RUMAH SAKIT BADAN LAYANAN UMUM DI SURAKARTA
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga
Minat Utama : Pendidikan Profesi Kesehatan
Shobari S 540908029
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
ii
Disusun oleh :
Shobari S540908029
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I : Prof. Dr.dr.H.A.A.Subijanto, MS ... NIP : 194811071973101003
Pembimbing II : Dr. Nunuk Suryani, M.Pd ... NIP : 196611081990032001
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga
iii
Disusun oleh :
Shobari
S540908029
Telah disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua merangkap anggota Prof.Dr.Didik Tamtomo,dr,PAK,MM,M.Kes NIP 194803131976101001 ... Sekretaris merangkap anggota
Prof.Dr.Ambar Mudigdo,dr.,Sp.PA (K) NIP: 194903171976091001
...
Anggota
Penguji
1. Prof. Dr. dr. H.A.A. Subiyanto, MS NIP : 194811071973101003
...
2. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd NIP: 196611081990032001 ... Mengetahui, Direktur Program Pascasarjana Ketua
Program Studi Magister Kedokteran Keluarga
Prof. Drs.Suranto, M.Sc., Ph.D NIP: 195708201985031004
iv N a m a : Shobari
NIM : S 540908029
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis dengan judul PengaruhPreferensiGaya
Kepemimpinan Dan Iklim Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Pada Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit Badan Layanan Umum Di Surakarta adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sangsi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya pe-roleh dari tesis
tersebut.
Surakarta, 5 Februari 2010
Yang membuat pernyataan
v
Di Surakarta . Tesis. Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh preferensi gaya kepe-mimpinan dan iklim kerja terhadap kinerja pegawai pada Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Badan Layanan Umum di Surakarta.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif korelasional dengan pendekatan potong lintang (Cross sectional), Populasi Sasaran adalah semua pegawai pada Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Badan Layanan Umum di Surakarta, Populasi Sumber adalah semua pegawai Instalasi Gawat Darurat BLUD Dr. Moewardi Surakarta. Tehnik pengambilan sampel secara exhaustive sampling Pengukuran preferensi gaya kepemimpinan, iklim kerja dan kinerja menggunakan kuesioner. Pengolahan data untuk menguji hipotesis menggunakan tehnik regresi logistik ganda dengan dummy variable.menggunakan bantuan SPSS versi 17.
Hasil penghitungan pada regresi logistik ganda dengan dummy variable , n 60, -2log likelihood 78,48, nagelkerke R square 21,8%. Preferensi gaya kepemimpinan demokratis dengan gaya kepemimpinan otoriter memiliki OR:3,7; p 0,03. Preferensi gaya kepemimpinan laissez faire dengan gaya kepemimpinan otoriter OR 0,3; p: 0,08. Iklim kerja kondusif dengan iklim kerja non kondusif OR: 4,1; p:0,04
vi
Against Climate Employee Performance Installation in Hospital Emergency Public Service Board in Surakarta. Thesis. Master Study Program Main Interest in Family Medicine University of Health Professions Education in Sebelas Maret Surakarta.
This study aims to determine the influence of leadership style preferences and work climate on employee performance in the Installation Hospital Emergency Public Service Board in Surakarta.
Kind of research is descriptive quantitative research korelasional sectional approach (Cross sectional), Target population is all employees in the Installation Hospital Emergency Public Service Board in Surakarta, Population Source is all employees of the Emergency Installation Dr. BLUD. Moewardi Surakarta. Sampling techniques are exhaustive sampling. Measurement of leadership style preferences and performance work climate using a questionnaire. Processing of data to test hypothesis using multiple logistic regression using SPSS version 17.
The results of multiple logistic regression calculations with dummy variables, n 60, -2log possibility 78.48, nagelkerke R square 21.8%. Democratic leadership style preferences to have an authoritarian leadership style OR: 3,7 p: 0,03. Preferences laissez faire leadership style with an authoritarian leadership style OR: 0,3; p: 0,08. Working climate conducive to non-conducive work climate OR: 4,1; p: 0,04.
vii
Puji syukur Alhamdulillah di panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah, sehingga telah dapat terselesaikan tesis yang berju-dul “ Pengaruh Preferensi
Gaya Kepemimpinan dan Iklim Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Pada Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit Badan Layanan Umum Di Surakarta”.
Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat magister
program studi kedokteran keluarga minat utama pendidikan profesi kese-hatan
. Tanpa bimbingan dan arahan dari berbagai pihak kiranya tesis ini tidak akan
terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu ucapan terima kasih di sampaikan kepada:
1. Prof.Dr.Much.Syamsulhadi,Sp.KJ(K), Rektor Universitas Sebelas Maret Sura-karta.
2. Prof. Drs.Suranto, M.Sc.Ph.D.Direktur Pascasarjana Universitas Sebelas Ma-ret
Surakarta.
3. Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr., PAK, MM, M.Kes. Ketua Program Studi Ma-gister
Kedokteran Keluarga dan Ketua Tim Penguji.
4. Prof. Dr. Ambar Mudigdo, dr., Sp.PA(K) Sekretaris Tim Penguji.
5. Prof. Dr.dr.H.A.A.Subiyanto, MS. Pembimbing I.
6. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd. pembimbing II
7. Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, MSc, PhD. yang telah memberikan banyak bimbingan
serta memberikan dorongan dalam menyusun tesis.
8. Direktur dan Kepala Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
9. Teman-teman seangkatan, isteri dan anak-anak yang telah menginspirasi dan
viii
Di sadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, maka di harapkan saran dan
kritik dari pembaca.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Surakarta, Februari 2010
Penulis
ix
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... ... 1
B. Rumusan Masalah ... ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
BAB II STUDI PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Studi Pustaka ... 6
B. Landasan Teori ... 8
1. Kepemimpinan ... 8
2. Iklim Kerja ... 31
3. Kinerja ... 33
4. Gawat Darurat ... 38
C. Kerangka Pikir ... 39
D. Hipotesis ... 40
x
C. Populasi ... 41
D. Sampel ... 41
E. Variabel Penelitian ... 42
F. Definisi Operasional Variabel ... 42
G. Instrumen Penelitian ... 43
H. Prosedur Penelitian ... 43
I. Analisis Data ... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Subyek Penelitian ………..………… 45
B. Pengujian Hipótesis ……… 47
C. Pembahasan ... 48
1. Analisis Deskripsi Subyek Penelitian ... 48
2. Alalisis Deskripsi Variabel Penelitian ... 51
D. Keterbatasan Penelitian ... 56
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 58
B. Implikasi ... 58
B. Saran ... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 61
xi
Tabel 3.1 : Kisi-kisi instrumen penelitian ... 43
Tabel 4.1. : Karakteristik Umur dan Masa Kerja Subyek Penelitian ... 46
Tabel 4.2. : Frekuensi Jenis Kelamin dan Pendidikan Subyek Penelitian ... 46
Tabel 4.3. : Hasil analisis regresi logistik ganda tentang pengaruh preferensi
gaya kepemimpinan dan iklim kerja terhadap kinerja ... 46
xii
xiii
Lampiran 1 : Surat permohonan menjadi subyek penelitian
Lampiran 2 : Lembar persetujuan menjadi subyek penelitian
Lampiran 3 : Kuesioner
Lampiran 4 : Data primer uji validitas dan reliabilitas kuesioner.
Lampiran 5 : Analisis uji coba kuesioner.
Lampiran 6 : Data primer kuesioner
Lampiran 7 : Analisis data
Lampiran 8 : Permohonan Ijin Penelitian.
Lampiran 9 : Pengantar Penelitian.
Lampiran 10 : Surat Keterangan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Visi Indonesia sehat 2010 yang telah digariskan di dalam paradigma sehat
adalah suatu proyeksi tentang keadaan masyarakat, bangsa dan negara yang akan
datang yang ditandai oleh mayoritas penduduknya hidup dalam lingkungan dan
perilaku sehat, memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan yang
bermutu secara adil dan merata serta berada dalam derajat kesehatan yang optimal
di seluruh pelosok tanah air (Depkes RI, 2003).
Kesehatan yang optimal bagi setiap individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat merupakan tujuan dari upaya mewujudkan derajat kesehatan yang lebih
menekankan pada upaya promotif untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan,
preventif sebagai upaya pencegahan terhadap berbagai gangguan kesehatan dengan
tidak melupakan upaya kuratif sebagai upaya pengobatan serta rehabilitatif yang
merupakan pemulihan bagi yang sedang menderita penyakit maupun dalam kondisi
pemulihan terhadap penyakit. Senada dengan pendapat ini juga disampaikan oleh
Azwar dalam tesis (Soenartono, 2003).
