DENGAN SOCIAL PHOBIA
(The Effectiveness of Coping Cat Kendall in Children with Social
Phobia)
TESIS
Program Pendidikan Magister Psikologi Profesi Kekhususan Psikologi Klinis Anak
Diajukan Oleh:
WINA ERWINA
107029014
MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI
FAKULTAS PSIKOLOGI
Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat
Allah SWT, berkat rahmat dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Efektivitas Program Coping Cat pada Anak dengan Social
Phobia”.
Kesabaran, kegigihan dan ketekunan sangat diperlukan dalam menyelesaikan karya tulis ini. Hal ini merupakan proses pembelajaran bagi penulis yang sangat berharga. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, karya ini tidak dapat terselesaikan. Mengingat hal tersebut, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Si, Psikolog selaku dosen pembimbing yang begitu sabar dalam membimbing penulis dan meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat bermanfaat. Terima kasih atas semangat dan dukungan yang ibu berikan.
3. Ibu Josetta, M.R. Tuappatinaja, M.Si, Psikolog selaku dosen penguji yang telah memberikan saran-saran dan masukan yang begitu berharga untuk penyempurnaan tesis ini.
ilmu yang telah diberikan selama ini, semoga dapat berguna dan diterapkan sebagaimana mestinya.
6. Kepada suami tercinta, Kemal Pasha Siagian, terima kasih atas kasih sayangnya, dukungan serta semangatnya kepada penulis hingga penyelesaian tesis ini.
7. Kepada putriku tersayang, terima kasih atas senyum dan tawa yang selalu menghibur penulis di saat sedang merasa lelah.
8. Kepada Ayah dan Ibunda tercinta, atas doa yang tulus, semangat dan kasih sayangnya yang tak terhingga kepada penulis.
9. Kepada Ayah dan Ibu mertua, atas bantuan, doa dan semangatnya hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
10. Kepada adik dan adik iparku yang sudah memberikan doa dan semangat kepada penulis.
11. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Psikologi USU; para staf administrasi, keuangan, perpustakaan, dan lain-lain. Terima kasih karena telah membantu kelancaran kegiatan penulis sepanjang menjalani perkuliahan di Fakultas Psikologi USU
penelitian dalam tesis ini dapat berguna bagi yang membutuhkan.
Medan, 25 Agustus 2013
Universitas Sumatera Utara Agustus 2013 Wina Erwina
107029014
Efektivitas Coping Cat Kendall Pada Anak Dengan Social Phobia Xvi + 138 halaman, 15 tabel
Daftar Pustaka, 62 (1994-2013)
Social phobia merupakan ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain (DSM-IV-TR; APA, 2004).
Social phobia ternyata tidak hanya ditemukan pada orang dewasa, melainkan juga pada anak-anak. Sekolah dikatakan menjadi sumber kecemasan utama bagi anak dengan social phobia (Strauss dan Last dalam Morris, 2004). Namun sering kali kondisi ini kurang diperhatikan dan cenderung diabaikan baik oleh orang tua maupun guru di sekolah. Padahal berbagai hambatan dan kendala dapat timbul akibat social phobia pada keberfungsian anak sehari-hari. Salah satunya adalah perilaku menghindar dari situasi sosial yang dapat mempengaruhi prestasi akademis dan sosialisasi anak di sekolah. Oleh karena itu dirasakan perlu adanya intervensi yang tepat bagi anak dengan social phobia. Salah satu intervensi yang tepat bagi anak dengan social phobia adalah program coping cat
yang dikembangkan oleh Kendall (Kendall, 2006). Program ini bertujuan untuk membangun keterampilan anak dalam mengendalikan kecemasan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi social phobia pada anak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan program coping cat Kendall pada anak dengan social phobia. Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian kuasi eksperimental before-after study atau yang disebut juga dengan desain pre-test/post-test (Kumar, 1999). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan The Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report (LSAS-CA-SR). Selain itu dilakukan juga pengukuran melalui The Subjective Units of Distress Scale (SUDS), observasi dan wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan program coping cat Kendall terbukti efektif dalam menurunkan social phobia pada anak. Kedua partisipan menunjukkan penurunan pada skor LSAS-CA. Subjek 1 mengalami penurunan skor dari sebelumnya 112 (very severe social phobia) menjadi 46 (normal range). Demikian juga halnya dengan subjek 2 mengalami penurunan skor dari 76 (marked social phobia) menjadi 32 (normal range). Selain itu terlihat juga penurunan tingkat kecemasan kedua subjek yang dilihat dari SUDS. Skor SUDS subjek 1 yang pada saat pra intervensi adalah 8 (sangat cemas) menurun secara bertahap selama sesi intervensi menjadi 2 (sedikit cemas) saat paska intervensi. Sedangkan pada subjek 2, skor SUDS saat pra intervensi adalah 6 (cemas) mengalami penurunan secara bertahap hingga menjadi 2 (sedikit cemas) paska intervensi. Hasil observasi dan wawancara juga menunjukkan bahwa partisipan mengalami perubahan yang positif dengan mengikuti program intervensi coping cat Kendall. Hal ini terlihat dari berkurangnya perilaku menghindar terhadap situasi sosial yang ditampilkan oleh kedua subjek sehari-hari.
University of North Sumatera August 2013
Wina Erwina 107029014
The Effectiveness of Coping Cat Kendall in Children with Social Phobia Xvi + 138 pages, 15 tables
References, 62 (1994-2013)
Social phobia is a marked and persistent fear of one or more social or performance situations in which the person is exposed to unfamiliar people or to possible scrutiny by others (DSM-IV-TR; APA, 2004). Social phobia is common not only in adults but in children as well. Many of children with social phobia report attending school to be a significant course of social distress (Strauss & Last in Morris, 2004). Unfortunately, social phobia is often not recognized as a problem by teachers or parents.Social phobia may interfere with a children’s ability to function in everyday life. Children with social phobia may avoid a number of social situations including school. This avoidance behavior may affect academic performance and socializations of children in school.
This study aims to determine the effectiveness of Coping Cat program developed by Kendall (Kendall, 2006) in children with social phobia. The study design used was quasi-experimental research design before-after study or also called pre-test/post-test design (Kumar, 1999). This research using the Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report (LSAS-CA-SR), The Subjective Units of Distress Scale (SUDS), observation and interviews to collect data.
The results showed that both participants showed a decrease in scores of LSAS–CA-SR . Subject 1 has decreased from the previous score 112 (very severe social phobia ) to 46 ( normal range ) . Similarly, subject 2 score decreased from 76 ( marked social phobia ) to 32 ( normal range ) . The level of anxiety of both subjects that viewed from SUDS scores have also decreased .SUDS score subject 1 during pre- intervention session which is 8 ( very anxious ) decreased gradually during the intervention sessions to 2 (a little anxious) after intervention. While on the subject 2 , during pre intervention session SUDS score is 6 ( anxious ) gradually decreased up to 2 ( a little anxious ) at post- intervention session . Observations and interviews also showed that participants experienced a positive change following the intervention Coping Cat Kendall . This is evident from the reduced social avoidance behavior to the everyday situation shown by both subjects .
