• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Nonverbal dan Citra Presiden Joko Widodo (Analisis Semiotika Komunikasi Nonverbal Serta Citra yang terbentuk dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Komunikasi Nonverbal dan Citra Presiden Joko Widodo (Analisis Semiotika Komunikasi Nonverbal Serta Citra yang terbentuk dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo)"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI NONVERBAL DAN CITRA

PRESIDEN JOKO WIDODO

(Analisis Semiotika Komunikasi Nonverbal Serta Citra yang

terbentuk dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo)

SKRIPSI

BELINDA HAREFA

110904036

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KOMUNIKASI NONVERBAL DAN CITRA

PRESIDEN JOKO WIDODO

(Analisis Semiotika Komunikasi Nonverbal Serta Citra yang

terbentuk dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana Program Strata 1 (S – 1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Diajukan oleh :

BELINDA HAREFA

110904036

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Belinda Harefa

NIM : 110904036

Judul Skripsi : Komunikasi Nonverbal dan Citra Presiden Joko Widodo (Analisis Semiotika Komunikasi Nonverbal Serta Citra yang terbentuk dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo)

Medan, 18 Mei 2015

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Yovita Sabarina Sitepu, M.Si

NIP. 19801107 2006042 002 NIP. 19620828 198701 2 001 Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A

Dekan FISIP USU

(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip

maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di

kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya

bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : BELINDA HAREFA

NIM : 110904036

Tanda Tangan :

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria, dan Santo Yosef (Keluarga Nazaret), yang Maha Baik dan senantiasa mengasihi peneliti selamanya. Berkat perantaraan dan kasih karunia Mereka-lah peneliti dapat menyelesaikan skripsi, yang merupakan pembuka pintu masa depan yang lebih baik lagi untuk peneliti di masa mendatang. Banyak hal dan tantangan yang peneliti hadapi selama penulisan karya ilmiah ini, namun peneliti yakin bahwa tidak ada yang mustahil bagi seseorang yang mau berusaha untuk mencapai tujuan bagi kebaikan dirinya sendiri, sehingga nantinya, mampu memberikan manfaat bagi bangsa dan negara di masa depan.

Penulisan karya ilmiah berupa skripsi ini, dilakukan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan S-1 di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Sumatera Utara (USU). Melalui penulisan skripsi ini, peneliti juga dapat menuangkan serta menggunakan ilmu yang peneliti dapatkan selama duduk di bangku kuliah di Departemen Ilmu Komunikasi, terutama dalam bidang semiotika, komunikasi nonverbal, dan citra. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan masukan untuk para pembaca, khususnya di bidang Ilmu Komunikasi.

(6)

kepada peneliti selama proses pengerjaan skripsi ini. Selain itu, peneliti juga ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1) Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU).

2) Bapak Drs. Edward, M.S.P., selaku Pembantu Dekan III FISIP USU.

3) Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A., selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

4) Ibu Dra. Dayana, M.Si., selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

5) Bapak Prof. Dr. Drs. Suwardi Lubis, M.S., selaku dosen Pembimbing Akademik peneliti selama proses perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

6) Kak Yovita Sabarina Sitepu, M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, membantu, dan memberikan saran serta inspirasi bagi peneliti dalam penyelesaian skripsi ini.

7) Kepada para dosen dan staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, yang telah memberikan waktunya untuk berbagi ilmu yang sangat berharga kepada peneliti saat berada di bangku kuliah.

8) Kepada pihak Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, Bagian Pendidikan, Keuangan, dan Kemahasiswaan FISIP USU, khususnya Kak Maya dan Pak Tangkas, yang telah banyak membantu peneliti dalam hal administratif selama masa perkuliahan dan proses pengerjaan skripsi ini. 9) Kepada sahabat-sahabat peneliti, Pue “Eonni” yang menjadi sahabat dan

teman peneliti untuk bertukar pikiran sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Amel, Nova “Poppy”, Inda “Astha”, dan Andrian yang menjadi sahabat dan penyemangat peneliti sejak dari sekolah menengah atas sampai saat ini.

(7)

FISIP USU stambuk 2011 yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu. Terimakasih untuk pertemanan, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan kepada peneliti selama proses perkuliahan dan kepanitiaan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

11)Divisi Hubungan Masyarakat (Humas) Ikatan Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi (Imajinasi) periode 2012-2013, Kak Cessy, Kak Indra, Khaidir, dan Susi, selama peneliti menjadi salah satu anggota pengurus di divisi tersebut, dan Divisi Humas Imajinasi periode 2013-2014, Khaidir “Pak Ketua”, Tabitha, Mega, Ayet, dan Trisno atas kerja samanya yang baik dan telah membantu peneliti selama menjadi sekretaris divisi.

12)Kepada teman-teman di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU stambuk 2008, 2009, dan 2010, khususnya Kak Sylviana, Kak Tika, dan Kak Indra atas nasihat-nasihatnya yang membangun selama peneliti duduk di bangku kuliah. Kepada stambuk 2012 dan 2013, khususnya Samuel, Tantika, dan Jane ketika bersama-sama menjadi panitia Paskah dan Natal di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Terimakasih untuk pertemanan, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan kepada peneliti. 13)Kepada Kak Harvie, Bu Luci, Pak Buana, Pak Rayen, Kak Nova, dan

seluruh pihak dari Hotel Polonia Medan, yang telah membagikan ilmu dan pengalamannya untuk bekerja secara profesional, ketika peneliti melakukan praktek kerja lapangan di tempat tersebut, dan Kak Eli H. dari Radio Sonora yang telah menjadi teman peneliti dan memberikan semangat bagi peneliti.

Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karenanya, dengan rendah hati, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini membawa manfaat di masa depan.

Medan,

(8)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Belinda Harefa NIM : 110904036 Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

KOMUNIKASI NONVERBAL DAN CITRA PRESIDEN JOKO WIDODO, beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non Ekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencatumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan Pada Tanggal : 18 Mei 2015

Yang Menyatakan

(9)

ABSTRAK

(10)

ABSTRACT

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

ABSTRAK ... ix

2.2.2 Komunikasi Nonverbal ... 17

2.2.3 Semiotika ... 22

2.2.4 Semiologi dan Mitologi (Roland Barthes) ... 25

2.2.5 Citra ... 29

3.7 Keterbatasan Penelitian ... 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyajian Data ... 46

4.2 Analisis Data ... 50

4.2.1 Analisis Komunikasi Nonverbal Presiden Joko Widodo dalam Video “Jokowi Resmi Dilantik Sebagai Presiden RI―Liputan Berita VOA 20 Oktober 2014” ... 50

(12)

4.2.1.2 Sequence Kedua ... 63

4.2.1.3 Sequence Ketiga ... 73

4.2.2 Analisis Komunikasi Nonverbal Presiden Joko Widodo dalam Video “Rangkaian Blusukan Presiden Jokowi di Kalimantan” ... 83

4.2.2.1 Sequence Pertama ... 83

4.2.2.2 Sequence Kedua ... 93

4.2.2.3 Sequence Ketiga ... 100

4.2.2.4 Sequence Keempat ... 106

4.2.3 Analisis Komunikasi Nonverbal Presiden Joko Widodo dalam Video “Presiden Jokowi Kembali Angkat Bicara Soal Komjen Budi Gunawan” ... 111

4.2.3.1 Sequence Pertama ... 111

4.2.3.2 Sequence Kedua ... 121

4.3 Pembahasan ... 130

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 138

5.2 Saran ... 139

5.3 Implikasi Teoritis ... 140

5.4 Praktis ... 141

DAFTAR REFERENSI ... 142

LAMPIRAN

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Jokowi Memakai Kemeja Putih dan Celana Hitam 4 ketika Mengumumkan Nama-nama Menteri dalam

