• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEREKRUTAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) YANG TIDAK MEMENUHI PERSYARATAN UMUR (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/PTTK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEREKRUTAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) YANG TIDAK MEMENUHI PERSYARATAN UMUR (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/PTTK)"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEREKRUTAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) YANG TIDAK MEMENUHI

PERSYARATAN UMUR

(Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/PTTK)

Oleh

YOGA PRATAMA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEREKRUTAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) YANG TIDAK MEMENUHI

PERSYARATAN UMUR

(Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/PTTK)

Oleh

YOGA PRATAMA

Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia harus dilaksanakan secara optimal, sebab jika tidak TKI dapat berpotensi dijadikan sebagai obyek perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap perekrutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/ PTTK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana terhadap perekrutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur dalam perkara Nomor 75/Pid/2009/ PTTK?

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan responden penelitian yaitu anggota Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

(3)

Yoga Pratama

2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku perekrutan Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan umur dalam Putusan Pengadilan Nomor: 75/Pid/2009/PTTK adalah didasarkan pada keseimbangan antara kepentingan pelaku, korban dan keadilan, sehingga hakim menjatuhkan pidana berupa penjara selama 1 tahun kepada pelaku tindak pidana perekrutan terhadap TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur, yang bertujuan untuk memberikan efek jera dan pelaku tidak mengulangi perbuatannya, membebaskan rasa bersalah pada terdakwa dan memenuhi aspek keadilan bagi pelaku, korban maupun bagi masyarakat.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pertanggungjawaban pidana dalam bentuk pemidanaan pelaku tindak pidana perekrutan TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur hendaknya dilaksanakan secara optimal dalam rangka memberikan efek jera kepada pelaku dan agar tidak terjadi lagi perekrutan TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur pada masa mendatang. (2) Aparat penegak hukum dan instansi terkait hendaknya menyelenggarakan penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang tinggal di daerah pedesaan/ pedalaman sehingga mereka memiliki pemahaman mengenai syarat untuk menjadi TKI dan tidak mudah tertipu oleh agen atau sponsor dari perusahaan perekrutan TKI yang banyak mencari calon TKI di desa-desa.

(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 16

II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

A. Pertanggungjawaban Pidana ... 18

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara ... 23

C. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 26

D. Tindak Pidana Perekrutan TKI Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Umur ... 29

III METODE PENELITIAN ... 31

A. Pendekatan Masalah ... 31

B. Sumber dan Jenis Data ... 31

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 33

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 34

E. Analisis Data ... 35

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Karakteristik Responden ... 36

(7)

Persyaratan Umur (Putusan Pengadilan Nomor 75/Pid./2009/

PT.TK) ... 51

V PENUTUP ... 61

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 62

(8)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) saat ini terus

menjadi sorotan. TKI sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk

penjualan organ tubuh, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan,

kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta

perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.

Kasus yang menimpa TKI tersebut merupakan hal yang ironis karena negara tidak

melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri. Pihak-pihak yang terkait

dengan urusan TKI saling melempar tanggungjawab dalam melakukan

perlindungan TKI. Berbagai kasus tersebut terjadi tidak lepas dari kesalahan

penyelenggara TKI sejak awal. Pada umumnya, pelanggaran yang sering

dilakukan perusahaan penyelenggara TKI adalah fasilitas penampungan dan

pelatihan yang tidak layak, tidak memberi kepastian pemberangkatan dan

menahan calon TKI selama masa pendidikan, pemalsuan sertifikat pelatihan TKI,

pemalsuan umur calon TKI, serta manipulasi hasil rekam medis dan kelengkapan

dokumen diri lainnya yang tidak sesuai dengan data asli dan nyata dari calon TKI.

Pemerintah dan DPR telah mengupayakan upaya untuk penempatan dan

(9)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI.

