghadapi problem yang sama., apalagi daerah-daerah yang tergolong" miskin",

yang merasa lebih tidak mampu lagi untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada

masyarakatnya. Hal yang sering terjadi, anggaran dana yang tersedia setiap tahunnya

sebagian besar terserap hanya untuk kebutuhan operasional birokrasi pemerintah

daerah. Tidak banyak pemerintah daerah yang dapat memberikan pelayanan optimal

terhadap hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat seperti

pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya dengan alasan tidak tersedianya dana

untuk itu. Padahal persoalan yang sesungguhnya bisa jadi bukan pada jumlah dana

yang sedikit, tapi bagaimana pengelolaan dana/sumber daya tersebut dapat dilakukan

secare efisien.

Efisiensi merupakan hal yang secara normatif memang harus dilaksanakan

oleh organisasi manapun. Dari sisi normatifnya pula, efisiensi adalah sesuatu yang

mudah diucapkan oleh siapapun tapi tidak mudah untuk dilaksanakan dan tentu

bukannya merupakan sesuatu yang bebas kendala. Ini menarik untuk dikaji secara

(31)

1.2. Permasalahan

Dari pemaparan di atas tampak bahwa otonomi telah membawa angin baru

dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Persoalan distorsi birokrasi

yang sebenarnya adalah masalah klasik sudah seharusnya segera diselesaikan dengan

semangat reformasi birokrasi, diiringi optimisme, inovasi, serta keberanian untuk

melakukan perubahan.

Otonomi daerah adalah momen yang tepat. Kewenangan luas yang diberikan

kepada daerah memberi kesempatan besar untuk melakukan banyak hal, tentu di

tengah berbagai keterbatasan, tantangan dan persoalan yang muncul yang merupakan

implikasi dari penerapan otonomi itu sendiri.

Daerah-daerah menghadapi keterbatasan, tantangan dan persoalan tersebut

secara berbeda dan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Sebagian daerah

menangkap bola otonomi dengan antusias dan kreativitas tinggi dalam rangka

optimalisasi pelayanan publik dan mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu daerah

yang layak mendapat apresiasi dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Lhokseumawe

yang telah melakukan banyak hal berupa program-program inovatif dengan

keterbatasan yang sama dengan daerah !ain.

Sejauh ini telah diketahui melalui penelitian yang dilakukan sebelumnya

(Prasojo dkk, 2004) bahwa kata kunci keberhasilan berbagai program di atas dari sisi

pemerintah daerahnya adalah penerapan pola efisiensi birokrasi secara ketat di segala

(32)

maka peneliti tertarik untuk mendalami seperti apa strategi efisiensi yang dilakukan

dan apa saja kendalanya. Pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah

Kota Lhokseumawe?

2. Faktor- faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung dalam

pelaksanaan strategi efisiensi tersebut?

3. Bagaimana peran kebijakan strategi efisiensi terhadap kesejahteraan rakyat di

Lhokseumawe?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan, ada tiga tujuan yang dicapai dalam

penelitian ini, yakni:

1. Menggambarkan strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh

Pemerintah Kota Lhokseumawe sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan

dalam pelaksanaan program program inovatif.

2. Menggali dan mendiskripsikan faktor-faktor penghambat dan pendukung

pelaksanaan strategi efisiensi tersebut.

3. Mengetahui peran strategi efisiensi yang dilakukan terhadap pelayanan publik

(33)

1.4. Manfaat Penelitian

Sejalan dengan tujuan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberi

konstribusi pada pengembangan kajian di Bidang Otonomi dan Pemerintahan Lokal

yang merupakan objek bahasan utama dalam konsentrasi Otonomi dan Pembangunan

Lokal dan juga dalam kajian pembangunan sosial, di mana seperti yang dikatakan

Lusk dalam Midgley bahwa birokrasi yang inefisien merupakan salah satu

penghalang upaya-upaya pembangunan sosial. Selain itu dalam rangka menambah

pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penelitian ilmiah di Bidang

(34)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pembahasan mengenai strategi efisiensi birokrasi pemerintahan daerah akan

terkait dengan beberapa teori atau konsep, diantaranya teori strategi, efesiensi,

birokrasi, pemerintahan daerah, desentralisasi, otonomi dan pemerintahan wirausaha,

serta strategi efisiensi itu sendiri. Berikut ini akan dipaparkan pengertian, cakupan

dan hakekat dari konsep-konsep tersebut sebagai kerangka teori dari penelitian ini.

2.1. Strategi

Henry Mintzberg mendefenisikan strategi sebagai 5 P, yaitu strategi sebagai

PERSPECTIF, strategi sebagai POSISI, strategi sebagai PERENCANAAN, strategi

sebagai POLA kegiatan, dan strategi sebagai PENIPUAN (Ploy). Sebagai Perspectif,

dimana strategi dalam membentuk misi, menggambarkan perspectif kepada semua

aktifitas. sebagai posisi, dimana dicari pilihan untuk bersaing, sebagai perencanaan,

dalam hal strategi menentukan tujuan performansi perusahaan, sebagai pola kegiatan,

dimana dalam strategi dibentuk suatu pola, yaitu umpan balik dan penyesuaian. dan

strategi sebagai penipuan yaitu muslihat rahasia.