Kabinet Kerja

1.2 Jokowi Terlihat Menunjukkan Kedekatannya terhadap 7 Warga disertai Raut Muka yang Ramah Ketika

Melakukan Blusukan

2.1 Peta Tanda Roland Barthes 27 2.2 Bagan Model Teoritik Penelitian Komunikasi Nonverbal 35

Serta Citra yang terbentuk dari Presiden Joko Widodo 4.1 Jokowi terlihat Berdiri dan Mengarahkan Pandangannya

pada Berita Acara Pelantikan yang terdapat di Atas Meja 50 4.2 Jokowi terlihat Membungkukkan Badan dan

Menandatangani Berita Acara Pelantikan di Hadapan

Ketua MPR dan Ketiga Perwakilan MPR 50 4.3 Jokowi terlihat Berdiri di Bagian Panggung ketika

Pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia di Gedung DPR/MPR yang dihadiri oleh Seluruh Anggota

MPR dan Beberapa Tamu Negara 51 4.4 Jokowi terlihat Berjabat Tangan dengan Perwakilan

MPR yang berada di Hadapannya dengan Menggunakan

Tangan Sebelah Kanan 51 4.5 Jokowi terlihat Memberikan Senyuman yang Lebar

dengan Rahang yang Kaku, kepada Perwakilan MPR

yang berada di Hadapannya 51 4.6 Jokowi terlihat Memiliki Sikap Tubuh yang Tegap

ketika Membacakan Sumpahnya sebagai Presiden

Republik Indonesia 63 4.7 Jokowi terlihat Merapikan Lengan Jasnya Sebelah Kanan

Menggunakan Tangan Sebelah Kiri 63 4.8 Jokowi terlihat Melangkah dengan Langkah Kaki yang

Panjang Menuju Mimbar Pidato 63 4.9 Jokowi terlihat sedang Melangkah Menuju Mimbar Pidato 64 4.10 Jokowi terlihat Mengarahkan Pandangannya pada

Beberapa Lembar Kertas yang sedang dipegangnya ketika berada di Atas Mimbar Pidato 64 4.11 Jokowi terlihat Mengangkat Tangannya Sebelah Kanan ke

Arah Kumpulan Orang yang berada Dalam Jarak yang Jauh

dengan Beliau 73

4.12 Jokowi terlihat Menunjuk Seseorang dengan

(14)

4.13 Jokowi terlihat Memegang Salah Satu Kancing

Jasnya Menggunakan Tangan Sebelah Kanan 74 4.14 Jokowi terlihat Membuka Pecinya selama Berjalan

Menuju Istana Merdeka 74 4.15 Jokowi terlihat Memasuki Sebuah Ruangan dengan

Gerakan yang Seragam/Serentak dengan Mantan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 74 4.16 Jokowi terlihat Berdiri dengan Jarak yang Dekat

dengan Istrinya dan Beberapa Jarak dari Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 75 4.17 Alis Mata Jokowi terlihat Naik diikuti dengan Gerakan

Tangan yang Membuka Lebar ketika sedang Berbicara 83 4.18 Jokowi terlihat Merapikan Rambutnya Menggunakan

Tangan Sebelah Kiri 84 4.19 Jokowi terlihat Menukar Tangannya yang Memegang Mic 84 4.20 Jokowi terlihat Menunjuk ke Suatu Arah dengan Jari

Telunjuk Tangan Sebelah Kanan 84 4.21 Alis Mata Jokowi terlihat naik diikuti Bola Mata yang

Mengarah ke Atas dan Dahi yang Mengernyit ketika

sedang Mendengar Keluh Kesah Warga 85 4.22 Jokowi terlihat Mengisi Rongga Mulut atau Pipinya

dengan Udara 85

4.23 Jokowi terlihat sedang Membuat Bibirnya Menyamping 85 4.24 Jokowi terlihat Menggantungkan Tangannya Sebelah Kiri

di Bagian Dada atau Depan Tubuhnya 86 4.25 Jokowi terlihat Menggaruk Bagian Jambang Rambutnya

Menggunakan Tangan Sebelah Kiri dan disertai dengan

Anggukan Kepala 86

4.26 Jokowi terlihat Memegang Lehernya dengan Tangan

Sebelah Kiri dan Menunjukkan Ekspresi Yang Murung 93 4.27 Jokowi terlihat Memanjat Menara Pos Pemantauan

Perbatasan di Pulau Sebatik 93 4.28 Jokowi Terlihat Melakukan Pembicaraan dengan Dua

Prajurit TNI AL di Atas Menara Pos Perbatasan

Pemantauan Perbatasan di Pulau Sebatik 94 4.29 Jokowi terlihat Menunjukkan Ekspresi Wajah yang

Murung 94

4.30 Kepala Jokowi terlihat Menunduk dan Cenderung ke Arah Sebelah Kiri disertai dengan Alis Mata Sebelah Kiri yang Naik ketika Mendengarkan Pertanyaan dari

Wartawan 100

4.31 Jokowi terlihat Mengernyitkan Dahi dan diikuti Kedua

Alis yang Naik 100

4.32 Jokowi terlihat Membentuk Tanda “OK” 101 4.33 Jokowi terlihat Memberikan Salam kepada Warga

(15)

4.34 Jokowi terlihat sedang Mengangkat Tangannya ke Arah Sebelah Kiri dan Menggoyang-goyangkan Tangannya

Tersebut ketika Mengunjungi SMPN 1 Sebatik 107 4.35 Jokowi terlihat sedang Memberikan Sebuah Kantongan

Dana dan Memberikan Jabatan Tangan kepada Kepala

Sekolah SMPN 1 Sebatik dan Perwakilannya 107 4.36 Telapak Tangan Jokowi terlihat saling Berhadapan,

Namun Tidak saling Bersentuhan 111 4.37 Bibir Jokowi terlihat Cenderung Maju ketika Berbicara 112 4.38 Alis Mata Jokowi terlihat Naik saat Berbicara 112 4.39 Jokowi terlihat Menyatukan Ujung Jari Telunjuk dan

Jari Jempolnya, sedangkan Jari yang Lain Mengepal ke

Dalam Telapak Tangan 112 4.40 Jokowi terlihat Mengatupkan Kedua Matanya dengan

Waktu yang Lebih Lama dari Biasanya di Sela-Sela

Pembicaran dan disertai dengan Dahi yang Mengernyit 113 4.41 Jokowi terlihat Menggelengkan Kepalanya setelah

Mengucapkan Kata “Tidak” 113 4.42 Jokowi terlihat Mengangkat Kedua Tangannya dengan

Menampakkan Telapak Tangan Bagian Dalam ke Luar 113 4.43 Jokowi terlihat sedang Tersenyum Lebar dengan Ujung

Bibir Cenderung ke Arah Mata 121 4.44 Jokowi terlihat Melakukan Gerakan Tangan seperti

sedang Menghitung 121 4.45 Jokowi terlihat Melakukan Gerakan Tangan seperti

sedang Menangkap Udara dengan Kedua Tangannya 122 4.46 Kepala Jokowi terlihat Cenderung Maju ke Depan disertai

Alis Mata yang Naik ketika Mendengarkan Pertanyaan dari

Wartawan 122

4.47 Jokowi terlihat Melakukan Gerakan Tangan seperti

sedang Membelah Udara dengan Tangan Kanannya 122 4.48 Bibir Jokowi terlihat Mengulum setelah Berbicara 123 4.49 Jokowi terlihat Mengangkat Kedua Tangannya dengan

Menampakkan Telapak Tangan Bagian Dalam ke Luar 123 4.50 Jokowi terlihat Melangkahkan Kakinya dengan Cepat

dan Menjauh dari Kumpulan Wartawan yang

(16)

ABSTRAK

(17)

ABSTRACT

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Sejak lahirnya era reformasi dan tumbangnya rezim orde baru hingga saat ini, Indonesia masih mengalami krisis kepemimpinan dan belum tampak adanya perbaikan yang signifikan. Beberapa tindakan kekerasan dan kesejahteraan rakyat yang tidak merata masih menjadi masalah utama di negeri ini, bahkan tindak pidana korupsi semakin marak terjadi di kalangan para pejabat dan elite politik. Pada saat kampanye, calon wakil rakyat mengatakan membela kepentingan rakyat. Namun, setelah menjabat sebagai wakil rakyat, mereka justru memperjuangkan kesejahteraan diri sendiri dan partai. Selain itu, banyak pemimpin bangsa ini yang membuat jarak pemisah dengan rakyat. Mereka memposisikan diri di tempat yang “tinggi”, hingga kurang dapat melihat secara dekat beserta permasalahan yang sedang dihadapi dan dirasakan oleh masyarakat (Aditya, 2014: 3-4).

