i
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEREKRUTAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) YANG TIDAK MEMENUHI
PERSYARATAN UMUR
(Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/PTTK)
Oleh
YOGA PRATAMA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEREKRUTAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) YANG TIDAK MEMENUHI
PERSYARATAN UMUR
(Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/PTTK)
Oleh
YOGA PRATAMA
Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia harus dilaksanakan secara optimal, sebab jika tidak TKI dapat berpotensi dijadikan sebagai obyek perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap perekrutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/ PTTK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana terhadap perekrutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur dalam perkara Nomor 75/Pid/2009/ PTTK?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan responden penelitian yaitu anggota Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Yoga Pratama
2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku perekrutan Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan umur dalam Putusan Pengadilan Nomor: 75/Pid/2009/PTTK adalah didasarkan pada keseimbangan antara kepentingan pelaku, korban dan keadilan, sehingga hakim menjatuhkan pidana berupa penjara selama 1 tahun kepada pelaku tindak pidana perekrutan terhadap TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur, yang bertujuan untuk memberikan efek jera dan pelaku tidak mengulangi perbuatannya, membebaskan rasa bersalah pada terdakwa dan memenuhi aspek keadilan bagi pelaku, korban maupun bagi masyarakat.
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pertanggungjawaban pidana dalam bentuk pemidanaan pelaku tindak pidana perekrutan TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur hendaknya dilaksanakan secara optimal dalam rangka memberikan efek jera kepada pelaku dan agar tidak terjadi lagi perekrutan TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur pada masa mendatang. (2) Aparat penegak hukum dan instansi terkait hendaknya menyelenggarakan penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang tinggal di daerah pedesaan/ pedalaman sehingga mereka memiliki pemahaman mengenai syarat untuk menjadi TKI dan tidak mudah tertipu oleh agen atau sponsor dari perusahaan perekrutan TKI yang banyak mencari calon TKI di desa-desa.
DAFTAR ISI
I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 16
II TINJAUAN PUSTAKA ... 18
A. Pertanggungjawaban Pidana ... 18
B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara ... 23
C. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 26
D. Tindak Pidana Perekrutan TKI Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Umur ... 29
III METODE PENELITIAN ... 31
A. Pendekatan Masalah ... 31
B. Sumber dan Jenis Data ... 31
C. Penentuan Populasi dan Sampel... 33
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34
E. Analisis Data ... 35
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36
A. Karakteristik Responden ... 36
Persyaratan Umur (Putusan Pengadilan Nomor 75/Pid./2009/
PT.TK) ... 51
V PENUTUP ... 61
A. Kesimpulan ... 61
B. Saran ... 62
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) saat ini terus
menjadi sorotan. TKI sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk
penjualan organ tubuh, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan,
kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta
perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
Kasus yang menimpa TKI tersebut merupakan hal yang ironis karena negara tidak
melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri. Pihak-pihak yang terkait
dengan urusan TKI saling melempar tanggungjawab dalam melakukan
perlindungan TKI. Berbagai kasus tersebut terjadi tidak lepas dari kesalahan
penyelenggara TKI sejak awal. Pada umumnya, pelanggaran yang sering
dilakukan perusahaan penyelenggara TKI adalah fasilitas penampungan dan
pelatihan yang tidak layak, tidak memberi kepastian pemberangkatan dan
menahan calon TKI selama masa pendidikan, pemalsuan sertifikat pelatihan TKI,
pemalsuan umur calon TKI, serta manipulasi hasil rekam medis dan kelengkapan
dokumen diri lainnya yang tidak sesuai dengan data asli dan nyata dari calon TKI.
Pemerintah dan DPR telah mengupayakan upaya untuk penempatan dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI.
Pemerintah dan DPR juga telah meratifikasi konvensi internasional seperti ILO
Convention Nomor 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa melalui Undang
Undang Nomor 19 Tahun 1999, ratifikasi ILO Convention Nomor 111 mengenai
Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan melalui Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1999, ratifikasi ILO Convention Nomor 138 mengenai Usia Minimum
untuk Diperbolehkan Bekerja melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999,
dan ratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja.1
Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, atau yang dikenal sebagai
Konvensi Buruh Migran 1990. Pemerintah juga pernah melakukan moratorium
pengiriman TKI ke luar negeri untuk membatasi jumlah TKI dan dalam rangka
perlindungan TKI serta pemberian peringatan kepada negara pengguna TKI untuk
memperhatikan nasib TKI. Namun, karena kebutuhan akan lapangan kerja yang
kurang tersedia di Indonesia, maka pemerintah mencabut moratorium tersebut.
