DI KABUPATEN TEGAL
ALDI ARDANA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Perencanaan Lanskap Tirta Waduk Cacaban Sebagai Kawasan Ekowisata di Kabupaten Tegal” adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Aldi Ardana
ABSTRAK
ALDI ARDANA. Perencanaan Lanskap Tirta Waduk Cacaban Sebagai Kawasan Ekowisata di Kabupaten Tegal. Dibimbing oleh AFRA DONATHA NIMIA MAKALEW.
Kabupaten Tegal merupakan salah satu kabupaten Jawa Tengah yang terletak di posisi yang sangat strategis. Kota ini terletak di jalur utama transportasi dari Jakarta dan Jawa Barat ke Jawa Tengah melalui jalur utara. Keragaman topografi menjadi keunikan dan memungkinkan masyarakat untuk membudidayakan berbagai komoditas pertanian. Sampai saat ini, tujuan utama waduk ini adalah sebagai sumber irigasi utama bagi kegiatan pertanian di Kabupaten Tegal. Penelitian ini bertujuan merencanakan lanskap Tirta Waduk Cacaban sebagai kawasan ekowisata dengan mempertimbangkan kearifan lokal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Gold (1980) yang meliputi persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis, dan perencanaan. Tiga aspek utama yang dianalisis meliputi aspek sumber daya alam, aspek wisata, dan aspek sosial. Hasil perencanaan ini akan berupa rencana lanskap yang mencakup rencana spasial, rencana aktivitas wisata, rencana fasilitas wisata, rencana sirkulasi, dan rencana pengembangan vegetasi. Rencana spasial terdiri dari tiga ruang utama yaitu ruang konservasi, ruang pemanfaatan non-intensif, dan ruang pemanfaatan intensif. Ruang konservasi berfungsi sebagai area konservasi air dan tanah. Ruang pemanfaatan non intensif berfungsi sebagai ruang penyangga yang mengakomodasi aktivitas wisata alam. Ruang pemanfaatan intensif merupakan area untuk penggunaan intensif yang meliputi area-area wisata, area penerimaan dan pelayanan, dan area budidaya. Rencana sirkulasi terdiri dari sirkulasi wisata darat dan sirkulasi wisata air dengan menggunakan pola jalur linear dan tertutup. Rencana vegetasi dibedakan berdasarkan fungsinya yang mencakup fungsi konservasi, fungsi estetika, fungsi pengarah, fungsi peneduh, dan fungsi budidaya. rencana daya dukung dipertimbangkan untuk menjaga nilai ekologis kawasan dan mengantipasi adanya penumpukan jumlah pengunjung yang dapat berakibat pada berkurangnya tingkat kenyamanan wisata.
Kata Kunci: perencanaan, waduk, Tegal, Tirta Waduk Cacaban, Tegal
ABSTRACT
ALDI ARDANA. Landscape Planning of Tirta Waduk Cacaban as an Ecotourism Area in Tegal Regency. Supervised by AFRA DONATHA NIMIA MAKALEW.
irrigation source facility for agricultural activities in Tegal Regency. This research is purposed to arrange a landscape planning of Tirta Waduk Cacaban as an ecotourism area with local wisdom adaptation. The method used for this study based on the planning process by Gold (1980) which includes preparation, inventory, analysis, synthesis and planning with several adjustments. The main aspects that are identified and analysed includes the natural, tourism, and human resources. The product of this research presented as a landcape plan that includes space, tourism activities, facility, circulation, and vegetation development plans. The spatial plan consists of three main spaces include conservation, non-intensive utilization, and intensive utilization spaces. The conservation space is for less intensive use which includes water and soil conservation areas. The non-intensive utilization space is allocated as buffer areas that accommodate natural tourism activities. The intensive utilization space allocated for intensive use which includes tourism, entrance and service, and cultivation areas. The circulation plan consist of land and water tourism ways which includes linear and loop lane systems. The vegetation plan consist of several functional used which includes conservation, aesthetics, directional, shade-provider, and cultivation functions. The carrying capacity plan is considered to preserve the ecological value of the site and anticipating of tourist accumulation which can cause tourism pleasure decrement .
® Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.
DI KABUPATEN TEGAL
ALDI ARDANA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN
NRP : A44070066
Departemen : Arsitektur Lanskap
Disetujui oleh,
Dr. Ir. Afra Donatha Nimia Makalew, M.Sc. Pembimbing
Diketahui oleh,
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas nikmat iman, sehat dan kekuatan yang senantiasa diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perencanaan Lanskap Tirta Waduk Cacaban Sebagai Kawasan Ekowisata di Kabupaten Tegal”. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan dan menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana.
Banyak pihak yang telah turut serta membantu dan memberikan kontribusinya dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala hormat penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta Drs. Baskoro, SE. dan Dra. Hardiana, SE. yang senantiasa memberikan dukungan moral, Dr. Ir. Afra DN. Makalew, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran. Selain itu ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Dr. Tati Budiarti, MS. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan banyak nasehat dan masukan selama penulis menempuh jenjang pendidikan S1, Bapak Aribawa beserta jajaran staf Bappeda Kabupaten Tegal, pihak pengelola Obyek Wisata Tirta Waduk Cacaban, dan seluruh masyarakat kabupaten Tegal yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan informasi demi penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen dan staf civitas akademik Departemen Arsitektur Lanskap IPB, sahabat – sahabat angkatan 42, 43, 44, 45, dan 46 serta pihak-pihak lainnya yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis sangat berharap dengan adanya penulisan skripsi ini akan bermanfaat secara umum bagi pemerintah daerah Kabupaten Tegal dan khususnya bagi pengelola serta masyarakat kawasan Wisata Tirta Waduk Cacaban. Kritik dan saran yang membangun sangat terbuka demi perbaikan dan penyempurnaan penelitian di masa yang akan datang.
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1 Tujuan 2 Manfaat 2 Kerangka Pikir 2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Perencanaan Lanskap 4 Waduk dan Pemanfaatannya sebagai Sarana Wisata 5 Waduk Cacaban 5 Wisata dan Pariwisata 6 Ekowisata 6 Daya Dukung Rekreasi 7 METODOLOGI 9
Lokasi dan Waktu 9 Batasan Studi 9 Metode dan Tahapan Penelitian 10 Proses Penelitian 10 Persiapan 11 Inventarisasi 11 Analisis 12 Sintesis 15 Konsep dan Pengembangan Konsep 15 Perencanaan Lanskap 15 KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN 16
Gambaran Umum Kabupaten Tegal 16 Demografi Kabupaten Tegal 16 Gambaran Umum Kawasan Waduk Cacaban 18 Batas Geografis dan Administrasi 18 Aksesibilitas 18 Kondisi Pengelolaan Waduk Cacaban 22 HASIL DAN PEMBAHASAN 26
Aspek Sumberdaya Alam Waduk Cacaban 26
Fisik 26
Biofisik 37
Aspek Sosial 40
Preferensi Pihak Pengelola TWC 42
Aspek Wisata 44
Kualitas Visual 44
Potensi Obyek dan Atraksi 47
Aksesibilitas dan Fasilitas Pendukung 50
Potensi Pengunjung 54
Aspek Legal 58
Tata Guna Lahan 58
Hasil Analisis 62
Sintesis 68
Konsep dan Pengembangan Konsep 71
Konsep Dasar Perencanaan 71
Pengembangan Konsep 72
Perencanaan Lanskap 77
Rencana Ruang 77
Rencana Aktivitas Wisata 80
Rencana Sirkulasi 83
Rencana Fasilitas 86
Rencana Vegetasi 86
Rencana Daya Dukung 90
1 Jenis, Sumber, Cara Pengambilan, dan Bentuk Data 11
2 Peningkatan Penduduk Kabupaten Tegal 17
3 Jumlah Penduduk menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin 17
4 Jenis Lapangan Usaha Masyarakat Cacaban 25
5 Bentuk Wilayah Berdasarakan Kecuraman Lereng 26
6 Presentase Luas Kemiringan Lahan (Daratan) 27
7 Jenis Tanah dan Presentase Luasan pada Kawasan Waduk Cacaban 33
8 Daftar Nama Tanaman di Lokasi Penelitian 37
9 Karakteristik Tajuk dan Perakaran Vegetasi untuk Pengendalian Longsor. 39
10 Hasil Kuisioner Preferensi Pengunjung dan Masyarakat 41
11 Potensi Obyek dan Atraksi di Kawasan Waduk Cacaban 48
12 Potensi/Kendala Fasilitas Eksisting di kawasan TWC 52
13 Data Jumlah dan Rata-Rata Pengunjung TWC 56
14 Hasil Analisis Potensi dan Kendala beserta Solusinya 64
