• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PREFERENSI GAYA KEPEMIMPINAN DAN IKLIM KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT BADAN LAYANAN UMUM DI SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PREFERENSI GAYA KEPEMIMPINAN DAN IKLIM KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT BADAN LAYANAN UMUM DI SURAKARTA"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

RUMAH SAKIT BADAN LAYANAN UMUM DI SURAKARTA

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga

Minat Utama : Pendidikan Profesi Kesehatan

Shobari S 540908029

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

ii

Disusun oleh :

Shobari S540908029

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I : Prof. Dr.dr.H.A.A.Subijanto, MS ... NIP : 194811071973101003

Pembimbing II : Dr. Nunuk Suryani, M.Pd ... NIP : 196611081990032001

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

(3)

iii

Disusun oleh :

Shobari

S540908029

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua merangkap anggota Prof.Dr.Didik Tamtomo,dr,PAK,MM,M.Kes NIP 194803131976101001 ... Sekretaris merangkap anggota

Prof.Dr.Ambar Mudigdo,dr.,Sp.PA (K) NIP: 194903171976091001

...

Anggota

Penguji

1. Prof. Dr. dr. H.A.A. Subiyanto, MS NIP : 194811071973101003

...

2. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd NIP: 196611081990032001 ... Mengetahui, Direktur Program Pascasarjana Ketua

Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Prof. Drs.Suranto, M.Sc., Ph.D NIP: 195708201985031004

(4)

iv N a m a : Shobari

NIM : S 540908029

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis dengan judul PengaruhPreferensiGaya

Kepemimpinan Dan Iklim Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Pada Instalasi Gawat Darurat

Rumah Sakit Badan Layanan Umum Di Surakarta adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia

menerima sangsi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya pe-roleh dari tesis

tersebut.

Surakarta, 5 Februari 2010

Yang membuat pernyataan

(5)

v

Di Surakarta . Tesis. Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh preferensi gaya kepe-mimpinan dan iklim kerja terhadap kinerja pegawai pada Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Badan Layanan Umum di Surakarta.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif korelasional dengan pendekatan potong lintang (Cross sectional), Populasi Sasaran adalah semua pegawai pada Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Badan Layanan Umum di Surakarta, Populasi Sumber adalah semua pegawai Instalasi Gawat Darurat BLUD Dr. Moewardi Surakarta. Tehnik pengambilan sampel secara exhaustive sampling Pengukuran preferensi gaya kepemimpinan, iklim kerja dan kinerja menggunakan kuesioner. Pengolahan data untuk menguji hipotesis menggunakan tehnik regresi logistik ganda dengan dummy variable.menggunakan bantuan SPSS versi 17.

Hasil penghitungan pada regresi logistik ganda dengan dummy variable , n 60, -2log likelihood 78,48, nagelkerke R square 21,8%. Preferensi gaya kepemimpinan demokratis dengan gaya kepemimpinan otoriter memiliki OR:3,7; p 0,03. Preferensi gaya kepemimpinan laissez faire dengan gaya kepemimpinan otoriter OR 0,3; p: 0,08. Iklim kerja kondusif dengan iklim kerja non kondusif OR: 4,1; p:0,04

(6)

vi

Against Climate Employee Performance Installation in Hospital Emergency Public Service Board in Surakarta. Thesis. Master Study Program Main Interest in Family Medicine University of Health Professions Education in Sebelas Maret Surakarta.

This study aims to determine the influence of leadership style preferences and work climate on employee performance in the Installation Hospital Emergency Public Service Board in Surakarta.

Kind of research is descriptive quantitative research korelasional sectional approach (Cross sectional), Target population is all employees in the Installation Hospital Emergency Public Service Board in Surakarta, Population Source is all employees of the Emergency Installation Dr. BLUD. Moewardi Surakarta. Sampling techniques are exhaustive sampling. Measurement of leadership style preferences and performance work climate using a questionnaire. Processing of data to test hypothesis using multiple logistic regression using SPSS version 17.

The results of multiple logistic regression calculations with dummy variables, n 60, -2log possibility 78.48, nagelkerke R square 21.8%. Democratic leadership style preferences to have an authoritarian leadership style OR: 3,7 p: 0,03. Preferences laissez faire leadership style with an authoritarian leadership style OR: 0,3; p: 0,08. Working climate conducive to non-conducive work climate OR: 4,1; p: 0,04.

(7)

vii

Puji syukur Alhamdulillah di panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah, sehingga telah dapat terselesaikan tesis yang berju-dul “ Pengaruh Preferensi

Gaya Kepemimpinan dan Iklim Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Pada Instalasi Gawat Darurat

Rumah Sakit Badan Layanan Umum Di Surakarta”.

Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat magister

program studi kedokteran keluarga minat utama pendidikan profesi kese-hatan

. Tanpa bimbingan dan arahan dari berbagai pihak kiranya tesis ini tidak akan

terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu ucapan terima kasih di sampaikan kepada:

1. Prof.Dr.Much.Syamsulhadi,Sp.KJ(K), Rektor Universitas Sebelas Maret Sura-karta.

2. Prof. Drs.Suranto, M.Sc.Ph.D.Direktur Pascasarjana Universitas Sebelas Ma-ret

Surakarta.

3. Prof. Dr. Didik Tamtomo, dr., PAK, MM, M.Kes. Ketua Program Studi Ma-gister

Kedokteran Keluarga dan Ketua Tim Penguji.

4. Prof. Dr. Ambar Mudigdo, dr., Sp.PA(K) Sekretaris Tim Penguji.

5. Prof. Dr.dr.H.A.A.Subiyanto, MS. Pembimbing I.

6. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd. pembimbing II

7. Prof. Bhisma Murti, dr., MPH, MSc, PhD. yang telah memberikan banyak bimbingan

serta memberikan dorongan dalam menyusun tesis.

8. Direktur dan Kepala Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

9. Teman-teman seangkatan, isteri dan anak-anak yang telah menginspirasi dan

(8)

viii

Di sadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, maka di harapkan saran dan

kritik dari pembaca.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Surakarta, Februari 2010

Penulis

(9)

ix

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... ... 1

B. Rumusan Masalah ... ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II STUDI PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Studi Pustaka ... 6

B. Landasan Teori ... 8

1. Kepemimpinan ... 8

2. Iklim Kerja ... 31

3. Kinerja ... 33

4. Gawat Darurat ... 38

C. Kerangka Pikir ... 39

D. Hipotesis ... 40

(10)

x

C. Populasi ... 41

D. Sampel ... 41

E. Variabel Penelitian ... 42

F. Definisi Operasional Variabel ... 42

G. Instrumen Penelitian ... 43

H. Prosedur Penelitian ... 43

I. Analisis Data ... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Subyek Penelitian ………..………… 45

B. Pengujian Hipótesis ……… 47

C. Pembahasan ... 48

1. Analisis Deskripsi Subyek Penelitian ... 48

2. Alalisis Deskripsi Variabel Penelitian ... 51

D. Keterbatasan Penelitian ... 56

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ... 58

B. Implikasi ... 58

B. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(11)

xi

Tabel 3.1 : Kisi-kisi instrumen penelitian ... 43

Tabel 4.1. : Karakteristik Umur dan Masa Kerja Subyek Penelitian ... 46

Tabel 4.2. : Frekuensi Jenis Kelamin dan Pendidikan Subyek Penelitian ... 46

Tabel 4.3. : Hasil analisis regresi logistik ganda tentang pengaruh preferensi

gaya kepemimpinan dan iklim kerja terhadap kinerja ... 46

(12)

xii

(13)

xiii

Lampiran 1 : Surat permohonan menjadi subyek penelitian

Lampiran 2 : Lembar persetujuan menjadi subyek penelitian

Lampiran 3 : Kuesioner

Lampiran 4 : Data primer uji validitas dan reliabilitas kuesioner.

Lampiran 5 : Analisis uji coba kuesioner.

Lampiran 6 : Data primer kuesioner

Lampiran 7 : Analisis data

Lampiran 8 : Permohonan Ijin Penelitian.

Lampiran 9 : Pengantar Penelitian.

Lampiran 10 : Surat Keterangan

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Visi Indonesia sehat 2010 yang telah digariskan di dalam paradigma sehat

adalah suatu proyeksi tentang keadaan masyarakat, bangsa dan negara yang akan

datang yang ditandai oleh mayoritas penduduknya hidup dalam lingkungan dan

perilaku sehat, memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan yang

bermutu secara adil dan merata serta berada dalam derajat kesehatan yang optimal

di seluruh pelosok tanah air (Depkes RI, 2003).

Kesehatan yang optimal bagi setiap individu, keluarga, kelompok dan

masyarakat merupakan tujuan dari upaya mewujudkan derajat kesehatan yang lebih

menekankan pada upaya promotif untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan,

preventif sebagai upaya pencegahan terhadap berbagai gangguan kesehatan dengan

tidak melupakan upaya kuratif sebagai upaya pengobatan serta rehabilitatif yang

merupakan pemulihan bagi yang sedang menderita penyakit maupun dalam kondisi

pemulihan terhadap penyakit. Senada dengan pendapat ini juga disampaikan oleh

Azwar dalam tesis (Soenartono, 2003).