Pemerintah dan DPR juga telah meratifikasi konvensi internasional seperti ILO

Convention Nomor 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa melalui Undang

Undang Nomor 19 Tahun 1999, ratifikasi ILO Convention Nomor 111 mengenai

Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan melalui Undang-Undang Nomor 21

Tahun 1999, ratifikasi ILO Convention Nomor 138 mengenai Usia Minimum

untuk Diperbolehkan Bekerja melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999,

dan ratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja.1

Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, atau yang dikenal sebagai

Konvensi Buruh Migran 1990. Pemerintah juga pernah melakukan moratorium

pengiriman TKI ke luar negeri untuk membatasi jumlah TKI dan dalam rangka

perlindungan TKI serta pemberian peringatan kepada negara pengguna TKI untuk

memperhatikan nasib TKI. Namun, karena kebutuhan akan lapangan kerja yang

kurang tersedia di Indonesia, maka pemerintah mencabut moratorium tersebut.

Pada 2006, Presiden juga pernah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6

Tahun 2006 Tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan

Tenaga Kerja Indonesia.2

Presiden menginstruksikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan

Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Luar Negeri,

Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, Menteri Perhubungan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,

Menteri Kesehatan, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Menteri Negara

1

Dian Indah Savitri. Mewujudkan Perlindungan TKI yang Bermartabat. Yayasan Obor. Jakarta. 1986. hlm. 3

2

(10)

Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia, para Gubernur, dan para Bupati/Walikota untuk mengambil

langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan

masing-masing, dalam rangka pelaksanaan Kebijakan Reformasi Sistem

Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.

Berbagai langkah tersebut selaras peran TKI yang sangat besar dalam

menyumbang devisa negara. Remitansi (pengiriman uang) TKI sepanjang tahun

2011 tercatat berjumlah 6,11 US$ miliar atau setara dengan Rp53,36 trilyun

rupiah dengan nilai tukar kurs sebesar Rp9200. Jumlah kiriman pahlawan devisa

ini yang tercatat di Bank Indonesia di luar kiriman langsung dari TKI, baik

melalui jalur perorangan maupun melalui lembaga keuangan non bank. 3

Penempatan dan perlindungan TKI harus mendapat perhatian serius dari negara,

terutama dari Pemerintah, karena Pemerintah bertugas mengatur, membina,

melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan

TKI di luar negeri. Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI diharapkan

dapat memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan

manusiawi, menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negari, di

negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal di Indonesia, dan meningkatkan

kesejahteraan TKI dan keluarganya.

Penempatan TKI merupakan awal mula proses pengiriman TKI. Penempatan yang

baik akan menghasilkan perlindungan TKI yang baik. Penempatan TKI adalah

kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan

3

(11)

kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan

proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan,

persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan

pemulangan dari negara tujuan.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap warga negara Indonesia yang

memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka

waktu tertentu dengan menerima upah. Pelaksana penempatan TKI di luar negeri

terdiri dari Pemerintah, Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS), dan

perusahaan untuk kepentingan perusahaan sendiri. Sementara itu, pengguna jasa

TKI adalah instansi pemerintah, badan hukum pemerintah, badan hukum swasta,

dan/atau perseorangan di negara tujuan yang mempekerjakan TKI.

Penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah hanya dapat dilakukan atas dasar

perjanjian secara tertulis antara pemerintah dengan pemerintah negara pengguna

TKI atau pengguna berbadan hukum di negara tujuan. Sementara itu, PPTKIS

dilakukan oleh perusahaan yang mendapat izin tertulis berupa Surat Izin

Pelaksana Penempatan TKI (SIPPTKI) dari Menteri.

Siapapun dilarang menempatkan calon TKI/TKI pada jabatan dan tempat

pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan serta

peraturan perundangundangan, baik di Indonesia maupun di negara tujuan atau di

negara tujuan yang telah dinyatakan tertutup untuk pengiriman Calon TKI/TKI.

Atas pelanggaran tersebut, pelanggarnya dapat dikenakan sanksi administratif

dan/atau sanksi pidana. Ancaman sanksi pidana berupa penjara paling singkat 2

(12)

2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00

(lima belas miliar rupiah).