Dalam bidang manajemen, defenisi mengenai strategi cukup beragam dan

bervariasi dari beberapa ahli dan pengarangnya. Gerry Johnson dan Kevan Scholes

(dalam buku “Exploring Corporate Strategi”) misalnya mendefinisikan strategi

(35)

melalui konfigurasi sumber daya alam dan lingkungan yang berubah untuk mencapai

kebutuhan pasar dan memenuhi harapan pihak yang berkepentingan (stakeholder).

Menurut Iman Mulyana, Strategi adalah ilmu dan seni menggunakan kemampuan

bersama sumberdaya dan lingkungan secara efektif yang terbaik. Terdapat empat unsur

penting dalam pengertian strategi yaitu: kemampuan, sumberdaya, lingkungan, dan

tujuan. Empat unsur tersebut sedemikian rupa disatukan secara rasional dan indah

sehingga muncul beberapa alternatif pilihan yang kemudian dievaluasi dan diambil yang

terbaik. Lantas hasilnya diumumkan secara tersurat sebagai pedoman taktik yang

selanjutnya turun pada tindakan operasional. Rumusan strategi paling tidak mesti

memberikan informasi apa yang akan dilakukan, mengapa dilakukan demikian, siapa

yang bertanggung jawab dan mengoperasionalkan, berapa besar biaya dan lama waktu

pelaksanaan, hasil apa yang akan diperoleh. Akhirnya tidak terlupa keberadaan

strategipun harus konsisten dengan lingkungan, mempunyai alternatif strategi, fokus

keunggulan yang menyeluruh, mempertimbangkan kehadiran resiko, serta dilengkapi

tanggung jawab sosial. Singkatnya strategi yang ditetapkan tidak boleh mengabaikan

tujuan, kemampuan, sumber daya, dan lingkungan. Pengabaian terhadap kualitas maupun

kuantitas salah satunya memastikan dan membuka keberadaan titik serang kompetitor.

Dari berbagai pengertian dan defenisi mengenai strategi, secara umum dapat

didefinisikan bahwa strategi itu adalah rencana tentang serangkaian tindakan, yang

mencakup seluruh elemen yang terlihat maupun yang tidak terlihat, untuk menjamin

(36)

2.2. Efesiensi

Hal yang paling rawan adalah apabila efesiensi diartikan sebagai

penghematan, karena bisa menggangu operasi, sehingga pada gilirannya akan

mengganggu hasil akhir, karena sasarannya tidak tercapai dan produktifitasnya akan

juga tidak setinggi yang diharapkan.

Penghematan sebenarnya hanya sebagian dari efesiensi. Persepsi yang tidak

tepat mengenai efesiensi dengan menganggap semata-mata sebagai penghematan sama

halnya dengan penghayatan yang tidak tepat mengenai program pengurangan biaya

(Cost reduction program), yang sebaliknya dipandang sebagai Program perbaikan biaya

(Cost improvement program) yang berarti mengefektifkan biaya. (Kisdarto, 2002:139)

The Liang Gie dalam rujukan Filsafat Administrasi menyebutkan, Efesiensi

adalah perbandingan terbaik antara suatu kegiatan dengan hasilnya, menurut defenisi

ini, efesiensi terdiri atas dua unsur yaitu kegiatan dan hasil dari kegiatan tersebut.

Kedua unsur ini masing – masing dapat dijadikan pangkal untuk mengembangkan

pengertian efesiensi berikut

a. Unsur kegiatan yaitu suatu kegiatan dianggap mewujudkan efesiensi kalau suatu

hasil tertentu tercapai dengan kegiatan terkecil. Unsur kegiatan terdiri dari lima

sub unsur, yaitu pikiran, tenaga, bahan, waktu dan ruang.

b. Unsur hasil yaitu suatu kegiatan dianggap mewujudkan efesiensi kalau dengan

suatu kegiatan tertentu mencapai hasil yang terbesar, unsur hasil terdiri dari dua

(37)

Efesiensi merupakan sebuah konsep yang bulat pengertiannya dan utuh

jangkauannya. Hal ini berarti bagi efesiensi tidak tepat dibuat tingkat-tingkat

perbandingan derajat, seperti ”lebih efisien” atau ”paling efesien”. Efesiensi adalah

perbandingan terbaik diantara dua unsur kegiatan dan hasilnya. Oleh karena itu

tidaklah mungkin dikatakan perbandingan yang ”lebih” atau ”paling” terbaik.

Kemungkinannya adalah efisiensi dan nonefisiensi.