Pada pelayanan di rumah sakit diperlukan sarana, prasarana, Instalasi Gawat

Darurat, High Care Unit, Intensive Care Unit, kamar jenazah, unit-unit penunjang

seperti radiologi, laboratorium klinik, farmasi, gizi, ruang rawat inap dan lain-lain

(Depkes RI, 2005).

Instalasi Gawat Darurat adalah suatu tempat/unit di rumah sakit yang

memiliki tim kerja dengan kemampuan khusus dan peralatan yang memberikan

pelayanan pasien gawat darurat dan merupakan bagian dari rangkaian upaya

(15)

Dalam kehidupan organisasi, termasuk didalamnya instalasi gawat darurat,

masing-masing anggota organisasi mempunyai peranan yang berbeda-beda. Untuk

mencapai tujuan anggota kelompok mempunyai sumbangan yang berbeda-beda.

Demikian juga kepemimpinan yang muncul sebagai akibat interaksi dalam

kehidupan organisasi, karena kelebihan-kelebihan dan sumbangannya dia diangkat

peranannya sebagai pemimpin. Sejauh seseorang dipandang oleh anggota-anggota

lain sebagai sumber yang dapat memberikan sumbangan yang tidak dapat diabaikan,

ia akan diangkat dan diakui sebagai pemimpin (Santosa, 2008: 5).

Di dalam suatu organisasi atau unit usaha baik itu formal atau informal,

selalu membutuhkan seorang pemimpin yang dapat memberikan semangat kepada

bawahannya untuk senantiasa produktif sebab keberadaan seorang pemimpin dalam

suatu organisasi dirasakan sangat mutlak bagaikan nahkoda bagi para bawahannya.

Keberhasilan seorang pemimpin ditentukan kemampuan pribadi pemimpin

(Santosa, 2008: 9).

Banyak ragam kepemimpinan, ada kepemimpinan adat, kepemimpinan

agama, kepemimpinan politik, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dalam

kepemimpinan ini menyangkut organisasi pemerintahan dalam hal ini Instalasi

Gawat Darurat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang didalamnya akan terlibat

orang-orang sebagai pejabat yang dibebani tugas-tugas pemerintahan, metoda atau

sistem dan pola kebijaksanaan tertentu (Santosa, 2008 :7).

Seorang pemimpin yang ideal akan mampu memperhatikan bawahannya

dan juga memperhatikan hasilnya (Santosa, 2008:35).

Karena itu pemimpin dituntut oleh organisasi untuk bisa fleksibel dalam

menggunakan gaya kepemimpinan yang tepat. Semangat kerja karyawan akan

muncul di antaranya dari adanya kepemimpinan yang diterapkan seorang pemimpin

dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara maksimal, sehingga pemimpin

(16)

bawahannya (Sulistiyani, 2008).

Pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang mampu

membang-kitkan semangat kerja dan menanamkan rasa percaya diri serta tanggung jawab pada

bawahan untuk melaksanakan tugas-tugas penuh tanggung jawab guna men-capai

tujuan organisasi.

Indikator kinerja pegawai dapat diukur dengan hasil yang dapat dicapai

oleh organisasi (Siswaji, 2007).

Penulis membandingkan kinerja pada dua kurun waktu didapat perbe-daan

yang signifikan. Kunjungan pasien di Instalasi Gawat Darurat pada tahun 2007

sebanyak 24.231 kunjungan, pada tahun 2008 sebanyak 27.654 kunjungan.

Response time pada tahun 2007 yang dilayani dalam 5 menit sebanyak 70 % dari

jumlah kunjungan, sedang pada tahun 2008 response time memendek, yaitu

penerimaan dalam 2 menit sebanyak 89 %. (Kinerja RSDM, 2008).

Deat On Arrival pada tahun 2007 mencapai 3 % dari jumlah kunjungan,

sedang tahun 2008 sebanyak 1,2 % dari jumlah kunjungan. Angka kematian di

Instalasi Gawat Darurat pada tahun 2007 sebanyak 3,9 %, tahun 2008 sebanyak 2,8

% (Kinerja RSDM, 2008)

Berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan diatas dan berdasarkan penelitian

terdahulu yang menyimpulkan bahwa faktor gaya kepemimpinan memberikan

kontribusi yang relatif besar dan sangat signifikan terhadap peningkatan kinerja

pegawai pada organisasi (Tampubolon, 2008), lalu bagaimana yang terjadi pada

instalasi gawat darurat sehingga mendorong peneliti mengangkat judul: “

Penga-ruh Preferensi Gaya Kepemimpinan dan Iklim Kerja dan pengaPenga-ruhnya terhadap

kinerja pegawai pada Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Badan Layanan Umum

di Surakarta”

(17)

Adakah pengaruh preferensi gaya kepemimpinan dan iklim kerja terhadap

kinerja pegawai pada Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Badan Layanan Umum

di Surakarta?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh

pre-ferensi gaya kepemimpinan dan iklim kerja terhadap kinerja pegawai pada

Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Badan Layanan Umum di Suirakarta.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk menganalisis preferensi gaya kepemimpinan kepala Instalasi

Gawat Darurat Rumah Sakit Badan Layanan Umum di Surakarta.

b. Untuk menganalisis iklim kerja pada Instalasi Gawat Darurat Rumah

Sakit Badan Layanan Umum di Surakarta.

c. Untuk menganalisis kinerja petugas Instalasi Gawat Darurat Rumah

Sakit Badan Layanan Umum di Surakarta.

d. Untuk menganalisis pengaruh antara preferensi gaya kepemimpinan,

iklim kerja terhadap kinerga pegawai pada Instalasi Gawat Darurat

Ru-mah Sakit Badan Layanan Umum di Surakarta.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis

a. Sebagai sumbangan informasi bagi pelayanan kesehatan khususnya

Rumah Sakit Badan Layanan Umum agar dapat digunakan sebagai usa-ha

dalam peningkatan program kualitas pelayanan kesehatan khususnya di

Instalasi Gawat Darurat.

(18)

Direktur Rumah Sakit Badan Layanan Umum saat merekomendasikan

kebutuhan kepala Instalasi Gawat Darurat.

c. Sebagai bahan masukan bagi pegawai yang menjadi ujung tombak

pela-yanan kesehatan agar dijadikan sebagai modal untuk peningkatan mutu

pelayanan keperawatan di Instalasi Gawat Darurat.

2. Manfaat teoritis

Mengembangkan konsep dan kajian yang lebih mendalam tentang

peningkatan kualitas kepemimpinan pegawai di Instalasi Gawat Darurat

sehingga diharapkan dapat menjadi dasar dan pendorong dilakukannya

penelitian yang sejenis tentang masalah ini dimasa yang akan datang.

(19)

BAB II

STUDI PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

A. Studi Pustaka

Penelitian yang berhubungan dengan kepemimpinan telah banyak di

lakukan, namun demikian penelitian dan informasi yang berhubungan kinerja

pegawai Instalasi gawat darurat pada rumah sakit badan layanan umum masih

terbatas.

Menurut penelitian Tampubolon (2008) yang mengambil judul analisis

faktor gaya kepemimpinan dan faktor etos kerja terhadap kinerja pegawai

pa-da organisasi yang telah menerapkan SNI 19-9001-2001 menyimpulkan

bah-wa: Faktor gaya kepemimpinan memberikan kontribusi yang relatif besar dan

sangat signifikan terhadap peningkatan kinerja pegawai pada organisasi dan

menyarankan bahwa program pengembangan organisasi ke depan harus lebih

diarahkan pada pengembangan gaya kepemimpinan. Faktor etos kerja

mem-berikan kontribusi yang relatif kecil namun masih signifikan dijadikan sebagai

indikator yang mempengaruhi kinerja pegawai pada organisasi.

Menurut penelitian Suraya (2007) yang telah meneliti tentang

hubu-ngan antara gaya kepemimpinan dan iklim kerja dehubu-ngan komitmen organisasi

dokter spesialis mitra rumah sakit PKU Muhammadiyah Surakarta. Pada

tesis-nya menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan positif signifikan antara

gaya kepemimpinan dengan komitmen, tetapi ada hubungan positif signifikan

antara iklim kerja dengan komitmen.

Menurut penelitian Fadli (2009) yang telah meneliti tentang pengaruh

(20)

Medan. Pada tesisnya menyimpulkan bahwa, Gaya kepemimpinan

berpenga-ruh positif terhadap kinerja karyawan. Pengaberpenga-ruh yang positif ini

menunjuk-kan adanya pengaruh yang searah antara gaya kepemimpinan dengan kinerja

karyawan atau dengan kata lain gaya kepemimpinan baik maka kinerja

karya-wan tinggi. Gaya kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap kinerja

kar-yawan. Pengaruh yang signifikan ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan

berpengaruh nyata (berarti) terhadap kinerja karyawan.