Penempatan TKI dimulai dari kegiatan pra penempatan TKI, yang meliputi

pengurusan Surat Izin Pengerahan (SIP), perekrutan dan seleksi, pendidikan dan

pelatihan kerja, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pengurusan dokumen, uji

kompetensi. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses perekrutan

TKI, khususnya dalam dokumen calon TKI yang akan dipekerjakan pada pihak

perseorangan adalah umur minimal harus mencapai 21 tahun, sebagaimana diatur

Pasal 103 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan

dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun pada

kenyataannya pihak perusahaan yang merekrut calon TKI seringkali mengabaikan

persyaratan batas minimal usia ini dengan melakukan pemalsuan terhadap data

calon TKI. 4

Salah satu contoh perkara yang terkait dengan perekrutan TKI di bawah umur

adalah dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor:75/Pid./2009/

PT.TK. Terdakwa bernama Ismail (32 Tahun) sebagai Karyawan PT.Assalam

Karya Manunggal melakukan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 103 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan

Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Kronologisnya berawal ketika Sri Sukamti, SE. (Terdakwa dalam berkas terpisah)

selaku sponsor TKI ada merekrut korban yaitu saksi Resty Aryani dan membawa

korban ke PT.Assalam Karya Manunggal (PT. AKM) untuk menjadi Tenaga

4

(13)

Kerja Indonesia sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia, pada saat itu korban

masih berumur 18 (delapan belas) tahun. Supaya korban dapat diberangkatkan, Sri

Sukamti,SE telah merubah tahun kelahiran korban dari tahun 1989 menjadi tahun

1986 pada dokumen-dokumen korban yang diserahkan ke PT. AKM yaitu Kartu

Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK) dan Akte Kelahiran korban.

Dengan tahun kelahiran yang telah dirubah seolah-olah korban telah berumur 21

(dua puluh satu) tahun.

Menyatakan terdakwa Ismail telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “Dengan sengaja memberi bantuan perekrutan calon

tenaga kerja indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan yaitu berusia

sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun atau kecuali bagi calon tenaga kerja

indonesia (TKI) yang akan dipekerjakan pada perseorangan sekurang-kurangnya

berusia 21 tahun”. Sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 103 ayat (1)

huruf c Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Jo. Pasal 56 ayat (1) KUHP.

Mejelis Hakim telah menjatuhkan putusan yang amarnya menyatakan terdakwa

Ismail, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “Membantu melakukan perekrutan calon TKI yang tidak memenuhi

persyaratan umur” dan Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu

dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun, sebagai bentuk pertanggungjawaban

pidananya.

Perkara tersebut menunjukkan adanya permasalahan, yaitu kesenjangan antara

putusan hakim yang menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa perekrutan

calon TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur selama 1 tahun dengan

(14)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. l.000.000.000,00

(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Putusan tersebut menunjukkan bahwa hukuman yang dijatuhkan terhadap

terdakwa belum optimal.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis melakukan penelitian dalam Skripsi yang

berjudul: Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Perekrutan Tenaga Kerja

Indonesia (TKI) Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Umur (Studi Putusan

Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/PTTK).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka

permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap perekrutan Tenaga Kerja

Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur berdasarkan Putusan

Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/ PTTK?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana terhadap perekrutan

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur dalam

perkara Nomor 75/Pid/2009/ PTTK?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian dalam skripsi ini adalah kajian ilmu hukum pidana,

khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap

(15)

berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/

PTTK. Ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun 2013 dan ruang lingkup

lokasi penelitian adalah di Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap perekrutan Tenaga

Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur berdasarkan

Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 75/Pid/2009/ PTTK

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana terhadap

perekrutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan

umur dalam perkara Nomor 75/Pid/2009/ PTTK

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam

pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak perekrutan Tenaga Kerja

Indonesia (TKI) yang tidak memenuhi persyaratan umur.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi aparat penegak hukum

sebagai bahan pertimbangan dalam proses pemidanaan terhadap pelaku tindak

(16)

umur. Selain itu diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak yang akan

melakukan penelitian dengan kajian mengenai pertanggungjawaban pidana.