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………... i
LEMBAR PENGESAHAN………. ii
LEMBAR PERNYATAAN………. iii
KATA PENGANTAR………. iv
ABSTRAK………... vii
ABSTRACT………. viii
DAFTAR ISI……… ix
DAFTAR TABEL……… xiv
DAFTAR GAMBAR………... xv
DAFTAR LAMPIRAN……… xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Manfaat Penelitian ... 9
1.5. Sistematika Penulisan ... 10
2.1.2. Kriteria Diagnostik Social Phobia……….. 13
2.1.3. Situasi Yang Ditakuti Pada Social Phobia……… 14
2.1.4. Karakteristik Simptom Social Phobia……….….. 15
2.1.5. Faktor Etiologi………... 17
2.1.6. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terpeliharanya Simptom-Simptom Social Phobia………... 22
2.2. Coping Cat………..……….………... 24
2.2.1. Definisi Coping Cat…………..……… 24
2.2.2. Konsep Teori dalam Program Coping Cat……… 25
2.2.3. Komponen dalam Program Coping Cat……… 29
2.2.4. Teknik-Teknik dalam Program Coping Cat………….. 32
2.2.5. Distorsi Kognitif Yang Diperbaiki Dalam Coping Cat Kendall.………. 33
2.2.6. Tahapan Pelaksanaan Program Coping Cat………….. 34
2.3. Program Coping Cat Kendall pada Anak Dengan Social Phobia……… 39
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian ... 43
3.2. Identifikasi Variabel Penelitian……… 43
3.3. Definisi Operasional Penelitian………. 44
3.4.2. Karakteristik Subjek Penelitian………. 45
3.4.3. Lokasi Penelitian……… 45
3.5. Alat Ukur Penelitian……… 46
3.5.1. LSAS-CA-SR (The Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report)……… 46
3.5.2. The Subjective Units of Distress Scale(SUDS)…………. 47
3.6. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur……….. 48
3.6.1. LSAS-CA-SR (The Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report)……… 48
3.6.2. The Subjective Units of Distress Scale(SUDS)…………. 49
3.7. Metode Pengumpulan Data………. 49
3.7.1. Wawancara……….. 49
3.7.2. Observasi………. 50
3.7.3. Tes Psikologi……… 50
3.7.3.1. Tes Inteligensi………. 50
3.8. Tahapan Penelitian………. 51
3.8.1. Tahap Persiapan Penelitian………. 51
3.8.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian………. 51
3.8.3. Tahap Evaluasi……… 56
3.9. Rancangan Intervensi………... 57
4.1. Pemaparan Kasus 1……… 61
4.1.1. Data Diri Subjek 1………. 61
4.1.2. Deskripsi Subjek 1……… 61
4.1.3. Analisa Fungsional Subjek 1……….... 64
4.1.4. Pelaksanaan Intervensi Pada Subjek 1……….. 66
4.1.5. Hasil Penelitian Pada Subjek 1………. 76
4.1.5.1. Hasil Per Sesi………..……….. 76
4.1.5.2. Hasil Pengukuran LSAS-CA-SR………. 80
4.1.5.3. Hasil Pengukuran SUDS……….. 82
4.1.5.4. Hasil Observasi………. 84
4.1.5.5. Hasil Wawancara………. 87
4.2. Pemaparan Kasus 2……….. 91
4.2.1. Data Diri Subjek 2….……….. 91
4.2.2. Deskripsi Subjek 2……….. 91
4.2.3.Analisa Fungsional Subjek 2……… 94
4.2.4.Pelaksanaan Intervensi Pada Subjek 2……….. 95
4.2.5. Hasil Penelitian Pada Subjek 2……… 107
4.2.5.1. Hasil Per Sesi……….. 107
4.2.5.2. Hasil Pengukuran LSAS-CA-SR………. 110
4.2.5.3. Hasil Pengukuran SUDS………. 112
4.2.5.4. Hasil Observasi……… 114
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan………. 130
5.2. Saran……… 133
5.2.1. Saran Metodologis……….. 133
5.2.2. Saran Praktis……… 133
DAFTAR PUSTAKA ... 134
Halaman
Tabel 3.1 Rentang Skor Pada LSAS-CA-SR……… 46
Tabel 3.2 Kategori Skor LSAS-CA-SR……… 47
Tabel 3.3 Kategori Skor SUDS………. 48
Tabel 3.4. Jadwal Pelaksanaan Intervensi Pada Subjek 1…………. 53
Tabel 3.5 Jadwal Pelaksanaan Intervensi Pada Subjek 2………….. 54
Tabel 3.6 Kegiatan Pada Sesi Program Intervensi Coping Cat Kendall………. 57
Tabel 4.1 Data Diri Subjek 1……… 61
Tabel 4.2. Pelaksanaan Intervensi Pada Subjek 1………. 66
Tabel 4.3. Hasil Intervensi Per Sesi Pada Subjek 1………. 76
Tabel 4.4 Perolehan Skor LSAS-CA-SR Pretest-Posttest Pada Subjek 1………...……… 80
Tabel 4.5 Data Diri Subjek 2……….……….. 91
Tabel 4.6 Pelaksanaan Intervensi Pada Subjek 2……… 95
Tabel 4.7 Hasil Intervensi Per Sesi Pada Subjek 2……….. 107
Tabel 4.8 Perolehan Skor LSAS-CA-SR Pretest-Posttest Pada Subjek 2……… 110
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Skema kerangka berpikir penerapan program
Coping Cat Kendall pada anak dengan
Social Phobia……… 41
Gambar 3.1 Diagram analisa S-O-R-C……… 51
Gambar 4.1. Analisa fungsional subjek 1 di rumah ………. 63
Gambar 4.2. Analisa fungsional subjek 1 di sekolah………. 63
Gambar 4.3. Analisa fungsional subjek 1 di area bermain……... 64
Gambar 4.4. Hirarki kecemasan subjek 1……… 67
Gambar 4.5. Hasil SUDS pra intervensi, sesi intervensi dan paska intervensi subjek 1………... 81
Gambar 4.6. Perubahan simptom social phobia subjek 1 setelah menerima Coping CatKendall……… 90
Gambar 4.7. Analisa fungsional subjek 2 di sekolah ………. 94
Gambar 4.8. Hirarki kecemasan subjek 2……… 98
Gambar 4.9. Hasil SUDS pra intervensi, sesi intervensi dan paska intervensi subjek 2……….. 113
Gambar 4.10. Perubahan simptom social phobia subjek 2 setelah Menerima Coping CatKendall……….. 119
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh Alat Ukur The Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report (LSAS-CA-SR)
Lampiran 2. Contoh Alat Ukur The Subjective Units of Distress Scale (SUDS) Lampiran 3. Thought Monitoring Subjek 1
Lampiran 4. Thought Monitoring Subjek 2
Lampiran 5. Rancangan Intervensi Program Coping Cat Kendall pada anak dengan Social Phobia
Universitas Sumatera Utara Agustus 2013 Wina Erwina
107029014
Efektivitas Coping Cat Kendall Pada Anak Dengan Social Phobia Xvi + 138 halaman, 15 tabel
Daftar Pustaka, 62 (1994-2013)
Social phobia merupakan ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain (DSM-IV-TR; APA, 2004).
Social phobia ternyata tidak hanya ditemukan pada orang dewasa, melainkan juga pada anak-anak. Sekolah dikatakan menjadi sumber kecemasan utama bagi anak dengan social phobia (Strauss dan Last dalam Morris, 2004). Namun sering kali kondisi ini kurang diperhatikan dan cenderung diabaikan baik oleh orang tua maupun guru di sekolah. Padahal berbagai hambatan dan kendala dapat timbul akibat social phobia pada keberfungsian anak sehari-hari. Salah satunya adalah perilaku menghindar dari situasi sosial yang dapat mempengaruhi prestasi akademis dan sosialisasi anak di sekolah. Oleh karena itu dirasakan perlu adanya intervensi yang tepat bagi anak dengan social phobia. Salah satu intervensi yang tepat bagi anak dengan social phobia adalah program coping cat
yang dikembangkan oleh Kendall (Kendall, 2006). Program ini bertujuan untuk membangun keterampilan anak dalam mengendalikan kecemasan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi social phobia pada anak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan program coping cat Kendall pada anak dengan social phobia. Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian kuasi eksperimental before-after study atau yang disebut juga dengan desain pre-test/post-test (Kumar, 1999). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan The Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report (LSAS-CA-SR). Selain itu dilakukan juga pengukuran melalui The Subjective Units of Distress Scale (SUDS), observasi dan wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan program coping cat Kendall terbukti efektif dalam menurunkan social phobia pada anak. Kedua partisipan menunjukkan penurunan pada skor LSAS-CA. Subjek 1 mengalami penurunan skor dari sebelumnya 112 (very severe social phobia) menjadi 46 (normal range). Demikian juga halnya dengan subjek 2 mengalami penurunan skor dari 76 (marked social phobia) menjadi 32 (normal range). Selain itu terlihat juga penurunan tingkat kecemasan kedua subjek yang dilihat dari SUDS. Skor SUDS subjek 1 yang pada saat pra intervensi adalah 8 (sangat cemas) menurun secara bertahap selama sesi intervensi menjadi 2 (sedikit cemas) saat paska intervensi. Sedangkan pada subjek 2, skor SUDS saat pra intervensi adalah 6 (cemas) mengalami penurunan secara bertahap hingga menjadi 2 (sedikit cemas) paska intervensi. Hasil observasi dan wawancara juga menunjukkan bahwa partisipan mengalami perubahan yang positif dengan mengikuti program intervensi coping cat Kendall. Hal ini terlihat dari berkurangnya perilaku menghindar terhadap situasi sosial yang ditampilkan oleh kedua subjek sehari-hari.
