• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Pekerja Sosial Dalam Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial Wanita Tuna Susila Di Panti Sosial Bina Karya Wanita Harapan Mulya Kedoya Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Pekerja Sosial Dalam Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial Wanita Tuna Susila Di Panti Sosial Bina Karya Wanita Harapan Mulya Kedoya Jakarta"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

1

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian E. Metodologi Penelitian F. Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Peranan

1. Pengertian Peranan

2. Tinjauan Sosiologis Tentang Peranan

B. Pekerja Sosial dan Peranan Pekerja Sosial dalam Konteks Wanita Tuna Susila (WTS)

C. Kesejahteraan Sosial

(2)

3. Ruang Lingkup Kesejahteraan Sosial D. Wanita Tuna Susila ( WTS )

1. Pengertian Wanita Tuna Susila

2. Latar Belakang Timbulnya Wanita Tuna Susila

3. Bentuk - bentuk dan Dampak Terhadap Wanita Tuna Susila dan Permasalahannya

4. Pandangan Islam Terhadap Wanita Tuna Susila 5. Penertiban tentang Wanita tuna susila di Indonesia

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Singkat Berdirinya Lembaga

B. Visi dan Misi

C. Pendekatan yang Digunakan

D. Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial dan Jenis Kegiatan E. Struktur Organisasi Panti Sosial Bina Harapan Mulia

F. Personil/Tenaga Pelaksana

G. Jumlah Wanita yang Menjalani Program Rehabilitasi H. Kerja Sama Antar Lembaga

BAB IV HASIL PENELITIAN

(3)

B. Harapan Wanita Tuna Susila terhadap Pekerja Sosial dalam Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial serta rencana Pasca Rehabilitasi di Panti Sosial Bina Harapan Mulya

C. Analisa Data Penelitian

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wanita Tuna Susila (Prositusi) termasuk salah satu penyakit masyarakat karena banyak wanita melakukan perbuatan tersebut sebagai mata pencaharian yaitu menerima bayaran terhadap layanan hubungan badan yang diberikannya kepada langganannya.1

Dewasa ini tampaknya Prositusi marak dilakukan di kota-kota besar pada hiburan malam seperti bar, pojok kota, warung – warung kecil, losmen, hotel café dan tempat-tempat yang menyediakan penjaja cinta, dan mereka ini dikenal dengan istilah Pekerja Seks Komersial (PSK).

Masalah Wanita tuna Susila (Prostitusi) sudah ada sebelum Islam datang pada abad ke tujuh masehi. Dan hingga sekarang pelacuran terdapat pada masyarakat tingkat rendah sampai ke tingkat tinggi dengan berbagai macam cara, mulai daripinggir jalan sampai ke hotel berbintang.

Kenyataan sosial ini diakibatkan antara lain oleh keadaan ekonomi, pergaulan dan pengaruh budaya asing terhadap kehidupan di Indonesia, peranan agama kurang di indahkan, karena jiwa mereka yang kosong terhadap keyakinan agama yang dianutnya.

1

(5)

Ajaran agama membimbing penganutnya kepada kehidupan yang patuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, melakukan kebajikan serta mempunyai akhlak karimah. Seseorang yang mengetahui dan memahami secara luas ajaran-ajaran agama yang dianutnya dan menjalankannya, tentu ia menjadi manusia yang berakhlak terpuji, terhindar dari berbagai perbuatan kemungkaran dan kemaksiatan. Hanya kondisi lingkungan yang tidak baik dapat membelokkan manusia kepada jalan kesesatan yang mengarah kepada prilaku yang tidak baik.

Pelacuran merupakan masalah sosial yang paling kuno dan telah dikenal atau diketahui sejak adanya peradaban manusia. Pelacuran seperti tersebut ternyata masih tetap menjadi masalah social yang hampir selalu diwarnai kehidupan masyarakat modern dewasa ini. Oleh karenanya banyak pandangan pesimis yang mengemukakan bahwa masalah pelacuran ini sulit untuk diberantas atau ditiadakan, meskipun semua agama dan norma masyarakat melarang perbuatan a-susila tersebut.

(6)

bangsa dan negara antara lain gangguan ketertiban, keamanan dan mempengaruhi serta membahayakan kehidupan generasi muda.

Menurut cacatan pada Direktorat Tuna Sosial, Direktorat Jendral Bina Rehabilitasi Sosial, pada tahun 1990 tercatat sekitar 48.931 orang wanita tuna susila (WTS). Jumlah tersebut masih jauh dari perkiraan karena pendtaan dilakukan terbatas pada mereka yang ada di lokalisasi yang biasanya dihuni oleh WTS “kelas bawah”. Pendataan tersebut belum mencakup “kelas menengah” dan apalagi “kelas atas”, mengingat dua kelompok tersebut sulit untuk didata.2

Sementara itu menurut catatan yang ada selama Repelita IV, wanita tuna susila yang telah mendapatkan pelayanan rehabilitasi sosial oleh pemerintah (Departemen Sosial) baru sekitar 5.040 orang atau rata-trata 1.260 orang setiap tahun. Sehingga untuk merehabilitasi 48.931 orang WTS diperlukan waktu kira-kira 36 tahun, dengan asumsi bahwa jumlah WTS tidak bertambah dan upaya penanganannya sama seperti yang dilakukan sekarang.

Upaya penanganan masalah wanita tuna susila tersebut dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui pelayanan rehabilitasi sosial dalam panti yang jumlahnya mancapai 23 buah dan tersebar pada 27 propinsi di Indonesia. Pelayanan rehabilitasi sosial melalui panti dilakukan dengan menggunakan pendekatan profesi pekerjaan sosial, melalui empat kegiatan yakni: rehabilitasi sosial, bimbingan sosial dan ketrampilan, resosialisasi, dan bimbingan lanjut. Keberhasilan pelayanan dalam panti antara lain ditentukan oleh tenaga pelaksana, system rehabilitasi, dan kurikulum

2

(7)

latihan serta sarana (lembaga pelayanan). Selain ditentukan oleh lembaga pelayanan juga banyak dipengaruhi oleh sasaran garapan (penerima pelayanan) yang dalam hal ini adalah WTS. Dari penerima pelayanan factor yang mempengaruhi proses rehabilitasi antara lain adalah kondisi atau karakteristik WTS (klien), harapan-harapannya, dan kebutukan dasarnya sebagai penerima pelayanan.3

Dari beberapa kasus yang ada banyak ditemukan eks penerima pelayanan (WTS) yang kembali lagi ke dunia pelacuran dengan berbagai alasan, antara lain kebutuhan ekonomi yang mendesak, tidak dapat memanfaatkan ketrampilan yang telah diperoleh melalui panti, dan kurangnya penerimaan masyarakat. Diantara mereka ada beberapa yang terjaring kembali oleh Tim Penertiban dan masuk kembali kedalam panti rehabilitasi. Banyak faktor yang mungkin menyebabkan adanya kasus-kasus tersebut, antara lain Peranan Pekerja Sosial dalam merehabilitasi belum sesuai dengan harapan dan belum menjawab kebutuhan penerima pelayanan WTS (klien).

B. Perumusan Masalah

Atas dasar pemikiran di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian serta pengkajian tentang bagaimana Peranan Pekerja sosial dalam Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial Wanita Tuna Susila di Panti Sosial Bina Harapan Mulia, Yang sekaligus menjadi judul Skripsi.

Berdasarkan kenyataan dan asumsi tersebut diatas, guna memperbaiki atau meningkatkan Peranan Pekerja Sosial dalam merehabilitasi (khususnya melalui panti)

(8)

dirasa perlu adanya upaya pengumpulan data, fakta atau informasi yang relevan melalui kegiatan penelitian. Salah satu informasi yang penting adalah tentang Peranan Pekerja Sosial dalam Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial Wanita Tuna Susila di Panti Sosial. Diharapkan melalui kegiatan penelitian ini diperoleh data dan informasi yang akurat sebagai bahan untuk mengajukan saran atau rekomendasi bagi perbaikan atau peningkatan Pekerja Sosial dimaksud.

Berdasarkan berbagai hal tersebut diatas, maka penelitian ini mendasarkan pada beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana Peran Pekerja Sosial dalam Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial Wanita Tuna Susila Di Panti Sosial Bina Harapan Mulia ?

2. Bagaimana harapan Wanita Tuna Susila (WTS) terhadap Pekerja Sosial dalam Program Peningkatan kesejahteraan Sosial di Panti Sosial Bina Harapan Mulia?

3. Apa rencana Wanita Tuna Susila (WTS) tentang pasca rehabilitasi sosial melalui Panti Sosial Bina Harapan Mulia.

4. Apa faktor penghambat dan pendukung dalam Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial di Panti Sosial Bina Harapan Mulia?

