• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konversi Lahan Sawah Dan Arahan Pengendaliannya Di Kota Solok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konversi Lahan Sawah Dan Arahan Pengendaliannya Di Kota Solok"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

KONVERSI LAHAN SAWAH DAN ARAHAN

PENGENDALIANNYA DI KOTA SOLOK

SISKA NOFITA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konversi Lahan Sawah dan Arahan Pengendaliannya di Kota Solok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

SISKA NOFITA. Konversi Lahan Sawah dan Arahan Pengendaliannya di Kota Solok. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS dan ATANG SUTANDI

Kota Solok merupakan salah satu kota kecil di Sumatera Barat yang dikenal sebagai kota beras dengan luas areal 57,64 Km2 atau 22,25 mil2 (0,14 % dari luas provinsi Sumatera Barat). Jenis penggunaan lahan yang mendominasi Kota Solok adalah penggunaan lahan hutan seluas 2.463,28 ha (42,73%), ruang terbuka hijau seluas 1 492,33 ha (25,89%), sawah seluas 976,91 Ha (16,95%), pemukiman 366,99 ha (6,37%), serta tegalan 213,24 ha (3,70%). Peraturan Daerah Kota Solok No 13 Tahun 2012 tentang RTRW Kota Solok tahun 2012-2031 mengalokasikan kawasan budidaya tanaman pangan dengan luas 490,06 ha. Apabila dibandingkan luas lahan sawah Kota Solok pada tahun 2014 yaitu 976,91 ha dengan RTRW tersebut maka terdapat ancaman konversi lahan sawah di Kota Solok. Peningkatan jumlah penduduk Kota Solok juga mengakibatkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk nonpertanian, sehingga konsekuensinya terjadi konversi lahan sawah untuk kebutuhan tersebut. Berkurangnya luas lahan sawah di Kota Solok juga berdampak terhadap turunnya produksi beras di kota ini. Pada tahun 2012 telah terjadi penurunan produksi beras sebesar 8,3% dibandingkan dengan tahun 2011. Penurunan produksi padi di Kota Solok dikhawatirkan nantinya akan mempengaruhi keberadaan Kota Solok sebagai Kota beras. Pada satu tahun terakhir, konversi lahan sawah di Kota Solok meningkat lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terlihat dengan semakin banyaknya pemukiman dan pertokoan yang tersebar di daerah ini. Konversi lahan sawah ini tidak terkendali karena belum adanya peraturan daerah mengenai alih fungsi lahan sawah di Kota Solok.

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan sawah di Kota Solok, (2) mengetahui faktor penyebab alih fungsi lahan sawah di Kota Solok dan, (3) merumuskan arahan pengendalian alih fungsi lahan sawah menjadi nonpertanian di Kota Solok

Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh melalui wawancara/diskusi di lapangan dengan para pakar dan stakeholders yang ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait dengan penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah analisis perubahan penggunaan lahan sawah dengan overlay peta penggunaan lahan Kota Solok tahun 2004 dan 2014 dari Bappeda Kota Solok dan DKTR Kota Solok, Analisis Skalogram, Analisis Regresi Bertatar (Stepwise regression analysis) dengan menggunakan software Minitab 16, dan analisis deskriptif kualitatif untuk merumuskan arahan pengendalian konversi lahan sawah di Kota Solok.

(5)

Kota Solok seluas 567,69 ha, merupakan ancaman terhadap terjadinya konversi lahan sawah sebesar 403,60 ha atau 41,55% dari luas sawah yang ada. Ancaman konversi lahan terbesar terjadi di Kelurahan Nan Balimo, dimana seluruh sawah di kelurahan ini terancam dikonversi yaitu seluas 65,15 ha (100%). Ancaman konversi lahan juga terjadi di kelurahan lainnya yaitu Simpang Rumbio 116,12 ha (86,47%), Kampung Jawa 13,34 ha (76,62%), Tanjung Paku 60,73 ha (74,66%), Kampai Tabu Karambia 32,28 ha (51,96%), Pasar Pandan Air Mati 10,80 ha (44,55%), Laing 12,83 ha (28,31%), Aro IV Korong 17,98 ha (26,27%), VI Suku 17,88 ha (22,81%), Tanah Garam 50,39 ha (18,03%), dan IX Korong 6,10 ha (7,98%). Ancaman konversi lahan tidak terdapat di Kelurahan Sinapa Piliang, lahan sawah di kelurahan ini tetap dipertahankan seluas 38,60 ha.

Hasil analisis skalogram di Kota Solok menunjukkan bahwa sebagian besar kelurahan di kota ini tergolong hirarki I kecuali Kelurahan IX Korong dengan hirarki II dan Kelurahan Laing dengan hirarki III. Apabila dibandingkan Perubahan Penggunaan Lahan Sawah Kota Solok 2004-2014 dengan hirarki Wilayah Kota Solok dapat dilihat bahwa konversi lahan sawah terbesar dijumpai di hirarki I, sedangkan konversi lahan sawah di wilayah Hirarki II yaitu Kelurahan IX Korong hanya 0,43 ha atau 1,33% dari luas lahan sawah yang dikonversi. Luas konversi lahan sawah di wilayah berhirarki III (Kelurahan Laing) sebesar 0,66 ha atau hanya 2,04% dari luas lahan sawah yang telah dikonversi.

Hasil analisis regresi bertatar menunjukkan bahwa ada lima faktor yang sangat nyata terhadap terjadinya konversi lahan sawah di Kota Solok, yaitu alokasi lahan untuk pemukiman kepadatan rendah pada Pola Ruang, alokasi lahan untuk pemukiman kepadatan sedang pada Pola Ruang, alokasi lahan untuk pemukiman kepadatan tinggi pada Pola Ruang, alokasi lahan untuk peribadatan pada Pola Ruang, dan alokasi sawah pada Pola Ruang. Penyusunan arahan pengendalian konversi lahan sawah di Kota Solok didasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah tersebut dengan mempertimbangkan kondisi dan karakteristik dari Kota Solok.

(6)

SUMMARY

SISKA NOFITA. Paddy Field Conversion and Control Directives in Solok City. Supervised by SANTUN R.P. SITORUS and ATANG SUTANDI.

Solok is a small city in West Sumatra, as known as the rice city with a total area 57,64 km2 or 22,25 mil2 (0,14 % of the area of West Sumatra province). Land use type of Solok city most dominating is forest land 2 463,28 ha (42,73%), green open space 1 492,33 ha (25,89%), paddy field 976,91 ha (16,95%), settlement 366,99 ha (6,37%), and dry land agriculture 213,24 ha (3,70%). Solok city regulaton no. 13/2012 on spatial plan (RTRW) 2012-2031 allocates food crop cultivation area with an area of 490,06 ha. When paddy field area of Solok city in 2014 (976,91 ha) compared with the RTRW, there is the threat of paddy field conversion in Solok city. Solok population increase also resulted in an increased need for non-agricultural land, so that the consequences occur paddy fields conversion for those land needed. Decreased paddy field area in the Solok city have also an impact on the decline in rice production in this city. In 2012 there has been a decline in rice production by 8,3% compared to the year 2011. Declining in rice production in Solok city would affect to the existence of Solok as Rice City. In the past year, the conversion of paddy fields in Solok city increases higher than in previous years. This was shown by the increasing number of settlements and shops scattered in this area. Paddy fields conversion can not be controlled because of the absence of local regulations regarding the conversion of paddy fields in Solok city. The objectives of this research are: (1) to identify the changes in land use of paddy fields in Solok city; (2) to find out the causes of paddy fields conversion in Solok city; (3) to formulate the direction of the control over paddy fields function in Solok city.

This study used primary data were obtained through direct observation by interviews/discussions in the field with experts and stakeholders determined using purposive sampling method. Secondary data were obtained from the relevant agencies with the research. The analytical method used in this study were the analysis of land use change of paddy fields by overlaying maps of land use Solok city years of 2004 and 2014 from the Bappeda and DKTR of Solok city, schallogram analysis, stepwise regression analysis using Minitab 16, and a descriptive qualitative analysis to formulate control directives of paddy field conversion in Solok city.

(7)

Simpang Rumbio 116,12 ha (86,47%), Kamung Jawa 13,34 ha (76,62%), Tanjung Paku 60,73 ha (74,66%), Kampai Tabu Karambia 32,28 (51,96%), Pasar Pandan Aie Mati 10,80 ha (44,55%), Laing 12,83 ha(28,31%), Aro IV Korong 17,98 ha (26,27%), VI Suku 17,88 ha (22,81%), Tanah Garam 50,39 ha (18,03%), and IX Korong 6,10 ha (7,98%). There is no threat of paddy fields conversion in the Sinapa Piliang village, paddy fields in the village is maintained about 38,61 ha.