University of North Sumatera August 2013
Wina Erwina 107029014
The Effectiveness of Coping Cat Kendall in Children with Social Phobia Xvi + 138 pages, 15 tables
References, 62 (1994-2013)
Social phobia is a marked and persistent fear of one or more social or performance situations in which the person is exposed to unfamiliar people or to possible scrutiny by others (DSM-IV-TR; APA, 2004). Social phobia is common not only in adults but in children as well. Many of children with social phobia report attending school to be a significant course of social distress (Strauss & Last in Morris, 2004). Unfortunately, social phobia is often not recognized as a problem by teachers or parents.Social phobia may interfere with a children’s ability to function in everyday life. Children with social phobia may avoid a number of social situations including school. This avoidance behavior may affect academic performance and socializations of children in school.
This study aims to determine the effectiveness of Coping Cat program developed by Kendall (Kendall, 2006) in children with social phobia. The study design used was quasi-experimental research design before-after study or also called pre-test/post-test design (Kumar, 1999). This research using the Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adolescents Self Report (LSAS-CA-SR), The Subjective Units of Distress Scale (SUDS), observation and interviews to collect data.
The results showed that both participants showed a decrease in scores of LSAS–CA-SR . Subject 1 has decreased from the previous score 112 (very severe social phobia ) to 46 ( normal range ) . Similarly, subject 2 score decreased from 76 ( marked social phobia ) to 32 ( normal range ) . The level of anxiety of both subjects that viewed from SUDS scores have also decreased .SUDS score subject 1 during pre- intervention session which is 8 ( very anxious ) decreased gradually during the intervention sessions to 2 (a little anxious) after intervention. While on the subject 2 , during pre intervention session SUDS score is 6 ( anxious ) gradually decreased up to 2 ( a little anxious ) at post- intervention session . Observations and interviews also showed that participants experienced a positive change following the intervention Coping Cat Kendall . This is evident from the reduced social avoidance behavior to the everyday situation shown by both subjects .
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang masalah
Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat bersama dengan teman, seorang anak biasanya selalu penuh dengan tawa dan canda. Akan tetapi, ada juga anak-anak yang lebih banyak diam dan tidak banyak bicara bila dibandingkan dengan teman-temannya. Ia bahkan terkadang menghindar dengan mengasingkan dirinya dan hanya mengamati teman-temannya bermain dari kejauhan. Ia lebih sering menghabiskan waktunya sendiri dan jarang melakukan aktivitas bersama teman-temannya. Tidak hanya pada saat bergaul dengan teman, namun ada juga anak yang sehari-harinya kerap menghindar ketika harus melakukan sesuatu di hadapan orang lain. Ia selalu menolak saat diberikan tugas untuk maju ke depan kelas. Ia hanya menunduk diam dan bahkan ada yang terkadang sampai menangis.
Perilaku anak tersebut sayangnya sering kali diabaikan oleh orang tua ataupun guru di sekolah. Mereka pada umumnya menganggap perilaku anak tersebut disebabkan oleh sifatnya yang pemalu. Hal ini menyebabkan orang tua ataupun guru jarang yang mengeluhkan perilaku anak tersebut dibandingkan dengan anak yang menunjukkan masalah perilaku lainnya seperti senang membuat keributan di kelas, senang melawan guru, atau anak yang senang berkelahi dengan temannya.
gangguan mental anak yaitu social phobia. Social phobia sendiri merupakan kecemasan berlebihan yang muncul karena adanya kekhawatiran memperoleh evaluasi negatif dari orang lain saat individu terlibat dalam aktivitas atau situasi sosial tertentu (NIMH, 2013).
Saat ini di Indonesia, hasil penelitian mengenai social phobia masih relatif jarang ditemukan sehingga data-data yang diperoleh juga masih dapat dikatakan minim. Sebaliknya, berbagai studi yang dilakukan di belahan dunia lainnya menunjukkan tingginya angka kasus social phobia. Salah satu hasil penelitian terdahulu di Amerika Serikat menyatakan social phobia merupakan masalah kesehatan mental terbesar ketiga di dunia dengan prevalensi sebesar 13.3% (Kessler dkk, 1994). Sementara itu dilaporkan juga bahwa sebesar 10-15% individu di dunia ini mengalami kondisi tersebut pada tingkat yang signifikan (APA, 2004). Berbagai hasil penelitian di beberapa negara lainnya menunjukkan prevalensi yang beragam. Sebuah survey di New Zealand melaporkan bahwa 11,1% remaja berusia 18 tahun memenuhi kriteria social phobia (Feehan dalam NICE, 2013). Hasil penelitian lainnya di Australia menyatakan social phobia berada di posisi kedelapan sebagai gangguan mental yang paling umum dijumpai pada pria dan wanita berusia 15 hingga 24 tahun (Lampe, dkk, 2003). Angka prevalensi yang tinggi yaitu 4.7% hingga 9% juga ditemukan di Brazil (Rocha dkk, 2005).
dijumpai pada anak-anak (Hammerness, dkk; Kendall, dkk dalam Hitchcock, dkk, 2009). Sementara itu dikatakan bahwa gejala-gejala social phobia lebih tinggi tingkatannya pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki (Inam, Mahjabeen, dan Abiodullah, 2012).
Social phobia berbeda dengan kecemasan biasa yang terkadang dialami ketika berhadapan dengan situasi baru atau saat harus tampil menyampaikan pidato di depan banyak orang. Anak dengan social phobia merasa takut untuk melakukan kegiatan rutinnya sehari-hari seperti makan atau minum di depan orang lain, membeli sesuatu di supermarket atau menggunakan toilet umum. Ketakutan tersebut menyebabkan anak memandang situasi sosial sebagai suatu hal yang mengancam dan harus dihindari.
Berdasarkan uraian sebelumnya, telah disampaikan data-data yang menunjukkan tingginya kasus social phobia di berbagai negara. Namun sayangnya, tingginya angka tersebut berbanding terbalik dengan penanganan yang dilakukan. Gangguan ini sering kali kurang disadari dan dibiarkan begitu saja tanpa penanganan apapun. Berdasarkan sebuah survey yang dilakukan oleh National Comorbidity Survey Replication Study (NCS-R, dalam Schneider dan Levenson, 2008) rata-rata durasi penundaan perolehan penanganan untuk social phobia adalah 16 tahun lamanya. Hanya 45% dari individu dengan social phobia yang memperoleh penanganan. Tidak hanya itu, ketika terdeteksi, social phobia ditemukan bersamaan dengan gangguan mental lainnya. Oleh karena itu social phobia harus dideteksi dan ditangani sedini mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang disebabkan oleh penghindaran yang dilakukan anak terhadap interaksi sosial.
Social phobia dapat menimbulkan berbagai hambatan dan kendala dalam keberfungsian anak sehari-hari. Perilaku menghindar yang kerap dilakukannya dapat menyebabkan anak tidak memiliki banyak teman serta masalah lainnya seperti prestasi akademis yang rendah. Selain itu anak dengan social phobia juga cenderung memiliki harga diri yang rendah serta mengalami hambatan dalam kemampuan sosial (Chavira, Stein; Van Ameringen dkk; Fordham dan Stevenson dalam Hitchcock dkk, 2009). Social phobia pada anak juga menjadi faktor resiko berkembangnya gangguan psikologis lainnya di kemudian hari (Wittchen, Stein dan Kessler dalam Melfsen dkk, 2011).
prestasi akademisnya. Perilaku menghindar pada anak dengan social phobia juga dapat menghambat sosialisasinya sehingga interaksinya cenderung terbatas dan kemampuan sosialnya kurang berkembang. Deteksi dan penanganan sedini mungkin sangatlah diperlukan.
