• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kualitas Tidur pada Kelompok Obesitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Kualitas Tidur pada Kelompok Obesitas"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH: YOSUA C.R.N.

120100141

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KARYA TULIS ILMIAH

OLEH: YOSUA C.R.N.

120100141

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Latar Belakang: Telah ditemukan bahwa tidur memberi pengaruh besar terhadap kesehatan tubuh manusia. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kualitas tidur yang buruk dapat memicu obesitas dan obesitas dapat memperburuk kualitas tidur akibat berbagai gangguan tidur yang sering dijumpai pada orang obesitas. Salah satu gangguan tidur yang berkaitan erat dengan obesitas adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA). Kualitas tidur yang buruk juga dapat mengurangi pengeluran energi melalui aktivitas olahraga sehingga hal tersebut mendukung

terjadinya obesitas. Penelitian ini dilakukan untuk menilai kualitas tidur pada orang-orang obesitas.

Metode : Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional dengan sampel sebanyak 100 orang. Pengambilan data diambil mulai bulan Oktober 2015 sampai dengan November 2015 di tempat-tempat umum di kota Medan. Data diperoleh melalui pemeriksaan fisik (Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan indeks massa tubuh), kuesioner PSQI, kuesioner Berlin, dan kuesioner aktifitas fisik.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 78 orang (78%) dinyatakan memiliki kualitas tidur yang buruk. Kualitas tidur yang buruk lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki (81,4%) dan pada usia dewasa awal (78%). Dari 100 orang obesitas diperolah bahwa sebanyak 71 orang (71%) dinyatakan sebagai golongan risiko tinggi menderita OSA dan sebanyak 74 orang (74%) orang obesitas

tergolong jarang berolahraga.

Kesimpulan: Kualitas tidur pada orang obesitas tergolong buruk dan disertai dengan risiko tinggi OSA serta aktifitas fisik yang kurang. Disarankan pada kelompok obesitas

agar memerhatikan dan mencapai kualitas tidur yang baik serta meningkatkan kebiasaan olahraga.

(6)

ABSTRACT

Background: It has been found that sleep has wide implications in human body. Previous studies suspected that poor sleep quality was able to induce obesity; furthermore,

obesity was also able to worsen the previous poor sleep quality through the various sleep

disorder that was strongly related with obesity. One of the strongly-obesity-related sleep disorder is Obstructive Sleep Apnoea. Poor sleep quality was also suspected to reduce

body’s energy expenditure from exercise activity; then, this situation would induce obesity. This research was conducted to assess sleep quality in obese people.

Method: This study is a descriptive study with cross-sectional approach with sample size

of 100 obese. The data was collected from October 2015 until November 2015 in some public spots in Medan. Data was obtained by doing physical examination (body mass index), Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), Berlin’s questionnaire, and physical activity questionnaire.

Result: This research showed that 78 obese people (78%) had a poor sleep quality. Poor sleep quality was more common in male group (81.4%) and in young adults group

(78%). From 100 obese people, it was found that 71 people (71%) was a high-risk of OSA and 74 people (74%) was categorized as lack of physical activity.

Conclusion: Overall sleep quality in obese people was mostly poor with a high-risk of OSA also with a lack of physical activity. We suggest the obese people to pay attention and try to achieve good sleep quality and also to increase physical activity through routine exercise.

Keywords: Sleep quality, Obesity, PSQI, Berlin’s questionnaire, OSA

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, yang merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan program pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya tulis ilmiah ini berjudul “Gambaran Kualitas Tidur pada Kelompok Obesitas”. Dalam penyelesaian penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof.Dr.dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK, selaku dosen pembimbing yang dengan sepenuh hati telah membimbing dan mengarahkan penulis sejak perencanaan penelitian hingga selesainya laporan hasil penelitian ini.

2. dr. Iman Helmi Effendi, M.Ked(OG), Sp.OG(K) selaku dosen penguji I dan dr. Hiro Hidayah, M.Ked(OG), Sp.OG selaku dosen penguji II pada seminar

hasil yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan serta saran kepada penulis.

3. Kedua orang tua saya, Bapak Gindo Napitupulu dan Ibu Erita Sitohang atas doa, perhatian, dan dukungan kepada penulis.

4. Kepada teman-teman saya khususnya Theodore Gabriel dan Brian Franco G.M. atas bantuan dan dukungannya kepada penulis.

5. Kepada rekan-rekan satu bimbingan, Yolanda Octaviana dan Norlaily Sakinah, atas dukungan, saran, kebersamaan, dan kerjasamanya selama ini.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ini.

Medan, 14 Desember 2015 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ...ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan umum ... 4

1.3.2 Tujuan khusus ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tidur 2.1.1 Definisi Tidur ... 6

2.1.2 Fungsi Tidur ... 6

2.1.3 Fisiologi Tidur ... 7

2.1.4 Siklus Bangun-Tidur... 9

2.1.5 Irama Sirkadian dan Tidur ... 9

2.1.6 Kualitas Tidur... 10

2.1.7 Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)... 14

2.2 Obesitas 2.2.1 Definisi Obesitas ... 15

2.2.2 Etiologi Obesitas ... 15

2.2.3 Mekanisme Terjadinya Obesitas ... 18

(9)

2.4 Obstructive Sleep Apnea (OSA)

4.8 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 39

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 40

5.1.1 Deskripsi lokasi penelitian ... 40

5.1.2 Deskripsi karakteristik responden ... 40

5.2 Hasil analisis data dan pembahasan ... 41

(10)

5.2.1.6 Efisiensi tidur dengan mendengkur ... 45

5.2.1.7 Distribusi frekuensi gejala EDS ... 45

5.2.1.8 Distribusi frekuensi kualitas tidur subjektif ... 46

5.2.1.9 Distribusi frekuensi faktor risiko OSA ... 46

5.2.1.10 Distribusi frekuensi kebiasaan olahraga... 47

5.2.1.11 kebiasaan olahraga dengan kualitas tidur ... 47

5.2.2 Pembahasan ... 48

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 55

6.2 Saran... 55

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Karakteristik Tahapan tidur berdasarkan gambaran EEG 8 2.2 Kesehatan tidur dan dampak-dampaknya 12 2.3 Hormon yang meregulasi asupan makan 19 5.1 Karakteristik sampel 41 5.2 Distribusi Frekuensi Kualitas Tidur berdasarkan jenis kelamin 42 5.3 Distribusi Frekuensi Kualitas tidur berdasarkan usia 43

5.4 Distribusi Frekuensi Kualitas tidur pada kelompok obesitas 43

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Dimensi dalam Tidur 10

2.2 Regulasi Sistem Oreksin 20

2.3 Kualitas tidur dengan Obesitas 22 2.4 Hubungan Obesitas dengan OSA 25 2.5 Hubungan kualitas tidur, obesitas, OSA, dan kebiasaan olahraga 29

(13)
(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar riwayat hidup Lampiran 2 Ethical Clearance Lampiran 3 Izin penelitian Lampiran 4 Lembar penjelasan

Lampiran 5 Lembar persetujuan subjek penelitian

Lampiran 6 Data induk responden dan kuesioner aktivitas fisik Lampiran 7 Kuesioner The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) Lampiran 8 Kuesioner Berlin

Lampiran 9 Rincian biaya penelitian

(15)

ABSTRAK

Latar Belakang: Telah ditemukan bahwa tidur memberi pengaruh besar terhadap kesehatan tubuh manusia. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kualitas tidur yang buruk dapat memicu obesitas dan obesitas dapat memperburuk kualitas tidur akibat berbagai gangguan tidur yang sering dijumpai pada orang obesitas. Salah satu gangguan tidur yang berkaitan erat dengan obesitas adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA). Kualitas tidur yang buruk juga dapat mengurangi pengeluran energi melalui aktivitas olahraga sehingga hal tersebut mendukung

terjadinya obesitas. Penelitian ini dilakukan untuk menilai kualitas tidur pada orang-orang obesitas.

Metode : Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional dengan sampel sebanyak 100 orang. Pengambilan data diambil mulai bulan Oktober 2015 sampai dengan November 2015 di tempat-tempat umum di kota Medan. Data diperoleh melalui pemeriksaan fisik (Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan indeks massa tubuh), kuesioner PSQI, kuesioner Berlin, dan kuesioner aktifitas fisik.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 78 orang (78%) dinyatakan memiliki kualitas tidur yang buruk. Kualitas tidur yang buruk lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki (81,4%) dan pada usia dewasa awal (78%). Dari 100 orang obesitas diperolah bahwa sebanyak 71 orang (71%) dinyatakan sebagai golongan risiko tinggi menderita OSA dan sebanyak 74 orang (74%) orang obesitas

tergolong jarang berolahraga.