Schallogram analysis results in Solok city showed that most of the villages in the ciy is belong to hierarchy I except IX korong belong to hierarchy II and Laing belong to hierarchy III. Paddy fields conversions dominated by hierarchical I, while the conversion of paddy fields in the region of the village IX Korong (hierarchical II) only 0,43 ha or 1,33% of the land area converted. Extensive paddy fields conversion in the hierarchical III, Laing village in the amount of 0,66 ha or 2,04%of the area of paddy fields that has been converted.

Results of stepwise regression analysis showed that there are five factors that influence the occurrence of paddy fields conversion in Solok city. Factors which very significant affect on paddy fields conversion in Solok are the allocation of low density residential in the spatial pattern, the allocation of medium density residential in the spatial pattern, allocation of high density residential in the spatial pattern, allocation of worship in the spatial pattern, and the allocation of paddy fields in the spatial pattern. Preparation of paddy field conversion control directives in Solok city based on factors affecting the paddy fields conversion by considering the conditions and characteristics of Solok city.

Control directives of paddy fields conversion in Solok city prepared using three scenarios; pessimistic, moderate and optimistic. Paddy field conversion control directives in Solok city using an moderate scenario and is based on four elements of spatial planning control. Those are regulation, licensing, incentive and disincentive and sanctions. Paddy fields conversion can be controlled in Solok city by accelerating the preparation and adoption of RDTR and zoning regulations in Solok city, implementing the law number 41/2009 on LP2B, the restrictions on the provision of building permit (IMB) and will not issue an IMB permit in productive paddy field, involving community leaders in determining the provision of IMB, land for nonagricultural use directed at the dry land, providing incentives to people who do not convert productive paddy field and disincentives to people that convert productive paddy field to nonagricultural land.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

KONVERSI LAHAN SAWAH DAN ARAHAN

PENGENDALIANNYA DI KOTA SOLOK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)

Judul Tesis : Konversi Lahan Sawah dan Arahan Pengendaliannya di Kota Solok Nama : Siska Nofita

NRP : A156140134

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus Ketua

Ir Atang Sutandi, M.Si, Ph D Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, M.ScAgr

Tanggal Ujian : 22 Januari 2016 27 Oktober 201

(12)

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2015 ini ialah Konversi Lahan Sawah dengan judul Konversi Lahan Sawah dan Arahan Pengendaliannya di Kota Solok.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus sebagai ketua komisi pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk mengarahkan dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

2. Bapak Dr Ir Atang Sutandi, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang juga dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk mengarahkan dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 3. Bapak Dr Ir Widiatmaka, DEA selaku dosen penguji luar komisi atas masukan

dan sarannya.

4. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama mengikuti studi. 5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang

diberikan kepada penulis.

6. Bapak Walikota, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, serta Kepala Dinas Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kota Solok yang telah memberikan izin serta dukungan baik moril maupun materil untuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.

7. Ibunda terkasih, Suami dan Anak tercinta serta adik-adik tersayang yang telah memberikan ridho, izin serta dorongan semangat sehingga memberikan kekuatan yang besar kepada penulis.

8. Rekan-rekan PWL IPB baik kelas khusus Bappenas maupun reguler yang juga memberikan dorongan moral untuk kesuksesan penulis.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik moril maupun materil selama studi dan penulisan tesis ini

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan manfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Kerangka Pemikiran 6

Ruang Lingkup Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Konversi Lahan Sawah 7

Konversi Lahan Sawah dan Perkembangan Wilayah 9

Konversi dan Multifungsi Lahan Sawah 10

Konversi Lahan Sawah dan Ketahanan Pangan 14

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah 16

Pengendalian Konversi Lahan Sawah 17

Hasil Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian 18

3 BAHAN DAN METODE 21

Lokasi dan Waktu Penelitian 21

Jenis dan Sumber Data 21

Bahan dan Alat 22

Metode Pengumpulan Data 23

Metode Analisis Data 23

Analisis Data 24

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 33

Kondisi Fisik Wilayah 34

Geografi dan Administrasi 34

Kondisi Iklim 37

Jenis Tanah 38

Hidrologi 38

Geologi 38

Kawasan Rawan Bencana 39

Penggunaan Lahan 40

Kondisi Sosial Wilayah 42

Demografi 42

Tingkat Pendidikan dan Ketenagakerjaan 45

Perekonomian Wilayah 46

(14)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 48 Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Sawah 48

Tingkat Perkembangan Wilayah di Kota Solok 56

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan sawah 58

Analisis Korelasi 58

Analisis Reregresi Bertatar (Stepwise Regression Analysis) 59

Arahan Pengendalian Konversi Lahan Sawah 63

Skenario Pesimis 66

Skenario Moderat 67

Skenario Optimis 67

Arahan Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah 70

6 SIMPULAN DAN SARAN 73

Simpulan 73

Saran 73

DAFTAR PUSTAKA 74

LAMPIRAN 79

(15)

DAFTAR TABEL

1 Produksi dan Konsumsi Beras Tahun 2007 – 2013 di Kota Solok 3 2 Matrik Hubungan antara Tujuan, Data, Metode dan Hasil Penelitian 21

3 Jenis dan Sumber Data 23

4 Variabel yang Digunakan pada Analisis Skalogram 26

5 Variabel-Variabel dalam Analisis Regresi 27

6 Selisih Kepadatan Penduduk Kota Solok 2004-2014 28 7 Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kota Solok 2004-2014 28 8 Luas Daerah Kabupaten / Kota di Provinsi Sumatera Barat 35

9 Letak dan Luas Kelurahan di Kota Solok 35

10 Klasifikasi Lereng di Kota Solok 36

11 Ketinggian Tempat Kota Solok 37

12 Curah Hujan dan Hari Hujan di Kota Solok 37

13 Jenis Tanah Kota Solok 38

14 Nama dan Panjang Sungai Kota Solok 38

15 Penggunaan Lahan di Kota Solok Tahun 2011 41

16 Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Solok 42

17 Perkembangan Penduduk Kota Solok Berdasarkan Jenis Kelamin 43 18 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Solok Tahun 2013 44 19 Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pendidikan di Kota Solok 45 20 Rincian Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan 45 21 Rincian Jumlah Penduduk Berdasarkan Lapangan Kerja 46 22 Distribusi Produk Domistik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar

Harga Berlaku (ADHB) 2014 47

23 Perkembangan PDRB (Produk Domistik Regional Bruto) Kota Solok

2009 – 2013 48

24 Pertumbuhan Sektoral dan Ekonomi Kota Solok 48

25 Penggunaan Lahan Kota Solok 2004-2014 49

26 Perubahan Lahan Sawah Kota Solok 2004-2014 50

27 Lahan Sawah dan Alokasi Lahan Sawah pada Pola Ruang Kota Solok 54

28 Hirarki Wilayah Kota Solok 57

29 Hasil Analisis Regresi Bertatar (Stepwise Regression Analysis) 60 30 Skenario Intervensi Terhadap Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Konversi Lahan Sawah di Kota Solok 65

31 Alokasi Lahan Sawah dengan Skenario Pesimis, Moderat dan Optimis 66 32 Prediksi Kebutuhan Lahan Sawah di Kota Solok untuk Swasembada

Beras di Kota Solok 2014-2031 68

(16)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Pemikiran Penelitian 6

2. Diagram Alir Tahapan Penelitian 24

3. Batas Administrasi Kota Solok 34

4. Wilayah Administrasi Kota Solok 36

5. Perkembangan Penduduk Kota Solok 43

6. Piramida Penduduk Kota Solok Menurut Jenis Kelamin 44 7. Peta Sebaran Lahan Sawah 2014 dan Konversi Lahan Sawah 2004-2014

di Kecamatan Lubuk Sikarah 51

8. Peta Sebaran Lahan Sawah 2014 dan Konversi Lahan Sawah 2004-2014

di Kecamatan Tanjung Harapan 52

9. Peta Sebaran Lahan Sawah Tahun 2004 dan 2014 53

10.Alokasi Lahan Sawah pada Pola Ruang 54

11.Ancaman Konversi Lahan Sawah di Kota Solok 55

12.Hirarki Wilayah Setiap Kelurahan di Kota Solok 57

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Analisis Korelasi Variabel Bebas (X) dengan Variabel Terikat

(Y) dengan Minitab 16 79

2 Hasil Analisis Regresi Bertatar (Stepwise Regression Analysis) 81 3 Hasil Analisis Regresi Variabel Bebas X2, X5, X6, X7, X9, X10 dan

X15 dengan Variabel Terikat Y yang Distandardisasi 82 4 Transformasi Balik dari Model yang Distandardisasi 83 5 Data Variabel Bebas (X) dan Variabel Terikat (Y) pada Analisis

