• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kemitraan Badan Karantina Pertanian Dengan Pemerintah Daerah Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Kemitraan Badan Karantina Pertanian Dengan Pemerintah Daerah Jawa Timur"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KEMITRAAN BADAN KARANTINA PERTANIAN

DENGAN PEMERINTAH DAERAH JAWA TIMUR

(STUDI KASUS: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN IMPOR)

NELY ZUBAEDAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Kemitraan Badan Karantina Pertanian Dengan Pemerintah Daerah Jawa Timur (Studi Kasus: Implementasi Kebijakan Impor) adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor`

Bogor, Agustus 2015

Nely Zubaedah

(4)

RINGKASAN

NELY ZUBAEDAH. Kajian Kemitraan Badan Karantina Pertanian Dengan Pemerintah Daerah Jawa Timur (Studi Kasus: Implementasi Kebijakan Impor). Dibimbing oleh DAMAYANTI BUCHORI dan ABDUL MUNIF.

Globalisasi dan perdagangan internasional memberikan dampak pada sektor pertanian di Indonesia, khususnya pada produk hortikultura nasional.Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap sumber daya alam termasuk hortikultura, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 42 tahun 2012 dan nomor 43 tahun 2012 tentang penetapan tempat pemasukanbuah segar dan sayuran segar sertasayuran umbi lapis segarke dalam wilayah Indonesia.Tempat pemasukan komoditas tersebut hanya diizinkan melalui empat pintu masuk, salah satunya adalah pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur.

Pasca penetapan pelabuhan Tanjung Perak sebagai pintu masuk produk impor hortikultura, Pemerintah Daerah Jawa Timur kemudian mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 2 tahun 2013 tentang Pengendalian Distribusi Produk Impor di Jawa Timur yang bertujuan untuk menjamin stabilitas harga komoditas lokal, melindungi produk komoditas lokal dan mencegah kontaminasi bahan kimia, biologi dan lain-lain zat yang membahayakan untuk kesehatan manusia. Adanya kebijakan pemerintah daerah terebut menunjukkan adanya resistensi dan kehati-hatian dari pemerintah lokal terhadap pengaruh globalisasi dan perdagangan internasional.Kondisi ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut karena dapat memengaruhi sinergitas kebijakan pusat dandaerah.

Sehubungan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis secara komprehensif keragaan tentang kemitraan Badan Karantina Pertanian melalui UPTKP disetiap wilayah kerja dengan pemerintah daerah setempat.Hasil penelitian ini dianalisis dengan metode MAPP, menunjukkan implementasi kebijakan impor terhadap komoditas hortiultura melalui permentan dan pergub tidak berjalan dengan baik.Faktor yang mempengaruhi adalah isi dari kebijakan tersebut yang berpotensi menimbulkan konflik dan multitafsir serta kurangnya sumber daya manusia yang menjalankannya.

(5)

SUMMARY

NELY ZUBAEDAH. Dynamics of National-Local Partnership on Agricultural Quarantine Policies: A Case Study From East Java .Supervised by DAMAYANTI BUCHORI and ABDUL MUNIF.

Globalization and internatonal trade has a big impact on agricultural sector in the country, particulary on horticultural product. In order to protect its environment and natural resources, Indonesian government has issued several regulation e.g Regulation of Agricultural Minister Number 42,2012 and Number 43, 2012 aboutthe protections were set up through restriction on the port of entrance that are allowable for horticultural products. Under this National Regulation, only four ports were permitted permitted to function as entry port, one of them is Tanjung Perak Port, Surabaya, East Java.

Shortly after the Regulation was issued, the Governor of East Java issued

the Governor’s Decree Number 2, 2013 on the distributional restriction of imported products in East Java to ensure the stability of local commodity prices, protecting local commodity products and to prevent contamination of chemicals, biologicals and others substance that may endanger human health.The Governor’s Decree is an act by local Government that showed resistance to the presence of national regulation and their protection toward competition due to international trades. This situation is further explored to provide information on the power dynamics and synergybetween policies from the central government and local government.

This study was designed to comprehensively analyse the national-local policies that were shaped as a reaction to international trade. Further, the analysis focuses on the policies developed by the agriculturalquarantine agency and by the Governor of East Java (local government). Comparison and contrasting of the content of the policies were done jointly between The Quarantine Agency and local government. Result of this study was analysed using MAPP method, which revealed that the implementation of the local policiesthat restrict the flow of horticultural importmay be in conflict with the national policies. Another factor that may affect implementation of the policies are the different interpretations of the policies and the quality of human resources that may hamper its implementation.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Entomologi

KAJIAN KEMITRAAN BADAN KARANTINA PERTANIAN

DENGAN PEMERINTAH DAERAH JAWA TIMUR

(STUDI KASUS: IMPLEMENTASI KEBIJAKAN IMPOR)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 sampai Agustus 2015 ini ialah Kajian Kemitraan Badan Karantina Pertanian dengan Pemerintah Daearah Jawa Timur (Studi Kasus: Implementasi Kebijakan Impor).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Damayanti Buchori, MSc dan Bapak Dr Ir Abdul Munif MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Pudjianto MSi selaku ketua Program Studi Entomologi, Ibu Prof Dr Ir Sri Hendrastuti MSc selaku ketua Program Studi Fitopatologi dan Bapak Dr Ir Arifin Tasrif MSc.,MM selaku dosen penguji tamu serta staf pengajar Departemen Proteksi Tanaman IPB yang telah memberikan ilmu selama penulis mengikuti pendidikan sehingga dapat dijadikan bekal penulisan karya ilmiah ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa Program Khusus Karantina pada Sekolah Pascasarjana IPB. Selain itu, penulis sampaikan terima kasih kepada teman-teman satu angkatan (2013-2014) atas bantuan dan dukungannya.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Akhir kata penulis persembahkan untuk suami tercinta Fanany Tedja serta ananda Althafiandra Tedja Alfarisi dan Elzaara Tedja Afrinnisa.

Semoga tulisan ini bermanfaat

Bogor, Agustus 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Sistem perkarantinaan nasional 5

Otonomi Daerah dan Perlindungan Tanaman 7

Kebijakan Impor Hortikultura 9

METODE PENELITIAN 10

Waktu dan Tempat 10

Jenis dan Sumber Data 10

Metode Pengambilan Contoh 10

Prosedur Penelitian 11

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Hasil 13

Pembahasan 23

SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 32

DAFTAR PUSTAKA 33

(12)

DAFTAR TABEL

1. Daftar peraturan terkait perlindungan hortikultura ditingkat pusat 13 2. Peraturan Menteri Sebagai Pelaksana Teknis Perlindungan

Hortikultura 15

3. Kebijakan Pemda Jawa Timur dalam Perlindungan Hortikultura 18 4. Perbandingan volume pemasukan buah apel dan jeruk mandarin

yang melalui Jawa Timur dan seluruh UPTKP 18

5. Identifikasi permasalahan kebijakan perlindungan hortikultura

ditingkat pusat dan daerah 19

DAFTAR GAMBAR

1. Alur operasional MAPP 12

2. Pintu pemasukan yang ditetapkan berdasarkan Permentan no. 42

(2012) dan permentan no.43 (2012) 20

3. Pemahaman reponden terhadap aspek kelembagaan pada (A: BBKP Surabaya; B: Dinas Pertanian Tk I; C: Dinas Pertanian Tk

II) 21

4. Pemahaman responden terhadap aspek perlindungan tanaman pada (A: BBKP Surabaya; B: Dinas Pertanian Tk I; C: Dinas

Pertanian Tk II) 22

5. Pemahaman responden terhadap karantina dan perdagangan (A: BBKP Surabaya; B: Dinas Pertanian Tk I; C: Dinas Pertanian Tk

II) 23

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Pusat 37

2. Hasil analisis permasalahan berdasarkan substansi dari peraturan perundang-undangan ditingkat pusat dan daerah 53 3. Analisis korelasi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan

daerah 57

4. Lembar Kuisioner 69

5. Data responden kuisioner 71

6. Hasil uji spearman's rho terhadap aspek kelembagaan 72 7. Hasil uji spearman's rho terhadap aspek perlindungan tanaman 73 8. Hasil uji Spearman's rho terhadap aspek Pemahaman SDM terhadap

karantina pertanian dan perdagangan internasional 75

9. Hasil uji reliabilitas 76

10. Peraturan Gubernur Jawa Timur no.2 Tahun 2013 tentang Pengendalian

Distribusi Produk Impor di Jawa Timur 77

11. Keputusan Gubernur No. 188/210/Kpts/013/2011 tentang Pembentukan

(14)
(15)

PENDAHULUAN

LatarBelakang

Globalisasi dan perdagangan bebas mensyaratkan tidak adanya hambatan bagi produk pertanian yang dilalulintaskan antar negara, antar kepulauan dan atau antar wilayah selain atas dasar kualitas dan kesehatan produk pertanian. Globalisasi juga berdampak pada semakin besarnya lalu lintas produk pertanian dari negara produsen ke negara konsumen. Dari sisi perlindungan sumber daya hayati, tingginya mobilitas produk pertanian dan manusia harus diwaspadai karena keduanya dapat menjadi media pembawa bibit penyakit (patogen), hama maupun gulma.