Pada 2006, Presiden juga pernah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6
Tahun 2006 Tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia.2
Presiden menginstruksikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Luar Negeri,
Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Menteri Perhubungan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Menteri Kesehatan, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Menteri Negara
1
Dian Indah Savitri. Mewujudkan Perlindungan TKI yang Bermartabat. Yayasan Obor. Jakarta. 1986. hlm. 3
2
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, para Gubernur, dan para Bupati/Walikota untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan
masing-masing, dalam rangka pelaksanaan Kebijakan Reformasi Sistem
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Berbagai langkah tersebut selaras peran TKI yang sangat besar dalam
menyumbang devisa negara. Remitansi (pengiriman uang) TKI sepanjang tahun
2011 tercatat berjumlah 6,11 US$ miliar atau setara dengan Rp53,36 trilyun
rupiah dengan nilai tukar kurs sebesar Rp9200. Jumlah kiriman pahlawan devisa
ini yang tercatat di Bank Indonesia di luar kiriman langsung dari TKI, baik
melalui jalur perorangan maupun melalui lembaga keuangan non bank. 3
Penempatan dan perlindungan TKI harus mendapat perhatian serius dari negara,
terutama dari Pemerintah, karena Pemerintah bertugas mengatur, membina,
melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan
TKI di luar negeri. Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI diharapkan
dapat memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi, menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negari, di
negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal di Indonesia, dan meningkatkan
kesejahteraan TKI dan keluarganya.
Penempatan TKI merupakan awal mula proses pengiriman TKI. Penempatan yang
baik akan menghasilkan perlindungan TKI yang baik. Penempatan TKI adalah
kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan
3
kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan
proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan,
persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan
pemulangan dari negara tujuan.
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap warga negara Indonesia yang
memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka
waktu tertentu dengan menerima upah. Pelaksana penempatan TKI di luar negeri
terdiri dari Pemerintah, Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS), dan
perusahaan untuk kepentingan perusahaan sendiri. Sementara itu, pengguna jasa
TKI adalah instansi pemerintah, badan hukum pemerintah, badan hukum swasta,
dan/atau perseorangan di negara tujuan yang mempekerjakan TKI.
Penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah hanya dapat dilakukan atas dasar
perjanjian secara tertulis antara pemerintah dengan pemerintah negara pengguna
TKI atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan. Sementara itu, PPTKIS
dilakukan oleh perusahaan yang mendapat izin tertulis berupa Surat Izin
Pelaksana Penempatan TKI (SIPPTKI) dari Menteri.
Siapapun dilarang menempatkan calon TKI/TKI pada jabatan dan tempat
pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan serta
peraturan perundangundangan, baik di Indonesia maupun di negara tujuan atau di
negara tujuan yang telah dinyatakan tertutup untuk pengiriman Calon TKI/TKI.
Atas pelanggaran tersebut, pelanggarnya dapat dikenakan sanksi administratif
dan/atau sanksi pidana. Ancaman sanksi pidana berupa penjara paling singkat 2
2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).