Regresi Bertatar (Stepwise Regression Analysis) 84

6 Jumlah Fasilitas Kesehatan 2014 85

7 Selisih Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Solok Tahun 2004 -2014 86 8 Banyaknya Pengurusan Hak Atas Tanah tahun 2004 dan 2014 87 9 Banyaknya Desa yang tidak Memiliki Pasar Permanen/Semipermanen

Menurut Jarak ke Pasar Terdekat 88

10 Jarak Ibukota Kelurahan ke Fasilitas Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi

dan Pusat Pemerintahan 89

11 Jumlah Fasilitas Sosial (Tempat Peribadatan) tahun 2014 di Kota Solok 90 12 Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Rata-Rata Kota Solok 2014 91

13 Data Potensi Desa untuk Analisis Skalogram 92

14 Peta Pola Ruang pada Rencana Tata Ruang Wilaya Kota Solok

2012-2031 96

15 Alokasi Pemukiman pada Pola Ruang Kota Solok 97 16 Alokasi Pemukiman dan Sawah pada Pola Ruang Kota Solok 2012-2031 98

17 Sebaran Pemukiman di Kota Solok 2014 99

18 Peta Alokasi Sawah pada Pola Ruang Kota Solok 2012-2031 100 19 Luas Tanam, Indeks Pertanaman, Produksi dan Produktivitas Padi Kota

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masyarakat Indonesia sebagian besar mengkonsumsi beras sebagai makanan pokoknya, terutama di wilayah barat Indonesia tak terkecuali masyarakat Sumatera Barat. Keberadaan lahan sawah sebagai penghasil beras ini sangat penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut terhadap pangan terutama beras. Namun untuk memenuhi hal ini cukup sulit, karena kebutuhan beras masyarakat meningkat sejalan dengan peningkatan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang meningkat diikuti oleh peningkatan kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian seperti pemukiman, pendidikan, kesehatan, industri, dan sebagainya. Disisi lain, luas lahan yang tersedia tetap untuk kegiatan nonpertanian sehingga mengakibatkan lahan pertanian yang ada dikonversi untuk keperluan-keperluan nonpertanian tersebut. Irawan dan Friyatno (2002) memaparkan bahwa konsekuensi logis dari pertambahan penduduk dan pembangunan ekonomi, maka terjadi perubahan alokasi sumberdaya, khususnya sumberdaya lahan sulit dihindari. Akibat tidak diperhatikannya skala prioritas alokasi penggunaan sumberdaya lahan untuk penyediaan sumber pangan dan pembangunan sarana dan prasarana pemukiman. Iqbal (2007) menjelaskan bahwa salah satu fenomena yang cukup marak terjadi dalam pemanfaatan lahan adalah konversi lahan. Fenomena ini muncul seiring makin tinggi dan bertambahnya tekanan kebutuhan dan permintaan terhadap lahan, baik dari sektor pertanian maupun dari sektor nonpertanian akibat pertambahan penduduk dan kegiatan pembangunan. Menurut Apriantono (2008), luas lahan sawah sekitar 7,9 juta hektar cenderung berkurang akibat konversi, bahkan sekitar 3,1 juta hektar atau 42% diantaranya terancam akan dialihfungsikan, sebagaimana tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota seluruh Indonesia.

Kota Solok merupakan kota yang dikenal sebagai Kota Beras dengan luas lahan sawahnya adalah 21,41% dari luas lahan Kota Solok, sisanya 79,59 % dipergunakan untuk selain sawah yaitu hutan 23,57% , perumahan 14,28 % dan lainnya 28,54% (BPS Kota Solok, 2013). Salah satu ciri dari Kota Solok adalah kota yang memproduksi beras dengan cita rasa yang khas dan berbeda dengan daerah lain. Beras yang dihasilkan Kota Solok memiliki harga jual yang cukup tinggi dibanding dengan harga jual beras dari daerah lain dan diminati oleh masyarakat terutama masyarakat yang menyukai beras pera. Permintaan beras Solok tidak hanya berasal dari Kota/Kabupaten di provinsi Sumatera Barat tetapi juga telah sampai ke provinsi lain bahkan sudah ada permintaan dari negara tetangga Malaysia dan Singapura. Salah satu varietas terkenal yaitu varietas anak daro berasal dari Kota Solok.

(18)

2

BPS (2013), luas lahan sawah di Kota Solok 1 254 ha pada tahun 2010 dan pada tahun 2012 menjadi 876 ha, dimana terjadi penyusutan 378 ha.

Penyusutan lahan sawah di Kota Solok didominasi oleh pembangunan perumahan, fasilitas umum dan bangunan lainnya, penyusutan lahan sawah tersebut terluas terjadi di kecamatan Lubuk Sikarah Kota Solok, karena Kecamatan Lubuk Sikarah memiliki luas lahan lebih besar dari kecamatan Tanjung Harapan. Pada tahun 2009 luas lahan sawah di kecamatan Lubuk Sikarah 947 ha sedangkan kecamatan Tanjung Harapan 307 ha, pada tahun 2014 luas lahan sawah di kecamatan Lubuk Sikarah menjadi 686 ha dan kecamatan Tanjung Harapan menjadi 190 ha (BPS Kota Solok, 2010 dan 2015). Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Solok, pada pasal 41 bahwa kawasan budidaya tanaman pangan lokasinya tersebar di Kelurahan VI Suku, Kampai Tabu Karambie, IX Korong, Sinapa Piliang, Aro IV Korong, Tanah Garam yang terletak di Kecamatan Lubuk Sikarah dan Tanjung Paku yang terletak di Kecamatan Tanjung Harapan. Tujuan Penataan Ruang Kota Solok berdasarkan RTRW Kota Solok tahun 2012 – 2031 yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Solok No 13 Tahun 2012 untuk mewujudkan Kota Solok sebagai Kota Perdagangan, Jasa dan Pendidikan berbasis agribisnis melalui optimasi penyediaan prasarana dan Sarana Perkotaan dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan. Demi menunjang tujuan tersebut maka Kota Solok telah menetapkan luas kawasan budidaya tanaman pangan dalam RTRW tersebut adalah 490,06 ha. Apabila dibandingkan dengan luas lahan sawah Kota Solok pada tahun 2014 dari data BPS yaitu 876 ha, dengan RTRW tersebut maka terdapat peluang untuk konversi lahan sawah di Kota Solok. Kota Solok merupakan daerah perlintasan di provinsi Sumatera Barat, yaitu daerah yang dilalui jalan lintas Sumatera sehingga dilewati oleh kendaraan antar provinsi maupun kendaraan dalam provinsi dari berbagai daerah baik dalam provinsi maupun luar provinsi Sumatera Barat. Pada umumnya lahan-lahan sawah dengan produktivitas tinggi terletak pada daerah perlintasan tersebut. Hal ini mendatangkan ketertarikan masyarakat untuk membangun pemukiman di daerah-daerah ini. Alih fungsi lahan sawah ini semakin meningkat setelah dibangunnya pusat pemerintahan Kota Solok di kelurahan IX Korong dengan mengkonversi lahan sawah menjadi perkantoran walikota Solok. Melihat banyaknya kepentingan-kepentingan tersebut maka tidak bisa dipungkiri bahwa apabila pembangunan infrastruktur tersebut terus dilaksanakan akan menyebabkan kecenderungan alih fungsi lahan sawah menjadi nonpertanian juga akan semakin meningkat. Karena hal tersebut tidak dapat dihindari maka lebih penting dilakukan mengendalikan alih fungsi lahan sawah ke nonpertanian.

(19)

3 menjadi 33,33%, Bank/Lembaga Keuangan 2,35% turun menjadi 0,88%, jasa- jasa 28,25% naik menjadi 31,21%.

Dengan melihat kondisi diatas, maka dengan adanya alih fungsi lahan sawah ke nonpertanian tersebut maka terjadi penurunan produksi padi yang nantinya juga akan berpengaruh terhadap produksi beras dan pemenuhan kebutuhan pangan (beras) oleh penduduk. Disamping itu pembangunan sarana prasarana pertanian seperti irigasi yang telah menggunakan investasi yang cukup besar menjadi percuma jika alih fungsi lahan sawah tersebut tetap berlanjut dan tidak dikendalikan. Dengan tidak terkendalinya alih fungsi lahan sawah dapat menyebabkan pembangunan tidak merata, serta adanya ancaman limbah yang dihasilkan dari kegiatan nonpertanian yang nantinya juga akan mempengaruhi produktivitas lahan sawah. Produksi padi di Kota Solok dari tahun 2007–2013 terus mengalami penurunan, kecuali pada tahun 2009 (Tabel 1). Penurunan ini akan mempengaruhi ketersediaan pangan bagi masyarakat khususnya masyarakat Kota Solok sendiri. Produksi padi di Kota Solok cenderung mengalami penurunan dari tahun ketahun namun konsumsi beras masyarakat mengalami peningkatan setiap tahunnya. Apabila konversi lahan tidak dikendalikan di Kota Solok maka beberapa tahun kedepan Solok akan mengalami defisit beras dan tidak lagi bisa memenuhi permintaan beras dari luar Kota Solok.