Saat ini, pertanian Indonesia dihadapkan pada perubahan lingkungan strategis seperti kesepakatan ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) yang mulai berlaku tahun 2016. Pesatnya lalu lintas perdagangan komoditas pertanian antar negara, dinamika permintaan pasar dan perubahan preferensi konsumen perlu diimbangi dengan kebijakan pertanian yang tepat guna dan multiguna. Berdasarkan hal tersebut, Badan Karantina Pertanian (Barantan) yang mempunyai otoritas di pintu pemasukan dan pengeluaran menjadi sangat berperan dalam pencegahan masuk dan tersebarnya hama/penyakit pertanian. Menurut UU No 16 (1992) pada pasal 2 menyebutkan bahwa pembangunan perkarantinaan berasaskan kelestarian sumberdaya hayati. Dalam hal ini sistem perkarantinaan berupaya melindungi pertanian nasional untuk mewujudkan kelestarian, ketahanan dan keamanan pangan serta sumber daya hayati. Sesuai dengan asasnya maka peran Barantan meliputi aspek pengamanan kelestarian sumber daya hayati, pencegahan masuk dan tersebarnya hama penyakit hewan/tumbuhan, kelestarian lingkungan serta jaminan keamanan pangan yang sehat, utuh serta halal.

Upaya perlindungan tumbuhan ini sebenarnya telah terwadahi dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 246/Kpts/OT.140/4/2006 yang mengamanatkan fungsi perlindungan tumbuhan secara struktural dalam organisasi perlindungan tumbuhan nasional (National Plant Protection Organization, NPPO) yang meliputi Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Perkebunan dan Barantan sebagai focal point-nya. NPPO merupakan salah satu instrumen penting dalam pelaksanaan perdagangan baik ditingkat nasional maupun internasional. Ebbels (2003) menyebutkan bahwa NPPO dapat berperan dalam menerapkan larangan, pembatasan atau penolakan terhadap lalulintas perdagangan dalam upaya melindungi keselamatan tumbuhan. Namun demikian, hasil penelitian Noerachman (2009) menyebutkan bahwa kelembagaan dan fungsi NPPO di Indonesia masih sangat lemah, karena belum adanya pengaturan tugas dan kewenangan yang jelas untuk anggotanya, belum adanya kelembagaan NPPO di daerah, dan belum adanya jejaring kerja NPPO dengan instansi lain.

(16)

2

upaya tiap Pemerintah Daerah (Pemda) meningkatkan pendapatan daerah (PAD) melalui berbagai sumber dan peluang seperti dengan pajak, retribusi atau pungutan lainnya (Mayowarni 2008).

Usaha memperoleh PAD sebesar-besarnya seringkali kurang mempertimbangkan aspek perlindungan baik kepada petani dan komoditas pertanian maupun dampaknya terhadap perlindungan sumber daya nasional. Hal tersebut semakin diperburuk dengan kebijakan pertanian Pemda yang tidak sejalan dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Salah satu bentuk ketidaksinkronannya adalah dalam kebijakan pengendalian impor komoditas hortikultura. Sebelumnya, Pusat Data dan Informasi Pertanian (Pusdatin) (2014) menyebutkan bahwa impor komoditas pertanian mencapai US$ 16 019 juta (2012); US$ 14 856 juta (2013) dan 2014 mencapai US$ 11 957 juta. Khusus nilai impor produk hortikultura terus meningkat sejak tahun 2007 tercatat hanya US$ 798 juta, dan meningkat US$ 1 292 juta (2010), US$ 1 686 juta (2011), US$ 1 810 juta (2012), US$ 1 616 juta (2013), dan US$ 1 333 juta (2014). Dampak nyata dari tingginya impor tersebut adalah masuknya hama penyakit tumbuhan yang sebelumnya tidak ada di Indonesia dan tergolong dalam Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) golongan A1 seperti hasil penelitian Anwar (2004) melaporkan temuan bakteri Clavibacter michiganensis subsp michiganensis, Paracoccus marginatus (Hemiptera; Pseuodococcidae) yang menyerang secara invasif pada tanaman pepaya tahun 2008 (Lolong dkk 2014; Herlina 2011), Phenacoccus manihoti (Hemiptera; Pseuodococcidae) pada tanaman singkong pada tahun 2010 (Rauf 2009; Saputro 2013).

Kebijakan pemerintah dalam upaya membendung derasnya impor komoditas pertanian juga tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 42 (2012)1 dan Permentan No 43 (2012)2 yang memuat aturan pembatasan tempat masuk untuk impor komoditas hortikultura khususnya buah dan sayuran serta umbi lapis segar. Namun demikian, kebijakan pembatasan ini juga menuai dukungan dan tentangan dari berbagai pihak termasuk Pemda yang kemudian mengeluarkan peraturan/kebijakan baru. Pemda yang wilayah pelabuhannya ditetapkan sebagai tempat masuk komoditas impor hortikultura mengkhawatirkan terjadinya penurunan produksi pertanian lokal dan sementara bagi daerah yang tidak termasuk dalam ketentuan yang ditetapkan mengkhawatirkan adanya kelangkaan pasukan sayuran segar, buah segar dan sayuran umbi lapis segar di wilayahnya (BPPKP 2012).

Peningkatan impor produk hortikultura tidak hanya mengancam kelangsungan produksi produk sejenis diwilayah yang ditetapkan sebagai tempat masuk, namun juga mengakibatkan masuknya OPTK eksotik dan spesies asing yang sebelumnya tidak pernah ada di Indonesia. Hal ini akan sangat mengancam biodiversitas dan pada akhirnya mengakibatkan trunnya produktifitas hortikultura nasional. Sehubungan hal tersebut, penelitian ini bermaksud melakukan kajian apakah peraturan dan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah sudah

1

Permentan Nomor 42 Tahun 2012 tentang tentang Tindakan Karantina Tumbuhan Untuk Pemasukan Buah Segar dan Sayuran Segar ke Dalam Wilayah NKRI.

2

(17)

3 sinergis dan sejauh mana dampak dari kebijakan impor komoditas hortikultura mempengaruhi sistem perlindungan tumbuhan.

Perumusan Masalah

Arus globalisasi dapat menjadi ancaman bagi keberadaan produk lokal. Kondisi ini disikapi dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan ditingkat pusat dan daerah. Pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan pembatasan tempat pemasukan bagi impor komoditas hortikultura melalui Permentan No 42 Tahun 2012. Disisi lain, pemda juga mengeluarkan kebijakan pembatasan dan pengaturan terhadap impor komoditas hortikultura. Salah satu contoh kasusnya adalah di wilayah Jawa Timur, dimana Pemda mengeluarkan Pergub nomor 2 Tahun 2013 tentang Pengendalian Distribusi Produk Impor. Untuk memahami dinamika yang terjadi, berikut ini diajukan beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan permasalahan kebijakan diantara pemerintah pusat dan daerah, sebagai berikut:

a. Adakah sinergitas Pemerintah pusat dan daerah dalam mengeluarkan kebijakan impor komoditas hortikultura?

b. Bagaimana konsistensi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan dibidang importasi produk hortikultura dengan sistem perlindungan tumbuhan antara Pemerintah Pusat dan Daerah?

c. Bagaimana implementasi peraturan terkait importasi produk hortikultura yang diterbitkan Kementerian Pertanian dan Pemda Jawa Timur?

d. Bagaimana hubungan antara Barantan dan Pemda Jawa Timur dalam sistem perlindungan tumbuhan yang terkait dengan impor komoditas hortikultura?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis secara komprehensif keragaan tentang kemitraan kelembagaan Barantan dan UPTKP disetiap wilayah kerja dengan Pemda setempat.

Secara khusus penelitian ini bertujuan :

a. Menginventarisir peraturan perundang-undangan Kementerian Pertanian dan Pemda Jawa Timur yang terkait dengan sistem perlindungan tumbuhan terkait impor komoditas hortikultura.

b. Mengetahui sinergitas kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan perlindungan tanaman melalui kebijakan impor komoditas hortikultura.

c. Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam implementasi kebijakan sistem perlindungan tumbuhan terkait impor komoditas hortikultura pada Kementerian Pertanian dan Pemda Jawa Timur.