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi

dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya yang bertujuan

untuk mangadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap

relevan oleh peneliti.5

a. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang

melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan

sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan

pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila

ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu

melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan

normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.6

Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi

menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam hukum pidana terdapat dua teori

kesengajaan sebagai berikut:

5

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. 1986. hlm. 124

6

(17)

(1) Teori kehendak (wilstheorie)

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang

(2) Teori pengetahuan (voorstelling)

Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkan. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat. 7

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang

didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang

didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas

legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip

bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam

beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti

(vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability).

Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus

mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu

kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

1. Kesengajaan (opzet)

Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam,

yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

7

(18)

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya8

2. Kemampuan bertanggungjawab

Kemampuan seseorang untuk bertanggungjawab merupakan dasar

pertanggungjawaban pidana, yaitu terdakwa memiliki kemampuan untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya yang melawan hukum. Kemampuan

ini berkaitan dengan keadan fisik dan psikis si pelaku yang berhubungan

dengan kelakuannya yaitu perbuatannya disengaja lalai.9

3. Tidak ada alasan pemaaf pembenar dan pemaaf

Tidak ada alasan pemaaf maksudnya adalah perbuatan terdakwa tidak dapat

dimaafkan oleh pihak yang dirugikan dalam perbuatan tersebut, tidak ada alas

an pembenar yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa

masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error fact)

maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf

sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan

secara hukum 10

8

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46

9

Ibid. hlm. 48

10

(19)

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh

menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal

183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b).

Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal

yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)11

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja

tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan

yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan

tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya

(unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga

apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat 3

KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.12

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim

dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu13:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

11

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11

12

Ibid. hlm. 11

13

(20)

Adapun beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim

dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

(1) Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa. (2) Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.14

Teori lain yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim, yaitu dalam

mengadili pelaku tindak pidana, maka proses menyajikan kebenaran dan keadilan

dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum,

maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian, putusan pengadilan

dituntut untuk memenuhi teori-teori sebagai berikut:

a. Teori koherensi atau kosistensi

Teori yang membuktikan adanya saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain. Atau, saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain (alat-alat bukti yang tertuang dalam Pasal 184 KUHAP). Dalam hal seperti ini dikenal adanya hubungan kausalitas yang bersifat rasional a priori.

b. Teori korespodensi

Jika ada fakta-fakta di persidangan yang saling bersesuaian, misalnya, antara keterangan saksi bersesuaian dengan norma atau ide. Jika keterangan saksi Mr. X menyatakan bahwa pembangunan proyek yang dilakukan oleh Mr. Y tidak melalui proses lelang tetapi dilaksanakan melalui penunjukan langsung Perusahaan Z. Persesuaian antara fakta dengan norma ini terlihat dalam hubungan kuasalitas yang bersifat empiris a pesteriori.

c. Teori utilitas

Teori ini dikenal pula dengan pragmatik, kegunaan yang bergantung pada manfaat (utility), yang memungkinkan dapat dikerjakan (workbility), memiliki hasil yang memuaskan (satisfactory result), misalnya, seseorang yang dituduh

14

(21)

melakukan korupsi karena melakukan proyek pembangunan jalan yang dalam kontrak akan memakai pasir sungai, tetapi karena di daerah tersebut tidak didapatkan pasir sungai, lalu pelaksana proyek itu mempergunakan pasir gunung yang harganya lebih mahal. Apakah pelaksanaan proyek itu dapat dipersalahkan melakukan korupsi? Padahal dia tidak memperkaya diri sendiri atau orang lain, bahkan dia merugi kalau memakai pasir gunung. Kasus seperti ini dapat diteropong melalui kacamata teori yang ketiga ini, karena kepentingan umum untuk melayani masyarakat terpenuhi. 15

2. Konseptual

Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan

dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti.16 Agar tidak terjadi kesalahpahaman

terhadap pokok-pokok pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis akan

memberikan konsep sesuai dengan pokok pembahasan, yaitu sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme untuk menentukan

apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu

tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku,

disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi

unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. 17

2. Penegakan Hukum Pidana adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai

yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan

sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk

menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup

dalam suatu tindak pidana.18

15

Lilik Mulyadi. Kekuasaan Kehakiman, Bina Ilmu, Surabaya.2007. hlm. 42

16

Soerjono Soekanto. Op Cit. 1983. hlm.132.