(19)

Saat Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012, Jokowi menjadi salah satu calon gubernur bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon wakil gubernurnya. Pasangan Jokowi-Ahok saat itu harus berhadapan dengan calon lainnya yang dianggap lebih kuat, diantaranya calon incumbent, Fauzi Bowo (Foke) yang berpasangan dengan Nahrowi Ramli (Nara). Selain itu, Hidayat Nur Wahid yang pernah menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) juga ikut menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Akhirnya, setelah melalui dua putaran pilkada, pada tanggal 29 September 2012, Jokowi dan Ahok ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk periode 2012-2017 (Aditya, 2014: 85 dan 107). Selama proses menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, beliau mendapat banyak dukungan dari masyarakat, terutama kalangan bawah, dan para wartawan yang selalu meliput kegiatan “blusukan” Jokowi. Blusukan tersebut merupakan kegiatan beliau yang bertujuan untuk meninjau permasalahan yang terdapat di dalam masyarakat dengan langsung turun ke lapangan.

(20)

yang baik karena mau langsung terjun ke lapangan atau melakukan blusukan untuk melihat permasalahan yang sedang dialami oleh masyarakat.

Ketika Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia, beliau dianggap sebagai pemimpin yang memiliki citra sederhana di awal masa kepemimpinannya. Pada umumnya, pemimpin atau pejabat lebih memilih untuk menggunakan busana ataupun setelan jas yang mahal, akan tetapi beliau tetap lebih memilih untuk menggunakan setelan kemeja putih dan celana hitam yang terlihat sederhana, bahkan sejak menjabat sebagai Wali Kota Solo. Citra sederhana yang melekat padanya tersebut pun mengundang banyak tanya, apakah kesederhanaannya hanya sekedar pencitraan ataukah bukan. Terlepas dari hal tersebut, ketika berkomunikasi dengan masyarakat dan media, Jokowi tidak hanya menunjukkan bahasa verbal namun juga bahasa nonverbal yang apa adanya yang mendukung citranya tersebut. Karenanya, sikapnya yang sederhana dalam bertingkah laku dan berbicara menjadi salah satu karakter yang paling disukai rakyat Indonesia pada saat ini (Aditya, 2014: 236).

(21)

Gambar 1.1

Jokowi Memakai Kemeja Putih dan Celana Hitam ketika Mengumumkan Nama-nama Menteri dalam Kabinet Kerja

Sumber: hariansib.co

Selain menggunakan setelan kemeja putih dan celana hitam, ketika menjabat sebagai presiden, Jokowi juga menggunakan batik dan setelan jas. Dalam beberapa kesempatan, beliau menggunakan batik, misalnya ketika melakukan kegiatan kenegaraan seperti menerima tamu negara ketika baru saja dilantik menjadi presiden dan ketika melakukan blusukan keluar negeri. Pada saat tertentu, Jokowi juga menggunakan setelan jas, seperti ketika menghadiri APEC CEO Summit di Beijing. Sebelumnya, Majalah Tempo edisi 31 Agustus 2014, mengatakan bahwa Jokowi sempat terlihat tidak nyaman menggunakan setelan jas. Jokowi menggunakan setelan jas tersebut karena permintaan Majalah Tempo untuk melakukan sesi wawancara di Kantor Redaksi Majalah Tempo. Menurut majalah tersebut, Jokowi mengaku bahwa beliau lebih nyaman menggunakan setelan kemeja putih, celana hitam, dan sepatu kets yang dipakainya ketika bermain bola pada acara tujuh belasan beberapa waktu yang lalu.

(22)

merasakan kehidupan yang prihatin, seperti pernah tinggal di Bantaran Kali Anyar sewaktu masih kecil, beliau pun mampu berkomunikasi dengan kalangan bawah. Beliau menyadari dalam kondisi susah, orang akan mampu menghargai tindakan-tindakan manusiawi, dari sinilah beliau belajar untuk menjadi rendah hati

493130327379382). Rasa empati ini pun secara tidak langsung mampu mempengaruhi komunikasi verbal dan nonverbal serta citra yang terbentuk dari Jokowi.

Kesederhanaan Jokowi dapat dikatakan sebagai suatu simbol yang dapat menjadi sebuah citra yang tersirat dari komunikasi nonverbal yang dimilikinya. Adapun dalam wawasan Saussurean, simbol adalah diagram yang mampu menampilkan gambaran suatu objek, meskipun objek itu tidak dihadirkan. Misalnya, peta bisa memberikan gambaran hubungan objek-objek tertentu meskipun objek itu tidak dihadirkan. Simbol memiliki arti sebagai media primer dalam proses komunikasi yang dapat berupa bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya (Elbadiansyah, 2014: 63). Sedangkan menurut Eickelman dan Piscatori, simbol merupakan tanda yang menunjuk kepada nilai-nilai, dan seringkali simbol ini diungkapkan melalui bahasa. Kadang-kadang juga diungkapkan melalui citra di samping bahasa. Keterkaitan antara nilai, simbol, dan bahasa, menurut mereka, memiliki pengaruh yang sangat kuat. Hal ini sejalan dengan pendapat Pekonen, yaitu dimana ungkapan simbolik yang saling terjalin dan diartikulasikan melalui bahasa, merupakan sarana sosialisasi yang sekaligus dapat menciptakan suatu ikatan sosial antara individu dan kelompok, sebab peran-peran dan relasi sosial yang ada di masyarakat disampaikan melalui bahasa (Sobur, 2004: 176).

(23)

ungkapan-ungkapan yang simbolis. Setiap orang, dalam arti tertentu membutuhkan sarana atau media untuk berkomunikasi. Media ini terutama ada dalam bentuk-bentuk simbolis sebagai pembawa atau pelaksana makna atau pesan yang akan dikomunikasikan. Makna atau pesan yang sesuai dengan maksud pihak komunikator diharapkan dapat ditangkap dengan baik oleh pihak lain (Sobur, 2004: 177-178).

Kaum profesional dan eksekutif pada umumnya berharap akan produk-produk berkelas, bercita rasa tinggi dan bernilai tinggi untuk membentuk suatu pesan atau citra positif. Meskipun Jokowi saat ini telah menjabat sebagai pejabat negara dan di sisi lain juga sebagai pengusaha di bidang bisnis perkayuan, beliau tetap bersikap low profile dengan terlihat nyaman menggunakan pakaian yang berkisar seratusan ribu rupiah (Putra dkk., 2014: 120). Menurut Desmond Morris, sekurangnya ada tiga fungsi mendasar dari pakaian yang dikenakan manusia, yakni memberikan kenyamanan, sopan-santun, dan pamer (display). Setiap bentuk dan apapun yang mereka kenakan, baik secara gamblang maupun samar-samar, akan menyampaikan penanda sosial (social signals) tentang si pemakainya (Sobur, 2004: 170).

(24)

Gambar 1.2

Jokowi Terlihat Menunjukkan Kedekatannya terhadap Warga disertai Raut Muka yang Ramah Ketika Melakukan Blusukan

Sumber: google.com

Citra sederhana yang diikuti oleh kedekatan Jokowi dengan masyarakat dan wartawan dianggap tidak terlepas dari asas yang kuat dalam mengadakan komunikasi yang baik antara dirinya sendiri dengan orang lain. Jokowi memiliki citra yang mampu diterima banyak masyarakat, dimana beliau juga mampu memberikan pengaruh kepada mereka. Hal ini dibuktikan dengan terpilihnya Jokowi dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga menjadi Presiden Republik Indonesia pada periode 2014-2019 dan tetap dekat dengan rakyat. Komunikasi yang telah terjalin tersebut mampu meningkatkan aspirasi masyarakat dan membantu pemimpin negara dalam membuat keputusan di tengah kehidupan bermasyarakat (Nasution, 2004: 103). Cara berkomunikasi secara verbal maupun nonverbal sangat menentukan citra diri seorang pemimpin, seperti cara berkomunikasi Jokowi yang dinilai sangat sederhana dan merakyat.