(18)

4

Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah untuk kepentingan teoritis dan praktis yang dapat digunakan sebagai referensi dalam penyelesaian permasalahan koordinasi kebijakan dan kewenangan diantara Barantan dan UPTKP disetiap wilayah kerjanya dengan Pemda setempat.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan langkah awal dalam inventarisasi dan identifikasi permasalahan kelembagaan Barantan dan UPTKP disetiap wilayah dengan Pemda setempat, serta melihat dan menganalisis peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah terkait sistem perlindungan tumbuhan.

(19)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem perkarantinaan nasional

Kebijakan nasional dibidang perkarantinaan didasarkan pada pemahaman bahwa karantina adalah tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai upaya pencegahan masuknya dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain didalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia. Sedangkan karantina hewan, ikan dan tumbuhan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan,hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain didalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia. Dalam pelaksanaan perkarantinaan berasaskan kelestarian sumberdaya hayati hewan, ikan dan tumbuhan (UU Nomor 16 Tahun 1992).

Pengelolaan sumberdaya hayati hewan, ikan dan tumbuhan tersebut dimaksudkan sebagai bagian perlindungan terhadap tanaman, hewan, manusia dan lingkungan hidup disuatu wilayah dari gangguang hama, penyakit, spesies invasif maupun organisme lain yang berasal dari wilayah tersebut. Oleh karena itu, konsep perkarantinaan nasional menjadi penting sebagai suatu proses yang berkelanjutan yang berlaku di pre-border, at-border dan post border. Pentingnya peranan karantina hewan, ikan dan tumbuhan tersebut memerlukan landasan hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum dalam bentuk undang-undang sebagai peraturan dasar maupun peraturan pelaksana lainnya.

Barantan (2013) menyebutkan instrumen nasional mengenai sistem perkaantinaan nasional tercakup dalam Kompilasi Peraturan Perkarantinaan Tumbuhan sebagai berikut:

1. UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Kebijakan tersebut menjadi dasar pelaksanaan sistem perkarantinaan hewan, tumbuhan dan ikan di Indonesia. UU No 16 (1992) menyebutkan tujuan dari sistem perkarantinaan adalah:

a. Mencegah masuknya hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan karantina dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

b. mencegah tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, dan organisme pengganggu tumbuhan karantina dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia c. Mencegah keluarnya hama dan penyakit hewan karantina dari wilayah

negara Republik Indonesia.

d. Mencegah keluarnya hama dan penyakit ikan dari organisme pengganggu tumbuhan tertentu dari wilayah negara Republik Indonesia apabila negara tujuan menghendakinya.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan 3. Permentan Nomor 88/Permentan/PP.340/12/2011 tentang Pengawasan

(20)

6

4. PermentanNomor 93/Permentan/OT.140/12/2011 tentang Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina

5. PermentanNomor 94/Permentan/OT.140/12/2011 tentang Tempat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pembawa Penyakit Hewan Karantina dan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina

6. PermentanNomor 42/Permentan/OT.140/6/2012 tentang Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Buah Segar dan Sayuran Segar ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.

7. PermentanNomor 43/Permentan/OT.140/6/2012 tentang Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Sayuran Umbi Lapis Segar ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia

8. Analisa Resiko Importasi untuk Importasi Komoditas Pertanian ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.

Sementara itu, kelembagaan sistem perkarantinaan di Indonesia tercantum dalam Permentan nomor 61/Permentan/OT.140/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian. Permentan No 61 (2010) mengatur tentang struktur organisasi karantina yang ada di Indonesia. Permentan ini menunjuk Badan Karantina Pertanian sebagai institusi yang bertanggungjawab terhadap sistem perkarantinaan hewan dan tumbuhan. Penyelenggaraan tugas dan fungsi Badan Karantina Pertanian yang diatur melalui permentan diantaranya sebagai berikut:

1. Badan Karantina Pertanian mempunyai tugas melaksanakan perkarantinaan pertanian

2. Badan Karantina Pertanian menyelenggarakan fungsi:

a. Penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program perkarantinaan hewan, tumbuhan, serta pengawasan keamanan hayati;

b. Pelaksanaan perkarantinaan hewan dan tumbuhan, serta pengawasan keamanan hayati;

c. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan perkarantinaan hewan dan tumbuhan, serta pengawasan keamanan hayati; dan

d. Pelaksanaan administrasi Badan Karantina Pertanian

(21)

7 Otonomi Daerah dan Perlindungan Tanaman

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, sebagaimana telah diganti dengan undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan dampak terhadap pelimpahan wewenang kepada Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Secara tidak langsung, hal tersebut juga mempengaruhi kebijakan perlindungan tanaman yang ter-implementasi dilapangan. Setiap Pemda dapat menyusun rencana pembangunan daerahnya masing-masing dengan lebih terarah sesuai dengan kebutuhannya dengan tetap memperhatikan segala potensinya.

Era otonomi daerah, kelembagaan pemeriantah disektor pertanian juga telah mengalami perubahan, termasuk dalam pelaksanaan sistem perlindungan tanaman di Indonesia. Pembagian kewenangan anatara Pemerintah Pusat dan Daerah diatur dalam Undang-undang nomor 34 tahun 2014 tentang Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah , sebagai berikut:

1. Pemerintah Pusat

Kelembagaan perlindungan tanaman di tingkat pusat, terdiri dari:

a. Melaksanakan bimbingan teknis serta monitoring dan evaluasi kegiatan b. Balai besar peramalan organisme pengganggu tumbuhan (BBPOPT)

melaksanakan pengembangan model peramalan OPT

c. Balai Pengujian Mutu Produk Tanaman (BPMPT) melaksanakan pengujian mutu pestisida, pupuk dan pupuk tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan.

2. Pemerintah Provinsi

Kelembagaan perlindungan tanaman ditingkat provinsi terdiri dari:

a. Dinas pertanian yang didalamnya terdapatt unit kera perlindungan tanaman

b. Unit pelaksana teknis Dinas/Balai Proteksi tanaman pangan dan hortikultura

c. Laboratorium pestisida

d. Laboratorium pengamatan hama penyakit/laboratorium agens hayati (LPHP/LAH)

e. Brigade Proteksi Tanaman (BPT)

Kewenangan provinsi dalam bidang perlindungan tanaman secara garis besar adalah :

a. Pengaturan dan pelaksanaan pengendalian wabah hama dan penyakit dibidang pertanian lintas kabupaten/kota

b. Penydiaan dukungan pengendalian/eradikasi organisme pengganggu tumbuhan disektor pertanian lintas kabupaten/kota

c. Pemantauan, peramalan dan pengendalian serta penanggulangan eksploitasi organisme pengganggu tumbuhan dibidang pertanian.

3. Kabupaten/kota

Kelembagaan perlindungan tanaman ditingkat kabupaten/kota terdiri dari: a. Dinas pertanian yang membidangi perlindungan tanaman

b. Coordinator pengendali organisme pengganggu tanaman, pengamat hama penyakit (POPT-PHP)

(22)

8

Kewenangan kabupaten/kota di bidang perlindungan tanaman, sebagai berikut:

a. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengenalian dan analisis dampak keruian produksi tanaman karena OPT

b. Bimbingan pengamatan, peramalan, dan pengendalian OPT c. Pengumpulan dan pengolahan data OPT dan DPI

d. Penyebaran informasi keadaan serangan OPT dan Peringatan dini serta rekomendasi pengendaliannya

e. Pengamatan dan pemantauan daerah yang diicurigai sebagai sumber serangan OOPT

f. Pengendalian daerah sumber serangan dan eksplosi OPT

g. Bimbingan pemanfaatan dan emantauan penggunaan agens hayati h. Penyediaan dukungan sarana dan prasarana pertanian

i. Penyediaan sukungan sarana pengendlaian untuk eradikasi tanaman atau bagian tanaman

j. Pembinaan dan bimbingan teknis pelaksanaan pengendalian OPT dan adaptasi DPI terhadap petugas dan masyarakat tani.

Hubungan kelembagaan pemerintah di tingkat pusat–provinsi– kabupaten/kota tidak lagi bersifat hirarkis sebagai atasan dan bawahan, tetapi bersifat komplementer dan bersifat koordinasi, hubungan teknis fungsional dan konsultatif (Kemetan 2015).