C. Tujuan Penelitian

(9)

1. Untuk mendeskripsikan Peran Pekerja Sosial dalam Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial Wanita Tuna Susila yang dilaksanakan oleh Panti Sosial Bina Harapan Mulia.

2. Untuk mengetahui harapan serta kebutuhan Wanita Tuna Susila terhadap Peran Pekerja Sosial dalam Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial. 3. Mengetahui Rencana Wanita Tuna Susila tentang Pasca rehabilitasi Sosial 4. Untuk mengetahui faktor penghambat dan pendukung dalam Program

Peningkatan Kesejahteraan Sosial Wanita Tuna Susila di Panti Sosial Bina Karya Wanita Harapan Mulia.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang penulis lakukan ini diharapkan akan memberi manfaat bagi pihak-pihak terkait.

1. Manfaat Akademik

a. Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka kajian akademis mengenai wanita tuna susila, khususnya dibidang Pengembangan Masyarakat Islam.

b. Secara praktis hasil penelitian yang berisi informasi aktual dan faktual ini selain diharapkan dapat dijadikan penambah hasanah perpustakaan.

2. Manfaat Praktis.

(10)

b. Memberi masukan pada lembaga-lembaga dalam mengimplementasikan kebijakan sehingga tercipta iklim yang kondusif bagi Pekerja Sosial untuk menjalankan peranannya secara efektif dan efisien.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dengan maksud untuk menggambarkan Peran Pekerja Sosial dalam Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial serta harapan dan rencana pasca rehabilitasi. Penelitian ini menggunakan dua macam data, Yakni data Primer dan data Sekunder. Data Primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden atau informan di lapangan. Data Sekunder diperoleh dari catatan-catatan yang berkaitan dengan orang-orang dan perilaku yang diamati.

2. Tekhnik Pengumpulan Data.

Study lapangan (Field Reseach), yaitu penelitian lapangan dengan tekhnik pengumpulan data dengan cara:

a. Study dokumentasi

(11)

b. Wawancara

Yaitu dengan melakukan wawancara mendalam kepada pihak-pihak terkait dengan masalah penelitian ini. Pihak-pihak yang dimaksud adalah Para Pekerja Sosial Fungsional, para Pejabat Struktural, Koordinator Pekerja Sosial maupun beberapa Wanita Tuna Susila yang sedang menjalani program rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Harapan Mulya Kedoya Jakarta Barat.

c. Observasi

Yaitu pengamatan ini dilakukan dengan cara melihat langsung ke lokasi penelitian dengan melihat aktivitas, situasi dan kondisi masyarakat yang peneliti amati.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis membuat sistematika penulisan dalam beberapa bab, yaitu:

Bab I Pendahuluan

(12)

Bab II Tinjauan Pustaka A. Peranan

B. Pekerja Sosial dan Peranan Pekerja Sosial dalam Konteks (WTS) C. Program Kesejahteraan Sosial

D. Wanita Tuna Susila (WTS) Bab III Gambaran Umum Lokasi Penelitian

A. Sejarah Singkat Berdirinya Lembaga B. Visi dan Misi

C. Pendekatan Yang Digunakan

D. Program Kesejahteraan dan Jenis Kegiatan.

E. Struktur Organisasi Panti Sosial Bina Harapan Mulya. F. Personil/Tenaga Pelaksana

G. Jumlah Wanita yang menjalani Program Rehabilitasi H. Kerja sama antar Lembaga

Bab IV Hasil Penelitian

A. Peranan Pekerja Sosial dalam Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial bagi Wanita Tuna Susila

B. Harapan Wanita Tuna Susila terhadap Pekerja Sosial dalam Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial serta Rencana Pasca Rehabilitasi di Panti Sosial Bina Harapan Mulya.

(13)

Bab V Kesimpulan dan Saran

Akhir dari seluruh pembahasan ini akan dikemukakan dua hal, yaitu: A. Kesimpulan

Kesimpulan ini disajikan dalam bentuk kalimat singkat sehingga pembaca mudah memahami apa yang menjadi isi penelitian ini secara ringkas.

B. Saran

(14)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Peranan

1. Pengertian Peranan

Berbicara mengenai peranan, tentu tidak bisa dilepaskan dengan status (kedudukan), walaupun keduanya berbeda, akan tetapi saling berhubungan erat antara satu dengan yang lainnya, peranan diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang berbeda, akan tetapi kelekatannya sangat terasa sekali. Seseorang dikatakan berperan atau memiliki peranan karena dia ( orang tersebut ) mempunyai ( status ) dalam masyarakat, walaupun kedudukannya itu berbeda antara satu dengan orang lain tersebut, akan tetapi masing-masing darinya berperan sesuai dengan statusnya.

Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia peranan adalah: bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.1

Sedangkan grass Massan dan A.W Mc. Eachern sebagaimana dikutip oleh David Berry mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.2 Harapan tersebut masih menurut David Berry, merupakan imbangan dari norma-norma sosial, oleh kerena itu dapat dikatakan peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma di

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 667

2

N. Grass, W.S. Masson and A.W. Mc. Eachern, Explorations Role Analysis, dalam David Berry,

(15)

dalam masyarakat,3 artinya seseorang diwajikan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat di dalam pekerjaannya dan dalam pekerjaan-pekerjaan lainnya.4

Dari penjelasan tersebut di atas terlihat suatu gambaran bahwa yang dimaksud dengan peranan merupakan kewajiban-kewajiban dan keharusan-keharusan yang dilakukan seseorang karena kedudukannya di dalam status tertentu dalam suatu masyarakat atau lingkungan di mana ia berada.

2. Tinjauan Sosiologis tentang Peranan

Di atas telah disinggung bahwa ada hubungan yang erat sekali antara peranan dengan kedudukan, seseorang mempunyai peranan dalam lingkungan sosial dikarenakan ia mempunyai status atau kedudukan dalam lingkungan sosialnya (masyarakat).

Tidak dapat dipungkiri pula bahwasanya manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa melepaskan sikap ketergantungan (dependent) pada makhluk atau manusia lainnya, maka pada posisi semacam inilah, peranan sangat menentukan kelompok sosial masyarakat tersebut, dalam artian diharapkan masing-masing dari hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat (lingkungan) di mana ia bertempat tinggal.

3Ibid 4Ibid,

(16)

Di dalam peranannya sebagaimana dikatakan oleh David Berry terdapat dua macam harapan yaitu: harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peranan dan harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peranan terhadap masyarakat.5

B. Pekerja Sosial dan Peranan Pekerja Sosial dalam Konteks Wanita Tuna

Susila (WTS).

Pekerja Sosial merupakan profesi yang relatif baru di Indonesia, sehingga banyak kalangan masyarakt yang belum paham mengenai tujuan dan manfaat profesi ini. Oleh karenanya ada sebagian pihak yang menyatakan bahwa setiap profesi orang dapat menjadi Pekerja Sosial. Pandangan tersebut berlandaskan pada anggapan bahwa pekerjaan yang dilakukan para Pekerja sosial adalah pekerjaan memberi sesuatu kepada orang lain. Jadi asal ada kemauan dan kesediaan untuk membantu orang, maka akan dapat menjadi Pekerja Sosial. Bagi orang awam, hal ini sah-sah saja. Namun sesungguhnya seseorang dapat disebut Pekerja Sosial apabila memenuhi kriteria tertentu seperti: memiliki kerangka pengetahuan, nilai dan ketrampilan tentang pekerjaan sosial.6

Tercatat ada beberapa ahli terkemuka dibidang pekerjaan sosial seperti: Siporin, Pincus dan Minahan, Friedlander dan Apte, Zastrow, de Gusman, serta

5Ibid,

h. 99

6

(17)

Skidmore dan Thackeray telah memberikan definisi tentang pekerjaan sosial menurut sudut pandang masing-masing.7

1. Siporin, mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai berikut:

“Social work is defined as social institutional method of helping

people to prevent and resolve their social problems, to restore an

enchance their social functioning”.

Pekerjaan sosial, adalah suatu metode institusi sosial untuk membantu orang mencegah dan memecahkan masalah mereka serta untuk memperbaiki dan meningkatkan keberfungsian sosial mereka.

2. Pincus dan Minahan :

“Social work is a concerned with the interactions between people and

their social environment which affect the ability of people to

accompolish their life task, allevioate distress, and realize their

aspirations and values”.

Pekerjaan sosial adalah berkepentingan dengan permasalahan interaksi antara orang dengan lingkungan sosialnya, sehingga mereka mampu melaksanakan tugas-tugas kehidupan, mengurangi ketegangan, mewujudkan aspirasi dan nilai-nilai mereka.