2.3. Birokrasi

Birokrasi seringkali memiliki makna ganda yang berbeda, pertama ia selalu

dikaitkan dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayananan – pelayanan

pemerintah, seperti kelambanan, kekakuan, pungli, dan korupsi. Ini terjadi karena

persepsi masyarakat mengenai birokrasi sebagai salah satu sumber pelayanan publik

pada umumnya cenderung negatif, namun disamping makna yang negatif itu,

birokrasi sebenarnya memiliki makna yang lain. Birokrasi sebagaimana dijelaskan

oleh Weber, adalah suatu organisasi modern yang memiliki struktur tertentu, seperti

hirarkhi, spesialisasi, impersonalitas, dan formalisasi yang memungkinkan ia bekerja

secara efisien dan efektif,. Namun karena dalam banyak kasus birokrasi publik sering

kali gagal dalam memberi pelayanan yang efisien dan adil kepada masyarakat maka

makna yang pertama itu yang kemudian dominan dalam masyarakat.

Perlu diberikan penjelasan terhadap adanya kesalah pahaman umum bahwa

(38)

informasi tertentu dikirim dari pejabat satu kepada pejabat yang lain, tanpa mendapat

informasi yang diinginkan. Demikian pula keharusan pengisian formulir-formulir

dalam enam lembar atau lebih. Sehingga birokrasi dihubungkan dengan

kemacetan-kemacetan administrasi atau tidak adanya efesiensi. Padahal pengertian birokrasi

yang sebenarnya bukan itu. Birokrasi dimaksud untuk mengorganisir secara teratur

suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe

dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif

yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari

banyak orang. Dalam perumusan lain dikemukakan bahwa birokrasi adalah tipe

organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai

tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan

khususnya oleh aparatur pemerintah (Tjokroamidjoyo, Bintoro, 1988).

Menurut (Blau dan Page, 1956) birokrasi justeru untuk melaksanakan

prinsip-prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efesiensi administratif, biarpun

kadangkala dalam pelaksanaannya birokratisasi akibatnya seringkali malahan kurang

adanya efesiensi.

Istilah birokrasi pertama kali diperkenalkan oleh max Weber, sosiolog

Jerman. Birokrasi merujuk pada hubungan rasional sekelompok orang untuk

mencapai tujuan tertentu. Dalam wujud konkritnya, hubungan tersebut terwadahi

dalam organisasi. Melalui organisasi sekelompok orang berkumpul dan bersepakat

(39)

Agar hubungan antar orang dalam organisasi tersebut berjalan efektif

sehingga tujuan bisa dicapai secara efektif dan efisien, maka hubungan tersebut harus

diatur secara rasional. Pertama, hubungan tersebut harus diatur dalam bentuk

peraturan. Dengan peraturan yang jelas maka peran yang dimainkan seseorang dalam

organisasi, wewenang dan batas-batasnya jelas. Kedua, harus dibuat tata jenjang

hirarki dan tingkat kewenangan. Ini berarti bahwa ada tata jenjang tingkat atas dan

tingkat bawah. Yang berada pada tingkat atas mempunyai kewenangan dan

mengendalikan tingkat bawahnya. Ketiga, harus didasarkan pada dokumen-dokumen

tertulis. Keempat, orang yang menduduki jabatan dalam organisasi tersebut harus

orang yang terlatih, Kelima, hubungan kerja di antara orang-orang dalam organisasi

didasarkan pada hubungan impersonal: tak mendasarkan pada hubungan-hubungan

yang bersifat pribadi seperti belas kasih, tak tega, kasihan, dan lain-lain karena

saudara / keluarga / teman baik.

Birokrasi lokal yaitu organisasi pemerintahan daerah yang menyelenggarakan

kegiatan pemerintahan daerah untuk mencapai tujuan negara pada lingkup daerah.

Birokrasi lokal terdiri atas kepala daerah beserta aparaturnya. Pada daerah Pemkab

dan kota berarti Bupati/walikota dan aparaturnya sekretaris daerah dan bawahannya,

kepala dinas dan bawahannya, kepala kantor dan bawahannya, kepala badan dan

bawahannya, camat dan bawahannya, lurah dan bawahannya, dan direktur BUMD

(40)

Semua aparatur pemerintah daerah diluar kepala daerah yang duduk dalam

birokrasi lokal disebut birokrat lokal. Para birokrat lokal bekerja atas dasar sistem

merit, yaitu kecakapan dan keahlian.

Birokrasi lokal merupakan konsekuensi kebijakan desentralisasi yang

melahirkan otonomi daerah. Dengan desentralisasi/otonomi daerah maka lahirlah

daerah otonomi yaitu daerah yang berhak mengatur dan mengurus kepentingannya

sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Disebut birokrasi lokal karena organisasi

birokrasi ini berada dibawah pemerintahan lokal (daerah).

Kedudukan dan tugas pokok birokrasi lokal sebagai pelaksana kebijakan

pemerintah daerah, baik yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan

maupun pemerintah pusat. Sedangkan fungsinya adalah memberikan pelayanan

publik demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah yang bersangkutan.