15 Alokasi Pembagian Ruang Rencana Blok 70
16 Pembagian Ruang, Aktifitas, dan Fasilitas 73
17 Tema Jalur Interpretasi 75
18 Rencana Alokasi Pembagian Ruang 77
19 Rencana Sirkulasi Kawasan TWC 84
20 Rencana Fasilitas pada Kawasan TWC 86
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pikir 3
2 Peta Orientasi Lokasi Penelitian 9
3 Tahapan Proses Perencanaan (Modifikasi Gold, 1980) 10
4 Peta Batas Tapak Penelitian 19
5 Skema Akses Menuju Lokasi 20
6 Peta Akses Menuju Tapak 21
7 Kondisi Akses Menuju Lokasi 22
8 Kondisi Wisata Air dan Darat 24
9 Perbukitan pada Daerah Tangkapan Air 26
10 Peta Topografi 28
11 Peta Klasifikasi Kemiringan Lahan 29
12 Peta Analisis Kesesuaian Lereng untuk Wisata 30
13 Kondisi Area Bermain Anak dan Struktur Bendung Utama 31
14 Peta Rawan Analisis Bahaya Longsor 32
15 Kondisi Hidrologi Waduk Cacaban 33
16 Peta Analisis Hidrologi 35
17 Grafik Fluktuasi Suhu 36
18 Grafik Fluktuasi RH 36
19 Keefektifan Penyerapan Radiasi Matahari oleh Vegetasi 37
20 Peta Overlay Kesesuaian Fisik untuk Wisata 38
21 Penjarahan Hutan dan Penebangan Liar oleh Masyarakat 39
22 Grafik Hasil Kuisioner 43
23 Axis yang dibentuk oleh jajaran pohon sengon (Albizia falcata) 45
24 Kualitas Visual Buruk 45
25 Peta Analisis Visual 46
26 Peta Analisis Potensi Obyek dan Atraksi 51
27 Peta Analisis Akses dan Fasilitas Eksisting 55
28 Grafik Peningkatan Penunjung 54
29 Peta Overlay Kesesuaian Wisata 57
30 Arahan Rencana Pola Ruang 60
31 Peta Identifikasi Penggunaan Lahan 61
32 Skema Proses Overlay Analisis 62
33 Peta Komposit Analisis 63
34 Peta Rencana Blok 69
35 Diagram Ruang 72
36 Konsep Sirkulasi 74
37 Konsep Vegetasi 76
38 Peta Rencana Ruang 78
39 Skema Sistem KJA 81
40 Ilustrasi Budidaya Sistem KJA 81
41 Peta Rencana Sirkulasi 85
42 Ilustrasi Rencana Jenis Vegetasi 88
1 Kuisioner Penelitian 95
2 Peta Orientasi Kawasan Terhadap Jalur Pantura 98
3 Peta Arahan Pariwisata 99
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Tegal merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki letak sangat strategis. Kabupaten Tegal terletak pada jalur utama transportasi dari Jakarta dan Jawa Barat menuju Jawa Tengah melalui jalur utara. Apabila dibandingkan dengan jalur selatan, jalur utara memliki aktivitas lebih ramai dan memegang peranan penting sebagai penggerak roda perekonomian kota-kota besar di Pulau Jawa. Secara administratif wilayah Kabupaten Tegal terbagi menjadi 18 kecamatan yang meliputi 281 Desa dan 6 Kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Tegal mencapai 87.879 Ha. Dari luasan wilayah tersebut, sebagian besar merupakan lahan kering (47.601 Ha) dan sebagian lainnya berupa lahan sawah (40.278 Ha). Secara topografis wilayah Kabupaten Tegal terbagi menjadi daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi (Bappeda Kabupaten Tegal, 2008).
Kondisi topografi yang beragam tersebut menjadi kekayaan tersendiri bagi Kabupaten Tegal dan memungkinkan masyarakatnya untuk mengusahakan berbagai macam komoditi pertanian. Pada dataran rendah, lahan pertanian didominasi oleh pertanian tanaman pangan, khususnya padi. Pada dataran tinggi petani umumnya menyesuaikan pertanian mereka dengan kondisi lingkungan yang relatif dingin yang pada umumnya mengusahakan komoditi sayuran dan buah dataran tinggi, seperti cabai, tomat, kol, bawang daun, wortel, dan stroberi. Variasi komoditi pertanian yang dihasilkan ini dapat menjadi potensi tersendiri bagi pengembangan perekonomian Kabupaten Tegal, baik jika dilihat dari dukungan sektor pertanian bagi perekonomian maupun sektor lainnya khususnya pariwisata (penelitian, 2010).
Selain sektor pertanian, Kabupaten Tegal juga memiliki potensi lain sebagai obyek wisata. Setidaknya ada tiga potensi utama yang dapat dikembangkan menjadi obyek wisata antara lain Wisata Pemandian Air Panas Guci, Pantai Purwahamba Indah, dan Tirta Waduk Cacaban (TWC). Selama sepuluh tahun terakhir jumlah pengunjung wisata terbanyak mencapai 212.961 orang/tahun (Pantai Purwahamba), 209.945 orang/tahun (Wisata Air Panas Guci), dan 17.148 orang/tahun (Wisata Tirta Waduk Cacaban). Selama ini Kabupaten
Tegal dikenal dengan semboyannya, yakni “PERTIWI” (Pertanian, Industri, dan
Pariwisata) dan visi kepariwisataan Tegal yang ngangeni (membuat kangen) dan
mbetahi (membuat betah) (Bappeda Kabupaten Tegal, 2008).
pada tahun 2007 yakni hanya 53.718 pengunjung. Kedua obyek lainnya bisa mencapai 681.404 pengunjung untuk Obyek Wisata Guci dan 589.975 pengunjung untuk Obyek Wisata Pantai Purwahamba Indah. Meskipun demikian jumlah pengunjung untuk Waduk Cacaban terus bertambah dari tahun 2005 hingga 2007. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini cukup diminati dan berpotensi untuk dikembangkan dan direncanakan menjadi suatu kawasan wisata.
Pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan Obyek Wisata TWC oleh masyarakat dan pemerintah pada saat ini belum sepenuhnya dapat mendukung kelestarian kawasan tersebut. Terjadinya alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian oleh petani penggarap dan pembukaan lahan oleh pengelola untuk berbagai fasilitas pendukung kegiatan wisata memberikan kontribusi terhadap terjadinya penurunan kualitas lingkungan di kawasan tersebut. Pariwisata yang baik dan berkelanjutan adalah pariwisata yang meminimalkan dampak terhadap lingkungan, menciptakan kepekaan terhadap lingkungan dan budaya, memberikan pengalaman positif terhadap wisatawan, serta memberikan manfaat dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal.
Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian tentang perencanaan lanskap kawasan Tirta Waduk Cacaban sebagai alternatif wisata di Kabupaten Tegal adalah sebagai berikut:
1. mengidentifikasi dan menganalisis sumberdaya lanskap dan prefrensi pengunjung, masyarakat sekitar kawasan, dan pengelola terkait,
2. menganalisis kesesuaian lanskap dari kawasan tersebut sebagai kawasan obyek wisata, serta
3. membuat rencana penataan lanskap Tirta Waduk Cacaban sebagai kawasan ekowisata.
Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Tegal dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten Tegal, khususnya bagi pengelola Tirta Waduk Cacaban dan bagi pengelola kawasan wisata lain pada umumnya.
2. perencanaan yang mempertimbangkan kerterlibatan masyarakat sekitar kawasan diharapkan dapat memicu peningkatan perekonomian masyarakat lokal dan peningkatan kualitas hidup di masa yang akan datang.
Kerangka Pikir
pariwisata. Oleh karena itu, diperlukan suatu keterpaduan di antara ketiga aspek tersebut agar kualitas lingkungan kawasan tidak menurun dan berkelanjutan (sustainable) serta di sisi lain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar kawasan wisata Tirta Waduk Cacaban. Perencanaan penataan lanskap yang baik dan sesuai dengan kaidah wisata berkelanjutan diperlukan untuk menjaga fungsi utama dan keterpaduan antara ketiga aspek penting dari kawasan tersebut seperti yang terdapat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pikir
Aspek Legal
TWC
Potensi Kawasan
Aspek Sumberdaya
Alam
Aspek Sosial
Budaya
-Kondisi Fisik dan Biofisik -Kesesuaian lahan
-Hidrologi - Iklim
-Potensi Objek Wisata dan Atraksi -Kondisi Visual -Akses Fasilitas -Daya Dukung
-Karakteristik, Potensi, Preferensi
Pengunjung dan Masyarakat Sekitar
- Preferensi pihak pengelola TWC
Zonasi Kawasan Konsep Wisata
Perencanaan Lanskap Tirta Waduk Cacaban sebagai Kawsan Ekowisata di Kabupaten Tegal
TINJAUAN PUSTAKA
Perencanaan Lanskap
Lanskap adalah suatu bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu dimana di dalamnya terdapat dua unsur pembentuk yaitu unsur utama atau unsur mayor dan unsur penunjang atau unsur minor. Unsur mayor adalah unsur pada lanskap yang relatif sulit untuk dimodifikasi sedangkan unsur minor adalah unsur pada tapak yang relatif mudah untuk dimodifkasi. Bentuk lanskap apabila dilihat dari setiap tempat yang berbeda ternyata memiliki karakter yang berbeda dan mempunyai ciri masing-masing. Karakter ini terbentuk dari harmonisasi dan kesatuan dari elemen-elemen yang ada di alam seperti, bentukan lahan, formasi batuan, tutupan vegetasi, dan satwa. Keunikan karakter lanskap pada suatu kawasan wisata alam dapat menjadi pendukung dalam pengembangan kawasan wisata alam (Simonds 1983).