3. Friedlander dan Apte :

“Social work is a professional service, based and scientific knowledge

and skill in human relations, which help individuals, groups, or

7Ibid,

(18)

communities abtain social or personal satisfaction and

independence”.

Pekerjaan sosial merupakan suatu pelayanan profesional, yang prakteknya didasarkan kepada pengetahuan dan ketrampilan ilmiah tentang relasi manusia, sehingga dapat membantu individu, kelompok dan masyarakat mencapai kepuasan pribadi dan sosial serta kebebasan.

4. Zastrow :

“Social work is the professional of helping individuas, group, or

communities to enhance or restore their capacity for social

functioningand to create society conditions favorable to their goals”.

Pekerjaan sosial merupakan kegiatan profesional untuk membantu individu-individu, kelompok-kelompok atau masyarakat guna meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam fungsi serta menciptakan kondisi masyarakat yang menungkinkan mereka mencapai tujuan.

5. Gusman :

“Social work is the profession which is primaly concerned with

organized social service activity animed to facilitate and strengthen

basic relationship in the mutual adjusment between individual, and

their social environment for the good of the individual and society, by

the use of social work menthods”.

(19)

mana kegiatan tersebut bertujuan untuk memberikan fasilitas dan memperkuat relationship, khususnya dalam penyesuaian diri secara timbal balik dan saling menguntungkan antara individu dengan lingkungan sosialnya, sehingga individu maupun masyarakat dapat menjadi baik.

6. Skidmore dan Thackeray :

“Social work seeks to enhance the social functioning of individuals,

singly and groups, by activitiesfocused upon their social relationship

which constitute the interaction between man and his environment”.

Pekerjaan sosial bertujuan untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu-individu, baik secara individual maupun kelompok, di mana kegiatannya difokuskan kepada relasi mereka, khususnya interaksi antara manusia dengan lingkungannya.

Di samping definisi yang dikemukakan para ahli terkemuka di atas, wacana mengenai pekerjaan sosial juga mendapat perhatian luas dari para ilmuwan Indonesia, termasuk di dalamnya para akademisi. Misalnya mendefinisikan tentang pekerjaan sosial sebagai berikut :

(20)

mereka mengatasi kesulitan-kesulitan, serta mewujudkan aspirasi-aspirasi dan nilai-nilai mereka”.8

Pengertian pekerjaan sosial di Indonesia, selengkapnya terdapat di dalam

Buku Panduan Pekerja Sosial yang mengacu pada pasal 2, ayat 3 UU No. 6 / 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial,

Yaitu :

“Pekerjaan sosial, adalah semua ketrampilan tekhnis yang di jadikan wahana bagi usaha kesejahteraan sosial, serta merupakan suatu kegiatan profesional dalam menolong orang, kelompok maupun masyarakat yang menderita atau terancam akan menderita masalah sosial, sedemikian rupa sehingga mereka mampu menolong dirinya sendiri”.9

Ketentuan itulah yang hingga kini dijadikan pedoman bagi para Pekerja Sosial khususnya di lingkungan Depsos (sekarang BKSN) agar para Pekerja Sosial dapat melaksanakan tugasnya secara sistematis, efektif dan efisien.

Seperti telah diketahui seseorang yang menjalankan profesi di bidang pekerajaan sosial adalah Pekerja Sosial atau dikenal dengan istilah asingnya sebagai Social Worker. Meskipun profesi ini belum sepopuler dinegara-negara maju, namun

keberadaannya secara yuridis telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah Indonesia antara lain melaui penerbitan Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor :

8

Soetarso, Praktek Pekerjaan Sosial, (Bandung: Kopma STKS, 1993), h. 5

9

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang, Ketentauan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial,

(21)

11/HUK/1989, tanggal 2 maret 1989 tentang Pendelegasian Wewenang pengangkatan, Pembebasan Sementara, Pemberhentian dan Pengenkatan Jabatan Pekerja Sosial di lingkungan Departemen Sosial.

Sementara itu, definisi Pekerja Sosial menurut Buku Panduan Pekerja Sosial adalah sebagai berikut:

“Pekeraja Sosial adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberikan tugas melaksanakan kegaiatan usaha kesejahteraan sosial secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada lingkup Depertemen Sosial dan Unit Pelayanan Kesejahteraan Sosial pada instansi lainnya berdasarkan kompetensi profesional pekerjaan sosial”.10

Di lingkungan Departemen Sosial (sekarang BKSN), para Pekerja Sosial ini di dalam struktur keorganisasian kedudukannya berada di dalam kelompok Pejabat Fungsional, atau lebih akrab dengan sebutan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial, yaitu:

“Kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak sseorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi untuk melaksanakan usaha kesejahteraan sosial secara penuh dan

10

(22)

mandiri, serta didasarkan pada keahlian dan ketrampilan aprofesional pekerjaan sosial”.11

Mengacu pada definisi tersebut, maka kita dapat mengenali ‘jati diri’ seorang Pekerja Sosial. Pekerja Sosial adalah tenaga profesional yang memiliki dua atribut :

1. Kekuasaan (power) :

Yaitu kemampuan untuk mengendalikan orang lain berdasarkan keahlian dan ketrampilan profesional pekerjaan sosial. Keahlian / ketrampilan ini diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman profesional.

2. Kewenangan (Authority):

Yaitu menunjukkan pada suatu kewenangan, di mana seorang Pekerja Sosial berhak untuk melaksanakan kekuasaannya.

Berbicara tentang Peranan Pekerja Sosial di Indonesia, terutama dalam kehidupan individu, keluarga maupun masyarakat akan membawa kita kedalam diskusi yang panjang. Sosok seorang pekerja Sosial diharapkan oleh masyarakat mampu memainkan peranannya yang lebih besar lagi dari peranan yang selama ini dilakukan, meskipun para ahli pekerjaan sosial telah merumuskan peranan Pekerja Sosial secara ideal.

Zastrow, mengemukakan bahwa dalam rangka membantu atau bekerja dengan

individu, kelompok, keluarga, organisasi-organisasai serta masyarakat, seorang

11Ibid,

(23)

Pekerja Sosial diharapkan memiliki tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang cukup memadai didalam berbagai peranan yang dilakukan.

Adapun peranan Pekerja Sosial dimaksud mencakup 12 macam yang pelaksanaanya dapat dipilih dan disesuaikan, yaitu :

1. Sebagai Enabler (pemungkin).

Peran untuk membantu individu atau kelompok untuk mengartikulasi / menyatakan kebutuhan-kebutuhan mereka, untuk menjelaskan dan mengidentifikasikan masalah mereka, untuk mencari strategi pemecahan masalah, serta memilih dan menerapkan strategi guna mengambangkan kapasitas mereka dalam menangani masalah secara lebih efektif.

2. Sebagai Broker (penghubung)

Peran yang menghubungkan individu-individu dan kelompok yang perlu bantuan (dan yang tidak tahu di mana bantuan tersebut bisa di dapat) dari pelayanan masyarakat.

3. Sebagai Mediator (penengah)

(24)

4. Sebagai Advocate (pembela).

Peran ini diambil dari profesi hukum. Dalam peran ini pembela memberiklan kepemimpinan dalam mengumpulkan informasi, dalam mengargumentasikan kebenaran kebutuhan dan permintaan klien. Hal ini dilakukan apabila seprang klien atau kelompok masyarakat sedang membutuhkan bantuan dan institusi yang ada enggan (atau secara terbuka bersikap negatif dan bermusuhan).

5. Sebagai Activist (aktivis).

Seorang aktivis selalu mencari perubahan institusional; seringkali tujuanya melibatkan perubahan dalam kekuasaan dan sumber daya bagai kelompok yang kurang beruntung. Para aktivis ini peduli dengan ketidak adilan, ketidak merataan, dan kemiskinan sosial dan taktik yang menggunakan biasanya berupa konflik, konfrontasi dan negosiasi.

6. Sebagai initiator (inisiator / pemulai)

Seorang Peksos harus mengetahui potensi masalah dan menunjukkannya terlebih dahulu.

7. Sebagai coordinator (koordinator)

Menyatukan beberapa komponen secara bersama dengan cara yang terorganisir.12

12

(25)

C. Kesejahteraan Sosial

1. Kesejahteraan Sosial

Menurut UU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial terdapat didalam Pasal 2 ayat 1, dan penjelasannya.

Pasal 2, Ayat (1) :

“ Kesejahteraan Soaial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial meteriil maupun yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”.