Gejala-gejala social phobia pada anak dapat dilihat dari tiga aspek yaitu fisiologis, perilaku dan kognitif. Secara fisiologis, anak akan mengalami peningkatan aktivitas otonom saat berada pada situasi sosial seperti meningkatnya denyut jantung, berkeringat dingin, wajah yang memerah, mual, masalah dengan pencernaan, dan tegangan otot (Hitchcock dkk, 2009). Kecemasan ini juga dapat terlihat dari perilaku anak yang kerap kali menghindar dari situasi sosial, sensitif, emosi yang meledak-ledak, menangis, selalu menempel pada orang tua, serta terlampau berhati-hati. Selain perilaku menghindar, ada juga yang disebut dengan safety behavior yang kerap dilakukan oleh anak dengan social phobia. Safety behavior merupakan perilaku yang dilakukan untuk mengurangi rasa cemas pada situasi sosial. Selain itu anak dengan social phobia juga sering digambarkan sebagai anak yang sangat peka akan kritikan dan tidak asertif terhadap teman-temannya (Bruch dan Heimberg dalam Hitchcock dkk, 2009). Sedangkan dari aspek kognitif, anak cenderung sangat memikirkan penilaian dari orang lain dan menganggap situasi sosial sebagai sesuatu yang mengancam (Barret, Rapee, Dadds, dan Ryan dalam Hitchcock dkk, 2009).
kondisi ini sangat peka terhadap sinyal-sinyal yang menunjukkan adanya kemungkinan penilaian negatif dari orang lain. Anak menjadi terlalu fokus terhadap sinyal-sinyal tersebut sehingga akhirnya tanpa disadari ia terlampau menyalahkan diri sendiri dan memunculkan distorsi persepsi terhadap perilaku orang lain (Ito dkk, 2008). Stimulus netral pun kemudian disalahartikan sebagai sesuatu yang negatif, sedangkan stimulus positif cenderung diabaikan. Demikian juga halnya dengan memorinya akan pengalaman di masa lalu yang berhasil ia lewati dengan baik cenderung kurang ia perhatikan. Distorsi kognitif tersebut kemudian akan mengaktifkan sistem saraf autonom dan memunculkan simptom-simptom kecemasan yang selanjutnya menjadi penguat bagi gambaran diri yang negatif, perasaan tidak mampu, perasaan terhina dan yang akhirnya membuat anak dengan social phobia menarik diri dan menghindar dari situasi sosial. Perilaku menghindar pun membuat anak semakin menyalahkan dirinya, siklus ini akan terjadi secara terus menerus (Clarks dan Well dalam Ito dkk 2008).
anak dapat yakin bahwa kemampuan copingnya ternyata berhasil (Seligman & Reichenberg, 2012).
Efektivitas Coping Cat telah banyak didokumentasikan dalam sejumlah literatur (Silva, dkk, 2006; Velting, dkk, 2004). Program ini disebut sebagai panduan CBT yang aplikasinya tersebar luas untuk mengatasi kecemasan pada anak (Velting, dkk, 2004) dan telah berhasil dilakukan di Amerika Serikat, Australia dan Canada. Program Coping Cat sangat dapat diadaptasi dan juga efektif apabila dilakukan pada kelompok dan dijalankan bersamaan dengan manajemen kecemasan keluarga. Selain itu, program Coping Cat juga berhasil diterapkan pada berbagai etnik budaya dan gender. Penelitian yang dilakukan oleh Kendall (dalam Mash dan Wolve, 2010) menunjukkan program Coping Cat efektif dalam menurunkan tingkat kecemasan pada anak, setelah memperoleh intervensi ini anak tidak lagi memenuhi kriteria untuk gangguan kecemasan.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan fenomena pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimana efektivitas Coping Cat Kendall dalam menurunkan
social phobia pada anak?”
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efektivitas Coping Cat Kendall dalam menurunkan social phobia pada anak.
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Psikologi Klinis Anak
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai aplikasi nyata psikologi klinis anak terkait penerapan program Coping Cat Kendall dalam upaya untuk menanggulangi gejala-gejala kecemasan pada anak khususnya yang mengalami Social Phobia.
1.4.2. Perkembangan Pelayanan Psikologi
Hasil penelitian mengenai efektivitas Coping Cat Kendall diharapkan mampu menjadi acuan atau pedoman bagi psikolog klinis anak sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan psikologi.
1.4.3. Perkembangan Riset Psikologi
meningkatkan kemampuan dan keterampilan psikolog dalam melaksanakan terapi khususnya menggunakan Coping Cat Kendall pada anak dengan social shobia.
1.5 Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Berisikan uraian mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Kajian yang diperoleh dari penelaahan pustaka meliputi kajian literatur dan hal-hal yang terkait social phobia dan Coping Cat Kendall.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab ini diuraikan tentang desain penelitian, gambaran subjek penelitian, dan rancangan program intervensi Coping Cat Kendall.
Bab IV Pelaksanaan dan Hasil Penelitian
Berisikan pelaksanaan intervensi, hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian efektivitas Coping Cat Kendall pada anak dengan social phobia. Selanjutnya akan dibahas pula tentang keterbatasan penelitian.
Bab V Kesimpulan dan Saran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Social Phobia
2.1.1. Definisi Social Phobia
Istilah social phobia pertama kali diciptakan oleh Janet pada tahun 1903 (dalam Heimberg dkk, 1995) untuk menggambarkan pasiennya yang cemas ketika diamati oleh orang lain saat sedang berbicara, atau melakukan aktivitas seperti bermain piano dan menulis. Sindrom pemalu, social anxiety dan social avoidance sendiri telah diketahui sejak masa Hippocrates (dalam Heimberg dkk, 1995). Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revised (DSM-IV-TR; APA, 2004) social phobia atau juga sering diistilahkan dengan social anxiety disorder adalah ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. Karakteristik utama dari social phobia adalah ketakutan yang berlebihan bahwa dirinya akan dilihat dan diamati oleh orang lain. Individu dengan social phobia merasa sangat terganggu dengan adanya kemungkinan bahwa ia akan melakukan kesalahan atau menunjukkan tanda-tanda kecemasan yang akhirnya membuat ia dipermalukan di depan orang lain.
2.1.2. Kriteria diagnostik social phobia
Berikut adalah kriteria diagnostik social phobia berdasarkan DSM-IV TR (APA, 2004):
dengan baik atau situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. Individu merasa takut dirinya akan melakukan sesuatu yang memalukan atau menunjukkan gejala-gejala kecemasannya di hadapan orang lain.
Diagnosis social phobia dapat ditegakkan pada anak jika anak tersebut terbukti memiliki kapasitas yang sesuai dengan usianya untuk membina hubungan sosial dengan orang yang telah dikenalnya dengan baik, kecemasan juga harus muncul pada saat interaksi dengan teman sebaya, bukan hanya saat berinteraksi dengan orang dewasa.
B. Saat dihadapkan pada situasi sosial yang ditakuti, kecemasan akan muncul dalam bentuk serangan panik. Pada anak-anak, kecemasan muncul dalam bentuk perilaku seperti menangis, tantrum, diam membisu, atau bersembunyi dari situasi sosial yang terdiri dari orang-orang yang belum dikenalnya.
C. Individu menyadari bahwa ketakutan yang ia rasakan adalah berlebihan dan tidak masuk akal. Pada anak-anak, kriteria ini tidak termasuk.
D. Individu menghindar dari situasi sosial yang ditakuti atau apabila tetap berada pada situasi tersebut, ia akan mengalami kecemasan yang hebat.
E. Perilaku menghindar, antisipasi kecemasan atau kesulitan yang dialami dalam situasi sosial yang ditakuti menimbulkan gangguan secara signifikan dalam rutinitas normal individu, fungsi pekerjaan atau akademis, hubungan sosial atau individu terlihat tertekan dengan fobia yang dialaminya.