Tabel 1 Produksi dan Konsumsi Beras di Kota Solok tahun 2004 - 2013 Tahun Sumber: BPS Kota Solok ( 2005-2014)

(20)

4

yaitu dari tahun 2014 sampai tahun 2015 meningkat secara drastis namun upaya pencetakan lahan sawah baru tidak bisa lagi dilaksanakan, sehingga luas lahan sawah semakin berkurang dan akhirnya produksi padi terus mengalami penurunan.

Dari semua permasalahan tersebut, pengendalian alih fungsi lahan sawah menjadi nonpertanian di Kota Solok menjadi penting untuk dilakukan karena: (a) percetakan sawah baru yang merupakan salah satu program pemerintah tidak memungkinkan dilaksanakan di Kota Solok karena adanya keterbatasan lahan, (b) Kota Solok merupakan Kota Beras dengan lumbung padinya di kecamatan Lubuk Sikarah, oleh karena itu untuk mempertahankan hal tersebut maka perlu dilakukan pengendalian alih fungsi lahan supaya Kota Solok tetap sebagai kota yang menghasilkan beras dan menyuplai ke wilayah lain termasuk di luar Sumatera Barat.

Perumusan Masalah

Pemanfaatan sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan mengakibatkan terjadinya peningkatan persaingan yang cukup tajam seiring dengan perkembangan perekonomian dan pertumbuhan penduduk di suatu wilayah sehingga lahan sawah di wilayah tersebut terkonversi ke penggunaan nonpertanian. Menurut Sumaryanto et al. (2006) sebagian besar lahan sawah yang terkonversi pada mulanya beririgasi teknis/semiteknis dengan produktivitas yang tinggi, akibatnya konversi lahan sawah menjadi ancaman dalam memenuhi kapasitas nasional untuk mewujudkan pasokan pangan yang aman untuk mendukung ketahanan pangan yang mantap untuk itu kebijakan yang secara khusus ditujukan untuk mengendalikan konversi lahan sawah ke penggunaan lain sangat dirasakan urgensinya. Menurut Djajus (2009) perubahan luas lahan sawah disebabkan oleh alih fungsi lahan, khususnya dari lahan pertanian ke lahan nonpertaniaan, biasanya berubah menjadi pemukiman atau usaha ekonomi lainnya. Alih fungsi lahan masih terus terjadi karena semakin meningkatnya jumlah penduduk dan lemahnya kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan lahan.

Perkembangan penduduk yang cenderung meningkat merupakan tantangan utama ketersediaan lahan sebagai salah satu faktor produksi dalam sistem produksi pertanian karena berdampak pada konversi lahan pertanian ke nonpertanian untuk mengakomodir pengaruh dari perkembangan penduduk tersebut. Perkembangan penduduk di Kota Solok juga mengakibatkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk nonpertanian seperti untuk pemukiman, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Kenyataannya luas lahan untuk kebutuhan nonpertanian tersebut di Kota Solok tidak bertambah, hal ini membuat masyarakat melirik lahan pertanian terutama sawah untuk dikonversi menjadi nonpertanian guna membangun fasilitas-fasilitas yang mereka butuhkan. Berkurangnya luas lahan sawah di Kota Solok juga berdampak terhadap turunnya produksi padi di kota ini. Pada tahun 2012 telah terjadi penurunan produksi beras sebesar 8,3% dibandingkan dengan tahun 2011. Penurunan produksi padi di Kota Solok dikhawatirkan nantinya akan mempengaruhi keberadaan Kota Solok sebagai Kota beras.

(21)

5 (KTK) dan di Kelurahan Pasar Pandan Aie Mati sudah tidak terdapat lahan sawah lagi karena sudah terkonversi menjadi pemukiman dan pertokoan. Melihat kenyataan ini apabila konversi lahan sawah di Kota Solok tidak dikendalikan maka keberadaan Kota Solok sebagai kota beras akan terancam, dimana sampai saat ini Kota Solok merupakan kota yang mengalami surplus beras namun untuk masa yang akan datang dikhawatirkan akan terjadi kondisi yang sebaliknya, Kota Solok akan mengalami defisit beras dan harus mendatangkan beras dari luar Kota Solok.

Konversi lahan sawah ini bisa tidak terkendali karena belum adanya peraturan daerah mengenai alih fungsi lahan sawah di Kota Solok. Karena mulai munculnya gejala konversi lahan sawah yang terus meningkat di Kota Solok ini, maka penelitian ini bermaksud melakukan analisis konversi lahan sawah ke nonpertanian dan arahan pengendaliannya di Kota Solok dalam upaya mengurangi dampak dan ancaman terhadap kedaulatan pangan yang ditimbulkan. Jika konversi lahan sawah tidak bisa dikendalikan di Kota Solok maka dikhawatirkan Kota Solok tidak bisa lagi mempertahankan swasebada beras pada saat ini. Bahkan Kota Solok bisa mengalami defisit beras dan harus mendatangkan pasokan beras dari luar daerah ini. Berdasarkan permasalahan tersebut dirumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Belum diketahui perubahan penggunaan lahan sawah di Kota Solok

b. Belum diketahui faktor-faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan sawah Kota Solok

c. Belum diketahui arahan pengendalian alih fungsi lahan sawah di Kota Solok

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah merumuskan arahan pengendalian konversi lahan sawah di Kota Solok. Untuk mencapai tujuan utama tersebut maka dilakukan beberapa rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan sawah dan ancaman konversi lahan sawah di Kota Solok

2. Mengetahui faktor-faktor penyebab alih fungsi lahan sawah di Kota Solok

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1. Untuk memperoleh arahan pengendalian alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian di Kota Solok. Pengendalian ini nantinya diharapkan akan menjadi sebuah alat bantu dalam pengembangan wilayah yang sudah ditetapkan di Kota Solok

(22)

6

Kerangka Pemikiran

Pembangunan dan perkembangan wilayah perkotaan yang sedang tumbuh selalu membutuhkan lahan untuk membangun sarana dan prasarana perkantoran, pemukiman, perdagangan dan sarana lainnya. Hal ini juga diperparah dengan pertambahan penduduk yang cukup besar di daerah perkotaan tersebut. Kebutuhan akan lahan ini semakin lama semakin meningkat sedangkan lahan yang tersedia jumlahnya tetap. Ironisnya, lahan yang mudah dijangkau untuk pembangunan ini sebagian besar merupakan lahan pertanian terutama lahan sawah. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian terutama sawah menjadi nonpertanian. Peningkatan kebutuhan lahan secara langsung berdampak terhadap perubahan penggunaan lahan. Alih fungsi lahan ini juga akan mempengaruhi perubahan karakteristik penggunaan lahan pertanian tersebut. Apabila alih fungsi lahan sawah ini tidak dikendalikan maka lahan sawah akan semakin menyempit dan dana besar yang telah dikeluarkan untuk membangun sarana prasarana pertanian seperti saluran irigasi menjadi percuma. Disamping itu alih fungsi lahan akan berdampak pada penurunan produksi padi, sedangkan kebutuhan akan beras yang merupakan hasil konversi dari padi ini semakin meningkat akibat meningkatnya pertumbuhan penduduk terutama di wilayah tersebut. Untuk mengurangi dan menekan alih fungsi lahan ini, dirasa perlu untuk membuat sebuah arahan kebijakan dalam mengendalikan konversi lahan pertanian ini terutama lahan sawah. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan Wilayah

Perkotaan

Pembangunan Infrastruktur, Sarana dan Prasarana Pertumbuhan Penduduk

Konversi Lahan Pertanian (Sawah)

Perubahan Penggunaan lahanSawah

Faktor-Faktor Penyebab Alih FungsiLahan Sawah

Tingkat Perkembangan Wilayah

(23)

7 Ruang Lingkup Penelitian

Konversi lahan sawah yang tidak terkendali menyebabkan kecukupan pangan khususnya beras terancam di suatu wilayah. Pada umumnya lahan sawah dikonversi untuk kegiatan nonpertanian seperti pemukiman, perdagangan, kesehatan, jasa dan lain-lain. Konversi lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya Kepadatan penduduk, nilai Pajak Bumi dan Bangunan, alokasi penggunaan lahan yang terdapat dalam pola ruang, ketersediaan fasilitas ekonomi, sosial, pendidikan dan kesehatan di suatu wilayah. Konversi lahan sawah di Kota Solok perlu dikendalikan sehubungan dengan Kota Solok merupakan kota penghasil beras di Sumatera Barat dengan julukannya sebagai kota beras. Membahas pengendalian konversi sawah di Kota Solok seharusnya mempertimbangkan perubahan penggunaan lahan sawah, faktor-faktor yang menyebabkan konversi lahan sawah di Kota Solok dan perkembangan wilayah di Kota Solok.