Penjelasan : Pasal 2 Ayat (1) :

“...bahwa tata kehidupan yang dimaksud disini ialah suatu tata kehidupan setiap orang-seorang, setiap keluarga, setiap golongan atau masyarakat sendiri, dapat ketentraman lahir batin dan setiap orang-seorang mempunyai kemampuan bekerja, dan mengadakan usaha-usaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya baik meteriil maupun sprituil tanpa adanya hambatan-hambatan fisik, mental dan sosial”.13

Kesejahteraan sosial dalam arti luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Taraf kehidupan yang

13

(26)

lebih baik ini tidak hanya diukur secara ekonomi dan fisik belaka, tetapi juga ikut memperhatikan aspek sosial, mental dan segi kehidupan spritual.14

Kesejahteraan sosial merupakan salah satu usaha membantu memecahkan masalah-masalah keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya baik dari segi sosial maupun dari segi ekonomi, serta kesejahteraan sosial berkaitan dengan usaha-usaha kesejahteraan keluarga.

Mengenai kesejahteraan sosial menurut Gertrude Wilson adalah:

“Social Welfare is an organized concern of all people for all people”

(Kesejahteraan sosial merupakan perhatian yang terorganisir dari semua orang untuk semua orang).15

Walter Friedlander mengemukakan rumusan kesejahteraan sosial sebagai berikut:

“Social welfare is the organized system of social services and institutions, designed to aid individulas and group to attain satisfying

standards of life and halth”.

(Kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dari institusi dan pelayanan sosial yang dirancang untuk membantu individu ataupun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan yang lebih memuaskan).16

14

Isbandi Rukiminto Adi, Pemberdayaan, Pengemabangan Masyarakat dan Intervensi Komunikasi,(Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001), h. 24

15

Isbandi Rukminto Adi, Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial Dasar-dasar Pemikiran, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994) Cet. Ke-I, h.3

16Ibid,

(27)

Elizabeth Wickenden mengemukakan kesejahteraan sosial sebagai berikut: “Social Welfare includes those laws, program, benefits and services

which assure of strengthen provisions for meeting social needs

recognized to tehe wellbeing of the population and the better

functioning of the social order”.

(Kesejahteraan sosial termasuk didalamnya adalah peratuaran perundangan, program, tunjangan dan pelayanan yang menjamin atau memperkuat pelayanan untuk memenuhi kebutuhan sosial jyang mendasar dari masyarakat serta menjaga ketentraman dalam masyarakat).17

Pre-conference working committee for the XV tahun International Conference of Social Welfare:

“Social Welfare is all the organized social arrangements which have as their direct and primary objective the well-being of people in social

context. It includes the broad range of policies and service which are

concerned with various aspects of people live-their income, security

health, housing, aducation, recreation, cultural traditions, etc”.

(Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha untk sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasrkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercangkup pula kebijakan dan pelayanan dan terkait dengan berbagai kehidupan dalam maswyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, perumahan, pendidikan, rekreasi, tradisi budaya dan lainnya).18

(28)

Dari keempat definisi diatas, penulis dapat menangkap pengertian bahwa kesejahteraan sosial adalah usaha-usaha manusia yang terorganisir untuk mencapai taraf hiup yang lebih baik, mencangkup urusan ekonomiu, sosial, pendidikan, emosional, fisik, mental, kehidupan spiritual dan yang lainnya.

2. Karakteristik Kesejahteraan Sosial

Menurut Isbandi Rukminto Adi Kesejahteraan Sosial dapat dilihat dari empat sudut pandang yaitu:

a. Kesejahteraan sosial dilihat dari suatu keadaan, yakni suatu tatanan (tat kehidupan) meterial maupun spiritual, dengan tidak menempatkan satu aspek lebih penting dari yang lainnya, tetapi tidak mencoba melihat pada uapaya mendapatkan titik keseimbgangan. Titik keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara aspek jasmaniah dan rohaniah, ataupun keseimbangan antara aspek material dan spiritual.

(29)

makro yang di mana sasaran yang akan diubah adalah organisasi dan masyarakat (baik ditingkat lokal maupun ditingkat yang lebih laus). Kaitannya dengan metode penelitian, ilmu kesejahteraan sosial antara lain mencoba mengembangkan jenis-jenis penelitian yang terdapat dalam ilmu-limu sosial maupun ilmu yang perilaku lainnya yang dapat diaplikasikan dengan upayakan pengembangan layanan yang lebih baik.

c. Kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan, menurut Friedlander (1980) “Kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dari barbagai institusi dan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dirancang guna membantu individu maupun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan”. Ini menggambarkan kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem pelayanan (kegiatan) yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup masyarakat.

d. Kesejahteraan sosial sebagai gerakan keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Didalamnya tercakup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat, seprti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan,perumahan, pendidkan, rekreasi, tradisi budaya dan lainnya.19

19Ibid.

(30)

Dalam Islam juga memiliki prinsip tersendiri untuk memeratakan kesejahteraan manusia. Pertama, bahwa dalam hidup ini manusia agar kenal mengenal dan bantu membantu.20

Sebagaimana Firman Allah SWT:

!" # !$% &'( (

!)" % *+ ,$

- . -. / 0!$% !)"

ﺕ 0!$% 2 / 3

Artinya: “Hai manusia sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa,

bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang

paling mulia diantara kamu dihadapan Allah ialah orang yang paling

bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah mengetahui lagi maha

mengenal”. (QS. Al-Hujarat 49:13).21

% !ﺕ% )% 2 $% ﺙ5$%

/ %

ﺕ $ 6 !,$% 7 $%

/ %

0!$% !)" 0!$%

20

Djamal Doa, Membangun Ekonomi dan Umat Melalui Pengelolaan Zakat Harta, (Jakarta: Nuansa Madani, 2002), h. 151

(31)

8 $% 2(2

9

Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa dan jagan kamu menolong dalam perbutan dosa dan pelanggaran” (QS. Al-Maidah 5:2).

Kedua, Umat Islam diwajibkan memperhatikan dan membantu orang miskin dan orang-orang yang ada dalam kesulitan.22

Firman Allah SWT.

ﺕ $

. !:$% %

.3:;$% 0!<

$% % =%>

% (? ﺕ +7?

9

(+7? ;$% !)"

%

"

%+ @ 07 $ ) A.!B$% )

.C .!B$% )%

Artinya: “Dan berikanlah kepada yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu

menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemborosan itu adalah

saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhan”

(QS. Al-Isra’ 17:26-27).

(32)

Ketiga, Islam selalu mendorong umatnya untuk selalu beramal dan bersedakah.23 Sebagaimana firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 126 yang bertuliskan:

ﺱ E ﺱ F, G!< ; 0!$% . ﺱ H* &$%

) @ ( (?!$%

7 H*

- . / -Eﺱ% 0!$% > B( ;$ I/ J( 0!$% G!< G

G ﺱ

Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan harta mereka dijalankan Allah adalah serupa dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh butir,

pada tiap butir tumbuh seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran)

bagi orang yang dikehendakinya, dan Allah maha luas karunianya dan

maha mengetuhi. (QS. Al-Baqarah 2:261).

3. Ruang Lingkup Kesejahteraan Sosial

Pembangunan kesejahteraan sosial bukan sekedar dalam kaitannya dengan pembangunan yang terkait dengan pekerjaan sosial, karena apa yang dimaksud dengan pembangunan kesejahteraan sosial, dimana kesejahteraan sosial sekurang-kurangnya menurut Spicker yang dilkutip oleh Isbandi Rukminto Adi, mencangkup lima bidang utama yang disebut dengan “big five” yaitu:

a. Bidang kesehatan

(33)

b. Bidang pendidikan c. Bidang perumahan d. Bidang jasmani sosial e. Bidang pekerja sosial.24

Menurut Zastrow yang dikutip oleh Rukminto Adi, menambahkan aspek rekreasional sebagai salah satu yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.25

Jika dilihat dari ruang lingkup kesejahteraan sosial di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa ruang lingkup kesejahteraan sosial mencangkup segala bidang yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk menjamin kehidupan yang lebih baik.

D. Wanita Tuna Susila

1. Pengertian Wanita Tuna Susila

Secara etimologis perkataan Wanita Tuna Susila berasal dari kata “Prostitusi yang berasal dari bahasa Latin Prostituere atau Pro-stauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, pergendakan. Prostitue berarti pelacur atau Sundal”.26 Dan sekarang lebih populer dengan sebutan Pekerja seks komersial.