Kesimpulan: Kualitas tidur pada orang obesitas tergolong buruk dan disertai dengan risiko tinggi OSA serta aktifitas fisik yang kurang. Disarankan pada kelompok obesitas

agar memerhatikan dan mencapai kualitas tidur yang baik serta meningkatkan kebiasaan olahraga.

(16)

ABSTRACT

Background: It has been found that sleep has wide implications in human body. Previous studies suspected that poor sleep quality was able to induce obesity; furthermore,

obesity was also able to worsen the previous poor sleep quality through the various sleep

disorder that was strongly related with obesity. One of the strongly-obesity-related sleep disorder is Obstructive Sleep Apnoea. Poor sleep quality was also suspected to reduce

body’s energy expenditure from exercise activity; then, this situation would induce obesity. This research was conducted to assess sleep quality in obese people.

Method: This study is a descriptive study with cross-sectional approach with sample size

of 100 obese. The data was collected from October 2015 until November 2015 in some public spots in Medan. Data was obtained by doing physical examination (body mass index), Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), Berlin’s questionnaire, and physical activity questionnaire.

Result: This research showed that 78 obese people (78%) had a poor sleep quality. Poor sleep quality was more common in male group (81.4%) and in young adults group

(78%). From 100 obese people, it was found that 71 people (71%) was a high-risk of OSA and 74 people (74%) was categorized as lack of physical activity.

Conclusion: Overall sleep quality in obese people was mostly poor with a high-risk of OSA also with a lack of physical activity. We suggest the obese people to pay attention and try to achieve good sleep quality and also to increase physical activity through routine exercise.

Keywords: Sleep quality, Obesity, PSQI, Berlin’s questionnaire, OSA

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tidur adalah hal yang sangat penting buat kehidupan karena tidur memiliki hubungan yang erat dengan kesehatan dan kualitas hidup manusia.

Manusia telah menghabiskan sepertiga hidupnya hanya untuk tidur (Kapur, 2006).

Tidur berguna untuk memulihkan proses biokimia atau biologis yang secara progresif mengalami penurunan ketika terjaga (Sherwood, 2007). Tidur yang terganggu mengakibatkan efek merugikan terhadap tubuh misalnya penurunan daya tahan tubuh, penurunan konsentrasi, kelelahan, dan pada akhirnya dapat memengaruhi keselamatan diri sendiri dan orang lain.

Menurut National Sleep Foundation pada tahun 2015, kualitas tidur yang baik

berperan terhadap kesehatan jangka pendek maupun jangka panjang. Tidur yang lelap dan tanpa gangguan menjadi kebutuhan esensial manusia, sama pentingnya dengan kebutuhan makan, minum, tempat tinggal dan lain-lain

(Rahayu, 2006).

Mengupayakan kualitas tidur yang baik adalah suatu bentuk kesadaran terhadap betapa pentingnya tidur dalam kehidupan manusia. Kualitas tidur dikatakan baik bila seseorang merasa puas terhadap tidurnya

sehingga ia tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah,

lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Kualitas tidur mencakup aspek kuantitatif seperti, durasi tidur, latensi tidur, dan aspek subyektif, seperti

tidur yang dalam (Khasanah dan Hidayati, 2012). Kualitas tidur dapat dinilai secara subyektif dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang merupakan

(18)

pada kedua populasi klinis dan populasi non-klinis, termasuk perguruan tinggi dan mahasiswa pascasarjana (Brick et al, 2010).

Kualitas tidur yang buruk dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti adanya gangguan tidur pada saat seseorang tidur. Gangguan tidur dapat menyebabkan kualitas tidur yang buruk dan kondisi ini dicirikan dengan

gangguan dalam jumlah, kualitas, atau waktu tidur seorang individu (Haryono et al, 2009).

Orang yang kurang tidur dapat lebih berisiko lebih mengalami obesitas dibandingkan orang yang cukup tidur. National Sleep Foundation tahun 2015

mendefinisikan kondisi kurang tidur sebagai durasi tidur < 8 jam pada anak anak

dan <7 jam untuk orang dewasa. Survei yang dilakukan oleh Schoenborn dan Adams pada tahun 2008 menyatakan bahwa bahwa sekitar 33% orang dewasa yang tidur < 6 jam mengalami obesitas dan hanya 22% orang dewasa yang obesitas dengan jam tidur normal. Penelitian yang dilakukan oleh Knutson et al pada tahun 2011 di Amerika tentang kualitas tidur pada orang dewasa obesitas menyatakan bahwa kurang tidur

dapat meningkatkan peluang seseorang menderita obesitas dan gangguan pernafasan saat tidur. Diduga jam tidur yang pendek (rata rata durasi tidur < 6 jam) menyebabkan penurunan hormon leptin dan peningkatan hormon ghrelin yang selanjutnya akan meningkatkan nafsu makan sehingga meningkatkan risiko obesitas. (Becuuti & Pannain, 2011).

Obesitas sendiri adalah masalah kesehatan yang dapat diperburuk kondisinya

oleh kualitas tidur yang buruk. Obesitas dapat diartikan sebagai penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan yang memberi efek buruk

pada kesehatan (Rahman et al, 2012). Penentuan kadar lemak tubuh tersebut dapat dilakukan dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT). Departemen Kesehatan Indonesia mengklasifikasikan obesitas sebagai IMT

(19)

World Health Organization (WHO) tahun 2005 memprediksi bahwa sekitar 1/3 dewasa muda di seluruh dunia akan mengalami kelebihan berat badan

dan 1/10 dari dewasa muda akan mengalami obesitas mulai tahun 2015. Di Indonesia, prevalensi laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 mencapai 19,7 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun 2010 (7,8%),sedangkan

prevalensi obesitas perempuan dewasa mencapai 32,9 persen, naik 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%) (Depkes RI, 2013). Sumatera Utara sendiri adalah salah satu provinsi yang memiliki angka prevalensi obesitas diatas angka prevalensi

nasional (Depkes RI, 2013).

Obesitas dikaitkan dengan berbagai penyakit kronis yang dapat menurunkan derajat kesehatan dan kualitas hidup seseorang. Obesitas adalah faktor risiko utama

dari gangguan tidur berupa Obstructive sleep apnea (OSA) (Wheaton et al, 2011). Gejala OSA dibagi menjadi dua, yaitu gejala yang timbul

pada saat tidur berupa mendengkur, tidur tidak nyenyak, hingga terbangun dari tidur

dan gejala pada siang hari berupa rasa lelah saat bangun tidur, sakit kepala di pagi hari, dan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari atau lebih dikenal

dengan Excessive Daytime Sleepiness (EDS) (Belliana, 2012). Akibatnya, pasien OSA tidak memliki durasi tidur yang cukup yang kemudian akan memperburuk kondisi OSA jika ia adalah orang obesitas. Hubungan antara durasi tidur yang singkat dan obesitas bersifat dua arah, yaitu durasi tidur yang pendek akan menyebabkan peningkatan berat badan, dan kondisi obesitas ini selanjutnya akan memperburuk kualitas tidur. Hubungan tersebut membentuk lingkaran setan antara kualitas tidur yang buruk

dengan terjadinya obesitas dan OSA (Morselli et al, 2012)

Kualitas tidur yang buruk tidak hanya berkaitan dengan obesitas dan OSA saja,

karena kualitas tidur yang buruk juga dapat menurunkan pengeluaran energi, baik melalui olahraga atau non-olahraga. Diduga hal ini terjadi akibat penurunan

kadar leptin pada kualitas tidur yang buruk, sehingga dapat mengurangi pengeluaran energi. Penurunan pengeluaran energi ini akan meningkatkan perilaku

(20)

akan mengganggu keseimbangan energi dalam tubuh (Beccuti dan Pannain, 2011). Olahraga yang tidak memadai disertai perilaku sedentari adalah faktor yang dapat mengakibatkan obesitas (Sherwood, 2007). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian terdahulu, yang menyatakan bahwa angka kejadian obesitas meningkat dengan pesat akibat pola hidup tidak aktif (Adiwinanto, 2008).

