• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skoring Kepincangan Lokomosi Pada Sapi Perah dan Hubungannya Dengan Peradangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Skoring Kepincangan Lokomosi Pada Sapi Perah dan Hubungannya Dengan Peradangan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

SKORING KEPINCANGAN LOKOMOSI PADA SAPI

PERAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERADANGAN

VEKI HIDAYAT

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Skoring Kepincangan Lokomosi Pada Sapi Perah dan Hubungannya dengan Peradangan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Veki Hidayat

(4)

ABSTRAK

VEKI HIDAYAT. Skoring Kepincangan Lokomosi Pada Sapi Perah dan Hubungannya Dengan Peradangan. Dibimbing oleh RP AGUS LELANA.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis skoring kepincangan lokomosi sapi perah dan hubungannya dengan peradangan. Digunakan seratus ekor sapi perah di KPSBU dari petani setempat di Lembang. Penilaian ditentukan melalui pengamatan visual pada alat gerak setiap individu sapi perah. Skor yang digunakan yaitu skala intensitas dari 1 sampai 5, yaitu 1 untuk kondisi normal dan 5 untuk kondisi kepincangan yang parah. Dilakukan juga pengamatan dan pengukuran keparahan tanda peradangan. Pengukuran peradangan dilakukan dengan perangkat termometer rektal. Pengamatan peradangan dilakukan dengan skala tanda-tanda infeksi lokal kalor, dolor, rubor, tumor, dan fungsiolesa menjadi empat tahap meliputi (-), (+), (+ +), dan (+ + +). Dari 100 ekor sapi perah, 2% memiliki kepincangan sedang, dan 25% kepincangan ringan. Kepincangan ini memiliki hubungan yang signifikan (p <0,01) dengan tanda-tanda peradangan. Kepincangan tidak memiliki korelasi dengan periode laktasi. Studi ini dapat mendukung penilaian untuk mendiagnosa dari keparahan kepincangan.

Kata kunci: skoring kepincangan lokomosi, gejala peradangan, kepincangan pada sapi perah

ABSTRACT

VEKI HIDAYAT. Lameness Locomotion Scoring Of Dairy Cattle and Its Correlation With Inflammatory. Supervised by RP AGUS LELANA.

(5)

with the result of rectal temperature. Both of lameness score and inflammation sign were not have correlation with lactation periode. However, this study could be used as a consideration in diagnostic practical approach of lameness.

(6)
(7)

SKORING KEPINCANGAN LOKOMOSI PADA SAPI PERAH

DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERADANGAN

VEKI HIDAYAT

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

FakultasKedokteranHewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)
(9)
(10)

Judul Skripsi : Skoring Kepincangan Lokomosi Pada Sapi Perah dan Hubungannya Dengan Peradangan

Nama : Veki hidayat NRP : B04080160

Disetujui oleh

Dr Drh R P Agus Lelana, SpMP, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono MS, PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli 2012 ini ialah kepincangan pada sapi perah, dengan judul Skoring Kepincangan Lokomosi Pada Sapi Perah dan Hubungannya Dengan Peradangan.

Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Bapak Dr Drh RP Agus Lelana, SpMP, MS selaku pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu. MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh. Pammusureng atas bantuan dan arahannya selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, juga kepada Anita Rahmayanti, SKH. beserta keluarga yang telah memberikan semangat dan motivasi, serta sahabat-sahabat sepenelitian dan Angkatan 45 dan 46 atas semangat yang terus diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Juni 2013

(12)

DAFTAR ISI

Sapi Perah di Indonesia 2

Kepincangan 2

Waktu dan Tempat Penelitian 6

Alat dan Bahan 6

Tahap Pelaksanaan 6

Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Skoring Kepincangan Lokomosi 7 Hubungan Antara Gejala Peradangan Dengan

(13)

DAFTAR TABEL

1 Skoring kepincangan lokomosi berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang

8

2 Skoring kepincangan lokomosi berdasarkan gejala peradangan pada peternakan sapi perah di Lembang 8 3 Hubungan antara gejala peradangan dan skoring kepincangan

lokomosi pada peternakan sapi perah di Lembang

10

DAFTAR GAMBAR

1 2

3

Skema Terjadinya Kepincangan

Contoh skoring kepincangan lokomosi berdasarkan postur punggung dan cara berjalan