24

Isbandi Rukminto Adi, Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2002), h.128

25Ibid. 26

(34)

Menurut arti terminologi, Wanita tuna susila (WTS) menurut Soerjono Soekanto adalah : “Suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan seksual dengan mendapatkan upah”.27 Pengertian Wanita tuna susila atau seks komersial menurut Drs. Kartini Kartono adalah : “Pekerja Seks Komersial adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi inpuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (Promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa efeksi sifatnya”.28

Pengertian lain mengenai Wanita tuna susila (WTS) dikemukakan dalam buku Dra. Kartini Kartono yaitu : “Wanita tuna susila adalah wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan, baik dengan imbalana jasa maupun tidak”.29 Masih dalam buku Katini Kartono disebutkan bahwa : “Pelacur adalah mereka yang bisa melakukan hubungan kelamin diluar pernikahan yang syah”.30

27

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengatar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993), cet. Ke- 17, h. 417

28

Kartini Kartono, op. cit., h. 207

29

Ibid, h. 206

30

(35)

Dari beberapa pengertian diatas penulis berpendapat bahwa pelacuran adalah hubungan (kelamin) yang sudah terbiasa (dijadikan profesi atau belum biasa (tidak merupakan profesi) di luar pernikahan yang syah, baik dengan imbalan jasa atau tidak. Pelacur adalah mereka yang melakukan perzinahan. Bagi mereka yang hidup bersuami istri di luar pernikahan (kumpul kebo) hidup menjadi satu berbagi suka dan duka, tetap tingkah laku seks keduanya dianggap pelacuran, karena tidak ada ikatan pernikahan yang syah. Mengenai bentuk-bentuk pelacuran banyak sekali ragamnya, seperti pergundikan, gadis-gadis panggilan dan gadis-gadis bar. Biasanya mereka mempunyai relasi dengan orang-orang yang berpenghasilan tinggi dan bergaya hidup elite bahkan para pejabat pemerintahanpun banyak yang terlibat dalam kasus pelacuran semacam ini. Gadis-gadis panggilan dan gadis-gadis bar banyak juga yang berasal dari mahasiswa atau siswi SMA, dengan alasan mencari uang untuk melanjutkan studinya, hidup mewah dan sebagainya.

Tante-tante yang telah bersuami pun banyak yang melakukan penyelewengan dengan laki-laki lain dengan melakukan hubungan erotik dan seks, dengan latar belakang iseng, mengisi waktu luang, bersenang-senang sebutan “Tante Girang”.

(36)

kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian”.31

Menurut Warouw “Wanita tuna susila sebagai masalah sosial karena wanita tuna susila merugikan keselamatan, ketentraman dan kemakmuran baik jasmani, rohani, maupun sosial dan kehidupan bersama. Dengan demikian wanita tuna susila dipandang dari berbagai sudut merupakan tindak yang sangat merugikan masyarakat.32

Sedangkan menurut Kamus Sosiologi disebutkan bahwa Wanita tuna susila adalah proses memperjual belikan jasa-jasa seksual, yang lazimnya dilakukan oleh wanita, walaupun kemungkinan adanya pelacur pria tetap ada.33

Keberadaan pelacuran ditengah-tengah kehidupan umat manusia bukan lagi merupakan suatu fenomena, melainkan sudah menjadi nomena. Sejak kapan munculnya pelacuran ini sulit ditentukan secara pasti. Namun demikian, ada pendapat yang mengatakan bahwa usia pelacuran sama tuanya dengan usia peradaban manusia itu sendiri. Bahkan ada pula pendapat yang mengatakan lahirnya pelacuran bersamaan dengan lahirnya norma perkawinan.34 Kompleksitas pelacuran terkait dengan berbagai macam aspek yang ada diseputarnya, seperti ekonomi, psikologis dan lain-lain. Pelacuran yang sekaligus merupakan internal sosial didalamnya

31

Katini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: CV Rajawali, 1981), h.209

32

Alam AS, Pelacuran dan Pemasaran, Studi Sosiologi tentang Eksploitasi manusia oleh manusia, (Alumni, Bandung, 1984), h.2

33

Soejono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: CV Rajawali, 1985), h.158

34

(37)

terdapat beberapa pelaku, seperti germo, mucikari, pelacur dan orang yang hubungan seksual dengan pelacur.

2. Latar Belakang Timbulnya Wanita Tuna Susila (WTS)

Berbagai Penyebab timbulnya wanita tuna susila dapat dibagi kepada dua faktor penyebab yaitu: Faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah dorongan-dorongan biologis yang timbul dari dalam diri seseorang yang tidak dapat dikendalikan sehingga ia terjun ke dunia pelacuran, sedangkan faktor eksternal adalah dorongan-dorongan biologis yang dari luar diri seseorang itu sendiri, seperti dari lingkungan keluarga yang miskin atau tertipu oleh bujuk rayu para germo atau yang menjanjikan pekerjaan terhormat, tetapi kenyataannya berfungsi sebagai pelacur. Faktor internal tersebut manurut Dra. Kartini Kartono dapat berupa:

a. Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks b. Dekadensi moral dan agama

c. Adanya kecendrungan untuk melacurkan diri untuk menghindari kesulitasn hidup dan mendapatkan kesenangan dengan jalan pendek.

d. Adanya nafsu-nafsu seks yang abnormal, seperti tidak puasnya melakukan hubungan seks dengan satu pasangan saja.

e. Aspirasi material dan kesenangan yang tinggi pada diri wanita namun malas bekerja

(38)

g. Adanya ambisi-ambisi yang tinggi pada diri wanita untuk mandapatkan status sosial yang tinggi dengan mudah tanpa bekerja berat atau skill khusus.35

Menurut Marzuki Umar Sa’bah ada beberapa penyebab wanita menjadi pelacur, yaitu karena :

a. Hubungan keluarga yang berantakan, terlalu menekan, dan mengalami penyiksaan seksual dalam keluarga.

b. Kegagalan keluarga dalam memfungsikan perannya sebagai pembina nilai-nilai keagamaan atau nilai-nilai-nilai-nilai agama yang dianut tidak memberikan dasar untuk menolak pelacuran.

c. Jauhnya seseorang dari kehidupan normal akibat rendahnya pendidikan yang dimiliki, kemiskinan, dan gambaran jaminan pekerjaan dan masa depan yang tidak jelas.

d. Hasrat berpetualang dan kemudahan meraih uang.

e. Hubungan seks terlalu dini, keterlibatan pada satu pergaulan yang selalu merongrongnya dan mungkin juga dikombinasikan oleh pengaruh obat dan alcohol.

f. Perasaan benci terhadap ayah yang diletupkan dengan cara melacur dari satu pria ke pria lain.

g. Paduan antara kemiskinan, kebodohan, kekerasan dan tekanan penguasa.36

35Ibid,

h. 231-237

36

(39)

Masalah kebutuhan seks atau kebutuhan biologis yang menyebabkan seseorang terjerumus kedalam pelacuran yaitu karena norma-norma agama dan nilai-nilai budaya tidak lagi berperan dalam diri yang bersangkutan, sebagaimana dikemukakan oleh Syani, yaitu :

Seseorang merasakan mana tahan, jika kebutuhan biologis satu ini tidak terpenuhi atau paling tidak terhambat, sehingga manusia akan segera mencari jalan untuk mengatasinya. Dalam mencari jalan ini, jika norma-norma (aturan-aturan) dan nilai-nilai budaya tidak kuat peranannya maka tidak mustahil akan membawa seseorang ke arah penyimpangan-penyimpangan.37

Faktor Eksternal yang menyebabkan timbulnya pekerja seks komersial menurut Dra. Kartini Kartono adalah:

a. Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, serta tidak ada undang-undang yang melarang orang-orang melakukan relasi seks sebelum menikah.

b. Komersialisasi seks, baik di pihak wanita atau oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan seks.

c. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan yang menyebabkan orang lupa segala-galanya.

37

(40)

d. Tertipu rayuan dan bujukan kaum laki-laki atau para calo terutama yang menjanjikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi.

e. Banyaknya stimulasi dalam bentuk: Flm porno, gambar-gambar porno, bacaan-bacaan cabul.

f. Pengalaman-pengalaman traumatis (luka jiwa) dan shock mental; misalnya gagal dalam bercinta, perkawinan di madu, ditipu, suami menyeleweng. g. Ajakan-ajakan teman yang sudah kecanduan obat-obat terlarang (ganja,

minuman keras, morfin, heroin, candu dan lain-lain) banyak yang menjadi pelacur untuk mendapatkan uang membeli obat-obat tersebut.38

Menurut Soejono Soekanto sebab-sebab terjadinya pelacuran haruslah dilihat pada faktor-faktor endogen. Diantara faktor-faktor endogen seperti nafsu kelamin yang besar, sifat malas dan keinginan yang besar untuk hidup mewah. Diantara faktor eksogen yang utama adalah faktor ekonomis, urbanisasi yang teratur, keadaan yang tak memenuhi syarat dan seterusnya.39

Sedangkan Drs. Ma’ruf Asrori menyebutkan banyk faktor yang menyebabkan timbulnya pelacuran, baik yang berasal dasri dalam (endogen) maupun dari luar (eksogen) diri pelakunya, seperti ketidak mampuan mengendalikan nafsu, lemahnya iman dan intelegensia, serta situasi hidup yang tidak menguntungkan merupakan beberapa faktor (endogen) yang bisa mendorong seseorang melakukan pelacuran. Sedangkan faktor eksogen bisa datang dari hampir setiap aspek kehidupan modern

38

Kartini Kartono, Patologi Sosial,Loc. cit

39

(41)

yang tumbuh berkembang tidak atas dasar konsep agama. Diantaranya: trend mode dan make up, pergaulan bebas, film, gambar dan bacaan porno, panti pijat, bar, klub malam dan lain-lain.40

3. Bentuk-bentuk dan dampak terhadap Wanita tuna susila serta

permasalahannya.