Penelitian yang lain oleh Fikri (2009) dengan judul Pengaruh Gaya

Kepemimpinan Camat Terhadap Motivasi Kerja Perangkat Kecamatan Bandar

Sribhawono Kabupaten Lampung Timur. Berdasarkan hasil perhitungan

bah-wa gaya kepemimpinan yang paling tinggi diterapkan oleh Camat Bandar

Sri-bhawono adalah gaya kepemimpinan Participating 61,1% sedangkan gaya

yang paling rendah diterapkan Camat Bandar Sribhawono adalah gaya Telling

sebesar 45 %. Tingkat motivasi kerja perangkat kecamatan Bandar

Sribhawo-no yang dapat dijelaskan bahwa 3,1% pegawai berada pada kategori tinggi,

50% pegawai berada pada kategori sedang 46,9% pegawai berada pada

kate-gori rendah.

Dari hasil penelitian tersebut diatas dapat diidentifikasi perbedaan

va-riabel yang diteliti, metodologi, instrument serta hasilnya. Berdasarkan

perbe-daan diatas cukup untuk menegaskan bahwa penelitian yang saya lakukan

ti-dak duplikasi dan replikasi bahkan merupakan pelengkap dari penelitian yang

(21)

B. Landasan Teori 1. Kepemimpinan

Kepemimpinan hingga saat ini belum di temukan sebuah definisi

yang sempurna dan mewakili pengertian kepemimpinan secara

menyelu-ruh. Definisi kepemimpinan yang dikemukakan para ahli, dan

masing-ma-sing memiliki tekanan serta sudut pandang yang berbeda. Bertolak dari

fe-nomena ini maka tidak ada satu definisi yang disepakati bersama,

mengi-ngat adanya variasi dalam penekanan dan sudut pandang tersebut (Habsari,

2008).

Secara teoritis kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting

dalam manajerial, karena proses kepemimpinan maka proses manajemen

akan berjalan dengan baik dan pegawai akan bergairah dalam melakukan

tugasnya (Hasibuan, 1996).

Definisi kepemimpinan ditunjukkan oleh adanya sudut pandang

para ahli yang berbeda. Adapun beberapa contoh definisi yang

dikemuka-kan oleh para ahli kepemimpinan dapat diketengahdikemuka-kan di sini adalah

(As‟ad, 1986 dalam Sulistiyani, 2008):

a. Kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang agar

supaya bekerja dengan ikhlas untuk mencapai tujuan bersama (Terry,

1954 dalam Sulistiyani, 2008).

b. Kepemimpinan merupakan suatu proses atau tindakan untuk

mem-pengaruhi aktivitas suatu kelompok organisasi dalam usahanya untuk

mencapai tujuan yang telah ditentukan (Stogdill, 1977 dalam

(22)

c. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain menca-

pai tujuan yang sudah ditentukan dengan penuh semangat (Davis,

1977 dalam Sulistiyani, 2008).

d. Kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang untuk lebih

berusaha mengarahkan tenaga dalam tugasnya, atau merubah tingkah

laku mereka (Wexley & Yukl, 1977 dalam Sulistiyani, 2008).

e. Kepemimpinan adalah suatu seni atau proses mempengaruhi

sekelom-pok orang sehingga mereka mau bekerja dengan sungguh-sungguh

un-tuk meraih tujuan kelompok (H. Koontz dan O‟Donnel, 1982 dalam

Sulistiyani, 2008).

f. Kepemimpinan merupakan kemampuan memperoleh konsensus dan

keikatan pada sasaran bersama melampaui syarat-syarat organisasi,

yang dicapai dengan pengalaman, sumbangan dan kepuasan di pihak

kelompok kerja (Cribbin, 1982 dalam Sulistiyani, 2008).

g. Kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi

diantara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan peruba

han nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya (Rost, 1993 dalam

Sulistiyani, 2008).

Pemimpin yang profesional itu sebenarnya adalah pimpinan yang

mengutamakan tercapainya tujuan organisasi dengan tidak merugikan dan

mengabaikan kepentingan orang lain, berfikiran dan bekerja yang benar

sesuai dengan peraturan yang berlaku diberbagai lingkungan dan

(23)

Inti dari kepemimpinan adalah human relation atau hubungan

antar manusia sehingga kepemimpinan dalam manajemen kepegawaian

merupakan salah satu bagian yang penting dalam organisasi dan

manaje-men.

Seorang pemimpin dalam menjalankan tugas dan fungsinya

ha-rus memiliki syart-syarat kecakapan yang antara lain meliputi:

1. Jujur.

Merupakan perpaduan antara keteguhan watak sehat dalam

prin-sip-prinsip moral, tabiat suka akan kebenaran, tulus hati dan perasaan

halus menganai etika keadilan dan kebenaran.

2. Berpengetahuan

Adalah totalitas kecerdasan dan pengertian luas yang diperoleh

dengan jalan belajar yang terus menerus.

3. Berani

Merupakan tingkatan mental yang mengakui adanya ketakutan

atau kekhawatiran terhadap bahaya-bahaya atau kemungkinan dari

ce-laan.

4. Mampu mengambil keputusan

Adalah kecakapan untuk memecahkan persoalan dengan cepat

dan tepat.

5. Dapat dipercaya

Dapat dipercaya merupakan kepastian pelaksanaan kewajiban

(24)

6. Berinisiatif

Adalah tindakan yang sehat dan tepat yang dilakukan atas dasar

pemikiran sendiri pada waktu tidak ada perintah-perintah tentang

ba-gaimana mengatasi kesukaran-kesukaran dan petunjuk dari atasan.

7. Bijaksana

Kebijaksanaan merupakan tindakan dan sikap yang

menggam-barkan pengertian yang sehat dan tepat mengenai jiwa seseorang.

8. Tegas

Ketegasan merupakan kemampuan untuk mengambil keputusan

atau tindakan yang tepat yang didasarkan kepada keyakinan bahwa

ke-putusan itu akan membawa kebaikan dalam pelaksanaan tugas.

9. Adil

Sifat adil adalah menunjukkan tidak berat sebalah.

10.Menjadi teladan

Berarti dapat menunjukkan sikap dan perilaku yang baik sesuai

dengan norma-norma kepribadian bangsa Indonesia.

11.Tahan uji

Merupakan kombinasi mental dan fisik. Suatu kemampuan

sese-orang untuk bertahan terhadap sakit, lelah, putus asa, kesukaran dan

kemalangan, agar dapat bertahan terhadap segala macam ujian,

pen-deritaan dan tantangan jasmaniah maupun rochaniah.

12.Loyalitas

Loyalitas adalah tingkat kesetiaan seseorang terhadap negara,

(25)

hal ini diperlukan agar dapat mengembangkan kualitas kesetiaan

ter-hadap negara, bangsa dan tanah air.

13.Tidak mementingkan diri sendiri

Adalah menghindarkan diri dari terpenuhinya kebutuhan dan

kesenangan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Hal ini

un-tuk membangkitkan respek dan kerja sama dengan bawahan.

14.Antusias

Antusias adalah cara menunjukkan perhatian yang tulus ikhlas

dan menggambarkan serta semangat dalam pelaksanaan tugas dan

kuwajiban dengan sebaik-baiknya.

15.Simpatik

Artinya mampu menunjukkan sikap dan perilaku yang sopan

serta dapat menghargai setiap bawahannya. Sifat simpatik diperlukan

agar tidak ditakuti oleh bawahannya, melainkan adanya rasa cinta

yang timbul karena kepercayaan.

Kepemimpinan merupakan suatu seni, yaitu seni untuk

mempenga-ruhi orang lain agar melakukan tindakan dan perbuatan yang diinginkan

pemimpin. Sebagai suatu seni, pemimpin tidak dapat disamaratakan,

ma-sing-masing orang mempunyai cara tersendiri, gaya tersendiri untuk

mem-pengaruhi orang lain dalam proses kepemimpinan. Bisa jadi walaupun

la-tar belakang pemimpin tersebut sama, akan tetapi karena cara dan gayanya

berbeda, maka tampilan dan kepemimpinannya akan berbeda pula

(26)

a. Otoriter

Gaya pemimpin otoriter adalah gaya pemimpin yang

memusat-kan segala keputusan dan kebijamemusat-kan yang diambil dari dirinya sendiri

secara penuh. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang

oleh si pemimpin yang otoriter tersebut, sedangkan para bawahan

ha-nya melaksanakan tugas yang telah diberikan dan macam gaya

kepe-mimpinan (http://organisasi.org/jenis pemimpin klasik otoriter

demo-kratis dan bebas manajemen sumber daya manusia)

Kepemimpinan sebagai sebuah proses, akan dihadapkan

kepa-da permasalahan tentang bagaimana proses tersebut kepa-dapat diciptakan,

dan difasilitasi supaya dapat berjalan lancar dan mencapai tujuan.

Sebuah proses mengisyaratkan adanya dinamika yang berlangsung

se-cara terus menerus. Sebagai seorang pemimpin diharapkan dapat

memfasilitasi terjadinya dinamika tanpa menimbulkan tekanan.

Dina-mika yang dimaksud dalam konteks kepemimpinan akan

termanifes-tasi dalam pola interaksi antar individu, komunikasi dan

hubungan-hu-bungan yang bersifat kompleks (Wahjosumidjo, 1994) dan

(Sulisti-yani, 2008).