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pembahasan mengenai konversi lahan sawah dalam penelitian ini di batasi pada perubahan penggunaan lahan sawah tahun 2004 - 2014, tingkat perkembangan wilayah dan faktor-faktor penyebab konversi lahan sawah di Kota Solok. Analisis konversi lahan sawah dan arahan pengendaliannya bertujuan untuk mempertahankan surplus beras di Kota Solok.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Konversi Lahan Sawah

Perkembangan sektor-sektor ekonomi nonpertanian menyebabkan kebutuhan akan sumberdaya lahan meningkat. Selain perkembangan sektor-sektor ekonomi nonpertanian, jumlah penduduk yang semakin meningkat juga menyebabkan meningkatnya permintaan akan sumberdaya lahan. Lahan tersebut digunakan untuk kegiatan industri dan pemukiman. Hal inilah yang mendorong terjadinya konversi lahan. Lahan yang dikonversi umumnya lahan-lahan pertanian karena land rent lahan pertanian relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan land rent untuk penggunaan lainnya (Sitorus et al. 2009).

Sistem persawahan Indonesia bukanlah semata-mata diperlukan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Dengan perkembangan yang telah berlangsung ribuan tahun, sistem persawahan telah memelihara keberlangsungan sistem produksi dan lingkungan hidup dan juga mewariskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi. Namun demikian, eksistensi sistem persawahan menghadapi berbagai ancaman sejalan dengan makin rusaknya sumberdaya alam akibat pendekatan pembangunan yang bersifat eksploitatif. Lahan sawah di daerah padat penduduk mengalami konversi menjadi lahan untuk berbagai keperluan (Pasandaran, 2006).

(24)

8

meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Agus (2004) berpendapat bahwa konversi lahan sawah merupakan suatu proses yang disengaja oleh manusia, bukanlah suatu yang alami.

Ilham et al. (2005) menjelaskan definisi konversi lahan sawah sebagai konversi lahan neto, artinya lahan tahun t (Lt) adalah luas lahan tahun sebelumnya

(Lt-1) ditambah pencetakan sawah baru (Ct) dikurangi alih fungsi lahan sawah (At).

Jika konversi lahan sawah bernilai positif, berarti hanya terjadi pencetakan sawah baru, atau pencetakan lahan sawah yang terjadi lebih luas dari fungsi lahan sawah masing-masing tahun t. Sebaliknya jika konversi lahan sawah bernilai negatif berarti terjadi alih fungsi lahan sawah atau alih fungsi lahan sawah lebih luas dari percetakan sawah masing-masing ada tahun t. Secara matematika diformulasikan sebagai berikut :

Lt = Lt – 1 + Ct- At

Sejalan dengan perubahan struktur perekonomian yang merupakan ciri perkembangan suatu negara atau daerah, kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian akan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kecenderungan tersebut menyebabkan konversi lahan pertanian sulit dihindari dengan kata lain setiap tahunnya terjadi konversi lahan. Luas konversi lahan tersebut setiap tahunnya akan semakin besar karena konversi lahan pertanian umumnya menular. Dengan kata lain, sekali konversi lahan terjadi di suatu lokasi maka luas lahan yang akan dikonversi di lokasi tersebut akan semakin besar akibat konversi lahan ikutan yang terjadi di lokasi sekitarnya (Hidayat, 2012).

Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, serta aktivitas pembangunan dalam berbagai bidang tentu saja akan menyebabkan ikut meningkatnya permintaan akan lahan. Permintaan akan lahan tersebut terus bertambah, sedangkan kita tahu bahwa lahan yang tersedia jumlahnya terbatas. Hal inilah yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian ke nonpertanian (Hidayat, 2012). Menurut Ruswandi et al. (2007 perkembangan perekonomian diiringi oleh terjadinya perubahan penggunaan lahan yang cenderung mengarah pada alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian, yang sering disebut sebagai konversi lahan pertanian. Secara faktual, konversi lahan pertanian menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain berkurangnya lahan terbuka hijau sehingga lingkungan tata air akan terganggu, serta lahan untuk budidaya pertanian semakin sempit.

(25)

9 proses alam yang menyebabkan tidak berfungsinya sistem irigasi, atau dilakukan secara sengaja untuk menghindari peraturan yang ada.

Konversi Lahan Sawah dan Perkembangan Wilayah

Wilayah sebagai area geografis mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Dari definisi tersebut, dapat diturunkan tipologi-tipologi wilayah berdasarkan sifat hubungan, fungsi masing-masing komponennya atau berdasarkan pertimbangan sosial, ekonomi maupun politis lainnya. Diantara tipologi-tipologi yang ada terdapat salah satu tipologi yang disebut dengan tipologi wilayah nodal, yang merupakan pengembangan dari konsep sel hidup. Dalam penjabaran wilayah nodal ini, wilayah diasumsikan sebagai suatu sel hidup yang terdiri dari inti dan plasma, yang masing-masing mempunyai fungsi yang saling mendukung. Inti diasumsikan sebagai pusat kegiatan industri atau pusat pasar serta pusat inovasi, sedangkan plasma atau hinterland merupakan pusat-pusat pemasok bahan mentah, tenaga kerja, dan pusat pemasaran barang-barang hasil industri yang diproduksi inti (Panuju dan Rustiadi, 2013). Secara umum konversi lahan sawah lebih banyak terjadi pada provinsi atau kabupaten/kota yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang relatif tinggi, serta kabupaten-kabupaten yang merupakan penyangga pusat-pusat pertumbuhan. Di Jawa Barat kabupaten-kabupaten yang dimaksud adalah Bogor, Tangerang, Bekasi, Sukabumi, dan Bandung, sedangkan di Jawa Tengah adalah Kendal, Semarang, Pekalongan, Cilacap, Wonosobo dan Boyolali dan di Jawa Timur adalah Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, Malang dan Banyuwangi (Irawan dan Friyatno, 2002).

Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan akan selalu diiringi dengan meningkatnya standar kualitas dan kuantias kebutuhan hidup dan peningkatan kebutuhan ketersediaan fasilitas yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Perkembangan suatu wilayah dilihat dari hirarki suatu wilayah tersebut. Semakin tinggi hirarki suatu wilayah kecenderungan perubahan penggunaan lahan semakin kecil. Jenis penggunaan lahan dominan di wilayah berhirarki tinggi adalah lahan terbangun untuk berbagai aktivitas ekonomi (Sitorus et al. 2012).

(26)

10

Alih fungsi atau konversi lahan di pulau Jawa yang terus bertambah berimplikasi pada berkurangnya kapasitas produksi sehingga mengancam penyediaan dan ketahanan pangan nasional. Selain itu juga menimbulkan masalah ketenagakerjaan di bidang pertanian, hilangnya aset pertanian yang telah dibangun dengan biaya mahal dan hilangnya sistem kelembagaan sosial yang telah terbentuk. Berkurangnya luas baku sawah akibat konversi menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi padi sejak tahun 1990-an. Proses marginalisasi lahan pertanian rakyat ini merupakan faktor penghambat dalam upaya menghapus kemiskinan absolut di wilayah perdesaan di Indonesia. Masalah konversi lahan ini merupakan ancaman serius terhadap pembangunan nasional khususnya dalam pemantapan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan (Rustiadi dan Wafda, 2005).

Konversi dan Multi Fungsi Lahan Sawah

Lahan merupakan sesuatu yang strategis bagi pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi. Di bidang pertanian, lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting, baik bagi petani maupun bagi pembangunan pertanian. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa di Indonesia kegiatan pertanian masih bertumpu pada lahan (land based agriculture activities) (Catur et al. 2010). Menurut Djajus (2009), lahan merupakan faktor produksi yang utama dan tidak dapat digantikan fungsinya dalam usaha pertanian. Oleh karena itu, ketersediaan lahan untuk usaha tani merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan sumber hasil-hasil pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh. Dalam pertanian terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, faktor produksi lahan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima dari lahan dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya. Bagi petani, lahan mempunyai arti penting karena dari situlah mereka dapat bertahan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam dan beternak. Lahan merupakan faktor produksi dalam berusaha tani maka keadaan status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Ini berkaitan dengan keputusan jenis komoditas apakah yang mau diusahakan dan juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usaha tani yang diusahakan (Munir, 2008).