Kualitas tidur memiliki pengaruh yang besar terhadap sistem hormonal dan metabolik di dalam tubuh. Kesehatan orang Obesitas yang mengalami OSA

akan semakin buruk akibat hubungan OSA dengan berbagai penyakit kronis seperti hipertensi, gagal jantung, dan hipertensi pulmonal (Romero-Corral et al, 2010). Gangguan tidur dan kualitas tidur yang buruk pada orang obesitas membuat mereka lebih berisiko menderita diabetes melitus tipe-2 (Liu et al, 2013). Oleh karena itu, kualitas tidur adalah hal

yang penting agar diperhatikan, terutama pada kelompok obesitas. Informasi tentang kualitas tidur pada kelompok obesitas dapat membantu dalam

upaya pencegahan maupun pengobatan berbagai penyakit kronis yang terkait dengan kualitas tidur. Berdasarkan permasalahan tersebut, akan dilakukan penelitian yang akan mengamati dan menilai bagaimana kualitas tidur pada kelompok obesitas.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, diperlukan penelitian untuk menjawab pertanyaan : Bagaimanakah kualitas tidur pada kelompok obesitas?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

(21)

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah mengetahui :

1.3.2.1. Gambaran kualitas tidur pada kelompok obesitas berdasarkan jenis kelamin.

1.3.2.2. Gambaran kualitas tidur pada kelompok obesitas berdasarkan usia. 1.3.2.3. Gambaran faktor risiko Obstructive sleep apnea (OSA) pada

kelompok obesitas.

1.3.2.4. Gambaran kebiasaan berolahraga pada kelompok obesitas. 1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1.4.1. Pelayanan kesehatan dan institusi kesehatan

Informasi yang diperoleh dari penelitian ini dapat menjadi masukan dalam mengatasi masalah kesehatan yang berkaitan dengan obesitas dan gangguan tidur.

1.4.2. Bagi masyarakat

Hasil penelitian akan memberikan informasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan tidur dan obesitas.

1.4.3. Pengembangan ilmu kedokteran dan peneliti

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tidur

2.1.1 Definisi tidur

Tidur adalah keadaan fisiologis yang ditentukan oleh aktivitas bagian-bagian tertentu di otak. Ditinjau dari derajat kesadaran, tidur adalah suatu derajat kesadaran dibawah keadaan awas waspada.

Tidur tidak sama dengan keadaan koma. Pada keadaan koma, stimulasi dengan rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi. Pada keadaan tidur, seseorang yang sedang tidur masih dapat dibangunkan ketika diberikan stimulasi tertentu (Mardjono dan Sidharta, 2009)

Tidur merupakan suatu proses aktif, bukan sekedar hilangnya keadaan terjaga.

Tingkat aktivitas otak keseleruhan tidak berkurang selama tidur. Selama tahap-tahap tertentu tidur, penyerapan oksigen oleh otak meningkat

melebihi tingkat normal sewaktu terjaga (Sherwood, 2007). 2.1.2 Fungsi tidur

Fungsi tidur belum jelas dan alasan alasan mengapa tidur sangat dibutuhkan

masih merupakan sebuah misteri. Hipotesis “restorasi dan pemulihan” menyatakan bahwa tidur gelombang lambat memberi otak waktu untuk memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas toksik yang dihasilkan sebagai produk sampingan metabolisme selama keadaan terjaga. Teori lain yang menonjol adalah bahwa tidur, terutama tidur paradoksal, diperlukan bagi otak untuk melaksanakan penyesuaian-penyesuaian kimiawi dan struktural jangka panjang yang diperlukan untuk belajar dan mengingat,

terutama konsolidasi ingatan prosedural (Sherwood, 2007).

(23)

(REM) dan Nonrapid Eye Movement (NREM). Tidur Non-rapid Eye Movement akan memengaruhi proses anabolik di dalam sel dan sintesis makromolekul ribonucleic acid (RNA) (Arifin et al, 2010)

2.1.3 Fisiologi tidur

Tidur dibagi menjadi dua tahap secara garis besarnya, yaitu :

Fase rapid eye movement (REM) dan fase non-rapid eye movement (NREM) atau tidur gelombang lambat. Tidur NREM dibagi menjadi 4 stadium. Seorang yang baru tertidur memasuki stadium 1 dicirikan oleh aktivitas gelombang

EEG frekuensi tinggi dengan amplitudo gelombang yang rendah. Stadium 2 ditandai dengan munculnya kumparan tidur (sleep spindle). Pada stadium ini terjadi letupan gelombang mirip alfa, yaitu gelombang 10-14

Hz,50 µV. Pada Stadium 3, pola yang timbul adalah gelombang EEG dengan frekuensi yang lebih rendah dan amplitudo meningkat. Perlambatan maksimum dengan gelombang besar dijumpai pada stadium 4.

Dengan demikian karakteristik tidur yang dalam adalah pola gelombang lambat yang ritmis, yang menunjukkan sinkronisasi yang jelas. Perpindahan tahapan tidur dari stadium 1 hinga stadium 4 terjadi dalam waktu 30 sampai 45 menit.

Pada tidur REM, gelombang lambat dengan amplitudo tinggi, kemudian diganti oleh aktivitas EEG cepat dan bervoltase rendah. Gelombang ini

mirip dengan tidur stadium 1. Namun, tidur tidak terganggu; bahkan ambang untuk terjaga oleh rangsangan sensorik meningkat. Pola EEG selama periode ini mendadak berubah seperti dalam keadaan terjaga, meskipun kelihatannya masih

tertidur lelap. Keadaan ini kadang kadang disebut tidur paradoksal. Selama tidur paradoksal terjadi gerakan mata yang cepat dan acak, dan karena hal inilah tidur tersebut dinamakan tidur REM. Tidur REM ditandai dengan adanya potensial fasik besar yang terdiri dari 3-5 gelombang. Potensial ini disebut ponto-geniculo-occipital

spike.

(24)

Fase Tidur Tanda Klinis Karakteristik EEG Tabel 2.1 Karakteristik Tahapan tidur berdasarkan gambaran EEG.

(25)

Pencitraan otak yang dilakukan pada manusia saat tidur REM menunjukkan adanya peningkatan aktivitas yang tinggi di sistem limbik (emosi)

disertai oleh penurunan aktivitas di korteks prafrontal (akal). Pola aktivitas ini merupakan dasar bagi karakteristik mimpi yang terjadi pada fase tidur REM. Akibatnya, mimpi sering kali memiliki muatan emosi yang besar, sensasi waktu yang kacau, dan isi yang aneh yang diterima begitu saja

sebagai kenyataan, dengan hanya sedikit refleksi mengenai semua kejadian yang aneh (Ganong, 2008).

2.1.4 Siklus bangun-tidur

Siklus bangun-tidur adalah variasi siklik normal dalam kesadaran akan lingkungan. Siklus bangun-tidur serta berbagai tahapan tidur

disebabkan oleh hubungan timbal balik antara tiga sistem saraf: (1) sistem keterjagaan, yaitu bagian dari reticular activating system yang ada di

batang otak; (2) pusat tidur gelombang lambat (NREM) di hipotalamus; dan (3) pusat tidur paradoksal (REM) di batang otak. Pola interaksi diantara ketiga regio ini menghasilkan rangkaian siklis yang dapat diperkirakan

antara keadaan terjaga dan kedua jenis tidur. Pola interaksi tergolong rumit dan masih menjadi bahan penelitian intensif (Ganong, 2008).

Siklus normal dapat mudah diinterupsi, dengan sistem yang membuat kita terjaga lebih mudah mengalahkan sistem tidur daripada

kebalikannya; yaitu, lebih mudah terjaga penuh. Sistem keterjagaan dapat diaktifkan oleh masukan sensorik aferen atau oleh masukan yang turun ke batang otak dari daerah daerah otak yang lebih tinggi. Konsentrasi penuh atau keadaan emosi yang kuat dapat mencegah seseorang tidur, demikian juga

aktivitas motorik, misalnya bangkit dan berjalan jalan, dapat membangunkan orang yang mengantuk (Ganong, 2008).

2.1.5 Irama sirkadian dan tidur

Irama sirkadian tidur merupakan salah satu dari irama intrinsik tubuh yang diatur oleh hipotalamus. Jalur rethinohypothalamic memberikan rangsang secara

(26)

Jika malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga Peningkatan suhu tubuh terjadi sepanjang siang hari dan penurunan terjadi

sepanjang malam. Suhu puncak dan penurunannya diperkirakan dapat menjadi

cerminan irama tidur seseorang. Orang yang aktif di malam hari memiliki puncak suhu tubuh di malam hari sementara mereka yang menempatkan diri untuk aktif pada pagi hari memiliki puncak suhu tubuh pada awal malam (Arifin et al, 2010).

2.1.6 Kualitas tidur

Kualitas tidur , menurut Buysse tahun 2014, didefinisikan sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi.