Kekuatan Korelasi Tanda Peradangan terhadap Skoring Lokomosi

3 6

9

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan sapi perah di Indonesia sebagian besar masih berskala kecil sehingga perlu diusahakan pemeliharaan yang intensif. Hal ini diperlukan karena adanya pertambahan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya yang menyebabkan meningkatnya daya beli masyarakat sehingga kebutuhan susu selama ini belum mencukupi permintaan. Untuk memperoleh hasil susu sapi perah yang optimal, diperlukan upaya penanganan kesehatan sapi perah melalui pencegahan dan pengendalian penyakit secara tepat. Dalam usaha sapi perah, kesehatan hewan merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaannya.

Kepincangan merupakan salah satu penyakit yang mempengaruhi produksi susu sapi perah. Dikatakan oleh Hernandez et al. (2001) dan Green et al. (2002) bahwa kepincangan memiliki dampak negatif pada produksi susu dan kesuburan. Kepincangan merupakan satu dari tiga penyebab kerugian ekonomi industri susu yang paling penting di Amerika Utara (Warnick et al. 2001). Dampak dari kasus ini sapi perah banyak yang diafkir (Esslemont dan Kossaibati 1997; Booth et al. 2004). Kepincangan juga menjadi masalah kesejahteraan hewan (Whay et al.

2003).

Evaluasi kepincangan dapat dilakukan dengan metode kualitatif, seperti skoring kepicangan lokomosi dan metode kuantitatif, seperti analisis biokimia pergerakan otomatis atau disebut automated motion analysis sistem (Almaeida 2007). Skoring kepicangan lokomosi adalah suatu indeks kualitatif kemampuan sapi untuk berjalan secara normal (Sprecher et al. 1997).

Peternakan sapi perah rakyat Indonesia umumnya memiliki kepemilikan ternak yang tidak terlalu tinggi. Peternak rakyat Indonesia hanya mampu memiliki rata-rata kurang dari 5 ekor per keluarga peternak. Peternak ini umumnya membentuk kelompok-kelompok ternak untuk memudahkan dan membantu kelancaran dalam aktivitas usaha ternaknya, seperti penjualan susu, penyediaan konsentrat dan masuknya teknologi baru untuk diaplikasikan dalam kegiatan usaha. Daerah penghasil susu sapi terbesar di Jawa Barat yang membantu dalam pemenuhan kebutuhan permintaan susu nasional adalah Lembang, Kabupaten Bandung yang merupakan wilayah kerja Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara atau yang biasa disebut KPSBU Lembang (Sukmapradita 2008).

KPBSU Lembang Kabupaten Bandung Barat merupakan potensi penghasil susu sapi terbesar di Jawa Barat. Hal ini tercermin dengan banyaknya peternak (4.809 orang) dan populasi sapi yang mencapai 22.028 ekor. Namun demikian, antisipasi terhadap masalah kepincangan sebagaimana dilakukan di Amerika Utara belum terlihat secara maksimal.

Tujuan Penelitian

(15)

2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan oleh peternak sapi perah dalam mencegah terjdinya kepincangan yang parah berdasarkan skoring kepincangan lokomosi.

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Perah di Indonesia

Sapi menghasilkan sekitar 50% kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu, dan 85% kebutuhan kulit. Sapi perah merupakan salah satu hewan ternak penghasil protein yang sangat penting di Indonesia. Sapi perah merupakan penghasil susu yang kaya akan protein yang merupakan sumber gizi yang penting untuk bayi, anak dalam masa pertumbuhan serta lanjut usia. Protein dalam susu sangat penting untuk menunjang pertumbuhan kecerdasan dan daya tahan tubuh. Usaha ternak sapi perah di Indonesia didominasi oleh skala kecil dengan kepemilikan ternak kurang dari empat ekor (80%), 4-7 ekor (17%) dan lebih dari tujuh ekor (3%). Hal itu menujukkan bahwa produksi susu nasional sekitar 64% disumbangkan oleh usahaternak sapi perah skala kecil, sisanya 28% dan 8% diproduksi oleh usaha ternak sapi perah skala menengah dan usaha ternak sapi perah skala besar (Swastika et al. 2005).