Dalam hal memberikan pelayanan publik, sesuai dengan lima prinsip konsep

birokrasi Max Weber, maka birokrasi lokal harus profesional dalam memberikan

pelayanan publik, yang mencakup pelayanan publik, pembangunan infrastruktur

ekonomi, dan penciptaan ketentraman, ketertiban dan keamanan masyarakat.

Ciri-ciri utama dari struktur birokrasi didalam tipe idealnya menurut Max

Weber adalah sebagai berikut:

(41)

2. Pengorganisasian jabatan-jabatan mengikuti prinsip hirarki, yaitu jabatan yang lebih rendah berada dibawah pengawasan atau pimpinan dari pada jabatan yang lebih atas. Setiap pejabat didalam hirarki administratif ini dapat diminta pertanggungan jawabnya oleh atasannya mengenai keputusan atau kegiatan pejabat yang dibawah pimpinannya itu. Supaya ia dapat memimpin bawahan, seorang mempunyai kewenangan atas bawahan tersebut, yaitu mempunyai hak untuk mengeluarkan petunjuk/instruksi dan bahwa atas kewenangan itu, bawahan diminta kesediaannya untuk menuruti. Kewenangan tersebut hanyalah terbatas kepada pemberian petunjuk/instruksi yang relevan dengan tugas atau fungsi jabatan. Penggunaan dari prerogatif status untuk memperluas kekuasaan terhadap bawahan tidak dibenarkan karena tidak sesuai pelaksanaan kewenangan birokratis yang sah (legitimate).

3. Operasi-operasi atau pelaksanaan kegiatan, dikendalikan oleh suatu sistem peraturan yang konsisten dan pelaksanaan dari pada peraturan-peraturan ini terhadap kejadian atau kasus-kasus tertentu. Sistem dari standar ataupun peraturan-peraturan ini dimaksudkan untuk menjamin adanya keseragaman pelaksanaan setiap tugas dan kegiatan, tanpa melihat jumlah orang yang terlibat didalamnya, serta untuk koordinasi berbagai tugas. Peraturan atau tata cara tersebut juga memberikan pembatasan wilayah tanggung jawab setiap anggota organisasi dan hubungan antar mereka. Pelaksanaan kegiatan yang mendasarkan diri kepada peraturan atau standar-standar tersebut dipakai untuk jabatan di tingkat bawah yang bersifat rutin, tetapi juga untuk jabatan-jabatan tinggi ada standar untuk menjadi dasar pelaksanaan kegiatannya. 4. Pejabat yang ideal dalam sesuatu birokrasi melaksanakan kewajiban didalam

semangat formil non pribadi. Artinya tanpa perasaan simpati atau tidak simpati. Supaya standar-standar rasional dapat berjalan dalam pelaksanaan kegiatan tanpa gangguan pertimbangan yang bersifat pribadi, maka suatu pendekatan yang non pribadi harus berlaku didalam suatu organisasi dan terutama kepada pelanggan. Dengan menghilangkan pertimbangan yang bersifat pribadi didalam urusan jabatan berarti suatu pra kondisi untuk sikap tidak memihak dan juga untuk efisiensi. Dan sebetulnya hal ini adalah untuk keuntungan mereka yang dilayani. Dengan sikap pelayanan yang sama berarti juga membina demokrasi dalam administrasi.

(42)

6. Pengalaman menunjukkan bahwa tipe birokrasi yang murni dari suatu organisasi administrasi dilihat dari penglihatan teknis akan dapat memenuhi efisien tingkat tertinggi. Mekanisme birokrasi yang berkembang sepenuhnya akan lebih efisien dari pada organisasi yang tidak seperti itu atau yang tidak jelas birokrasinya. Birokrasi memecahkan masalah organisasi yang utama, yaitu memaksimalkan efisiensi organisasi dan bukan dari masing-masing anggota organisasi tersebut. Untuk inilah maka diperkembangkan spesialisasi dan pengadaan serta penempatan kerja pegawai atas dasar kualifikasi teknis.

2.4. Pemerintahan Daerah

Secara politis, desentralisasi dalam pengertian devolusi dilakukan untuk

memenuhi tuntutan golongan minoritas yang menuntut otonomi dalam wilayahnya.