(27)

Berdasarkan berbagai penelitian, maka dimensi dimensi tersebut dapat dibagi menjadi 5 bagian :

a) Durasi tidur : Total jumlah dari tidur yang diperoleh dalam 24 jam. b) Efisiensi tidur : Mudah atau sulitnya memulai tidur dan kembali tidur

setelah dibangunkan

c) Waktu / (Timing) : waktu yang menunjukkan tidur dilakukan setiap 24 jam.

d) Terjaga/mengantuk : Kemampuan untuk mencapai kondisi terjaga dan penuh perhatian.

e) Kualitas / kepuasan : penilaian yang bersifat subjektif terhadap baik atau buruknya tidur.

Dimensi ini dijadikan sebagai indikator tidur yang baik karena setiap dimensi tersebut memiliki hubungan sebab akibat dengan kesehatan.

Pada manusia, durasi tidur yang diperlukan seseorang untuk tidur berbeda

beda, tergantung pada faktor faktor tertentu dan usia mereka. Neonatus tidur sekitar 16 hingga 18 jam per hari. Pola dan tahapan tidur pada bayi

baru lahir terdiri dari 3 tahap yaitu NREM, REM, dan indeterminate sleep. Perbedaan tahapan tidur ini dengan tahapan tidur dewasa diakibatkan olehtidak adanya irama sirkadian pada neonatus. Mulai usia 3 bulan, irama sirkadian mulai terbentuk dan mulai matang menjelang usia 1 tahun.

Setelah berusia satu tahun, durasi tidur balita berkurang menjadi 14 hingga 15 jam dalam 1 hari. Pada usia 2 hingga 5 tahun maka durasi tidur berkurang 2 jam (11- 13 jam per hari). Remaja membutuhkan durasi tidur selama 9 hingga 10 jam per hari. Akibat perubahan hormonal pada usia remaja, maka tahap 2 NREM pada remaja

menjadi lebih panjang. Saat seseorang mencapai tahap dewasa, mereka cenderung

(28)

Sedangkan orang dengan usia lanjut cenderung mengalami penurunan durasi tidur dan mereka memerlukan waktu 6-7 jam per hari (Colten dan Altevogt, 2006).

Memiliki durasi tidur yang cukup akan menghasilkan kualitas tidur yang

baik yang kemudian dapat memberikan perasaan tenang di pagi hari,

Kematian Kojima et al., 2000; Elder et al., 2008; Rod et al., 2011; Hublin et al., 2011 Sindroma

Metabolik

Jennings et al., 2009; Troxel et al., 2010

Diabetes Tipe-2 Vontzas et al., 2009; Haseli-Mashhadi et al., 2009; Knutson et al., 2011;

Pyykkonen et al., 2012

Hipertensi Vgontzas et al., 2009; Fiorentini et al., 2007; Rod et al., 2011

(29)

Karlsson et al, 2011; Lin et al, 2009; Pietrositi et al, 2010

Mortalitas Akerstedt et al, 2004

Diabetes Pan et al, 2011; Buxton et al, 2012; Reutrakul et al, 2013

Efisiensi Tidur

Mortalitas Newman et al, 2000; Nilsson et al, 2001; Mallon et al, 2002; Dew et al, 2003

Obesitas Buxton et al, 2010; Gangwisch et al, 2005; Cappucio et al, 2008; Hasler et al,

2004 Sindroma

Metabolik

Hall et al, 2008

Diabetes Ayas et al, 2003; Golttieb et al, 2006, Yaggi et al, 2006

Hipertensi Gottleib et al, 2006; Cappucio et al, 2007 Penyakit Jantung

Koroner

Mallon et al, 2002; Ayas et al, 2003

(30)

yang buruk berdampak pada penurunan fungsi kognitif. Selanjutnya, hal itu terkait dengan tingkat yang lebih tinggi terhadap kecemasan,

meningkatkan ketegangan, mudah tersinggung, kebingungan, suasana hati yang buruk, depresi, penurunan kesejahteraan psikologis dan kepuasan hidup yang lebih rendah. Secara bersamaan, hal tersebut berhubungan positif dengan melambatnya

kemampuan psikomotor dan terganggunya konsentrasi (Wavy, 2008). Melalui berbagai penelitian, sudah ditemukan bahwa berbagai dimensi dari kualitas

tidur dapat memengaruhi berbagai aspek kesehatan (Buysse, 2014). 2.1.7 Pittsburgh sleep quality index

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) merupakan salah satu alat yang cukup efektif yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur pada orang

dewasa. Melalui Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), kualitas tidur dibagi menjadi baik dan buruk melalui pengukuran terhadap 7 domain : kualitas tidur secara subjektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat-obat yang berhubungan dengan tidur, dan disfungsi yang dialami pada siang hari selama satu bulan terakhir. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

memiliki koefisien konsistensi dan reliabilitas (Cronbach’s alpha) sebesar 0.83 terhadap setiap domain yang diukur (Smyth, 2012). Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) telah divalidasi pada kedua populasi klinis

dan populasi non-klinis, termasuk perguruan tinggi dan mahasiswa pascasarjana (Brick et al, 2010).

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) terdiri dari sembilan belas item pertanyaan yang meliputi tujuh komponen, yakni kualitas tidur secara subjektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur,

dan disfungsi pada siang hari (Smyth, 2012). Salah satu item pertanyaan pada PSQI hanya ditujukan untuk kepentingan klinis pasien sehingga tidak ditabulasikan dan dicantumkan pada kuesioner PSQI yang ditujukan untuk menilai kualitas tidur. Jumlah pertanyaan pada kuesioner PSQI yang hanya ditujukan untuk menilai kualitas tidur secara subyektif berjumlah

(31)

kesulitan dan 3 menunjukkan kesulitan yang parah. Jumlah skor untuk nilai tujuh komponen ini akan menghasilkan satu skor secara keseluruhan, mulai dari 0 hingga 21. Skor yang lebih tinggi menunjukkan kualitas tidur buruk, dan bila skor Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) secara keseluruhan > 5 maka seseorang tersebut memiliki kualitas tidur yang buruk

(Smyth, 2012). 2.2. Obesitas

2.2.1 Definisi obesitas

Obesitas adalah keadaan dimana jaringan adiposa berlebih di dalam tubuh. Obesitas sering dianggap sama dengan kenaikan berat badan yang berlebih, namun pada kenyataaanya orang dengan masa otot yang besar dengan berat badan yang berlebih tidak memiliki kondisi dimana jaringan adiposa berlebih di dalam tubuh. Metode yang paling sering digunakan untuk menentukan kondisi obesitas adalah dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT). Pengukuran indeks masa tubuh ini

tidak menunjukkan distribusi jaringan adiposa di dalam tubuh secara langsung (Flier dan Maratos, 2008).

Indeks massa tubuh dihitung dengan cara membagikan berat badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan meter.

Batasan IMT yang digunakan oleh WHO pada tahun 2011 adalah : - Kategori kurus IMT < 18,5 kg/m2

- Kategori normal IMT ≥18,5 - 22,9 kg/m2 - Kategori BB lebih IMT ≥23,0 – 24,9 kg/m2 - Kategori obesitas I IMT ≥25,0 – 29,9 kg/m2 - Kategori obesitas II IMT ≥30 kg/m2

2.2.2 Etiologi obesitas

Penyebab obesitas masih sulit dipahami (Flier dan Maratos, 2008). Penyebab obesitas banyak, dan sebagian masih belum jelas. Beberapa faktor yang mungkin terlibat adalah sebagai berikut :

2.2.2.1Gangguan jalur sinyal leptin. Sebagian kasus obesitas dilaporkan

(32)

dari adipokin utama jaringan adiposa yang berfungsi untuk menekan nafsu makan dan berperan dalam regulasi keseimbangan energi jangka panjang. Kemungkinan terjadi defek reseptor leptin di otak yang tidak berespon terhadap tingginya kadar leptin di dalam darah yang berasal dari jaringan

lemak. Sehingga otak tidak mendeteksi kadar leptin sebagai sinyal untuk menurunkan nafsu makan sampai titik patokan yang lebih tinggi tercapai. Selain gangguan respetor, gangguan lain dalam jalur lain dapat menjadi penyebab, misalnya gangguan transpor leptin menembus sawar darah otak atau defisiensi salah satu pembawa pesan kiniawi di jalur leptin (Sherwood, 2007).