Sapi perah termasuk dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, subfamili Bovinae, genus Bos, spesies B. taurus, dan nama binomial Bos taurus (Linnaeus 1758). Sapi perah di Indonesia sebagian besar dari jenis Friesian Holstein dan hasil silang lokal. Sedangkan sisanya hanya sebagian kecil saja dari Friesian Sahiwal. Sapi perah yang disebut belakangan ini hanya sebagian sapi percontohan yang didatangkan pertama-tama untuk riset. Selain itu masih dikenal beberapa jenis sapi perah yang ada di dunia antara lain Jersey, Brownswiss, Jersey cross, dan juga Brownswiss cross.

Kepincangan

Kepincangan merupakan salah satu masalah yang terjadi pada sapi perah. Peternak sering lupa untuk memerhatikan dengan baik ketika kepincangan terjadi secara berkepanjangan pada sapi perah saat masa laktasi (Aquino 2009). Kepincangan merupakan penyakit yang mempengaruhi profitabilitas pada sapi perah. Dampak dari kepincangan tergantung dari derajat keparahannya. Kepincangan berkaitan erat dengan rasa sakit, penurunan asupan bahan kering, penurunan kondisi tubuh, penurunan produksi susu, peningkatan kegagalan reproduksi, serta berhubungan dengan mastitis. Hal ini dapat menyebabkan pengeluaran biaya pengobatan yang mahal dan bisa berakhir dengan pengafkiran (Tomlinson et al. 2007).

(16)

3

desain kandang, dan riwayat kesehatan yang menyebabkan produksi berkualitas buruk (Tomlinson et al. 2007).

Beberapa penyakit penyebab jenis yang umum ditemukan dari ketimpangan diidentifikasi pada peternakan Inggris adalah (Anonim 2010):

1. Sole ulcer, sering berhubungan dengan masalah diet, atau kaki cacat atau pemotongan kuku yang buruk.

2. White line disease, batu yang tajam ternyata sangat sering dikaitkan dengan kondisi ini.

3. Digital dermatitis, Sebuah kondisi yang sangat menular sering dikaitkan dengan lingkungan yang tercemar seperti sapi berdiri di lumpur atau lubang / genangan air / kotornya jalanan tempat menggiring sapi

4. Laminitis, Terkait dengan masalah diet misalnya overfeeding

konsentrat

5. Busuk di kaki, Sebuah infeksi berhubungan dengan kondisi basah / tanah yang berbatu.

Kepincangan tidak hanya disebabkan oleh gangguan penyakit yang berasal dari kaki saja, namu ada pula kepincangan yang disebabkan oleh penyakit sistemsyaraf vertebralis contohnya gangguan nervus ischiadicus (Chisid 1983).

Nervus ischiadicus merupakan serabut saraf yang terbesar di dalam tubuh. Nervus ischiadicus adalah cabang dari plexus sacralis (L4, L5, S1, S2, dan S3), saraf ini meninggalkan regio glutealis dengan berjalan ke bawah melewati foramen ischiadicus mayor dan turun antara throcantor mayor dan turun diantara

throcantor mayor os. Fémur dan tuberositas ischiadica, sewaktu turun sampai pertengahan paha saraf ini pada bagian posteriornya ditutupi oleh tepian m. bíceps femoris dan m. semimembranosus yang berdekatan. Ia terletak pada aspek posterior m. adduktor magnus dan pada sepertiga bagian bawah paha. Nervus ischiadicus berakhir dan bercabang menjadi dua percabangan, yaitu n. tibialis dan

n. peroneus communis pada daerah poplitea. Cabang-cabangnya pada paha mempersarafi m. Hamstring (meliputi m. semimembranosus, m. semitendinosus, dan m. bíceps femoris) (Chusid, 1983).