Kemampuan memimpin merupakan modal yang perlu dipupuk

dan dikembangkan dari waktu ke waktu. Pengetahuan yang diperoleh

melalui membaca atau belajar dari pengetahuan orang lain yang telah

(27)

liki seorang pemimpin, sehingga dapat berkembang sebagai sebuah

impuls maupun membentuk sifat bijak dan kematangan jiwa

(Sulis-tiyani, 2008).

Berdasarkan uraian di atas, maka ciri-ciri kepemimpinan otori-

ter adalah:

1) Memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil dari

dirinya sendiri secara penuh

2) Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang oleh si

pe-mimpin

3) Bawahan hanya melaksanakan tugas yang telah diberikan.

b. Demokratis

Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang

memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada

permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim

yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin

membe-rikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para

bawa-hannya.

Seorang pemimpin perlu memfokuskan diri untuk mencapai

efektivitas dalam kepemimpinan. Secara umum dengan

memperguna-kan capability, capacity, serta personality secara terpadu, maka se-

orang pemimpin dapat mencapai efektivitas. Tetapi untuk

(28)

dukung oleh sebuah kecakapan dalam mengimplementasikan modal

dasar tersebut ke dalam sebuah pendekatan, sikap dan tindakan

kepe-mimpinan yang nyata. Kecakapan memimpin atau sering dikenal

de-ngan managerial skill perlu dikuasai. Untuk itu agar seorang

pemim-pin dapat menjadi efektif kepemimpemim-pinannya, dituntut memiliki kecaka-

pan manajerial sebagi berikut (Robert dalam Wahjosumidjo, 1994):

Conceptual skill merupakan ketrampilan untuk dapat

mengem-bangkan ide dan kerangka pemikiran sehingga dalam membuat

keputu-san organisasi dapat dilakukan dengan baik. Pemimpin harus mempu-

nyai wawasan luas, baik menyangkut masalah intern organisasi

mau-pun eksetern. Dengan demikian pemimpin akan dapat mempunyai

pe-ngertian yang menyangkut persoalan mikro maupun makro organisasi,

sehingga dapat menangkap setiap permasalahan yang muncul.

Ke-mampuan membuat konsep ini sangat dituntut pada top manager

(pe-mimpin puncak) mengingat kapasitas dan posisinya untuk dapat

mem-buat keputusan. Pada tingkatan ini pemimpin banyak berkecimpung

dengan kebijakan, sehingga mau tidak mau kemampuan konseptual

sa-ngat dibutuhkan. Sementara itu bagi middle manager (pemimpin pada

tingkat menengah) juga harus mempunyai kemampuan konseptual

na-mun tidak menonjol. Sedangkan pada lower manager (pemimpin pada

tingkat bawah) tidak dituntut untuk menguasai conceptual skill

mengi-ngat pekerjaannya lebih banyak bersentuhan dengan masalah-masalah

(29)

Human skill merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk

melakukan hubungan dengan orang lain. Ketrampilan ini berkaitan erat

dengan permasalahan bagaimana pemimpin membina hubungan

de-ngan anak buah, sesama pemimpin setingkat atau pemimpin di

atas-nya. Di samping itu pekerjaan-pekerjaan lain yang sangat ditentukan

o-leh ketrampilan ini adalah bagaimana pemimpin mengkomunikasikan

tugas, meminta pertanggungjawaban, melakukan koordinasi dan

lain-lain. Pada pemimpin di semua tingkatan dituntut mempunyai

ketrampi-lan human skill. Khususnya pada pemimpin tingkat menengah yang

mempunyai jalur komunikasi ke atas, ke samping dan ke bawah

men-dapatkan porsi terbesar untuk skill ini. Sedangkan pada top manager

maupun lower manager juga dituntut mempunyai ketrampilan ini

de-ngan porsi yang relatif mendekati pada pimpinan tingkat menengah.

Sebab di manapun kedudukan pimpinan bersentuhan dengan masalah

hubungan antar manusia, baik secara formal organisasi maupun non

formal (Wahjosumidjo, 1994) dan (Sulistiyani, 2008).

Berdasarkan paparan teoritis gaya kepemimpinan demokratis di

atas, indikator kepemimpinan demokratis adalah

1) Wewenang diberika secara luas kepada para bawahan.

2) Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai

suatu tim yang utuh.

3) Pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta

(30)

c. Laissez Faire

Pemimpin jenis ini hanya terlibat delam kuantitas yang kecil di

mana para bawahannya yang secara aktif menentukan tujuan dan

pe-nyelesaian masalah yang dihadapi.

Ketrampilan teknis selanjutnya dibebankan terbanyak pada

pe-mimpin tingkat bawah. Pepe-mimpin tingkat paling bawah bertugas pada

pekerjaan dan pengawasan pekerjaan yang paling teknis. Untuk itulah

ia harus benar-benar menguasai masalah teknik operasional, sehingga

ia bisa melakukan pengawasan atas pekerjaan anak buah, memberi

konsultasi, nasihat, pengarahan dan bimbingan kepada bawahan secara

tepat. Sedangkan pada top manager ketrampilan ini hanya sedikit

di-perlukan, karena biasanya untuk berhubungan dengan petugas teknis

top manager tidak secara langsung melainkan melalui pimpinan

mene-ngah atau tingkat bawah. Juga pada pimpinan tingkat menemene-ngah tidak

terlalu banyak tuntutan porsi ketrampilan ini (Wahjosumidjo,1994)dan

(Sulistiyani, 2008).

Pemimpin juga harus mampu membuat jaringan kerja yang

ba-ik secara internal, ke dalam organisasinya dan secara external di luar

organisasi yang dipimpinnya. Jaringan kerja dalam organisasi

diper-lukan untuk memperlancar tugas, membina hubungan kerjasama,

koor-dinasi tugas perlu diperhatikan. Apakah dalam membentuk jaringan

kerja internal ini pemimpin telah menempatkan sistem dan orang yang

tepat, atau tidak. Dengan sistem dan dukungan personal yang tepat

(31)

ke luar organisasi merupakan bentuk relasi yang diperlukan untuk

ke-pentingan organisasi tersebut. Apakah dalam hal ini pimpinan pandai

membuat terobosan baru, mencari partner dan relasi yang tepat guna

mendukung kelancaran tugas dan pencapaian tujuan organisasi atau

tidak. Dalam rangka membentuk jaringan kerja internal dan external

ini dibutuhkan kemampuan human skill yang cukup bagi pimpinan

(Sulistiyani, 2008).

Top manajer atau setidaknya midle manager diperlukan banyak

konseptual. Sedangkan pemimpin yang terampil diperlukan dalam

pe-ngendalian kegiatan-kegiatan operasi orgarisasi yang bersifat teknis.

Oleh karena itu pemimpin yang terampil biasanya berposisi di lini

ba-wah, untuk mengendalikan proses operasi kegiatan teknis, seperti

penggunaan peralatan, teknologi, penyelenggaraan pelayanan langsung

(Subekti, 2008).

Kemantapan dan kesanggupan untuk menanggung segala

resi-ko jabatan, dan kepemimpinan juga diperlukan.Rasa kesanggupan

me-rupakan sumber spirit dan semangat seseorang dalam menjalankan

kepemimpinan. Dengan kesanggupan yang penuh maka konsistensi

dalam menjalankan tugas kepemimpinan juga lebih terjaga (Sartono,

2003). Kepribadian yang baik seorang pemimpin akan lebih mudah

mendekati anak buah, sehingga proses kepemimpinannya juga tidak

terhambat (Soenarno, 2006).

Semangat yang tinggi yang terpancar dan setiap sikap perilaku

(32)

anggo-tanya untuk bergerak maju. Karakter yang baik akan dapat menjadi

te-ladan bagi anak buah, cenderung disegani dan dihormati (Sulistiyani,

2008). Kemampuan, pengetahuan dan kepribadian seorang pemimpin

akan memberikan kekuatan pemimpin. Faktor intrinsik sebagai modal

utama tersebut diperkuat oleh faktor ekstrinsik, berupa dukungan dan

luar dari pemimpin (Sulistiyani, 2008).

Kelancaran memimpin juga ditentukan oleh sikap bawahan

ter-hadap pemimpin apakah menerima atau menolak. Jika kehadiran

seo-rang pemimpin dipandang negatif, dapat mengakibatkan sikap

meno-lak dari bawahan. Pemimpin dipandang akan merusak tata kehidupan

di dalam kelompok itu. Sikap demikian akan menjadi penghambat

da-lam proses kepemimpinan seseorang. Berbeda jika seorang pemimpin

diterima sepenuhnya yang akan memperkuat posisi pemimpin,

sehing-ga dapat mempensehing-garuhi dan memotivasi bawahan secara efektif

(Sulistiyani, 2008).

Proses kepemimpinan itu tidak hanya tergantung dari pihak

individu pemimpin saja. Sementara ada faktor lain di luar pemimpin

yang juga akan ikut menentukan proses kepemimpinan seseorang yaitu

faktor bawahan (Sulistiyani, 2008).