Sejalan dengan hal tersebut, iklim globalisasi semakin meningkatkan terjadinya peluang investasi dan perdagangan sehingga memungkinkan penanaman modal asing pada sector pertanian menjadi semakin terbuka. Mayowarni (2006) menyebutkan bahwa salah satu kebijakan otonomi daerah yaitu meningkatkan pendapatan daerah (PAD) melalui berbagai sumber dan peluang seperti dengan pajak, retribusi atau pungutan lainnya. Dalam bidang pertanian, pelaksanaan otonomi daerah harus mendapatkan perhatian utama khusunya dalam kaitannya dengan distribusi hasil pertanian dimana berbagai retribusi dan pungutan yang ada harus mempertimbangkan dampaknya terhadap produsen diwilayah produksi dan juga konsumsi serta efisiensi perdagangan.

Permasalahan otonomi daerah dibidang perdagangan menjadi semakin kompleks dengan banyaknya kebijakan yang bersifat non ekonomi sehingga akan semakin mendistorsi pasar, lebih lanjut upaya untuk dapat meningkatkan pendapatan petani semakin terdistorsi oleh kebijakan daerah tersebut (Mayowarni 2006). Hasil penelitian yang dilakukan Murwito dkk (2013) menunjukkan bahwa implementasi kewenangan penerbitan perda yang dimiliki oleh Pemda membawa dampak buruk terhadap iklim investasi di daerah dan menyebabkan ketidakpastian dalam berusaha sehingga dapat memicu biaya tinggi bagi para pelaku usaha.

(23)

9 faktor utama yaitu hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan pengawasan dan hubungan yang timbul dari susunan organisasi pemerintahan di daerah.

Kebijakan Impor Hortikultura

Kebijakan perdagangan Indonesia harus mengacu dan menyesuaikan dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh World Trade Organization/WTO, termasuk dalam menerapkan kebijakan perdagangan yang menyangkut dalam perijinan impor (impor licensing) yang harus mengacu pada Import Licensing Agreement/ILA. Ketentuan ILA mengharuskan setiap Negara anggota untuk membuat berbagai kebijakan dan peraturan berdasarkan prinsip sederhana, transparan, proses cepat, dan terprediksi. Hal ini berlaku pula untuk segala bentuk perdagangan dibidang pertanian. Sehubungan hal tersebut, Indonesia memanfaatkan kebijakan impor sebagai salah satu instrument strategis untuk menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Untuk itu pemerintah telah membuat serangkaian kebijakan impor yang bertujuan untuk menjaga, melindungi dan mengamankan aspek K3LM (Kesehatan, Keselamatan, Keamanan Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa), melindungi dan meningkatkan pendapatan petani, mendorong penggunaan dalam negeri dan meningkatkan peran ekspor non migas (Widayanto 2011).

Sayaka dkk (2013) menyebutkan bahwa untuk dapat menekan tingginya arus impor subsektor hortikultura, Pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan impor berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, yang kemudian terimplementasi dengan Permentan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Selanjutnya, Permentan ini direvisi menjadi Permentan Nomor 47 Tahun 2013 dan direvisi kembali menjadi Permentan Nomor 86 Tahun 2013 tentang RIPH. Perubahan atas kebijakan RIPH dilakukan beberapa kali sebagai upaya penyesuaian terhadap ketentuan perdagangan internasional yang tertuang dalam berbagai aturan WTO. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi setiap pihak yang akan melakukan importasi produk hortikultura dan jaminan terhadap keamanan produk yang akan diimpor.

Dalam upaya membatasi impor ini, Kementerian perdagangan juga menerbitkan kebijakan impor hortikultura melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 60 Tahun 2012 dan direvisi menjadi Permendag Nomor 16 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, yang menegaskan bahwa impor produk hortikultura hanya dapat dilakukan jika kebutuhan konsumsi masyarakat belum terpenuhi. Kebijakan pengendalian impor ini juga secara sinergi dilakukan olehh Kementerian Pertanian melalui Permentan Nomor 42 Tahun 2012 dengan menerapkan pembatasan pintu masuk bagi impor produk hortikultura hanya melalui 4 pelabuhan dan atau Bandar udara yang telah ditetapkan yaitu Bandar Udara Soekarno Hatta (Tangerang), Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya), Pelabuhan Belawan (Medan) dan Pelabuhan Laut Soekarno Hatta (Makassar) serta Kawasan Free Trade Zone (FTZ). Meskipun demikian, pemerintah juga masih membuka peluang bagi Negara yang telah memiliki

(24)

10

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Kantor Pusat Badan Karantina Pertanian (Barantan) (Jakarta), UPTKP Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Surabaya (Jawa Timur), Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur dan Kantor Pemda Jawa Timur. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014 - Februari 2015. Pemilihan lokasi UPTKP BBKP Surabaya dan Pemda Jawa Timur dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu tempat lalulintas media pembawa tumbuhan yang menjadi pintu masuk yang ditetapkan untuk impor produk hortikultura berdasarkan kebijakan Permentan No 42 Tahun 2012.

Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini digunakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan metode survey. Data penelitian ditunjang dengan kuisioner dan wawancara mendalam. Data sekunder diperoleh dari lembaga dan instansi terkait di daerah penelitian yang meliputi dokumen/arsip dan laporan penelitian dari Kementerian Pertanian, Barantan, Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, Dinas Perdagangan Provinsi Jawa Timur. Responden yang dipilih dalam kuisioner harus ahli atau mengetahui fenomena yang terjadi sehingga mampu menjawab perumusan masalah dalam penelitian. Kuisioner disebarkan kepada responden dilingkungan Kantor Barantan, UPTKP BBKP Surabaya dan Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang membidangi permasalahan yang terkait dengan penelitian. Wawancara dilakukan kepada informan dan ahli untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak. Informan yang dipilih adalah pihak-pihak yang dianggap mengetahui tentang sistem perkarantinaan di Kantor Pusat Barantan, UPTKP BBKP Surabaya dan Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Adapun pemilihan responden yang dipilih harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Menempati jabatan struktural/fungsional tertentu 2. Memahami aspek kelembagaan/organisasi

3. Memahami regulasi yang menjadi dasar pelaksanaan penelitian

4. Pernah dilibatkan/terlibat dalam permasalahan yang menjadi pokok penelitian

Metode Pengambilan Contoh

(25)

11 1. Populasi Sasaran dan Populasi Sampel

Populasi merupakan kelseluruhan unit dalam ruang lingkup dan waktu yang diteliti (Durianto, dkk 2004). Sementara populasi sasaran merupakan keseluruhan individu/unit sampel dalam suatu daerah yang sesuai dengan tujuan penelitian, sedangkan populasi sampel merupakan keseluruhan individu/unit sampel yang menjadi satuan analisis yang layak dan sesuai dengan sampel penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah pihak yang terkait dengan stakeholder sistem importasi hortikultura lingkup Barantan dan Pemda Jawa Timur.

2. Metode Sampling

Metode yang diambil dalam penarikan sampel adalah nonprobability sampling

dengan teknik pengambilan contoh dilakukan secara purposive sampling.

Rahmat (2009) menyebutkan dengan metode ini setiap anggota populasi tidak memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi sampel dengan prosedur dan pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pada pertimbangan tentang karakteristik yang cocok berkaitan dengan sampel yang diperlukan untuk menjawab tujuan dari penelitian

Prosedur Penelitian

Kajian penelitian dilakukan dengan cara melakukan: (1) inventarisir peraturan perundang-undangan tentang importasi produk hortikultura yang dikeluarkan Barantan dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, (2) analisa perbandingan kebijakan importasi produk hortikultura yang ditetapkan Badan Karantina Pertanian dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, (3) analisa permasalahan yang terjadi dalam adopsi dan implementasi kebijakan perkarantinaan ditingkat pusat dan daerah, (4) evaluasi kelembagaan dan kebijakan sistem perkarantinaan ditingkat pusat dan daerah.

Dalam melakukan analisa kebijakan importasi komoditas hortikultura yang ditetapkan Kementerian Pertanian dan Pemerintah Daerah Jawa Timur dapat dirinci sebagai berikut:

1. Inventarisasi peraturan perundang-undangan tentang importasi produk hortikultura.

a. Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan Kementerian Pertanian dalam kebijakan importasi pada subsektor hortikultura termasuk tentang regulasi sistem perkarantinaan dalam importasi komoditas pertanian.

b. Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan Pemerintah daerah Jawa Timur dalam kebijakan importasi dan eksportasi komoditas pertanian.

2. Analisa perbandingan kebijakan importasi produk hortikultura yang ditetapkan Badan Karantina Pertanian dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur

3. Analisa permasalahan yang terjadi dalam adopsi dan implementasi kebijakan perkarantinaan ditingkat pusat dan daerah dengan menggunakan Model Analisa Peraturan Perundang-undangan (MAPP).