(17)

4

Faktor lain penyebab terjadinya kepincangan adalah kurangnya pengetahuan peternak tentang perawatan kuku sapi. Meningkatkan manajemen diet, dan memastikan peternak dalam memotong kuku dengan baik (menggunakan tenaga terlatih) serta menggunakan peralatan dengan benar dapat membantu menurunkan prevalensi skoring kepincangan lokomosi.

Inflamasi atau Peradangan

Inflamasi adalah respon biologis kompleks dari jaringan vaskuler atas adanya bahaya, seperti patogen, kerusakan sel, atau iritasi. Ini adalah usaha perlindungan diri organisme untuk menghilangkan rangsangan penyebab luka dan inisiasi proses penyembuhan jaringan. Jika inflamasi tidak ada maka luka dan infeksi tidak akan sembuh dan akan menggalami kerusakan yang lebih parah. Inflamsi yang tidak terkontrol juga dapat menyebabkan penyakit, seperti demam,

atherosclerosis, dan reumathoid arthritis (Gard, 2001).

Inflamasi dapat dibedakan atas inflamasi akut dan kronis. Inflamasi akut adalah respon awal tubuh oleh benda berbahaya dan meningkat dengan meningkatnya pergerakkan plasma dan leukosit dari darah ke jaringan luka. Reaksi biokimia berantai yang mempropagasi dan pematangan respon imun, termasuk sistem vaskuler, sistem imun, dan berbagai sel yang ada pada jaringan luka. Inflamasi kronis adalah inflamasi yang berpanjangan memicu peningkatan pergantian tipe sel yang ada pada tempat inflamasi dan dicirikan dengan kerusakkan dan penutupan jaringan dari proses inflamasi (Gard, 2001). Gejala umum proses inflamasi yang sudah dikenal yaitu, kalor (panas), dolor (sakit), rubor (merah), tumor (bengkak), dan fungsiolesa.

Selama proses inflamasi terjadi banyak mediator kimia yang dilepaskan secara local antara lain histamine, 5-hidroksitriptamin (5-HT), factor kemotatik, bradikinin, leukotrien, dan prostaglandin. Dengan migrasi sel fagosit kedaerah inflamasi terjadi lisis membran lisozim dan lepasnya enzim pemecah. Prostaglandin hanya berperan pada nyeri yang terkait dengan kerusakan jaringan atau inflamasi. Prostaglandin menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimia seperti bradikinin dan histamine merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata (Gard, 2001).

Kerusakan seluler mennyebabkan pelepasan berbagai mediator yang dihasilkan dari dalam plasma atau dalam sel. Beberapa diantaranya adalah histamine, prostaglandin, leukotrien. Dalam respon medioator adalah vasodilatasi lokal, yang meningkatkan aliran darah dan permebialitas vaskuler, hal itulah yang menyebabkan terjadinya kemerahan, panas dan bengkak yang terlihat saat inflamasi. Eksudat dari kapiler tidak hanya mengandung mediator, tapi juga mengandung fragment dari protein asing atau organisme penginfeksi yang akan dibawa ke jaringan limpa untuk menstimulasi pembentukan antibodi. Benda darah seperti neutrofil dan monosit juga bergerak keluar dari pembuluh darah, ditarik oleh chemotaxin yang juga diproduksi akibat infeksi organisme. Beberapa mediator inflamasi juga berperan pada ujung syaraf lokal untuk menstimulasi rasa nyeri.

(18)

5

oleh limfosit. Dalam kasus sistem imun seluler, limfosit T adalah sel T sitotoksik, sehingga dapat menyerang sel penginfeksi, atau sel T helper yang mensekresikan sitokin yang juga berpotensi pembentukkan antibodi oleh limfosit B atau mengaktivkan makrofag. Limfosit B memproduksi antibodi yang berinteraksi dengan antigen untuk mengaktifkan sistem komplemen, yang berujung pada inaktivasi benda asing. Tipe antibodi spesifik adalah IgE yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi dari sel mast.

Skoring Kepincangan Lokomosi

Skoring kepincangan lokomosi adalah suatu indeks kualitatif dari kemampuan sapi untuk berjalan secara normal. Pada tahun 1997, Sprecher et al. mengembangkan sistem penilaian alat gerak yang disebut Locomotion scoring. Berry (2005) dalam Locomotion Scoring of Diary Cattle menilai kepincangan berdasarkan posisi punggung ketika berdiri dan berjalan. Penilaian (penentuan skor) ditentukan dengan melakukan pengamatan secara visual pada tiap individu sapi. Skor yang dipakai mempunyai skala antara 1 sampai 5 (gambar 2).