Perencanaan lanskap merupakan suatu upaya penataan lanskap berdasarkan potensi, kendala, amenity dan bahaya lanskap tersebut guna mewujudkan suatu bentukan lahan yang berkelanjutan, indah, fungsional dan memuaskan bagi penggunanya. Proses perencanaan meliputi proses pengumpulan dan penginterpretasian data, proyeksi ke masa depan, mengidentifikasi masalah dan memberi pendekatan yang beralasan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam suatu bentang alam.
Menurut Gold (1980), perencanaan adalah suatu alat yang sistematis, yang digunakan untuk menentukan saat awal suatu keadaan dan cara terbaik untuk pencapaian keadaan tersebut. Perencanaan lanskap dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain:
1. pendekatan sumber daya, yaitu penentuan tipe sacara alternatif aktivitas berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya,
2. pendekatan aktivitas, yaitu penentuan tipe dan alternatif aktivitas berdasarkan seleksi terhadap aktivitas pada masa lalu untuk memberikan kemungkinan apa yang dapat disediakan pada masa yang akan datang, 3. pendekatan ekonomi, yaitu pendekatan tipe, jumlah, dan lokasi
kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi, dan
4. pendekatan perilaku, yaitu penentuan aktivitas berdasarkan pertimbangan perilaku manusia.
Menurut Nurisjah dan Pramukanto (1995), terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan suatu kawasan, diantaranya:
1. mempelajari hubugan antara kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar, 2. memperhatikan keharmonisan antara daerah sekitarnya dengan kawasan
yang akan direncanakan,
3. menjadikan kawasan yang direncanakan sebagai objek yang menarik, dan 4. merencanakan kawasan tersebut sehingga menghasilkan suatu kawasan
Waduk dan Pemanfaatannya sebagai Sarana Wisata
Menurut Standar Tata Cara Perencanaan Umum , diacu dalam Sumargo (2006), pengertian bendung adalah bangunan air yang dibangun melintang sungai atau sudetan yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air atau untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ketempat yang membutuhkannya. Sedangkan menurut kamus tata ruang terbitan Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, bendung (dam) adalah bangunan air melintang badan sungai untuk mengatur air sungai sehingga terbentuk kolam atau waduk di bagian hulu sungai dari letak bangunan tersebut yang berfungsi sebagai penyedia air bagi tenaga listrik, keperluan irigasi, maupun pengendalian banjir.
Secara umum perairan waduk dapat dibedakan dalam beberapa kawasan yaitu kawasan bahaya (merupakan kawasan tertutup bagi kepentingan umum untuk melindungi instalasi penting dan bendungan utama), kawasan suaka (merupakan kawasan tertutup bagi kegiatan-kegiatan budidaya apapun, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya dan tidak menguibah benteng alam, kondisi penggunaan lahan dan ekosistem alami yang ada), kawasan lindung ( merupakan kawasan hutan lindung sebagai daerah tangkapan air dan kawasan sabuk hijau), dan kawasan bebas (merupakan kawasan yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan misalnya untuk kegiatan usaha dan pariwisata). Oleh karena itu, pada umumnya fungsi waduk dapat dikatakan bersifat serba guna dan pengelolaanya harus memenuhi unsur keserasian antar fungsi dalam pencapaian tujuannya.
Perairan waduk atau danau bersifat barang publik serta mempunyai pemanfaatan majemuk. Oleh karena itu, sangat diperlukan pengelolaan maupun pengaturan yang baik dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya dan lingkungan hidup agar dalam pemanfaatannya tidak menimbulkan dampak yang negatif. Wisata alam merupakan salah satu jenis wisata yang dapat
dikembangkan untuk menambah keindahan waduk serta menjaga
keberlanjutannya mutlak diperlukan sabuk hijau (green belt) diseputar waduk (Sumargo 2006).
Waduk Cacaban
Waduk Cacaban mulai digagas sejak tahun 1914 dan dibuat perencanaan detailnya pada tahun 1930 oleh pemerintah kolonial Belanda. Pembangunan fisiknya dimulai pada tahun 1952 dimana peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno pada tanggal 16 September 1952. Pembangunannya selesai pada tahun 1958 dan diresmikan penggunaanya oleh Pejabat Presiden Mr. Sartono pada tanggal 19 Mei 1958. Sejak saat itu secara resmi Waduk Cacaban dioperasionalkan hingga sekarang.
Lebakwangi, Capar, Padasari dan Wotgalih dan Kecamatan Pangkah meliputi sebagian Desa Dermasuci. Waduk Cacaban mempunyai water catchment area
(daerah tangkapan air) seluas 6.792 ha. Topografi kawasan Waduk Cacaban adalah perbukitan dengan ketinggian antara 85 m – 600 m dpl. Selama operasional, telah banyak kegiatan yang dilakukan dalam rangka menjaga fungsi waduk, baik yang bersifat pemeliharaan maupun pembangunan. Selain fungsi utamanya sebagai sumber irigasi pertanian di Kabupaten Tegal, waduk ini juga memiliki potensi wisata yang dapat dikembangkan menjadi wisata air maupun wisata alam. Kawasan Obyek Wisata TWC merupakan salah satu aset Pemerintah Kabupaten Tegal sebagai obyek wisata dari beberapa obyek wisata lainnya.
Wisata dan Pariwisata
Menurut UU No. 10 tahun 2009, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung dengan berbagai macam fasilitas yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah daerah. Wisata merupakan pergerakan sementara dari manusia dengan jarak lebih dari 50-100 mil dari tempat tinggal dan pekerjaan rutinnya menuju suatu tempat tertentu dimana aktivitas tersebut dilakukan pada saat mereka berada di tempat yang dituju serta ada fasilitas yang disediakan untuk mengakomodasi keinginan mereka (Gunn, 1994). Ada tiga jenis kategori wisata menurut Bruun (1995), yaitu:
1. ecotourism, green tourism, dan alternatif tourism merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan industri kepariwisataan dan perlindungan terhadap wisata alam dan lingkungan, 2. wisata budaya merupakan kegiatan pariwisata dengan kekayaan budaya
sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan, dan 3. wisata alam merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada pengalaman
terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya.
Pariwisata merupakan fenomena kemasyarakatan, yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok, organisasi, kebudayaan dan sebagainya, sebagai proses kepergian sementara menuju tempat lain diluar tempat tinggalnya dimana dorongan kepergiannya adalah karena berbagai kepentingan, baik karena kepentingan ekonomi, sosial, kebudayaan, agama, kesehatan maupun kepentingan lain seperti karena sekedar ingin tahu, menambah pengalaman ataupun untuk belajar (Suwantoro, 1997).
Ekowisata
Ekowisata melibatkan kegiatan perjalanan/pengalaman wisata yang relatif tidak menggangu alam dengan tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi, dan menikmati flora fauna liar serta budaya lokal di suatu kawasan (UNEP, 1980). Ekowisata merupakan bentuk kegiatan wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya masyarakat setempat (TIES, 1990). Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengembangan aktivitas ekowisata, yaitu:
2. meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan dan budaya,
3. menciptakan pengalaman yang positif bagi pengunjung maupun masyarakat lokal,
4. menciptakan keuntungan secara finansial untuk kepentingan konservasi,
5. menciptakan keuntungan secara finansial dan partisipasi nyata bagi masyarakat lokal,
6. meningkatkan sensitivitas pengunjung terhadap iklim politis, sosial dan budaya di kawasan setempat.