Makin tinggi praktek-praktek diskriminasi, akan makin kuat menciptakan tuntutan

akan otonomi. Tuntutan tersebut ditujukan agar golongan minoritas dapat menikmati

hak-hak yang sama dengan yang dinikmati oleh golongan mayoritas. Di berbagai

belahan dunia, desentralisasi juga dipakai sebagai suatu alat untuk meredam gejolak

politik yang ditimbu!kan oleh golongan separatis. Dari situasi ini muncullah

kebutuhan untuk mendesentralisasikan sebagian kewenangan pemerintah dalam

konotasi politik maupun administratif. Dalam konteks ini timbul kebutuhan membuat

kebijakan membentuk unit pemerintahan lokal, dengan kewenangan-kewenangan

yang berkarakter lokal, dengan suatu asumsi bahwa masyarakat setempatlah yang

paling tahu persoalan-persoalan yang dihadapinya dan cara-cara untuk memecahkan

persoalan tersebut secara efektif. Oleh karena itu keberadaan pemerintahan sendiri di

tingkat daerah adalah sangat penting untuk artikulasi kepentingan rakyat daerah yang

(43)

Secara tradisional, argumen keberadaan pemerintah daerah lebih

dititikberatkan pada kepentingan untuk mengetahui kondisi daerah untuk menangani

persoalan-persoalan daerah secara lebih efektif. Tujuan lainnya adalah bahwa dengan

adanya pemerintah daerah akan memungkinkan adanya interaksi yang efektif antara

rakyat dengan wakil-wakilnya ataupun dengan birokrasi pemerintah daerah.

Hoessein menjelaskan bahwa konsep Pemerintahan Daerah (local

Government) dapat mengandung tiga arti. Pertama, berarti pemerintah lokal. Kedua, berarti pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal. Ketiga, berarti

daerah otonom. Local Government pada arti pertama menunjuk pada lembaga atau

organnya. Maksudnya local Government adalah organ/badan/organisasi pemerintah di

tingkat daerah atau wadah yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di daerah.

Local Government dalam arti kedua menunjuk pada fungsi/kegiatannya. Dalam arti ini local Government sama dengan pemerintahan daerah. Dalam konteks

Indonesia pemerintahan daerah dibedakan dengan istilah pemerintah daerah.

Pemerintah daerah adalah badan atau organisasi yang lebih merupakan bentuk

pasifnya, sedangkan pemerintahan daerah merupakan bentuk aktifnya. Dengan kata

lain, pemerintahan daerah adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

De Guzman dan Taples, menyebutkan unsur-unsur .pemerintahan daerah

yaitu :

1. Pemerintahan daerah adalah sub divisi politik dari kedaulatan bangsa atau negara

2. Pemerintahan daerah diatur oleh hukum

(44)

penduduk setempat

4. Pemerintahan daerah menyelenggarakan kegiatan berdasarkan peraturan perundangan

5. Pemerintahan daerah memberikan pelayanan dalam wilayah jurisdiksinya.

Hoessein menjelaskan bahwa otonomi daerah berhubungan dengan

pemerintahan daerah otonom (self local-Government). Pemerintahan daerah otonom

adalah pemerintahan daerah yang badan pemerintahannya dipilih oleh penduduk

setempat dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri

berdasarkan peraturan perundangan dan tetap mengakui supremasi dan kedaulatan

nasional.

2.4.1. Desentralisasi

Berdasarkan realitas negara-negara yang ada di dunia Bowman dan Hampton

dalam Oentarto,dkk. berpendapat bahwa tidak ada satupun pemerintah dari suatu

negara dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijaksanaan secara efektif

ataupun dapat melaksanakan kebijaksanaan dan program-programnya secara efisien

melalui sistem sentralisasi. Dari pandangan ini dapat dilihat urgensi kebutuhan akan

pelimpahan ataupun penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat baik dalam

konotasi politis maupun administratif kepada organisasi atau unit diluar pemerintah

pusat itu sendiri. Dalam pengertian yang luas, penyerahan atau pelimpahan sebagian

kewenangan pemerintah pusat tersebut masuk dalam domain kebijakan desentralisasi

Argumen di atas memberikan gambaran bahwa pada hakekatnya otonomi

(45)

distribusi kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah dengan kebijakan desentralisasi. Konsep power sharing tersebut dilakukan

oleh pemerintah mengingat luasnya wilayah negara yang harus dikelola.

Rondinelli dalam Oentarto dkk, mengatakan bahwa desentra!isasi dari arti

luas mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada

pemerintah daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan di

daerah. Dalam hak kewenangan diserahkan kepada pemerintah daerah, kebijakan

tersebut disebut devolusi. Sedangkan kalau kewenangan dilimpahkan kepada

pejabat-pejabat pusat yang ditugaskan di daerah, maka hal tersebut masuk dalam kategori

kebijakan dekonsentrasi.

Sebagai model pertama pelaksanaan devolusi diwujudkan dengan

pembentukan daerah otonom dan pemberian otonomi serta dibentuknya lembaga

daerah seperti pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan

lembaga yang dibentuk dengan kebijakan dekonsentrasi sebagai model kedua, disebut

instansi vertikal dan wilayah kerjanya disebut wilayah administrasi yang dapat

mencakup satu atau lebih wilayah daerah otonom.