(26)

12

pembangunan diberbagai bidang (existing regulation) atau mengkaji kualitas rancangan peraturan yang baru (future regulation) (Bappenas 2012). Penggunaan MAPP dimulai dengan inventarisasi regulasi, identifikasi dan klasifikasi regulasi yang bermasalah atau berpotensi bermasalah kemudian dilanjutkan dengan analisis regulasi. Hasil analisis tersebut akan menghasilkan 3 jenis keputusan, yaitu (1) regulasi dipertahankan; (2) regulasi direvisi; dan (3) regulasi dicabut. Selanjutnya hasil keputusan akan dibuat rencana aksi tindak (Triyono 2012). Potensi permasalahan peraturan tersebut meliputi:

a. konflik, apabila terdapat pasal atau ketentuan yang secara nyata bertentangan dengan peraturan lainnya;

b. inkonsistensi, apabila terdapat ketentuan atau pengaturan yang tidak konsisten;

c. multitafsir, apabila terddapat ketidakjelasan pada subyek dan obyek yang diatur sehingga sulit dipahami dan mengandung sistematika yang tidak jelas;

d. tidak operasional, bilamana peraturan atau kebijakan memuat informasi yang sudah tidak relevan, tidak memiliki daya guna atau sulit dalam implementasi namun peraturan atau kebijakan tersebut masih berlaku

4. Evaluasi kelembagaan dan kebijakan sistem perkarantinaan ditingkat pusat dan daerah. Selanjutnya Analisa data dilakukan setelah data berhasil dikumpulkan dari kegiatan penelitiaan. Data tersebut selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan uraian. Penganalisaan data secara kuantitatif dan kualitatif.

Gambar 1 Alur operasional MAPP Inventarisir Regulasi

Identifikasi

Permasalahan

Analisis Individual

Rekomendasi

Individual

Rekomendasi

Kolegial

Rencana

(27)

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan Tentang Perlindungan Hortikultura

Hasil inventarisasi dan penelaahan peraturan perundang-undangan ditingkat pusat yang terkait langsung dengan perlindungan tumbuhan hortikultura diperoleh 5 Undang-Undang (UU), 3 Peraturan Pemerintah (PP), dan 2 Keputusan Presiden (Keppres). Hasil inventarisir selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Secara umum, kebijakan pemerintah pusat mengatur sistem pertanian dari proses produksi hingga proses distribusi serta pengaturan tata cara pemasukan dan pengeluaran komoditas pertanian kedalam wilayah Indonesia. Penjabaran kebijakan perlindungan hortikultura selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 1 Daftar peraturan terkait perlindungan hortikultura ditingkat pusat

No Peraturan Substansi Ruang lingkup

1. UU No. 12 Tahun 1992 (30 April 1992)

Sistem Budidaya Tanaman

Proses kegiatan produksi sampai dengan pascapanen 2. UU No. 16 Tahun 1992

(8 Juni 1992)

Karantina Hewan Ikan dan Tum-buhan

Persyaratan, tindakan, dan kawasan karantina, jenis OPT dan media pembawa, tempat pemasukan dan pengeluaran 3. UU No. 7 Tahun 1994

(2 Nopember 1994)

Persetujuan Pem-bentukan Organi-sasi Perdagangan Dunia

Prinsip-prinsip penerapan SPS dalam perdagangan inter-nasional

4. UU No. 13 Tahun 2010 (24 Nopember 2010)

(28)

14

Tabel 1 (lanjutan)

No Peraturan Substansi Ruang lingkup

5. UU No. 18 Tahun 2012 (17 Nopember 2012)

Pangan Perencanaan; ketersediaan; ke-terjangkauan; konsumsi Pa-ngan dan Gizi; Keamanan; label dan iklan; pengawasan; sistem informasi; penelitian dan pengembangan; kelemba-gaan; peran serta masyarakat; dan penyidikan.

6. PP No. 6 Tahun 1995 (28 Pebruari 1995)

Perlindungan Tumbuhan

Sistem perlindungan tum-buhan

7. PP No. 14 Tahun 2002 (23 April 2002)

Karantina Tum-buhan

Sistem perkarantinaan tum-buhan

Sistem pemberian fasilitas dan insentif usaha hortikultura

9. Keppres No. 45 Tahun 1990 (26 September 1990)

Ratifikasi

Interna-tional Plant

Protec-tion Convention

Prinsip-prinsip pencegahan in-troduksi dan penyebaran OPT antar negara

10. Keppres No. 58 Tahun 1992 (6 Oktober 1992)

Pengesahan Plant Protection Agree-ment for The South East Asia And Pacific Regional

Pencegahan OPT di wilayah Asia Pasifik

Peraturan Menteri Sebagai Pelaksana Teknis Perlindungan Hortikultura Peraturan Menteri yang menjadi landasan pelaksana teknis perlindungan hortikultura dalam bidang impor adalah Permentan dan Permendag. Keduanya merupakan penjabaran lebih rinci dari PP tentang Perlindungan Tumbuhan dan PP tentang Karantina Tumbuhan yang telah diharmonisasi dan disesuaikan dengan diberlakukannya UU Hortikultura. Hasil inventarisasi terhadap peraturan menteri selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

(29)

15 Tabel 2 Peraturan Menteri Sebagai Pelaksana Teknis Perlindungan Hortikultura

No Peraturan Menteri Substansi Tujuan

1. Permentan No 44/ Permentan/OT140/3/ 2014

Perubahan atas Per-mentan No. 94/Per-mentan/OT.140/12/2 011 tentang Tempat Pemasukan dan Pe-ngeluaran Media Pembawa Hewan Karantina dan Or-ganisme Penggang-gu Tumbuhan Ka-rantina.

Perubahan status dan situasi HPHK dan OPTK, perubahan tempat dan nama tempat pemasukan dan pengeluaran, serta adanya peningkatan kapa-sitas tempat pemasukan dan pengeluaran, perlu meninjau kembali Permen-tan No 94/PermenPermen-tan/OT. 140/12/2011 tentang Tem-pat Pemasukan dan Pengeluaran Media Pemba-wa Penyakit HePemba-wan Karan-tina dan Organisme Peng-ganggu Tumbuhan Karan-tina

2. Permentan No 38/ Permentan/OT140/3/ 2014

Tindakan Karantina Tumbuhan di Luar Tempat Pemasukan dan Pengeluaran

Dasar pelaksanaan tinda-kan karantina di luar tem-pat pemasukan dan penge-luaran. Tujuannya adalah untuk memperlancar pelak-sanaan tindakan karantina di tempat pemasukan dan pengeluaran.

3. Permendag No 47/ M-DAG/PER/8/ 2013

Ketentuan Impor Produk Hortikultura

Perlindungan konsumen, kepastian berusaha, trans-paransi, dan penyederhana-an proses perizinpenyederhana-an, serta tertib administrasi impor produk hortikultura.

4. Permentan No 60/ Permentan/OT140/8/ 2013

Rekomendasi Impor Produk Hortikultura

(30)

16

Tabel 2 (lanjutan)

No Peraturan Menteri Substansi Tujuan

5. Permentan No 48/ Permentan/SR120/8/ 2012

Produksi, Sertifikasi Dan Pengawasan Peredaran Benih Hortikultura

Melakukan pendaftaran usaha perbenihan hor-tikultura; menjamin keter-sediaan benih bermutu secara berkesinambungan; menjamin mutu benih yang beredar sampai di tingkat konsumen; dan memberi-kan kepastian usaha bagi para produsen benih. 6. Permentan No 43/

Permentan/OT140/6/ 2012

Tindakan Karantina Tumbuhan Untuk Pemasukan Sayuran Umbi Lapis Segar Ke Dalam Wilayah NKRI.

Mencegah masuknya OPTK ke dalam wilayah

Tindakan Karantina Tumbuhan Untuk Pemasukan Buah Segar Dan Sayuran Buah Segar Ke Dalam Wilayah NKRI.

Mencegah masuknya OPTK jenis lalat buah ke dalam wilayah NKRI dan memenuhi keamanan pa-ngan segar asal tumbuhan.

8. Permentan No 15 / Permentan/OT140/3/ 2012

Persyaratan Teknis Dan Tindakan Ka-rantina Tumbuhan Untuk Pemasukan Buah-Buahan dan/ atau Sayuran Buah Segar Ke Dalam Wi-layah NKRI.

Menetapkan empat pintu pemasukan impor dan satu kawasan perdagangan be-bas sebagai tempat pema-sukan dengan persyaratan tertentu.