Faktor keberlanjutan menjadi faktor terpenting yang harus diterapkan dalam definisi ekowisata. Keberlanjutan suatu wisata ditunjukan dari hasil keseimbangan positif dari dampak lingkungan, pengunjung, sosio-budaya dan ekonomi (Lindberg, 1997). Menurut Lindberg, ada beberapa pihak yang terlibat dalam ekowisata, yaitu:
1. pengunjung,
2. area alami dan pengelolanya (baik area umum maupun pribadi), 3. masyarakat,
4. pebisnis (mencakup penyedia penginapan, restoran, dan sebagainya), 5. pemerintah (perannya dalam pengelolaan area alami), dan
6. LSM
Ekowisata dapat disebut sebagai bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab karena berawal dari perpaduan berbagai minat yang tumbuh atas dasar kepedulian terhadap lingkungan, ekonomi, dan sosial. Oleh karena itu ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan upaya konservasi (Fandelli dan Mukhlison, 2000 diacu dalam Kurnianto, 2008).
Daya Dukung Rekreasi
Daya dukung rekreasi merupakan kemampuan suatu area rekreasi secara alami, fisik, dan sosial yang dapat mendukung pengunaan aktivitas rekreasi dan dapat memberikan kualitas pengalaman rekreasi yang diinginkan (Gold,1980). Daya dukung optimal suatu aktivitas rekreasi merupakan jumlah aktivitas rekreasi yang dapat ditampung oleh suatu area selama jangka waktu tertentu serta dapat memberikan perlindungan terhadap sumberdaya dan kepuasan terhadap pengunjung. Bentuk pendugaan nilai daya dukung dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk tergantung dari tujuan pengembangan suatu kawasan. Menurut Pigram (1983) diacu dalam Nurisjah et al. (2003) terdapat 4 (empat) daya dukung untuk kegiatan rekreasi yaitu daya dukung ekologis, daya dukung fisik, daya dukung sosial, dan daya dukung ekonomi.
1. Daya dukung ekologis adalah tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau ekosistem baik berupa jumlah maupun jenis kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis lingkungan tersebut.
2. Daya dukung fisik adalah jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam suatu kawasan tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas lingkungan tersebut secara fisik.
3. Daya dukung sosial merupakan gambaran dari persepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan pada suatu area tertentu. Daya dukung sosial dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan pada suatu kawasan dimana apabila melampaui batas daya dukung ini akan mengurangi kepuasan dan kualitas pengalaman pengguna pada kawasan tersebut.
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu
Penelitian mengenai perencanaan lanskap kawasan Tirta Waduk Cacaban ini dilaksanakan di Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian berlangsung dari bulan Maret 2011 sampai dengan Juni 2013. Adapun letak lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.
Alat dan Bahan
Dalam kegiatan penelitian ini, digunakan beberapa perangkat untuk mendukung proses pengumpulan dan pengolahan data. Adapun alat dan bahan yang digunakan tersebut antara lain:
Alat:
1. Software AutoCAD 2010, ArcView GIS 3.2, ArcMap GIS 9.3, Adobe Photoshop CS4, Google Sketch Up Pro 6
2. Kamera Digital
3. Laptop Toshiba Satellite L310 4. Global Positioning System (GPS)
Bahan:
1. Citra Satelit Google Earth 2010
2. Peta-peta kawasan Tirta Waduk Cacaban
3. Data hasil survai dan wawancara serta kuisioner dengan narasumber pihak pengelola, pengunjung/wisatawan, dan masyarakat lokal.
Batasan Studi
Peta Jawa Tengah
Studi ini dilakukan sampai pada tahap perencanaan penataan lanskap kawasan Tirta Waduk Cacaban yang hasilnya berupa uraian tulisan dan gambar rencana lanskap. Rencana yang dihasilkan berupa rencana tata ruang, aktifitas, fasilitas, sirkulasi, dan vegetasi kawasan Tirta Waduk Cacaban, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal.
Metode dan Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode studi literatur, penyebaran kuisioner kepada pengunjung, wawancara dengan narasumber (pengelola dan masyarakat lokal), dan pengamatan langsung pada lapang (survey). Adapun tahapan kerjanya mengacu pada tahapan perencanaan Gold (1980) yakni persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis, perencanaan, dan perancangan. Namun, pada penelitian ini hanya sampai pada tahap perencanaan dengan penambahan tahap penyusunan konsep sebelum masuk ke tahap perencanaan. Gambaran tahapan proses peneltian digambarkan dalam diagram alir pada Gambar 3.
Proses Penelitian
Gambar 3 Tahapan Proses Perencanaan (Modifikasi Gold, 1980)
Pengembangan Konsep Persiapan
Tujuan Perencanaan
Usulan Penelitian
Orientasi Umum/Informasi Awal
Inventarisasi
Analisis
Sintesis
Penyusunan Konsep
Perencanaan Lanskap
Penentuan Batas Tapak
Data Primer dan Sekunder
Kondisi Umum
Peta Komposit
Rencana Blok/Block Plan
Rencana Lanskap Tirta Waduk Cacaban Sebagai Kawasan Ekowisata
- Konsep Ruang -Konsep Sirkulasi - Konsep Aktivitas - Konsep Vegetasi Fasilitas
Konsep Rencana Dasar
Aspek SD Alam
Persiapan
Tahap persiapan mencakup proses penentuan tujuan perencanaan dan penyusunan rencana kerja beserta rencana anggaran biaya yang terangkum dalam usulan penelitian. Selain itu, pada tahap ini juga dilakukan orientasi tapak yang akan dijadikan objek penelitian secara umum dengan cara mencari informasi sementara berdasarkan studi pustaka.
Inventarisasi
Tahap inventarisasi merupakan tahap pengumpulan data dan semua informasi yang berkaitan dengan lokasi yang menjadi objek penelitian. Tahap ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tujuan penelitian yaitu mengidentifikasi sumber daya lanskap dan preferensi pengunjung pada lokasi penelitian. Data yang diambil terdiri dari dua jenis, yakni data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei lapang, penyebaran kuisioner, dan wawancara terhadap pengunjung, pihak pengelola terkait serta masyarakat lokal yang berada di sekitar lokasi. Penyebaran kuisioner dilakukan secara acak terhadap 30 orang responden di kawasan Obyek Wisata Tirta Waduk Cacaban. Data sekunder diperoleh dari hasil studi literatur, dinas-dinas terkait, dan pustaka lainnya yang dapat mendukung data yang berkaitan dengan lokasi penelitian.
Data yang diambil meliputi data-data yang berkenaan dengan aspek fisik dan biofisik, aspek sosial, dan aspek wisata, dan aspek legal. Selain itu, digunakan juga data kondisi umum untuk mendukung pengenalan lebih lanjut terhadap lokasi yang menjadi objek penelitian. Adapun jenis, sumber, dan cara pengambilan data yang digunakan akan ditampilkan pada Tabel 1.
Kegiatan wawancara dilakukan terhadap beberapa narasumber dari berbagai bidang keahlian serta profesi yang berkaitan dengan penelitian ini. Kegiatan pengambilan data aspek sosial dilakukan dengan metode wawancara dan penyebaran kuisioner. Data hasil wawancara dan kuisioner kemudian dianalisis untuk mendapatkan persepsi dan preferensi sosial dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan obyek wisata tersebut.
Tabel 1. Jenis, Sumber, Cara Pengambilan, dan Bentuk Data
No Jenis Data Sumber Cara
Pengambilan Data Jenis Data
ASPEK SD. ALAM :
1 Letak Geografis dan
Administratif Tapak Bappeda Studi Pustaka Sekunder
2 Masterplan Waduk Pengelola Studi Pustaka Sekunder
3 Topografi dan Kemiringan
Lahan Bappeda Studi Pustaka Sekunder
4 Jenis dan Karakteristik Tanah Penelitian Terdahulu Studi Pustaka Sekunder
5 Iklim dan Kenyamanan BMKG Studi Pustaka Sekunder
6 Vegetasi Bappeda Studi Pustaka Sekunder
ASPEK WISATA :
No Jenis Data Sumber Cara
Pengambilan Data Jenis Data
2 Atraksi Wisata Disparbud, Lapangan Observasi Lapang,
Wawancara
Primer, Sekunder
3 Aksesibilitas (jaringan jalan
dan transportasi) Bappeda, Lapangan
Studi Pustaka, Observasi lapang
Primer, Sekunder
4 Tingkat Kunjungan Wisatawan Disparbud Studi Pustaka Sekunder
ASPEK SOSIAL :
1 Demografi Penelitian Terdahulu Studi Pustaka Sekunder
2 Aktivitas Perekonomian Bapermades Studi Pustaka Sekunder
3 Tingkat Kesejahteraan Bapermades Studi Pustaka Sekunder
4 Ketergantungan Masyarakat
terhadap Tapak Responden Lokal Wawancara Primer
5 Potensi Pengguna (perilaku,
keinginan) Responden Kuisioner Primer
ASPEK LEGAL :
1 Kepemilikan Lahan RTRW, Responden
Ahli
Studi Pustaka, Wawancara
Primer, Sekunder
2 Kebijakan Pemerintah Daerah Bappeda Studi Pustaka Sekunder
3 Tata Guna Lahan (Landuse) Bappeda Studi Pustaka Sekunder
Keterangan:
Bappeda : Badan Perencanaan dan Pengembangan Daerah BMKG : Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Bapermades : Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
RTRW : Rencana Tata Ruang dan Wilayah
Analisis
Analisis dilakukan terhadap beberapa aspek utama dengan sumber data yang telah dikumpulkan sebelumnya pada tahap inventarisasi yaitu aspek sumberdaya alam, aspek sosial, aspek wisata dan aspek legal. Tahap ini dilakukan untuk memenuhi tujuan analisis sumberdaya lanskap dan wisata, persepsi dan preferensi sosial , serta mengetahui daya dukung kawasan tersebut dalam pengembangannya sebagai kawasan wisata/area rekreasi massal. Semua analisis dilakukan dengan metode deskriptif kuantitatif dan metode analisis spasial dengan parameter skoring. Tahapan analisis yang dilakukan akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Aspek Sumberdaya Alam
Analisis dilakukan pada 2 komponen utama yaitu fisik dan biofisik. Analisis pada komponen fisik dilakukan terhadap beberapa elemen seperti lokasi dan aksesibilitas, topografi dan kemiringan, jenis dan karakteristik tanah, hidrologi, dan kondisi iklim. Analisis pada komponen biofisik meliputi elemen vegetasi dan satwa.