2.2.2.2Kurang olahraga. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa orang gemuk tidak makan lebih banyak dibandingkan dengan orang

kurus. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa orang

dengan kelebihan berat tidak makan berlebihan tetapi “kurang bergerak” - sindroma “couch potato” (menonton televisi

sambil makan camilan). Tingkat aktivitas fisik yang rendah biasanya tidak disertai penurunan setara asupan makan (Sherwood, 2007). 2.2.2.3Perbedaan Termogenensis non-olahraga (nonexercise activity

thermogenesis, NEAT) atau fidget factor. NEAT dapat menjelaskan

beberapa variasi dalam penyimpanan lemak dalam tubuh. NEAT merujuk kepada energi yang dikeluarkan oleh aktivitas fisik

di luar olahraga yang direncanakan (Sherwood,2007)

2.2.2.4Perbedaan dalam mengekstraksi energi dari makanan. Orang yang

tubuhnya langsing dengan orang obesitas dapat memiliki perbedaan berat yang mencolok meskipun mereka mengonsumsi

(33)

yang bertubuh langsing memiliki lebih banyak uncoupling protein yang memungkinkan sel sel mereka mengubah lebih banyak kalori menjadi panas dan bukan menjadi lemak. Mereka adalah orang yang dapat mampu makan dengan jumlah yang banyak tanpa mengalami penambahan berat badan. Hal yang sebaliknya terjadi pada obesitas,

sistem metabolik orang dengan obesitas lebih efisien dalam mengekstraksi energi dari makanan (Sherwood,2007)

2.2.2.5Kecenderungan herediter dan genetik. Perbedaan dalam jalur-jalur regulatorik untuk keseimbangan energi sering berasal dari varasi

genetik (Sherwood, 2007). Penelitian pada hewan pengerat, mutasi gen ob dapat mengakibatkan hyperphagia dan pengurangan pengeluaran energi. Produk dari gen ob ini adalah leptin. Leptin disekresi dari jaringan adiposa dan bekerja

pada hipotalamus. Kadar leptin yang tinggi akan mengurangi asupan makan dan meningkatkan pengeluaran energi. Gen ob ini ternyata dijumpai pada manusia dan diekspresikan di jaringan adiposa. Mutasi pada gen proopiomelanocortin (POMC) menyebabkan obesitas akibat gagalnya pembentukan α-MSH yang berfungsi untuk menekan nafsu makan di hipotalamus. Mutasi pada gen proenzyme

convertase 1 (PC-1) akan mencegah sintesis α-MSH melalui prekursornya yaitu proopiomelanocortin (POMC) yang

pada akhirnya akan mengakibatkan obesitas (Flier dan Maratos, 2008).

2.2.2.6Pembentukan sel lemak dalam jumlah berlebihan akibat makan

berlebihan. Sekali sel lemak terbentuk, pembatasan makan dan penurunan berat badan tidak akan melenyapkan sel lemak

(34)

2.2.2.7Keberadaan penyakit endokrin tertentu misalnya hipotirodisme. Hipotiroidisme meningkatkan laju metabolik dasar sehingga tubuh membakar lebih banyak kalori dalam keadaan istirahat.

2.2.2.8Ketersediaan makanan yang melimpah, lezat, padat energi, dan relatif murah.

2.2.2.9Gangguan emosi dimana makan berlebihan menggantikan kepuasan yang lain (Sherwood, 2007). Faktor budaya memiliki perananan, dimana budaya dapat memengaruhi ketersediaan makanan, kandungan nutrisi pada makanan, dan tingkat aktifitas fisik suatu individu (Flier dan Maratos, 2008).

2.2.2.10 Keterkaitan dengan virus. Salah satu hipotesis mengaitkan virus flu biasa dengan kecenderungan mengalami kelebihan berat badan dan mungkin berperan pada sebagian kasus obesitas saat ini (Sherwood, 2007).

2.2.3 Mekanisme terjadinya obesitas

Obesitas terjadi akibat bertambahnya asupan energi, berkurangnya

pengeluaran energi, atau kombinasi keduanya (Flier dan Maratos, 2008). Jika kondisi ini berlanjut, kelebihan energi akan disimpan dalam bentuk trigliserida

di jaringan adiposa (Sherwood, 2007). Hal ini akan mengakibatkan status keseimbangan energi positif. Secara teoritis, keseimbangan energi dalam tubuh dipertahankan dengan cara mengatur jumlah makanan yang masuk,

aktivitas fisik, atau kerja internal dan produksi panas. Tingkat aktivitas fisik secara prinsip berada dibawah kontrol kesadaran, dan mekanisme yang mengubah

tingkat kerja internal dan produksi panas terutama ditujukan untuk mengatur suhu tubuh dan bukan mengatur keseimbangan energi total. Kontrol asupan makanan agar menyamai pengeluaran energi adalah cara utama untuk mempertahankan keseimbangan energi netral. Regulasi asupan makanan adalah fakor terpenting dalam memelihara keseimbangan energi dan berat tubuh jangka panjang (Sherwood, 2007).

Asupan makanan dipengaruhi berbagai faktor yang terintegrasi di otak

(35)

tersebut berasal dari saraf aferen, hormon, dan metabolit tertentu. Informasi berupa distensi saluran cerna yang terjadi saat makanan ada di saluran cerna akan diteruskan melalui saraf aferen (saraf vagus) menuju

hipotalamus. Hormon-hormon yang terlibat adala leptin, insulin, kortisol, dan peptida pencernaan. Peptida pencernaan dihasilkan oleh saluran cerna meliputi

ghrelin, peptida YY, dan kolesistokinin. Ghrelin dihasilkan oleh lambung dan berfungsi untuk meningkatkan asupan makan. Peptida YY dan kolesistokinin

dihasilkan oleh usus halus yang akan menurunkan asupan makan dan menimbulkan sensasi kenyang setelah makan. Berbagai hormon yang bekerja di hipotalamus dalam mengatur asupan makan :

Menurunkan Nafsu Makan (Anoreksigenik)

Meningkatkan Nafsu Makan (Oreksigenik)

α-melanocyte-stimulating hormone (α -MSH)

Neuropeptida Y

Leptin Agouti related protein (AGRP)

Norepinefrin Asam Amino Glutamat dan γ

-Aminobutirat

Kolesistokinin Kortisol

Peptida YY Ghrelin

Leptin adalah sinyal penanda kenyang yang pertama kali diketahui. Leptin adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh adiposit yang secara kolektif disebut adipokin. Peningkatan leptin dari simpanan lemak yang berkembang pesat akan menekan nafsu makan sehingga menurunkan konsumsi makananan dan mendorong penurunan berat badan. Leptin bekerja sebagai penekan nafsu makan dengan cara

menghambat neuropeptida Y(NPY) dan melanokortin di hipotalamus. Tabel 2.3 Hormon yang meregulasi asupan makan

(36)

Leptin dianggap sebagai faktor dominan yang bertanggung jawab dalam penyesuaian jangka panjang asupan makanan dengan pengeluaran energi

sehingga kandungan energi total tubuh tetap seimbang dan berat tubuh konstan.

Hormon lain selain leptin yang berperan dalam menekan asupan makanan adalah insulin. Insulin disekresikan oleh pankreas sebagai respon terhadap

peningkatan glukosa darah. Insulin akan menghambat sel penghasil neuropeptida Y(NPY) sehingga akan menekan asupan makan.

Metabolit seperti glukosa dapat memengaruhi asupan makanan. Kondisi hipoglikemia dapat menginduksi pusat lapar di hipotalamus dan meningkatkan asupan makanan (Flier dan Maratos, 2008).

Kerja berbagai hormon, peran metabolit, dan kerja sistem saraf akan memengaruhi pelepasan berbagai peptida di hipotalamus seperti neuropeptida

Y(NPY), Agouti-related peptide (AgRP), α-melanocyte-stimulating hormone

(37)

akan memengaruhi asupan makan. Faktor psikologis dan budaya juga berperan dalam asupan makanan.

Jika regulasi asupan makanan terjaga dengan baik dan dibarengi aktivitas

fisik yang sesuai maka keseimbangan energi netral akan tercapai. Kenaikan berat badan terjadi apabila asupan makanan lebih besar dari

pengeluarannya yang mengakibatkan keseimbangan energi positif. Pada kondisi obesitas, terjadi gangguan pada kerja leptin akibat ada defek pada reseptor insulin di otak sehingga otak tidak merespon terhadap peningkatan kadar leptin dalam darah yang berasal dari jaringan adiposa yang banyak. Akibatnya, asupan makan tidak ditekan dan adiposit akan terus memperbanyak jumlahnya agar dihasilkan

lebih banyak leptin untuk menekan asupan makan. Namun akibat defek pada reseptor leptin di otak, maka sekresi leptin ini menjadi sia-sia dan malah

menimbulkan simpanan jaringan lemak yang terus bertambah (Flier dan Maratos, 2008).