F. Jika individu berusia di bawah 18 tahun, maka gejala-gejala tersebut berlangsung selama sekurang-kurangnya 6 bulan.
H. Apabila disertai oleh kondisi medis atau gangguan mental lainnya maka ketakutan yang tertera pada kriteria A tidak berhubungan dengan kondisi tersebut.
Spesifikasi:
Generalized: apabila kecemasan muncul hampir pada setiap situasi sosial (dipertimbangkan juga Avoidant Personality Disorder sebagai diagnosis tambahan).
2.1.3. Situasi yang ditakuti pada social phobia
Secara umum, terdapat dua situasi yang ditakuti oleh individu dengan social phobia (Liebowitz, dalam Heimberg dkk, 1995) yaitu:
a. Situasi interaksi sosial
Yang termasuk dalam situasi interaksi sosial adalah pesta, bertemu dengan orang asing, percakapan sehari-hari, berbicara dengan figur otoritas, mempertahankan kontak mata, bersikap asertif.
b. Situasi performance
Berbicara di hadapan sekelompok orang, makan atau minum di depan orang lain, menggunakan toilet umum, tampil di depan orang lain.
2.1.4. Karakteristik simptom social phobia
Karakteristik simptom social phobia dapat dilihat melalui 3 aspek sebagai berikut (Clarks dan Wells, dalam Crozier & Alden, 2001):
a. Aspek kognitif
Individu dengan social phobia sangat mengkhawatirkan tentang bagaimana orang lain akan mempersepsikan dan menilai dirinya. Kecemasan pada individu dengan social phobia disebabkan oleh adanya distorsi kognitif berupa pikiran-pikiran negatif, persepsi akan kekurangan diri, standar yang tinggi saat tampil di hadapan orang lain, dan keyakinan irasional mengenai standar yang digunakan orang lain untuk menilai dirinya. Pada saat akan memasuki situasi sosial tertentu, individu dengan social phobia memikirkan secara detil tentang apa yang akan terjadi dan bagaimana dia akan menghadapi kesulitannya. Pikiran-pikiran negatif tersebut tetap ada saat ia telah masuk dalam situasi sosial tersebut. Bahkan setelah keluar dari situasi tersebut, individu masih membayangkan secara detil apa yang telah terjadi pada dirinya.
b. Aspek perilaku
Pada saat menghadapi situasi sosial yang ditakutinya, individu dengan social phobia kerap memunculkan avoidance behavior yang memiliki 3 bentuk sebagai berikut:
- Avoidance
Hal ini dilakukan dengan cara menghindar sepenuhnya dari situasi sosial yang ditakuti.
- Escape
situasi tersebut namun kemudian berusaha untuk keluar dari situasi tersebut lebih awal.
- Safety behavior/partial avoidance
Apabila avoidance dan escape behavior tidak mungkin dilakukan, maka individu dengan social phobia biasanya melakukan safety behavior/partial avoidance yang digunakan untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan seperti misalnya menghindari kontak mata, berbicara dengan cepat, berbicara dengan suara pelan, atau duduk di kursi bagian belakang.
c. Aspek fisiologis
Individu dengan social phobia mengalami sejumlah reaksi somatis saat dihadapkan pada situasi sosial yang ditakutinya. Reaksi ini muncul akibat meningkatnya aktifitas sistem saraf otonom, adapun diantaranya adalah jantung berdebar kencang, wajah memerah, keringat, gemetaran, otot tegang, serta perut terasa tidak enak.
2.1.5. Faktor Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya social phobia yaitu interaksi antara faktor kerentanan psikologis dan biologis, peristiwa traumatis atau tekanan hidup, serta adanya siklus yang berulang dari pikiran negatif, perasaan dan perilaku menghindar yang menyebabkan kecemasan bertahan (Barlow dalam Kashdan dan Herbert, 2001).
a. Kerentanan Genetik
kembar, berdasarkan hasil ditemukan kecocokan sebesar 24.4% untuk kembar monozigot perempuan dan 15.3% untuk kembar monozigot laki-laki (Kendler dkk dalam Kashdan dan Herbert, 2001). Penelitian lainnya dilakukan untuk mengetahui faktor resiko social phobia dalam sebuah keluarga dengan cara membandingkan antara individu yang memiliki kerabat pasien social phobia dengan individu yang tidak memiliki kerabat pasien social phobia. Hasil penelitian menyatakan bahwa adanya peningkatan rata-rata social phobia pada individu yang memiliki kerabat pasien social phobia (Fyer dkk; Mannuza dkk; Reich dan Yates; Stein dkk dalam Kashdan dan Herbert, 2001). Meskipun demikian, ternyata banyak juga individu yang memiliki kerabat pasien social phobia dan saudara kembar dari pasien social phobia tidak mengalami gangguan ini. Dengan demikian faktor lain mungkin turut berperan dalam terjadinya social phobia. Dilaporkan juga dari hasil pencitraan otak dan teknik genotyping bahwa serotonin pengangkut protein dan kepadatan reseptor dopamine berpengaruh pada patogenesis social phobia dan generalized anxiety disorder (Schmidt dkk; Tiihonen dalam Kashdan dan Herbert, 2001).
b. Temperamen Behavioral Inhibition
bayinya digambarkan sebagai bayi yang mudah terganggu dan kurang tidur, mudah cemas di masa balita, dan menarik diri sejak masa anak-anak hingga dewasa (Kagan dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Fakta menyebutkan adanya hubungan antara BI dengan berkembangnya gangguan kecemasan (Biederman dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Hayward dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) meneliti 2.242 mahasiswa dalam kurun waktu 4 tahun, dan ia menemukan bahwa mahasiswa dengan riwayat BI di masa kanak-kanaknya beresiko empat kali lebih besar dibandingkan mahasiswa lainnya untuk mengalami social phobia.
lainnya yang dapat mempengaruhi berkembangnya social phobia termasuk diantaranya pengalaman hidup (Stein dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).
c. Pengalaman dari lingkungan
Pengalaman hidup yang sering dikatakan berpengaruh dalam berkembangnya simptom-simptom social phobia diantaranya adalah lingkungan keluarga yang maladaptif, tingginya kritikan dan kontrol dari orang tua (Bruch & Heimberg; Whaley dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001), penolakan dari teman sebaya dan pengalaman menjadi bulan-bulanan (La Greca & Lopez; Slee; Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001), serta trauma akibat pengalaman panik pada suatu situasi sosial (Barlow; Hofman dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Setiap pengalaman tersebut berpotensi untuk menciptakan umpan balik negatif terkait dengan kecemasan, perilaku menghindar dan hambatan dalam kemampuan sosial.
pentingnya penilaian dari orang lain atau kurangnya komunikasi dan ekspresi emosional dapat mengembangkan sifat pemalu dan rendahnya kemampuan bersosialisasi pada anak (Melfsen dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).
Pada penelitian lainnya, Vernberg dkk (dalam Kashdan dan Heirbert, 2001) menemukan bahwa saat anak dengan social phobia masuk ke sekolah baru ia lebih mengalami kesulitan untuk berteman dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami social phobia. Kecemasan sosial yang tinggi secara signifikan menyebabkan kurangnya interaksi dan kedekatan yang merupakan faktor penting untuk mengembangkan hubungan pertemanan. Sebuah fakta yang menarik ditemukan yaitu bahwa kecemasan pada anak dengan social phobia juga muncul terhadap teman-teman yang sudah dikenalnya dengan baik bukan semata-mata terhadap situasi atau orang yang baru dikenalnya (Vernberg dkk dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).