Pada umumnya semua negara yang mempunyai wilayah yang luas menganut

kebijakan desentralisasi yang dimanifestasikan dalam bentuk unit pemerintahan

bawahan (sub-national government). Kebijakan desentralisasi ini dilakukan untuk

menjaga agar kegiatan pemerintahan dapat dilakukan secara efektif dan efisien

(46)

Khusus untuk pemahaman di Indonesia, apa yang secara umum dipahami

sebagai devolusi, dalam praktik pemerintahan disebut dengan istilah desentralisasi.

Sedangkan istilah dekonsentrasi dalam praktek di Indonesia tidak mengalami

perubahan pengertian. Dekonsentrasi tetap dipahami sebagai pelimpahan kewenangan

dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat pusat yang ditugaskan di daerah untuk

menjalankan sebagian dari kewenangan pusat yang dilaksanakan di daerah.

Rondinelli menyatakan bahwa desentralisasi secara luas diharapkan untuk

mengurangi kepadatan beban kerja di pemerintah pusat. Program didesentralisasikan

dengan harapan keterlambatan-keterlambatan dapat dikurangi. Juga diperkirakan

desentralisasi akan meningkatkan pemerintah menjadi lebih tanggap pada tuntutan

dan kebutuhan masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dan

kuantitas pelayanan pemerintah pada rakyatnya. Desentralisasi sering juga

dimaksudkan sebagai cara untuk mengelola pembangunan ekonomi secara lebih

efektif dan efisien.

Dilain pihak desentralisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan

kemampuan aparat pemerintah dan memperoleh informasi yang lebih baik mengenai

keadaan daerah, untuk menyusun program-program daerah secara lebih responsif dan

untuk mengantisipasi secara cepat manakala persoalan.-persaoalan timbul dalam

pelaksanaan.

Secara ekonomis desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi yang terlihat dari

(47)

pemerintah daerah. Desentralisasi merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat yang beragam atas barang dan jasa publik sesuai dengan kekhususan

wilayahnya. Sebagai contoh, pemerintah daerah menyediakan fasilitas-fasilitas

pariwisata untuk daerah dengan potensi pariwisata yang dominan. Secara ekonomis

desentralisasi dapat mengurangi biaya dan meningkatkan pelayanan pemerintah

karena mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, dan secara efektif memanfaatkan

sumber daya manusia.

Atas dasar berbagai argumen tersebut, maka dapat disimpulkan adanya dua

tujuan utama dari kebijakan desentralisasi. Pertama adalah tujuan politis yang

ditujukan untuk menyalurkan partisipasi politik masyarakat daerah dalam usaha

menggalang stabilitas politik nasional. Kedua adalah tujuan administratif dan

ekonomis yaitu untuk meyakinkan bahwa pembangunan telah dilaksanakan secara

efektif dan efisien di daerah-daerah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan

sosial masyarakat.

2.4.2. Otonomi Daerah

Otonomi mempunyai arti pemerintah sendiri dimana auto berarti sendiri dan

nomes berarti pemerintahan. Lebih spesifik lagi Manan mengemukakan bahwa

otonomi mengandung arti “kemandirian” untuk mengatur dan mengurus urusan

rumah tangganya sendiri dimana beliau mendefinisikan sebagai “Kebebasan dan

(48)

secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi otonomi”. Perlu ditekankan kembali disini bahwa arti kebebasan dan kemandirian disini adalah dalam arti ikatan kesatuan yang lebih besar.

Menurut Pide, pada dasarya penyelenggaraan azas desentralisasi akan

menghasilkan “daerah otonomi”, sedangkan urusan yang diserahkan kepada daerah

otonom yang menjadi hak atau kewenangannya di sebut “otonomi daerah” atau

otonomi saja.

Daerah yang menerima penyerahan wewenang dari pusat dengan cara

desentralisasi atau devolusi menjadi daerah otonom. Daerah ini disebut daerah

otonom karena penduduknya berhak mengatur dan mengurus kepentigannya

berdasarkan prakarsanya sendiri. Maksudnya daerah tersebut memiliki kebebasan

untuk mengatur dan mengurusi urusan-urusan rumah tanggannya (kepentingannya

sendiri) yang diperbolehkan oleh undang-undang tanpa mendapat campur tangan

langsung dari pemerintah pusat. Di sini posisi pemerintah pusat hanya mengarahkan,

mengawasi, dan mengendalikan agar penyelenggaraan otonominya tetap dalam

koridor peraturan perundang-undangan yang diterapkan

Contoh daerah otonom (local self Government) adalah Pemkab dan kota.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pemkab dan Kota berdasarkan asas desentralisasi. Dengan digunakannya asas

(49)

otonom penuh. Hal ini berbeda dengan status Pemkab dan kota di bawah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Di

bawah undang-undang ini Pemkab dan kota, disamping sebagai daerah otonom juga

sebagai daerah/wilayah administrasi atau local state Government.