(25)

emosi yang ditampilkan. Misalnya, bagaimana pesan verbal dan nonverbal seseorang dalam pertemuan pertama dengan orang lain. Seperti pesan verbal, beberapa pola pesan nonverbal bersifat umum dan dapat menjadi perilaku perseorangan. Misalnya, ekspresi (mimik) muka sedih, gembira, terkejut, dan takut, yang terlepas dari budaya seseorang. Persamaan lainnya adalah kesengajaan. Bahasa digunakan secara sadar oleh orang untuk tujuan pengiriman pesan, baik lisan maupun tulisan. Hal ini juga sering terjadi dalam komunikasi nonverbal (Ruben, 2013: 171).

Perbedaan komunikasi verbal dan nonverbal adalah kesadaran dan perhatian, aturan terbuka dan tertutup, pengendalian, status umum versus status pribadi, dan spesialisasi belahan otak. Kesadaran dan perhatian orang pada umumnya lebih tertuju kepada komunikasi verbal dibandingkan komunikasi nonverbal. Dalam dunia pendidikan, keterampilan seseorang berkomunikasi secara verbal dianggap sebagai salah satu keterampilan dasar, dibandingkan komunikasi nonverbal yang kurang mendapatkan perhatian. Mengenai aturan, komunikasi verbal bersifat terbuka. Informasi aturannya adalah berupa struktur dan penggunaan bahasa yang tersedia dalam berbagai sumber. Sedangkan komunikasi nonverbal bersifat tertutup, dimana terdapat pola-pola berupa ekspresi kasih sayang, cara berjabat tangan, dan sebagainya, yang adalah bukan kesepakatan universal (Ruben, 2013: 172-174).

(26)

komunikasi verbal dan nonverbal adalah spesialisasi belahan otak, dimana otak kiri memainkan peran utama dalam proses bahasa atau komunikasi verbal, dan otak kanan yang merupakan spesialisasi komunikasi nonverbal yang mampu mengenali gambar, tubuh, seni, dan musik (Ruben, 2013: 174-175).

Komunikasi verbal dan nonverbal tersebut saling berkaitan. Akan tetapi, menurut Birdwhistell, “barangkali tidak lebih dari 30% sampai 35% makna sosial percakapan atau interaksi dilakukan dengan kata-kata.” Sisanya dilakukan dengan pesan nonverbal. Mehrabian, penulis The Silent Message, bahkan memperkirakan 93% dampak pesan diakibatkan oleh pesan nonverbal. Komunikasi nonverbal sangat penting dalam mencapai komunikasi yang efektif. Dale G. Leathers, penulis Nonverbal Communication Systems, menyebutkan enam alasan mengapa komunikasi nonverbal sangat dibutuhkan (Rakhmat, 2007: 287).

Pertama, faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Ketika berkomunikasi tatap muka, kita banyak menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan nonverbal. Kedua, perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal daripada pesan verbal. Misalnya, menurut Mehrabian, hanya 7% perasaan kasih sayang dapat dikomunikasikan dengan kata-kata. Selebihnya, 38% dikomunikasikan lewat suara, dan 55% dikomunikasikan melalui ungkapan wajah (senyum, kontak mata, dan sebagainya). Ketiga, pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Dalam situasi komunikasi yang disebut “double binding”―ketika pesan nonverbal bertentangan

dengan pesan verbal―orang bersandar pada pesan nonverbal (Rakhmat, 2007: 288).

(27)

pesan nonverbal sangat dibutuhkan, karena pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Sugesti yang dimaksud dalam hal ini adalah menyarankan sesuatu kepada orang lain secara implisit (secara tersirat) (Rakhmat, 2007: 288).

Komunikasi sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Dengan berkomunikasi, kita dapat menyamakan pendapat dan mencapai tujuan yang diinginkan. Seperti komunikasi diantara pemimpin negara dengan masyarakatnya. Komunikasi juga dapat diasosiasikan sebagai simbol, dimana sebuah label arbitrer atau representasi terdapat dari fenomena. Dalam berkomunikasi, terdapat proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka (West, 2009: 7). Simbol-simbol tersebut pun pada akhirnya dapat diketahui dengan jelas pada komunikasi nonverbal seseorang. Karenanya, peneliti merasa tertarik untuk meneliti komunikasi nonverbal, yang dalam hal ini adalah komunikasi nonverbal dari Joko Widodo atau Jokowi ketika menjadi Presiden Republik Indonesia serta citra apa saja yang terbentuk darinya.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah di atas, peneliti merumuskan bahwa fokus masalah yang diteliti lebih lanjut adalah: “Bagaimana pemaknaan simbol nonverbal serta citra yang terbentuk dari Presiden Joko Widodo?”

1.3 Pembatasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah komunikasi nonverbal serta citra yang terbentuk dari Presiden Joko Widodo dalam tiga video mengenai aktifitas beliau di awal masa kepemimpinannya (20 Oktober 2014 - Januari 2015) yang masing-masing berdurasi di bawah 4 menit. Video tersebut merupakan media dokumentasi yang dipilih dan diambil oleh peneliti secara acak dari website

(28)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan makna dari simbol nonverbal serta citra yang terbentuk dari orang yang paling berpengaruh di Indonesia saat ini, dimana yang dimaksud oleh peneliti adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi).

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis, penelitian diharapkan bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Komunikasi FISIP USU. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan refrensi bagi penelitian serupa di hari dan masa yang akan datang. Dalam penelitian ini, peneliti berharap dapat memberikan kontribusi untuk memahami cara berkomunikasi dari seorang pemimpin yang memiliki citra sederhana dan dianggap berbeda dengan para pemimpin sebelumnya.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan kontribusi pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi yang berkaitan dengan analisis semiotika. Adapun yang dimaksud dalam penelitian ini adalah menganalisis makna dari komunikasi nonverbal dari Presiden Joko Widodo serta citra yang terbentuk darinya.

(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Menurut von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Akan tetapi, bila ditelusuri lebih jauh, awal mula konstruktivisme berasal dari gagasan pokok konstruktivisme Giambatissa Vico, seorang epistemolog dari Italia. Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia menyatakan filsafatnya bahwa, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Artinya, seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico, hanya Tuhan yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Dia membuatnya. Sementara itu, orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya (Suparno, 1997: 24-25).

Konstruktivisme berada di titik temu dua aliran besar dalam sejarah sosiologi, yaitu sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) dan sosiologi sains (sociology of science). Sosiologi pengetahuan dibentuk oleh pandangan tiga pemikir cemerlang: Marx, Mannheim, dan Durkheim. Ketiganya saling memberi akibat dari faktor-faktor sosial dalam bentuk kepercayaan individu (Kukla, 2003: 11). Dalam pandangan konstruktivisme, terdapat penolakan terhadap positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Tetapi, subjek yang ada memiliki kemampuan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu atau terhadap objek yang ada.

(30)

dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis, dan hermeneutik. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan kepada semua orang. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial dapat disebut berada diantara teori fakta sosial dan defenisi sosial (Eriyanto, 2004: 13). Karenanya, konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia.

Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar apabila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi kostruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lainnya, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mampu mengkonstruksi pengetahuan karena pengetahuan bukanlah sesuatu yang telah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang secara terus-menerus (Suparno, 1997: 28).

Sedangkan konstruktivisme sosial berpandangan bahwa pengetahuan merupakan hasil penemuan sosial dan sekaligus merupakan faktor dalam perubahan sosial. Menurut Berger dan Luckmann, kenyataan dibentuk secara sosial dan ditentukan secara sosial. Berger mendasarkan pengetahuannya pada kenyataan sehari-hari. Dia melihat bahwa kenyataan hidup sehari-hari merupakan dunia yang dialami bersama dengan orang lain. Menurut Weber, perilaku manusia adalah sebagai agen yang mengkonstruksi realitas sosial mereka sendiri. Dengan begitu, substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan setiap orang yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Karenanya, Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya (Suparno, 1997: 47).