analisis, dimana lahan dengan kemiringan antara 0-8% dikategorikan
“sesuai” dengan skor (3), kemiringan 8-15% dikategorikan “sedang” dengan skor (2), dan kemiringan lebih dari 15% dikategorikan “tidak sesuai” dengan skor (1). Adapun yang dimaksud dengan lahan dengan kategori “sesuai” merupakan area yang dapat dilakukan aktivitas pengembangan sarana rekreasi. Lahan dengan kategori “sedang” merupakan area yang dapat dilakukan aktivitas pengembangan sarana rekreasi secara terbatas. Lahan dengan kategori “tidak sesuai” merupakan area yang tidak dapat dikembangkan untuk sarana rekreasi dan diperlukan adanya konservasi.
Faktor kerawanan bahaya longsor juga dipertimbangkan untuk keamanan kegiatan wisata di kawasan tersebut. Tingkat kerawanan longsor dinilai berdasarkan aspek alami kemiringan lahan menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.22/PRT/M/2007 tentang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Lahan dengan kemiringan 0-20% dikategorikan “tidak berbahaya” dengan skor (3), lahan dengan kemiringan 20-40%
dikategorikan “sedang” dengan skor (2), dan lahan dengan kemiringan di
atas 40% dikategorikan “berbahaya” dengan skor (1). Adapun lahan
dengan kategori “tidak berbahaya” merupakan area memiliki jenis gerakan
tanah lambat hingga menengah dengan kecepatan kurang dari 2 m/hari.
Lahan dengan kategori “sedang” merupakan area yang memiliki jenis gerakan tanah lambat hingga menengah dengan kecepatan 2 m/hari. Lahan
dengan kategori “berbahaya” merupakan area yang memiliki jenis gerakan
tanah relative cepat lebih dari 2 m/per hari bahkan bisa mencapai kecepatan 25 m/menit.
Analisis untuk kenyamanan iklim dilakukan dengan perhitungan kuantitatif menggunakan metode Thermal Humidity Index (THI) dengan rumus:
Keterangan: T = Temperatur (˚C)
RH = Kelembaban relatif (%)
*standar kenyamanan tapak untuk daerah tropis < 27˚C 2. Aspek Sosial
Analisis pada aspek sosial dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif . Analisis deskriptif dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu wawancara dan penyebaran kuisioner. Wawancara dilakukan terhadap beberapa narasumber dari pihak pengelola terkait dan tokoh masyarakat setempat untuk menggali informasi mengenai sejarah kawasan waduk dan karakter sosial ekonomi masyarakat lokal. Kuisioner diberikan kepada 30 pengunjung secara acak di lokasi obyek wisata TWC pada waktu yang bersamaan untuk mengetahui tingkat kepuasan dan kenyamanan serta preferensi terhadap fasilitas yang tersedia di kawasan tersebut.
3. Aspek Wisata
Keindahan visual pada tapak dipertimbangkan untuk menunjang pengembangan program wisata. Metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif dan spasial dengan menentukan area-area dengan kualitas visual baik (good view) yang dapat dijadikan sebagai potensi pendukung wisatadan area-area dengan kualitas visual buruk (bad view) yang merupakan kendala yang harus diatasi. Analisis terhadap obyek atraksi dan fasilitas wisata dilakukan secara spasial dengan mengindentifikasi titik-titik yang dianggap berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek dan atraksi wisata serta beberapa titik fasilitas yang telah tersedia di kawasan Waduk Cacaban.
Penilaian daya dukung wisata juga dilakukan untuk menghitung luas areal yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata, sehingga akan diketahui jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada lingkungan yang dimanfaatkan maupun mengurangi kenyamanan pengunjungnya. Perhitungan daya dukung wisata yang digunakan mengacu pada rumus Boulon dalam WTO dan UNEP (1992)
dalam Nurisjah et al. (2003) sebagai berikut:
Keterangan:
DD = Daya Dukung
A = Area yang digunakan wisatawan S = Standar rata-rata individu
T = Total hari kunjungan yang diperkenankan K = Koefisien rotasi
N = Jam kunjungan per hari area yang diizinkan R = Rata-rata waktu kunjungan
4. Aspek Legal
Analisis terhadap aspek legal dilakukan untuk mengetahui status kepemilikan lahan lokasi obyek wisata TWC serta kebijakan-kebijakan pemerintah daerah setempat terkait dengan rencana pengembangan kawasan. Analisis ini dilakukan dengan cara mempelajari RTRW Kabupaten Tegal khususnya yang berkenaan dengan kawasan obyek wisata TWC. Selain itu, untuk memperkuat proses pengumpulan informasi mengenai kepemilikan lahan dari lokasi penelitian dilakukan wawancara secara langsung terhadap responden ahli yakni pihak Bappeda Kabupaten Tegal.
Analisis spasial dilakukan terhadap peta tata guna lahan (landuse) untuk mengidentifikasi arah pengembangan ruang sebagaimana yang telah ditetapkan pada RTRW Kabupaten Tegal. Hasil dari analisis terhadap aspek legal diharapkan dapat mendukung arah pengembangan terhadap kawasan obyek wisata TWC sehingga dapat berkelanjutan dan memberikan dampak positif khususnya bagi masyarakat Cacaban.
analisis di atas. Hasil akhir dari analisis tersebut kemudian akan digunakan selanjutnya pada tahap sintesis.
Sintesis
Tahap sintesis merupakan tahap pembagian kawasan menjadi beberapa zona pengembangan tapak berdasarkan hasil komposit analisis sebelum nantinya masuk pada tahap konsep dan pengembangan konsep. Adapun peta komposit dihasilkan dari hasil overlay peta kesesuaian fisik dan peta kesesuaian wisata yang selanjutnya dioverlay dengan peta tata guna lahan untuk mempertimbangkan arah pengembangan ruang wisata. Peta kesesuaian fisik dihasilkan dari overlay peta analisis kemiringan lahan dengan peta analisis rawan bahaya longsor, sedangkan peta kesesuaian wisata dihasilkan dari analisis spasial beberapa komponen utama (Gunn, 1979 diacu dalam Smith, 1989) yang meliputi kualitas visual, potensi obyek dan atraksi eksisting, dan kemudahan aksesisibilitas serta fasilitas pendukung wisata. Hasil akhir dari sintesis adalah berupa pengembangan ruang wisata yang direncanakan disajikan dalam bentuk peta rencana blok / block plan.
Konsep dan Pengembangan Konsep
Tahap penyusunan konsep merupakan langkah sebelum memasuki tahap perencanaan lanskap. Hasil dari tahap ini adalah ditentukannya konsep dasar perencanaan berupa wisata alam yang melibatkan atraksi sosial budaya masyarakat lokal. Konsep tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ruang, konsep aktivitas dan fasilitas, serta konsep sirkulasi.
Perencanaan Lanskap
KONDISI UMUM KAWASAN PERENCANAAN
Gambaran Umum Kabupaten Tegal
Kabupaten Tegal terletak sebelah pesisir utara bagian Barat Pulau Jawa. Secara geografis Kabupaten Tegal terletak diantara 108°57’6” - 109°21’30" garis
bujur timur dan 6°50’41" - 7°15’30" garis lintang selatan. Posisi Kabupaten Tegal berbatasan dengan Kabupaten Brebes (sebelah Barat), Laut Jawa dan Kota Tegal (sebelah Utara), Kabupaten Pemalang (sebelah Timur) dan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas (sebelah Selatan).