Dampak negatif dari pelacuran tersebut bukan hanya merusajk dan merugikan diri si pelaku bukan keluarga serta citra masyarakat sekitarnya, pelacuran akan merusak moral, sendi-sendi hokum dan agama dan sebagainya, diantaranya adalah : Akibat dari pelacuran rusaklah norma-norma susila, moral sendi-sendi hokum dan agama, karena dengan pelacuran kebutuhan dan kenikmatan seks dapat diperoleh dengan mudah dan acak-acakan atau asal-asalan dan tidak bertanggung jawab. Hal ini bertentangan dengan norma perkawinan dan bertentangan dengan adast kebiasaan, norma susila, norma hokum dan agama sehingga rusaklah kehidupan keluarga yang sehat. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur biasanya akan melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga menjadi berantakan.

40

(42)

Pelacuran akn merusak dan mencemarkan lingkungan sekitarnya, merendahkan moral dan susila anak-anak muda remaja yang tidak bisa menyalurkan dorongan dan tenaga seksual pada masa pubertas. Biasanya dari pelacuran tersebut akan berhubungan dengan pemakaian obat-obatan terlarang, ganja dan sebagainya bahkan berhubungan dengan kriminalitas.

(43)

Secara jujur harus diakui bahwa di setiap kota besar di Indoensia terdapat berbagai aktivitas pelacuran dengan segala bentuknya, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun yang dilakukan secara terselebung. Bahkan ada kecenderungan sementara ini bahwa aktivitas pelacuran sudah merebak sampai ke pelosok-pelosok daerah, yang disertai pula dengan kecederungan timbulnya masalah-masalah baru yang juga kompleks.41

Tumbuh dan berkembangnya aktivitas pelacuran dewasa ini seiring dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri, baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Apalagi di dalam kehidupan umat manusia yang berada dalam suasana bordeless world pada era globalisasi dewwasa ini . Semakin terbukanya pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia, tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia sudah menjadi salah satu negara yang termasuk dalam jaringan sindikat pelacuran internasional.42

Praktek pelacuran yang muncul dan ada dalam kehidupan masyarakat mempunyai berbagai bentuk, tipe, golongan. Perbedaan golongan tersebut oleh berbagai batasan, yakni antara lain oleh tinggi rendahnya tarif dan oleh tempat operasi/prakteknya, atau penggabungan keduanya (tarif dan tempat). Alam AS membedakan pelacuran didasarkan pada modus operandi dari WTS, yakni secara

41

Ratusan penduduk desa Padang Pangrapat dan jone (sekitar 300 km selatan Samarinda), Kecamatan Tanah Grogot, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, mangarak tiga wanita yang dicurigai beropeasi sebagai pelacur. Ketiga wanita itu diarak beramai-ramai setelah pakaiannya dilucuti, dan hanya meninggalkan celana dalam dan BH (Kompas, 6 September 1994).

42

(44)

garis besar membedakan lima tipe pelacuran. Tipe-tipe pelacuran tersebut antara lain.43

Secara faktual dapat dikemukakan disini bahwa tumbuh dan berkembangnya aktivitas pelacuran dewasa ini terdiri dari berbagai bentuk, yang antara lain adalah sebagai berikut:

1. pelacuran terselubung

Pelacuran dalam bentuk ini biasa menggunakan tempat-tempat khusus untuk transaksi maupun melakukan hubungan seksual dengan menyalahgunakan fungsi peruntukkan antau tempat-tempat tersebut, sepertyi salon, panti pijat, hotel/penginapan, dan tempat-tempat hiburan santai, seperti discoutique, night club, pub dan lain-lain.

2. Pelacuran panggilan

Pelacuran dalam bentuk ini sebenarnya hampir serupa dengan bentuk yang pertama. Bedanya adalah bahwa pelacuran panggilan ini biasanya dilakukan melalui perantara orang lain, atau bisa juga si pelacur menunggu pesanan melalui telepon. 3. Pelacuran jalanan

Pelacuran dalam bentuk ini biasanya berlangsung di malam hari, dimana si pelacur mangkal di pinggir-pinggir jalan, ditaman-taman, atau di halte-halte sambil menunggu peminat yang menghampirinya,

4. Pelacuran rumah bordir

43

(45)

Dibandingkan dengan bentuk-bentuk pelacuran yang tedahulu, pelacuran dalam bentuk ini sudah dikenal secara luas oleh masyarakat. Pada umumnya pelacuran dalam bentuk rumah bordil ini berupa bangunan (rumah) yang didalamnya terdapat ruang-ruang khusus (bilik) sebagai tempat untuk melakukan hubungan seksual. Bangunan (rumah) ini bisa berada dilingkungan pemukiman atau mengelompok dalam suatu bentuk kompleks atau lokalisasi.44

Dalam penelitian ini pengertian pelacuran terbatas dan dapat digolongkan pada pelacuran tipe jalanan dan rumah bordil. Hal ini mengingat bahwa sampai saat ini tipe-tipe pelacuran lainnya (tipe 1,2) masih sulit untuk di ungkap, dan sulit untuk mengetahui populasinya, karena pada umumnya pelacuran tipe-tipe ini lebih tertutup dan hanya diketahui oleh golongan tertentu saja. Pelacuran dalam penelitian ini adalah wanita yang melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu orang laki-laki diluar nikah, dengan maksud untuk memperoleh imbalan berupa barang atau uang. Khusus dalam penelitian ini adalah pelacur yang sedang mendapatkan pelayanan rehabilitasi sosial dalam panti. Untuk selanjutnya pelacur yang dimaksud dalam penelitian ini disebut Wanita tuna susila (WTS).

Sebenarnya masih ada bentuk-bentuk pelacuran selain bentuk-bentuk pelacuran sebagaimana tersebut diatas. Namun ada kenyataan lain yang terasa begitu memprihatinkan diseputar dunia pelacuran dewasa ini, yaitu timbulnya

44

(46)

kecenderungan dimana pelacuran sudah melibatkan anak-anak dibawah umur, atau yang biasa juga disebut dengan istilah “anak baru gede” (ABG).45 Dalam menjalankan aksinya, pada umumnya mereka menjadikan pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan sebagai tempat untuk melakukan transaksi. Bagi yang awam, kehadiran mereka ditempat-tempat ini seolah-olah seperti pengunjung biasa karena mereka memang membaur diantara para pengunjung biasa. Pelacuran anak dibawah umur merupakan suatu fenomena baru yang kini sudah mulai menampakkan eksistensinya, terutama dikota-kota besar. Di jakarta misalnya, terdapat lokasi tertentu yang dijadikan sebagai tempat pelacuran anak dibawah umur, seperti taman monas dan taman prumpung.