Pada pelayanan di rumah sakit diperlukan sarana, prasarana, Instalasi Gawat
Darurat, High Care Unit, Intensive Care Unit, kamar jenazah, unit-unit penunjang
seperti radiologi, laboratorium klinik, farmasi, gizi, ruang rawat inap dan lain-lain
(Depkes RI, 2005).
Instalasi Gawat Darurat adalah suatu tempat/unit di rumah sakit yang
memiliki tim kerja dengan kemampuan khusus dan peralatan yang memberikan
pelayanan pasien gawat darurat dan merupakan bagian dari rangkaian upaya
Dalam kehidupan organisasi, termasuk didalamnya instalasi gawat darurat,
masing-masing anggota organisasi mempunyai peranan yang berbeda-beda. Untuk
mencapai tujuan anggota kelompok mempunyai sumbangan yang berbeda-beda.
Demikian juga kepemimpinan yang muncul sebagai akibat interaksi dalam
kehidupan organisasi, karena kelebihan-kelebihan dan sumbangannya dia diangkat
peranannya sebagai pemimpin. Sejauh seseorang dipandang oleh anggota-anggota
lain sebagai sumber yang dapat memberikan sumbangan yang tidak dapat diabaikan,
ia akan diangkat dan diakui sebagai pemimpin (Santosa, 2008: 5).
Di dalam suatu organisasi atau unit usaha baik itu formal atau informal,
selalu membutuhkan seorang pemimpin yang dapat memberikan semangat kepada
bawahannya untuk senantiasa produktif sebab keberadaan seorang pemimpin dalam
suatu organisasi dirasakan sangat mutlak bagaikan nahkoda bagi para bawahannya.
Keberhasilan seorang pemimpin ditentukan kemampuan pribadi pemimpin
(Santosa, 2008: 9).
Banyak ragam kepemimpinan, ada kepemimpinan adat, kepemimpinan
agama, kepemimpinan politik, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dalam
kepemimpinan ini menyangkut organisasi pemerintahan dalam hal ini Instalasi
Gawat Darurat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang didalamnya akan terlibat
orang-orang sebagai pejabat yang dibebani tugas-tugas pemerintahan, metoda atau
sistem dan pola kebijaksanaan tertentu (Santosa, 2008 :7).
Seorang pemimpin yang ideal akan mampu memperhatikan bawahannya
dan juga memperhatikan hasilnya (Santosa, 2008:35).
Karena itu pemimpin dituntut oleh organisasi untuk bisa fleksibel dalam
menggunakan gaya kepemimpinan yang tepat. Semangat kerja karyawan akan
muncul di antaranya dari adanya kepemimpinan yang diterapkan seorang pemimpin
dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara maksimal, sehingga pemimpin
bawahannya (Sulistiyani, 2008).
Pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang mampu
membang-kitkan semangat kerja dan menanamkan rasa percaya diri serta tanggung jawab pada
bawahan untuk melaksanakan tugas-tugas penuh tanggung jawab guna men-capai
tujuan organisasi.
Indikator kinerja pegawai dapat diukur dengan hasil yang dapat dicapai
oleh organisasi (Siswaji, 2007).
Penulis membandingkan kinerja pada dua kurun waktu didapat perbe-daan
yang signifikan. Kunjungan pasien di Instalasi Gawat Darurat pada tahun 2007
sebanyak 24.231 kunjungan, pada tahun 2008 sebanyak 27.654 kunjungan.
Response time pada tahun 2007 yang dilayani dalam 5 menit sebanyak 70 % dari
jumlah kunjungan, sedang pada tahun 2008 response time memendek, yaitu
penerimaan dalam 2 menit sebanyak 89 %. (Kinerja RSDM, 2008).
Deat On Arrival pada tahun 2007 mencapai 3 % dari jumlah kunjungan,
sedang tahun 2008 sebanyak 1,2 % dari jumlah kunjungan. Angka kematian di
Instalasi Gawat Darurat pada tahun 2007 sebanyak 3,9 %, tahun 2008 sebanyak 2,8
% (Kinerja RSDM, 2008)
Berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan diatas dan berdasarkan penelitian
terdahulu yang menyimpulkan bahwa faktor gaya kepemimpinan memberikan
kontribusi yang relatif besar dan sangat signifikan terhadap peningkatan kinerja
pegawai pada organisasi (Tampubolon, 2008), lalu bagaimana yang terjadi pada
instalasi gawat darurat sehingga mendorong peneliti mengangkat judul: “
Penga-ruh Preferensi Gaya Kepemimpinan dan Iklim Kerja dan pengaPenga-ruhnya terhadap
kinerja pegawai pada Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Badan Layanan Umum
di Surakarta”
Adakah pengaruh preferensi gaya kepemimpinan dan iklim kerja terhadap
kinerja pegawai pada Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Badan Layanan Umum
di Surakarta?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh
pre-ferensi gaya kepemimpinan dan iklim kerja terhadap kinerja pegawai pada
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Badan Layanan Umum di Suirakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisis preferensi gaya kepemimpinan kepala Instalasi
Gawat Darurat Rumah Sakit Badan Layanan Umum di Surakarta.
b. Untuk menganalisis iklim kerja pada Instalasi Gawat Darurat Rumah
Sakit Badan Layanan Umum di Surakarta.
c. Untuk menganalisis kinerja petugas Instalasi Gawat Darurat Rumah
Sakit Badan Layanan Umum di Surakarta.
d. Untuk menganalisis pengaruh antara preferensi gaya kepemimpinan,
iklim kerja terhadap kinerga pegawai pada Instalasi Gawat Darurat
Ru-mah Sakit Badan Layanan Umum di Surakarta.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis
a. Sebagai sumbangan informasi bagi pelayanan kesehatan khususnya
Rumah Sakit Badan Layanan Umum agar dapat digunakan sebagai usa-ha
dalam peningkatan program kualitas pelayanan kesehatan khususnya di
Instalasi Gawat Darurat.
Direktur Rumah Sakit Badan Layanan Umum saat merekomendasikan
kebutuhan kepala Instalasi Gawat Darurat.
c. Sebagai bahan masukan bagi pegawai yang menjadi ujung tombak
pela-yanan kesehatan agar dijadikan sebagai modal untuk peningkatan mutu
pelayanan keperawatan di Instalasi Gawat Darurat.
2. Manfaat teoritis
Mengembangkan konsep dan kajian yang lebih mendalam tentang
peningkatan kualitas kepemimpinan pegawai di Instalasi Gawat Darurat
sehingga diharapkan dapat menjadi dasar dan pendorong dilakukannya
penelitian yang sejenis tentang masalah ini dimasa yang akan datang.
BAB II
STUDI PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
A. Studi Pustaka
Penelitian yang berhubungan dengan kepemimpinan telah banyak di
lakukan, namun demikian penelitian dan informasi yang berhubungan kinerja
pegawai Instalasi gawat darurat pada rumah sakit badan layanan umum masih
terbatas.
Menurut penelitian Tampubolon (2008) yang mengambil judul analisis
faktor gaya kepemimpinan dan faktor etos kerja terhadap kinerja pegawai
pa-da organisasi yang telah menerapkan SNI 19-9001-2001 menyimpulkan
bah-wa: Faktor gaya kepemimpinan memberikan kontribusi yang relatif besar dan
sangat signifikan terhadap peningkatan kinerja pegawai pada organisasi dan
menyarankan bahwa program pengembangan organisasi ke depan harus lebih
diarahkan pada pengembangan gaya kepemimpinan. Faktor etos kerja
mem-berikan kontribusi yang relatif kecil namun masih signifikan dijadikan sebagai
indikator yang mempengaruhi kinerja pegawai pada organisasi.
Menurut penelitian Suraya (2007) yang telah meneliti tentang
hubu-ngan antara gaya kepemimpinan dan iklim kerja dehubu-ngan komitmen organisasi
dokter spesialis mitra rumah sakit PKU Muhammadiyah Surakarta. Pada
tesis-nya menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan positif signifikan antara
gaya kepemimpinan dengan komitmen, tetapi ada hubungan positif signifikan
antara iklim kerja dengan komitmen.
Menurut penelitian Fadli (2009) yang telah meneliti tentang pengaruh
Medan. Pada tesisnya menyimpulkan bahwa, Gaya kepemimpinan
berpenga-ruh positif terhadap kinerja karyawan. Pengaberpenga-ruh yang positif ini
menunjuk-kan adanya pengaruh yang searah antara gaya kepemimpinan dengan kinerja
karyawan atau dengan kata lain gaya kepemimpinan baik maka kinerja
karya-wan tinggi. Gaya kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap kinerja
kar-yawan. Pengaruh yang signifikan ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan
berpengaruh nyata (berarti) terhadap kinerja karyawan.