2.3 Obesitas dan Kualitas Tidur

Penelitian epidemiologi dan laboratorium menunjukkan bahwa durasi tidur

yang terlalu singkat adalah faktor resiko dari obesitas dan komplikasinya (Knutson, 2010). Tidur adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam

mengatur fungsi neuro-endokrin dan metabolisme glukosa dan kurang tidur telah dibuktikan mengakibatkan perubahan metabolik dan endokrin, seperti berkurangnya toleransi glukosa dan berubahnya regulasi hormon yang berperan dalam pengaturan asupan makan (Beccuti dan Pannain, 2011). Ghrelin, hormon yang akan meningkatkan asupan makanan, meningkat kadarnya akibat kurang tidur, kemudian leptin, hormon yang akan menurunkan asupan makanan, kadarnya menurun (Morselli et al, 2012).

(38)

Sistem oreksin diatur oleh neuron neuron oreksigenik yang terletak di lateral

hipotalamus (lateral hypothalamic area) dan bagian belakang hipotalamus (posterior hypothalamus). Neuron neuron oreksigenik ini juga memiliki peran

dalam siklus bangun-tidur dengan cara mengaktifkan ascending arousal system,

seluruh bagian dari korteks serebri, dan struktur lainnya.

(39)

nucleus tractus solitarius (NTS) dan paraventricular nucleus (PVN), yang kemudian akan mengintegrasikan sinyal perifer tentang keseimbangan energi,

asupan makan, dan rasa kenyang; (c) menstimulasi reward system , yang berikutnya

akan meregulasi asupan makanan yang tidak normal; (d) meningkatkan aktivitas simpatis, yang kemudian akan menurunkan sekresi leptin dan

menstimulasi sekresi ghrelin (Pannain et al, 2008). Berkurangnya energy expenditure dan bertambahanya asupan makanan dalam

jangka waktu panjang dapat mengakibatkan berat badan berlebih dan obesitas (Almatsier, 2009).

Kerja dan sekresi hormon seperti insulin, growth hormone (GH), kortisol, leptin, dan ghrelin dipengaruhi oleh durasi tidur, waktu tidur, dan kualitas tidur (Steiger, 2003). Pada orang dengan waktu tidur yang sangat pendek, maka kadar leptin akan menurun dan kadar ghrelin ditemukan meningkat (Morselli et al, 2012). Kadar ghrelin dari perifer yang meningkat akan meningkatkan asupan makan

melalui stimulasi neuron oreksigenik (Beccuti dan Pannain, 2011). Durasi tidur yang pendek ini akan menyebabkan gangguan keseimbangan energi

dimana energy expenditure akan berkurang karena leptin berperan dalam meningkatkan energy expenditure (Schmid et al, 2009).

Hubungan antara kualitas tidur yang tidak baik dengan berat badan yang meningkat akan membentuk lingkaran setan yang selanjutnya akan memperburuk kualitas tidur. Lingkaran setan ini terjadi akibat berbagai hal yang dapat terjadi

akibat terganggunya regulasi berat badan. Obesitas menjadi faktor resiko dari kondisi kondisi yang dapat menyebabkan kualitas tidur seperti Obstructive

sleep apnea (Morselli et al, 2012). Obstructive sleep apnea terjadi pada obesitas akibat penimbunan lemak pada jalan nafas yang mengakibatkan penyempitan jalan

nafas yang kemudian mengganggu upaya ventilasi saat tidur. Gangguan pernafasan tersebut menyebabkan terhentinya pernafasan saat sehingga seorang penderita

OSA akan terbangun dan durasi tidur dan kualitas tidurnya akan terganggu

(40)

ini menyebabkan obesitas, maka obesitas akan memperburuk kondisi OSA dan kualitas tidur itu sendiri. Berdasarkan paradigma baru ini, OSA dapat

menyebabkan interaksi kompleks dengan perubahan perilaku, resistensi leptin, peningkatan kadar ghrelin, dan terjadinya perilaku makan yang tidak sehat (Beccuti dan Pannain, 2011).

2.4 Obstructive sleep apnea (OSA) 2.4.1 Definisi

Obstructive sleep apnea merupakan bentuk gangguan napas dalam tidur yang paling sering dijumpai. Sindrom henti napas saat tidur diartikan sebagai terhentinya aliran udara pada jalan nafas atas pada saat tidur lebih dari 10 detik disertai penurunan oksigen lebih dari 4% yang terjadi berulang kali hingga 20-60 kali per jam (Barton, 2010).

2.4.2 Mekanisme terjadinya OSA

Obstructive Sleep Apnea terjadi akibat adanya obstruksi jalan nafas atas selama penderitanya tidur. Obstruksi jalan nafas ini dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu kelainan anatomi pada saluran nafas atas dan gangguan fungsi saraf dan otot yang bekerja dalam mengatur otot pernafasan di saluran nafas atas (Schwartz et al, 2007).

Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum ke belakang hingga menempel pada dinding faring posterior menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring. Tidur berbaring (Supinasi) dapat menyebabkan kolapsnya saluran nafas akibat pergerakan mandibula, palatum mole, dan lidah ke arah belakang. Faktor Struktural dan fungsional berperan penting dalam menentukan tekanan kritis kolaps saluran nafas. Penyempitan saluran nafas akibat mikrognatia, retrognatia, hipertrofi tonsil, makroglosia, dan akromegali juga dapat meningkatkan risiko terjadinya OSA (Febriani et al, 2011).

(41)

yang kemudian dapat mengakibatkan penutupan prematur jalan nafas pada saat jaringan otot di sepanjang jalan nafas sedang relaksasi sewaktu tidur. Penimbunan lemak yang berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada akan

menekan paru paru sehingga mengganggu upaya ventilasi pada saat tidur (Febriani et al, 2011).

Pada kondisi obesitas terjadi peningkatan kadar leptin di dalam darah yang

diakibatkan oleh berlebihnya jaringan adiposa yang menghasilkan leptin. Leptin tidak hanya berperan pada sistem oreksin namun juga berperan dalam

kontrol ventilasi. Kadar dan fungsi leptin yang tidak adekuat pada kondisi obesitas diduga berdampak pada gangguan pada kontrol ventilasi. Leptin bersama adipokin lainnya, seperti TNF-α dan interleukin-6 dapat mengakibatkan depresi aktivitas

susunan saraf pusat yang mengatur saraf-otot pada saluran nafas (Romero-Corral et al, 2009).

Gangguan Metabolik:  Resistensi Insulin >>  Leptin>>

 Kolestrol>>  Lemak Visceral>>  Trigliserida>>

C-reactive protein>>  HDL <<

OSA

Obesitas Kualitas

Tidur << Nafsu makan >>

Aktifitas fisik <<

Genetik dll Gangguan tidur dan Psikologis

(42)

2.4.3 Diagnosis

Sleep apnea memiliki gejala saat tidur malam dan harian. Keluhan tersering adalah rasa kantuk harian dan terganggunya tidur malam. Gejala klasik pada pasien dengan OSA selain mendengkur saat tidur adalah excessive daytime sleepiness yaitu sering tertidur saat melakukan kegiatan sehari-hari terutama siang hari. Laporan teman tidur pasien yang menyaksikan langsung apnea nokturnal merupakan gejala terpenting. Gejala khas lainnya adalah pada pagi hari terdapat keluhan sakit kepala, lelah saat bangun tidur, mulut kering dan sakit tenggorokan, refluks asam lambung, episode seperti tercekik atau terengah-engah di malam hari,

nokturia hingga gejala berat seperti gangguan kognitif. Pada pemeriksaan fisik, dapat dilakukan evaluasi sistemik, pemeriksaan kepala dan

leher, hidung, rongga mulut, dan hipofaring. Pada evaluasi sistemik, dilakukan pengukuran tekanan darah, IMT, dan lingkar leher (Febriani et al, 2011).

Pemeriksaan baku emas dalam menegakkan diagnosis OSA adalah dengan polisomnografi. Variabelnya adalah Electroencephalogram (EEG), Electromyogram (EMG), Electrooculogram (EOG), Electrocardiogram (ECG), saturasi oksigen perifer, intensitas mendengkur, aliran udara naso-oral, pergerakan dinding dada dan dinding perut, maka akan didapatkan informasi mengenai efisiensi tidur, posisi tidur, frekuensi dan penyebab pasien terbangun, timbulnya gangguan pernapasan saat tidur, fluktuasi saturasi oksigen dan aritmia jantung spesifik, dari seluruh rekaman tersebut dihitung jumlah apnea dan hipopnea untuk menentukan Apnea-Hypopnea Index (AHI) (Febriani et al, 2011).