2.1.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi terpeliharanya simptom-simptom social
phobia
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi terpeliharanya simptom-simptom social phobia yaitu bias kognitif, hambatan kemampuan sosial dan operant conditioning (Beck dkk; Clark & Wells; Musa & Lepine dalam Kashdan & Heirbert, 2001). Menurut pendekatan kognitif, inti dari social phobia adalah adanya keinginan yang kuat untuk tampil dan disukai oleh orang lain namun disertai oleh persepsi ketidakmampuan diri untuk melakukan hal tersebut. Individu dengan social phobia merasa yakin bahwa dirinya akan melakukan sesuatu yang akan menimbulkan penolakan dan penilaian negatif dari orang lain. Keyakinan ini ditambah dengan persepsi tentang adanya penilaian dari orang lain menimbulkan pernyataan diri negatif dan membuat individu menjadi terobsesi dengan penampilan sosial orang lain (Hartman dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Hal inilah yang kemudian terwujud menjadi simptom kecemasan dalam bentuk reaksi fisiologis dan perilaku. Reaksi fisiologis seperti wajah yang memerah, berkeringat dingin, gangguan pencernaan lalu diinterpretasikan oleh individu sebagai bukti bahwa ia tidak berhasil yang pada akhirnya semakin meningkatkan kecemasan. Individu pun menjadi fokus pada pikiran negatifnya, reaksi somatis serta sinyal-sinyal yang menunjukkan bahwa orang lain menilai buruk dirinya. Hal ini kemudian akan menghambat fungsi sosial individu tersebut (Hope, Gansler & Heimberg dalam Kashdan dan Heirbert, 2001).
dengan social phobia cenderung kurang bergaul dan juga kurang mendapatkan dukungan dan penerimaan dari teman sebaya (La Greca dan Lopez dalam Kashdan dan Heirbert, 2001). Fakta-fakta ini sering disalah artikan oleh individu dengan social phobia, ia menganggap dirinya memiliki hambatan dalam kemampuan sosial. Sesungguhnya permasalahan yang berkaitan dengan perilaku sosial bisa jadi mencerminkan adanya hambatan dalam keterampilan sosial, atau kemungkinan permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari kecemasan yang berlebihan.
2.2. Coping Cat
2.2.1. Definisi Coping Cat
Program Coping Cat dikembangkan oleh Philip C. Kendall, seorang ahli psikologi klinis yang memfokuskan terapinya pada anak-anak dan remaja. Program ini sendiri dikhususkan untuk penanganan gangguan kecemasan terutama untuk anak-anak berusia 7 hingga 13 tahun yang memenuhi kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk separation anxiety disorder, social phobia, dan generalized anxiety disorder. Coping Cat mengkombinasikan antara efektivitas pendekatan perilaku dan juga menekankan faktor-faktor kognitif yang berkaitan dengan kecemasan. Program ini juga melibatkan sumber dukungan sosial yang ada, seperti orang tua dan teman sebaya (Kendal & Hedtke, 2006).
Secara keseluruhan, program Coping Cat bertujuan untuk mengajarkan kepada anak dalam mengenali tanda-tanda kecemasan dan menjadikannya isyarat untuk melakukan strategi pengendalian kecemasan. Program ini berdasarkan pada manual yang terstruktur untuk membangun keterampilan anak secara bertahap mulai dari mengidentifikasi proses kognitif yang terkait dengan kecemasan, menerapkan strategi kognitif untuk mengendalikan kecemasan dan mempraktikkannya secara langsung pada situasi yang menimbulkan kecemasan.
2.2.2. Konsep Teori dalam Program Coping Cat
Teori Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan dasar dalam memahami Coping Cat Kendall. Hanya saja Kendall lebih memfokuskan penerapan CBT pada anak-anak dan remaja. Kendall mengemukakan definisi tersediri mengenai CBT yaitu sebuah amalgam; kombinasi yang rasional, suatu upaya yang bertujuan untuk mempertahankan efek positif yang terlihat dari prosedur perilaku dalam konteks yang fleksibel dengan melibatkan aktivitas kognitif dan pengalaman emosional klien dalam proses terapi untuk menuju pada perubahan (Kendall dan Hollon, dalam Kendall, 2006). Sesuai dengan definisi tersebut, maka dalam terapinya Kendall menggunakan prosedur latihan aktif dan sesi yang terstruktur (melalui penggunaan manual dan buku kerja) serta strategi-strategi yang ditujukan untuk membawa perubahan pada pola pikir, emosi dan perilaku klien.
Kendall (2006) memfokuskan terapinya dalam menangangi gangguan pada anak-anak dan remaja dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan fisiologis serta aspek-aspek perkembangan lainnya yang terjadi pada fase tersebut. Selain itu terapinya tetap mengutamakan upaya untuk menyelesaikan masalah (problem solving) dengan melibatkan kekuatan-kekuatan kognitif yang mempengaruhi proses pengolahan informasi, mengkaitkannya dengan aspek sosial dan emosional, mempertimbangkan peran orang tua atau keluarga terhadap permasalahan yang dialami individu serta penekanan pada performa klien. Penerapan teori tersebut dilakukan melalui prosedur yang terstruktur dan berdasarkan pada manual.
yang disfungsional harus dapat disadari dan dimodifikasi. Caranya dengan mengajarkan strategi kognitif baru untuk memperbaiki pola pikir yang salah pada anak-anak maupun remaja.
Kendall (2006) berpendapat bahwa terapinya juga berkaitan erat dengan aspek emosi baik positif maupun negatif. Hal ini sangat mempengaruhi kemampuan kognitif dan perilaku individu karena ia menganggap bahwa kognisi, emosi dan perilaku saling berhubungan satu dengan yang lain. Kemampuan individu untuk memecahkan masalah juga membutuhkan pemahaman serta modifikasi terhadap kondisi emosi. Oleh karena itu dalam terapinya, Kendall sangat memperhatikan dan memfokuskan pada kondisi emosi klien.
Aspek sosial dan interpersonal juga memberikan kontribusi yang tidak kalah pentingnya terhadap gangguan yang dialami klien. Kendall (2006) mempertimbangkan pentingnya hubungan sosial baik dengan keluarga maupun teman sebaya terhadap penyesuaian psikologis yang sehat. Klien harus memiliki kemampuan adaptasi serta coping yang efektif terhadap situasi sosial. Oleh karena itu dalam terapinya, Kendall melibatkan orang tua namun tentunya hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan bentuk gangguan yang dialami anak serta tahap perkembangannya. Pada anak dengan separation anxiety disorder, keterlibatan orang tua akan sangat berpengaruh dan memberi dampak positif. Sedangkan untuk kasus remaja yang mengalami depresi, akan lebih baik apabila orang tua tidak dilibatkan dalam sesi terapi karena mereka pada umumnya lebih nyaman menjalani terapi secara terpisah.
Manual dapat memudahkan terapis mengarahkan anak-anak dalam mengikuti jalannya terapi serta menentukan langkah selanjutnya yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Penting untuk diingat bahwa terapi berdasarkan manual bukanlah bersifat kaku melainkan ditujukan untuk diaplikasikan secara fleksibel (Kendall dan Beidas, 2007). Terapis dapat melakukan adaptasi dalam proses terapi berdasarkan manual sesuai dengan kebutuhan klien selama tetap konsisten dengan strategi-strategi CBT. Kendall menggunakan buku kerja (workbook) (Kendall dan Hedtke, 2006) untuk anak agar mereka dapat belajar dan melatih kemampuan yang baru diperolehnya secara terstruktur. Selain itu pemberian buku kerja juga konsisten dengan metode pembelajaran yang diperoleh anak-anak di sekolah.
2.2.3. Komponen dalam Program Coping Cat Kendall
Program Coping Cat terdiri dari komponen afektif, kognitif dan perilaku yang kemudian dikombinasikan untuk mengatasi kecemasan pada anak (Kendall, 2006). Adapun komponen-komponen tersebut antara lain:
a. Komponen afektif - Affective education
Anak diajarkan untuk mengenal berbagai macam emosi dan ekspresi wajah serta bahasa tubuh yang sesuai.
- Awareness of bodily reactions when anxious
Anak diajarkan untuk mengenal reaksi-reaksi tubuh terhadap berbagai emosi dan mengidentifikasi reaksi tubuhnya bagaimanakah yang muncul saat ia cemas. Hal ini penting untuk membuat anak terlebih dahulu menyadari kondisi dirinya yang sedang cemas sebelum mulai melakukan rencana untuk mengatasi kecemasan.
- Somatic management
Prosedur ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran anak akan kondisi tubuhnya saat cemas dan mengajarkan cara untuk mengurangi ketegangan yang dirasakannya tersebut. Terdapat dua prosedur somatic management yang umum digunakan yaitu:
1. Diaphragmatic breathing
Dilakukan dengan cara menarik nafas dalam-dalam dan difokuskan pada perut. Peneliti menginstruksikan anak untuk melakukan prosedur ini selama beberapa kali. Prosedur ini juga tergolong ringan dan tidak kentara jika dilakukan pada situasi yang menimbulkan kecemasan.