9. Permentan No 05 / Permentan/OT140/2/ 2012

Pemasukan Dan Pe-ngeluaran Benih Hortikultura.

(31)

17

Tabel 2 (lanjutan)

No Peraturan Menteri Substansi Tujuan

10. Permentan No 93/ Permentan/OT 340/ 2011

Jenis Organisme Pengganggu Tum-buhan Karantina.

Menetapkan daftar OPTK

11. Permentan No 88 / Permentan/OT.340/ 12/ 2011

Pengawasan Ke-amanan Pangan Ter-hadap Pemasukan Dan Pengeluaran Pa-ngan Segar Asal Tumbuhan (PSAT)

PSAT yang dimasukkan ke dalam wilayah NKRI tidak mengandung cemaran ki-mia dan cemaran biologi melewati batas maksimum serta bahan kimia yang dilarang, PSAT yang dikeluarkan dari dalam wilayah NKRI memenuhi persyaratan negara tujuan. 12. Permentan No 38/

Permentan/OT140/7/ 2011

Pendaftaran Varietas Tumbuhan Hortikul-tura

Melindungi konsumen dari perolehan benih yang performa/keragaman

varie-Persyaratan Dan Tatacara Tindakan Karantina Tumbuh-an Terhadap Pema-sukan Media Pemba-wa OPTK Ke Dalam Wilayah NKRI.

Mencegah masuknya OPTK dan/atau OPTP serta untuk memberikan kepas-tian pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa yang dimasukan ke dalam wilayah NKRI. Peraturan Gubernur Jawa Timur Terkait Perlindungan Hortikultura

(32)

18

yang dikenakan terhadap komoditas barang impor. Kebijakan Pemda terkait perlindungan hortikultura di Jawa Timur selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kebijakan Pemda Jawa Timur dalam Perlindungan Hortikultura No Kebijakan Substansi Tujuan

1. Perda No 15 Tahun 2013 Retribusi daerah Mengatur tentang biaya retribusi yang dikenakan kepada objek retribusi atas berbagai perijinan dan pemakaian kekayaan daerah.

2. Pergub No 2 Tahun 2013 Pengendalian Dis-tribusi Produk Im-Por di Jawa Timur

Memberikan perlindung-an stabilitas harga komo-ditas lokal guna meningkatkan kesejahte-raan petani lokal.

3. Keputusan Gubernur No 188/210/Kpts/013/2011

Pembentukan Tim Terpadu Pengawas-an BarPengawas-ang Beredar

Membentuk tim pelaksa-na tugas dalam rangka pengawasan barang ber-edar yang dilak-sanakan secara terpadu oleh unsur instansi terkait.

Tabel 4 Perbandingan volume pemasukan buah apel dan jeruk mandarin yang melalui Jawa Timur dan seluruh UPTKP

Tahun

Apel (dalam Kg)

Jeruk Mandarin (dalam Kg)

Jawa Timur* Seluruh

UPTKP Jawa Timur*

(33)

19 Identifikasi Permasalahan

Setelah dilakukan inventarisasi peraturan dan kebijakan, kemudian dilakukan identifikasi permasalahan baik ditingkat pusat maupun daerah. Kebijakan tersebut diidentifikasi dengan variabel utama perlindungan tumbuhan dan kesesuaiannya dengan kebijakan perdagangan internasional yang telah diratifikasi Pemerintah. Adapun peraturan yang diidentifikasi meliputi UU No 16 (1992) tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan dan UU No 13 (2010) tentang Hortikultura serta peraturan teknis yang dikeluarkan Pemerintah Pusat melalui Permentan No 42 (2012) tentang Tindakan Karantina Tumbuhan Terhadap Pemasukan Buah Segar dan Sayuran Buah Segar ke Dalam Wilayah NKRI. Selain itu, diidentifikasi pula kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemda Jawa Timur sebagai tanggapan atas kebijakan Pemerintah Pusat yang tertuang dalam Pergub No 2 (2013). Hasil identifikasi permasalahan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Secara umum, permasalahan dari kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemda terdapat pada aspek substansi dan prinsip yang masih menunjukkan potensi terjadinya konflik dan multitafsir terhadap pasal-pasalnya. Pokok permasalahan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3.

Tabel 5 Identifikasi permasalahan kebijakan perlindungan hortikultura ditingkat pusat dan daerah

Variabel

Peraturan Perundang-undangan UU No 16

(1992)

UU No 13 (2010)

Permentan No 43 (2012)

Pergub No 2 (2013)

Perlindungan tanaman √ √ √ √

Koordinasi - √ - √

Surveilans √ - - -

Pemeriksaan √ √ √ √

Eradikasi - - - -

Pengawasan √ √ - √

Perlakuan (SPS WTO) √ √ √ -

Perlindungan area/ kawasan

√ √ - -

Pembinaan √ √ - -

Hasil Analisa Peraturan Perundang-undangan (MAPP) Terhadap Kebijakan Perlindungan Hortikultura

(34)

20

1. Konflik

Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan pembatasan tempat pemasukan impor hortikultura melalui Permentan No. 43 (2012) dan Permentan No. 42 (2012). Tempat pemasukan yang ditetapkan berdasarkan kedua permentan tersebut adalah Pelabuhan laut Belawan (Sumatera Utara), Bandar udara Soekarno-Hatta Cengkareng (Banten), Pelabuhan laut Tanjung Perak (Jawa Timur), dan Pelabuhan laut Soekarno-Hatta Makassar (Sulawesi Selatan) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5.

Dikeluarkannya Pergub No. 2 (2013) dianggap sebagai bentuk penolakan Pemda Jawa Timur sebagai salah satu tempat pemasukan yang ditetapkan. Berdasarkan aturan pergub, Gubernur Jawa Timur dapat menolak masuknya impor buah segar dan sayuran buah segar serta umbi lapis segar dengan alasan administrasi, melalui penolakan surat pernyataan dan tidak keluarnya surat izin bongkar. Hal tersebut berpotensi menimbulkan conflict of interest maupun ketidaksinkronan kebijakan Pemerintah Pusat dan daerah.

Gambar 2 Pintu pemasukan yang ditetapkan berdasarkan Permentan no. 42 (2012) dan permentan no.43 (2012)

2. Multitafsir

Peraturan dapat menimbulkan multitafsir apabila tidak ada kejelasan objek dan subyek baik dalam norma maupun pelaksananya. Rumusan norma yang tidak jelas tersebut menimbulkan ketidakpastian baik bagi pihak pelaksana maupun pihak yang terkena aturan.

a. Pasal 7 Pergub No. 2 (2013) menyatakan bahwa setelah menyampaikan surat pernyataan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 5 ayat (1) importir dapat mendistribusikan komoditasnya di Wilayah Jawa Timur dan atau di luar Wilayah Jawa Timur.

(35)

21 tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai importir yang tidak menyampaikan surat pernyataan atau sudah menyampaikan surat pernyataan tetapi ditolak atau kurang lengkap, sehingga tidak ada kepastian izin dan waktu bagi importir yang telah mendapatkan persetujuan impor dari Kementrian Perdagangan.

b. Pasal 10 Pergub No. 2 (2013) menyatakan untuk komoditi produk impor olahan dan turunannya serta yang dapatdihasilkan di Jawa Timur, pada kondisi tertentu (panen) distribusi komoditi impornya akan diatur lebih lanjut oleh instansi teknis yang menangani.

Perumusan pasal tersebut hanya mengatur subyek yang boleh bertindak sebagai penyelenggara kegiatan, akan tetapi perumusan di dalam pasal dilakukan dengan cara yang membingungkan sehingga tidak mudah untuk memahami dan menemukan siapa atau institusi apa yang sesungguhnya berwenang melakukan kegiatan tersebut. Selain itu, tidak ada penjelasan mengenai koordinasi atau pelaksaan antara Pemerintah Daerah Jawa Timur dengan instansi yang dimaksud.

Hasil kuisioner dan wawancara terhadap responden terpilih

Kuisioner dilakukan terhadap 11 responden terpilih dengan 3 variabel utama yaitu aspek kelembagaan; aspek pemahaman terhadap regulasi perlindungan tanaman; dan aspek pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM) terhadap OPTK dan aturan perdagangan internasional. Penentuan jumlah responden berdasarkan kriteria pemilihan responden. Menurut Rahmat (2009), dalam penelitian kualitatif metode pengambilan sampel dilakukan secara

purposive menggunakan sampel yang sedikit dan sesuai dengan tujuan penelitian. Data hasil kuisioner pada aspek kelembagaan terhadap responden dari BBKP Surabaya, Dinas Pertanian Tingkat I, dan Dinas Pertanian Tingkat II menunjukkan nilai 75%, 78%, dan 79% responden mengetahui materi yang menjadi variabel penilaian (Gambar 1). Sementara itu 25%, 22%, dan 21% responden BBKP Surabaya, Dinas Pertanian Tingkat I dan Dinas Pertanian Tingkat II tidak memahami fungsi kelembagaan pada variabel pertanyaan yang meliputi koordinasi, ada tidaknya petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan, sosialisasi kebijakan dan juga pembinaan dari pejabat yang lebih tinggi atau instansi lain.