4. Pandangan Agama Islam terhadap Wanita Tuna Susila

Masalah wanita tuna susila bukan masalah yang baru, karena wanita tuna susila (WTS) sudah ada sejak dahulu kala sampai sekarang, dan usaha penanggulangannya telah dilakukan pula dengan berbagai cara, namun pelacuran tersebut tidak kunjung hilang di dunia ini, selagi masih ada nafsu-nafsu seks tidak terkontrol dan terkendali serta penayalurannya tidak pada tempatnya. Walau bagaimanapun juga wanita tuna susila auatu pelacuran bertentangan dengan norma moral, adapt dan agama bahkan melanggar norma Negara bila Negara tersebut melarangnya. Para pekerja seks komersial selalu terkecam dan di kutuk oleh banyak

45

(47)

masyarakat, karena tingkah lakunya yang tidak susila dan dianggap mengotori sakralitas hubungan seks. Namun demikian masih ada masyarakat-masyarakat tertentu yang membolehkan hubungan seksual diluar perkawinan, diantaranya yang dikemukakan oleh Dra. Kartini Kartono yaitu:

Pada masyarakat Eskimo, kelahiran bayi diuar nikah ditolerir oleh masyarakat. Bahkan untuk menghormati tamu-tamu yang terpandang, istri sendiri disuruhnya tidur bersama dengan tamunya dan memberikan palayanan seks seperlunya. Juga pada beberapa kelompok suku di pulau Kei, Flores, Mentawai, system perkawinannya mengijinkan anak-anak gadis mengadakan hubungan kelamin dengan laki-laki sebelum nikah. Bahkan gadis-gadis yang terampil dan “pandai” memberikan pelayanan seks, akan laku terlebih dahulu. Juga masyarakat desa didaerah Banjar Negara, mengijinkan anak-anak laki-laki melakukan relasi seks dengan pelacur atau penari (aledek, tandak) sebagai peristiwa inisiasi menuju kedewasaan yang disebut dengan “Gowokan”.46

Wanita tuna susila adalah profesi yang diperbolehkan oleh kebanyakan Negara-negara Barat. Bahkan diberi perizinan dan lisensi. Hal ini menyebabkan para pekerja seks komersial dianggap salah satu bagian dari kaum pekerja yang mendapat hak-hak pekerja. Adapun Islam, menentang keras profesi ini. Ia tidak memperbolehkan seorang muslimah pun, baik yang merdeka maupun budak memperbolehkan mata pencaharian dengan menjual kehormatan dirinya.

Sebagian masyarakat Jahiliyah dahulu mewajibkan pajak harian atas budak-budak wanita. Mereka harus membajyar kepada tuan-tuannya dengan cara apa saja, yang penting mereka mendapatkan uang itu. Kebanyakan mereka memilih menjual kehormatan dirinya untuk membayar kewajiban itu. Sebagian majikan memaksa

46

(48)

mereka untuk melakukan perzinahan, hanya unutk memperoleh keuntungan duniawi yang hina dan mendapatkan yang kotor lagi murka. Setelah datangnya Islam, ia mengangkat mereka dari lembah kehinaan itu dan tuntunlah firman Allah SWT :

K / % L, ,$ 'MNﺕ )O+ )" > L $% / 3ﺕ .,* % P 3ﺕ $

. '2$% Q .N$%

-.<+ -+ @R ! &P% " 2

0!$% !)5* ! 'P 3(

.

Artinya : “Dan janganlah kalian paksakan budak-budak waita kalian untuk melacur jika mereka menginginkan kesucian, karena kalian mengkehendaki

keuntungan dunia”. (An-Nur : 33)

Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Abdullah bin Ubay, dedengkot kaum munafiq, menghadap Rasulullah SAW. Bersama seorang gadis cantik bernama Mu’adzah. Ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, anak gadis ini adalah salah satu anak-anak yatim si fulan. Tidaklah engkau menyuruhnya berzina sehingga mereka memperoleh sebagian manfaatnya”?”Tidak!” Jawab Rasulullah SAW.

Dengan begitu nabi Muhammad SAW tidak dapat menerima alas an apapun yang mungkin bisa disebut, apakah atas nama kebutuhan, atau keterpakasaan, atau tujuan mulia sekalipun. Yang demikian itu agar masyarakat Islam tetap bersih dan bebas dari kotoran-kotoran yang membinasakan.47

47

(49)

Agama Islam berpandangan mengenai maslah pelacuran (perbuatan zina), bahwa Islam sama sekali tidak membolehkan (haram) atas pelacuran (perbuatan zina), sebab perzinahan dapat merusak keturunan, menyebabkan penyakit kotor, dan sebagainya. Pelacuran adalah perbuatan keji tersebut melalui firman-Nya :

. ﺱ > ﺱ GB< * ) 0!" 7S$% %

ﺕ $

.

Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji suatu jalan yang buruk”. (Q.S Al-Isra 17:32)48

Menurut Syaikh Zainuddin pengarang kitab Fathul Mu’in bahwa “Zina adalah dosa besar yang paling besar setelah pembunuhan, ada dikatakan, zina lebih besar dosanya dari pada pembunuhan”.49

Demikianlah peringatan Allah SWT, tentang dilarangnya perbuatan zina, dan lebih tegas lagi barang siapa melakukan perbuatan zina maka harus di had (dihukum), sesuai dengan firman Allah SWT, dalam Al-Qur’an:

;&

? Tﺕ $ Q2 G

;& 2<% ! % 2 * H %!S$% G. %!S$%

H* -G* +

48

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Gema Risalah Press. 1992), h. 429.

49

(50)

-G@ C ;& %?/ 2&B.$

U$% V .$% 0!$ ) Wﺕ , )" 0!$% (O

. W;$%

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (Q.S. An-Nur 24:2)50

Dari keterangan diatas diperoleh suatu hokum bagi orang yangmelakukan perbuatan zina, apabila pelakunya masih perjaka atau gadis (belum pernah menikah), maka mendapat hukuman seratus kali dera dan diasingkan dari daerahnya selama satu tahun. Tapi bila pelaku perbuatan zina tersebut sudah pernah menikah maka hukumannya dirajam sampai mati.

Secara lebih rinci para Ulama Fikih membagi hukuman bagi pelaku zina kedalam tiga kategori. Pertama, perzina muhsan, yakni pelaku zina yang pernah melakukan hubungan seksual secara halal. Bisa jadi status mereka bersuami dan beristri, bisa pula duda atau janda. Hukuman bagi mereka adalah dirajam sampai mati. Kedua, Pezina ghairu muhasan, yaitu pelaku zina yang belum pernah melakukan hubungan seksual secara sah. Mereka bisa perjaka atau perawan. Hukuman bagi mereka adalah di cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan keluar

50

(51)

daerah selama satu tahun. Ketiga, pezina hamba sahanya, jika hamba sahaya tersebut perempuan dan sudah pernah menikah, maka hukuman hadnya 50 kali cambukan. Sedangkan bagi hamba sahaya yang belum pernah menikah, sebagian Ulama mengatakan dijatuhi hukuman 50 kali cambukan dan sebagian Ulama lainnya berpendapat cukup ta’zir saja.51

Agama Islam dengan tegas memberikan peringatakan dan hukuman terhadap pelakunya. Hal ini dimaksudkan agar menjadi pelajaran terhadap oranglain sehingga tidak terjerumus untuk melakukan perbuatan keji dan munkar tersebut. Dengan demikian hokum agama Islam mengandung 2 (dua) aspek yakni: taraf pencegahan dengan peringatan-peringatannya (prefentif) dan taraf hukuman sehingga pelaku tersebut menjadi sadar (kuratif) bagi hukumannya tidak sampai hukuman mati (seperti rajam atau qisaz).

Demikianlah sikap Islam terhadap perzinahan adalah keras dan tegas, karena memang akibat yang di timbulkan oleh perbuatan zina sangat fatal, baik bagi pribadi pelakunya maupun bagi masyarkat dan lingkungannya. Hal ii tidak lain adalah untuk menjaga kesucian derajat manusia agar tidak terjerumuas kedalam pola tingkah laku binatang yang pada akhirnya akan menghancurkan kebudayaan dan peradaban manusia, sebagai solusinya Islam menggariskan syariat perkawinan, agar manusia menyalurkan hasrat seksualnya secara sah dan bahkan ibadah.

5. Penertiban mengenai Wanita tuna susila di Indonesia

51

(52)

Indikator sederhana dari tumbuh dan berkembangnya Wanita tuna susila dapat disimak dari seringnya pelacuran dijadikan sebagai bahan pemberitaan di berbagai media massa, khususnya media cetak. Bahkan ada laporan hasil investigasi wartawan yang kemudian diterbitkan kedalam suatu bentuk buku yang populer. Selai itu ada beberapa karya ilmiah yang berasal dari laporan hasil penelitian mengenai pelacuran yang digunakan untuk memperoleh gelar akademis.52

Bahkan beberapa waktu yang lalu ada seseorang investor asing dari perancis yang berkeinginan menanamkan modalnya pada bisnis pelacuran di Surabaya dianggap sebagai ladang untuk dunia usaha jasa pramusenggama.

Sisi lain dari dunia pelacuran membuktikan bahwa pelacuran juga dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, meningkatkan karir, memperlancar usaha, atau untuk menjatuhkan orang lain. Tumbuh dan berkembangnya pelacuran ini sebenarnya sering pula dengan berbagai upaya yang dilakukan untuk menanggulanginya, seperti menutup tempat-tempat pelacuran, melokalisasi pelacuran, melakukan pembinaan terhadap pelacuran melalui panti rehabilitasi wanita, melakukan razia pada tempat-tempat tertentu yang biasanya dijadikan sebagai tempat mangkal para pelacur, bahkan ada pula pelacur yang kemudian diproses secara hukum.