Prosedur ini dilakukan dengan cara melemaskan bagian-bagian otot tertentu sehingga anak dapat membedakan sensasi tubuh di saat tegang dan di saat tenang. Pada anak-anak, dapat digunakan cerita sebagai instruksinya agar lebih memudahkan anak untuk memahami dan melaksanakannya.
b. Komponen kognitif
- Identification and modification of anxious self talk
Prosedur ini dilakukan untuk mengubah distorsi kognitif (anxious self talk) pada anak. Terdapat berbagai cara untuk melakukannya, salah satunya dengan memperlihatkan gambar kartun dan gelembung pikiran. Anak kemudian diminta untuk mengisi gelembung pikiran yang masih kosong pada gambar tersebut. Terapis kemudian mengajak anak untuk menganalisa isi pikirannya tersebut dan memberikan sejumlah pertanyaan untuk menantang atau membuktikannya. Cara lain yang dapat dilakukan adalah terapis mencontohkan kepada anak bagaimana cara mengidentifikasi dan mengubah distorsi kognitif pada situasi yang menimbulkan kecemasan. - Problem solving
Prosedur ini dilakukan untuk mengajarkan anak membuat dan menetapkan langkah-langkah alternatif yang dapat dilakukan ketika menghadapi situasi yang menimbulkan kecemasan sehingga anak tidak lagi melakukan penghindaran terhadap situasi tersebut. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah:
1. Menentukan masalah: “situasi apa yang menimbulkan kecemasan?” 2. Mengumpulkan berbagai solusi: “apa saja yang dapat dilakukan untuk
3. Mengevaluasi solusi yang tersedia: “solusi manakah yang memungkinkan?” “apakah solusi tersebut masuk akal untuk dilakukan?”
4. Memilih solusi yang lebih dirasakan sesuai: “solusi mana yang paling tepat?”
c. Komponen perilaku - Self reward
Prosedur ini dilakukan setelah anak melakukan evaluasi terlebih dahulu atas usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi kecemasan. Terapis selanjutnya mendorong anak untuk memberi reward terhadap dirinya sendiri berdasarkan usaha dan performance yang telah dilakukannya.
- Exposure
Prosedur ini dapat dilakukan secara imaginal maupun in vivo exposure Terapis menghadirkan situasi yang menimbulkan kecemasan pada anak secara bertahap mulai dari situasi dengan tingkat kecemasan yang paling rendah hingga tingkat kecemasan yang paling tinggi.
2.2.4. Teknik-teknik dalam program Coping Cat Kendall
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa teknik yang digunakan dalam program Coping Cat Kendall (Kendall, 2010) antara lain:
a. Graduated sequence of training tasks and assignments
b. Coping modeling
Selama program intervensi berlangsung, terapis mencontohkan kepada anak bagaimana cara melakukan strategi FEAR yang telah dipelajari satu persatu. Terapis juga memberikan contoh apa yang harus dilakukan saat mengalami kesulitan dalam melaksanakan strategi FEAR.
c. Role play
Terapis terlebih dahulu memperlihatkan kepada anak bagaimana cara menghadapi situasi yang ditakutinya lalu kemudian anak diajak untuk berpartisipasi dalam situasi yang dicontohkan terapis. Selanjutnya anak diminta melakukan role play seorang diri pada situasi yang ditakutinya secara bertahap.
d. Homework assignment/Show-That-I-Can (STIC) tasks
Homework assignment diberikan kepada anak untuk dikerjakan di luar sesi terapi untuk membantu anak menerapkan apa yang telah dipelajarinya selama sesi terapi.
e. Contingent rewards
Rewards atau reinforcement diberikan kepada anak setiap kali ia mengerjakan homework assignment yang diberikan. Melalui latihan yang berulang dan reinforcement yang diberikan akan membantu meningkatkan keyakinan diri anak dan menumbuhkan kompetensi diri.
2.2.5. Distorsi kognitif yang diperbaiki dalam Coping Cat Kendall
perilaku menghindar yang dimunculkan oleh subjek. Terdapat beberapa bentuk distorsi kognitif yang berkaitan dengan kecemasan pada anak dan remaja (Kendall, Podell, Gosch, 2010):
a. Walking with blinders: tidak memikirkan segala hal positif yang mungkin terjadi, hanya memikirkan hal buruk saja.
b. The repetitor: jika sudah pernah terjadi sekali maka pasti akan terulang lagi kejadian yang sama.
c. The catastrophe: selalu memikirkan hal yang paling buruk akan terjadi pada dirinya.
d. The pessimist: berharap segala sesuatunya pasti akan berakhir dengan kegagalan. e. Pick, pick, pick: hanya mendapati hal-hal negatif dalam sebuah situasi.
f. The avoider: menghindar atau menjauh dari semua hal yang membuat cemas. g. Quick and dirty: langsung menyimpulkan sebelum memperoleh semua bukti. h. The mind reader: seolah-olah dapat membaca pikiran orang lain dan merasa
yakin bahwa orang lain pasti memikirkan hal yang buruk tentang dirinya.
i. The shoulds: pola berpikir “harus”, misalnya harus selalu mengerjakan tugas dengan benar, atau harus tenang dan tidak boleh merasa cemas.
j. The fortune teller: membuat perkiraan sendiri tentang apa yang akan terjadi. k. The perfectionist: berpikir “harus mengerjakan segalanya dengan sempurna”
atau “tidak boleh melakukan kesalahan apapun”.
2.2.6. Tahapan pelaksanaan program Coping Cat Kendall
a. Psikoedukasi
Pada tahap ini terapis bertugas untuk memberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kecemasan. Mulai dari aspek biologis, perilaku dan psikologis dari kecemasan, sifat natural kecemasan, faktor-faktor penyebabnya, serta teknik terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Terapis juga dapat memperbaiki apabila orang tua memiliki pemahaman yang keliru mengenai kecemasan dan konsep terapi.
b. Skills training/coping skills
Pada tahap ini terapis mengajarkan konsep-konsep penting dalam mengendalikan kecemasan yang disingkat dengan FEAR sebagai berikut:
- F: Feeling frightened?
Terapis menyampaikan bahwa langkah pertama untuk mengendalikan kecemasan adalah mengenali perasaan cemas dan membedakannya dari emosi lainnya. Anak diajarkan untuk mengenali ekspresi wajah, postur dan sinyal-sinyal fisiologis yang berhubungan dengan emosi yang berbeda-beda. Konsep kecemasan ini diperkenalkan pada anak secara abstrak dan tidak langsung mengacu pada pengalaman anak .Terdapat banyak aktivitas yang dapat dilakukan, misalnya bersama-sama menggunting gambar orang di majalah yang memperlihatkan emosi yang berbeda-beda. Pada gilirannya, anak akan belajar untuk mengidentifikasi ekspresi fisiologisnya sendiri dengan cara membayangkan saat dalam kondisi cemas dan membuat gambar dirinya saat mengalami kecemasan.
isyarat untuk melakukan relaksasi. Pada umumnya, anak dapat diajarkan untuk menarik nafas dalam-dalam segera setelah menyadari bahwa dirinya sedang merasa cemas. Anak kemudian belajar prosedur relaksasi secara bertahap yang pertama-tama difokuskan pada otot-otot utama yang berhubungan dengan perasaan cemas. Terapis mencontohkan pada anak bagaimana caranya menggunakan prosedur relaksasi secara tepat. Cara lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan cerita khususnya untuk anak yang usianya lebih muda. Terapis juga dapat memberikan rekaman prosedur relaksasi yang bisa dibawa oleh anak untuk dilatih di rumah. Terapis menekankan pada anak bahwa prosedur relaksasi tersebut dapat dilakukan dengan tepat jika anak sering berlatih menggunakannya.
- E: Expecting bad things to happen?