Berdasarkan kemiringan lahan, curah hujan, ketinggian, topografi dan jenis tanah, maka pola kesesuaian lahan di Kabupaten Tegal dapat dibedakan menjadi kawasan pertanian lahan basah (karena didukung pengairan irigasi yang memadai, curah hujan, ketinggian dan kemiringan meliputi Kecamatan Slawi, Balapulang, Pagerbarang, Dukuhturi, Kedungbanteng), kawasan pertanian lahan kering (tidak tersedia jaringan irigasi yang terlalu baik meliputi Kecamatan Bojong, Bumijawa, Balapulang, Jatinegara dan Margasari) dan kawasan tanaman tahunan (tanaman keras meliputi Kecamatan Bojong, Bumijawa dan Jatinegara).
Adapun pola penggunaan lahannya, dari luas wilayah Kabupaten Tegal 878.79 Km2 Sebagian besar merupakan lahan kering yaitu mencapai 46.675 Ha (53,11%). Luas lahan sawah 41.204 Ha (46,89%) dengan jenis tanah meliputi
Aluvial (34,93%) terdapat di Kecamatan Suradadi, Margasari, Warurejo, Bumijawa, Pagerbarang, Pangkah, Dukuhwaru, Adiwerna Talang, Tarub dan Kramat, Regosol (24%) terdapat di seluruh kecamatan kecuali Jatinegara, Kedungbanteng dan Tarub, Litosol (23,69%) terdapat di Kecamatan Jatinegara,
Grumosol (9,42%) terdapat di Kecamatan Margasari, Pagerbarang, Jatinagara dan Kedungbanteng, Andosol (4,29%) terdapat di Kecamatan Margasari, Bumijawa Bojong, balapulang, Lebaksiu, Jatinegara, Kedungbanteng dan Pangkah, dan jenis tanah lainnya (3,67%).
Demografi Kabupaten Tegal
Berdasarkan hasil survei penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kabupaten Tegal adalah sebesar 1.392.260 orang yang terdiri dari 693.287 laki-laki dan 698.973 perempuan (BPS Kabupaten Tegal 2010). Kecamatan yang memiliki tingkat distribusi penduduk paling tinggi yakni Kecamatan Adiwerna dengan catatan peningkatan sebesar 8,73 persen (survei 1990), 8,50 persen (survei 2000) dan 8,50 persen (survei 2010).
Tabel 2. Peningkatan Penduduk Kabupaten Tegal
Sumber: Bappeda dan BPS Kab. Tegal, 2010
Dengan luas wilayah sekitar 994,99 km², Kabupaten Tegal memiliki kepadatan penduduk rata-rata sebesar 1.399 orang/km². Kecamatan yang paling tinggi kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Talang yaitu sebesar 5.159 orang/km², disusul oleh Kecamatan Dukuhturi sebesar 4.776 orang/km², Kecamatan Slawi sebesar 4.420 orang /km², dan Kecamatan Adiwerna sebesar 4.413 orang/km². Sedangkan kecamatan yang paling rendah tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Jatinegara yaitu sebesar 476 orang/km², Kecamatan Kedungbanteng sebesar 478 orang/km², dan Kecamatan Bumijawa sebesar 693 orang/km². Rincian jumlah penduduk di Kabupaten Tegal dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Penduduk menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin
Kecamatan Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan
Kedungbanteng 19,884 19,806 39,690 100
Pangkah 49,032 48,985 98,017 100
Apabila ditinjau dari mata pencaharian, komposisi penduduk Kabupaten Tegal yang bekerja pada sektor pertanian 32 %, perindustrian 9 %, perdagangan 21 %, jasa 27 % dan mata pencaharian lainnya 11 %. Ini berarti masyarakat Kabupaten Tegal dominan bekerja pada sektor pertanian dan jasa.
Gambaran Umum Kawasan Waduk Cacaban Batas Geografis dan Administrasi
Kawasan Tirta Waduk Cacaban (TWC) secara administratif terletak di Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah yang mencakup tiga wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Kedungbanteng meliputi sebagian Desa Penujah, Karangmalang, Karanganyar, dan Tonggara, Kecamatan Jatinegara meliputi sebagian Desa Jatinegara, Dukuhbangasa, Capar dan Padasari, serta Kecamatan Pangkah meliputi sebagian Desa Dermasuci. Secara geografis kawasan ini terletak pada ketinggian 80 hingga 600 mdpl dan pada posisi koordinat 109º 9’ 35” BT - 109º
17’ 57” BT dan 6º 57’ 44” LS - 7º 4’ 2” LS.
Waduk Cacaban memiliki daerah tangkapan air (water catchment area) seluas 6.792,71 hektar dan memiliki luas genangan waduk pada kondisi maksimal seluas 928,70 hektar. Pada kondisi tersebut, Waduk Cacaban dapat mengaliri areal persawahan irigasi teknis di sekitarnya seluas kurang lebih 17.500 hektar (Kurnianto, 2008). Waduk Cacaban memiliki daerah tangkapan air pada 3 kecamatan yaitu Kecamatan Jatinegara meliputi Desa Jatinegara, Lebakwangi, Capar, Padasari, Wotgalih, Kecamatan Pangkah meliputi Desa Dermasuci, dan Kecamatan Kedungbanteng meliputi Desa Penujah dan Karanganyar. Sebagian besar dari desa-desa tersebut memanfaatkan aliran air dari Waduk Cacaban untuk aktivitas irigasi pertanian sehari-hari. Oleh karena itu, keberadaan waduk ini sangat penting bagi kelangsungan perekonomian desa maupun penduduk setempat.
Penelitian dilakukan hanya pada empat dari enam desa daerah tangkapan air Waduk Cacaban (Gambar 4). Adapun keempat desa tersebut meliputi Desa Kedungbanteng, Penujah, Capar, dan Lebakwangi. Hal ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa keterkaitan keempat desa tersebut lebih erat dan potensial dengan keberadaan waduk. Adapun total luasan wilayah perencanaan lanskap pada penelitian ini adalah sebesar 5.173 hektar (Ha).
Aksesibilitas
Transportasi menuju ke kawasan Wisata Tirta Waduk Cacaban dapat ditempuh melalui dua rute. Rute yang pertama adalah dari Jalur Pantura, Kota Tegal ke arah Selatan melalui Kec. Kramat menuju Kec. Pangkah kemudian Waduk Cacaban dengan jarak kurang lebih 20 km. Rute yang kedua dari Kota Slawi ke arah Tenggara menuju Kec. Pangkah kemudian Waduk Cacaban dengan jarak kurang lebih 9 km. Hingga saat ini sudah tersedia angkutan umum pedesaan dengan trayek Slawi – Cacaban sebanyak 25 Armada. Moda transportasi tambahan yang sedang dalam proses persiapan pelaksanaan adalah angkutan
Ga
mbar
4. P
eta Ba
ta
s Ta
pa
k P
ene
li
ti
an
Sarana transportasi menuju kawasan ini ada dua jenis yakni angkutan roda empat dan angkutan roda dua. Angkutan roda empat berupa angkutan pedesaan (angkudes) yang beroperasi dengan trayek Slawi – Cacaban sebanyak 25 armada. Adapun angkutan roda dua yang beroperasi di kawasan tersebut berupa ojeg dan becak milik warga setempat. Oleh karena itu, angkutan jenis ini memiliki waktu operasi dan jumlah armada yang lebih terbatas apabila dibandingkan dengan angkutan pedesaan yang disediakan oleh pemerintah daerah (pemda) Kabupaten Tegal. Satu lagi moda transportasi yang sedang dipersiapkan untuk menunjang akses
menuju lokasi Waduk Cacaban adalah “Loko Antik” milik pabrik gula Pangkah.
Angkutan ini diharapakan dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke Obyek Wisata Tirta Waduk Cacaban sambil menikmati pemandangan alam bernuansa agro di sepanjang perjalanan menuju lokasi. Adapun peta akses menuju ke lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
Prasarana transportasi menuju lokasi berupa jalan raya yang sudah sepenuhnya menggunakan aspal. Namun ada beberapa titik jalan yang rusak dan berlubang yang diakibatkan oleh faktor cuaca dan pemeliharaan yang kurang terkontrol oleh pemda Kabupaten Tegal. Selain itu, terdapat jembatan pada salah satu ruas jalan utama menuju lokasi dengan lebar yang sangat minim sehingga menyebabkan kendaraan harus melintas secara bergantian. Hal ini tentunya mengurangi kenyamanan aksesibilitas menuju lokasi bagi sejumlah kendaraan besar seperti bus yang mengangkut rombongan wisatawan dan kendaraan roda empat pribadi milik wisatawan. Beberapa kondisi mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 5. Skema Akses Menuju Lokasi
Jarak tempuh ± 20
Jarak tempuh ± 9
Ke Selatan
Ke Tenggara Jalur Pantura
(Kota Tegal) Kec. Kramat
Kec. Pangkah Waduk Cacaban
Kota Slawi Dari Arah
Ga
mbar
6 P
eta
Akse
s Me
nuju Ta
pa
Kondisi Sosial Masyarakat Waduk Cacaban
Waduk Cacaban memiliki daerah tangkapan air (water catchment area) yang tersebar di sembilan desa dengan jumlah penduduk yang menempati sebanyak 29.859 jiwa. Lapangan usaha masyarakat Waduk Cacaban sebagian besar bergantung pada sektor pertanian. Adapun sektor non-pertanian yang memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat setempat adalah sektor perdagangan dan jasa.