2.4.5 Kuesioner Berlin

Hal terbaik untuk mencegah terjadinya OSA adalah dengan mengetahui apakah seseorang berisiko menderita OSA. Netzer et al pada tahun 1999 membuat kuesioner Berlin untuk menilai apakah seseorang berisiko rendah atau tinggi dalam menderita OSA. Peneliti dalam penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kuesioner Berlin memiliki sensitivitas sebesar 86% pada penderita yang memiliki respiratory disturbance index (RDI) >5 (Netzer et al, 1999).

(43)

utama dan satu pertanyaan tambahan untuk menilai gejala EDS; dan satu pertanyaan tunggal untuk menilai riwayat tekanan darah tinggi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu

kategori 1 (pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gejala mendengkur); kategori 2 (pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan gejala EDS);

kategori 3 (pertanyaan tentang riwayat tekanan darah tinggi atau IMT) (Netzer et al., 1999).

Interpretasi pada kuesioner Berlin adalah apakah seseorang berisiko tinggi

atau berisiko rendah menderita OSA. Pada kategori 1, seseorang berisiko tinggi jika terdapat gejala yang bersifat persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu) yang ditemukan pada ≥ 2 pertanyaan mengenai gejala mendengkur. Pada kategori 2, seseorang berisiko tinggi jika gejala EDS, mengantuk saat

mengendarai kendaraan, atau keduanya persisten (lebih dari 3 atau 4 kali per minggu). Pada kategori 3, seseorang berisiko tinggi jika memiliki riwayat

tekanan darah tinggi dan/atau IMT ≥30k g/m Jika seseorang berisiko tinggi ≥2 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut memiliki risiko tinggi

menderita OSA. Sedangkan jika seseorang berisiko tinggi ≤1 kategori pada kuesioner Berlin, maka orang tersebut berisiko rendah menderita OSA (Netzer et al., 1999).

2.5 Aktivitas Olahraga 2.5.1 Definisi olahraga

Menurut Gale Encyclopedia of Medicine (2008), olahraga adalah aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur, dan dikerjakan secara berulang dan bertujuan memperbaiki atau menjaga kesegaran jasmani.

2.5.2 Jenis-jenis olahraga

(44)

atau overweight. Aktivitas fisik yang termasuk olahraga aerobik adalah jalan cepat, jogging atau lari-lari kecil, renang, dansa, atau bersepeda (Sherwood, 2007). Frekuensi atau jumlah hari untuk olahraga dalam seminggu yang dianjurkan adalah 3-7 hari perminggu selama 20-30 menit (AHA, 2001).

Olahraga anaerobik adalah suatu bentuk aktivitas fisik yang tidak memerlukan oksigen dalam pelaksanaannya. Olahraga ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (CDC, 2011). Latihan-latihan yang dimaksud di sini adalah angkat beban. Dianjurkan untuk melakukan olahraga angkat beban dengan satu set mengandung 12-20 kali repetisi dengan angkat beban ringan dan 8-12 repetisi angkat beban berat untuk membentuk massa otot. Disarankan terdapat masa recovery yaitu 0-180 detik di antara dua set. Hal ini untuk mencegah kelelahan otot yang lebih cepat (AHA, 2001).

2.5.3 Olahraga dan kualitas tidur

Kebiasaan olahraga merupakan suatu bentuk aktivitas fisik yang dapat berperan serta mengatur siklus tidur seseorang. Mereka yang kurang dalam beraktivitas olahraga akan memicu seseorang menjadi sulit untuk masuk pada fase kedalaman tidur atau tidur yang dalam. Selain itu, seseorang yang biasa berolahraga maka akan lebih mudah untuk jatuh tidur. Dimana, hal ini juga disebabkan oleh keletihan yang biasanya mereka rasakan setelah selesai berolahraga (Sulistiyani, 2012). Olahraga juga memiliki dampak yang menguntungkan terhadap kualitas tidur, menurunkan latensi tidur, dan mengurangi penggunaan obat tidur (Yang et al, 2012).

Olahraga yang dilakukan pada malam hari sebelum tidur dapat memberi dampak yang tidak menguntungkan terhadap kualitas tidur. Olahraga mengakibatkan peningkatan suhu tubuh dan penurunan suhu tubuh secara fisiologis akan terjadi dalam waktu enam jam. Suhu tubuh yang rendah adalah salah satu

faktor penting agar seseorang dapat memulai tidurnya dengan baik. Oleh karena itu, berolahraga saat sore hari lebih dianjurkan daripada berolahraga

(45)

2.6 Hubungan kualitas tidur, obesitas, OSA, dan kebiasaan berolahraga

Kualitas tidur yang buruk

Kadar ghrelin naik kadar leptin

turun

Pengeluran energi olahraga

turun

Deposisi lemak di jalan nafas dan diafragma Kebiasaan

berolahraga<<

obesitas

Perilaku sedentari Perilaku

makan hedonis Nafsu

makan naik

Depresi sistem saraf pengatur otot ventilasi

Faktor risiko OSA dan OSA

(46)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Definisi Operasional 3.2.1 Jenis Kelamin

 Definisi : Identitas responden sesuai biologis atau fisiknya (Fauzan, 2013)

 Kategori hasil : o Laki-laki o Perempuan

 Skala pengukuran : nominal Obesitas

Jenis kelamin Umur Kualitas tidur Efisiensi tidur Kuantitas tidur

Gejala EDS Kualitas tidur subjektif

(47)

3.2.2 Umur

 Definisi : waktu penelitian dikurangi waktu kelahiran responden.

 Skala pengukuran : Rasio  Kategori hasil :

o Usia dewasa awal: 19-35 tahun

o Usia dewasa akhir: 36-45 tahun (Depkes RI, 2009). 3.2.3 Obesitas

 Definisi : Obesitas adalah keadaan dimana jaringan adiposa berlebih di dalam tubuh (Flier dan Maratos, 2008).  Alat ukur : Timbangan dan alat ukur tinggi badan.  Cara ukur : Menghitung indeks massa tubuh dengan

cara mengukur berat badan dengan timbangan berat badan merek camry, tinggi badan diukur dengan meteran merek med-one , kemudian membandingkan berat badan dalam kg dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan meter.

 Kategori hasil :

o Tidak obesitas : IMT 25 kg/m2

o Obesitas : IMT ≥ 25 kg/m2 (WHO, 2011)  Skala pengukuran : Nominal

3.2.4 Kualitas Tidur

 Definisi : Kualitas tidur adalah suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi yaitu durasi tidur, efesiensi tidur, waktu tidur, keterjagaan, dan kepuasan tidur (Buysse, 2014). Kualitas tidur dibagi menjadi baik dan buruk melalui kuesioner PSQI yang diciptakan oleh dr. Buysse.

 Alat ukur : Kuesioner PSQI

 Cara ukur : Analisis kuesioner PSQI  Kategori hasil :

(48)

3.2.5 Efisiensi Tidur

 Definisi: kemampuan memulai tidur dan mempertahankan tidur (Buysse, 2014).

 Alat ukur : Kuesioner PSQI

 Cara ukur : Analisis kuesioner PSQI  Kategori hasil :

o Efisien : memulai tidur <30 menit o Tidak efisien : memulai tidur >30 menit  Skala pengukuran : Nominal

3.2.6 Kuantitas Tidur

 Definisi: Total jumlah dari tidur pada malam hari yang diperoleh dalam 24 jam (Buysse, 2014)

 Alat ukur : Kuesioner PSQI

 Cara ukur : Analisis kuesioner PSQI  Kategori hasil :

o Cukup : durasi tidur < 7 jam o Kurang : durasi tidur 7-8 jam  Skala pengukuran : Nominal

3.2.7 Gejala Excessive daytime sleepiness (EDS)

 Definisi: Gejala mengantuk berlebihan pada siang hari (Buysse,2014)

 Definisi: penilaian yang bersifat subjektif terhadap baik atau buruknya tidur (Buysse, 2014)

 Alat ukur : Kuesioner PSQI

 Cara ukur : Analisis kuesioner PSQI  Kategori hasil :

o Baik o Buruk

(49)

3.2.9 Faktor Risiko Obstructive sleep apnea

 Definisi : Faktor risiko adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang memengaruhi perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan tertentu (Notoatmodjo, 2012). Penyakit atau status kesehatan dalam hal ini adalah Obstructive sleep apnea.