Terapis mengajarkan anak untuk mengenali pikiran-pikiran cemas. Konsep penting yang diajarkan pada tahap ini adalah mengenai “self talk” yaitu hal-hal
yang terlintas dalam benak atau pikiran anak saat merasakan cemas. Self talk dapat berupa harapan anak akan dirinya sendiri, atau pemikirannya mengenai orang lain atau situasi tertentu. Pada anak-anak yang cemas, self talk sering kali berupa penilaian yang negatif terhadap diri sendiri, menetapkan standar yang terlalu tinggi, khawatir akan penilaian orang lain, takut akan gagal dan tidak mampu mengatasi masalah.
dalam kartun tersebut. Pada saat anak mulai terlihat nyaman, terapis dapat mulai mengarahkan anak pada situasi yang memicu kecemasannya. Segera setelah anak dapat mengenali pikiran cemasnya sendiri, maka terapis membantu anak untuk membentuk pikiran-pikiran yang dapat menanggulangi kecemasan anak. Terapis menantang pikiran-pikiran negatif yang terdapat dalam diri anak melalui proses uji hipotesis. Tujuan proses ini adalah agar anak dapat menciptakan proses informasi alternatif untuk menanggulangi kecemasannya. Pemberian tugas, permainan peran, dan tugas exposure dapat diberikan untuk membantu anak membentuk pikiran-pikiran alternatif tersebut.
- A: Attitude and actions that can help
Pada tahap ini fokusnya adalah problem solving atau penyelesaian masalah, terapis membantu anak membuat berbagai solusi alternatif dan kemudian memilih solusi yang paling tepat untuk dilakukan saat mengalami kecemasan. Konsep problem solving dapat dikenalkan dengan cara membahas situasi-situasi yang tidak terlalu mengancam bagi anak. Terapis dapat mencontohkan situasi-situasi tertentu dan membantu anak membuat beberapa solusi dan memilih solusi yang sesuai. Pada saat anak mulai terlihat nyaman, barulah terapis dapat mengarahkan anak pada situasi yang memicu kecemasannya. Berbagai solusi dapat dilakukan misalnya dengan membuat daftar teman dekat atau keluarga yang memberikan dukungan, mengamati cara orang lain mengatasi masalah, atau melatih kemampuan akademik, dan sosial.
anak tersebut untuk menanggulangi kecemasan. Anak juga dapat bermain peran menjadi tokoh tersebut saat berada dalam situasi cemas.
- R: Results and rewards
Tahap pengendalian kecemasan selanjutnya terapis mengajarkan anak untuk menilai usaha yang telah mereka lakukan untuk mengatasi kecemasannya dan memberi hadiah kepada dirinya sendiri. Intinya, anak diajarkan untuk menilai diri mereka berdasarkan atas usaha yang telah mereka lakukan bukan pada hasil yang diperoleh. Anak belajar untuk mengenali hal-hal apa yang disukai dari usaha-usaha yang telah dilakukannya atau hal-hal apa yang ingin mereka ubah. Anak kemudian diminta untuk membuat hal-hal apa saja yang dapat dijadikan imbalan atas usahanya.
c. Skills practice/exposure task
2.3.Program Coping Cat Kendall pada Anak dengan Social Phobia
Beberapa anak kerap menunjukkan permasalahan perilaku dalam interaksi sehari-hari dengan lingkungan sosialnya, salah satunya adalah perilaku menghindar dan menarik diri dari interaksi sosial yang merupakan gejala dari social phobia. Berdasarkan DSM-IV-TR (2000), social phobia merupakan ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. Terdapat sejumlah situasi yang menjadi sumber kecemasan bagi anak dengan social phobia, dan salah satunya adalah sekolah. Sebuah hasil penelitian yang terdahulu menemukan bahwa 60% situasi yang mencemaskan ternyata dialami oleh anak di sekolah (Strauss dan Last, dalam Morris, 2004).
Namun sayangnya, gangguan ini cenderung diabaikan dan kurang disadari baik oleh orang tua maupun guru di sekolah. Hal ini disebabkan karena anak dengan social phobia pada umumnya tergolong anak yang pendiam, tenang dan penurut di sekolah. Padahal social phobia memiliki berbagai dampak negatif bagi anak. Anak dengan social phobia cenderung mengalami berbagai hambatan di sekolah seperti prestasi akademis yang rendah serta tidak memiliki banyak teman. Selain itu anak dengan social phobia juga cenderung memiliki harga diri yang rendah serta mengalami hambatan dalam kemampuan sosial (Chavira, Stein; Van Ameringen dkk; Fordham dan Stevenson dalam Hitchcock dkk, 2009). Social phobia pada anak juga menjadi faktor resiko berkembangnya gangguan psikologis lainnya di kemudian hari (Wittchen, Stein dan Kessler dalam Melfsen dkk, 2011).
Wallin dan Durr, 2002). Terdapat beberapa karakteristik simptom social phobia yang dapat dilihat berdasarkan aspek kognitif, fisiologis dan perilaku. Anak dengan social phobia menunjukkan distorsi kognitif yang berupa adanya keyakinan bahwa dirinya tidak mampu dan tidak normal sehingga selalu melakukan kesalahan dan tidak diterima oleh orang lain. Anak yang mengalami kondisi ini sangat peka terhadap sinyal-sinyal yang menunjukkan adanya kemungkinan penilaian negatif dari orang lain. Distorsi kognitif tersebut kemudian mengaktifkan sistem saraf autonom dan memunculkan sejumlah reaksi fisiologis yang selanjutnya menjadi penguat bagi gambaran diri yang negatif dan perasaan tidak mampu pada anak yang akhirnya membuat anak dengan social phobia menarik diri dan menghindar dari situasi sosial (Clarks dan Well dalam Ito dkk 2008).
Berdasarkan karakteristik anak dengan social phobia tersebut diatas, maka peneliti berpendapat bahwa Coping Cat Kendall yaitu suatu terapi yang melibatkan pendekatan perilaku dan faktor-faktor kognitif yang bertujuan untuk membangun keterampilan anak dalam mengendalikan kecemasan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi social phobia pada anak. Diharapkan melalui program Coping Cat Kendall, anak dengan social phobia dapat mengendalikan kecemasannya melalui keterampilan-keterampilan yang telah dipelajarinya sehingga tidak lagi menghindar terhadap situasi sosial yang dihadapinya sehari-hari.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuasi eksperimental before-after study atau yang disebut juga dengan desain pre-test/post-test (Kumar, 1999). Desain ini dapat mengukur suatu perubahan pada suatu situasi, fenomena, isu, masalah, atau sikap dan merupakan desain yang sesuai untuk menelaah efektivitas dari suatu program. Penelitian ini menggunakan desain tersebut karena bertujuan untuk mengetahui efektivitas Coping Cat Kendall pada anak dengan social phobia. Maka, peneliti melakukan pengukuran di awal sebelum intervensi dilakukan (pre-test/pra intervensi) dan pengukuran lainnya pada saat setelah intervensi (post-test/paska intervensi). Pada penelitian ini pengukuran dilakukan untuk mengetahui tingkat social phobia pada anak. Kedua pengukuran tersebut (pre-test dan post-test) akan dibandingkan untuk melihat adanya pengaruh dari intervensi yang dilakukan terhadap tingkat social phobia pada anak.
3.2. Identifikasi Variabel Penelitian
a. Variabel terikat : Social Phobia b. Variabel bebas : Coping Cat
3.3. Definisi Operasional Penelitian
a. Social Phobia adalah kecemasan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebih situasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain. Social Phobia pada penelitian ini akan diukur dengan menggunakan skala evaluasi diri yaitu The Liebowitz Anxiety Scale for Children and Adolescents (LSAS-CA). Semakin rendah skor yang diperoleh menunjukkan tingkat social phobia semakin menurun, sebaliknya semakin tinggi skor yang diperoleh maka berarti tingkat social phobia semakin meningkat.
b. Coping Cat adalah suatu terapi yang bertujuan untuk membangun keterampilan anak dalam mengendalikan kecemasan dengan melibatkan pendekatan perilaku dan faktor-faktor kognitif yang terkait dengan kecemasan.
3.4. Subjek penelitian dan lokasi penelitian
3.4.1. Teknik pemilihan subjek penelitian