Sebagai suatu masalah sosial, pelacuran membutuhkan adanya penanggulangannya, banyak pendapat tentang upaya penanggulangan masalah

52

(53)

pelacuran, yang mana masing-masing mempunyai konsep sesuai dengan pandangannya, seperti misalnya menurut Paul B Horton:

“….. Believe that law enforcement has been really effevtive in controlling prostitution or even that public opinion is solidly behind the effort at control”.53

Menurut Albert Jenner :

“Varios State Laws on prostitution as one of the most direct from discrimination against women. Perhaps more important, women engaged in prostitution might not be so harshly stigmatized and they would be protected by the law”.54

Kedua pendapat tersebut menunjukkan perlunya kontrol sosial masyarakat dan atau dukungan perundang-undangan tentang masalah pelacuran. Di Indonesia berdasarkan kenyataan yang ada hingga kini belum ada perundang-undangan khusus tentang penanggulangan masalah pelacuran. Beberapa ketentuan hukum yang berkaitan dengan pelacuran dan sudah ada dewasa ini belum secara jelas mengatur tentang masalah pelacuran, seperti misalnya pasal 506 KUHP menyebutkan bahwa barang siapa sebagai mucikari (soutener) mangambil untung dari pelacuran perempuan, dihukum kurungan selama-lamanya 3 bulan. Sebagaimana juga pasal-pasal lainnya (KUHP, pasal-pasal 295 dan 296) haya menunjuk pada orang yang mengadakan perbuatan pelacuran, bukan pada pelaku pelacuran tentang

53

Paul B Horton, The Sociology of Social Problem, Appleton century Crofts, Educational Devinition, Meredith Corporation, (New York: 1970), h. 516

54

(54)

penanggulangan masalah pelacuran, atau penanggulangan tentang penanggulangan masalah pelacuran. Departemen Sosial sebagai salah satu unsur pemerintah yang ikut bertanggung jawab dan berupaya menanggulangi masalah pelacuran, sementara ini belum mendasarkan upayanya pada suatu perundang-undangan atau peraturan khusus tentang pelacuran.

Adapun Perda No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pelanggaran Prostitusi, yang mengatur hukuman bagi pekerja seks komersial dan laki-laki hidung belang belum mampu membuat jera jika mereka melakukan pelacuran. Perda ini cenderung kurang berjalan dan tidak adanya ketegasan, baik dari pemerintah daerah maupun dinas yang terkait.

Kalaupun diadakan operasi bersama untuk merazia, belum dapat dikatakan efektif dan selama ini operasi belum menyentuh akar persoalan. Adapun kegiatan penertiban tidak mampu menyentuh atau memberikan sanksi berat kepada mucikari atau organizer tempat-tempat hiburan.

Dengan demikian, kalau kita mengevaluasi kegiatan penertiban selama ini lebih bersifat tidak rutin dan sementara. Bagi pelaku hanya dikenakan sanksi sidang di tempat dan kalau pun ingin bebas bersyarat, dapat membayar denda uang yang besarnya tidak lebih dari Rp 150 ribu/orang.55

Namun demikian, berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini seolah-olah bukan merupakan sebagai suatu penghalang bagi gerak tumbuh dan berkembangnya aktivitas wanita tuna susila (WTS). Oleh karena itu, melalui penelitian ini di coba

55

(55)
(56)

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Singkat Berdirinya Panti

Pelayanan bidang kesejahteraan social merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Setelah Indonesia dilanda badai krisis moneter sejak tahuan 1998, beban Pemerintah Propinsi DKI Jakarta semakin berat dirasakan, sebagai ibukota Negara dan barometer perekonomian bangsa, Jakarta menjadi tujuan utama warga masyarakat dari daerah dan propinsi lain mencoba mengadu nasib. Sebahagian basar warga masyarakat pendatang tersebut, tidak mempunya bekal ketrampilan kerja dan pendidikan yang memadai, sehingga tidak mampu bersaing dalam memasuki lapangan kerja. Pada akhirnya mereka menambah beban ibukota yang sudah padat dan menjadi penyandang masalah kesejahteraan social. Salah satu diantara mereka adalah wanita tuna susila.

(57)

Panti tersebut beroperasi mulai bulan Januari 2002 (sesuai SK. Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 3622 / 2001 ).56

Panti Sosial Bina Karya Wanita Harapan Mulia Kedoya memiliki Dasar Hukum sesuai dengan ;

1. (Perda No. 3 tahun 2001 tentang bentuk Susunan Organisasi dan Tata kerja Perangkat daerah dan Sekretariat DPRD Propinsi DKI Jakarta).

2. (SK gubernur No. 41 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Binas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial Propinsi DKI Jakarta).

3. (Keputusan Gubernur 163 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja UPT di lingkungan Dinas Bintal & Kesos Prop. DKI Jakarta). Panti Sosial Bina Karya Wanita Harapan Mulia Kedoya (PSBKWHMK) memiliki luas bangunan 24678 M2, dengan harga per M2 Rp. 2.000.000,-/ M2. Yang terdiri dari Bangunan Gedung Kantor dan AULA seluas 360 M2, 2 (dua) lantai. Bangunan Gedung Workshop seluas 260 M2. Bangunan Gedung Poliklinik seluas 168 M2. Bangunan Gedung Identifikasi seluas 195 M2. Bangunan Gedung Asrama seluas 448 M2, 3 (tiga) Wisma / 2 (dua) lantai. Bangunan Gedung Pos Jaga seluas 20 M2. Bangunan Gedung Mushola seluas 100 M2. Bangunan Gedung Dapur seluas 260 M2. Bangunan Rumah Dinas seluas 108 M2, 2 (dua) Kopel.57

56

Buku Panduan Panti Sosial Bina Karya Wanita “HARAPAN MULYA”, Oktober 2006.

57

(58)

B. Visi dan Misi

Visinya; Terentasnya warga binaan social panti dalam kehidupan yang lebih layak, manusiawi, produktif dan mandiri.

Misinya;

1. Menyelenggarakan pelayanan resosialisasi dalam rangka menumbuhkan kemauan dan kemampuan WBS (warga binaan social) untuk kembali dalam kehidupan bermaswyarakat secara normative. 2. Menyelenggarakan bimbingan pelatihan ketrampilan dalam rangka

memulihkan dan mewujudkan productivitas menuju kemandirian. 3. Menyelenggarakan penyaluran dan bina lanjut.

4. Menjalin keterpaduan, koordinasi dan kerja sama lintas sector dalam pelayanan resosialisasi. 58

C. Pendekatan yang Digunakan

Pendekatan yang digunakan oleh Panti Sosial Bina Karya Wanita Harapan Mulya Kedoya, yaitu dengan menggunakan pendekatan Persuasif, dalam melakukan rehabilitasi kepada Warga Binaan Sosial (WBS).

D. Program Kesejahteraan Sosial dan Jenis Kegiatan

Dalam rangka memperjuangkan visi dan misinya, maka Panti Sosial Bina Karya Wanita Harapan Mulya menetapkan program dan kegiatan sebagai berikut:

58

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan perhitungan, data hasil penelitian menunjukan: 1 terdapat perbedaan pengaruh strategi pembelajaran discovery learning plus diskusi dan plus cerarnah terhadap hasil

Hasil penelitian menunjukan bahwa R² sebesar 838, hal ini menunjukan besarnya sumbangan/proposi jumlah produksi dan biaya produksi tomat apel terhadap variasi naik

Sampai batas akhir pemasukan/pengunduhan dokumen penawaran pada tanggal 14 Juni 2012 pukul 10.00 WIB yang memasukan /mengunduh file dokumen penawaran sebanyak 6

Dalam komik diceritakan keseharian Dika saat di Adelaide, yang memiliki cerita sama pula dengan novel Kambing Jantan, tidak membuat komik menjadi membosankan

Dari intepretasi memang diketahui bahwa tempat yang memiliki nilai porositas besar tersebut merupakan bright spot yang merupakan salah satu ciri-ciri adanya

Eysenck (Mischel, 1993) mengatakan bahwa orang yang bertipe kepribadian introvert tidak banyak bicara, mawas diri, memiliki rencana sebelum melakukan sesuatu, tidak percaya

Nilai faktor rangkak pada setiap benda uji dimensi 18/18 TL, 36/18 TL, 54/18 TL, 18/18 S, 18/36 S dan 18/54 S mempunyai nilai tidak sama pada setiap tingkat pembebanannya,

Data antropometri ibu hamil meliputi berat badan sebelum dan selama kehamilan, tinggi badan, lingkar pinggang, lingkar pinggul, LLA, dan tinggi fundus.. Berat badan sebelum