Penelitian yang lain oleh Fikri (2009) dengan judul Pengaruh Gaya
Kepemimpinan Camat Terhadap Motivasi Kerja Perangkat Kecamatan Bandar
Sribhawono Kabupaten Lampung Timur. Berdasarkan hasil perhitungan
bah-wa gaya kepemimpinan yang paling tinggi diterapkan oleh Camat Bandar
Sri-bhawono adalah gaya kepemimpinan Participating 61,1% sedangkan gaya
yang paling rendah diterapkan Camat Bandar Sribhawono adalah gaya Telling
sebesar 45 %. Tingkat motivasi kerja perangkat kecamatan Bandar
Sribhawo-no yang dapat dijelaskan bahwa 3,1% pegawai berada pada kategori tinggi,
50% pegawai berada pada kategori sedang 46,9% pegawai berada pada
kate-gori rendah.
Dari hasil penelitian tersebut diatas dapat diidentifikasi perbedaan
va-riabel yang diteliti, metodologi, instrument serta hasilnya. Berdasarkan
perbe-daan diatas cukup untuk menegaskan bahwa penelitian yang saya lakukan
ti-dak duplikasi dan replikasi bahkan merupakan pelengkap dari penelitian yang
B. Landasan Teori 1. Kepemimpinan
Kepemimpinan hingga saat ini belum di temukan sebuah definisi
yang sempurna dan mewakili pengertian kepemimpinan secara
menyelu-ruh. Definisi kepemimpinan yang dikemukakan para ahli, dan
masing-ma-sing memiliki tekanan serta sudut pandang yang berbeda. Bertolak dari
fe-nomena ini maka tidak ada satu definisi yang disepakati bersama,
mengi-ngat adanya variasi dalam penekanan dan sudut pandang tersebut (Habsari,
2008).
Secara teoritis kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting
dalam manajerial, karena proses kepemimpinan maka proses manajemen
akan berjalan dengan baik dan pegawai akan bergairah dalam melakukan
tugasnya (Hasibuan, 1996).
Definisi kepemimpinan ditunjukkan oleh adanya sudut pandang
para ahli yang berbeda. Adapun beberapa contoh definisi yang
dikemuka-kan oleh para ahli kepemimpinan dapat diketengahdikemuka-kan di sini adalah
(As‟ad, 1986 dalam Sulistiyani, 2008):
a. Kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang agar
supaya bekerja dengan ikhlas untuk mencapai tujuan bersama (Terry,
1954 dalam Sulistiyani, 2008).
b. Kepemimpinan merupakan suatu proses atau tindakan untuk
mem-pengaruhi aktivitas suatu kelompok organisasi dalam usahanya untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan (Stogdill, 1977 dalam
c. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain menca-
pai tujuan yang sudah ditentukan dengan penuh semangat (Davis,
1977 dalam Sulistiyani, 2008).
d. Kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang untuk lebih
berusaha mengarahkan tenaga dalam tugasnya, atau merubah tingkah
laku mereka (Wexley & Yukl, 1977 dalam Sulistiyani, 2008).
e. Kepemimpinan adalah suatu seni atau proses mempengaruhi
sekelom-pok orang sehingga mereka mau bekerja dengan sungguh-sungguh
un-tuk meraih tujuan kelompok (H. Koontz dan O‟Donnel, 1982 dalam
Sulistiyani, 2008).
f. Kepemimpinan merupakan kemampuan memperoleh konsensus dan
keikatan pada sasaran bersama melampaui syarat-syarat organisasi,
yang dicapai dengan pengalaman, sumbangan dan kepuasan di pihak
kelompok kerja (Cribbin, 1982 dalam Sulistiyani, 2008).
g. Kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi
diantara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan peruba
han nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya (Rost, 1993 dalam
Sulistiyani, 2008).
Pemimpin yang profesional itu sebenarnya adalah pimpinan yang
mengutamakan tercapainya tujuan organisasi dengan tidak merugikan dan
mengabaikan kepentingan orang lain, berfikiran dan bekerja yang benar
sesuai dengan peraturan yang berlaku diberbagai lingkungan dan
Inti dari kepemimpinan adalah human relation atau hubungan
antar manusia sehingga kepemimpinan dalam manajemen kepegawaian
merupakan salah satu bagian yang penting dalam organisasi dan
manaje-men.
Seorang pemimpin dalam menjalankan tugas dan fungsinya
ha-rus memiliki syart-syarat kecakapan yang antara lain meliputi:
1. Jujur.
Merupakan perpaduan antara keteguhan watak sehat dalam
prin-sip-prinsip moral, tabiat suka akan kebenaran, tulus hati dan perasaan
halus menganai etika keadilan dan kebenaran.
2. Berpengetahuan
Adalah totalitas kecerdasan dan pengertian luas yang diperoleh
dengan jalan belajar yang terus menerus.
3. Berani
Merupakan tingkatan mental yang mengakui adanya ketakutan
atau kekhawatiran terhadap bahaya-bahaya atau kemungkinan dari
ce-laan.
4. Mampu mengambil keputusan
Adalah kecakapan untuk memecahkan persoalan dengan cepat
dan tepat.
5. Dapat dipercaya
Dapat dipercaya merupakan kepastian pelaksanaan kewajiban
6. Berinisiatif
Adalah tindakan yang sehat dan tepat yang dilakukan atas dasar
pemikiran sendiri pada waktu tidak ada perintah-perintah tentang
ba-gaimana mengatasi kesukaran-kesukaran dan petunjuk dari atasan.
7. Bijaksana
Kebijaksanaan merupakan tindakan dan sikap yang
menggam-barkan pengertian yang sehat dan tepat mengenai jiwa seseorang.
8. Tegas
Ketegasan merupakan kemampuan untuk mengambil keputusan
atau tindakan yang tepat yang didasarkan kepada keyakinan bahwa
ke-putusan itu akan membawa kebaikan dalam pelaksanaan tugas.
9. Adil
Sifat adil adalah menunjukkan tidak berat sebalah.
10.Menjadi teladan
Berarti dapat menunjukkan sikap dan perilaku yang baik sesuai
dengan norma-norma kepribadian bangsa Indonesia.
11.Tahan uji
Merupakan kombinasi mental dan fisik. Suatu kemampuan
sese-orang untuk bertahan terhadap sakit, lelah, putus asa, kesukaran dan
kemalangan, agar dapat bertahan terhadap segala macam ujian,
pen-deritaan dan tantangan jasmaniah maupun rochaniah.
12.Loyalitas
Loyalitas adalah tingkat kesetiaan seseorang terhadap negara,
hal ini diperlukan agar dapat mengembangkan kualitas kesetiaan
ter-hadap negara, bangsa dan tanah air.
13.Tidak mementingkan diri sendiri
Adalah menghindarkan diri dari terpenuhinya kebutuhan dan
kesenangan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Hal ini
un-tuk membangkitkan respek dan kerja sama dengan bawahan.
14.Antusias
Antusias adalah cara menunjukkan perhatian yang tulus ikhlas
dan menggambarkan serta semangat dalam pelaksanaan tugas dan
kuwajiban dengan sebaik-baiknya.
15.Simpatik
Artinya mampu menunjukkan sikap dan perilaku yang sopan
serta dapat menghargai setiap bawahannya. Sifat simpatik diperlukan
agar tidak ditakuti oleh bawahannya, melainkan adanya rasa cinta
yang timbul karena kepercayaan.
Kepemimpinan merupakan suatu seni, yaitu seni untuk
mempenga-ruhi orang lain agar melakukan tindakan dan perbuatan yang diinginkan
pemimpin. Sebagai suatu seni, pemimpin tidak dapat disamaratakan,
ma-sing-masing orang mempunyai cara tersendiri, gaya tersendiri untuk
mem-pengaruhi orang lain dalam proses kepemimpinan. Bisa jadi walaupun
la-tar belakang pemimpin tersebut sama, akan tetapi karena cara dan gayanya
berbeda, maka tampilan dan kepemimpinannya akan berbeda pula
a. Otoriter
Gaya pemimpin otoriter adalah gaya pemimpin yang
memusat-kan segala keputusan dan kebijamemusat-kan yang diambil dari dirinya sendiri
secara penuh. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang
oleh si pemimpin yang otoriter tersebut, sedangkan para bawahan
ha-nya melaksanakan tugas yang telah diberikan dan macam gaya
kepe-mimpinan (http://organisasi.org/jenis pemimpin klasik otoriter
demo-kratis dan bebas manajemen sumber daya manusia)
Kepemimpinan sebagai sebuah proses, akan dihadapkan
kepa-da permasalahan tentang bagaimana proses tersebut kepa-dapat diciptakan,
dan difasilitasi supaya dapat berjalan lancar dan mencapai tujuan.
Sebuah proses mengisyaratkan adanya dinamika yang berlangsung
se-cara terus menerus. Sebagai seorang pemimpin diharapkan dapat
memfasilitasi terjadinya dinamika tanpa menimbulkan tekanan.