Seorang pemimpin perlu dibuktikan apakah bawahannya dapat

menerima kehadirannya, disamping memiliki sebuah surat keputusan

dari yang berwenang. Seseorang individu bergabung pada suatu

orga-nisasi tentu memiliki motif tertentu, sehingga dengan demikian setelah

(33)

harus dipenuhi oleh organisasi. Sebaliknya organisasi juga mempunyai

tujuan yang dirumuskan dan dijadikan sebagai pedoman arah

organisa-si yang barus diperjuangkan dalam pencapaiannya. Untuk itulah kedua

pihak yang berbeda tersebut harus saling memberi dan menerima (take

and give) manfaat, seperti individu yang masuk dalain organisasi akan

menyumbangkan tenaga, pikiran, dan sebagai imbangannya ia akan

mendapatkan sesuatu dari organisasi (Thoha, 2001).

Sementara iu terbentuknya kelompok-kelompok informal

da-lam suatu organisasi sangat memungkinkan sekali, terlebih-lebih

apa-bila dalam suatu organisasi tersebut terdapat beberapa orang yang

me-miliki latar belakang yang hampir sama, mempunyai kepentingan yang

sama atau mempunyai hobi yang sama. Keadaan ini sangat

memung-kinkan terjadinya pengelompokan yang didasari oleh kesamaan

panda-ngan (Sulistiyani, 2006).

Kelompok-kelompok informal ini bisa menjadi pendukung atau

sebaliknya menjadi penghambat organisasi, Jika ada perbedaan maka

sangat mungkin kelompok tersebut mengganggu pencapaian tujuan

or-ganisasi. Keadaan ini juga harus dapat dinetralisir dengan melakukan

pendekatan yang tepat. Timbulnya beberapa kelompok informal juga

dapat menghadirkan pertentangan antar kelompok perselisihan atau

persaingan yang tidak sehat (Soenarno, 2006).

Fungsi pemimpin dalam hal ini harus dapat memanfaatkan dan

mengarahkan kelompok-kelompok tersebut agar semakin dekat dengan

(34)

Konflik-konflik tersebut apabila tidak teratasi maka akan

membahayakan organisasi. Oleh karena itu untuk menetralisir konflik

tersebut seorang pemimpin harus dapat mempengaruhi dan

memo-tivasi. Pekerjaan seorang pemimpin dalam hal ini adalah untuk dapat

mendekatkan konflik-konflik tersebut sehingga tercapailah suatu

kea-daan yang lebih baik, sehingga kepentingan timbal balik lebih

terpe-lihara (Sulistiyani, 2008).

Dari sini dapat semakin dipertegas bahwa kemungkinan yang

terjadi dalam organisasi adalah terjadinya perbedaan dan persamaan

tujuan antara orang-orang dengan organisasi (Sulistiyani, 2008).

Ada-pun secara rinci persamaan dan perbedaan tersebut dapat

dikemuka-kan sebagai berikut: sama tujuan, berbeda sebagian, jauh berbeda,

ber-tolak belakang (Sulistiyani, 2008).

Tujuan individu/kelompok yang sama dengan tujuan organisasi

tidak menimbulkan masalah, bahkan akan terjadi simbiosis

mutualis-ma. Sedangkan tujuan yang berbeda sebagian relatif mudah untuk

di-dekatkan. Sedangkan tujuan yang jauh berbeda dan yang bertolak

bela-kang merupakan mengandung potensi konflik yang tinggi, dan sangat

sulit untuk didekatkan satu sama lain (Utomo, 1995).

Pada prinsipnya perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan oleh

adanya perbedaan individu, martabat manusia, sikap dan perilaku.

In-dividu memang tidak terhindar dan keunikannya sendiri-sendiri.

Pe-mimpin harus menyadari akan terjadinya perbedaan antar individu,

(35)

yang juga tidak boleh diabaikan oleh pemimpin, mengingat efektivitas

untuk mempengaruhi dan memotivasi individu seorang pemimpin juga

harus dapat mendekati secara individual. Bahkan agar efektif

pemim-pin juga harus memahami setiap individu tersebut (Sulistiyani, 2008).

Realitas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bersifat

spe-sifik antara manusia di satu sisi merupakan kekayaan yang mungkin dapat

saling melengkapi, namun di sisi lain dapat memperbesar potensi konflik

dalam organisasi. Variabilitas yang dihadapi atas individu yang tergabung

dalam organisasi perlu dimanajemeni dengan tepat agar dapat bersifat

sa-ling mengisi dan sasa-ling melengkapi (Sulistiyani, 2008).

Harga diri seorang individu, sikap serta perilaku juga

mengaki-batkan terjadinya perbedaan-perbedaan. Setiap orang tentu memiliki harga

diri dan ketika dipertautkan kepentingan organisasi terhadap individu atau

sebaliknya, maka di dalamnya harga diri tetap menjadi bagian yang tidak

terpisahkan. Hal yang sama juga terjadi ketika antar orang dan antar

ke-lompok melakukan kerjasama. Dalam hal ini dihadapkan pada risiko untuk

saling menghargai satu sama lain. Namun demikian rentang dan batas

se-tiap orang akan kebutuhan dihargai oleh pihak lain seringkali berbeda satu

sania lain. Sejauh manakah atau setinggi apakah seseorang harus dihargai

martabatnya, hal ini dapat membentuk perbedaan yang bersifat spesifik,

bahkan cara menghargai martabat seseorang juga menjadi bervariasi

(Sulistiyani, 2008).

Sikap merupakan bagian penting yang dapat mencirikan perbedaan

(36)

melalui respons terhadap suatu hal. Misalnya sikap keterbukaan, sikap

disiplin, keaktifan, sikap kooperatif, merupakan bentuk respon atas suatu

ketentuan atau peristiwa atau perintah. Sikap hanya dapat dibaca dan

baha-sa tubuh, tutur kata, atau perilaku/perbuatan. Dalam organibaha-sasi cenderung

potensial untuk terjadinya perbedaan karena sikap yang berbeda. Ada anak

buah yang sangat disiplin dalam bekerja, tetapi ada yang mas. Ada anak

buah yang sangat patuh, tetapi ada yang membangkang, ada yang sangat

mudah untuk diajak diskusi secara terbuka berpendapat, tetapi ada yang

lebih suka bergunjing di belakang (Kartono, 1998).

Perilaku mencerminkan bagaimanakah seseorang menanggapi

suatu hal. Perilaku anggota dalam organisasi juga bervariasi, kendati

treat-ment yang digunakan sama. Misalnya perilaku kerja, ada yang positif ada

yang negatif. Sangat sulit memisahkan antara perilaku dengan sikap.

Kare-na seringkali perilaku merupakan bentuk visual dan sikap. Sikap

ibarat-nya merupakan keputusan batiniah sedangkan perilaku merupakan

reso-nansi dan keputusan tersebut.

Salah satu komponen penting untuk dibahas dalam kepemimpinan

adalah masalah kekuasaan. Kekuasaan merupakan bagian yang melekat

dalam kepemimpinan. Jika kepemimpinan adalah aktivitasnya, maka

ke-kuasaan adalah sebagai sumber inspirasinya (Sulistiyani, 2008).

Menurut Wahono (2003) hubungan pemimpin dan kekuasaan

ada-lah ibarat gula dengan manisnya, ibarat garam dengan asinnya.

Selanjut-nya dia meSelanjut-nyampaikan bahwa ketika kekuasaan terSelanjut-nyata bisa timbul tidak

(37)

sebagai movement untuk memanfaatkan genesis (asal-usul) kekuasaan, dan

menerapkannya pada tempat yang tepat. Dan pendapat ini jelas bahwa

ge-nesis kekuasaan dapat diaktualisasikan melalui proses kepemimpinan

sese-orang. Adapun jelmaan dan genesis kekuasaan sesungguhnya sangat

ter-gantung dan kemampuan seseorang pemimpin untuk berkreasi serta

men-definisikan fungsinya serta menjiwai dan setiap sumber kekuasaan yang

dimilikinya yang dimanfaatkan untuk tujuan positif.

Power sesungguhnya bukan merupakan satu-satunya hal yang

me-nentukan seseorang pemimpin mencapai sukses. Tetapi power merupakan

salah satu modal yang memberikan ruang bagi seseorang pemimpin untuk

melakukan langkah-langkah yang lebih pasti dalam konteks implementasi

kepemimpinan. Power merupakan sebuah prasyarat bagi seseorang

pe-mimpin tersebut menjadi eksis. Bahkan kadang-kadang dengan power

ma-ka eksistensi seseorang pemimpin menjadi lebih diakui. Kendati power

menjadi sebuah modal seorang pemimpin untuk memanfaatkan ruang serta

media kepemimpinan, namun tidak semua kondisi dapat sesuai dengan

se-mua jenis power. Faktor kondisional tersebut memerlukan kreativitas dan

pendekatan pemimpin dalam mengimplementasikan power itu sendiri

(Wahjosumidjo, 1994).