(36)

22

Hasil kuisioner pemahaman responden terhadap aspek perlindungan tanaman menunjukkan nilai BBKP Surabaya sebesar 90%, Dinas Pertanian Tingkat I sebesar 58%, dan Dinas pertanian tingkat II sebesar 70% mengetahui berbagai variabel yang ditanyakan (Gambar 2). Variabel pertanyaan yang dilakukan terhadap responden meliputi pemahaman terhadap legislasi dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan perlindungan tanaman di Indonesia, ada atau tidaknya kegiatan pemantauan yang rutin dilaksanakan untuk mengontrol keberadaan atau status OPT/OPTK, dan ada atau tidaknya kegiatan eradikasi terhadap kawasan atau area tertentu dilingkup area tugas dinas/instansi tersebut.

Gambar 4 Pemahaman responden terhadap aspek perlindungan tanaman pada (A: BBKP Surabaya; B: Dinas Pertanian Tk I; C: Dinas Pertanian Tk II) Hasil kuisioner pada aspek pemahaman responden terhadap keberadaaan Karantina Pertanian dan aturan dalam perdagangan internasional yang dilakukan dilingkungan BBKP Surabaya, Dinas Pertanian Tingkat I dan Dinas Pertanian Tingkat II menunjukkan nilai respon 96%, 57% dan 33% responden mengetahui keberadaan Karantina Pertanian. Variabel pertanyaan yang ditujuan meliputi sertifikat kesehatan tumbuhaan yang akan dilalu lintaskan antar kawasan dalam/luar negeri atau sanitary and phytosanitary sertificate (SPS WTO), aturan perdagangan internasional yang tertuang dalam International Standard for Phytosanitary Measures(ISPM), dan daftar hama/penyakit yang ditetapkan oleh Badan Karantina Pertanian. Secara umum, responden pada Dinas Pertanian Tingkat I dan II tidak mengetahui fungsi dan peran karantina terhadap perlindungan tanaman. Dan responden pada Dinas Pertanian tingkat II tidak mengetahui aturan perdagangan internasional yang juga merupakan bagian dari upaya perlindungan tanaman secara internasional.

(37)

23

Gambar 5 Pemahaman responden terhadap karantina dan perdagangan (A: BBKP Surabaya; B: Dinas Pertanian Tk I; C: Dinas Pertanian Tk II)

Pembahasan

Pemerintah Indonesia berupaya memberikan perlindungan terhadap kelestarian sumber daya hayati dengan melakukan ratifikasi terhadap

International Plant Protection Convention (IPPC) dan Plant Protection Agreement for The South East Asia And Pacific Regional melalui Keppres No 45 (1990) dan Keppres No 58 (1992). Implementasi dari ratifikasi kedua ketentuan internasional tersebut juga dituangkan pemerintah melalui pembentukan UU No 12 (1992) dan UU No. 16 (1992). Keduanya menjadi dasar hukum pelaksanaan perlindungan tanaman dari mulai proses budidaya tanaman dilapang hingga perlindungan terhadap masuk/keluar maupun tersebarnya hama dan penyakit tumbuhan di wilayah NKRI.

Kebijakan perlindungan tanaman yang lebih khusus diberikan untuk komoditas hortikultura melalui UU No. 13 (2010). Melalui kebijakan ini, Pemerintah berupaya meningkatkan dan memberdayakan produktifitas hortikultura nasional. Bentuk nyata dari implementasinya adalah upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap investasi asing dan impor komoditas hortikultura yang semakin meningkat tiap tahun (Tabel 5). Namun demikian, pemberlakuan UU No 13 (2010) mendapatkan respon negatif dari dalam dan luar negeri.

Dari dalam negeri, Gabungan Asosiasi Benih Nasional menggugat pelaksanaan Pasal 1003 dan Pasal 131 ayat (2)4 ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2013. Meskipun kemudian hasil sidang MK memutuskan untuk menolak secara keseluruhan gugatan Asosiasi Benih Nasional dengan nomor putusan 20/PUU-XII/2014. Amanat hasil keputusan MK tersebut kepada pemerintah pusat adalah menjaga ketersediaan benih unggul bagi petani hortikultura. Tanggapan negatif dari luar negeri yaitu adanya aduan Amerika

3

Pasal 100 ayat (3) UU No 13 tahun 2010: besarnya penanaman modal asing dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh persen).

4

(38)

24

serikat dalam sidang WTO tahun 2012. Keberatan yang disampaikan oleh Pihak Amerika Serikat terkait pembatasan tempat pemasukan yang tertuang dalam Permentan No 42 (2012) dan Permentan No. 43 (2012) tanpa memberikan alasan ilmiah dalam penetapannya. Hal ini menjadi tanggungjawab pemerintah pusat untuk mengeluarkan kebijakan yang implementatif, tidak berpotensi konflik dan multitafsir bagi semua pihak.

Penetapan tempat pemasukan di dalam negeri juga mendapat respon dari pemerintah daerah yang wilayahnya ditetapkan sebagai tempat pemasukan, seperti Pemda Jawa Timur. Penunjukkan Pelabuhan Tanjung Perak sebagai pintu masuk menimbulkan kekhawatiran akan terganggunya produktivitas dan daya saing komoditas pertanian Jawa Timur. Hal tersebut didasarkan pada besarnya volume komoditas impor produk hortikultura yang masuk melalui wilayah Jawa Timur seperti yang terlihat pada Tabel 5. Sementara Jawa Timur merupakan sentra produksi hortikultura sebagai penghasil Apel, Mangga, Pepaya, Jeruk, Cabai, Tomat, Kentang dan Bawang Merah serta Anggrek yang memasok 30% kebutuhan buah nasional (BKPP Daglu 2010)

Pemda Jawa Timur kemudian mengeluarkan Pergub No 22 (2012)5. Kebijakan tersebut mengatur tentang impor hortikultura ke Jawa Timur yang dapat dilakukan diluar masa panen dan jenis produk hortikultura yang diperbolehkan untuk diimpor adalah yang tidak dihasilkan oleh petani di Jawa Timur. Selain itu, Pemda Jawa Timur juga menambahkan persyaratan tambahan dimana produk tersebut harus berkualitas atau hasil panen baru dari negara asal.

Gubernur Jawa Timur kemudian merevisi kebijakannya melalui Pergub No 2 Tahun 2013 tentang Pengendaian Distribusi Produk Impor di Jawa Timur. Proteksi dari aturan tersebut juga berusaha memberikan perlindungan terhadap petani lokal pasca penetapan Pelabuhan Tanjung Perak sebagai salah satu dari 4 pintu masuk impor impor buah segar dan sayuran buah segar serta umbi lapis segar sesuai aturan Permentan No 42 (2012) dan Permentan No 43 (2012).

Pergub tersebut menjadi dasar hukum dalam pengendalian dan pengawasan produk impor yang masuk ke wilayah Jawa Timur. Melalui kebijakan ini Pemda Jawa Timur berusaha mengendalikan produk impor; menjaga stabilitas harga komoditas lokal; melindungi dan meningkatkan kesejahteraan serta kepentingan petani; perlindungan terhadap masuknya OPT atau OPTK; dan perlindungan terhadap konsumen. Aturan dalam Pergub juga mewajibkan importir menyampaikan surat pernyataan keterangan distribusi produk impor kepada Gubernur melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan.

Kewajiban tersebut harus dilampirkandengan Bill of Lading, Pemberitahuan Impor Barang (PIB), Tanda Daftar Gudang Produk Impor dan Kartu Kendali Gudang Produk Impor. Selain itu, Pemda Jawa Timur mewajibkan importir memiliki gudang penyimpanan yang layak sebelum komoditas mereka

distribusikan.Hal ini untuk menjaga agar komoditas mereka tidak “bocor” di

wilayah Jawa Timur sebelum sampai ke daerah tujuan. Keseluruhan kegiatan tersebut dilakukan dengan membentuk Tim Terpadu Pengawasan Barang Beredar (TPBB) (lampiran 1). Hasil pelaksanaan pengawasan peredaran, monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim dilaporkan kepada Gubernur dan akan dipakai

5

(39)

25 sebagai bahan saran pertimbangan kepada pemerintah pusat dalam hal pemberian Surat Persetujuan Impor (SPI).