Utomo et al. (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami yang melandasi kegiatan kehidupan dan penghidupan, memiliki dua fungsi dasar, yakni :

1. Fungsi kegiatan budaya adalah suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan seperti permukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan, perkebunan hutan produksi dan lain-lain.

(27)

11 Menurut Ritung et al. (2011) lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna dan manusia, baik di masa lalu maupun saat sekarang, seperti lahan-lahan rawa dan pasang surut yang telah direklamasi atau tindakan konservasi tanah pada suatu lahan tertentu. Penggunaan lahan secara optimal perlu dikaitkan dengan karakteristik dan kualitas lahan. Hal tersebut disebabkan adanya keterbatasan penggunaan lahan, bila dihubungkan dengan pemanfaatan lahan secara lestari dan berkesinambungan. Penggunaan lahan adalah pemanfaatan sebidang lahan untuk tujuan tertentu. Penggunaan lahan untuk pertanian secara umum dapat dibedakan atas penggunaan lahan semusim, tahunan dan permanen. Penggunaan lahan semusim diarahkan untuk tanaman semusim, pola tanam yang diterapkan dapat rotasi atau tumpang sari, dan panen dapat dilakukan setiap musim dengan periode kurang dari setahun. Penggunaan lahan tahunan merupakan penggunaan lahan jangka panjang yang pergiliran tanamannya dilakukan setelah tanaman pertama secara ekonomi tidak menguntungkan lagi, seperti pada perkebunan. Penggunaan lahan permanen merupakan penggunaan lahan yang tidak diusahakan untuk pertanian, seperti hutan, daerah konservasi, perkotaan, desa dan lain-lain.

Padi sawah sudah diusahakan di banyak negara di dunia sejak jaman nenek moyang. Di Indonesia, beras sebagai bahan makanan pokok utama, produksinya perlu terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Kondisi ini sudah sejak lama berlangsung dari beberapa dekade secara terus menerus dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada, seperti tanah, udara dan air. Pada periode awalnya tidak ada suatu masalah yang muncul, oleh karena sumberdaya alam yang ada, dapat memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, namun belakangan dengan meningkatnya jumlah penduduk, kemajuan pembangunan yang pesat di berbagai sektor, banyak masalah yang muncul. Masalah yang muncul ke permukaan yang paling santer menjadi pembicaraan terkait dengan usaha untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah adanya alih fungsi lahan sawah ke sektor lain (Santosa et al. 2011).

Sistem persawahan beririgasi merupakan suatu sistem yang bersifat multifungsi. Ada tiga fungsi utama yang terkait satu dengan lainnya yang memerlukan hubungan yang serasi agar sistem tersebut dapat dipertahankan eksistensinya. Pertama, fungsi yang menopang produksi pangan. Lahan, air, praktek bercocok tanam, dan kelembagaan yang terkait merupakan elemen yang diperlukan dalam proses produksi. Fungsi yang kedua adalah fungsi konservasi, termasuk dalam fungsi ini adalah pemeliharaan elemen-elemen biofisik yang ada, seperti jaringan irigasi dan persawahan. Apabila elemen-elemen tersebut terpelihara maka fungsi konservasi dapat berlangsung dengan baik. Fungsi yang ketiga adalah pewarisan nilai-nilai budaya, termasuk dalam fungsi tersebut adalah kapital sosial dan kearifan lokal yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya. Pengelolaan konflik dalam rangka pemanfaatan sumber daya merupakan salah satu elemen dari nilai-nilai budaya (Pasandaran, 2006).

(28)

12

dan produk sampingan berupa fungsi lingkungan, alih fungsi lahan sawah ke penggunaan di luar pertanian tetap berlangsung disebabkan kurangnya penghargaan untuk sektor ini. Hasil penelitian Agus et al. (2006) menunjukkan sistem pertanaman padi berkontribusi nyata dalam pengurangan banjir, konservasi sumberdaya air, pencegahan erosi, pembuangan limbah, dan peredaman panas. Dengan memperhatikan banyaknya jasa lingkungan dari sistem padi sawah dan pentingnya masalah ketahanan pangan di Indonesia, Agus et al. (2006) selanjutnya menghimbau diperlukannya formulasi kebijakan dalam upaya mengontrol alih fungsi lahan sawah ini.

Pengetahuan dan apresisasi masyarakat terhadap mulifungsi pertanian masih rendah. Fungsi pertanian yang paling dikenal masyarakat adalah sebagai penghasil produk pertanian, seperti padi, palawija, dan hortikultura, yang nilai ekonomisnya lebih rendah dari nilai kegunaan selain pertanian seperti untuk industri, pertambangan, perdagangan, dan pemukiman. Hal tersebut, ditambah dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat pedesaan yang memerlukan pendapatan segera dan pemikiran tentang fungsi pertanian hanya dalam jangka pendek, menyebabkan konversi lahan diterima sebagai hal yang wajar, dan bukan sebagai masalah hilangnya multifungsi pertanian. Faktor lain yang mendorong percepatan proses konversi lahan pertanian adalah pembangunan sektor lain yang membutuhkan lahan siap pakai terutama ditinjau dari karakteristik biofisik dan asesibilitas, yang umumnya terpenuhi oleh lahan pertanian beririgasi. Selain itu, kuantitas dan kualitas multifungsi pertanian menjadi berkurang dengan terjadinya degradasi lahan pertanian yang diakibatkan oleh banjir, longsor, erosi tanah, dan sebagainya. Faktor-faktor pendorong hilangnya atau berkurangnya multifungsi pertanian tidak mungkin diubah hanya oleh masyarakat pengguna lahan pertanian, tetapi memerlukan fasilitas dan kebijakan pemerintah dengan strategi yang tepat dan tegas, namun harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Strategi utama untuk mempertahankan multifungsi pertanian di Indonesia adalah : (1) meningkatkan citra pertanian dan masyarakat tani, (2) mengubah kebijakakan produk pertanian harga murah, (3) meningkatkan apresiasi terhadap multifungsi pertanian, (4) meningkatkan upaya konservasi lahan pertanian, (5) operasionalisasi penetapan lahan pertanian abadi sesuai Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Adimihardja , 2006).

(29)

13 sawah akan berakibat berkurangnya sumber air bersih, rawan banjir, meningkatnya suhu udara sekitar, berkurang dan hilangnya berbagai jenis satwa. Sementara itu aspek nonteknis terganggunya kelembagaan hubungan antarpetani dan cenderung individual, berkurangnya pengunjung ke pedesaan, bahkan dikhawatirkan akan timbul kasus kelaparan yang terutama terjadi pada anggota masyarakat yang memiliki ketergantungan yang tinggi pada usaha tani di lahan sawah dan tidak mempunyai kesempatan ekonomi di luar usaha tani. Sementara itu, kesediaan melepas lahan sawah, sebagian besar terdapat pada petani yang tidak memiliki ketergantungan yang tinggi pada usaha tani, dalam arti mempunyai alternatif kesempatan berusaha di luar usaha tani. Selain itu, berusaha tani di lahan sawah secara ekonomi memang memberikan insentif yang lebih kecil dibandingkan dengan usaha lain (Numanaf et al. 2006)

Santosa et al. (2011) memaparkan bahwa hamparan lahan sawah memiliki berbagai peran yang sangat strategis. Ditinjau dari segi ekologi dapat sebagai media hidup hewan air tawar, penghasil O2, untuk konservasi tanah dan air, mencegah atau

mengurangi terjadinya banjir. Lahan sawah dapat juga sebagai obyek agrowisata. Potensi ini sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup manusia. Menurut Rivai dan Haridjaja (2009), lahan sawah merupakan penghasil bahan makanan pokok khususnya padi bagi rakyat Indonesia, yang dibangun dengan biaya tinggi dan waktu yang lama selama puluhan bahkan ratusan tahun, sehingga seharusnya dipelihara dan dimanfaatkan sebessar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Selain fungsi sebagai penghasil gabah, lahan sawah mempunyai fungsi yang lebih luas, diantaranya menjaga ketahanan pangan, menjaga stabilitas fungsi hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS), mencegah banjir, menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan serta mempertahankan nilai-nilai budaya pedesaan.