17

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 49

18

(22)

3. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi

siapa yang melanggar larangan itu. Tindak pidana merupakan pelanggaran

norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak

sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku19

4. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan

melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib

hukum dan terjaminnya kepentingan umum20.

5. Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap

warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri

dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.

(Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang

Penempatan dan Perlindungan TKI)

6. Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI

sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri

yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurus dokumen, pendidikan

dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan

sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan. (Pasal 1 angka

(1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan TKI)

19

Moeljatno, Ibid. hlm. 54

20

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.

(23)

7. Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon

TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun

sesudah bekerja (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004

tentang Penempatan dan Perlindungan TKI)

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman terhadap tulisan ini secara keseluruhan dan

mempermudah untuk memahaminya, maka penulis menyajikan sistematika

penulisan sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang,

Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,

Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan

dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian pertanggungjawaban pidana,

dasar pertimbangkan hakim dalam memutuskan perkara dan tindak pidana

di bidang ketenagakerjaan.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan

Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur

(24)

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat

penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai

pertanggungjawaban pidana terhadap perekrutan TKI yang tidak

memenuhi persyaratan umur dan dasar pertimbangan hakim menjatuhkan

pidana terhadap perekrutan TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur

dalam perkara Nomor 75/Pid/2009/ PTTK

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan

pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang

didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang

didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas

legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip

bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam

beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti

(vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah

kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun

kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga

pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan1

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk

untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak

pidana memulihkan keseimbangan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat

memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi

orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

1

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

(26)

Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian

(culpa), Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga

macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini. b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya2

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa

dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa,

culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan

pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang

menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam

dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara

keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat

dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu

menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.

2

(27)

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan. 3

Tindak pidana dilihat dari sudut terjadinya merupakan tindakan yang dilarang,

seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila

tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan

sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut

kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu

bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak

pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban

pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan

perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah

dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan4

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme

untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka

dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk

dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya

3

Moeljatno.Ibid. hlm. 49

4

(28)

itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan

menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

2. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

3. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai

4. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat 5

Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bahwa kemampuan bertanggungjawab

merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur

tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan

memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab

dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal

bathinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang

menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini,

hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa

sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan

hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga

kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak

dipidana jika tidak ada kesalahan.

Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1

KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau

5

(29)

terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Bila tidak dipertanggungjawabkan itu

disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda,

maka pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal

44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan dua syarat yaitu:

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman6

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan

perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan

kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut

adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan

tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang

tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak

mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya

perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang

demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban

pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana

atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka

orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan

6

(30)

kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan

mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia

mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu

melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan

normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan

kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya.

Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju

kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak

ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan

yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. 7

Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai

kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan

hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi utama dari seorang

hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di

mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif,

yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan

dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang

juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang

7

(31)

baik. Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim

dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. 8

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan

mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak

tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim

dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus

mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang

sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku,

kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia

menjadi ciri Negara hukum. Sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di

siding pengadilan yang dipimpin oleh Hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan

member kesempatan kepada pihak terdakwa yang diawali oleh penasihat

hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum.

Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang

bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya9

8

Ibid. hlm.104

9

(32)

Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan

diperlukan untuk menyelesaiakn perkara pidana. Dengan demikian dapat

dikonklusikan lebih jauh bahwasannya putusan hakim di sati pihak berguna bagi

terdakwa guna memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus

dapat mempersiapakan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti

dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau

kasasi, melakukan grasi, dsb. Sedangkan di pihak lain, apabila ditelaah melalui

visi hakim yag mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak

pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, HAM, penguasaan hukum

atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas,

dan moralitas dari hakim yang bersangkutan10

Putusan bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan

di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan terdakwa yang didakwakan epadanya

jika terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191

Ayat (1) KUHAP). Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang

baik, mumpuni, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan

empat kriteria dasar pertanyaan (the 4 way test) berupa:

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan? 3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan? 4. Bermanfaatkah putusanku ini? 11

10

Lilik Mulyadi. Kekuasaan Kehakiman, Bina Ilmu, Surabaya.2007. hlm. 42

11

(33)

Praktiknya walaupun telah bertitiktolak dari sifat/sikap seseorang Hakim yang

baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik

pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang

tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa

rutinitas, kekuranghati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja

aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam

membuat keputusan. Putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana,

sehingga hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek

yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai

sosiologis, filosofis, dan yuridis. Pada hakikatnya dengan adanya

pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan

hakim menjadi batal demi hukum karena kurang pertimbangan hukum. 12

Praktik peradilan pidana pada putusan hakim sebelum

pertimbangan-pertimbangan yuridis dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik

fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari

keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan

diperiksa di persidangan.

C. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana

merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat

atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah

12

(34)

laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka

akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu

yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam

undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun

daerah. 13

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang

yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan

dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan

apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan

pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan14

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai

berikut:

a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat

dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP

kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya

13

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.

14

(35)

adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal15

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri

dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil

dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja

serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan )

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif. 16

15

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 25-27

16

(36)

Tindak pidana sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

D. Tindak Pidana Perekrutan TKI yang Tidak Memenuhi Persyaratan

Umur

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan TKI menyatakan:

(1) Penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau tenaga kerja asing.

(2) Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pertimbangan keamana Pemerintah menetapkan negara-negara tertentu tertutup bagi penempatan TKI dengan Peraturan Menteri.

Pasal 28 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan TKI menyatakan bahwa penempatan TKI pada pekerjaan danjabatan

tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan TKI menyatakan:

(1) Penempatan calon TKI/TKI di luar negeri diarahkan pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, ketrampilan, bakat , minat dan kemampuan.

(2) Penempatan calon TKI/TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak azazi manusia, perlindungan hukum, pemerataan kesempatan kerja, dan ketersediaan tenaga kerja dengan mengutamakan kepentingan nasional.

(37)

Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan TKI menyatakan bahwa setiap orang dilarang menempatkan calon

TKI/TKI pada jabatan dan tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai

kemanusiaan dan kesusilaan serta peraturan perundang-undangan, baik di

Indonesia maupun di negara tujuan atau di negara tujuan yang telah dinyatakan

tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.

Secara lebih khusus Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang

Penempatan dan Perlindungan TKI menyatakan bahwa perekrutan calon TKI oleh

pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah

memenuhi persyaratan:

a. Berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI

yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya

berusia 21 (dua puluh satu) tahun;

b. Sehat jasmani dan rohani;

c. Tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan

d. Berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif

dan pendekatan empiris.

a. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan

(library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis

teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

permasalahan dalam penelitian.

b. Pendekatan empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan

pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas yang ada atau studi

kasus1.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan

penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk

mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

1

(39)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber

hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder

dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP)

(3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan TKI

(4)Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Republik Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang

melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang

sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu bahan hukum

sekunder berasal dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang

(40)

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/

pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi,

kamus hukum dan sumber dari internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik

tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. Berdasarkan pengertian di atas maka

yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Hakim pada

Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan dan Dosen Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Lampung.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari

populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam

penelitian ditetapkan dengan teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih

berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di

atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1). Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang = 2 orang

2). Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila = 1 orang +

(41)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi

lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian

kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku

literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan

wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha

mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai

dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah

diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data

dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan

data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti

(42)

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut

kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang

benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan

dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok

bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun

secara sistematis, jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk

memperoleh suatu kesimpulan. Analisis data yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan

dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat khusus lalu

menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang

dibahas dalam penelitian2.