Pada kenyataannya, Pergub No 2 (2013) tersebut belum sepenuhnya diimplementasikan. Harini (komunikasi pribadi, 2014) menyebutkan tim TPBB secara rutin melaksanakan kegiatan pengawasan setiap 3 bulan sekali dengan melibatkan karantina pertanian. Tim tersebut dipimpin langsung oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemda Jawa Timur dengan melaporkan hasil kegiatannya setiap 6 bulan sekali kepada Gubernur Jawa Timur. Namun, menurut Tri (komunikasi pribadi, 2014) dan Damaris (komunikasi pribadi, 2014), Dinas Pertanian tidak melakukan kerjasama secara rutin dengan Barantancq.BBKP Surabaya dalam melakukan pengawasan baik terhadap barang beredar maupun terhadap OPT/OPTK.

Pelaksanaan kerjasama yang dilakukan adalah melalui Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) melalui pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan dan Pengendalian Makanan dan Minuman (TKP2MI) yang diketuai oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Jawa Timur. Tim tersebut melakukan operasi pasar terhadap bahan makanan dan minuman kadaluarsa yang dilakukan khususnya menjelang perayaan hari besar keagamanan. Selanjutnya, kerjasama rutin yang dilakukan dengan BBKP Surabaya adalah melalui UPTD Pemasaran dan Sertifikasi Hasil Pertanian yang merupakan unit pelaksana dari Dinas Petanian Provinsi dalam hal sertfikikasi komoditas pertanian yang akan diekspor dan harus memenuhi persyaratan ekspor yang ditetapkan oleh pihak karantina.

Djayadi (komunikasi pribadi, 2014) juga menyebutkan BBKP Surabaya tidak melakukan koordinasi secara formal terkait pelaksanaan pengawasan barang beredar seperti yang tertuang dalam Pergub No. 2 tahun 2013. BBKP Surabaya hanya melaksanakan aturan seperti yang tertuang dalam UU No. 16 (1992) dan peraturan teknis yang menjadi turunannya sperti Permentan No. 09 (2009), Permentan No. 42 (2012), dan Permentan lain yang ditetapkan oleh menteri sebagai prasyarat pemasukan media pembawa OPTK. Apabila tidak ada aturan tambahan yang ditetapkan berdasarkan permentan maka BBKP Surabaya tidak akan melaksanakannya termasuk yang terkait dengan Pergub No. 2 (2013). Akibatnyatidak semua importir melaksanakan amanat pergub tersebut karena memang tidak dipersyaratkan dalam persyaratan administrasi impor yang ditetapkan Barantan melalui Permentan No. 9 tahun 2009.

Hal tersebut sesuai dengan hasil respon yang ditunjukkan responden pada Dinas Pertanian Tingkat I dan II dilingkup Pemda Jawa Timur. Responden pada kedua lingkup dinas tersebut kurang mengetahui fungsi Barantan sebagai bagian dalam sistem perlindungan hortikultura. Ketidaktahuan responden terhadap kebijakan perkarantinaan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat juga ditunjukkan dengan kurangnya tingkat pemahaman responden terhadap kebijakan penetapan OPT/OPTK. Hal tersebut berakibat pada kurangnya kerjasama diantara instansi terkait dalam pelaporan dan penanganan OPT/OPTK serta temuan OPT/OPTK baru yang termasuk dalam kategori A1 (belum ada di Indonesia).

(40)

26

harus tetap berorientasi pada memberikan perlindungan terhadap sumber daya nasional dan bersikap defensive terhadap petani/industri domestik.

Dalam kaitan hal tersebut, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan untuk memperketat impor komoditas pertanian dengan pembatasan pintu masuk untuk impor komoditas tertentu.Salah satu kebijakan pemerintah pusat dalam perlindungan komoditas pertanian tertuang dalam UU No 13 (2010), Permentan No. 42 (2012) dan Permentan No. 43 (2012). Kebijakan tersebut didasarkan pada kekhawatiran akan meningkatnya impor komoditas hortikultura yang mengancam terhadap media pembawa hama/penyakit tumbuhan dan species invasif, mendorong Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan pertanian yang mampu menghambat tingginya impor komoditas pertanian. Dalam hal ini, Pemerintah mengunakan instrumen hambatan non tarif (non tariff barrier) sebagai mekanisme dalam menekan tingginya impor komoditas pertanian.Non tariff barrier

merupakan regulasi, peraturan dan birokrasi yang menunda atau menghalangi perdagangan internasional (Simamora 2007).

Pasca penetapan PL Tanjung Perak (Jawa Timur) sebagai salah satu pintu masuk impor, Pemda Jawa Timur kemudian Pergub No. 2 (2013) tentang Pengendalian Distribusi Produk Impor. Kebijakan tersebut dikeluarkan sebagai langkah antisipatif dan perlindungan terhadap komoditi pertanian lokal. Namun demikian, kebijakan tersebut dinilai menghambat laju investasi dengan adanya penambahan prasyarat impor bagi importir. Disisi lain, penetapan PL Tanjung Perak (Jawa Timur) juga mengamanatkan kepada BBKP Surabaya sebagai unit pelaksana teknis Barantan berdasarkan UU No 16 (1992). Kebijakan impor yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian cq Barantan dan Pemda Jawa Timur sebenarnya merupakan bentuk dukungan terhadap perlindungan hortikultura nasional. Namun demikian, ada beberapa variabel kebijakan yang belum ada diantara kebijakan yang telah ditetapkan tersebut (Tabel 4).

Pemerintah pusat telah menuangkan kebijakan perlindungan tanaman sebagai aspek utama dalam kebijakan pertanian diantaranya melalui UU nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina hewan, ikan, dan tumbuhan serta UU nomor 13 tahun 2010 tentang Hortikultura. Pada kedua undang-undang tersebut juga mengatur tentang kewajiban dilakukannya pemeriksaan terhadap komoditas pertanian yang diimpor dari luar negeri, kewajiban dilakukannya pengawasan, tindakan perlakukan berdasarkan ketentuan SPS, dan perlindungan terhadap area/ kawasan yang menjadi sentra produksi.

Amanat dari kedua kebijakan tersebut juga mewajibkan dilakukannya pembinaan dari instansi yang lebih tinggi kepada instansi dibawahnya maupun terhadap petani maupun pelaku swasta. Namun demikian, diantara beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut, koordinasi dan pembinaan diantara lembaga/instansi terkait ternyata belum diatur secara keseluruhan. Selain itu, kebijakan perlindungan tanaman yang dikeluarkan oleh Pemda Jawa Timur melalui Pergub No 2 Tahun 2013 ternyata belum mengakomodir ketentuan impor yang ditetapkan oleh WTO maupun perlindungan dalam skala yang lebih spesifik terhadap area atau kawasan yang menjadi sentra produksi hortikultura.

Gambar

Gambar  1 Alur operasional MAPP
Tabel 1 Daftar peraturan terkait perlindungan hortikultura ditingkat pusat
Tabel 1 (lanjutan)
Tabel 2 Peraturan Menteri Sebagai Pelaksana Teknis Perlindungan Hortikultura
+7

Referensi

Dokumen terkait

Usia ideal untuk anak-anak belajar piano adalah umur 3-5 tahun dimana anak-anak sejak dini sudah mulai diajarkan untuk menggunakan otak kanan dan kirinya yang dapat menstimulasi

Puji syukur Kehadirat Allah SWT atas karunia yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh

Pemupukan merupakan salah satu usaha untuk memperoleh pertumbuhan tanaman rumput gajah dan leguminosa yang baik apabila pemberian pupuk sesuai dengan dosis dan diberikan

Dari ketentuan Pasal 3 ini, maka khusus untuk tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat tetapi tidak terdaftar dalam ketentuan konversi sebagai tanah yang dapat

Madu yang baik harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI).Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kualitas beberapa sampel

Jika suka, silahkan ubah tulisan yang ada pada jendela dokumentasi ini dengan : Diagram ini menggambarkan hubungan antar paket (model) yang terdapat dalam Use Case View, yaitu Use

Yang dapat mendaftar pada jalur pemenuhan pagu adalah calon peserta didik yang telah mendaftar pada jalur afirmasi, jalur prestasi, dan jalur zonasi namun belum diterima/ di luar

untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara Program Studi Diploma III Manajemen Keuangan, guna meraih