Punggung sapi yang tampak datar ketika berdiri dan berjalan dapat dikatakan normal atau tidak mengalami kepincangan. Sapi yang seperti ini diberi skor 1. Skor 2 diberikan untuk sapi yang mengalami gejala kepincangan ringan, yaitu ketika berdiri punggung sapi terlihat datar tapi ketika berjalan akan mulai berubah melengkung, cara berjalan sedikit tidak normal.

Sapi yang ketika berdiri dan berjalan punggung terlihat melengkung, cara berjalan terlihat adanya sedikit langkah pendek pada salah satu atau beberapa kaki tertentu dapat dikatakan mengalami kepincangan sedang. Sapi yang seperti ini diberikan skor 3. Skor 4 diberikan untuk sapi yang mengalami kepincangan. Sapi yang memiliki skor 4 ketika berdiri dan berjalan punggung terlihat melengkung, cara berjalan terlihat seperti berhati-hati, lebih memilih bertumpu pada salah satu beberapa kaki tertentu. Skor 5 (sapi dengan kepincangan parah berakibat kelumpuhan) diberikan untuk sapi yang ketika berdiri dan berjalan punggung terlihat melengkung, terlihat sangat enggan untuk berjalan dan sulit untuk mempertahankan keseimbangan berat badan ketika berjalan.

(19)

6

Gambar 2 Contoh skoring kepincangan lokomosi berdasarkan postur punggung dan cara berjalan (Zinpro Corporation).

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 9-16 Juli 2012 di Desa Sukajaya, Desa Citespong, dan Desa Cilumber Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan meliputi alat tulis, termometer, dan kamera digital. Hewan yang digunakan yaitu 100 ekor sapi perah milik peternak di Desa Sukajaya, Desa Citespong, dan Desa Cilumber. Dalam hal ini kondisi sapi perah yang diamati adalah sapi yang sedang laktasi.

Tahap Pelaksanaan

Data primer diperoleh dengan cara pengamatan dan pengukuran pada sapi perah maupun wawancara langsung dengan peternak. Wawancara ini dimaksudkan untuk mendata nama peternak, nomor sapi, masa laktasi (bulan), serta informasi lainnya seperti rata-rata jumlah produksi, jumlah konsentrat (kg/hari), dan jumlah hijauan (kg/hari).

(20)

7

melakukan pengamatan secara visual pada tiap individu sapi perah. Skor yang dipakai mempunyai skala antara 1 sampai 5. Skoring kepicangan lokomosi 1 untuk sapi perah yang tidak mengalami kepincangan, skoring kepicangan lokomosi 2 untuk sapi perah yang mengalami kepincangan ringan, skoring kepicangan lokomosi 3 untuk sapi perah yang mengalami kepincangan moderat, skoring kepicangan lokomosi 4 diberikan pada sapi perah yang mengalami kepincangan berat, dan skoring kepicangan lokomosi 5 diberikan pada sapi perah yang mengalami kepincangan yang berat dan berakibat pada kelumpuhan.

Penilaian tingkat peradangan dilakukan dengan mengamati tingkat keparahan peradangan berdasarkan tanda-tanda dolor, rubor, tumor, dan fungsiolesa. Tingkat keparahan peradangan ini dikategorikan menjadi empat, yaitu (-) untuk sapi perah yang tidak mengalami gejala peradangan, (+) untuk sapi perah yang mengalami gejala peradangan ringan, (++) untuk sapi perah yang mengalami gejala peradangan sedang, dan (+++) untuk sapi perah yang mengalami gejala peradangan berat. Adapun mengukur suhu tubuh sapi perah dilakukan dengan termometer rektal.

Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan mengelompokkan sapi perah berdasarkan periode laktasi dan hasil skoring kepicangan lokomosi maupun dengan menghubungkan hasil analisis ini dengan hasil pengevaluasian terhadap tingkat peradangan. Pengelompokan dan pengevaluasian ini dilakukan dengan bantuan program Microsoft Excel 2007. Analisis korelasi antara hasil skoring kepicangan lokomosi dan tingkat peradangan peradangan dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16. Data hasil analisis ini dijelaskan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Skoring Kepincangan Lokomosi

Hasil skoring kepicangan lokomosi menunjukkan 73 ekor sapi (73%) memperoleh skor 1 yang berarti normal (tidak pincang), 25 ekor (25%) skor yang perarti pincang ringan dan 2 ekor (2%) skor 2 ekor dengan skor 3 yang berarti mengalami kepincangan moderat. Dalam penelitian ini skor 4 dan 5 tidak ditemukan. Skor 4 untuk sapi yang mengalami kepincangan berat dan skor 5 untuk sapi yang mengalami kepincangan parah yang berakibat pada kelumpuhan.

(21)

8

Tabel 1 Skoring kepincangan lokomosi berdasarkan periode laktasi pada sapi perah di Lembang

Berdasarkan data diperoleh bahwa skoring kepincangan lokomosi pada peternakan sapi perah di Lembang tidak dipengaruhi oleh periode laktasi. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa breed dan periode laktasi tidak mempengaruhi skoring kepincangan lokomosi (Wilkes et al. 2008).

Hubungan Antara Gejala Peradangan dan Skoring kepincangan lokomosi

Dari 100 ekor sapi perah di Lembang, skoring kepincangan lokomosi yang ditemukan adalah skor 1, 2, dan 3, untuk skoring kepincangan lokomosi 4 dan 5 tidak ada ditemukan pada 100 ekor sapi tersebut. Sebanyak 37 ekor (37%) sapi perah di Lembang didapatkan mengalami gejala peradangan. Dari 37 ekor sapi perah yang mengalami gejala peradangan, ditemukan sebanyak 28 ekor (75,7%) sapi perah mengalami gejala peradangan pada bagian kaki belakang.

Kondisi sapi perah di Lembang yang menderita kepincangan lebih banyak disebabkan karenan gangguan penyakit laminitis dan digitalis dermatitis. Hal ini ditunjang dengan kondisi kandang yang kurang bersih dan ditambah dengan rasio pakan yang tidak seimbang antara pakan konsentrat dengan pakan hijauan. Menurut Tomlinson et al. pada tahun 2007 menyatakan bahwa rasio pakan yang tidak seimbang akan menyebabkan produksi asam yang berlebih di dalam rumen yang menyebabkan munculnya endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri akan memunculkan mediator peradangan yang menyebabkan vasokonstriksi system vaskuler sehingga merusak jaringan kuku dan akan menyebabkan terjadinya kepincangan.

Tabel 2 Skoring kepincangan lokomosi berdasarkan gejala peradangan pada peternakan sapi perah di Lembang

(22)

9

Keterangan : SL = Skoring kepicangan lokomosi, K = Kalor, D = Dolor, R = Rubor,

T = Tumor, F = Fungsiolesa.

(-) = tidak ada gejala, (+) = gejala ringan, (++) = gejala sedang, (+++) = gejala berat

Dari 73 ekor sapi perah dengan skor 1 sebanyak 20 ekor sapi perah (29,38%) menunjukkan peradangan sangat ringan dan hanya salah satu kriteria panca radang baik itu tanda radang kalor, dolor, rubor, tumor, maupun tanda randang fungsiolesa. Adapun sisanya 53 ekor sapi perah (70,62%) tidak menunjukkan adanya peradangan.

Dari 25 ekor sapi perah dengan skor 2, hanya 8 ekor sapi perah (28%) tidak menunjukkan tanda peradangan. Sisanya sebanyak 17 ekor sapi perah (72%) mengalami gejala peradangan mulai dari yang gejala peradangan ringan hingga gejala peradangan berat.