Hal ini dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk menambah pemasukan demi memenuhi kebutuhan perekonomian mereka sehari-hari. Jenis sektor usaha perdagangan dan jasa yang terlihat di sekitar lokasi waduk antara lain berupa penginapan, kios-kios makanan dan warung apung, kios pengisian bahan bakar eceran, jasa sewa perahu (wisata keliling waduk), serta jasa penitipan kendaraan.
Kondisi Pengelolaan Waduk Cacaban
Selain memiliki fungsi utama sebagai sumber air untuk irigasi pertanian, waduk Cacaban juga memiliki fungsi tambahan yang dapat dikembangkan untuk potensi wisata. Wisata yang dikembangkan adalah wisata air dan wisata alam dengan
Gambar 7. Kondisi Akses Menuju Lokasi (1) Jembatan sempit pada salah
satu titik akses menuju lokasi
(2) Area penerimaan Waduk Cacaban
beberapa atraksi wisata dan pengenalan edukasi alam. Secara garis besar pola aktivitas wisata di kawasan Waduk Cacaban yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut:
1. Wisata Air.
Adapun wisata air yang dikembangkan oleh pengelola Waduk Cacaban meliputi rekreasi dan olahraga. Namun demikian, fasilitas penunjang yang tersedia masih sangat terbatas. Potensi wisata air di kawasan ini sangat besar karena didukung dengan keberadaan pulau-pulau kecil di tengah Waduk Cacaban. Sedikitnya terdapat empat pulau yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek wisata air dan juga dapat dimanfaatkan sebagai kawasan pengembangan flora dan fauna. Pengembangan ini melibatkan Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA) Pemali Comal sebagai pengelola Waduk Cacaban.
Selain itu, wisata air lainnya berupa area pemancingan dan area wisata kuliner terapung telah dikembangkan di kawasan ini. Keberadaan rumah makan apung di beberapa titik memungkinkan wisatawan untuk menikmati menu hidangan ikan air tawar di atas genangan air waduk.
2. Wisata Darat
Daya tarik wisata darat yang terdapat pada kawasan Waduk Cacaban merupakan aset yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Tegal yang dikelola secara terpisah oleh Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan, serta Dinas Perhubungan dan Pariwisata dan sebagian milik BPSDA Propinsi Jawa Tengah dan Perum Perhutani KPH Pemalang. Adapun pembagian areanya adalah sebagai berikut:
a. Area yang dikelola oleh Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan berada pada area zona penyangga berupa pemulihan dan pengembangan area green belt, hutan wisata, sub-sub DAS Cacaban Wetan dan pengembangan kawasan pulau di tengah waduk berupa wisata agro.
b. Area yang dikelola oleh Dinas Perhubungan dan Pariwisata berada pada zona konservasi berupa area pariwisata antara lain shelter-shelter, jalan lingkungan, jalan setapak, area bermain, area grass track, area
road race dan area hutan lindung.
c. Area yang dikelola oleh BPSDA Propinsi Jawa Tengah adalah area pangggung terbuka, area berkemah, dan jalan setapak di sekitar badan bending atau zona utama waduk.
Adapun gambaran mengenai beberapa kondisi eksisting wisata darat dan wisata air dapat dilihat pada Gambar 8.
. Perdagangan dan jasa merupakan potensi yang sangat baik di kawasan Waduk Cacaban. Oleh karena itu, dengan dikembangkannya wisata di kawasan ini tidak menutup kemungkinan kontribusi perdagangan dan jasa untuk menambah pemasukan bagi desa-desa dan masyarakat lokal di sekitar waduk. Data mata pencaharian masyarakat Cacaban disajikan pada Tabel 4.
Gambar 8 Kondisi Wisata Air dan Darat
(a) Badan Bendung (b) Jalan Setapak
(c) Panggung Terbuka
(d) Pulau-Pulau Waduk (e) Perahu Sewaan
Tabel 4. Jenis Lapangan Usaha Masyarakat Cacaban
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aspek Sumberdaya Alam Waduk Cacaban Fisik
1. Topografi dan Kemiringan
a. Kesesuaian untuk Pengembangan Wisata
Kawasan Waduk Cacaban memiliki topografi yang bergelombang dengan variasi ketinggian antara 30 meter di atas permukaan laut (dpl) hingga 350 meter dpl (Gambar 9). Adapun data mengenai topografi dan kemiringan kawasan Tirta Waduk Cacaban diperoleh dari Bappeda Kabupaten Tegal. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar daerah tangkapan air (water catchment area) pada Waduk Cacaban memiliki topografi berbukit dengan karakter kemiringan lahan yang bervariasi dari datar hingga curam. Luas genangan utama/badan air utama waduk sendiri adalah sebesar 550 hektar (Ha) atau sebesar 10,6% dari total luas tapak penelitian.
Kondisi fisik kawasan Waduk Cacaban dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis sesuai dengan kelerengan dan perbedaan ketinggiannya. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 ada beberapa bentuk wilayah berdasarkan kecuraman lereng dan perbedaan tinggi seperti yang tercantum dalam Tabel 5.
Tabel 5. Bentuk Wilayah Berdasarakan Kecuraman Lereng
Lereng Bentuk Wilayah Perbedaan Tinggi
0 - 8% Datar 0 – 15 m
8 - 15% Landai 15 - 50 m
15 - 25% Agak Curam 50 - 200 m
25 - 40% Curam 200 - 500 m
> 40% Sangat Curam > 500 m
Menurut hasil olahan data yang mengacu pada Bappeda Kabupaten Tegal dengan menggunakan perangkat lunak ArcMap GIS 9.3 menunjukkan bahwa kawasan penelitian Tirta Waduk Cacaban yakni meliputi Desa Penujah, Kedungbanteng, Lebakwangi, dan Capar memiliki variasi kemiringan lahan yang beragam dari datar hingga sangat curam. Data mengenai luasan dan presentase kemiringan lahan pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Presentase Luas Kemiringan Lahan (Daratan)
Kemiringan Luas Lahan (Ha) Presentase (%)
0 - 8% 1719.4 37.2
8 - 15% 1706.0 36.9
15 - 25% 943.6 20.4
25 - 40% 216.4 4.7
> 40% 37.9 0.8
Total keseluruhan 4623 100
Sumber: SK Menteri Pertanian (1980)
Jika dilihat dari tabel, area yang memiliki kemiringan 0 – 8% (datar) memiliki presentase luasan lahan yang terbesar yakni 37,2% atau seluas 1719.4 Ha dari total luasan lahan area daratan tapak penelitian yakni 4.623 Ha. Presentase terbesar berikutnya adalah pada tingkat kemiringan 8 – 15% (landai) yakni seluas 1706 Ha atau 36,9%. Area dengan kemiringan di atas 40% (sangat curam) memiliki presentase terkecil yakni 0,8% atau seluas 37.9 Ha.
Bentuk fisik wilayah dengan kemiringan lahan antara 0 – 25 % sesuai dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan usaha tanaman pertanian dan kehutanan. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan Tirta Waduk Cacaban memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata yang berkaitan dengan kegiatan agroforestri. Area dengan kemiringan 25 – 40% dan di atas 40% akan dimanfaatkan sebagai kawasan konservasi atau kawasan lindung di luar area hutan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tegal tahun 2010 – 2029. Hasil olahan data topografi dan klasifikasi kemiringan lahan (darat) dianalisis untuk melihat kesesuaian tapak sebagai kawasan wisata. Adapun hasilnya disajikan dalam bentuk peta spasial seperti pada Gambar 10 dan Gambar 11.