2

(43)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perekrutan Tenaga Kerja

Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan umur dalam Putusan Pengadilan

Nomor: 75/Pid/2009/PTTK dilaksanakan dalam wujud pemidanaan, yaitu

majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ismail dengan pidana

penjara selama 1 tahun, karena secara sah dan meyakinkan telah melakukan

tindak pidana perekrutan Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memenuhi

persyaratan umur. Pertanggungjawaban pidana tersebut merupakan suatu

mekanisme dalam peradilan pidana, yang menunjukkan bahwa setiap orang

yang melakukan tindak pidana perekrutan Tenaga Kerja Indonesia yang tidak

memenuhi persyaratan umur, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya

di depan hukum, karena terdakwa secara sengaja melakukan kesalahan,

memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara

pidana serta tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf bagi terdakwa

untuk terlepas dari hukuman sebagai akibat dari tindak pidana yang

(44)

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku

perekrutan Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan umur

dalam Putusan Pengadilan Nomor: 75/Pid/2009/PTTK adalah didasarkan pada

keseimbangan antara kepentingan pelaku, korban dan keadilan, sehingga

hakim menjatuhkan pidana berupa penjara selama 1 tahun kepada pelaku

tindak pidana perekrutan terhadap TKI yang tidak memenuhi persyaratan

umur, yang bertujuan untuk memberikan efek jera dan pelaku tidak

mengulangi perbuatannya, membebaskan rasa bersalah pada terdakwa dan

memenuhi aspek keadilan bagi pelaku, korban maupun bagi masyarakat.

Dasar yuridis penjatuhan sanksi terhadap terdakwa adalah minimal terdapat

dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Alat

bukti sah tersebut diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi,

keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa atau hal yang secara

umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana dalam bentuk pemidanaan pelaku tindak pidana

perekrutan TKI yang tidak memenuhi persyaratan umur hendaknya

dilaksanakan secara optimal dalam rangka memberikan efek jera kepada

pelaku dan agar tidak terjadi lagi perekrutan TKI yang tidak memenuhi

(45)

2. Aparat penegak hukum dan instansi terkait hendaknya menyelenggarakan

penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang tinggal di daerah pedesaan/

pedalaman sehingga mereka memiliki pemahaman mengenai syarat untuk

menjadi TKI dan tidak mudah tertipu oleh agen atau sponsor dari perusahaan

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Badra Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Effendy, Marwan.2007. Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Adityta Bakti. Bandung.

Lastarya, Dharana. 2006. Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta.

Mappaseng, Erwin. 2002. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. FHUI. Jakarta.

Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

(47)

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Referensi

Dokumen terkait

Untuk meningkatkan validitas eksternal penelitian ditempuh langkah-langkah sebagai berikut : (1) pemilihan kelompok diambil secara random, dalam hal ini kelompok

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan letak kesulitan yang dialami siswa dan faktor apa saja penyebab siswa kesulitan dalam menyelesaikan soal geometri

KI 3 : Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang

Dalam Penelitian ini pengaruh adalah daya yang ada dari suatu kegiatan yaitu 2 bentuk latihan kekuatan otot lengan yaitu menggunakan latihan

PERBEDAAN KEBUTUHAN AIR MINUM DAN KELELAHAN KERJA PADA PEKERJA TERPAPAR IKLIM KERJA PANAS DI BAGIAN PENGECORAN.. LOGAM DAN FINISHING

PROGRAM/KEGIATAN : Koordinasi Kerjasama Pengembangan Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Seni Budaya Region Kalimantan. TANGGAL PELAKSANAAN :

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan seperti berikut: Bagaimana memprediksi potensi kebangkrutan keuangan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, perlu dilakukan studi komparatif sekaligus korelasional untuk mengetahui sejauhmana pengaruh model pembelajaran (PBM, Inkuiri,