Perbedaan antara daerah otonomi dengan otonomi daerah adalah daerah

otonomi menunjuk pada daerah/tempat (geografi) sedangkan otonomi daerah

menunjuk pada isi otonomi atau kebebasan masyarakat. Charles Eisenmann

menjelaskan bahwa otonomi adalah kebebasan untuk membuat keputusan sendiri

dengan tetap menghormati perundang-undangan. Sementara The Liang Gie

menjelaskan otonomi adalah wewenang untuk menyelenggarakan kepentingan

sekelompok penduduk yang berdiam dalam suatu lingkungan wilayah tertentu yang

mencakup mengatur, mengurus, mengendalikan, dan mengembangkan berbagai hal

yang perlu bagi kehidupan penduduk. Jadi, otonomi adalah hak yang diberikan

kepada penduduk yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu untuk mengatur,

mengurus, msngendalikan, dan mengembangkan urusannya sendiri dengan tetap

menghormati peraturan perundangan yang berlaku.

2.4.3. Pemerintahan Bercorak Wirausaha 2.4.3.1. Entrepreneur dan Entrepreneurship

Kajian mengenai pemerintahan berjiwa wirausaha tidak bisa dilepaskan dari

pembahasan kewirausahaan dalam pengertian atau sudut pandang bisnis sebagai

(50)

Istilah ”entrepreneur” berasal dari perkataan bahasa Perancis dan secara

harfiah berarti perantara (Bahasa Inggris: Between-taker atau go-between). Pada

akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 para entrepreneur seringkali tidak

dibedakan dengan kelompok manajer dan kelompok pengusaha terutama dipandang

dari sudut perspektif ekonomi. Pada pertengahan abad ke-20. muncullah pandangan

tentang seorang entrepreneur sebagai seorang inovator/orang yang menemukan

hal-hal baru (Winardi, 2003:2-3).

Schumpeter seorang ekonom yang banyak melakukan penelitian-penelitian

tentang entrepreneur, mengemukakan (Winardi, 2003:3) :

“Fungsi para entrepreneur adalah mengubah atau merevolusionerkan pola produksi dengan jalan memanfaatkan sebuah penemuan baru (invention) atau secara !ebih umum, sebuah kemungkinan teknogikal untuk memproduksi sebuah komoditi baru, atau memproduksi sebuah komoditi lama dengan cara baru, membuka sebuah sumber suplai bahan-bahan baru, atau suatu cara penyaluran baru (ingat saluran distribusi dalam kegiatan pemasaran), atau mereorganisasi sebuah industri baru”.

Mengenai siapa yang layak disebut sebagai entrepreneur, Drucker

menisbatkannya kepada seorang yang mampu mengalihkan sumber-sumber daya dari

daerah-daerah yang menghasilkan hasil rendah atau hasil-hasil yang sedang

menyusut, ke bidang-bidang yang memberikan hasil tinggi, atau yang meningkat. Ia

perlu memangkas masa lampau dan ia perlu melepaskan apa yang berlaku. Ia harus

menciptakan hari esok (Winardi, 2003:13). Drucker menekankan pada bahwa

sumber-sumber daya harus dialokasikan ke peluang-peluang bukan masalah-masalah,

(51)

pekerjaan entrepreneurial. Ia mengimplikasikan bahwa efektivitas dan bukanlah

efisiensi bersifat esensial di lingkungan bisnis.

Menurut Schermerhorn dalam Winardi (2003:16-17), ada sejumlah

karakteristik tipikal entepreneur yang antara lain mencakup:

a. Lokus pengendalian internal: para entrepreneur beranggapan bahwa mereka

berkemampuan untuk mengendalikan nasib mereka sendiri, mereka mampu

mengarahkan diri mereka, dan mereka menyukai otonomi.

b. Tingkat energi tinggi: para entrepreneur merupakan manusia yang persisten, yang

bersedia bekerja keras, dan mereka bersedia untuk berupaya ekstra untuk meraih

keberhasilan.

c. Kebutuhan tinggi akan prestasi: para entrepreneur termotivasi untuk bertindak

secara individual untuk melaksanakan pencapaian tujuan-tujuan yang menentang.

d. Toleransi terhadap ambiguitas: para entrepreneur merupakan manusia yang

bersedia menerima resiko; mereka mentoleransi situasi-situasi yang menunjukkan

tingkat ketidakpastian tinggi.

e. Kepercayaan diri : para entrepreneur merasa diri kompeten, dan mereka yakin

akan diri mereka sendiri, dan mereka bersedia mengambil keputusan-keputusan.

f. Berorientasi pada action: para entrepreneur berupaya agar mereka bertindak

mendahului munculnya masalah-masalah, mereka ingin menyelesaikan

tugas-tugas mereka secepat mungkin dan mereka tidak bersedia menghamburkan waktu

(52)

Pengertian entrepreneurship oleh Hisrich didefinisikan sebagai proses di

mana diciptakan sesuatu yang berbeda, dan yang bernilai, melalui pengorbanan

waktu, dan upaya yang diperlukan di mana orang yang bersangkutan menerima resiko

finansial-psikologikal dan sosial, untuk mana ia menerima imbalan moneter dan

kepuasan pribadi (Winardi, 2003:164).