Penempatan TKI dimulai dari kegiatan pra penempatan TKI, yang meliputi
pengurusan Surat Izin Pengerahan (SIP), perekrutan dan seleksi, pendidikan dan
pelatihan kerja, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pengurusan dokumen, uji
kompetensi. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses perekrutan
TKI, khususnya dalam dokumen calon TKI yang akan dipekerjakan pada pihak
perseorangan adalah umur minimal harus mencapai 21 tahun, sebagaimana diatur
Pasal 103 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun pada
kenyataannya pihak perusahaan yang merekrut calon TKI seringkali mengabaikan
persyaratan batas minimal usia ini dengan melakukan pemalsuan terhadap data
calon TKI. 4
Salah satu contoh perkara yang terkait dengan perekrutan TKI di bawah umur
adalah dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor:75/Pid./2009/
PT.TK. Terdakwa bernama Ismail (32 Tahun) sebagai Karyawan PT.Assalam
Karya Manunggal melakukan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 103 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Kronologisnya berawal ketika Sri Sukamti, SE. (Terdakwa dalam berkas terpisah)
selaku sponsor TKI ada merekrut korban yaitu saksi Resty Aryani dan membawa
korban ke PT.Assalam Karya Manunggal (PT. AKM) untuk menjadi Tenaga
4
Kerja Indonesia sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia, pada saat itu korban
masih berumur 18 (delapan belas) tahun. Supaya korban dapat diberangkatkan, Sri
Sukamti,SE telah merubah tahun kelahiran korban dari tahun 1989 menjadi tahun
1986 pada dokumen-dokumen korban yang diserahkan ke PT. AKM yaitu Kartu
Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan Akte Kelahiran korban.
Dengan tahun kelahiran yang telah dirubah seolah-olah korban telah berumur 21
(dua puluh satu) tahun.
Menyatakan terdakwa Ismail telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Dengan sengaja memberi bantuan perekrutan calon
tenaga kerja indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan yaitu berusia
sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun atau kecuali bagi calon tenaga kerja
indonesia (TKI) yang akan dipekerjakan pada perseorangan sekurang-kurangnya
berusia 21 tahun”. Sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 103 ayat (1)
huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Jo. Pasal 56 ayat (1) KUHP.
Mejelis Hakim telah menjatuhkan putusan yang amarnya menyatakan terdakwa
Ismail, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Membantu melakukan perekrutan calon TKI yang tidak memenuhi
persyaratan umur” dan Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun, sebagai bentuk pertanggungjawaban
pidananya.
Perkara tersebut menunjukkan adanya permasalahan, yaitu kesenjangan antara
putusan hakim yang menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa perekrutan
calon TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur selama 1 tahun dengan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. l.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Putusan tersebut menunjukkan bahwa hukuman yang dijatuhkan terhadap
terdakwa belum optimal.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian dalam Skripsi yang
berjudul: Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Perekrutan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Umur (Studi Putusan
Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/PTTK).
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap perekrutan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur berdasarkan Putusan
Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/ PTTK?
b. Apakah dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana terhadap perekrutan
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur dalam
perkara Nomor 75/Pid/2009/ PTTK?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian dalam skripsi ini adalah kajian ilmu hukum pidana,
khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap
berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/
PTTK. Ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun 2013 dan ruang lingkup
lokasi penelitian adalah di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.
C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap perekrutan Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur berdasarkan
Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/ PTTK
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana terhadap
perekrutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan
umur dalam perkara Nomor 75/Pid/2009/ PTTK
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak perekrutan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi aparat penegak hukum
sebagai bahan pertimbangan dalam proses pemidanaan terhadap pelaku tindak
umur. Selain itu diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak yang akan
melakukan penelitian dengan kajian mengenai pertanggungjawaban pidana.
D.Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya yang bertujuan
untuk mangadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap
relevan oleh peneliti.5
a. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang
melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan
sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan
pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila
ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu
melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan
normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.6
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi
menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam hukum pidana terdapat dua teori
kesengajaan sebagai berikut:
5
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. 1986. hlm. 124
6
(1) Teori kehendak (wilstheorie)
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang
(2) Teori pengetahuan (voorstelling)
Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkan. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat. 7
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang
didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang
didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas
legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip
bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam
beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti
(vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability).
Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus
mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu
kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).
1. Kesengajaan (opzet)
Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam,
yaitu sebagai berikut:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
7
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya8
2. Kemampuan bertanggungjawab
Kemampuan seseorang untuk bertanggungjawab merupakan dasar
pertanggungjawaban pidana, yaitu terdakwa memiliki kemampuan untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya yang melawan hukum. Kemampuan
ini berkaitan dengan keadan fisik dan psikis si pelaku yang berhubungan
dengan kelakuannya yaitu perbuatannya disengaja lalai.9
3. Tidak ada alasan pemaaf pembenar dan pemaaf
Tidak ada alasan pemaaf maksudnya adalah perbuatan terdakwa tidak dapat
dimaafkan oleh pihak yang dirugikan dalam perbuatan tersebut, tidak ada alas
an pembenar yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa
masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error fact)
maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf
sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan
secara hukum 10
8
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46
9
Ibid. hlm. 48
10
b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh
menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal
183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b).
Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal
yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)11
Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan
tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya
(unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga
apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat 3
KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.12
Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim
dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu13:
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.
11
Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11
12
Ibid. hlm. 11
13
Adapun beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim
dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
(1) Teori keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa. (2) Teori pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.14
Teori lain yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim, yaitu dalam
mengadili pelaku tindak pidana, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan
dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum,
maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan
dituntut untuk memenuhi teori-teori sebagai berikut:
a. Teori koherensi atau kosistensi
Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain. Atau, saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain (alat-alat bukti yang tertuang dalam Pasal 184 KUHAP). Dalam hal seperti ini dikenal adanya hubungan kausalitas yang bersifat rasional a priori.
b. Teori korespodensi
Jika ada fakta-fakta di persidangan yang saling bersesuaian, misalnya, antara keterangan saksi bersesuaian dengan norma atau ide. Jika keterangan saksi Mr. X menyatakan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Mr. Y tidak melalui proses lelang tetapi dilaksanakan melalui penunjukan langsung Perusahaan Z. Persesuaian antara fakta dengan norma ini terlihat dalam hubungan kuasalitas yang bersifat empiris a pesteriori.
c. Teori utilitas
Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang bergantung pada manfaat (utility), yang memungkinkan dapat dikerjakan (workbility), memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory result), misalnya, seseorang yang dituduh
14
melakukan korupsi karena melakukan proyek pembangunan jalan yang dalam kontrak akan memakai pasir sungai, tetapi karena di daerah tersebut tidak didapatkan pasir sungai, lalu pelaksana proyek itu mempergunakan pasir gunung yang harganya lebih mahal. Apakah pelaksanaan proyek itu dapat dipersalahkan melakukan korupsi? Padahal dia tidak memperkaya diri sendiri atau orang lain, bahkan dia merugi kalau memakai pasir gunung. Kasus seperti ini dapat diteropong melalui kacamata teori yang ketiga ini, karena kepentingan umum untuk melayani masyarakat terpenuhi. 15
2. Konseptual
Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan
dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.16 Agar tidak terjadi kesalahpahaman
terhadap pokok-pokok pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis akan
memberikan konsep sesuai dengan pokok pembahasan, yaitu sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme untuk menentukan
apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu
tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku,
disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi
unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. 17
2. Penegakan Hukum Pidana adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan
sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup
dalam suatu tindak pidana.18
15
Lilik Mulyadi. Kekuasaan Kehakiman, Bina Ilmu, Surabaya.2007. hlm. 42
16
Soerjono Soekanto. Op Cit. 1983. hlm.132.
17
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 49
18
3. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi
siapa yang melanggar larangan itu. Tindak pidana merupakan pelanggaran
norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak
sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku19
4. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan
melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib
hukum dan terjaminnya kepentingan umum20.
5. Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap
warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri
dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
(Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan TKI)
6. Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI
sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri
yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurus dokumen, pendidikan
dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan
sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan. (Pasal 1 angka
(1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI)
19
Moeljatno, Ibid. hlm. 54
20
Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.
7. Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon
TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun
sesudah bekerja (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan TKI)
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman terhadap tulisan ini secara keseluruhan dan
mempermudah untuk memahaminya, maka penulis menyajikan sistematika
penulisan sebagai berikut:
I PENDAHULUAN
Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang,
Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,
Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.
II TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan
dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian pertanggungjawaban pidana,
dasar pertimbangkan hakim dalam memutuskan perkara dan tindak pidana
di bidang ketenagakerjaan.
III METODE PENELITIAN
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan
Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat
penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai
pertanggungjawaban pidana terhadap perekrutan TKI yang tidak
memenuhi persyaratan umur dan dasar pertimbangan hakim menjatuhkan
pidana terhadap perekrutan TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur
dalam perkara Nomor 75/Pid/2009/ PTTK
V PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan
pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang
didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang
didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas
legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip
bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam
beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti
(vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah
kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun
kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga
pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan1
Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk
untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak
pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
1
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.
Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian
(culpa), Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga
macam, yaitu sebagai berikut:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini. b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya2
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa
dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa,
culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan
pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang
menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam
dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara
keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat
dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu
menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.
2
Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:
1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya
2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan. 3
Tindak pidana dilihat dari sudut terjadinya merupakan tindakan yang dilarang,
seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila
tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan
sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut
kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu
bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak
pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban
pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan
perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah
dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan4
Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme
untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk
dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya
3
Moeljatno.Ibid. hlm. 49
4
itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan
menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
2. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.
3. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai
4. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat 5
Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa kemampuan bertanggungjawab
merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur
tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan
memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab
dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal
bathinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini,
hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa
sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan
hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga
kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan.
Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1
KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
5
terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Bila tidak dipertanggungjawabkan itu
disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda,
maka pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal
44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan dua syarat yaitu:
a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.
b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman6
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan
perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan
kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut
adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan
tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang
tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak
mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya
perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang
demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban
pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana
atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka
orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan
6
kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia
mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu
melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan
normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.
B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara
Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan
kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya.
Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan
dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju
kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak
ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan
yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. 7
Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai
kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi utama dari seorang
hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di
mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif,
yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan
dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang
juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang
7
baik. Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim
dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. 8
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak
tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim
dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus
mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang
sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku,
kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.
Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia
menjadi ciri Negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di
siding pengadilan yang dipimpin oleh Hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan
member kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh penasihat
hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum.
Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang
bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya9
8
Ibid. hlm.104
9
Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan
diperlukan untuk menyelesaiakn perkara pidana. Dengan demikian dapat
dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di sati pihak berguna bagi
terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus
dapat mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti
dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau
kasasi, melakukan grasi, dsb. Sedangkan di pihak lain, apabila ditelaah melalui
visi hakim yag mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak
pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum
atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas,
dan moralitas dari hakim yang bersangkutan10
Putusan bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan terdakwa yang didakwakan epadanya
jika terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191
Ayat (1) KUHAP). Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang
baik, mumpuni, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan
empat kriteria dasar pertanyaan (the 4 way test) berupa:
1. Benarkah putusanku ini?
2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan? 3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan? 4. Bermanfaatkah putusanku ini? 11
10
Lilik Mulyadi. Kekuasaan Kehakiman, Bina Ilmu, Surabaya.2007. hlm. 42
11
Praktiknya walaupun telah bertitiktolak dari sifat/sikap seseorang Hakim yang
baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik
pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang
tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa
rutinitas, kekuranghati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja
aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam
membuat keputusan. Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana,
sehingga hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek
yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai
sosiologis, filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya
pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan
hakim menjadi batal demi hukum karena kurang pertimbangan hukum. 12
Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum
pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik
fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari
keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan
diperiksa di persidangan.
C. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana
merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat
atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah
12
laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka
akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu
yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam
undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun
daerah. 13
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang
yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan
dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan
apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan
pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan14
Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai
berikut:
a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat
dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP
kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya
13
P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.
14
adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.
c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.
d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal15
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri
dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil
dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja
serta tindak pidana aktif dan pasif.
Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan )
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif
e. Unsur melawan hukum yang subyektif. 16
15
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27
16
Tindak pidana sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
D. Tindak Pidana Perekrutan TKI yang Tidak Memenuhi Persyaratan
Umur
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI menyatakan:
(1) Penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau tenaga kerja asing.
(2) Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pertimbangan keamana Pemerintah menetapkan negara-negara tertentu tertutup bagi penempatan TKI dengan Peraturan Menteri.
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI menyatakan bahwa penempatan TKI pada pekerjaan danjabatan
tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI menyatakan:
(1) Penempatan calon TKI/TKI di luar negeri diarahkan pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, ketrampilan, bakat , minat dan kemampuan.