(31)

pengetahuan. Mereka cenderung mengambil fungsi dan peran masyarakat begitu saja dalam pembentukan pengetahuan manusia. Konstruksivisme sosial mempertahankan bahwa pengetahuan ilmiah dibentuk dan dibenarkan secara sosial. Suasana, lingkungan, dan dinamika pembentukan ilmu pengetahuan adalah sangat penting. Mekanisme psikologi individu dikesampingkan, sebaliknya lingkungan sosial menentukan kepercayaan individu.

2.2 Kajian Pustaka 2.2.1 Komunikasi

Komunikasi adalah proses personal karena makna atau pemahaman yang kita peroleh pada dasarnya bersifat pribadi. Karenanya, menurut John R. Wenburg dan William W. Wilmot, komunikasi adalah usaha untuk memperoleh makna. Ketika mendengarkan seseorang yang berbicara, sebenarnya pada saat itu terjadi proses pengiriman pesan secara nonverbal (isyarat tangan, ekspresi wajah, nada suara, dan sebagainya) kepada pembicara tersebut. Komunikasi dalam hal ini bersifat intersubjektif, yang dalam bahasa Rosengren disebut komunikasi penuh manusia. Penafsiran seseorang atas perilaku verbal dan nonverbal orang lain yang dikemukakan seseorang tersebut akan mengubah penafsiran orang lainnya atas pesan-pesan yang telah disampaikan, dan pada gilirannya, mengubah penafsiran pribadi seseorang tersebut atas pesan-pesannya, begitu seterusnya. Hal ini secara singkat disimpulkan oleh Karl Erik Rosengren, bahwa komunikasi adalah interaksi subjektif purposif melalui bahasa manusia yang berartikulasi ganda berdasarkan simbol-simbol (Mulyana, 2008: 74-76).

Pada tahun 1986, Lee Thayer, dalam bukunya Komunikasi dan Sistem

Komunikasi (Communication and Communication System), memberikan

(32)

dalam cara yang berbeda-beda, orang bisa bertindak sebagai pengirim sekaligus penerima pesan, dan pergantian dari satu kepada yang lainnya adalah tidak selalu jelas, dan informasi yang diterima dapat berfungsi sebagai umpan balik (Ruben, 2013: 51).

Selain komunikasi yang menekankan proses menciptakan dan menginterpretasi pada informasi yang diterima, komunikasi juga memiliki beberapa arti yang berkaitan dengan penggunaan simbol yang dapat diinterpretasi oleh seorang individu. Bernard Berelson dan Gary A. Steiner mengatakan bahwa:

“Komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol―kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi” (Mulyana, 2008: 68).

Sedangkan menurut Raymond S. Ross,

“Komunikasi adalah suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator” (Mulyana, 2008: 69).

Komunikasi sebagai proses, memegang peranan penting untuk menciptakan iklim kerja harmonis dan menciptakan kredibilitas organisasi terhadap masyarakat lingkungan. Komunikasi merupakan kebutuhan hakiki umat manusia. Manusia menggunakan proses komunikasi untuk 80% waktu yang dimilikinya. Hanya waktu tidur manusia tidak melakukan proses komunikasi. Agar manusia sukses dalam kehidupan, ia harus mampu melaksanakan proses komunikasi efektif. Makna efektif disini dapat bersifat konstruktif apabila digunakan untuk mencapai tujuan yang bersifat konstruktif. Pemrakarsa proses komunikasi sebelum melakukan proses komunikasi perlu melakukan langkah empati, yaitu usaha untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang seseorang yang akan diajak untuk berkomunikasi. Berdasarkan hasil empati ini, pemrakarsa komunikasi harus memilih strategi komunikasi yang tepat, agar proses komunikasi dapat berjalan efektif dan efisien (Wahyudi, 1994: 96-97).

(33)

pokok manusia. Susanne K. Langer berpendapat bahwa manusia memiliki kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang-lambang. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu hal lainnya yang berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di halaman rumah untuk menyatakan penghormatan atau kecintaan kepada negara. Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan.

Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya. Representasi ini ditandai dengan kemiripan. Misalnya, patung Soekarno adalah ikon Soekarno. Rambu-rambu lalu-lintas di jalan raya yang menunjukkan arah untuk menuju pom bensin, masjid, atau rumah makan di depan, atau kondisi jalan (berbelok, menanjak, atau menurun) juga termasuk ikon. Sedangkan indeks adalah tanda yang secara alamiah merepresentasikan objek lainnya. Istilah lain yang sering digunakan untuk indeks adalah sinyal (signal), yang dalam bahasa sehari-hari disebut juga gejala (symptom). Indeks muncul berdasarkan hubungan antara sebab dan akibat yang punya kedekatan eksistensi. Misalnya, awan gelap adalah indeks hujan yang akan turun, sedangkan asap merupakan indeks api (Mulyana, 2008: 92-93).

(34)

bahwa kata-kata itu mendorong orang untuk memberi makna (yang telah disetujui bersama) terhadap kata-kata tersebut (Mulyana, 2008: 96).

Komunikasi adalah kompleks dan memiliki banyak bentuk namun tetap menjadi sebuah hal yang mendasar dalam kehidupan kita. Misalnya, ketika seorang dokter berbicara dengan pasien tentang masalah kesehatan dan menyarankan perubahan gaya hidup. Hal tersebut tentu membutuhkan komunikasi. Contohnya, komunikasi dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, profesional, teknologi, nasional, ataupun internasional yang adalah berbeda-beda. Komunikasi itu penting untuk efektifitas kerja. Pengetahuan dan keterampilan komunikasi merupakan dasar bagi kepemimpinan sebagaimana kemampuan tertentu lainnya untuk kepemimpinan yang efektif, misalnya dalam mengelola hubungan antarpribadi, mendapatkan pengaruh dan mengelola aliran informasi dalam organisasi, hingga mencapai tujuan organisasi.

2.2.2 Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal merupakan komunikasi tanpa bahasa atau komunikasi tanpa kata, maka tanda nonverbal berarti tanda minus bahasa atau tanda minus kata (Sobur, 2004: 122). Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai potensial bagi pengirim atau penerimanya. Jadi, komunikasi nonverbal mencakup perilaku yang disengaja dan tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan, dimana kita banyak mengirim pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain (Mulyana, 2008: 343). Adapun bentuk dari nonverbal tersebut menurut Duncan adalah berupa kinesik atau gerak tubuh, paralinguistik atau suara, proksemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial, olfaksi atau penciuman, sensitivitas kulit, dan faktor akrtifaktual seperti pakaian dan kosmetik.

(35)

penilaian dengan ekspresi senang dan tidak senang, wajah mengkomunikasikan berminat atau tidak berminat pada orang lain atau lingkungan, wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam suatu situasi, wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap pernyataannya sendiri, dan wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau kurangnya pengertian. Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway, makna tersebut antara lain mendorong/membatasi, menyesuaikan/mempertentang-kan, responsif/tak responsif, perasaan positif/negatif, memperhatikan/tidak memperhatikan, melancarkan/tidak reseptif, dan menyetujui/menolak. Pesan postural berkaitan dengan postur badan yang memiliki makna immediacy atau ungkapan kesukaan/ketidaksukaan, power atau status komunikator, dan

responsiveness atau emosi positif/negatif (Rakhmat, 2007: 290).