Dina-mika yang dimaksud dalam konteks kepemimpinan akan
termanifes-tasi dalam pola interaksi antar individu, komunikasi dan
hubungan-hu-bungan yang bersifat kompleks (Wahjosumidjo, 1994) dan
(Sulisti-yani, 2008).
Kemampuan memimpin merupakan modal yang perlu dipupuk
dan dikembangkan dari waktu ke waktu. Pengetahuan yang diperoleh
melalui membaca atau belajar dari pengetahuan orang lain yang telah
liki seorang pemimpin, sehingga dapat berkembang sebagai sebuah
impuls maupun membentuk sifat bijak dan kematangan jiwa
(Sulis-tiyani, 2008).
Berdasarkan uraian di atas, maka ciri-ciri kepemimpinan otori-
ter adalah:
1) Memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari
dirinya sendiri secara penuh
2) Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang oleh si
pe-mimpin
3) Bawahan hanya melaksanakan tugas yang telah diberikan.
b. Demokratis
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang
memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada
permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim
yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin
membe-rikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para
bawa-hannya.
Seorang pemimpin perlu memfokuskan diri untuk mencapai
efektivitas dalam kepemimpinan. Secara umum dengan
memperguna-kan capability, capacity, serta personality secara terpadu, maka se-
orang pemimpin dapat mencapai efektivitas. Tetapi untuk
dukung oleh sebuah kecakapan dalam mengimplementasikan modal
dasar tersebut ke dalam sebuah pendekatan, sikap dan tindakan
kepe-mimpinan yang nyata. Kecakapan memimpin atau sering dikenal
de-ngan managerial skill perlu dikuasai. Untuk itu agar seorang
pemim-pin dapat menjadi efektif kepemimpemim-pinannya, dituntut memiliki kecaka-
pan manajerial sebagi berikut (Robert dalam Wahjosumidjo, 1994):
Conceptual skill merupakan ketrampilan untuk dapat
mengem-bangkan ide dan kerangka pemikiran sehingga dalam membuat
keputu-san organisasi dapat dilakukan dengan baik. Pemimpin harus mempu-
nyai wawasan luas, baik menyangkut masalah intern organisasi
mau-pun eksetern. Dengan demikian pemimpin akan dapat mempunyai
pe-ngertian yang menyangkut persoalan mikro maupun makro organisasi,
sehingga dapat menangkap setiap permasalahan yang muncul.
Ke-mampuan membuat konsep ini sangat dituntut pada top manager
(pe-mimpin puncak) mengingat kapasitas dan posisinya untuk dapat
mem-buat keputusan. Pada tingkatan ini pemimpin banyak berkecimpung
dengan kebijakan, sehingga mau tidak mau kemampuan konseptual
sa-ngat dibutuhkan. Sementara itu bagi middle manager (pemimpin pada
tingkat menengah) juga harus mempunyai kemampuan konseptual
na-mun tidak menonjol. Sedangkan pada lower manager (pemimpin pada
tingkat bawah) tidak dituntut untuk menguasai conceptual skill
mengi-ngat pekerjaannya lebih banyak bersentuhan dengan masalah-masalah
Human skill merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk
melakukan hubungan dengan orang lain. Ketrampilan ini berkaitan erat
dengan permasalahan bagaimana pemimpin membina hubungan
de-ngan anak buah, sesama pemimpin setingkat atau pemimpin di
atas-nya. Di samping itu pekerjaan-pekerjaan lain yang sangat ditentukan
o-leh ketrampilan ini adalah bagaimana pemimpin mengkomunikasikan
tugas, meminta pertanggungjawaban, melakukan koordinasi dan
lain-lain. Pada pemimpin di semua tingkatan dituntut mempunyai
ketrampi-lan human skill. Khususnya pada pemimpin tingkat menengah yang
mempunyai jalur komunikasi ke atas, ke samping dan ke bawah
men-dapatkan porsi terbesar untuk skill ini. Sedangkan pada top manager
maupun lower manager juga dituntut mempunyai ketrampilan ini
de-ngan porsi yang relatif mendekati pada pimpinan tingkat menengah.
Sebab di manapun kedudukan pimpinan bersentuhan dengan masalah
hubungan antar manusia, baik secara formal organisasi maupun non
formal (Wahjosumidjo, 1994) dan (Sulistiyani, 2008).
Berdasarkan paparan teoritis gaya kepemimpinan demokratis di
atas, indikator kepemimpinan demokratis adalah
1) Wewenang diberika secara luas kepada para bawahan.
2) Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai
suatu tim yang utuh.
3) Pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta
c. Laissez Faire
Pemimpin jenis ini hanya terlibat delam kuantitas yang kecil di
mana para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan
pe-nyelesaian masalah yang dihadapi.
Ketrampilan teknis selanjutnya dibebankan terbanyak pada
pe-mimpin tingkat bawah. Pepe-mimpin tingkat paling bawah bertugas pada
pekerjaan dan pengawasan pekerjaan yang paling teknis. Untuk itulah
ia harus benar-benar menguasai masalah teknik operasional, sehingga
ia bisa melakukan pengawasan atas pekerjaan anak buah, memberi
konsultasi, nasihat, pengarahan dan bimbingan kepada bawahan secara
tepat. Sedangkan pada top manager ketrampilan ini hanya sedikit
di-perlukan, karena biasanya untuk berhubungan dengan petugas teknis
top manager tidak secara langsung melainkan melalui pimpinan
mene-ngah atau tingkat bawah. Juga pada pimpinan tingkat menemene-ngah tidak
terlalu banyak tuntutan porsi ketrampilan ini (Wahjosumidjo,1994)dan
(Sulistiyani, 2008).
Pemimpin juga harus mampu membuat jaringan kerja yang
ba-ik secara internal, ke dalam organisasinya dan secara external di luar
organisasi yang dipimpinnya. Jaringan kerja dalam organisasi
diper-lukan untuk memperlancar tugas, membina hubungan kerjasama,
koor-dinasi tugas perlu diperhatikan. Apakah dalam membentuk jaringan
kerja internal ini pemimpin telah menempatkan sistem dan orang yang
tepat, atau tidak. Dengan sistem dan dukungan personal yang tepat
ke luar organisasi merupakan bentuk relasi yang diperlukan untuk
ke-pentingan organisasi tersebut. Apakah dalam hal ini pimpinan pandai
membuat terobosan baru, mencari partner dan relasi yang tepat guna
mendukung kelancaran tugas dan pencapaian tujuan organisasi atau
tidak. Dalam rangka membentuk jaringan kerja internal dan external
ini dibutuhkan kemampuan human skill yang cukup bagi pimpinan
(Sulistiyani, 2008).
Top manajer atau setidaknya midle manager diperlukan banyak
konseptual. Sedangkan pemimpin yang terampil diperlukan dalam
pe-ngendalian kegiatan-kegiatan operasi orgarisasi yang bersifat teknis.
Oleh karena itu pemimpin yang terampil biasanya berposisi di lini
ba-wah, untuk mengendalikan proses operasi kegiatan teknis, seperti
penggunaan peralatan, teknologi, penyelenggaraan pelayanan langsung
(Subekti, 2008).
Kemantapan dan kesanggupan untuk menanggung segala
resi-ko jabatan, dan kepemimpinan juga diperlukan.Rasa kesanggupan
me-rupakan sumber spirit dan semangat seseorang dalam menjalankan
kepemimpinan. Dengan kesanggupan yang penuh maka konsistensi
dalam menjalankan tugas kepemimpinan juga lebih terjaga (Sartono,
2003). Kepribadian yang baik seorang pemimpin akan lebih mudah
mendekati anak buah, sehingga proses kepemimpinannya juga tidak
terhambat (Soenarno, 2006).
Semangat yang tinggi yang terpancar dan setiap sikap perilaku
anggo-tanya untuk bergerak maju. Karakter yang baik akan dapat menjadi
te-ladan bagi anak buah, cenderung disegani dan dihormati (Sulistiyani,
2008). Kemampuan, pengetahuan dan kepribadian seorang pemimpin
akan memberikan kekuatan pemimpin. Faktor intrinsik sebagai modal
utama tersebut diperkuat oleh faktor ekstrinsik, berupa dukungan dan
luar dari pemimpin (Sulistiyani, 2008).
Kelancaran memimpin juga ditentukan oleh sikap bawahan
ter-hadap pemimpin apakah menerima atau menolak. Jika kehadiran
seo-rang pemimpin dipandang negatif, dapat mengakibatkan sikap
meno-lak dari bawahan. Pemimpin dipandang akan merusak tata kehidupan
di dalam kelompok itu. Sikap demikian akan menjadi penghambat
da-lam proses kepemimpinan seseorang. Berbeda jika seorang pemimpin
diterima sepenuhnya yang akan memperkuat posisi pemimpin,
sehing-ga dapat mempensehing-garuhi dan memotivasi bawahan secara efektif
(Sulistiyani, 2008).