Dari 2 ekor sapi perah dengan skor 3, semuanya (100%) menunjukkan tanda peradangan moderat, dimana semua tanda peradangan seperti kalor, dolor, rubor, tumor, dan fungsiolesa terlihat dengan jelas

Dari hasil analisis korelasi diperoleh gambaran bahwa tanda peradangan yang berkorelasi sedang dengan hasil skoring kepicangan lokomosi adalah tumor (r = 0,448) dan fungsiolesa (r = 0,468). Kemudian tanda peradangan yang berkorelasi kuat dengan hasil skoring kepincangan lokomosi adalah tanda peradangan dolor (r = 0,507) dan rubor (r = 0,542). Untuk tanda peradangan kalor dipastikan memiliki korelasi yang sangat rendah ( r = 0,106).

Gambar 3. Kekuatan Korelasi Tanda Peradangan terhadap Skoring Lokomosi

(23)

10

Tanda peradangan kalor memiliki korelasi yang sangat rendah dengan hasil skoring kepincangan lokomosi, hal ini diduga karena peradangan yang berlangsung bersifat kronis. Menurut Gard (2001), peradangan kronis memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi skor peradangan, semakin tinggi pula skoring kepicangan lokomosi. Hal ini tentu berdampak pada keparahan untuk penilaian gejala kepincangan dan sesuai dengan penjelasan Almaeida (2007) perihal teknik penilai objektif untuk mendiagnosis kepincangan. Informasi lebih rinci dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Hubungan antara gejala peradangan dan skoring kepincangan lokomosi pada peternakan sapi perah di Lembang.

Korelasi ( r )

Skoring kepicangan lokomosi biasanya digunakan sebagai indikator insiden dan keparahan dari kepincangan. Namun demikian teknik ini masih memiliki kekurangan, yaitu dari aspek teknik penilaian yang subyektif, waktu dan tenaga kerja yang dilibatkan, serta kurangnya sensitivitas penilaian (O'Callaghan et al. 2003). Selain itu, hal lain yang kurang menunjang penilaian skoring kepicangan lokomosi adalah kurang konsistennya perilaku sapi, bentuk kuku dan ekstremitas, gangguan pergerakan, dan sampai pada tahap kelumpuhan (Flower dan Weary. 2006). Sehubungan dengan itu, aspek pelatihan sangat penting dan pengembangan kemampuan objektivitas bagi dokter hewan dalam mengevaluasi kepincangan

sangat penting (O’Driscoll 2009).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(24)

11

Saran

Adanya kelemahan sifat subyektivitas dalam skoring kepincangan lokomosi, perlu dibarengi penelitian yang bersifat kuantitatif; Contohnya menggunakan teknik biomekanik. Kegiatan serupa perlu diujicobakan di lokasi yang berbeda. Dapat juga disarankan untuk peternak agar dapat menerapkan system peternakan yang baik agar dapat meminimalisir terjadinya kepincangan pada peternakan.

DAFTAR PUSTAKA

Almeida PE. 2007. Discovering biomarkers of painful inflammatory foot lesions in lame dairy cattle. United States : Department of Animal Science.

[Anonim]. 2010. Lameness in dairy cattle. www.mydairyvet.com. (diakses pada 21 Juni 2013).

Aquino HL. 2009. Lameness and locomotion scoring of diary cows. Dairy Science Department, College of Agriculture, Food and Environmental Sciences California Polytechnic State University, San Luis Obispo.

Berry SL. 2005. Locomotion scoring of dairy cattle. California: University of California.

Booth CJ, Warnick LD, Gröhn YT, Maizon DO, Guard CL, dan Janssen D. 2004.

Effect of lameness on culling in dairy cows. J. Dairy Sei. 87:4115-4122. Esslemont RJ dan Kossaibati MA. 1997. Culling in 50 dairy herds in England.

Vet. Rec. 139:486-490.

Flower FC, dan Weary DM. 2006. Effect of hoof pathologies on subjective assessments of dairy cow gait. J. Dairy Sci. 89:139146.

Gard P. 2001. Human Pharmacology, Chapter IX. Hlm 135. London: Taylor & Francis.

Green LE, Hedges VJ, Schukken YH, Blowey RW, dan Packington AJ. 2002. The impact of clinical lameness on the milk yield of dairy cows. J. Dairy Sci. 85:2250-2256.