Ketersediaan lahan sawah yang relatif sempit dibandingkan jumlah penduduk, mengakibatkan terjadinya defisit pangan secara kronis. Oleh karena itu perlu dipikirkan suatu solusi yang lebih permanen untuk mengatasi terbatasnya penyediaan pangan nasional terutama beras, melalui perluasan areal sawah yang dilaksanakan secara terkendali dan bijaksanan, terutama untuk mengganti lahan-lahan sawah produktif yang dikonversi dan mengoptimalkan lahan-lahan sawah bukaan baru (Ritung dan Las, 2009). Menurut Manan (2009), jika ditinjau dari potensi dan kesesuaian lahan pertanian maka dari luas lahan potensial pertanian 94,1 juta ha hanya 25,4 juta cocok untuk dijadikan sawah sedangkan luas existing lahan sawah adalah 7,8 juta ha. Dengan demikian masih tersedia cadangan lahan sawah seluas 17,6 juta ha.Namun dilema yang dihadapi sekarang adalah kebutuhan lahan terus meningkat sementara konversi lahan sawah menjadi nonpertanian tinggi.

(30)

14

Konversi Lahan Sawah dan Ketahanan Pangan

Pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan yang sangat penting di Indonesia. Peranan pertanian tersebut antara lain adalah (1) menyediakan kebutuhan bahan pangan yang diperlukan masyarakat untuk menjamin ketahanan pangannya, (2) menyediakan bahan baku bagi industri, (3) menyediakan lapangan kerja, (4) sebagai pasar potensial bagi produk-produk yang dihasilkan oleh industri, (5) sumber pembentukkan modal yang diperlukan bagi pembangunan sektor lain, (6) memiliki pengaruh yang besar bagi upaya pengentassan kemiskinan dan ketahanan pangan, (7) sumber penting perolehan devisa, dan (8) menyumbang secara nyata bagi pembangunan pedesaan dan pelestarian lingkunan (Winoto, 2009).

Produksi atau persediaan beras merupakan sumber utama untuk kebutuhan dan terpenuhinya kebutuhan menunjukkan tingkat ketahanan pangan beras itu sendiri. Apabila persediaan lebih rendah dari kebutuhan maka ketahanan lemah, untuk menutupi kebutuhan harus ada impor. Apabila persediaan sama dengan kebutuhan ketahanan pangan khususnya beras masih dalam kondisi berimbang atau pas-pasan, belum stabil sehingga impor masih perlu dilakukan. Apabila persediaan melebihi dari kebutuhan, apalagi surplusnya itu banyak dan berkelanjutan misalnya sampai bisa mengekspor beras, berarti ketahanan pangan beras mantap dan kuat. Sebenarnya situasi ini yang diinginkan oleh Negara Indonesia terkait dengan ketahanan pangan beras, namun situasinya belum mantap, impor beras masih sangat sering dilakukan (Santosa et al. 2011). Menurut Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2015, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Pada saat ini sering didengar istilah kedaulatan pangan. Menurut Saragih (2009) kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga, yang berdasarkan pada prinsip solidaritas, bukan pertanian berbasiskan agribisnis yang berorientasi pada maksimasi profit. Jika ketahanan pangan menjadi alat dari paradigma developmentalism, maka kedaulatan pangan adalah alat bagi paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial

(31)

15 juta ton beras atau setara 1,8 juta ton gabah kering giling (GKG). Pada tahun 2050 kebutuhan beras akan mencapai 48,2 juta ton atau meningkat 145%. Untuk mencukupi kebutuhan pangan hingga tahun 2050, dengan asumsi bahwa konversi lahan sawah dapat ditekan menjadi 60.000 ha/tahun, diperlukan percetakan sawah baru sekitar 1,6 – 2,4 juta ha (Ritung dan Las, 2009). Agus dan Irawan (2006) memperkirakan bahwa pada tahun 2025 Indonesia harus akan mengimpor 11,4 juta ton beras jika konversi lahan sawah tetap terjadi dengan laju 190.000 ha/tahun dan percetakan sawah baru mencapai 100.000 ha/tahun. Lebih lanjut Ritung dan Las (2009) berpendapat untuk mengantisipasi peningkatan permintaan bahan pangan nasional yang semakin besar di masa depan, perlu dilakukan penambahan luas areal tanam pada lahan-lahan pertanian baru, dibarengi dengan penghentian konversi lahan pertanian yang subur menjadi fungsi-fungsi nonpertanian.

Salah satu isu penting untuk dapat menjamin kedaulatan pangan di Indonesia adalah ketersediaan lahan, yang saat ini dianggap sudah krisis. Krisis sumberdaya lahan ini ditandai dengan pertanyaan atau pernyataan terkait dengan lahan kritis yang semakin luas, turunnya kualitas lahan (pertanian), konversi lahan pertanian (yang lebih cepat dari pertambahan lahan pertanian baru), lahan per petani yang semakin sempit, akumulasi penguasaan lahan pada sedikit pihak, keterbatasan lahan terhadap peningkatan kebutuhan untuk pangan dan lain-lain, dan reforma agraria yang belum berjalan (Krisnamurthi, 2009).

Beras merupakan bahan makanan pokok utama rakyat Indonesia. Kebutuhan beras dari tahun ke tahun terus meningkat karena kenaikan jumlah penduduk dan kebutuhan ini harus terpenuhi. Kekurangan pangan berpengaruh pada gizi buruk, kesehatan, dan sekaligus menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Oleh karena itu, pemerintah senantiasa terus berupaya untuk memiliki serta memelihara ketahanan pangan khususnya beras. Namun seiring dengan usaha tersebut di dalam operasionalnya, masalah vital yang dihadapi saat ini adalah adanya alih fungsi lahan sawah. Alih fungsi lahan sawah dari tahun ke tahun terus meningkat. Apabila situasi ini terus berlangsung dikawatirkan dapat mengancam ketahanan pangan beras. Parahnya lahan yang sudah dialihfungsikan tidak bisa dikembalikan menjadi lahan sawah seperti semula. Di lain pihak untuk pencetakan sawah baru jumlahnya sangat sedikit terkendala oleh biaya tinggi dan waktu yang lama (Santosa et al. 2011).

Krisis Sumberdaya Lahan berpengaruh terhadap ketahanan pangan. Menurut Krisnamurthi (2008) pengaruh krisis sumberdaya lahan terhadap ketahanan pangan adalah :

1. Perubahan penggunaan lahan dari lahan basah yang meloloskan air (permeable) menjadi pemukiman dan industri yang cenderung tidak meloloskan air (impermeable) pada akhirnya meningkatkan laju erosi dan kerusakan lingkungan lainnya.

2. Rendahnya penambahan air tanah menyebabkan menurunnya pasokan air di musim kemarau, sementara itu kebutuhan air irigasi di musim kemarau justru meningkat.

3. Penurunan pasokan air berimplikasi pada menurunnya luas daerah layanan irigasi dan intensitas tanam, meningkatnya resiko kekeringan dan penurunan produksi pangan.

4. Penurunan produksi pangan memicu meningkatnya harga pangan.

(32)

16

terutama sehubungan dengan pencapaian ketahanan pangan. Dengan demikian, jelaslah bahwa konversi lahan pertanian menjadi persoalan penting dalam perkembangan wilayah itu sendiri. Persoalannya adalah informasi mengenai besaran dan laju konversi lahan seringkali kurang tersedia, padahal informasi tersebut dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan pengambilan kebijakan dalam menentukan rencana tata ruang serta pengendalian konversi itu sendiri (Ruswandi et al. 2007).

Cepatnya proses pembangunan mempunyai implikasi terhadap peningkatan pemanfaatan lahan subur, tidak terkecuali lahan sawah. Adanya alih fungsi lahan dari lahan sawah ke yang bukan sawah berakibat banyak hal yang sangat berharga hilang bagi negara, seperi penurunan lahan subur, adanya peningkatan investasi di bidang infrastruktur untuk irigasi, hilangnya kesempatan kerja bagi petani yang kehilangan sawahnya, pengurangan areal tanaman pangan dan dampak lebih lanjut mengancam keamanan sistem pangan nasional. Fakta menunjukkan, bahwa alih fungsi lahan sawah memang terus berlangsung. Ironi memang disatu pihak negara harus memiliki ketahanan pangan bahkan kedaulatan pangan, namun disisi lain alih fungsi lahan sawah terus berlangsung. Situasi ini jelas dapat mengancam ketahanan pangan sekaligus kedaulatan pangan beras. Oleh karena itu, sangat perlu adanya regulasi untuk melindungi lahan sawah sehingga ada lahan sawah abadi untuk mengasilkan beras secara berkelanjutan. Adanya perencanaan tata ruang wilayah yang mantap baik regional maupun nasional yang memposisikan lahan sawah sebagai ruang yang abadi akan sangat mendukung kebijakan ini (Santosa et al. 2011).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah

Faktor utama yang menyebabkan terjadinya konversi lahan sawah menurut Irawan dan Friyatno (2002) adalah belum adanya koordinasi antara instansi dalam pendataan masalah tanah (sawah), masing-masing instansi cenderung mengungkapkan data lahan yang sesuai dengan kepentingannya sendiri misalnya Dinas Pengairan (PU) cenderung menerbitkan data luas sawah irigasi teknis yang lebih besar dari fakta di lapangan agar anggaran pemeliharaan irigasi menjadi lebih besar lagi, dan setiap instansi menggunakan pendekatan dan metode yang berbeda dalam memonitor perkembangan luas lahan. Berdasarkan hasil penelitian dari Sitorus et al. (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kabupaten Tangerang pada periode tahun 1997 sampai tahun 2007 adalah PDRB sektor jasa, PDRB sektor pertanian, PDRB sektor industri pengolahan, fasilitas pendidikan, fasilitas ekonomi, aksesibilitas ke pusat pemerintahan, dan aksesibilitas ke fasilitas kesehatan.