Proses kepemimpinan itu tidak hanya tergantung dari pihak
individu pemimpin saja. Sementara ada faktor lain di luar pemimpin
yang juga akan ikut menentukan proses kepemimpinan seseorang yaitu
faktor bawahan (Sulistiyani, 2008).
Seorang pemimpin perlu dibuktikan apakah bawahannya dapat
menerima kehadirannya, disamping memiliki sebuah surat keputusan
dari yang berwenang. Seseorang individu bergabung pada suatu
orga-nisasi tentu memiliki motif tertentu, sehingga dengan demikian setelah
harus dipenuhi oleh organisasi. Sebaliknya organisasi juga mempunyai
tujuan yang dirumuskan dan dijadikan sebagai pedoman arah
organisa-si yang barus diperjuangkan dalam pencapaiannya. Untuk itulah kedua
pihak yang berbeda tersebut harus saling memberi dan menerima (take
and give) manfaat, seperti individu yang masuk dalain organisasi akan
menyumbangkan tenaga, pikiran, dan sebagai imbangannya ia akan
mendapatkan sesuatu dari organisasi (Thoha, 2001).
Sementara iu terbentuknya kelompok-kelompok informal
da-lam suatu organisasi sangat memungkinkan sekali, terlebih-lebih
apa-bila dalam suatu organisasi tersebut terdapat beberapa orang yang
me-miliki latar belakang yang hampir sama, mempunyai kepentingan yang
sama atau mempunyai hobi yang sama. Keadaan ini sangat
memung-kinkan terjadinya pengelompokan yang didasari oleh kesamaan
panda-ngan (Sulistiyani, 2006).
Kelompok-kelompok informal ini bisa menjadi pendukung atau
sebaliknya menjadi penghambat organisasi, Jika ada perbedaan maka
sangat mungkin kelompok tersebut mengganggu pencapaian tujuan
or-ganisasi. Keadaan ini juga harus dapat dinetralisir dengan melakukan
pendekatan yang tepat. Timbulnya beberapa kelompok informal juga
dapat menghadirkan pertentangan antar kelompok perselisihan atau
persaingan yang tidak sehat (Soenarno, 2006).
Fungsi pemimpin dalam hal ini harus dapat memanfaatkan dan
mengarahkan kelompok-kelompok tersebut agar semakin dekat dengan
Konflik-konflik tersebut apabila tidak teratasi maka akan
membahayakan organisasi. Oleh karena itu untuk menetralisir konflik
tersebut seorang pemimpin harus dapat mempengaruhi dan
memo-tivasi. Pekerjaan seorang pemimpin dalam hal ini adalah untuk dapat
mendekatkan konflik-konflik tersebut sehingga tercapailah suatu
kea-daan yang lebih baik, sehingga kepentingan timbal balik lebih
terpe-lihara (Sulistiyani, 2008).
Dari sini dapat semakin dipertegas bahwa kemungkinan yang
terjadi dalam organisasi adalah terjadinya perbedaan dan persamaan
tujuan antara orang-orang dengan organisasi (Sulistiyani, 2008).
Ada-pun secara rinci persamaan dan perbedaan tersebut dapat
dikemuka-kan sebagai berikut: sama tujuan, berbeda sebagian, jauh berbeda,
ber-tolak belakang (Sulistiyani, 2008).
Tujuan individu/kelompok yang sama dengan tujuan organisasi
tidak menimbulkan masalah, bahkan akan terjadi simbiosis
mutualis-ma. Sedangkan tujuan yang berbeda sebagian relatif mudah untuk
di-dekatkan. Sedangkan tujuan yang jauh berbeda dan yang bertolak
bela-kang merupakan mengandung potensi konflik yang tinggi, dan sangat
sulit untuk didekatkan satu sama lain (Utomo, 1995).
Pada prinsipnya perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan oleh
adanya perbedaan individu, martabat manusia, sikap dan perilaku.
In-dividu memang tidak terhindar dan keunikannya sendiri-sendiri.
Pe-mimpin harus menyadari akan terjadinya perbedaan antar individu,
yang juga tidak boleh diabaikan oleh pemimpin, mengingat efektivitas
untuk mempengaruhi dan memotivasi individu seorang pemimpin juga
harus dapat mendekati secara individual. Bahkan agar efektif
pemim-pin juga harus memahami setiap individu tersebut (Sulistiyani, 2008).
Realitas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bersifat
spe-sifik antara manusia di satu sisi merupakan kekayaan yang mungkin dapat
saling melengkapi, namun di sisi lain dapat memperbesar potensi konflik
dalam organisasi. Variabilitas yang dihadapi atas individu yang tergabung
dalam organisasi perlu dimanajemeni dengan tepat agar dapat bersifat
sa-ling mengisi dan sasa-ling melengkapi (Sulistiyani, 2008).
Harga diri seorang individu, sikap serta perilaku juga
mengaki-batkan terjadinya perbedaan-perbedaan. Setiap orang tentu memiliki harga
diri dan ketika dipertautkan kepentingan organisasi terhadap individu atau
sebaliknya, maka di dalamnya harga diri tetap menjadi bagian yang tidak
terpisahkan. Hal yang sama juga terjadi ketika antar orang dan antar
ke-lompok melakukan kerjasama. Dalam hal ini dihadapkan pada risiko untuk
saling menghargai satu sama lain. Namun demikian rentang dan batas
se-tiap orang akan kebutuhan dihargai oleh pihak lain seringkali berbeda satu
sania lain. Sejauh manakah atau setinggi apakah seseorang harus dihargai
martabatnya, hal ini dapat membentuk perbedaan yang bersifat spesifik,
bahkan cara menghargai martabat seseorang juga menjadi bervariasi
(Sulistiyani, 2008).
Sikap merupakan bagian penting yang dapat mencirikan perbedaan
melalui respons terhadap suatu hal. Misalnya sikap keterbukaan, sikap
disiplin, keaktifan, sikap kooperatif, merupakan bentuk respon atas suatu
ketentuan atau peristiwa atau perintah. Sikap hanya dapat dibaca dan
baha-sa tubuh, tutur kata, atau perilaku/perbuatan. Dalam organibaha-sasi cenderung
potensial untuk terjadinya perbedaan karena sikap yang berbeda. Ada anak
buah yang sangat disiplin dalam bekerja, tetapi ada yang mas. Ada anak
buah yang sangat patuh, tetapi ada yang membangkang, ada yang sangat
mudah untuk diajak diskusi secara terbuka berpendapat, tetapi ada yang
lebih suka bergunjing di belakang (Kartono, 1998).
Perilaku mencerminkan bagaimanakah seseorang menanggapi
suatu hal. Perilaku anggota dalam organisasi juga bervariasi, kendati
treat-ment yang digunakan sama. Misalnya perilaku kerja, ada yang positif ada
yang negatif. Sangat sulit memisahkan antara perilaku dengan sikap.
Kare-na seringkali perilaku merupakan bentuk visual dan sikap. Sikap
ibarat-nya merupakan keputusan batiniah sedangkan perilaku merupakan
reso-nansi dan keputusan tersebut.
Salah satu komponen penting untuk dibahas dalam kepemimpinan
adalah masalah kekuasaan. Kekuasaan merupakan bagian yang melekat
dalam kepemimpinan. Jika kepemimpinan adalah aktivitasnya, maka
ke-kuasaan adalah sebagai sumber inspirasinya (Sulistiyani, 2008).
Menurut Wahono (2003) hubungan pemimpin dan kekuasaan
ada-lah ibarat gula dengan manisnya, ibarat garam dengan asinnya.
Selanjut-nya dia meSelanjut-nyampaikan bahwa ketika kekuasaan terSelanjut-nyata bisa timbul tidak
sebagai movement untuk memanfaatkan genesis (asal-usul) kekuasaan, dan
menerapkannya pada tempat yang tepat. Dan pendapat ini jelas bahwa
ge-nesis kekuasaan dapat diaktualisasikan melalui proses kepemimpinan
sese-orang. Adapun jelmaan dan genesis kekuasaan sesungguhnya sangat
ter-gantung dan kemampuan seseorang pemimpin untuk berkreasi serta
men-definisikan fungsinya serta menjiwai dan setiap sumber kekuasaan yang
dimilikinya yang dimanfaatkan untuk tujuan positif.