Power merupakan suatu bentangan kekuasaan serta aksentuasi

ke-kuatan yang dimiliki oleh seseorang, baik bersumber pada kemampuan

dan jati diri secara pribadi, atau merupakan mandat serta bentukan

lingku-ngan, maupun bersumber pada kekuatan lain baik berupa ketentuan hukum

(38)

bentangan kekuasaan serta aksentuasi kekuatan yang diperoleh tersebut

se-seorang dapat mempengaruhi pihak lain. Bertolak dan paparan definisi ini

maka pembahasan mengenai power senantiasa menanyakan bagaimana

dan seperti apa kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang? Apakah power

tersebut mempunyai wujud kekuasaan dan kekuatan tertentu, yang dapat

diidentifikasi dan dapat diaktualisasikan. Sejauh mana power tersebut ada

dan mampu diwujudkan? Pertanyaan lain yang muncul adalah dan mana

sumber power, apakah bersumber dan diri sendiri, atau dan luar? Dan

ba-gaimanakah power tersebut dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi

orang lain?

Di samping mencermati apa sesungguhnya power, juga perlu

me-runut Iebih lanjut tentang istilah yang memiliki kemiripan dengan power,

yaitu otoritas. Power berbeda dengan otoritas. Pengertian power tidak

selalu harus terikat dengan hal-hal yang bersifat formal, sedangkan otoritas

selalu terikat dengan hal yang bersifat formal. Power tidak harus dimiliki

karena jabatan formal, sedangkan otoritas terkait dengan jabatan formal.

Pada kelompok-kelompok non formal seseorang dapat mempunyai power,

yang dapat mempengaruhi orang lain, meskipun seseorang tersebut tidak

mempunyai kedudukan tinggi. Bahkan pada suatu organisasi mungkin

sekali orang yang tidak mempunyai jabatan apa-apa tetapi ia memiliki

power, sehingga dapat mempengaruhi orang lain. Dan deskripsi tersebut

dapat dipahami masing-masing perbedaan substansial antara power dan

otoritas. Jika sumber kekuasaan dapat formal, informal, dan dapat terkait

(39)

pada kondisi formal, sedangkan otoritas merupakan sesuatu yang harus

bersifat formal dan bersuinber pada ketentuan formal (Thoha,2001:91).

Di sisi lain power dapat diartikan sebagai sesuatu yang bukan

se-kedar jelmaan dan kekuatan. Power merupakan sebuah energi yang dapat

digunakan sebagai upaya mempengaruhi orang lain, tetapi tidak bersifat

menekan. Setiap orang dapat menggunakan power, akan tetapi power

di-gunakan sebagai sebuah kecakapan untuk mempengaruhi dalam kerangka

kepemimpinan. Dengan kata lain power tersebut tidak lepas dan konteks

sebuah praktik kepemimpinan. Power menunjukkan bagaimana kapasitas

seseorang dalam mempengaruhi perilaku orang lain, sehingga orang lain

tersebut melakukan tindakan seperti apa yang dikehendaki atasnya. Power

merupakan suatu kapasitas atau menunjukkan potensi kapasitas yang

berguna untuk menunjukkan eksistensinya. Sedangkan dalam konteks

politik power memaksimalkan pengaruh untuk orang lain pada posisi yang

setara dan atau pengaruh kepada pihak atasan, atau merupakan sebuah

taktik dan strategi untuk memenangkan (Thoha,2001).

Untuk memperjelas pemahaman tentang kekuasaan, perlu dibahas

selanjutnya mengenai tipe-tipe kekuasaan. Apakah seorang pemimpin

ter-sebut memiliki kekuasaan berdasarkan pada suatu basis tertentu? Tentunya

masing-masing basis sebagai sumber asal-usul kekuasaan tersebut

mem-punyai implikasi yang berbeda-beda. Jika seseorang memmem-punyai sebuah

kekuasaan bersumber dari dirinya sendiri tentu menjadi sangat

indepen-dent dibandingkan ketika seseorang memperoleh power akibat keputusan

(40)

dilihat adanya perbedaan kekuasaan tersebut. Sumber dan power menurut

French dan Raven dapat dibedakan menjadi lima tipe kepemimpinan

(Utomo,1995:2) dan (Thoha,2001) dan (Sulistyani, 2008):

a. Reward Power

Reward power merupakan kemampuan seseorang pemimpin

dalam memberikan janji-janji. Atau dapat dikatakan bahwa seorang

pe-mimpin dalam mempengaruhi bawahan agar berperilaku tertentu atau

melakukan tindakan tertentu, melalui janji-janji yang menarik.

Ke-mampuan untuk memberikan janji-janji yang menarik kepada bawahan

agar bawahan mengikuti apa yang diinginkan oleh pemimpin

meru-pakan reward power. Janji-janji tersebut seolah merupakan jaminan

bagi bawahan, jika bawahan mengikuti kehendak pemimpin nantinya

akan mendapatkan hadiah tertentu. Tentu saja pemimpin dalam

meng-gunakan reward power ini perlu dukungan pemimpin untuk dapat

ngungkapkan pengaruhnya dalam bentuk bujukan-bujukan yang

ngandung janji-janji manis sehingga merangsang bawahan untuk

me-ngikuti (Wahjosumidjo, 1994).

Wahono (2003) menterjemahkan reward power tersebut

seba-gai kekuasaan penghargaan, atau dapat dikatakan sebaseba-gai kekuasaan

untuk memberi keuntungan positif atau penghargaan kepada yang

di-pimpin. Setara dengan uraian di atas, maka dalam hal ini penghargaan

dimaksud pada hakikatnya dikomunikasikan melalui janji-janji yang

diberikan oleh seseorang sebagai pemegang kekuasaan terhadap anak

(41)

mengikuti apa yang diarahkan kepadanya maka pemegang kekuasaan

akan menyampaikan penghargaan tersebut. Adapun penghargaan yang

dimaksud dapat mencakup materi dan immateri, seperti promosi

jaba-tan, peluang pengembangan diri, dan pekerjaan yang lebih prospektif

(Sulistiyani, 2008).

Tentu saja memberikan janji-janji memberikan keuntungan

po-sitif kepada anak buah, dalam praktiknya tidak mudah untuk

dila-kukan. Agar realisasi dan reward power tersebul dapat berjalan lancar

membutuhkan kemampuan berupa sumberdaya yang memadai.

De-ngan demikian arti strategis bagi seorang pemegang power

berda-sarkan penghargaan ini setidaknya dapat berpikir secara linear tentang

potensi sumberdaya yang dimiliki, dengan tinggi rendahnya janji

untuk memberikan penghargaan tersebut. Secara tersirat pemegang

reward power hendaknya menciptakan kondisi seimbang antara janji

yang diberikan dengan kemampuan sumber daya yang mungkin dapat

digunakan (Wahjosumidjo, 1994).

Dalam teori potensi seseorang dalam mempengaruhi orang lain

seperti dikemukakan oieh French dan Raven (1959) dalam (http:/ nw

link.com/~donclark/leader/lead.html) reward power sebagai (1)

com-pliance achieved based on the ability to distribute rewards that others

view as valuable. (2) Able to give special benefit rewards to people.

Kekuasaan untuk memberikan penghargaan, merupakan

pe-menuhan yang dicapai berdasarkan pada kemampuan untuk

(42)

yang bernilai atau berharga. Apabila mampu memberikan penghargaan

merupakan keuntungan yang bersifat khusus bagi seseorang. Dapat

dipahami bahwa memberikan penghargaan dalam hal ini sangat

me-merlukan kemampuan untuk distribusi penghargaan secara baik/adil, di

samping pemenuhan atas janji-janji yang diperlukan.

Efektivitas kekuasaan jenis ini akan terjadi jika penghargaan

yang dijanjikan dapat diwujudkan/diperoleh oleh pemimpin. Di

sam-ping itu sistem penghargaan yang dibangun relevan dengan tingkat

ca-paian/ produktivitas atau kinerja anak buah. Pertimbangan lain adalah

jika pemimpin mampu membangun sistem penghargaan yang bersifat

progresif (Wahjosumidjo, 1994).

b. Legitimate Power

Legitimate power merupakan sumber kekuasaan yang diperoleh

melalui kekuatan formal. Seorang pemimpin mempunyai kekuasaan

karena mendapatkan legitimasi dan kekuatan formal yang absah.

Dengan demikian Ia mempunyai posisi yang sah dan kuat untuk

me-lakukan sesuatu sebatas kekuasaan yang diniiliki secara sah tersebut.

Biasanya pemimpin seperti ini merupakan pemimpin formal yang

mendapatkan SK (Surat Keputusan) untuk melakukan kepemimpinan

di suatu organisasi/instansi tertentu (Wahjosumidjo, 1994).

Kekuasaan yang sah ini semata-mata bersumber dari jabatan

yang dipegangnya, atas dasar pengangkatan dengan surat keputusan,

yang di dalamnya telah disebutkan secara eksplisit baik status,

(43)

sema-cam ini terkait dengan hirarkhi dalam struktur orgamsasi. Oleh karena

itu kekuasaan semacam ini akan semakin besar legitimasinya ketika

kedudukan seseorang semakin tinggi dalam birokrasi tersebut.