(33)

rata-17 rata luas perubahan lahan sawah ke penggunaan lahan nonsawah menjadi semakin kecil (Barus et al. 2012).

Ilham et al. (2005) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial dan faktor peraturan pertanahan yang ada. Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain maupun mengganti pada usaha nonpadi merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, akan meningkat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Adapun faktor sosial yang mempengaruhi konversi lahan pertanian adalah perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, dan pemecahan lahan. Untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke nonpertanian pemerintah mengantissipasi dengan membuat peraturan pertanahan. Penggaturan ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perkembangan perekonomian pada umumnya.

Pengendalian Konversi Lahan Sawah

Menurut Irawan dan Friyatno (2002) jumlah kehilangan produksi beras akbat konversi lahan sawah di Jawa selama kurun waktu delapan belas tahun (1981 – 1998) sekitar 2,82 juta ton gabah pertahun setara dengan 1,7 juta ton beras/tahun. Jumlah kehilangan produksi beras tersebut hampir sebanding dengan jumlah impor beras pada tahun 1984 – 1997 yang berkisar antara 1,5 juta hingga 2,5 juta ton beras/tahun. Artinya, apabila konversi lahan sawah dapat ditekan maka hal itu akan memberikan dampak yang cukup besar bagi pengadaan beras nasional. Upaya pengendalian konversi lahan sawah tersebut menjadi cukup mendesak mengingat pertumbuhan produksi beras akhir-akhir ini mengalami stagnasi akibat terkendala oleh kejenuhan teknologi. Pengendalian konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian, menurut Irawan dan Friyatno (2002) dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pengendalian melalui kelembagaan dan pengaturan tentang pengalihan dan penatagunaan lahan sawah (regulation), dan pengendalian melalui instrumen ekonomi, seperti mekanisme kompensasi, kebijakan penerapan pajak progresif dan bank tanah.

(34)

18

pertanian, yang tidak boleh beralih fungsi, namun dapat berubah kepemilikan (Syahyuti, 2011).

Meskipun pemerintah daerah telah membuat RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) tentang aturan pemanfaatan ruang wilayah, termasuk di dalamnya antisipasi terhadap konversi lahan sawah, namun implementasinya boleh dikatakan masih lemah. Oleh karena itu, pendataan lahan yang terkoordinasikan dan terpadu diiringi dengan kebijakan pengendalian konversi lahan yang holistik dan komprehensif perlu segera diwujudkan (Iqbal, 2007). Menurut Isa (2010), bahwa pencegahan alih fungsi tanah pertanian harus multidimensional yaitu dengan mengangkat sektor pertanian agar disenangi petani sehingga tidak terdorong mengkonversi tanah pertaniannya dan penetapan LPPB dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Proses alih fungsi lahan pertanian yang terjadi dapat dikendalikan dengan dikeluarkannya kebijakan yang mengatur tentang alih fungsi lahan. Kebijakan yang berkaitan dengan alih fungsi lahan diantaranya adalah kebijakan tentang penggunaan lahan untuk kawasan industri, kebijakan tentang tata guna lahan, kebijakan tentang izin lokasi dan klarifikasi serta kebijakan tentang proses perizinan pengeringan lahan. Pada dasarnya setiap kebijakan tersebut melarang perubahan penggunaan lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian. Kenyataannya kebijakan tersebut tidak dapat menjadi sistem kontrol yang efektif terhadap alih fungsi lahan pertanian yang terjadi (Supriyadi, 2004).

Hasil Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian

Menurut Irawan (2005) konversi lahan cenderung menular/meningkat disebabkan oleh dua faktor terkait. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi yang terkonversi, maka aksesibilitas di lokasi tersebut semakin mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, meningkatnya harga lahan selanjutnya mendorong petani lain di sekitarnya untuk menjual lahannya. Pembeli tanah tersebut biasanya bukan penduduk setempat sehingga akan terbentuk lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses konversi lahan. Menurut Rivai dan Haridjaja (2009) perilaku petani terhadap konversi lahan sawah dipengaruhi pengembangan kawasan industri, desakan kebutuhan hidup dan harga jual lahan tinggi.

(35)

19 konversi lahan sawah pendapatan masyarakat dari sektor ertanian adalah sebesar 27,62%, pendapatan dari sektor nonpertanian sebesar 67,36% dan pendapatan lainnya sebesar 5,03%.

Hasil penelitian Ruswandi et al. (2007) menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi yang cukup pesat di wilayah Bandung dan sekitarnya, telah mengundang penduduk sekitarnya untuk bermigrasi masuk baik untuk tujuan bekerja, pendidikan, dan tujuan lainnya, sehingga beban wilayah Bandung akan semakin besar dalam menyediakan ruang dan pangan untuk keperluan penduduk yang semakin bertambah tersebut. Padahal disisi lain, perkembangan perekonomian tersebut diiringi oleh terjadinya perubahan penggunaan lahan yang cenderung mengarah pada alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian, yang sering disebut sebagai konversi lahan pertanian. Secara faktual, konversi lahan pertanian menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain berkurangnya lahan terbuka hijau sehingga lingkungan tata air akan terganggu, serta lahan untuk budidaya pertanian semakin sempit.

Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan akan selalu diiringi dengan meningkatnya standar kualitas dan kuantias kebutuhan hidup dan peningkatan kebutuhan ketersediaan fasilitas yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Perkembangan suatu wilayah dilihat dari hirarki suatu wilayah tersebut. Semakin tinggi hirarki suatu wilayah kecenderungan perubahan penggunaan lahan semakin kecil. Jenis penggunaan lahan dominan di wilayah berhirarki tinggi adalah lahan terbangun untuk berbagai aktivitas ekonomi (Sitorus et al. 2012).

Hasil penelitian Agus et al. (2006) menunjukkan sistem pertanaman padi berkontribusi nyata dalam pengurangan banjir, konservasi sumberdaya air, pencegahan erosi, pembuangan limbah, dan peredaman panas. Dengan memperhatikan banyaknya jasa lingkungan dari sistem padi sawah dan pentingnya masalah ketahanan pangan di Indonesia, Agus et al. (2006) selanjutnya menghimbau diperlukannya formulasi kebijakan dalam upaya mengontrol alih fungsi lahan sawah ini.

Gambar

Tabel 2 (Lanjutan)
Gambar 2 Diagram Alir Tahapan Penelitian
Tabel 4  Variabel yang Digunakan pada Analisis Skalogram
Tabel 5 Variabel-Variabel dalam Analisis Regresi Stepwise
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pondasi menerus yang diletakkan pada tanah pasir dengan RC 70% dengan rasio kedalaman pondasi dan jarak lapis

Keinginan sebuah keluarga dalam satu ikatan perkawinan pada setiap etnis memiliki pandangan sendiri- sendiri, yang dipedomani dari orang tua dan berbeda nenek

aplikasi weka. Fitur - fitur tersebut merupakan fitur yang memiliki peluang besar dalam membedakan jenis nyamuk pada proses klasifikasi. Hasil rata - rata pada siklus

Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran ini dapat meningkatkan hasil belajar sehingga nilai siswa yang sebelum dilakukan

Untuk lebih memberdayakan DPRD dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kepada DPRD diberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tidak terdapat di dalam perundang-undangan

Penelitian ini menggunakan yang didapatkan dari Laporan Realisasi APBD tahun 2010 hingga 2012 yang seluruhnya menyampaikan laporan kepada situs Dirjen Perimbangan

Penelitian ini menemukan bukti yang mendukung beberapa penelitian sebelumnya terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pencegahan fraud pengadaan barang/jasa dan

1 Iya saya sangat sadar dan sangat setuju, karena di masa seperti ini orang-orang tidak bisa pergi membeli buku maupun keperpustakaan, maka dari internet lah sangat membantu