 Alat ukur : Kuesioner (Berlin’s questionnaire) yang terdiri dari 3 kategori :

o Kategori 1 terdiri dari 5 pertanyaan. Jika total skor ≥ 2, maka kategori 1 positif (+).

o Kategori 2 terdiri dari 4 pertanyaan. Jika total skor ≥ 2, maka kategori 2 positif (+).

o Kategori 3 terdiri dari 1 pertanyaan. Jika indeks massa tubuh ≥ 25 kg/m2, maka kategori 3 positif (+).

 Cara ukur : Analisis kuesioner  Kategori hasil :

o Risiko tinggi : skor ≥ 2 kategori pada hasil kuesioner yang positif (+).

o Risiko rendah : skor ≤ 1 kategori pada hasil kuesioner yang positif (+).

 Skala pengukuran : Nominal 3.2.10 Kebiasaan Berolahraga

 Definisi : Frekuensi olahraga yang dilakukan dalam seminggu (Fauzan, 2013)

 Alat ukur : Kuesioner

 Cara ukur : Analisis Kuesioner  Kategori hasil :

o Rutin : olahraga ≥ 3 kali dalam seminggu

(50)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain cross sectional (studi potong lintang) yang bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas tidur

pada kelompok obesitas. Pengumpulan data untuk jenis penelitian ini dilakukan secara bersama-sama atau sekaligus (Notoatmodjo, 2012).

4.2Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi : Penelitian ini akan dilakukan di Kota Medan.

4.2.2 Waktu : Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2015 sampai dengan 31 November 2015.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi

Populasi target pada penelitian ini adalah orang dewasa obesitas di Kota Medan.

4.3.2 Sampel

(51)

Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus deskriptif kategorikal, yaitu :

� =��2�2

Zα = Deviat baku alpha = 1,96

P = Proporsi di populasi = 0.5 d = presisi = 0.1

Q = 1-P = 1-0,5 = 0,5

n = ,9 � , � − ,

, = 96,04

Berdasarkan perhitungan diatas, jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 orang.

4.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi a) Kriteria inklusi

i. Obesitas

ii. Berusia 19 sampai 45 tahun iii. Bersedia mengisi kuesioner iv. Mahir berbahasa indonesia b) Kriteria ekslusi

i. Memiliki kelainan anatomi (misalnya hipertropi tonsil, polip hidung dan lain-lain).

(52)

4.4 Etika Penelitian

Penelitian ini menggunakan manusia sebagai obyek yang diteliti. Hal ini menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara manusia sebagai peneliti dan manusia sebagai obyek yang diteliti. Oleh sebab itu, hubungan antara kedua belah pihak harus memperhatikan rambu-rambu etik, atau yang disebut etik penelitian

(Notoatmodjo, 2012). Etik penelitian merujuk pada prinsip dasar etik yang diterapkan dalam kegiatan penelitian, mulai dari penyusunan proposal

penelitian sampai dengan publikasi hasil penelitian. Menurut Milton (1999) dalam Notoatmodjo (2012), dalam melaksanakan sebuah penelitian ada empat prinsip etik yang harus dipegang teguh, yakni:

4.4.1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity) Peneliti harus mempertimbangkan hak-hak responden sebagai subyek penelitian untuk mendapatkan informasi tentang tujuan dari penelitian. Peneliti juga harus memberikan kebebasan kepada responden untuk berpartisipasi dalam penelitian. Untuk mewujudkannya, peneliti seyogianya mempersiapkan lembar penjelasan kepada responden tentang segala hal yang berkaitan dengan aktifitas penelitian, dan lembar persetujuan dari responden untuk berpartisipasi sebagai subyek penelitian, setelah memperoleh penjelasan, memahami dan setuju (informed concent).

4.4.2. Menghormati privasi dan kerahasiaan responden sebagai subyek penelitian (respect for privacy and confidentiality)

Peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas dan kerahasiaan identitas responden, dan peneliti seyogianya menggunakan coding sebagai pengganti identitas responden.

4.4.3. Keadilan dan inklusivitas /keterbukaan (respect for justice and inclusiveness)

(53)

4.4.4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms and benefits)

Peneliti hendaknya berusaha meminimalisasi dampak yang merugikan bagi responden sebagai subyek penelitian. Sebuah penelitian hendaknya memberikan manfaat semaksimal mungkin bagi subyek penelitian .

4.5 Ethical Clearance

Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapat ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran USU.

4.6 Teknik Pengumpulan Data

Peneliti akan mem berikan penjelasan kepada responden tentang tujuan dan manfaat penelitian yang akan dilakukan baik secara lisan maupun tulisan

melalui lembar penjelasan. Kemudian peneliti mengajukan lembar persetujuan atau informed consent untuk ditandatangani sebagai bentuk persetujuan menjadi responden dalam penelitian. Setelah responden menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian, maka responden akan mengisi data induk

responden yang diikuti dengan melakukan pengukuran indeks massa tubuh responden. Saat melakukan pengukuran indeks massa tubuh maka responden diminta untuk melepas alas kaki, topi, tas, dan barang-barang lain yang sifatnya

dapat mengurangi ketepatan pengukuran berat badan dan tinggi badan. Apabila responden memenuhi kriteria sampel penelitian, maka responden akan

(54)

4.7 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data (Notoatmodjo, 2012). Instrumern penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan berat badan merek camry, pengukur tinggi badan merek med-one, kuesioner PSQI, kuesioner Berlin, dan kuesioner kebiasaan olahraga.

Kuesioner PSQI digunakan untuk menilai kualitas tidur secara subyektif yang hasilnya dibagi menjadi kualitas tidur baik dan kualitas tidur buruk. Kuesioner ini terdiri dari delapan belas pertanyaan. Skor ≤5 menunjukkan kualitas tidur yang baik sedangkan skor 5 menunjukkan kualitas tidur yang buruk (Buysse, 1989). Kuesioner ini diciptakan oleh dr. Buysse et al pada tahun 1989 dan pertama kali digunakan pada orang Amerika. Kuesioner ini sudah pernah digunakan pada orang Indonesia oleh Khasanah dan Hidayati tahun 2012 di Semarang pada orang lanjut usia (lansia). Uji validitas dan reliabilitas akan dilakukan pada kuesioner PSQI untuk penggunaanya pada kelompok obesitas di Kota Medan. Cara melakukan perhitungan untuk memeroleh hasil dari analisis kuesioner dapat dilihat pada lampiran 7.

Kuesioner Berlin ditujukan untuk menilai faktor risiko OSA. Kuesioner ini terdiri dari 9 pertanyaan yang dibagi dalam dua kategori. Faktor risiko

dibagi menjadi risiko tinggi OSA jika skor ≥2 dan risiko rendah OSA jika skor ≤1.

Kuesioner ini diciptakan oleh dr. Netzer et al pada tahun 1999 dan digunakan pada orang Amerika. Kuesioner ini sudah pernah digunakan di Indonesia di Jakarta

oleh Wiadnyana et al pada tahun 2010. Uji validitas dan reliabilitas akan dilakukan pada kuesioner Berlin untuk penggunaannya pada kelompok obesitas di Kota Medan. Cara melakukan perhitungan untuk memeroleh hasil dari analisis kuesioner dapat dilihat pada lampiran 8.

Gambar

Tabel 2.1 Karakteristik Tahapan tidur berdasarkan gambaran EEG.
Gambar 2.1 Dimensi dalam Tidur (Buysse, 2014. Sleep Health: Can we
Tabel 2.2 Kesehatan tidur dan dampak-dampaknya
Tabel 2.3 Hormon yang meregulasi asupan makan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis hubungan kualitas tidur dengan kondisi obesitas pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Widya

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas tidur penderita diabetes adalah obesitas, sehingga penelitian ini ada hubungan

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan gambaran kualitas tidur pada komunitas game online mahasiswa Teknik Elektro Universitas Diponegoro.. Desain penelitian

Gambaran kualitas tidur pada lansia yang masih kurang baik dimana banyak yang masih mengalami kesulitan dalam tidur yaitu tentang tidak bisa tidur dalam waktu

Ada perbedaan yang signifikan antara kualitas tidur anak obesitas dengan anak tidak obesitas pada anak di SD Negeri Serang Sendangsari Pengasih Kulon Progo.. Bagi

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif korelatif untuk mencari hubungan antara obesitas dengan kualitas tidur pada mahasiswa Fakultas Keperawatan

Lembar Pengesahan Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : GAMBARAN KUALITAS TIDUR PADA REMAJA DENGAN DISMENORE PRIMER Dipersiapkan dan disusun

Bagi Pengembangan dan Riset Selanjutnya Dapat memberikan informasi pada pembaca dan penelitian selanjutnya mengenai Gambaran Kualitas dan Kuantitas Tidur Pada Lansia yang Mengalami