Pesan proksemik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang, yaitu dimana seseorang mengungkapkan jarak keakrabannya dengan orang lain. Hall menemukan bahwa jarak dapat diperkirakan bergantung pada kondisi dan isi percakapan, yaitu percakapan publik (12 kaki atau lebih hingga batas yang dapat dilihat), percakapan informal dan bisnis (4 sampai 12 kaki), percakapan biasa (1,5 sampai 4 kaki), dan percakapan intim (0 sampai 18 inci). Fluktuasi jarak dalam setiap kategori tergantung pada sejumlah faktor, yaitu budaya dimana percakapan berlangsung, usia dari yang saling berinteraksi, topik yang sedang dibahas, keadilan, sifat hubungan, sikap, perasaan dari individu dan seterusnya. Misalnya, penggunaan ruang dan posisi juga penting di tempat duduk. Dalam situasi kelompok, posisi tertentu sering dikaitkan dengan tingginya tingkat aktifitas dan kepemimpinan terhadap yang lain. Berada di depan kelompok dan lebih terpisah dari kelompok dibanding siapapun, mendukung individu yang bersangkutan untuk memiliki posisi jarak dan wewenang. Contohnya adalah seorang guru di depan kelas, seorang hakim di depan pengadilan, seorang pemimpin agama di bagian depan gereja dan sebagainya (Ruben, 2013: 193).

(36)

image). Hal ini erat kaitannya dengan tubuh yaitu dengan pakaian dan kosmetik kita berupaya untuk membentuk citra tubuh. Umumnya, pakaian digunakan untuk menyampaikan identitas atau mengungkapkan siapa diri kita kepada orang lain (Rakhmat, 2007: 292).

Pesan paralinguistik berhubungan dengan cara mengungkapkan pesan

verbal. Paralinguistik mengacu pada setiap pesan yang menyertai dan lebih melengkapi bahasa. Bentuk vokal dan bentuk tertulis merupakan bagian dari paralinguistik. Bentuk vokal meliputi tinggi rendah suara, kecepatan berbicara, irama, batuk, tertawa, sengau, berhenti, bahkan keheningan yang bersumber dalam penyampaian pesan tatap muka (Ruben, 2013: 175).

Pesan sentuhan dan bau-bauan termasuk pesan nonverbal nonvisual dan

nonvokal. Kita mampu menerima dan membedakan berbagai emosi yang disampaikan orang melalui sentuhan. Alat penerima sentuhan adalah kulit. Smith telah meneliti kemampuan kulit yang mampu menyampaikan berbagai perasaan yang pada umumnya meliputi: tanpa perhatian (detached), kasih sayang (mothering), takut (fearful), marah (angry), dan bercanda (playful). Sedangkan bau-bauan digunakan manusia untuk berkomunikasi secara sadar dan tidak sadar. Dr. Harry Wiener dari New York Medical College menyimpulkan bahwa manusia menyampaikan dan menerima pesan kimiawi eksternal (Rakhmat, 2007: 293-294).

(37)

atau menggarisbawahinya. Misalnya, Anda mengungkapkan betapa jengkelnya Anda dengan memukul mimbar (Rakhmat, 2007: 287).

Studi komunikasi nonverbal sebenarnya masih relatif baru. Pada zaman Yunani kuno, apabila bidang pertama dimulai dengan studi tentang persuasi, khususnya pidato, maka studi bidang kedua mengajarkan tentang ekspresi wajah sebagaimana dengan yang telah ditulis Charles Darwin pada tahun 1873. Sejak terdapat studi tersebut, banyak orang yang mengkaji komunikasi nonverbal ini demi keberhasilan komunikasi, bukan hanya ahli-ahli komunikasi, tetapi juga antropolog, psikolog, dan sosiolog. Simbol-simbol nonverbal lebih sulit ditafsirkan daripada simbol-simbol verbal. Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa isyarat nonverbal pada umumnya adalah tidak berlaku secara universal. Nonverbal ini harus dipelajari, karena isyarat nonverbal yang merupakan bawaan hanyalah sedikit. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun kebanyakan ahli sepakat bahwa dimana, kapan, dan kepada siapa kita menunjukkan emosi ini adalah dengan dipelajari dan dipengaruhi oleh konteks serta budaya (Mulyana, 2008: 343).

Dilihat dari fungsinya, perilaku nonverbal memiliki bebeberapa fungsi. Paul Ekman menyebutkan lima fungsi pesan nonverbal, seperti yang dapat digambarkan dengan perilaku mata, yaitu sebagai berikut (Mulyana, 2008: 349):

a. Emblem. Gerakan mata tertentu merupakan simbol yang memiliki

kesetaraan dengan simbol verbal. Kedipan mata dapat mengatakan, “Saya tidak sungguh-sungguh.”

b. Ilustrator. Pandangan ke bawah dapat menunjukkan depresi atau

kesedihan.

c. Regulator. Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka.

Memalingkan muka menandakan ketidaksetiaan berkomunikasi.

d. Penyesuai. Kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang berada

dalam tekanan. Itu merupakan upaya tubuh untuk mengurangi kecemasan.

e. Affect Display. Pembesaran manik-mata (pupil dilation) menunjukkan peningkatan emosi. Isyarat wajah lainnya menunjukkan perasaan takut, terkejut, atau senang.

(38)

bersama-sama. Sedangkan perbedaan kunci antara komunikasi verbal dan nonverbal adalah (1) dibandingkan dengan bahasa verbal, telah terjadi kurangnya kesadaran dan perhatian terhadap isyarat-isyarat nonverbal dan dampaknya terhadap perilaku, (2) komunikasi nonverbal melibatkan aturan yang utamanya tertutup, daripada yang terbuka, dan (3) pengolahan pesan verbal diduga terjadi di belahan otak kiri, sedangkan belahan otak kanan sangat penting untuk pengolahan informasi yang berkaitan dengan kegiatan nonverbal (Ruben, 2013: 201).

Pengetahuan komunikasi nonverbal atau yang juga berupa bahasa tubuh banyak digunakan untuk bidang intelejen seperti di Amerika, dimana setiap agen FBI atau CIA dibekali kemampuan membaca bahasa tubuh dan mutlak untuk mereka miliki. Meskipun dalam dunia pendidikan komunikasi nonverbal belum mendapatkan banyak perhatian dibandingkan komunikasi verbal, bagi beberapa kalangan, mempelajari komunikasi nonverbal sangatlah penting. Dalam sebuah penelitian, Profesor Mehrabian menyimpulkan bahwa seseorang dapat dipercaya bergantung pada konsistensinya dalam tiga faktor komunikasi, yaitu verbal (perkataan), vokal (nada suara), dan visual (bahasa tubuh). Masing-masing faktor mempunyai pengaruh yang berbeda-beda. Perkataan yang diucapkan hanya merupakan 7% dari bagian yang menjadi perhatian lawan bicara, sedangkan bahasa tubuh 55%. Hal ini menunjukkan bahwa pesan nonverbal lebih mendapatkan perhatian lawan bicara daripada pesan verbal yang disampaikan (Putra, 2013: 14-15).

(39)

memproses informasi tentang orang-orang, situasi, objek pada lingkungan, dan juga mengenai diri kita sendiri.

2.2.3 Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dianggap mewakili sesuatu yang lain. Istilah semeion diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api. Secara terminologis, semiotika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda, dan mengartikan semiotika sebagai ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya, yaitu cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (Bungin, 2007: 164).

Menurut Dick Hartoko, semiotika adalah bagaimana karya itu ditafsirkan oleh para pengamat dan masyarakat lewat tanda-tanda atau lambang-lambang. Luxemburg menyatakan bahwa semiotika adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-sistemnya, dan proses perlambangan. Sedangkan menurut Preminger, semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Bungin, 2007: 165).

Semiotika memang dimaksudkan sebagai ilmu tanda. Artinya, apabila kita mempelajari semiotika, maka kita mempelajari tentang berbagai tanda. Cara kita berpakaian, apa yang kita makan, dan cara kita bersosialisasi sebenarnya juga mengkomunikasikan hal-hal mengenai diri kita yang dapat kita pelajari sebagai tanda. Ziauddin Sardar dan Borin van Loon, dalam buku Cultural Studies for

Beginners, berpendapat bahwa tanda merupakan konsep utama dalam cultural

(40)

berpikir dengan sarana tanda. Karenanya, tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi. Tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn dalam Sobur, 2004: 15). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya.