Schumpeter melukiskan entrepreneurship sebagai sebuah proses dan para

entrepreneur dianggapnya sebagai inovator yang memanfaatkan proses tersebut untuk menghancurkan kondisi status quo melalui kombinasi-kombinasi baru

sumber-sumber daya metode-metode perniagaan baru (Winardi, 2003:14)

Adapun pandangan modern tentang entrepreneurship menerima kenyataan

bahwa individu-individu memainkan peranan maha penting dalam hal

mengintroduksi perubahan inovatif, dan bahwa pertumbuhan serta pengembangan

muncul karena perubahan konstruktif, dan bahwa birokrasi-birokrasi yang stagnan,

perlu diganti dengan organisasi-organisasi entrepreneurial yang terdesentralisasi, adaptif serta kreatif (Winardi, 2003:14)

Menurut Schermerhorn, entrepreneurship merupakan perilaku dinamik, menerima

risiko, kreatif serta yang berorientasi pada pertumbuhan. Seorang entrepreneur merupakan

seorang individu yang menerima resiko, dan yang melaksanakan tindakan-tindakan untuk

mengejar peluang-peluang da!am situasi dimana pihak lain tidak melihatnya atau

merasakannya, bahkan ada kemungkinan bahwa pihak lain tersebut menganggapnya

(53)

Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa entrepreneurship adalah sebuah

proses (penerimaan/sebuah ide dan menginvensi sebuah organisasi guna

mengembangkan ide tersebut) dan para entrepreneur merupakan inovator yang

memanfaatkan proses tersebut sebagai alat untuk menghancurkan kondisi status Quo

melalui kombinasi-kombinasi baru, sumber-sumber daya dan metoda-metode baru

dalam bidang perniagaan. la juga berusaha mengalihkan sumber-sumber daya dari

daerah-daerah yang menghasilkan hasil rendah atau hasil-hasil yang sedang

menyusut, ke bidang-bidang yang memberikan hasil tinggi, atau yang meningkat.

Entrepreneur memiliki karakteristik tertentu yang kebanyakan dinilai positif, juga menunjang pencapaian sasarannya.

Hal lain yang cukup penting adalah saat ini telah mulai digunakan cara

pandang bahwa selain entrepreneurship menerima kenyataan bahwa

individu-individu memainkan peranan maha penting dalam hal mengintroduksi perubahan

inovatif, juga dalam kaitannya dengan birokrasi bahwa birokrasi-birokrasi yang

stagnan, perlu diganti dengan organisasi-organisasi entrepreneurial yang

terdesentralisasi, adaptif serta kreatif

Dengan pertimbangan di atas maka bisa dikatakan bahwa seorang birokrat

dapat pula bertindak sebagai seorang entrepreneur.

2.4.3.2. Makna “Pemerintahan Wirausaha”

Pada Tahun 1992 Osborn dan Gaebler sempat menggemparkan public

Gambar

Tabel 1. Penetapan Informan berdasarkan Informasi yang Dicari  Informasi yang ingin diperoleh Informan Jumlah
Tabel 2. Jumlah Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe Kecamatan Jumlah Desa / Kelurahan
Tabel 5. Kondisi Jalan Raya dalam Wilayah Kota Lhokseumawe Panjang (KM)
Tabel 6. Kondisi Jembatan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe Panjang (M)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas pegawai dapat dinilai dari pendidikan dan pelatihan, sarana prasarana, kompensasi yang diterima serta promosi masing-masing pegawai, menarik perhatian penulis untuk

Namun anggaran yang dimiliki dinas pemberdayaan perempuan menurut ibu yulia sudah memenuhi dalam program pengarustamaan gender, tetapi program pengarustamaan gender tersebut

Namun anggaran yang dimiliki dinas pemberdayaan perempuan menurut ibu yulia sudah memenuhi dalam program pengarustamaan gender, tetapi program pengarustamaan gender tersebut

proses dan partisipasi dalam program yang telah dikerjakan, bahkan rakyat sendiri Anggaran yang mempunyai keterpihakan kepada masyarakat, agar masyarakat2. terlepas dari

Organisasi perangkat daerah pemerintah Kota Lhokseumawe yang didasarkan pada undang-undang nomor 2 tahun 2001 tentang pembentukan Kota Lhokseumawe dan pembentukan organisasi

Kalau bebicara tentang anggaran ketika pemerintah berkomitmen harus di ikutin dengan anggaran yang berpihak juga, dan prasaranan dan saranan harus di buat dengan sebaik

instrumen kebijakan baru sebagai hasil dari perubahan kebijakan. Jika dikaitkan dengan inovasi ini, dapat dilihat dari segi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah

Selain itu, pada masa Sultan Buton IV (1597-1631), terjadi perubahan yang signifikan dalam tradisi dan sistem sosial budaya masyarakat Buton yang ditandai dengan lahirnya