Seseo-rang yang memegang kekuasaan ini cenderung mempengaruhi oSeseo-rang

lain berdasarkan atas hasil yang diperoleh dan jabatannya. Pengaruh

pejabat tinggi akhirnya menjadi semakin besar dan luas dibandingkan

pejabat di bawahnya (Wahjosumidjo, 1994).

Seperti dikatakan oleh Wahono (2003) bahwa legitimate power

merupakan kekuasaan sah, yakni kekuasaan yang dimiliki seorang

pe-mimpin sebagai hasil dan posisinya dalam suatu organisasi atau

lemba-ga. Senada dengan pendapat ini juga disampaikan oleh French dan

Raven (1959) dalam (http: /www.nwlink.com/~donclark/leaden/

lea-dle.html), the power a person recieves as a result of his or her position

in the formal hierarchy of an organizations.

Bertolak dan definisi tersebut, maka kekuasaan sah dapat

dimak-nai dengan kekuasaan formal, yang mempunyai implikasi berupa

a-danya wewenang formal bagi seseorang yang mendapat legitimate

power. Jenis kekuasaan ini menempatkan pihak pemegang kekuasaan

mempunyai kekuatan formal dan kuat secará hukum, sehingga

kepa-danya setiap anak buahnya harus taat dan patuh. Dengan demikian

pe-megang sah atas kekuasaan punya wewenang untuk memerintah anak

buahnya. Setiap anak buah sendiri memiliki konsekuensi untuk selalu

(44)

c. Coercive Power

Coercive power atau kekuasaan paksaan adalah kekuasaan

pe-mimpin untuk mempengaruhi orang lain dengan kekuatan memaksa,

karena ia memunyai kedudukan dan posisi yang sangat kuat. Dengan

posisi kuat tersebut maka seorang pemimpin dapat memberikan

perin-tah, dapat memaksa orang lain untuk bertindak tertentu. Bekerja di

ba-wah tekanan kekuasaan orang lain tentu kurang menarik bahkan

mem-buahkan sebuah resistensi. Hanya lantaran anak buah ketakutan, anak

buah bersedia melaksanakan perintah-perintah pemimpin. Suasana

ter-sebut menjadi sangat tidak sehat dan tidak efektif, meskipun pekerjaan

rutin tetap berjalan seperti sediakala (Sulistiyani, 2008).

2. Iklim Kerja

Iklim kerja sering disebutkan dengan iklim organisasi, karena kerja

merupakan satu kesatuan organisasi. Iklim organisasi adalah lingkungan

internal atau psikologi organisasi. Para ahli dari barat mengartikan iklim

organisasi sebagai suatu unsur fisik, di mana iklim dapat sebagai suatu

atribut dari organisasi atau sebagai suatu atribut suatu persepsi individu.

Duncon (1972) mencirikan iklim organisasi sebagai keseluruhan

faktor-faktor fisik dan sosial yang terdapat dalam sebuah organisasi. Menurut

model Pines (1982), iklim kerja sebuah organisasi dapat diukur melalui

(45)

a) Dimensi psikologikal, yaitu meliputi variabel seperti beban kerja,

ku-rang otonomi, kuku-rang pemenuhan sendiri (self-fulfilment clershif), dan

kurang inovasi.

b) Dimensi struktural, yaitu meliputi variabel seperti fisik, bunyi dan

tingkat keserasian antara keperluan kerja dan struktur fisik.

c) Dimensi sosial, yaitu meliputi aspek interaksi dengan klien (dari segi

kuantitas dan ciri-ciri permasalahannya), rekan sejawat (tingkat

du-kungan dan kerja sama), dan penyelia-penyelia (dudu-kungan dan

im-balan).

d) Dimensi birokratik, yaitu meliputi Undang-undang dan

peraturan-pera-turan konflik peranan dan kekaburan peranan.

Kemudian dikemukakan oleh Simamora (2001:81) disebutkan

bah-wa iklim organisasi adalah lingkungan internal atau psikologi organisasi.

Iklim organisasi mempengaruhi praktik dan kebijakan SDM yang diterima

oleh anggota organisasi. Perlu diketahui bahwa setiap organisasi akan

me-miliki iklim organisasi yang berbeda. Keanekaragaman pekerjaan yang

dirancang di dalam organisasi, atau sifat individu yang ada akan

meng-gambarkan perbedaan tersebut. Semua organisasi tentu memiliki strategi

dalam memanajemen SDM. Iklim organisasi yang terbuka memacu

kar-yawan untuk mengutarakan kepentingan dan ketidakpuasan tanpa adanya

rasa takut akan tindakan balasan dan perhatian. Ketidakpuasan se-perti itu

dapat ditangani dengan cara yang positif dan bijaksana. Iklim keterbukaan,

bagaimanapun juga hanya tercipta jika semua anggota memiliki tingkat

(46)

orga-nisasi penting untuk diciptakan karena merupakan persepsi seseorang

tentang apa yang diberikan oleh organisasi dan dijadikan dasar bagi

penen-tuan tingkah laku anggota selanjutnya. Iklim ditentukan oleh seberapa baik

anggota diarahkan, dibangun dan dihargai oleh organisasi (Kusnan, 2004:

12-13).

Menurut Bloom mendefinisikan iklim dan situasi pengaruh dan

rangsangan dari luar yang meliputi pengaruh fisik sosial dan intelektual

situasi, dalam hal ini dapat dibagi menjadi beberapa skala yaitu

kekom-pakan, kepuasan, kecepatan, formalitas, kesulitan dan demokrasi (Suraya,

2007).

3. Kinerja

Di Indonesia istilah kinerja telah populer digunakan dalam media

masa dan media massa Indonesia memberi padanan kata dalam bahasa

Inggris untuk istilah kinerja tersebut, yakni “performance”. Menurut The

Scribner-Bantam English Dictionary, terbitan Amerika Serikat dan

Cana-da, tahun 1979, terdapat keterangan sebagai berikut : Pertama, berasal dari

akar kata “to perform” yang mempunyai “entries” berikut : melakukan,

menjalankan, melaksanakan, memenuhi atau menjalankan kewajiban

se-suatu keinginan, melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab,

melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin. Dapat

di-simpulkan bahwa dari beberapa entries tersebut “to perform” adalah mela

-kukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung

(47)

performance merupakan kata benda (noun) dimana salah satunya adalah :

“thing done” (sesuatu hasil yang telah dikerjakan) (Samsudi, 2008: 2).

Ada beberapa unsur yang dapat kita lihat dari kinerja seorang

kar-yawan. Seorang karyawan dapat dikelompokkan ke dalam tingkatan

kiner-ja tertentu dengan melihat aspek-aspeknya, seperti: tingkat efektivitas,

efi-siensi, keamanan dan kepuasan pelanggan/fihak yang dilayani.

Tingkat efektivitas dapat dilihat dari sejauhmana seorang

karya-wan dapat memanfaatkan sumber-sumber daya untuk melaksanakan

tu-gas-tugas yang sudah direncanakan, serta cakupan sasaran yang bisa

dila-yani. Tingkat efisiensi mengukur seberapa tingkat penggunaan

sumber-sumber daya secara minimal dalam pelaksanaan pekerjaan. Sekaligus pula

dapat diukur besarnya sumber-sumber daya yang terbuang, semakin besar

sumber daya yang terbuang, menunjukkan semakin rendah tingkat

efi-siensinya.

Unsur keamanan-kenyamanan dalam pelaksanaan pekerjaan,

me-ngandung dua aspek, baik dari aspek keamanan-kenyamanan bagi

karya-wan maupun bagi fihak yang dilayani. Dalam hal ini, penilaian aspek

kea-manan-kenyamanan menunjuk pada keberadaan dan kepatuhan pada

stan-dar pelayanan maupun prosedur kerja. Adanya stanstan-dar pelayanan maupun

prosedur kerja yang dijadikan pedoman kerja dapat menjamin seorang

karyawan bekerja secara sistematis, terkontrol dan bebas dari rasa „was

-was‟ akan komplain. Sementara itu, fihak yang dilayani mengetahui dan

(48)

Mengingat fungsi ideal dari pelaksanaan tugas karyawan dalam

unit kerja adalah fungsi pelayanan, maka unsur penting dalam penilaian

kinerja karyawan adalah kepuasan pelanggan/fihak yang dilayani.

Mengukur kepuasan pelanggan, merupakan persoalan yang cukup

pelik. Sehingga tidak jarang, unsur ini sering kali diabaikan dan jarang

di-lakukan. Disebut pelik, karena pengukuran kepuasan pelanggan harus

memperhatikan validitas pengukuran, sehingga harus memperhatikan

me-tode dan instrumen yang tepat. Dalam pelaksanaan pekerjaan yang bersifat

profit-oriented, kepuasan pelanggan seringkali dihubungkan dengan

ting-kat keuntungan „finansial‟ yang diperoleh. Dalam pelaksanaan pekerjaan

yang social-oriented, kepuasan pelanggan banyak dihubungkan dengan

tingkat kunjungan ulang pelanggan. Meskipun kenyataanya tidak selalu

demikian, karena pelayanan yang sifatnya monopolistik dapat

meningkat-kan „keterpaksaan‟ pelanggan untuk datang dan minta dilayani. Mereka

tidak memiliki pilihan.