Tanda-tanda mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Sistem penandaan memiliki pengaruh yang besar. Paul Cobley dan Litza Jansz beranggapan munculnya studi khusus tentang sistem penandaan adalah benar-benar karena fenomena modern. Tanda dalam pandangan Peirce adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated), dimana tanda hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir (Sobur, 2004: 17).

Tanda-tanda dapat mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena, dimana hubungannya berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol itu muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Simbol adalah “objek” atau peristiwa apapun yang merujuk kepada suatu hal. Simbol adalah suatu istilah dalam logika, matematika, semantik, semiotika, dan epistemologi. Simbol juga memiliki sejarah panjang di dunia teologi, dimana simbol dianggap sebagai sebuah sinonim dari “kepercayaan” (Sobur, 2004: 154).

Simbol (symbol) berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang artinya melemparkan secara bersama sesuatu (benda, perbuatan) yang dikaitkan dengan suatu ide. Adapula yang menyebutkan simbol berasal dari kata “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan suatu hal kepada seseorang (Herusatoto dalam Sobur, 2004: 155). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia

(41)

Saussurean memiliki pendapat bahwa simbol merupakan diagram yang mampu menampilkan gambaran suatu objek meskipun objek itu tidak dihadirkan. Contohnya, peta bisa memberikan gambaran hubungan objek-objek tertentu meskipun objek itu tidak dihadirkan. Manusia memiliki kemampuan menggunakan simbol. Kemampuan manusia menciptakan simbol membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi, mulai dari simbol yang sederhana seperti bunyi dan isyarat, sampai kepada simbol yang dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melalui gelombang udara dan cahaya, seperti radio, televisi, dan satelit (Sobur, 2004: 164).

Kajian semiotika bukanlah kajian yang benar-benar baru, namun analisis-analisis tentang bagaimana interpretasi dan penggunaan citra simbolik sudah berkembang di era 1940-an dan lumayan bersaing dengan penelitian efek atau dampak media massa yang populer di Amerika saat itu. Apabila kita telusuri dalam buku-buku semiotika yang ada, hampir sebagian besar yang menyebutkan bahwa ilmu semiotika bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913). Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik, tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotika dalam bukunya

Course in General Linguistics (1916). Dalam bukunya tersebut, ia

mengemukakan bahwa semiotika merupakan ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Menurut Saussure, penggunaan tanda secara sosial diatur oleh pemilihan, pengkombinasian dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu sehingga sesuatu mempunyai makna dan nilai sosial.

Menurut Saussure, penggunaan tanda secara sosial dan kaitannya dengan sistem tanda menggunakan dua model analisis bahasa dalam semiotika. Model analisis bahasa tersebut adalah langue, yaitu analisis bahasa sebagai sebuah sistem, dan parole, yaitu bahasa yang digunakan secara nyata oleh individu-individu dalam berkomunikasi secara sosial. Secara epistemologis, “semiotika signifikansi” pada prinsipnya adalah semiotika pada tingkat langue, sementara “semiotika komunikasi” adalah semiotika pada tingkat parole. Dalam kerangka

langue, Saussure menjelaskan bahwa tanda sebagai kesatuan yang tak dapat

(42)

‘bentuk’ atau ‘ekspresi’, dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’ (Sobur, 2004: vii-vii).

Selain Saussure, tokoh penting lain dalam kajian semiotika adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika, dan Charles Williams Morris (1901-1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembangkan teori-teori semiotika modern adalah Roland Barthes (1915-1980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman (1922-1993), Christian Metz (1931-1993), Umberto Eco (1932), dan Julia Kristeva (1941). Selain Saussure, yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899-1966) dan Roman Jakobson (1896-1982). Dalam Ilmu Antropologi terdapat Claude Levi Strauss (1980), dan Jacques Lacan (1901-1981) dalam psikoanalisis.

2.2.4 Semiologi dan Mitologi (Roland Barthes)

Roland Barthes (1951-1980) merupakan salah satu ahli semiotika. Namun, dalam karya-karyanya, Barthes lebih sering memakai istilah semiologi dibandingkan semiotika. Menurut Hawkes, istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sedangkan semiotika dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris. Akan tetapi, komite internasional di Paris pada bulan Januari 1969 dan Association for

Semiotics Studies pada kongres pertamanya pada tahun 1974 memutuskan hanya

untuk menggunakan istilah semiotika (Sobur, 2004: 13). Menurut Barthes, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia, di tengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal

(things). Memaknai (to signify) artinya objek-objek tidak hanya membawa

informasi, dimana objek-objek tersebut hendak berkomunikasi, namun juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004: 16).

(43)

tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu (Sobur, 2004: 63). Kunci dari analisis Barthes adalah konsep tentang konotasi dan denotasi, dimana ia menggunakan versi yang jauh lebih sederhana saat membahas model “glossematic sign” (tanda-tanda glossematic) (Wibowo, 2013: 21).

Barthes memiliki konsep bahwa tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Secara lebih rinci, linguistik pada dasarnya membedakan tingkatan ekspresi (E) dan tingkat isi (C) yang keduanya dihubungkan oleh sebuah relasi (R). Ketiga tingkatan tersebut pun membentuk sebuah sistem (ERC). Sistem ini menjadi unsur sederhana dari sebuah sistem kedua yang akibatnya diperluas. Menurut Hjelmslev, bahasa dapat dipilih menjadi dua artikulasi. Artikulasi yang pertama, sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua: (ERC)RC. Sistem 1 berkorespondensi dengan tingkat konotasi. Artikulasi kedua, sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem kedua: ER(ERC). Pada artikulasi ini, sistem 1 berkorespondensi dengan objek bahasa dan sistem 2 dengan metabahasa (metalanguage) (Kurniawan dalam Sobur, 2004: 70).

Fiske menyebut model artikulasi pertama dan kedua sebagai signifikansi dua tahap (two order of signification). Melalui model Barthes ini, telah dijelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda (ekspresi) dan petanda (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Hal inilah yang disebut Barthes sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda (sign) (Wibowo, 2013: 21). Signifikasi tahap kedua adalah konotasi, dimana digambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya.

(44)

pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).” Contohnya kata amplop. Amplop

bermakna sampul yang berfungsi sebagai tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain, kantor, atau instansi lainnya. Makna inilah yang disebut sebagai makna denotatif. Namun, dalam kalimat “Berilah ia amplop agar urusanmu segera beres,” kata amplop telah memiliki makna konotatif, yaitu

berilah ia uang. Kata amplop dan uang masih memiliki hubungan, karena amplop

dapat diisi dengan uang. Dengan kata lain, makna kata amplop mengacu pada

uang, apakah uang pelicin, uang semir, atau uang sogok (Sobur, 2004: 263).

Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi tersebut bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karenanya, salah satu tujuan analisis semiotika adalah menyediakan metode analisis, kerangka berpikir, dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2013: 22).

Gambar 2.1

Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Alex Sobur. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hlm. 69.

1. Signifier (Penanda)

2. Signified (Petanda) 3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)

4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)

5. Connotative Signified (Petanda Konotatif)

(45)

Peta Tanda Roland Barthes di atas menjelaskan bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Namun, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut dapat dikatakan sebagai unsur material. Misalnya, hanya jika mengenal tanda “singa”, konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2004: 69).

Konotasi identik dengan operasi ideologi, dalam kerangka Barthes disebut sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda (Sobur, 2004: 71).

Barthes menempatkan mitos sama dengan ideologi karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dengan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. Ia memahami bahwa ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada. Kebudayaan mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain (Sobur, 2004: 71).

Menurut Barthes terdapat lima kode dalam semiotika, yaitu (Sobur, 2004: 65-66):

1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan berbagai sisi.

(46)

dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.

3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas

bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan, baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Misalnya, seorang anak belajar bahwa ibunya dan ayahnya berbeda satu sama lain dan bahwa perbedaan ini juga membuat anak itu sama dengan satu diantara keduanya dan berbeda dari yang lain―atau pun pada taraf pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.

4. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai

perlengkapan utama teks yang bersifat naratif. Jika Aristoteles dan Todorov hanya mencari adegan-adegan utama atau alur utama, secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi, dan terbukanya pintu sampai petualangan yang romantis. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap lakuan di-“isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks (seperti pemilahan ala Todorov).

5. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini

merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.

2.2.5 Citra

(47)

terhadap objek tersebut. Citra terbentuk berdasarkan pengetahuan dan informasi-informasi yang diterima seseorang (Soemirat, 2004: 114).

Saat ini, hampir semua pihak yang berkepentingan dengan opini publik menyadari pentingnya mengelola citra. Global Image Group merupakan salah satu perusahaan yang membantu orang untuk menampilkan citra tersebut dan

image terbaik seseorang melalui penampilan dan citranya. Pendiri perusahaan ini, Michelle T. Sterling, pernah mengatakan bahwa setiap orang menilai orang lain dari penampilan visual dan perilaku dari kepala hingga ujung kaki, kemudian mereka akan mengamati bagaimana pembawaan orang lain tersebut dari tata krama, sampai jam tangan, dan akan mengamati bahasa tubuh orang tersebut hanya dalam 3 detik. Hal ini menjadi kesan yang tak terhapuskan dari seseorang yang melakukan penilaian di saat pertemuan pertama (Putra, 2013: 8).

Apabila pada pertemuan pertama seseorang telah memiliki image dan kesan yang positif, maka kedepannya kesan ini akan mengalami penguatan dan sebagai referensi orang lain untuk mengambil keputusan dalam berhubungan. Robert Zajonc (1979) seorang psikolog Amerika, mengatakan bahwa detik-detik pertama saat bertemu merupakan saat yang menentukan apakah seseorang menyukai yang lainnya atau tidak, meskipun masing-masing tidak mempunyai pengetahuan tentang pribadi lainnya. Zajonc berkeyakinan bahwa komunikasi nonverbal berperan sangat dominan dalam image seseorang atau pembentukan kesan pertama seseorang terhadap yang lainnya (Putra, 2013: 36).

(48)

2.2.6 Pemimpin

Pengertian pemimpin menurut Henry Pratt Fairchild terbagi atas dua, yaitu pengertian dalam arti luas dan pengertian dalam arti yang sempit. Pemimpin dalam arti luas merupakan seorang yang memimpin dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisir, atau mengontrol usaha/upaya orang lain, atau melalui prestise, kekuasaan atau posisi. Sedangkan dalam arti sempit, pemimpin adalah seseorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya, dan penerimaan secara sukarela oleh pengikutnya. Pemimpin juga dapat diartikan sebagai pribadi yang memiliki kecakapan khusus, dengan atau tanpa pengangkatan resmi, dapat mempengaruhi kelompok-kelompok yang dipimpinnya untuk melakukan usaha secara bersama yang mengarah pada pencapaian sasaran-sasaran tertentu, atau dengan kata lain sesungguhnya kepemimpinan bersumber dari keunggulan manusia, yaitu dari segi kualitas (Arifin, 2012: 2).

Apabila kepemimpinan didefinisikan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktifitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok, maka akan ditemukan tiga implikasi, yaitu harus melibatkan orang lain, mencakup distribusi kekuasaan yang tidak sama, dimana semakin besar sumber kekuasaan, semakin besar pula potensinya untuk menjadi pemimpin yang efektif, dan kemampuan untuk menggunakan berbagai bentuk kekuasaan demi mempengaruhi perilaku pengikut melalui sejumlah cara, diantaranya dengan mendelegasikan, mengikutsertakan, menjajakan, ataupun memberitahukan. Karenanya, kepemim-pinan merupakan bentuk dominasi yang didasari oleh kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu berdasarkan keahlian khusus yang tepat bagi situasi khusus, misalnya, situasi yang informal. Adapun pemimpin insitusional sering dikaitkan dengan kekuasaan formal (Arifin, 2012: 3-4).

(49)

Namun, cara yang paling efektif untuk mendapatkan pengikut adalah dengan komunikasi. Komunikasi tersebut digunakan untuk menciptakan pengaruh, dimana orang lain akan mengikuti pengaruh tersebut. Untuk mencapai komunikasi yang efektif, seorang pemimpin harus memahami bahwa komunikasi yang efektif memiliki lima karakter pokok, yaitu komunikasi adalah media dan pesan dari proses pemasaran, komunikasi sebagai penghubung di antara manusia, komunikasi sebagai proses memperoleh persetujuan/dukungan, dan komunikasi sebagai pembuktian kredibilitas (Nugroho, 2004: 82-84).

Menurut Steven M Bornstein dan Anthony F Sands, terdapat lima inti kredibilitas, yakni conviction, character, courage, composume, dan competence.

Conviction adalah keyakinan dan komitmen. Character adalah integritas,

kejujuran, respect, dan kepercayaan yang konsisten. Courage adalah keberanian dan kemauan untuk bertanggung jawab atas keyakinannya. Composume adalah ketenangan batin, suatu kemampuan untuk memberikan reaksi dan emosi yang tepat dan konsisten, khususnya dalam menghadapi situasi kritis. Competence

adalah keahlian, keterampilan, dan profesionalitas. Sebagai seorang pemimpin, seseorang diharapkan dapat mendidik pengikutnya, dimana seorang pemimpin dapat mempersiapkan pemimpin-pemimpin yang dapat menggantikannya di masa depan (Nugroho, 2004: 85). Dalam hal ini, pemimpin yang dimaksudkan adalah pemimpin formal maupun pemimpin informal.

Pemimpin formal merupakan orang yang ditunjuk oleh organisasi/lembaga sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya dan untuk mencapai sasaran organisasi. Adapun ciri-ciri dari pemimpin formal ini adalah berstatus sebagai pemimpin selama masa jabatan tertentu (legitimas), harus memenuhi persyaratan formal, didukung oleh organisasi formal, mendapatkan balas jasa materil dan immateril serta emolumen (keuntungan ekstra), terdapat mutasi dan mencapai promosi, ada hukuman dan sanksi, dan memiliki kekuasaan dan wewenang (Arifin, 2012: 9).

(50)

kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok atau masyarakat. Ciri-ciri dari pemimpin informal ini antara lain, tidak memiliki penunjukan formal/legitimas, ditunjuk oleh masyarakat, dimana kepemimpinan berlangsung selama masyarakat mengakuinya, tidak memperoleh dukungan dari suatu organisasi formal, biasanya tidak mendapatkan imbalan balas jasa atau imbalan diberikan secara sukarela, tidak dapat dimutasi dan mencapai promosi, dan hukuman yang ada berbentuk rasa respect yang berkurang dan pribadi tidak diakui/ditinggalkan oleh masyarakat (Arifin 2012: 10).

Pemimpin memiliki etika profesi, dimana profesi adalah suatu lapangan kegiatan (a field of activity) yang memiliki kriteria, antara lain pengetahuan (knowledge), aplikasi yang kompeten (competent application), tanggung jawab sosial (social responsibility), pengontrol diri (self control), dan sanksi dari masyarakat (community sanction). Profesi kepemimpinan harus dilandaskan kepada paham dasar yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, yaitu pengabdian pada kepentingan umum, jaminan keselamatan, kebaikan, dan kesejahteraan bagi bawahan atau masyarakat, menjadi pengingat dan pemersatu dalam segala gerak upaya, dan penggerak dari setiap kegiatan. Etika adalah penyelidikan filsafat mengenai kewajiban-kewajiban manusia, dan tentang perkara yang baik dan buruk ataupun yang berkaitan dengan moral (Arifin, 2012: 10-11).

(51)

Gambar

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes
Gambar 2.2 Bagan Model Teoritik Penelitian Komunikasi Nonverbal Serta Citra yang
Gambar 4.1 Jokowi terlihat Berdiri dan Mengarahkan Pandangannya pada Berita Acara
Gambar 4.11
+7

Referensi

Dokumen terkait