Pengembangan area luar (outdoor space) dapat dibedakan menjadi beberapa tingkat klasifikasi kesesuaian berdasarkan perbedaan kemiringan pada suatu tapak (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Area dengan kemiringan antara 0 – 8% dinilai sebagai area yang datar dan sesuai untuk pengembangan area luar, dimana pada analisis diberikan kategori ”sesuai” dengan skor 3. Area dengan kemiringan antara 8 – 15% dinilai sebagai area yang cukup sesuai untuk pengembangan area luar karena pada umumnya bentuk fisik dari wilayah ini adalah landai hingga berbukit,
Ga
mbar
10. P
eta To
pog
ra
29
Gambar 12. Peta Analisis Kesesuaian Lereng untuk Wisata
b. Bahaya Longsor
Kondisi eksisting tapak obyek wisata TWC yang berbukit dengan kemiringan yang bervariasi antara datar (0-8%) hingga sangat curam (>40%) menyebabkan beberapa area di kawasan tersebut menjadi rawan terhadap longsor terutama pada saat musim hujan. Karakteristik fisik tanah yang didominasi oleh tanah latosol dan grumusol juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya longsor. Tanah tersebut memiliki kandungan lempung yang tinggi sehingga mempermudah tanah tergelincir pada saat terkena air hujan. Hal ini tentu akan menjadi kendala dalam usaha pengembangan waduk sebagai kawasan wisata karena keselamatan dan keamanan pengunjung merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan. Area dan fasilitas bermain anak yang ditemukan pada tapak saat ini terdapat tepat di bawah area bendung utama waduk dimana area tersebut seharusnya merupakan area yang steril dari aktivitas manusia. Area bendung utama waduk merupakan pusat tumpuan utama bendungan dengan kemiringan antara 30-45 derajat. Kondisi fisik tersebut memungkinkan sewaktu-waktu terjadi longsor dan akan berdampak fatal apabila pada saat tersebut ada aktivitas manusia di bawahnya.
Analisis kerawanan longsor dilakukan dengan metode spasial skoring berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 22/PRT/M/2007, dimana kawsan waduk dibagi menjadi 3(tiga) klasifikasi area yaitu tidak berbahaya, sedang, dan berbahaya. Area dengan kategori ”tidak berbahaya” merupakan area dengan kemiringan 0-20% diberi skor 3, area dengan kategori ”sedang” merupakan area dengan kemiringan 20-40% diberi skor 2, dan area dengan kategori ”berbahaya” merupakan area dengan kemiringan di atas 40% diberi skor 1. Peta analisis spasial kerawanan bahaya longsor akan disajikan pada Gambar 14.
2. Jenis dan Karakteristik Tanah
Jenis tanah pada kawasan Waduk Cacaban didominasi oleh kompleks tanah latosol merah kekuningan, latosol coklat tua, dan litosol. Jenis tanah yang mendominasi berikutnya adalah kompleks tanah podsolik merah kekuningan, podsolik kuning, dan regosol. Adapun spesifikasi luasan areanya yakni: (1) komplek latosol merah kekuningan dan latosol coklat tua seluas 1.078,8 Ha; (2) komplek podsolik merah kekuningan, podsolik kuning dan regosol seluas 636 Ha; (3) asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu seluas 30,9 Ha; (4) grumusol kelabu tua seluas 11,87 Ha . Data mengenai spesifikasi jenis tanah tersebut dapat dilihat juga pada Tabel 7.
Ga
mbar
14 P
eta
R
awa
n
Ana
li
sis
B
aha
ya
Longsor
Tabel 7 Jenis Tanah dan Presentase Luasan pada Kawasan Waduk Cacaban
No Jenis Tanah Luas (Ha) Presentase (%)
1 Latosol merah kekuningan dan Latosol
coklat tua 1.078,8 61,37
2 Podsolik merah kekuningan, Podsolik
kuning, dan Regosol 636 36,2
3 Asosiasi Latosol coklat dan Regosol
kelabu 30,9 1,76
4 Grumusol kelabu tua 11,87 0,68
Sumber: Bappeda dan Sumargo (2006)
Tanah latosol banyak mengandung zat besi dan alumunium sehingga menimbulkan warna kemerahan dan kekuningan. Tanah jenis ini memiliki tingkat produktifitas sedang hingga tinggi dan bersifat tahan terhadap erosi. Jenis pemanfaatan yang cocok untuk jenis tanah latosol adalah kegiatan pertanian dan perkebunan terutama tanaman karet, buah dan sayuran, palawija, dan kelapa sawit. Tanah podsolik merupakan jenis tanah yang terbentuk oleh aktivitas pencucian tanah seperti erosi. Oleh karena itu, jenis tanah ini sangat peka terhadap erosi dan rawan terhadap longsor. Kandungan mineral primer dan unsur hara pada tanah podsolik rendah sehingga tingkat produktifitasnya memiliki rentang antara rendah hingga sedang. Jenis pemanfaatan yang memungkinkan untuk jenis tanah podsolik antara lain persawahan, perkebunan karet, kopi, dan kelapa sawit.
Menurut hasil pengamatan di lapangan, terdapat beberapa tanaman eksisting yang menjadi tanaman lokal sekaligus dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Tanaman tersebut antara lain, jagung, tebu, padi, durian, mangga, dan pinus.
3. Hidrologi
Waduk Cacaban memiliki DAS yang mengaliri 8 kecamatan dan 49 desa di Kabupaten Tegal. Sumber air yang masuk ke Waduk Cacaban adalah berasal dari air hujan yang langsung jatuh ke permukaan waduk dan juga merupakan outlet dari beberapa sungai di sekitar waduk antara lain Sungai Cacaban Kulon, Sungai Cacaban Wetan, Sungai Curug Agung dan Sungai Lajak. Volume air Waduk Cacaban pada saat musim kemarau seringkali mengalami penyusutan sehingga dapat mengurangi volume pasokan air untuk kegiatan irigasi pertanian di sekitarnya. Oleh karena itu telah dibuat kanal aliran tambahan yang berasal dari Kali Rambut.
Gambar 15 Kondisi Hidrologi Waduk Cacaban (a) Saluran Irigasi Waduk Cacaban
Berdasarkan data Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA) Pemali Comal, Waduk Cacaban memiliki daerah tangkapan seluas 59 km², elevasi air banjir mencapai 79,91 meter, elevasi air maksimum mencapai ketinggian 77,38 meter, dan elevasi air minimum 66 meter. Volume tampungan waduk tercatat sebesar 90 juta meter kubik pada tahun 1959, kemudian berkurang hingga 57 juta meter kubik (1990), dan terus berkurang hingga 49 juta meter kubik (2002). Penurunan volume tampung air pada waduk cacaban terjadi akibat adanya endapan tanah pada bagian dasar waduk yang disebabkan oleh erosi lereng bukit di sekeliling waduk yang terjadi pada saat musim hujan.
Masalah utama yang berkaitan dengan kondisi hidrologis Waduk Cacaban adalah terjadinya sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan waduk. Hal ini tentunya akan berdampak langsung pada berkurangnya volume tangkapan air pada waduk. Pengurangan volume air waduk akan mengurangi luasan sawah irigasi yang sumber pasokan airnya berasal dari waduk. Apabila masalah ini tidak segera ditanggulangi, tentunya akan memberikan pengaruh buruk terhadap kondisi perekonomian masyarakat sekitar waduk yang sebagian besar mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian. Hasil produksi pertanian akan menjadi tidak maksimal dengan adanya keterbatasan pasokan air untuk irigasi yang disebabkan oleh berkurangnya volume air waduk akibat pendangkalan. Beberapa upaya telah dilakukan oleh pihak pengelola waduk bekerja sama dengan masyarakat sekitar untuk memperbaiki kondisi tersebut. GERHAN (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) merupakan upaya konservasi dengan melakukan penanaman vegetasi dan pembuatan hutan rakyat dengan maksud untuk meningkatkan penyerapan air tanah di sekitar waduk. Selain itu upaya pengerukan endapan lumpur pada dasar waduk sebaiknya juga dilakukan secara rutin dan terjadwal oleh pihak pengelola terkait mengingat kondisi fisik kawasan waduk yang berbukit sehingga tanah sangat rentan longsor ke dasar waduk.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappeda (2005), diperoleh gambaran terjadinya penurunan sedimentasi di daerah tangkapan waduk dari 28,39 mm/th pada tahun 1959 menjadi 7,11 mm/th pada Tahun 2001. Apabila dilihat dari data tersebut, selama kurun waktu kurang lebih 42 tahun telah terjadi penurunan sedimentasi sebesar 20,51 mm/th. Meskipun demikian, hal tersebut belum dapat menjadi indikator bahwa usaha yang telah dilakukan oleh pengelola dan masyarakat untuk mengatasi masalah pendangkalan ini secara maksimal. Batas ambang sedimen yang diperkenankan adalah kurang dari 1mm/th. Peta analisis kondisi hidrologis kawasan waduk dapat dilihat pada Gambar 16.
4. Iklim
a. Curah Hujan
Ga
mbar
16
P
eta
Ana
li
sis
Hidr
ologi