Power sesungguhnya bukan merupakan satu-satunya hal yang
me-nentukan seseorang pemimpin mencapai sukses. Tetapi power merupakan
salah satu modal yang memberikan ruang bagi seseorang pemimpin untuk
melakukan langkah-langkah yang lebih pasti dalam konteks implementasi
kepemimpinan. Power merupakan sebuah prasyarat bagi seseorang
pe-mimpin tersebut menjadi eksis. Bahkan kadang-kadang dengan power
ma-ka eksistensi seseorang pemimpin menjadi lebih diakui. Kendati power
menjadi sebuah modal seorang pemimpin untuk memanfaatkan ruang serta
media kepemimpinan, namun tidak semua kondisi dapat sesuai dengan
se-mua jenis power. Faktor kondisional tersebut memerlukan kreativitas dan
pendekatan pemimpin dalam mengimplementasikan power itu sendiri
(Wahjosumidjo, 1994).
Power merupakan suatu bentangan kekuasaan serta aksentuasi
ke-kuatan yang dimiliki oleh seseorang, baik bersumber pada kemampuan
dan jati diri secara pribadi, atau merupakan mandat serta bentukan
lingku-ngan, maupun bersumber pada kekuatan lain baik berupa ketentuan hukum
bentangan kekuasaan serta aksentuasi kekuatan yang diperoleh tersebut
se-seorang dapat mempengaruhi pihak lain. Bertolak dan paparan definisi ini
maka pembahasan mengenai power senantiasa menanyakan bagaimana
dan seperti apa kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang? Apakah power
tersebut mempunyai wujud kekuasaan dan kekuatan tertentu, yang dapat
diidentifikasi dan dapat diaktualisasikan. Sejauh mana power tersebut ada
dan mampu diwujudkan? Pertanyaan lain yang muncul adalah dan mana
sumber power, apakah bersumber dan diri sendiri, atau dan luar? Dan
ba-gaimanakah power tersebut dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi
orang lain?
Di samping mencermati apa sesungguhnya power, juga perlu
me-runut Iebih lanjut tentang istilah yang memiliki kemiripan dengan power,
yaitu otoritas. Power berbeda dengan otoritas. Pengertian power tidak
selalu harus terikat dengan hal-hal yang bersifat formal, sedangkan otoritas
selalu terikat dengan hal yang bersifat formal. Power tidak harus dimiliki
karena jabatan formal, sedangkan otoritas terkait dengan jabatan formal.
Pada kelompok-kelompok non formal seseorang dapat mempunyai power,
yang dapat mempengaruhi orang lain, meskipun seseorang tersebut tidak
mempunyai kedudukan tinggi. Bahkan pada suatu organisasi mungkin
sekali orang yang tidak mempunyai jabatan apa-apa tetapi ia memiliki
power, sehingga dapat mempengaruhi orang lain. Dan deskripsi tersebut
dapat dipahami masing-masing perbedaan substansial antara power dan
otoritas. Jika sumber kekuasaan dapat formal, informal, dan dapat terkait
pada kondisi formal, sedangkan otoritas merupakan sesuatu yang harus
bersifat formal dan bersuinber pada ketentuan formal (Thoha,2001:91).
Di sisi lain power dapat diartikan sebagai sesuatu yang bukan
se-kedar jelmaan dan kekuatan. Power merupakan sebuah energi yang dapat
digunakan sebagai upaya mempengaruhi orang lain, tetapi tidak bersifat
menekan. Setiap orang dapat menggunakan power, akan tetapi power
di-gunakan sebagai sebuah kecakapan untuk mempengaruhi dalam kerangka
kepemimpinan. Dengan kata lain power tersebut tidak lepas dan konteks
sebuah praktik kepemimpinan. Power menunjukkan bagaimana kapasitas
seseorang dalam mempengaruhi perilaku orang lain, sehingga orang lain
tersebut melakukan tindakan seperti apa yang dikehendaki atasnya. Power
merupakan suatu kapasitas atau menunjukkan potensi kapasitas yang
berguna untuk menunjukkan eksistensinya. Sedangkan dalam konteks
politik power memaksimalkan pengaruh untuk orang lain pada posisi yang
setara dan atau pengaruh kepada pihak atasan, atau merupakan sebuah
taktik dan strategi untuk memenangkan (Thoha,2001).
Untuk memperjelas pemahaman tentang kekuasaan, perlu dibahas
selanjutnya mengenai tipe-tipe kekuasaan. Apakah seorang pemimpin
ter-sebut memiliki kekuasaan berdasarkan pada suatu basis tertentu? Tentunya
masing-masing basis sebagai sumber asal-usul kekuasaan tersebut
mem-punyai implikasi yang berbeda-beda. Jika seseorang memmem-punyai sebuah
kekuasaan bersumber dari dirinya sendiri tentu menjadi sangat
indepen-dent dibandingkan ketika seseorang memperoleh power akibat keputusan
dilihat adanya perbedaan kekuasaan tersebut. Sumber dan power menurut
French dan Raven dapat dibedakan menjadi lima tipe kepemimpinan
(Utomo,1995:2) dan (Thoha,2001) dan (Sulistyani, 2008):
a. Reward Power
Reward power merupakan kemampuan seseorang pemimpin
dalam memberikan janji-janji. Atau dapat dikatakan bahwa seorang
pe-mimpin dalam mempengaruhi bawahan agar berperilaku tertentu atau
melakukan tindakan tertentu, melalui janji-janji yang menarik.
Ke-mampuan untuk memberikan janji-janji yang menarik kepada bawahan
agar bawahan mengikuti apa yang diinginkan oleh pemimpin
meru-pakan reward power. Janji-janji tersebut seolah merupakan jaminan
bagi bawahan, jika bawahan mengikuti kehendak pemimpin nantinya
akan mendapatkan hadiah tertentu. Tentu saja pemimpin dalam
meng-gunakan reward power ini perlu dukungan pemimpin untuk dapat
ngungkapkan pengaruhnya dalam bentuk bujukan-bujukan yang
ngandung janji-janji manis sehingga merangsang bawahan untuk
me-ngikuti (Wahjosumidjo, 1994).
Wahono (2003) menterjemahkan reward power tersebut
seba-gai kekuasaan penghargaan, atau dapat dikatakan sebaseba-gai kekuasaan
untuk memberi keuntungan positif atau penghargaan kepada yang
di-pimpin. Setara dengan uraian di atas, maka dalam hal ini penghargaan
dimaksud pada hakikatnya dikomunikasikan melalui janji-janji yang
diberikan oleh seseorang sebagai pemegang kekuasaan terhadap anak
mengikuti apa yang diarahkan kepadanya maka pemegang kekuasaan
akan menyampaikan penghargaan tersebut. Adapun penghargaan yang
dimaksud dapat mencakup materi dan immateri, seperti promosi
jaba-tan, peluang pengembangan diri, dan pekerjaan yang lebih prospektif
(Sulistiyani, 2008).
Tentu saja memberikan janji-janji memberikan keuntungan
po-sitif kepada anak buah, dalam praktiknya tidak mudah untuk
dila-kukan. Agar realisasi dan reward power tersebul dapat berjalan lancar
membutuhkan kemampuan berupa sumberdaya yang memadai.
De-ngan demikian arti strategis bagi seorang pemegang power
berda-sarkan penghargaan ini setidaknya dapat berpikir secara linear tentang
potensi sumberdaya yang dimiliki, dengan tinggi rendahnya janji
untuk memberikan penghargaan tersebut. Secara tersirat pemegang
reward power hendaknya menciptakan kondisi seimbang antara janji
yang diberikan dengan kemampuan sumber daya yang mungkin dapat
digunakan (Wahjosumidjo, 1994).
Dalam teori potensi seseorang dalam mempengaruhi orang lain
seperti dikemukakan oieh French dan Raven (1959) dalam (http:/ nw
link.com/~donclark/leader/lead.html) reward power sebagai (1)
com-pliance achieved based on the ability to distribute rewards that others
view as valuable. (2) Able to give special benefit rewards to people.
Kekuasaan untuk memberikan penghargaan, merupakan
pe-menuhan yang dicapai berdasarkan pada kemampuan untuk
yang bernilai atau berharga. Apabila mampu memberikan penghargaan
merupakan keuntungan yang bersifat khusus bagi seseorang. Dapat
dipahami bahwa memberikan penghargaan dalam hal ini sangat
me-merlukan kemampuan untuk distribusi penghargaan secara baik/adil, di
samping pemenuhan atas janji-janji yang diperlukan.
Efektivitas kekuasaan jenis ini akan terjadi jika penghargaan
yang dijanjikan dapat diwujudkan/diperoleh oleh pemimpin. Di
sam-ping itu sistem penghargaan yang dibangun relevan dengan tingkat
ca-paian/ produktivitas atau kinerja anak buah. Pertimbangan lain adalah
jika pemimpin mampu membangun sistem penghargaan yang bersifat
progresif (Wahjosumidjo, 1994).
b. Legitimate Power
Legitimate power merupakan sumber kekuasaan yang diperoleh
melalui kekuatan formal. Seorang pemimpin mempunyai kekuasaan
karena mendapatkan legitimasi dan kekuatan formal yang absah.