Kemudian mengenai kinerja (performance) diartikan pula oleh

Simamora (1995 : 327) yaitu merupakan suatu pencapaian persyaratan

pe-kerjaan tertentu yang akhirnya secara nyata dapat tercermin keluaran yang

dihasilkan. Suprihanto (2000 : 7) menyebutkan istilah kinerja dan prestasi

kerja yaitu : hasil kerja seseorang selama periode tertentu dibandingkan

dengan berbagai kemungkinan, misalnya standar, target/sasaran.

Menurut Mangkunegara (2001: 67), istilah kinerja berasal dari kata

job performa-ce atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi

(49)

kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh

seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung

jawab yang diberikan kepadanya.

Penilaian kinerja menurut Rahmanto dalam Tampubolon (2008)

mempunyai dua elemen pokok yakni :

a. Spesifikasi pekerjaan yang harus dikerjakan oleh bawahan dan kriteria

yang memberikan penjelasan bagaimana kinerja yang baik dapat

dica-pai.

b. Adanya mekanisme untuk pengumpulan informasi dan pelaporan

me-ngenai cukup tidaknya perilaku yang terjadi dalam kenyataan

diban-dingkan dengan kriteria yang berlaku.

Berdasarkan uraian di atas kinerja (performance) adalah suatu

ha-sil yang telah dikerjakan dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang

dilaksanakan secara legal, tidak melanggar hukum serta sesuai dengan

mo-ral dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.

Penilaian mengenai organisasi dan fakor-faktor yang

mempenga-ruhinya pada masa depan dapat diikhtisarkan sebagai berikut :

1. Organisasi-organisasi akan beroperasi dalam lingkungan yang bergolak

yang membutuhkan perubahan-perubahan penyesuaian yang terus

menerus. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi tidak statis.

2. Organisasi-organisasi perlu menyesuaikan diri dengan berbagai nilai

kultural dalam lingkungan sosial. Contoh organisasi yang berada di

suatu kampus, maka organisasi itu harus menyesuaikan dengan

(50)

3. Organisasi-organisasi akan terus meluaskan batas-batas daerah

wewe-nangnya. Keberadannya akan bertambah besar dan kompleks.

4. Organisasi-organisasi akan terus mendefferensiasikan kegian-kegiatan

mereka sehingga menambah masalah integrasi dan koordinasi, karena

kompetitif dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

cepat.

5. Perhatian terhadap mutu kehidupan kerja akan meningkatkan. Karena

pesaing semakin besar, maka kualitas harus ditingkatkan.

6. Penekanan lebih besar pada saran dan bujukan daripada pemaksanaan

yang didasarkan pada kekuasaan sebagai alat koordinasi kegiatan dan

fungsi organisasi.

7. Para peserta di semua tingkat organisasi akan lebih berpengaruh.

8. Nilai dan gaya hidup orang dan kelompok dalam organisasi akan

ter-dapat lebih banyak ragamnya. Karena peluang antara pria dan wanita

sama, dari sisi etnis juga sama.

9. Penilaian terhadap prestasi organisasi akan lebih sulit. Karena

organisa-si selalu berkembang, maka standar yang baku sudah tidak memadai

lagi.

10. Proses perubahan berencana dengan keterlibatan para peserta yang

meluas akan dilembagakan/ diformalkan.

11. Gerakan menjauh selalu tercipta dari organisasi stabil mekanistik

me-nuju ke arah sistem yang adaptif yang tanggap terhadap perubahan.

(51)

jurang/gap antara pengetahuan dan penerapannya, namun demikian

kemajuan terus ada.

4. Gawat Darurat

Rumah sakit dapat dikatakan sebagai suatu industri jasa kesehatan

namun sungguh sangat spesifik. Kaidah-kaidah yang berlaku di industri

secara umum, beberapa hal tidak bisa diterapkan pada rumah sakit. Pada

ranah hukum beberapa hal justru implikasinya komplek (Soenartono,

2003).

Pada pelayanan rumah sakit diperlukan sarana, prasarana, instalasi

gawat darurat, High Care Unit, Intensif Care Unit, kamar jenasah,unit-unit

penunjang seperti radiologi,laboratorium klinik, farmasi, gizi, ruang rawat

inap dan lain-lain (Depkes, 2005).

Pelayanan yang dilakukan disuatu rumah sakit khususnya pada

ba-gian bedah merupakan pelayanan jasa yang padat karya, padat modal dan

padat teknologi, dengan sifat pelayanan yang mempunyai karakter sendiri

(Sutarjo, 2008).

Instalasi Gawat Darurat merupakan suatu unit pelayanan di rumah

sakit yang memberikan pelayanan pertama pada pasien dengan ancaman

kematian dan kecacatan secara terpadu dengan melibatkan berbagai

mul-tidisiplin (Depkes, 2005).

Pelayanan pada unit ini berfokus pada pelayanan pertama bagi

ka-sus gawat darurat yang memerlukan organisasi yang baik sebagai

(52)

dan terlatih yang mengikuti perkembangan teknologi pada pelayanan

me-dis (Depkes, 2005).

Instalasi Gawat Darurat memerlukan Hospital Disaster plan yaitu

perencanaan dari suatu rumah sakit untuk menghadapi kejadian bencana

baik perencanaan untuk bencana yang terjadi didalam rumah sakit (intra

hospital disaster plan) dan perencanaan rumah sakit dalam menghadapi

bencana yang terjadi diluar rumah sakit (extra hospital disaster plan)

(Depkes, 2005).

C. Kerangka pikir

Berdasarkan studi pustaka diatas, dilakukan penelitian pegawai pada

Instalasi gawat darurat rumah sakit badan layanan umum di Surakarta, terlebih

dahulu diselidiki bagaimana pengaruh antar variabel dengan mencari korelasi

[image:52.595.134.511.497.653.2]

antar variabel.

Gambar 2.1

Kerangka pikir Preferensi Gaya Kepemimpinan

Demokratis vs otoriter

Preferensi Gaya Kepemimpinan Laissez Faire vs otoriter

Kinerja

(53)

Apakah pegawai yang memilih preferensi gaya kepemimpinan

de-mokratis memiliki kemungkinan untuk menghasilkan kinerja berbeda dari

pa-da gaya kepemimpinan yang otoriter setelah memperhitungkan atau

mengon-trol iklim kerja.

Pegawai yang lebih menginginkan gaya kepemimpinan laissez faire

apakah memiliki kemungkinan untuk menghasilkan kinerja berbeda dari pada

gaya kepemimpinan yang otoriter setelah memperhitungkan atau mengontrol

iklim kerja.

D. Hipotesis

1. Preferensi gaya kepemimpinan demokratis berpengaruh terhadap kinerja

pegawai pada instalasi gawat darurat rumah sakit badan layanan umum di

Surakarta.

2. Preferensi gaya kepemimpinan laissez faire berpengaruh terhadap kinerja

pegawai pada instalasi gawat darurat rumah sakit badan layanan umum di

Surakarta

3. Iklim kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai pada instalasi gawat

(54)

41 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan

po-tong lintang (cross sectional) yang bertujuan untuk menganalisis persepsi tiga

variabel yaitu dua variabel independen dengan satu variabel dependen.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum

Daerah Dr. Moewardi Surakarta. Sedangkan waktu penelitian pada bulan

Okto-ber s/d NovemOkto-ber 2009.

C. Populasi

Populasi dalam penelitian ini terbagi menjadi dua :

a. Populasi sasaran (target populati

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka pikir
Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian
Tabel 4.1 Karakteristik Umur dan Masa Kerja Subyek Penelitian
Tabel 4.3 Hasil analisis regresi logistik ganda tentang pengaruh preferensi ga-

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik, sehingga

Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu disusun Perubahan Rencana Kerja Kelurahan Wates Tahun 2017, dengan mendasarkan pada Peraturan Bupati Kulon Progo Nomor 102 Tahun

Informasi mengenai penggunaan air perasan jeruk nipis sebagai acidifier untuk mengubah profil lemak pada ayam pedaging masih kurang sehingga dilakukan penelitian

Pengembangan aplikasi SIPD berbasis Web mempunyai peranan SIPD Kabupaten merupakan subsistem dari Sistem Provinsi, dan Provinsi Merupakan Susbsistem dari Sistem Pusat

Responden penelitian ini adalah dua orang pria, yang pertama bernama Doni (nama samaran) berusia 29 tahun positif HIV sejak 2004 dan Agus 33 tahun, keduanya mengalami depresi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) budaya organisasi berpengaruh langsung terhadap kinerja guru, (2) kepemimpinan berpengaruh langsung terhadap kinerja guru, (3)

hapuslah jawabanmu yang salah kemudian beri warna hitam pensil 2B pada huruf jawaban lain yang kamu anggap benar.. Mintalah kertas buram kepada pengawas

Dalam bagian penjaminan emisi Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf o harus memuat atau mengungkapkan uraian tentang ketentuan dan persyaratan yang