Hernandez J, Shearer JK, dan Webb DW. 2001. Effect of lameness on the calving-to-conception interval in dairy cows. J. Am. Vet. Med. Assoc. 218:1611-1614.

Linnaeus. 1758. Klasifikasi Ilmiah [Terhubung Berkala] http. //id. wikipedia. org/ wiki/klasifikasi_ilmiah (diakses pada 28 mei 2013).

O'Callaghan KA, Cripps PJ, Downham DY, dan Murray RD. 2003. Subjective and objective assessment of pain and discomfort due to lameness in dairy cattle. Anim. Welf. 12:605-610.

O'Driscoll K, Boyle L, French P, dan Hanlon A. 2008. The effect of out-wintering pad design on hoof health and locomotion score of dairy cows. J. Dairy Sci. 91:544-553.

Sprecher DJ, Hostetler DE, dan Kaneene JB. 1997. A lameness skoring system that uses posture and gait to predict dairy cattle reproductive performance.

Theriogenology 47:1179-1187.

(25)

12

Swastika DK, Manikmas B, Sayaka K, dan Kariyasa. 2005. The status and prospect of feed crops in Indonesia. ESCAP, United Nations.

Tomlinson DJ, Michael TS, dan Jeffrey MD. 2007. Factors Affecting Dairy Cow Lameness. Donald EP (editor). Proceeding : Fifty-sixth Annual North Carolina Dairy Conference.

Warnick LD, Janssen D, Guard CL, dan Gröhn YT. 2001. The effect of lameness on milk production in dairy cows. J. Dairy Sci. 84:1988-1997.

Whay HR, Main DC, Green LE, dan Webster AJ. 2003. Assessment of the welfare of dairy cattle using animal-based measurements: Direct observation and investigation of farm records. Vet. Rec. 153:197-202. Wilkes CO, Pence KJ, Hurt AM, Becvar O, Knowlton KF. 2008. Effect of

(26)

13

(27)
(28)

15

Lampiran 1 Kuesioner untuk peternak sapi perah

Skoring Kepincangan Lokomosi Gejala Peradangan

Kandang khusus pedet Kandang melahirkan Jenis lantai

฀ Tidak ada

minum Sumber air Mutu air Ventilasi

฀ Tidak ada

Tempat makan Kotoran sapi Kebersihan Kenyamanan sapi

(29)

16

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ketapang pada tanggal 9 Februari 1991 dari ayah Senewie dan ibu Mainilan. Penulis adalah putra kedua dari empat bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Ketapang dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Bustamul Atfal pada tahun 1996 dan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Ketapang pada tahun 2002. Pendidikan tingkat menengah di SMP Negeri 1 Ketapang dan diselesaikan pada tahun 2005.

Gambar

Gambar 1 Skema terjadinya kepincangan (diadopsi dari JE Nocek 1992 dalam
Gambar 2 Contoh skoring kepincangan lokomosi berdasarkan postur punggung
Gambar 3. Kekuatan Korelasi Tanda Peradangan terhadap Skoring Lokomosi

Referensi

Dokumen terkait

Ketika di dalam koloni terdapat bunga yang akan mekar, nutrisi dari inang akan lebih banyak tersedot untuk bunga mekar tersebut daripada untuk kuncup baru.. Kematian

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa uji t menunjukkan bahwa arus kas operasi berpengaruh signifikan terhadap arus kas masa depan, disebabkan karena arus kas

PEMERINTAH T{ABUPATEN TOLITOLI DINAS PEKERJAAN UMUM.. PAIIITTA DEI{GADAAH

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas remediasi bentuk umpan balik menggunakan brosur untuk mengatasi kesulitan belajar siswa tentang gerak lurus

Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang mempengaruhi (PUS) tidak menggunakan alat kontrasepsi yang diteliti di Desa Sigulang Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara

Hasil pengujian pencacahan botol plastik tidak maksimal, dikarenakan botol plastik yang dimasukkan kedalam mesin tidak tercacah atau terpotong keseluruhan tetapi

Kredit eksploitasi adalah kredit berjangka waktu pendek yang diberikan oleh suatu bank kepada perusahaan untuk membiayai kebutuhan modal kerja perusahaan sehingga dapat