Dengan demikian Ia mempunyai posisi yang sah dan kuat untuk
me-lakukan sesuatu sebatas kekuasaan yang diniiliki secara sah tersebut.
Biasanya pemimpin seperti ini merupakan pemimpin formal yang
mendapatkan SK (Surat Keputusan) untuk melakukan kepemimpinan
di suatu organisasi/instansi tertentu (Wahjosumidjo, 1994).
Kekuasaan yang sah ini semata-mata bersumber dari jabatan
yang dipegangnya, atas dasar pengangkatan dengan surat keputusan,
yang di dalamnya telah disebutkan secara eksplisit baik status,
sema-cam ini terkait dengan hirarkhi dalam struktur orgamsasi. Oleh karena
itu kekuasaan semacam ini akan semakin besar legitimasinya ketika
kedudukan seseorang semakin tinggi dalam birokrasi tersebut.
Seseo-rang yang memegang kekuasaan ini cenderung mempengaruhi oSeseo-rang
lain berdasarkan atas hasil yang diperoleh dan jabatannya. Pengaruh
pejabat tinggi akhirnya menjadi semakin besar dan luas dibandingkan
pejabat di bawahnya (Wahjosumidjo, 1994).
Seperti dikatakan oleh Wahono (2003) bahwa legitimate power
merupakan kekuasaan sah, yakni kekuasaan yang dimiliki seorang
pe-mimpin sebagai hasil dan posisinya dalam suatu organisasi atau
lemba-ga. Senada dengan pendapat ini juga disampaikan oleh French dan
Raven (1959) dalam (http: /www.nwlink.com/~donclark/leaden/
lea-dle.html), the power a person recieves as a result of his or her position
in the formal hierarchy of an organizations.
Bertolak dan definisi tersebut, maka kekuasaan sah dapat
dimak-nai dengan kekuasaan formal, yang mempunyai implikasi berupa
a-danya wewenang formal bagi seseorang yang mendapat legitimate
power. Jenis kekuasaan ini menempatkan pihak pemegang kekuasaan
mempunyai kekuatan formal dan kuat secará hukum, sehingga
kepa-danya setiap anak buahnya harus taat dan patuh. Dengan demikian
pe-megang sah atas kekuasaan punya wewenang untuk memerintah anak
buahnya. Setiap anak buah sendiri memiliki konsekuensi untuk selalu
c. Coercive Power
Coercive power atau kekuasaan paksaan adalah kekuasaan
pe-mimpin untuk mempengaruhi orang lain dengan kekuatan memaksa,
karena ia memunyai kedudukan dan posisi yang sangat kuat. Dengan
posisi kuat tersebut maka seorang pemimpin dapat memberikan
perin-tah, dapat memaksa orang lain untuk bertindak tertentu. Bekerja di
ba-wah tekanan kekuasaan orang lain tentu kurang menarik bahkan
mem-buahkan sebuah resistensi. Hanya lantaran anak buah ketakutan, anak
buah bersedia melaksanakan perintah-perintah pemimpin. Suasana
ter-sebut menjadi sangat tidak sehat dan tidak efektif, meskipun pekerjaan
rutin tetap berjalan seperti sediakala (Sulistiyani, 2008).
2. Iklim Kerja
Iklim kerja sering disebutkan dengan iklim organisasi, karena kerja
merupakan satu kesatuan organisasi. Iklim organisasi adalah lingkungan
internal atau psikologi organisasi. Para ahli dari barat mengartikan iklim
organisasi sebagai suatu unsur fisik, di mana iklim dapat sebagai suatu
atribut dari organisasi atau sebagai suatu atribut suatu persepsi individu.
Duncon (1972) mencirikan iklim organisasi sebagai keseluruhan
faktor-faktor fisik dan sosial yang terdapat dalam sebuah organisasi. Menurut
model Pines (1982), iklim kerja sebuah organisasi dapat diukur melalui
a) Dimensi psikologikal, yaitu meliputi variabel seperti beban kerja,
ku-rang otonomi, kuku-rang pemenuhan sendiri (self-fulfilment clershif), dan
kurang inovasi.
b) Dimensi struktural, yaitu meliputi variabel seperti fisik, bunyi dan
tingkat keserasian antara keperluan kerja dan struktur fisik.
c) Dimensi sosial, yaitu meliputi aspek interaksi dengan klien (dari segi
kuantitas dan ciri-ciri permasalahannya), rekan sejawat (tingkat
du-kungan dan kerja sama), dan penyelia-penyelia (dudu-kungan dan
im-balan).
d) Dimensi birokratik, yaitu meliputi Undang-undang dan
peraturan-pera-turan konflik peranan dan kekaburan peranan.
Kemudian dikemukakan oleh Simamora (2001:81) disebutkan
bah-wa iklim organisasi adalah lingkungan internal atau psikologi organisasi.
Iklim organisasi mempengaruhi praktik dan kebijakan SDM yang diterima
oleh anggota organisasi. Perlu diketahui bahwa setiap organisasi akan
me-miliki iklim organisasi yang berbeda. Keanekaragaman pekerjaan yang
dirancang di dalam organisasi, atau sifat individu yang ada akan
meng-gambarkan perbedaan tersebut. Semua organisasi tentu memiliki strategi
dalam memanajemen SDM. Iklim organisasi yang terbuka memacu
kar-yawan untuk mengutarakan kepentingan dan ketidakpuasan tanpa adanya
rasa takut akan tindakan balasan dan perhatian. Ketidakpuasan se-perti itu
dapat ditangani dengan cara yang positif dan bijaksana. Iklim keterbukaan,
bagaimanapun juga hanya tercipta jika semua anggota memiliki tingkat
orga-nisasi penting untuk diciptakan karena merupakan persepsi seseorang
tentang apa yang diberikan oleh organisasi dan dijadikan dasar bagi
penen-tuan tingkah laku anggota selanjutnya. Iklim ditentukan oleh seberapa baik
anggota diarahkan, dibangun dan dihargai oleh organisasi (Kusnan, 2004:
12-13).
Menurut Bloom mendefinisikan iklim dan situasi pengaruh dan
rangsangan dari luar yang meliputi pengaruh fisik sosial dan intelektual
situasi, dalam hal ini dapat dibagi menjadi beberapa skala yaitu
kekom-pakan, kepuasan, kecepatan, formalitas, kesulitan dan demokrasi (Suraya,
2007).
3. Kinerja
Di Indonesia istilah kinerja telah populer digunakan dalam media
masa dan media massa Indonesia memberi padanan kata dalam bahasa
Inggris untuk istilah kinerja tersebut, yakni “performance”. Menurut The
Scribner-Bantam English Dictionary, terbitan Amerika Serikat dan
Cana-da, tahun 1979, terdapat keterangan sebagai berikut : Pertama, berasal dari
akar kata “to perform” yang mempunyai “entries” berikut : melakukan,
menjalankan, melaksanakan, memenuhi atau menjalankan kewajiban
se-suatu keinginan, melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab,
melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin. Dapat
di-simpulkan bahwa dari beberapa entries tersebut “to perform” adalah mela
-kukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung
performance merupakan kata benda (noun) dimana salah satunya adalah :
“thing done” (sesuatu hasil yang telah dikerjakan) (Samsudi, 2008: 2).
Ada beberapa unsur yang dapat kita lihat dari kinerja seorang
kar-yawan. Seorang karyawan dapat dikelompokkan ke dalam tingkatan
kiner-ja tertentu dengan melihat aspek-aspeknya, seperti: tingkat efektivitas,
efi-siensi, keamanan dan kepuasan pelanggan/fihak yang dilayani.
Tingkat efektivitas dapat dilihat dari sejauhmana seorang
karya-wan dapat memanfaatkan sumber-sumber daya untuk melaksanakan
tu-gas-tugas yang sudah direncanakan, serta cakupan sasaran yang bisa
dila-yani. Tingkat efisiensi mengukur seberapa tingkat penggunaan
sumber-sumber daya secara minimal dalam pelaksanaan pekerjaan. Sekaligus pula
dapat diukur besarnya sumber-sumber daya yang terbuang, semakin besar
sumber daya yang terbuang, menunjukkan semakin rendah tingkat
efi-siensinya.
Unsur keamanan-kenyamanan dalam pelaksanaan pekerjaan,
me-ngandung dua aspek, baik dari aspek keamanan-kenyamanan bagi
karya-wan maupun bagi fihak yang dilayani. Dalam hal ini, penilaian aspek
kea-manan-kenyamanan menunjuk pada keberadaan dan kepatuhan pada
stan-dar pelayanan maupun prosedur kerja. Adanya stanstan-dar pelayanan maupun
prosedur kerja yang dijadikan pedoman kerja dapat menjamin seorang
karyawan bekerja secara sistematis, terkontrol dan bebas dari rasa „was
-was‟ akan komplain. Sementara itu, fihak yang dilayani mengetahui dan
Mengingat fungsi ideal dari pelaksanaan tugas karyawan dalam
unit kerja adalah fungsi pelayanan, maka unsur penting dalam penilaian
kinerja karyawan adalah kepuasan pelanggan/fihak yang dilayani.
Mengukur kepuasan pelanggan, merupakan persoalan yang cukup
pelik. Sehingga tidak jarang, unsur ini sering kali diabaikan dan jarang
di-lakukan. Disebut pelik, karena pengukuran kepuasan pelanggan harus
memperhatikan validitas pengukuran, sehingga harus memperhatikan
me-tode dan instrumen yang tepat. Dalam pelaksanaan pekerjaan yang bersifat
profit-oriented, kepuasan pelanggan seringkali dihubungkan dengan
ting-kat keuntungan „finansial‟ yang diperoleh. Dalam pelaksanaan pekerjaan
yang social-oriented, kepuasan pelanggan banyak dihubungkan dengan
tingkat kunjungan ulang pelanggan. Meskipun kenyataanya tidak selalu
demikian, karena pelayanan yang sifatnya monopolistik dapat
meningkat-kan „keterpaksaan‟ pelanggan untuk datang dan minta dilayani. Mereka
tidak memiliki pilihan.
Kemudian mengenai kinerja (performance) diartikan pula oleh
Simamora (1995 : 327) yaitu merupakan suatu pencapaian persyaratan
pe-kerjaan tertentu yang akhirnya secara nyata dapat tercermin keluaran yang
dihasilkan. Suprihanto (2000 : 7) menyebutkan istilah kinerja dan prestasi
kerja yaitu : hasil kerja seseorang selama periode tertentu dibandingkan
dengan berbagai kemungkinan, misalnya standar, target/sasaran.
Menurut Mangkunegara (2001: 67), istilah kinerja berasal dari kata
job performa-ce atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi
kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya.
Penilaian kinerja menurut Rahmanto dalam Tampubolon (2008)
mempunyai dua elemen pokok yakni :
a. Spesifikasi pekerjaan yang harus dikerjakan oleh bawahan dan kriteria
yang memberikan penjelasan bagaimana kinerja yang baik dapat
dica-pai.
b. Adanya mekanisme untuk pengumpulan informasi dan pelaporan
me-ngenai cukup tidaknya perilaku yang terjadi dalam kenyataan
diban-dingkan dengan kriteria yang berlaku.
Berdasarkan uraian di atas kinerja (performance) adalah suatu
ha-sil yang telah dikerjakan dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang
dilaksanakan secara legal, tidak melanggar hukum serta sesuai dengan
mo-ral dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Penilaian mengenai organisasi dan fakor-faktor yang
mempenga-ruhinya pada masa depan dapat diikhtisarkan sebagai berikut :
1. Organisasi-organisasi akan beroperasi dalam lingkungan yang bergolak
yang membutuhkan perubahan-perubahan penyesuaian yang terus
menerus. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi tidak statis.
2. Organisasi-organisasi perlu menyesuaikan diri dengan berbagai nilai
kultural dalam lingkungan sosial. Contoh organisasi yang berada di
suatu kampus, maka organisasi itu harus menyesuaikan dengan
3. Organisasi-organisasi akan terus meluaskan batas-batas daerah
wewe-nangnya. Keberadannya akan bertambah besar dan kompleks.
4. Organisasi-organisasi akan terus mendefferensiasikan kegian-kegiatan
mereka sehingga menambah masalah integrasi dan koordinasi, karena
kompetitif dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
cepat.
5. Perhatian terhadap mutu kehidupan kerja akan meningkatkan. Karena
pesaing semakin besar, maka kualitas harus ditingkatkan.
6. Penekanan lebih besar pada saran dan bujukan daripada pemaksanaan
yang didasarkan pada kekuasaan sebagai alat koordinasi kegiatan dan
fungsi organisasi.
7. Para peserta di semua tingkat organisasi akan lebih berpengaruh.
8. Nilai dan gaya hidup orang dan kelompok dalam organisasi akan
ter-dapat lebih banyak ragamnya. Karena peluang antara pria dan wanita
sama, dari sisi etnis juga sama.
9. Penilaian terhadap prestasi organisasi akan lebih sulit. Karena
organisa-si selalu berkembang, maka standar yang baku sudah tidak memadai
lagi.
10. Proses perubahan berencana dengan keterlibatan para peserta yang
meluas akan dilembagakan/ diformalkan.
11. Gerakan menjauh selalu tercipta dari organisasi stabil mekanistik
me-nuju ke arah sistem yang adaptif yang tanggap terhadap perubahan.
jurang/gap antara pengetahuan dan penerapannya, namun demikian
kemajuan terus ada.
4. Gawat Darurat
Rumah sakit dapat dikatakan sebagai suatu industri jasa kesehatan
namun sungguh sangat spesifik. Kaidah-kaidah yang berlaku di industri
secara umum, beberapa hal tidak bisa diterapkan pada rumah sakit. Pada
ranah hukum beberapa hal justru implikasinya komplek (Soenartono,
2003).
Pada pelayanan rumah sakit diperlukan sarana, prasarana, instalasi
gawat darurat, High Care Unit, Intensif Care Unit, kamar jenasah,unit-unit
penunjang seperti radiologi,laboratorium klinik, farmasi, gizi, ruang rawat
inap dan lain-lain (Depkes, 2005).
Pelayanan yang dilakukan disuatu rumah sakit khususnya pada
ba-gian bedah merupakan pelayanan jasa yang padat karya, padat modal dan
padat teknologi, dengan sifat pelayanan yang mempunyai karakter sendiri
(Sutarjo, 2008).
Instalasi Gawat Darurat merupakan suatu unit pelayanan di rumah
sakit yang memberikan pelayanan pertama pada pasien dengan ancaman
kematian dan kecacatan secara terpadu dengan melibatkan berbagai
mul-tidisiplin (Depkes, 2005).
Pelayanan pada unit ini berfokus pada pelayanan pertama bagi
ka-sus gawat darurat yang memerlukan organisasi yang baik sebagai
dan terlatih yang mengikuti perkembangan teknologi pada pelayanan
me-dis (Depkes, 2005).
Instalasi Gawat Darurat memerlukan Hospital Disaster plan yaitu
perencanaan dari suatu rumah sakit untuk menghadapi kejadian bencana
baik perencanaan untuk bencana yang terjadi didalam rumah sakit (intra
hospital disaster plan) dan perencanaan rumah sakit dalam menghadapi
bencana yang terjadi diluar rumah sakit (extra hospital disaster plan)
(Depkes, 2005).
C. Kerangka pikir
Berdasarkan studi pustaka diatas, dilakukan penelitian pegawai pada
Instalasi gawat darurat rumah sakit badan layanan umum di Surakarta, terlebih
dahulu diselidiki bagaimana pengaruh antar variabel dengan mencari korelasi
[image:52.595.134.511.497.653.2]antar variabel.
Gambar 2.1
Kerangka pikir Preferensi Gaya Kepemimpinan
Demokratis vs otoriter
Preferensi Gaya Kepemimpinan Laissez Faire vs otoriter
Kinerja
Apakah pegawai yang memilih preferensi gaya kepemimpinan
de-mokratis memiliki kemungkinan untuk menghasilkan kinerja berbeda dari
pa-da gaya kepemimpinan yang otoriter setelah memperhitungkan atau
mengon-trol iklim kerja.
Pegawai yang lebih menginginkan gaya kepemimpinan laissez faire
apakah memiliki kemungkinan untuk menghasilkan kinerja berbeda dari pada
gaya kepemimpinan yang otoriter setelah memperhitungkan atau mengontrol
iklim kerja.
D. Hipotesis
1. Preferensi gaya kepemimpinan demokratis berpengaruh terhadap kinerja
pegawai pada instalasi gawat darurat rumah sakit badan layanan umum di
Surakarta.
2. Preferensi gaya kepemimpinan laissez faire berpengaruh terhadap kinerja
pegawai pada instalasi gawat darurat rumah sakit badan layanan umum di
Surakarta
3. Iklim kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai pada instalasi gawat
41 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan
po-tong lintang (cross sectional) yang bertujuan untuk menganalisis persepsi tiga
variabel yaitu dua variabel independen dengan satu variabel dependen.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Moewardi Surakarta. Sedangkan waktu penelitian pada bulan
Okto-ber s/d NovemOkto-ber 2009.
C. Populasi
Populasi dalam penelitian ini terbagi menjadi dua :
a. Populasi sasaran (target populati