(2) Penempatan calon TKI/TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak azazi manusia, perlindungan hukum, pemerataan kesempatan kerja, dan ketersediaan tenaga kerja dengan mengutamakan kepentingan nasional.
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI menyatakan bahwa setiap orang dilarang menempatkan calon
TKI/TKI pada jabatan dan tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan kesusilaan serta peraturan perundang-undangan, baik di
Indonesia maupun di negara tujuan atau di negara tujuan yang telah dinyatakan
tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
Secara lebih khusus Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan TKI menyatakan bahwa perekrutan calon TKI oleh
pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah
memenuhi persyaratan:
a. Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI
yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya
berusia 21 (dua puluh satu) tahun;
b. Sehat jasmani dan rohani;
c. Tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan
d. Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
dan pendekatan empiris.
a. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan
(library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis
teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
permasalahan dalam penelitian.
b. Pendekatan empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan
pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas yang ada atau studi
kasus1.
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan
penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk
mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.
1
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber
hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder
dalam penelitian ini, terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer bersumber dari:
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
(3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI
(4)Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Republik Indonesia.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang
melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang
sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu bahan hukum
sekunder berasal dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/
pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi,
kamus hukum dan sumber dari internet.
C. Penentuan Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik
tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. Berdasarkan pengertian di atas maka
yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Hakim pada
Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan dan Dosen Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari
populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam
penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih
berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di
atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1). Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang = 2 orang
2). Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila = 1 orang +
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi
lapangan sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian
kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku
literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait dengan permasalahan.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan
wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha
mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai
dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah
diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan
data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti
b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut
kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang
benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan
dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok
bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.
E. Analisis Data
Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun
secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk
memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan
dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu
menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian2.
2
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perekrutan Tenaga Kerja
Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan umur dalam Putusan Pengadilan
Nomor: 75/Pid/2009/PTTK dilaksanakan dalam wujud pemidanaan, yaitu
majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ismail dengan pidana
penjara selama 1 tahun, karena secara sah dan meyakinkan telah melakukan
tindak pidana perekrutan Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memenuhi
persyaratan umur. Pertanggungjawaban pidana tersebut merupakan suatu
mekanisme dalam peradilan pidana, yang menunjukkan bahwa setiap orang
yang melakukan tindak pidana perekrutan Tenaga Kerja Indonesia yang tidak
memenuhi persyaratan umur, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
di depan hukum, karena terdakwa secara sengaja melakukan kesalahan,
memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara
pidana serta tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf bagi terdakwa
untuk terlepas dari hukuman sebagai akibat dari tindak pidana yang
2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku
perekrutan Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan umur
dalam Putusan Pengadilan Nomor: 75/Pid/2009/PTTK adalah didasarkan pada
keseimbangan antara kepentingan pelaku, korban dan keadilan, sehingga
hakim menjatuhkan pidana berupa penjara selama 1 tahun kepada pelaku
tindak pidana perekrutan terhadap TKI yang tidak memenuhi persyaratan
umur, yang bertujuan untuk memberikan efek jera dan pelaku tidak
mengulangi perbuatannya, membebaskan rasa bersalah pada terdakwa dan
memenuhi aspek keadilan bagi pelaku, korban maupun bagi masyarakat.
Dasar yuridis penjatuhan sanksi terhadap terdakwa adalah minimal terdapat
dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Alat
bukti sah tersebut diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa atau hal yang secara
umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban pidana dalam bentuk pemidanaan pelaku tindak pidana
perekrutan TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur hendaknya
dilaksanakan secara optimal dalam rangka memberikan efek jera kepada
pelaku dan agar tidak terjadi lagi perekrutan TKI yang tidak memenuhi
2. Aparat penegak hukum dan instansi terkait hendaknya menyelenggarakan
penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang tinggal di daerah pedesaan/
pedalaman sehingga mereka memiliki pemahaman mengenai syarat untuk
menjadi TKI dan tidak mudah tertipu oleh agen atau sponsor dari perusahaan
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Badra Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Effendy, Marwan.2007. Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.
Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Adityta Bakti. Bandung.
Lastarya, Dharana. 2006. Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta.
Mappaseng, Erwin. 2002. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. FHUI. Jakarta.
Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.
Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana