• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kesesuaian Lingkungan Empat Bangsa Sapi Berdasarkan Kondisi Fisiologis Dan Produktivitas Di Provinsi Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Kesesuaian Lingkungan Empat Bangsa Sapi Berdasarkan Kondisi Fisiologis Dan Produktivitas Di Provinsi Lampung"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

SAPI BERDASARKAN KONDISI FISIOLOGIS DAN

PRODUKTIVITAS DI PROVINSI LAMPUNG

NANDARI DYAH SURETNO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Evaluasi Kesesuaian Lingkungan Empat Bangsa Sapi Berdasarkan Kondisi Fisiologis dan Produktivitas di Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016

Nandari Dyah Suretno NIM D161110101

(4)

Sapi Berdasarkan Kondisi Fisiologis dan Produktivitas di Provinsi Lampung. Dibimbing oleh BAGUS PRIYO PURWANTO, RUDY PRIYANTO dan IMAN SUPRIATNA.

Pemenuhan kebutuhan daging masyarakat saat ini bersumber dari sapi lokal (sapi bali dan PO) ditambah sapi impor dan daging impor. Sapi impor tersebut diantaranya sapi limousin dan simental yang merupakan sapi-sapi dari daerah beriklim sedang. Keberadaan sapi limousin dan simental yang berasal dari iklim sedang di provinsi Lampung kemungkinan akan bermasalah dalam termoregulasinya. Permasalahan termoregulasi ini akan berdampak pada kemampuan produksi dan performa reproduksi sapi. Pengetahuan akan lingkungan hidup yang sesuai untuk masing-masing sapi mempercepat pertumbuhan populasi dan meningkatkan pendapatan peternak.

Penelitian ini bertujuan untuk a. mengevaluasi kondisi fisiologi dan produktivitas (produksi dan reproduksi) sapi bali, sapi PO, sapi peranakan limousin

dan sapi peranakan simental pada beberapa ketinggian tempat yang berbeda. b. menilai kesesuaian lingkungan untuk sapi bali, sapi PO, sapi peranakan limousin

dan sapi peranakan simental di provinsi Lampung. Lokasi penelitian adalah tiga kabupaten di provinsi Lampung, yaitu kabupaten Lampung Tengah dengan ketinggian 0-100 mdpl, kabupaten Pesawaran dengan ketinggian 100-250 mdpl dan kabupaten Lampung Barat dengan ketinggian 400-500 mdpl. Penelitian ini menggunakan sapi sebanyak 48 ekor jantan dewasa dan 359 ekor betina dewasa dengan rincian sapi bali 99 ekor, sapi PO 155 ekor, sapi peranakan limousin 66 ekor dan sapi peranakan simental 39 ekor. Umur sapi-sapi tersebut adalah dua sampai empat tahun, dengan cara pemeliharaan dikandangkan.

Data keadaan umum peternakan dan keadaan cuaca lokasi penelitian dihitung rataannya. Pengaruh ketinggian terhadap respon fisiologi, kemampuan produksi dan performa reproduksi empat bangsa sapi (sapi bali, PO, peranakan limousin dan peranakan simental) dilihat menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga taraf perlakuan yaitu ketinggian tempat. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) dan diuji lanjut menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan. Data performa reproduksi baik sapi jantan maupun betina dianalisis secara Deskriptif.

(5)

Luasan daerah yang cocok untuk sapi ini adalah 3 182 400.55 ha. Sapi peranakan simental cocok dikembangkan di daerah dengan ketinggian 400-500 mdpl. Daerah ini meliputi kabupaten Lampung Barat, sebagian kabupaten Pesisisr Barat dan kabupaten Tanggamus. Luasan kedua ketinggian ini adalah 541 326.89 ha.

(6)
(7)

NANDARI DYAH SURETNO. Environmental Suitability Evaluation Based on The Production Performances of Four Breed Cattles at Different Altitudes in Lampung Province. Supervised by BAGUS PRIYO PURWANTO, RUDY PRIYANTO and IMAN SUPRIATNA.

The domestic demand for beef are largely supplied from local cattle and, in some extent, live cattle and beef imports. The local cattle comprised mainly native cattle such as Bali cattle, and local crossbred cattle through artifical insemination programme using semen of bulls of taurine cattle originated from temperate climate region. The variation in geographical condidtion of Lampung Province could have influence on thermoregulatory system of cattle from different breeds and crosses, and hence their productivity and reproductive performances. Therefore, the knowledge of environmental suitability of the local beef cattle could have important role in the placement of the animal that can optimaise their potential production.

This study has two main objectives, namely a) to evaluate the physiological status, productivity and reproductive performances of Bali, Ongole Cross, Limosine Cross and Simmental Cross on three different altitudes; b) to evaluate the environmental suitability of Bali, Ongole Cross, Limosine Cross and Simental Cross in Lampung Province. This study was carried out at smallholder cattle farmers in the regions of lampung province at three different altitudes i.e. 0-100 m, 10-250 m and 400-500 m above sea level (asl). A total of 18 bulls and 359 cows consisting of Bali, Ongole Cross, Limosine Cross and Simental Cross. All local cattle used were kept intensively within the age range of two to four years old.

The observed climate parameters included ambient temperature, relative humidity, wind velocity and thermal radiation. The effect altitude on physiology, productivity and reproductive responses in rainy and dry season with Completely Randomized Design and were analyzed with one-way ANOVA, the means of

variables were compared by Duncan’s Multiples Range test. Data of reproductive performances were analyzed descriptively.

The results showed that according to physiological status, productivity and reproductive performances, Bali cattles have a good performance to be kept in lowland regions within altitude of 0-100 m asl. The regions cover about 2 268 500.26 ha, including Central Lampung, South Lampung, East Lampung, North Lampung, Tulang Bawang and Metro district. Ongole Cross as one of Indonesia local cattle is suitable to be raised in regions within altitude 400-500 m asl. These areas represent West Lampung, Tanggamus, part of Pesisir Barat and a few area of North Lampung with the total area of 541 326.89 ha. Based on this study, Limosine Cross would be well developed in all regions with the total area of 3 182 400.52 ha and cover three different altitudes, 0-100, 100-250, and 400-500 m asl,. Simental Cross were suitable to be developed in the region with the altitude of 400-500 m asl. These regions include West Lampung, part of Pesisir Barat and Tanggamus, with the total area of 541.326,89 ha.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

SAPI BERDASARKAN KONDISI FISIOLOGIS DAN

PRODUKTIVITAS DI PROVINSI LAMPUNG

NANDARI DYAH SURETNO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Iwan Prihantoro, MSi

Dr Ir Salundik, MSi

Penguji pada Ujian Promosi: Dr Ir A Arivin Rivaie, MSc

(11)
(12)

Ucapan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan dan kasih-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 sampai Desember 2014 ini adalah kesesuaian lingkungan, dengan judul Evaluasi Kesesuaian Lingkungan Empat Bangsa Sapi Berdasarkan Kondisi Fisiologis dan Produktivitas di Provinsi Lampung.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bagus Priyo Purwanto, MAgr selaku ketua komisi pembimbing, Dr Ir Rudi Priyanto dan Prof Dr drh Iman Supriatna selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan. Terima kasih kepada penguji ujian sidang tertutup Dr Iwan Prihantoro, SPt MSi dan Dr Ir Salundik, MSi atas masukannya. Disamping itu, penghargaan juga penulis sampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melanjutkan studi dan atas bantuan pendanaan penelitian.

Ucapan terima kasih kepada Dr Ir Salundik, MSi dan Dr Ir Niken Ulupi, MSi selaku ketua dan sekretaris program studi ITP dan staf (Bu Ade dan Mbak Okta), atas bantuan dan pelayanan administrasi yang ramah selama penulis menempuh studi. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan program doktor ITP IPB angkatan 2011 (Dr Heni Rizqiati, Dr Lucia Cyrilla ENSD, Dr Hartati, Dr Komariah, Dr Zuraida Hanum dan Dr Sri Rahayu) atas dukungan dan kebersamaan selama ini. Semoga persahabatan ini menjadi kenangan manis yang tidak akan terlupakan. Tak lupa terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan sekantor (Pak Rugito, Pak Rahman. Tri, Minah, Erik), Pak Uus dan Arie yang telah membantu dalam pengambilan data dan pengolahan data.

Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada almarhum ayahanda Abiyono dan ibunda Sumarsih untuk doa-doanya; kepada suamiku drh Widyasmoro atas dukungan semangat dan doanya; kepada kedua anakku Manuella Pramunditya Widyandari dan Michaeline Pirantya Widyandari terimakasih untuk pengertian dan pengorbanannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2016

(13)

DAFTAR TABEL

Novelty atau Kebaruan Penelitian Manfaat Penelitian

Kerangka Berfikir Penelitian Ruang Lingkup Penelitian

2 KEADAAN UMUM PROVINSI LAMPUNG Materi dan Metode

Keadaan Umum Peternakan di Lokasi Penelitian Keadaan Cuaca Lokasi Penelitian

3 STATUS FISIOLOGIS EMPAT BANGSA SAPI PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT YANG BERBEDA DI PROVINSI

LAMPUNG Pendahuluan Materi dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan

4 KEMAMPUAN PRODUKSI EMPAT BANGSA SAPI PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT YANG BERBEDA DI PROVINSI LAMPUNG

Pendahuluan Materi dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan

5 PERFORMA REPRODUKSI EMPAT BANGSA SAPI PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT YANG BERBEDA DI PROVINSI LAMPUNG

Pendahuluan Materi dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan

6 EVALUASI KESESUAIAN LINGKUNGAN EMPAT BANGSA SAPI BERDASARKAN RESPONS FISIOLOGI, KEMAMPUAN

(14)

Hasil dan Pembahasan Simpulan

7 PEMBAHASAN UMUM 8 SIMPULAN DAN SARAN

Topik penelitian dan tujuan yang hendak dicapai Kepemilikan ternak pada ketiga ketinggian tempat Pengalaman beternak pada ketiga ketinggian tempat Jenis atap kandang pada ketiga ketinggian tempat Tinggi kandang pada ketiga ketinggian tempat

Jarak kandang dari rumah pada ketiga ketinggian tempat Jenis pakan pada ketiga ketinggian tempat

Jumlah pemberian pakan pada ketiga ketinggian Jumlah Curah Hujan provinsi Lampung

Respons fisiologis frekuensi pernafasan empat bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau

Respons fisiologis denyut jantung empat bangsa sapi pada musim hujan dan musim kemarau

Respon suhu rektal empat bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau Tinggi badan sapi di tiga ketinggian tempat yang berbeda

Lingkar dada sapi di tiga ketinggian tempat yang berbeda Body Condition Score (BCS) sapi di tiga ketinggian tempat yang berbeda pada musim hujan dan musim kemarau

Pemeriksaan makroskopis beberapa bangsa sapi potong Pemeriksaan mikrokopis beberapa bangsa sapi potong

Conception Rate tiga bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau S/C empat bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau

Volume semen segar tiga bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau Konsistensi semen segar tiga bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau

pH semen segar tiga bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau Warna semen segar tiga bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau Gerakan massa semen segar tiga bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau

Konsentrasi semen segar tiga bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau

Persentase motilitas semen segar tiga bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau

Persentase spermatozoa hidup semen segar tiga bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau

(15)

5.13

6.1

Abnormalitas semen segar tiga bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau

Rangking dan bobot seluruh peubah

43

Kerangka Berfikir Penelitian Suhu udara di lingkungan penelitian Suhu udara di lingkungan penelitian musim hujan

Suhu udara di lingkungan penelitian musim kemarau Kelembapan udara di lingkungan penelitian musim hujan Kelembapan udara di lingkungan penelitian musim kemarau Kecepatan angin di lingkungan penelitian musim hujan Kecepatan angin di lingkungan penelitian musim kemarau Radiasi Matahari di lingkungan penelitian musim hujan Radiasi Matahari di lingkungan penelitian musim kemarau THI di lingkungan penelitian musim hujan

THI di lingkungan penelitian musim kemarau

Peta kesesuaian lingkungan sapi bali berdasarkan status fisiologis Peta kesesuaian lingkungan sapi PO berdasarkan status fisiologis Peta kesesuaian lingkungan sapi peranakan limousin berdasarkan status fisiologis

Peta kesesuaian lingkungan sapi peranakan simental berdasarkan status fisiologis

Peta kesesuaian lingkungan sapi bali berdasarkan kemampuan produksi Peta kesesuaian lingkungan sapi PO berdasarkan kemampuan produksi Peta kesesuaian lingkungan sapi peranakan limousin berdasarkan kemampuan produksi

Peta kesesuaian lingkungan sapi peranakan simental berdasarkan kemampuan produksi

Peta kesesuaian lingkungan sapi bali berdasarkan performa reproduksi Peta kesesuaian lingkungan sapi PO berdasarkan performa reproduksi Peta kesesuaian lingkungan sapi peranakan limousin berdasarkan performa reproduksi

Peta kesesuaian lingkungan sapi peranakan simental berdasarkan performa reproduksi

Peta kesesuaian lingkungan sapi bali berdasarkan status fisiologis, kemampuan produksi dan performa reproduksi

Peta kesesuaian lingkungan sapi PO berdasarkan status fisiologis, kemampuan produksi dan performa reproduksi

Peta kesesuaian lingkungan sapi peranakan limousin berdasarkan status fisiologis, kemampuan produksi dan performa reproduksi

Peta kesesuaian lingkungan sapi peranakan simental berdasarkan status fisiologis, kemampuan produksi dan performa reproduksi

Peta kesesuaian lingkungan empat bangsa sapi di provinsi Lampung

(16)

1

Hasil analisis ragam pengaruh ketinggian terhadap respon frekuensi nafas empat bangsa sapi pada musim hujan.

Hasil analisis ragam pengaruh ketinggian terhadap respon frekuensi nafas empat bangsa sapi pada musim kemarau.

Hasil analisis ragam pengaruh ketinggian terhadap respon denyut jantung empat bangsa sapi pada musim hujan.

Hasil analisis ragam pengaruh ketinggian terhadap respon denyut jantung empat bangsa sapi pada musim kemarau.

Hasil analisis ragam pengaruh ketinggian terhadap respon suhu rektal empat bangsa sapi pada musim hujan.

Hasil analisis ragam pengaruh ketinggian terhadap respon suhu rektal empat bangsa sapi pada musim kemarau.

Hasil analisis ragam pengaruh ketinggian terhadap respon tinggi badan empat bangsa sapi pada musim hujan.

Hasil analisis ragam pengaruh ketinggian terhadap respon tinggi badan empat bangsa sapi pada musim kemarau.

Hasil analisis ragam pengaruh ketinggian terhadap respon lingkar dada empat bangsa sapi pada musim hujan.

Hasil analisis ragam pengaruh ketinggian terhadap respon lingka dada empat bangsa sapi pada musim hujan.

Hasil analisis ragam pengaruh ketinggian terhadap respon BCS empat bangsa sapi pada musim hujan.

Hasil analisis ragam pengaruh ketinggian terhadap respon BCS empat bangsa sapi pada musim kemarau.

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi potong masih merupakan ruminansia besar dengan populasi paling banyak di Indonesia. Posisi lima terbanyak populasi sapi potong per provinsi di Indonesia menurut data Ditjen PKH (2015) adalah Jawa Timur dengan populasi sebesar 5 058 853 ekor, disusul Jawa Tengah sebesar 2 092 436 ekor, selanjutnya Sulawesi Selatan sebanyak 1 152 053 ekor, terbanyak keempat adalah Nusa Tenggara Barat sebanyak 1 002 503 ekor dan terakhir Lampung sebanyak 834 154 ekor. Pada tahun 2012 secara nasional populasi sapi potong mengalami peningkatan sejumlah 7.80%.

Setiap ternak mempunyai kisaran suhu lingkungan yang paling sesuai yang disebut comfort zone. Comfort Zone sapi di daerah tropik berkisar antara 10-27 oC,

sedangkan suhu nyaman untuk sapi Eropa berkisar 17-21 oC (Mursa 2011). Sapi bali mempunyai kemampuan termoregulasi yang lebih baik dibandingkan dengan sapi PO di dataran rendah (Saiya 2012). Sapi bali adalah bangsa sapi potong lokal asli Indonesia hasil domestikasi dari banteng (Bos-bibos banteng) yang telah dijinakkan berabad-abad yang lalu (Hardjosubroto dan Astuti 1994). Penyebaran sapi bali ini telah meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Suhu rektal normal sapi bali adalah 37.5-38 oC (Berata 2015). Denyut jantung sapi bali yang mendapat

beban kerja 62 118 kg/hari, 275 000 kg/hari dan 50 799 kg/hari masing-masing 67.56 kali/menit; 70.44 kali/menit dan 67.56 kali/menit (Dwatmaji et al. 2004). Frekuensi respirasinya 20.44 (Dwatmaji et al. 2004), 23.2 kali/menit pada pagi hari dan 27.5 kali/menit pada sore hari (Muin et al. 2013). Sapi bali betina mempunyai berat 300 kg, tinggi pundak 110 cm dan lingkar dada 163 cm (Talib et al. 2002). Berdasarkan penilaian kuantitatif yaitu nilai 1 (sangat kurus) sampai 9 (sangat gemuk/obesitas) skor kondisi tubuh induk sapi bali mencapai 6.7 dengan pemeliharaan sistem intensif (Baco 2013). Kune dan Solihati (2007) melaporkan bahwa CR sapi bali timor pada kelompok ternak yang berahi alam sebesar 60%. Siswanto et al. (2013) yang melakukan penelitian pada pemeliharaan intensif melaporkan bahwa S/C sapi bali sebesar 1.65 ± 0.87.

Sapi PO adalah bangsa sapi hasil persilangan antara pejantan sapi sumba ongole (SO) dan sapi betina lokal Jawa. Sapi PO berwarna putih, berpunuk dan gelambir dan terkenal sebagai sapi pedaging serta sapi pekerja. Mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perbedaan kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat dan reproduksi induk cepat kembali normal setelah beranak, jantan memiliki kualitas semen yang baik. Suhu rektal pada pemeliharaan tipe kandang buka-tutup, terbuka dan tertutup berturut turut 38.68±0.36 oC; 38.58±0.28

oC dan 38.76±0.09 oC (Panjono 2009). Denyut jantung sapi PO hasil penelitian

(18)

bahwa nilai CR di kabupaten Malang sebesar 75.34%; di DI Yogyakarta 80% (Diwyanto dan Inounu 2009); di kabupaten Nganjuk 64±0.29% (Wibowo et al. 2014) dan di kabupaten Kebumen 63.56% (Hastuti 2008). Nilai S/C dilaporkan juga oleh beberapa peneliti yaitu 1.28 (Ihsan dan Wahjuningsih 2011); 2.2±1.13 (Hastuti 2008); 1.2 (Diwyanto dan Inounu 2009); 1.28 (Nuryadi dan Wahjuningsih 2011).

Sapi simental dan limousin adalah sapi yang berasal dari daerah sedang (temperate zone), terbiasa hidup di daerah dengan temperatur udara yang dingin dan tatalaksana pemeliharaan yang intensif (Astuti et al. 2002). Suhu rektal sapi peranakan limousin (limpo) di dataran rendah 37.88 oC (Widada et al. 2015) dan 38.92 oC (Aryogi et al. 2005), sedangkan suhu rektal sapi limpo di dataran tinggi

adalah 38.2 oC (Widada et al. 2015). Aryogi et al. (2005) menyampaikan hasil penelitiannya bahwa suhu rektal sapi peranakan simental (simpo) adalah 39.00 oC. Widada et al. (2015) melaporkan bahwa frekuensi respirasi sapi limpo adalah 27,4 kali/menit dataran rendah dan 27.5 kali/menit pada dataran tinggi. Lebih lanjut dikatakan bahwa frekuensi respirasi tersebut naik mejadi 28.2 kali/menit pada dataran rendah dan 28.6 kali/menit setelah sapi tersebut diberi pakan konsentrat. Sapi simpo pada dataran rendah mempunyai frekuensi respirasi 27.09 kali/menit (Aryogi et al. 2005). Denyut jantung sapi limpo 83.17 kali/menit dan sapi simpo sebanyak 89.69 kali/menit. Skor kondisi tubuh sapi simpo (skala 1-9) yang mendapat perlakuan pakan 60% rumput gajah dan 40% konsentrat adalah 5.17±0.68 (Endrawati et al. 2010). Angka CR sapi limousin sebesar 66% dilaporkan oleh Nuryadi dan Wahjuningsih (2011). Nilai S/C dilaporkan oleh beberapa peneliti yaitu 1.34 (Ihsan dan Wahjuningsih 2011); 1.34 (Nuryadi dan Wahjuningsih 2011). Ketinggian tempat mempengaruhi nilai S/C sapi peranakan limousin seperti dilaporkan oleh Suyadi et al. (2014). Nilai S/C pada dataran tinggi (700 mdpl) sebesar 2.01±1.01 lebih besar dibandingkan pada dataran rendah (5 mdpl) sebesar 1.66±0.68.

Provinsi Lampung dengan luas wilayah 37 288.35 km2, secara geografis terletak pada kedudukan di sebalah timur-barat antara 103o40’-105o50’ Bujur Timur dan di sebelah utara-selatan antara 6o45’-3o45’ Lintang Selatan. Berdasarkan

letak geografis tersebut provinsi Lampung beriklim tropis-humid dengan angin laut lembap yang bertiup dari Samudera Indonesia dengan dua musim angin setiap tahunnya. Temperatur udara rata-rata berkisar antara 26 oC-28 oC, dengan

temperatur maksimum adalah 33 oC dan temperatur minimum adalah 20 oC, namun

keduanya sangat jarang terjadi. Kelembaban udara berkisar 80-88% dan akan naik dengan bertambah tingginya suatu tempat (Pemda Lampung 2011).

Ketinggian tempat dari permukaan laut di provinsi Lampung sangat bervariasi mulai dari 1 meter diatas permukaan laut (mdpl) sampai 512 mdpl. BPS (2015) menunjukkan bahwa ketinggian tempat dibawah 100 mdpl meliputi kabupaten Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Timur, Tulang Bawang, Lampung Utara dan Kota Metro. Daerah dengan ketinggian 100-250 mdpl meliputi sebagian kabupaten Tanggamus, Pesawaran, Way Kanan dan kota Bandar Lampung. Sedangkan ketinggian tempat diatas 250 mdpl adalah kabupaten Lampung Barat dan sebagian kabupaten Tanggamus.

(19)

hijauan (rumput) yang tumbuh di atasnya. Keadaan lingkungan ekologis yang berbeda akan mempengaruhi produktifitas ternak sapi potong.

Cara pemeliharaan sapi potong di provinsi Lampung sebagian besar adalah dikandangkan dan dilepaskan (63.72%) sedangkan yang hanya dikandangkan sebanyak 35.50% dan sisanya (0.78%) dilepaskan sama sekali. Berdasarkan pemeliharanya, sebagian besar dipelihara oleh rumah tangga yaitu sebesar 90.46%, dipelihara oleh perusahaan sebesar 6.12% serta 3.42% dipelihara oleh pedagang dan lainnya. Kepemilikan sapi peternak sapi skala rumah tangga masih sangat kecil yaitu 2.47 (BPS dan Ditjen PKH 2011). Kepemilikan yang masih sangat rendah ini karena tujuan pemeliharaannya adalah sebagai sampingan saja disamping digunakan sebagai tabungan dan dimanfaatkan tenaganya untuk membantu peternak dalam pengelolaan usaha pertaniannya.

Pengembangan ternak yang sesuai dengan lingkungannya dapat diterapkan di provinsi Lampung terutama peternak rakyat yang selama ini tidak memperhatikan faktor lingkungan. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi kesesuaian lingkungan berdasarkan satus fisiologi, kemampuan produksi dan reproduksi empat bangsa sapi yaitu sapi bali, sapi PO, peranakan limousin dan peranakan simental pada beberapa ketinggian tempat yang berbeda.

Tujuan Penelitian

1. Mengevaluasi kondisi fisiologi dan produktivitas (produksi dan reproduksi) sapi bali, sapi PO, sapi peranakan limousin dan sapi peranakan simental pada beberapa ketinggian tempat yang berbeda.

2. Menilai kesesuaian lingkungan untuk sapi bali, sapi PO, sapi peranakan limousin dan sapi peranakan simental di provinsi Lampung.

Novelty atau Kebaruan Penelitian

1. Produktivitas sapi lokal dan sapi impor pada peternakan rakyat.

2. Kondisi lingkungan yang sesuai untuk pengembangan sapi bali, sapi PO, sapi peranakan limousin dan sapi peranakan simental di provinsi Lampung.

3. Rekomendasi teknologi pengembangan sapi bali, sapi PO, sapi peranakan limousin dan sapi peranakan simental di provinsi Lampung.

4. Peta wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi bali, sapi PO, sapi peranakan limousin dan sapi peranakan simental.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi tentang respons fisiologis, kemampuan produksi dan performa reproduksi sapi bali, sapi PO, sapi peranakan limousin dan sapi peranakan simental pada beberapa ketinggian tempat yang berbeda.

2. Mengevaluasi kondisi lingkungan yang sesuai untuk keempat bangsa sapi agar produktivitasnya optimal.

(20)

4. Diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu pemerintah daerah meningkatkan populasi sapi potong di provinsi Lampung sehingga pemenuhan kebutuhan daging dapat dipenuhi.

Kerangka Berpikir Penelitian

Peningkatan konsumsi daging masyarakat Indonesia memaksa pemerintah membuat kebijakan pembangunan peternakan. Mulai awal tahun 1980-an pemenuhan kebutuhan daging bergeser dari yang sebelumnya utamanya dipasok daging yang bersumber dari sapi lokal para petani kecil menjadi ditambah sapi impor dan daging impor. Sapi impor tersebut diantaranya sapi limousin dan simental yang merupakan sapi-sapi dari daerah beriklim sedang. Sapi limousin sudah banyak disilangkan dengan berbagai sapi lainnya seperti sapi ongole, sapi brahman dan sapi hereford. Sapi simental dikembangkan di Indonesia tahun 1985 melalui semen beku yang dikawinkan dengan sapi PO dan sapi friesian holstein.

Wilayah Lampung secara topografi bervariasi karena ketinggian tempat dari permukaan laut di provinsi Lampung mulai dari 1 meter diatas permukaan laut (mdpl) sampai 512 mdpl (BPS 2015). Temperatur udara rata-rata berkisar antara 26

oC-28 oC, dengan temperatur maksimum adalah 33 oC dan temperatur minimum

adalah 20 oC, namun keduanya sangat jarang terjadi. Kelembapan udara berkisar

80-88% dan naik seiring dengan bertambah tingginya suatu tempat (Pemda Lampung 2011).

Selain perbedaan topografi, provinsi Lampung juga memiliki perbedaan yang jelas antara musim kemarau dan hujan. Bulan Juli s/d Agustus angin bertiup dari arah timur dan tenggara (musim kemarau) dan bertiup dari arah barat serta barat laut (musim hujan) pada bulan Nopember s/d Maret. Curah hujan tertinggi bulan Januari mencapai 459.8 mm dan terendah pada bulan Agustus sebesar 22.3 mm. Perbedaan terutama curah hujan akan berpengaruh terhadap ketersediaan pakan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap respon fisiologisnya. Keberadaan sapi limousin dan simental yang berasal dari iklim sedang di provinsi Lampung kemungkinan akan bermasalah dalam termoregulasinya yang pada akhirnya mempengaruhi produktivitasnya. Perlu dilakukan penelitian tentang respons ternak terhadap beberapa lingkungan yang berbeda. Secara menyeluruh kerangka berpikir digambarkan sebagai berikut pada Gambar 1.1

Ruang Lingkup Penelitian

(21)

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Sapi Betina

Kondisi Fisiologis Kemampuan Produksi Performa Reproduksi

Analisis Spasial (SIG) Kesesuaian Lingkungan

Sapi Potong

Lahan-lahan Potensi Pengembangan Sapi

Potong

Sapi Jantan Ketinggian Tempat

Suhu Udara

Kelembaban Udara

Lingkungan Hidup

Kecepatan Angin Radiasi

matahari

(22)

Tabel 1.1 Topik penelitian dan tujuan yang hendak dicapai

Topik Penelitian Tujuan

Satus fisiologi empat bangsa sapi pada tiga ketinggian tempat

Mengevaluasi respon fisiologis sapi bali, PO, peranakan limousin dan peranakan simental betina pada tiga ketinggian tempat yang berbeda meliputi frekuensi pernafasan, denyut jantung dan suhu rektal. Menggunakan data primer hasil pengukuran di lapangan. Alat analisis yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap.

Kemampuan produksi empat bangsa sapi pada tiga ketinggian tempat

Mengevaluasi kemampuan produksi sapi bali, PO, peranakan limousin dan peranakan simental betina pada tiga ketinggian tempat yang berbeda meliputi tinggi badan, lingkar dada dan Body Condition Score. Menggunakan data primer hasil pengukuran di lapangan. Alat analisis yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap.

Performa reproduksi empat bangsa sapi pada tiga ketinggian tempat

Mengevaluasi performa reproduksi sapi bali, PO, peranakan limousin dan peranakan simental betina dan jantan pada tiga ketinggian tempat yang berbeda meliputi Conception Rate, Service per Conception, volume, konsistensi, pH, warna, konsentrasi, gerakan massa, motilitas, spermatozoa hidup, dan abnormalitas semen segar. Menggunakan data primer hasil pengukuran di lapangan. Alat analisis yang digunakan adalah analisis Deskriptif.

Evaluasi kesesuaian lingkungan empat bangsa sapi

(23)

2 KEADAAN UMUM PROVINSI LAMPUNG

Provinsi Lampung merupakan provinsi yang terletak di ujung tengggara pulau Sumatera. Keadaan umum provinsi Lampung pada penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu keadaan peternakan dan keadaan cuaca. Data keadaan umum tersebut merupakan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi kepemilikan ternak, pengalaman beternak, jenis atap kandang, tinggi kandang, jarak kandang, jenis pakan dan jumlah pemberian pakan yang diperoleh dari hasil wawancara. Data primer yang diperoleh dari pengukuran adalah suhu udara, kelembapan udara, kecepatan angin dan radiasi matahari. Data sekunder penelitian ini adalah curah hujan dan Temperature Humidity Index (THI).

Materi dan Metode

Metode Penelitian

Pengambilan data keadaan umum peternakan dilakukan dengan wawancara langsung peternak. Pengambilan data peubah kondisi cuaca diperoleh dengan mengukur dan menghitung unsur cuaca yang dilakukan sebanyak tiga kali selama penelitian yaitu pagi hari (pukul 06.00-07.00 WIB), siang hari (12.00-13.00 WIB) dan sore hari (16.00-17.00 WIB).

Pelaksanaan Penelitian

Wawancara untuk mengetahui keadaan umum peternakan dilaksanakan pada awal penelitian terhadap seluruh peternak yang sapi-sapinya digunakan dalam penelitian ini. Suhu dan kelembapan udara diukur menggunakan alat hygrometer. Kecepatan angin diukur dengan anemometer digital. Radiasi matahari didapat dengan mencatat angka yang tertera pada lux meter. Temperatur humadity index (THI) dihitung menggunakan rumus dari Mader et al. (2006) sebagai berikut :

THI = (0.8 x Tdb) + [(RH/100) x (Tdb-14.4)] + 46.4

Keterangan : Tdb = dry bulb temperature (oC)

RH = Relative Humadity (%)

Peubah yang Diamati

Data keadaan umum peternakan meliputi kepemilikan ternak, pengalaman beternak, jenis atap kandang, tinggi kandang, jarak kandang, jenis pakan dan jumlah pemberian pakan. Data cuaca pada saat penelitian ini adalah suhu, kelembapan, kecepatan angin, radiasi matahari dan THI.

Alat dan Perlengkapan

Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah hygrometer, anemometer dan lux meter sebagai alat pengukur intensitas cahaya matahari.

Keadaan Umum Peternakan di Lokasi Penelitian

(24)

Pesawaran mewakili daerah dengan ketinggian 100-250 mdpl dan kabupaten Lampung Barat mewakili daerah dengan ketinggian 400-500 mdpl. Wilayah bagian barat provinsi Lampung dengan ketinggian 400-500 mdpl meliputi kabupaten Lampung Barat, sebagian besar Pesisir Barat dan kabupaten Tanggamus. Wilayah bagian timur terdiri dari dua kategori, wilayah dengan ketinggian 0-100 mdpl meliputi kabupaten Lampung Tengah, kabupaten Lampung Selatan, kabupaten Lampung Timur, kabupaten Lampung Utara, kabupaten Tulang Bawang dan kota Metro. Wilayah dengan ketinggian 100-250 mdpl meliputi kabupaten Pesawaran, kabupaten Pringsewu, sebagian kabupaten Way Kanan dan kota Bandar Lampung (BPS 2015).

Cara pemeliharaan sapi potong di provinsi Lampung sebagian besar adalah dikandangkan dan dilepaskan (63.72%) sedangkan yang hanya dikandangkan sebanyak 35.50% dan dilepaskan sama sekali 0.78%. Berdasarkan pemeliharanya, sebagian besar dipelihara oleh rumah tangga yaitu sebesar 90.46%, dipelihara oleh perusahaan sebesar 6.12% serta 3.42% dipelihara oleh pedagang dan lainnya. Tujuan pemeliharaan sapi potong yang dimiliki oleh peternak sebagian besar adalah untuk pengembangbiakan (82.06%), kemudian berturut-turut diikuti penggemukan (15.85%), pembibitan (1.63%) dan terakhir perdagangan (0.46%). Kepemilikan sapi peternak sapi skala rumah tangga masih sangat kecil yaitu 2.47 (BPS dan Ditjen PKH 2011).

Rerata kepemilikan ternak pada ketiga ketinggian tempat dapat dilihat pada Tabel 2.1. Rerata kepemilikan ternak tertinggi adalah Lampung Tengah 3.59 ekor/peternak dan terendah adalah Pesawaran yaitu 1.89 ekor/peternak. Kepemilikan yang masih sangat rendah ini karena tujuan pemeliharaannya adalah sebagai sampingan saja disamping digunakan sebagai tabungan dan dimanfaatkan tenaganya untuk membantu peternak dalam pengelolaan usaha pertaniannya. Selain itu peternakan merupakan usaha yang dikelola oleh rumah tangga petani, dengan modal, tenaga kerja, dan manajemen yang terbatas (Hadi dan Ilham 2002).

Tabel 2.1 Kepemilikan ternak pada ketiga ketinggian tempat

Bangsa Sapi Lampung Tengah Pesawaran Lampung Barat Rerata

……….ekor……….

(25)

sebesar 16.02% disusul Pesawaran (7.56%) dan terendah di Lampung Barat (4.26%) (BPS 2015).

Lamanya pengalaman beternak dari peternak pada ketiga lokasi pengkajian dapat dilihat pada Tabel 2.2. Pengalaman beternak yang terlama adalah peternak di Lampung Tengah dan terbaru adalah peternak di Lampung Barat. Pengalaman beternak yang masih baru di Lampung Barat ini dikarenakan sebelumnya peternak-peternak tersebut hanya sebagai petani tanaman perkebunan.

Pengalaman beternak yang paling lama adalah peternak sapi bali di Lampung Tengah, peternak sapi bali yang rata-rata sudah beternak selama 24.33 tahun karena banyaknya etnis Bali di Lampung Tengah. Menurut Slameto et al. (2014) etnis Bali terbuka terhadap perubahan, keberanian untuk beresiko serta peran kelompok tani yang tinggi.

Tabel 2.2 Pengalaman beternak pada ketiga ketinggian tempat

Bangsa Sapi Lampung Tengah Pesawaran Lampung Barat Rerata

……….tahun……….

Jenis atap kandang yang digunakan pada ternak penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.3. Penggunaan jenis atap kandang di Lampung Tengah lebih bervariasi, untuk sapi bali dan peranakan simental lebih banyak yang memakai asbes sedangkan untuk sapi PO dan peranakan limousin sebagian besar memakai atap asbes. Peternak di Lampung Barat sebagian besar menggunakan asbes untuk atapnya. Kemampuan menghantar bahang (konduktivitas) asbes paling rendah dibandingkan beton, baja, seng, alumunium (Charles 1981). Rendahnya nilai konduktivitas asbes menunjukkan rendahnya kemampuan bahan dalam menghantarkan radiasi panas yang diserapnya, sehingga sangat baik untuk mengurangi jumlah radiasi yang sampai ke ternak (Yani dan Purwanto 2005).

Tabel 2.3 Jenis atap kandang pada ketiga ketinggian tempat

Bangsa Sapi Lampung Tengah Pesawaran Lampung Barat Genteng Asbes Genteng Asbes Genteng Asbes

(26)

Atap yang digunakan oleh peternak di Pesawaran semuanya memakai genteng. Genteng mempunyai sifat dapat menahan panas dan dingin udara, berlubang antar sela-selanya hingga menimbulkan aliran udara. Saat udara dingin, genteng dapat melepaskan panas yang disimpannya. Penggunaan bahan atap genteng dapat mendinginkan ruang kandang saat udara panas dan sebaliknya dapat menghangatkan saat udara dingin (Nursita et al. 2013).

Tinggi kandang hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.4. Rerata tinggi kandang paling tinggi adalah di Lampung Tengah (2.92 m), kemudian di Pesawaran (2.81 m) dan paling rendah di Lampung Barat (2.46 m). Hal ini menunjukkan bahwa kandang di dataran rendah lebih tinggi dibandingkan kandang di dataran tinggi. Meninggikan atap kandang akan mengakibatkan volume udara dan aliran udara yang masuk ke dalam kandang menjadi lebih besar dan pergantian udara lebih cepat sehingga suhu dalam kandang menurun (Carpenter 1981).

Tabel 2.4 Tinggi kandang pada ketiga ketinggian tempat

Bangsa Sapi Lampung Tengah Pesawaran Lampung Barat Rerata

……….meter……….

Hampir semua kandang pada ketiga ketinggian tempat merupakan kandang terbuka. Kandang terbuka adalah kandang yang memiliki atap sedangkan dindingnya berupa pagar. Pada kandang terbuka, panas lingkungan lebih cepat naik pada waktu pagi hari sehingga pemborosan energi untuk melawan udara dingin dapat dihemat. Selain itu, pergerakan angin pada kandang terbuka juga lebih lancar sehingga sapi akan lebih nyaman. Tetapi pada waktu malam hari penurunan temperatur lingkungan juga terjadi sangat cepat ditambah dengan adanya angin malam yang akan menerpa secara langsung sehingga sapi akan mengeluarkan banyak energi untuk melawan udara dingin (Panjono dan Baliarti 2009).

Tabel 2.5 Jarak kandang dari rumah pada ketiga ketinggian tempat

Bangsa Sapi Lampung Tengah Pesawaran Lampung Barat Rerata

(27)

Jarak antara kandang sapi dengan rumah peternak (Tabel 2.5) menunjukkan bahwa kandang yang ada di Lampung Barat berada lebih jauh dari rumah peternaknya. Hal ini terjadi karena kandang tersebut merupakan kandang kelompok yang dikumpulkan pada satu tempat. Kandang secara berkelompok akan memberikan keuntungan terutama dalam kerjasama, kepedulian dan kompetisi yang positif antara sesama anggota kelompok dan meningkatkan posisi tawar petani karena dapat menjual ternaknya secara berkelompok serta berpotensi masuknya mitra usaha dalam memodali kegiatan secara berkelompok, sehingga pendapatan petani menjadi lebih baik karena ternaknya dapat dijual tanpa melalui pedagang perantara (Ratnawaty dan Budianto 2011).

Pakan hijauan yang diberikan di semua kabupaten pada musim hujan adalah rumput gajah dengan tambahan dedak atau onggok. Sedangkan saat musim kemarau pakan yang diberikan berupa rumput alam, jerami padi dan jerami jagung. Jenis pakan yang diberikan terhadap empat bangsa sapi pada ketiga ketinggan tempat dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Jenis pakan pada ketiga ketinggian tempat

BangsaSapi Lampung Tengah Pesawaran Lampung Barat

Bali rumput gajah,

rumput alam,

Peranakan Limousin rumput gajah, dedak, onggok,

Peranakan Simental rumput gajah, rumput alam,

(28)

sama dengan di Lampung Tengah dikhawatirkan jumlah pakan tersebut tidak cukup untuk pertumbuhan dan hanya cukup untuk mengatasi stress karena lingkungan.

Tabel 2.7 Jumlah pemberian pakan pada ketiga ketinggian tempat

Bangsa Sapi Lampung Tengah Pesawaran Lampung Barat Rerata

……….kg/ekor……….

Keadaan Cuaca Lokasi Penelitian

Curah Hujan

Pola curah hujan di provinsi Lampung dari tahun 2010-2014 menunjukkan bahwa curah hujan yang tinggi rata-rata terjadi pada bulan Desember sampai Februari, sedangkan curah hujan yang rendah terjadi pada bulan Agustus sampai September. Curah hujan tertinggi saat penelitian adalah bulan Desember (426.3 mm) tahun 2013 dan terendah adalah bulan September (0.0 mm) untuk tahun 2014. Perubahan unsur cuaca yang terjadi di provinsi Lampung pada penelitian ini berlangsung sangat variatif. Curah hujan musim musim hujan (bulan desember 2013, Januari 2014, Februari 2014) yaitu 426.3 mm; 162.9 mm dan 220 mm, sedangkan musim kemarau (bulan Juli 2014, Agustus 2014, September 2014) berturut-turut 48.5 mm; 109.2 mm dan 0 mm (BPS 2015).

Tabel 2.8 Jumlah Curah Hujan provinsi Lampung*

(29)

Curah hujan berhubungan erat dengan ketersediaan pakan hijauan untuk ternak. Musim hujan dengan curah hujan tinggi menyebabkan ketersediaan air tanah yang tinggi pula. Ketersediaan air di tanah merupakan faktor pembatas dan sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Apabila jumlah air yang tersedia di tanah tidak mencukupi kebutuhan tanaman, maka tanaman akan mengalami gangguan morfologi dan fisiologis sehingga pertumbuhan dan produktifitasnya akan terhambat (Nahak 2011). Tingkat ketersediaan air dipengaruhi oleh curah hujan, suhu dan penguapan (Ayu et al. 2013).

Suhu Udara

Suhu udara pada ketiga ketinggian tempat digambarkan pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2. Suhu udara pada penelitian ini terutama pada musim hujan turun dengan semakin tinggi daerahnya. Rata-rata penurunan suhu udara di Indonesia sekitar 0.5-0.6 oC tiap kenaikan 100 meter (Handoko 1995). Penurunan suhu

permukaan dengan naiknya ketinggian dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu kerapatan vegetasi, penerimaan radiasi matahari, tutupan awan dan penggunaan lahan.

Gambar 2.1 Suhu udara di lingkungan penelitian musim hujan

Suhu udara tertinggi pada ketiga daerah dan kedua musim terjadi pada siang hari. Suhu tertinggi ini terjadi karena sudut datangnya sinar matahari pada siang hari tegak lurus dengan permukaan bumi. Tingkat penerimaan panas oleh bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: sudut datang sinar matahari, lama waktu penyinaran matahari, keadaan muka bumi (daratan dan lautan), banyak sedikitnya awan dan perbedaan letak lintang.

Menurut Williamson dan Payne (1993), temperatur lingkungan yang paling sesuai bagi kehidupan ternak di daerah tropis adalah 10 °C sampai 27 °C (50 °F-80 °F). Suhu udara yang masuk pada kisaran tersebut adalah suhu udara di pagi hari pada ketiga ketinggian tempat dan kedua musim, sedangkan pada siang hari dan sore hari hanya di kabupaten Lampung Barat yang masuk pada kisaran tersebut.

(30)

evaporasi, sedangkan pada suhu rendah akan melalui radiasi, konduksi dan konveksi.

Gambar 2.2 Suhu udara di lingkungan penelitian musim kemarau

Kelembapan

Hasil pengukuran kelembapan menunjukan bahwa kelembapan relatif pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau. Perbedaan ini dipengaruhi oleh curah hujan yang berbeda pada kedua musim tersebut. Kelembapan udara pada lingkungan penelitian digambarkan pada Gambar 2.3 dan Gambar 2.4.

Gambar 2.3 Kelembapan udara di lingkungan penelitian musim hujan

Suhu dan kelembapan yang terjadi di lingkungan penelitian akan menyebabkan proses penguapan dari tubuh sapi terhambat, mengakibatkan ternak akan mengalami cekaman panas. Suhu lingkungan yang melebihi rata-rata normal membuat ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah

21.22

Lampung Barat Pesawaran Lampung Tengah

89.17

(31)

laku (behaviour). Kelembapan yang tinggi bisa meningkatkatkan heat stress pada sapi (Mader et al. 2006) karena kelembapan bisa meningkatkan tekanan uap dan menghambat evaporasi kulit tubuh dalam proses pelepasan panas tubuh melalui keringat. Kurihara and Shioya (2003) menyatakan pada suhu 28oC kelembapan

lingkungan 40-80%, suhu tubuh dan frekuensi pernafasan sapi perah masih normal, namun lebih dari itu akan berpengaruh terhadap konsumsi pakan, produksi susu, komposisi susu, produksi dan pelepasan panas tubuh.

Gambar 2.4 Kelembapan udara di lingkungan penelitian musim kemarau

Kecepatan Angin

Hasil pengukuran kecepatan angin digambarkan pada Gambar 2.5 dan Gambar 2.6. Berdasarkan reratanya kecepatan angin tertinggi terjadi di Lampung Barat baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Kecepatan angin yang tinggi membantu mereduksi cekaman panas untuk ternak terutama pada siang hari.

Gambar 2.5 Kecepatan angin di lingkungan penelitian musim hujan

79.28

Lampung Barat Pesawaran Lampung Tengah

1.07

(32)

Gambar 2.6 Kecepatan angin di lingkungan penelitian musim kemarau

Radiasi Matahari

Radiasi matahari selama penelitian pada musim hujan maupun musim kemarau diilustrasikan pada Gambar 2.7 serta Gambar 2.8. Gambar tersebut menunjukkan bahwa radiasi matahari tertinggi terjadi pada siang hari. Radiasi matahari secara langsung terhadap sapi mengakibatkan sapi tidak nyaman, sehingga menimbulkan efek negatif terutama pada siang hari. Cekaman panas maksimal dari radiasi matahari pada siang hari terjadi pada pukul 13.00-14.00 dimana pada waktu tersebut nilai intensitas radiasi matahari dapat mencapai 480 kkal/m2/jam (Yani dan

Purwanto 2006).

Gambar 2.7 Radiasi Matahari di lingkungan penelitian musim hujan

Radiasi matahari pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan, kecuali pada sore hari radiasi matahari pada musim hujan lebih tinggi. Respon sapi terhadap kondisi cekaman panas akibat radiasi matahari dipengaruhi oleh warna kulitnya. Yeates (1977) mengatakan bahwa ternak dengan bulu yang

0.58

Lampung Barat Pesawaran Lampung Tengah

2.75 2.63

(33)

pendek dengan warna terang serta memiliki tekstur kulit yang halus dan mengkilap adalah baik sekali untuk mengatasi pengaruh pancaran panas radiasi matahari (warna putih menyerap 20% pancaran radiasi sinar matahari, dan warna hitam bisa mencapai 98%). Pengurangan efek dari radiasi matahari dapat dilakukan dengan penempatan ternak dalam kandang dan pemberian naungan disekitar kandang.

Gambar 2.8 Radiasi Matahari di lingkungan penelitian musim kemarau

“Temperature Humidity Index (THI)”

Hasil perhitungan THI digambarkan pada Gambar 2.9 dan Gambar 2.10. Hubungan besaran suhu dan kelembapan udara atau THI tertinggi terjadi pada siang hari. THI siang hari disemua ketinggian dan kedua musim diatas 74. Silanikove (2000) melaporkan bahwa ternak yang hidup di daerah dengan THI 75-78 akan mulai mengalami stress. Lebih lanjut dikatakan bahwa ternak yang berada di daerah dengan nilai THI >78 ternak tidak mampu mempertahankan mekanisme termoregulasinya.

Gambar 2.9 THI di lingkungan penelitian musim hujan

2.29

Lampung Barat Pesawaran Lampung Tengah

70.10

(34)

Gambar 2.10 THI di lingkungan penelitian musim hujan

Hasil perhitungan THI pada musim hujan menunjukkan bahwa THI tertinggi adalah lokasi Lampung Tengah, sedangkan pada musim kemarau pada lokasi Pesawaran. Berdasarkan perhitungan tersebut lokasi yang nyaman untuk sapi potong adalah Lampung Barat baik pada musim hujan maupun kemarau. Ternak sapi membutuhkan kondisi lingkungan nyaman dengan nilai THI ≤ 74 (Saiya 2012).

68.79

75.93 73.46

76.02

82.76 81.23

76.61

82.17

79.33

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00

Pagi Siang Sore

Te

m

p

er

a

tu

re

H

u

m

id

ity

In

d

ex

(35)

3 STATUS FISIOLOGIS EMPAT BANGSA SAPI PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT YANG BERBEDA DI PROVINSI LAMPUNG

Pendahuluan

Sapi potong harus dipelihara pada kondisi lingkungan yang nyaman (comfort zone) dengan batas maksimum dan minimum temperatur dan kelembapan lingkungan berada pada thermo neutral zone agar berproduksi dengan optimal. Diluar kondisi tersebut sapi potong akan mengalami stres. Heat tolerance adalah ketahanan ternak terhadap panas sekitarnya. Kondisi lingkungan ekstrim akibat tingginya temperatur, radiasi matahari, kelembapan dan rendahnya kecepatan angin dapat menyebabkan heat stress pada ternak. Heat stress diprediksi dapat menjadi masalah utama dalam pemeliharaan sapi potong dimasa yang akan datang. Ternak yang tercekam panas antara lain akan direfleksikan pada respons suhu tubuh dan frekuensi pernafasan (Monstma 1984). Kondisi ini membuat temak mengalami gangguan fungsi fisiologi dan penurunan imunitas (Brown et al. 2005).

Peningkatan konsumsi daging masyarakat Indonesia memaksa pemerintah membuat kebijakan pembangunan peternakan. Mulai awal tahun 1980-an pemenuhan kebutuhan daging bergeser dari yang sebelumnya utamanya dipasok daging yang bersumber dari sapi lokal para petani kecil menjadi ditambah sapi impor dan daging impor. Sapi impor tersebut diantaranya sapi limousin dan simental yang merupakan sapi-sapi dari daerah beriklim sedang. Sapi limousin sudah banyak disilangkan dengan berbagai sapi lainnya seperti sapi ongole, sapi brahman dan sapi hereford. Sapi simental dikembangkan di Indonesia tahun 1985 melalui semen beku yang dikawinkan dengan sapi PO dan sapi friesian holstein.

Lampung sebagai salah satu sentra pengembangan sapi potong di Indonesia sehingga berbagai jenis sapi potong banyak dijumpai. Hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau 2011 menunjukkan bahwa jumlah populasi ternak sapi potong di provinsi Lampung sebanyak 742 776 ekor menempati urutan pertama di pulau Sumatera. Bangsa sapi yang paling banyak ditemui di provinsi Lampung adalah sapi peranakan ongole (PO) (Bos indicus), sapi bali (Bos javanicus) serta sapi peranakan limousin dan peranakan simental (Bos taurus) dengan populasi berturut-turut 408 954 ekor, 186 712 ekor serta 42 883 ekor atau sebesar 55.06%; 25.14% serta 5.77% (BPS 2011). Sapi-sapi tersebut tersebar di seluruh wilayah Lampung yang secara topografi bervariasi karena ketinggian tempat dari permukaan laut di provinsi Lampung mulai dari 1 mdpl sampai 512 mdpl (BPS 2015).

Selain perbedaan topografi, provinsi Lampung juga memiliki perbedaan yang jelas antara musim kemarau dan hujan. Bulan Juli s/d Agustus angin bertiup dari arah timur dan tenggara (musim kemarau) dan bertiup dari arah barat serta barat laut (musim hujan) pada bulan Nopember s/d Maret. Curah hujan tertinggi bulan Januari mencapai 459.8 mm dan terendah pada bulan Agustus sebesar 22.3 mm. Perbedaan terutama curah hujan akan berpengaruh terhadap ketersediaan pakan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap respon fisiologisnya.

(36)

lokal pada musim hujan dan kemarau di berbagai ketinggian tempat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengevaluasi daya adaptasi dari sapi-sapi impor tersebut dibandingkan dengan sapi lokal.

Materi dan Metode

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2013-Desember 2014, dengan pengamatan di lapangan dilakukan dua kali yaitu bulan Desember 2013-Februari 2014 mewakili musim penghujan dan bulan Juli-September 2014 mewakili musim kemarau. Lokasi penelitian adalah peternakan sapi rakyat pada tiga kabupaten di provinsi Lampung, yaitu kabupaten Lampung Tengah mewakili daerah dengan ketinggian 0-100 mdpl, kabupaten Pesawaran mewakili daerah dengan ketinggian 100-250 mdpl dan kabupaten Lampung Barat mewakili daerah dengan ketinggian 400-500 mdpl (BPS 2015).

Materi Penelitian

Materi yang digunakan adalah sapi betina dewasa masing-masing sebanyak: sapi bali 99 ekor, sapi PO 155 ekor, sapi peranakan limousin 66 ekor dan sapi peranakan simental 39 ekor. Umur sapi-sapi tersebut adalah dua sampai empat tahun, dengan cara pemeliharaan dikandangkan.

Metode Penelitian

Pengukuran respon fisiologis sapi yang terdiri dari denyut jantung, frekuensi pernafasan dan suhu rektal dilakukan sebanyak tiga kali selama penelitian yaitu pagi hari (pukul 06.00-07.00 WIB), siang hari (12.00-13.00 WIB) dan sore hari (16.00-17.00 WIB).

Pelaksanaan Penelitian

Pengukuran respon fisiologis sapi yang terdiri dari denyut jantung, frekuensi pernafasan dan suhu rektal dilakukan sebanyak tiga kali selama penelitian. Pengukuran denyut jantung menggunakan stetoskop dilakukan dengan mengukur jumlah detakan di bagian dada, dekat tulang axilla sebelah kiri (dekat ketiak). Penghitungan denyut jantung dengan cara menghitung berapa banyak denyutan dalam waktu satu menit. Frekuensi respirasi diukur dengan cara menghitung berapa kali gerakan pada bagian antara tulang rusuk terakhir dan flank selama satu menit. Data suhu rektal diperoleh dengan cara memasukkan thermometer rectal digital ke dalam rectum sedalam ± 8 cm.

Peubah yang Diamati

Pengamatan kondisi fisiologis sapi betina meliputi denyut jantung, frekuensi respirasi dan suhu rektal.

Alat dan Perlengkapan

(37)

Rancangan Percobaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ketinggian terhadap respon fisiologi empat bangsa sapi (sapi bali, PO, peranakan limousin dan peranakan simental) menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga taraf perlakuan yaitu ketinggian tempat. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) dan diuji lanjut menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan.

Model umum :

Y

ij

= μ + α

i

+ Є

ij

i = 1,2,3

Fisiologis ternak merupakan cerminan aktivitas fisiologis organ-organ bagian dalam (faal) yang menentukan kehidupan ternak. Kondisi fisiologis merupakan respon fungsional tubuh dan reaksi dari metabolisme tubuh secara sistematis yang bertujuan mencapai homeostatis tubuh atau keseimbangan tubuh terhadap lingkungan. Frekuensi respirasi sebagai salah satu respon fungsional tubuh merupakan jumlah inspirasi dan ekspirasi yang dilakukan dalam setiap menit. Hasil analisis menunjukkan bahwa ketinggian tempat mempengaruhi respons fisiologis frekuensi pernafasan. Rataan frekuensi pernafasan empat bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Respons fisiologis frekuensi pernafasan empat bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau

Bangsa Sapi n Lampung Tengah n Pesawaran n Lampung Barat

Musim hujan ……….kali/menit……….

Bali Keterangan: Superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang

(38)

Tabel 3.1 menunjukkan bahwa saat musim hujan sapi bali di Lampung Tengah mempunyai frekuensi pernafasan yang nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan di Pesawaran dan Lampung Barat dan saat musim kemarau sapi bali di Lampung Tengah dan Pesawaran mempunyai frekuensi pernafasan yang nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan di Lampung Barat. Frekuensi pernafasan sapi bali di dataran rendah baik pada musim kemarau maupun musim hujan menunjukkan hasil yang lebih tinggi. Dataran rendah dengan suhu lingkungan yang tinggi membuat hewan mempunyai metabolisme yang lebih cepat dibandingkan dengan dengan hewan yang sel-selnya tidak aktif (Frandson 1996). Selain terekspos suhu lingkungan, peningkatan frekuensi respirasi juga terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen, yaitu setelah olah raga, kelembapan relatif yang tinggi, dan kegemukan (Kelly 1984).

Frekuensi pernafasan sapi bali di dataran rendah pada penelitian ini masih lebih tinggi dari hasil penelitian Saiya (2012) yaitu 20.12±7.27 (musim hujan) dan 18.97±4.01 (musim kemarau). Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh, yaitu lingkar dada pada penelitian ini 147.31±15.30 cm (musim hujan) dan 153.89±12.00 cm (musim kemarau) lebih tinggi dibandingkan Saiya (2012) 137.04 cm (musim hujan) dan 137.5 cm (musim kemarau). Nilai frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh ukuran tubuh, umur, aktifitas fisik, kegelisahan, suhu lingkungan, kebuntingan, gangguan saluran pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly 1984).

Frekuensi pernafasan sapi PO di Lampung Tengah dan Pesawaran nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan di Lampung Barat. Perbedaan ini merupakan respon sapi PO terhadap suhu udara dan nilai THI yang lebih tinggi. Panting adalah salah satu manisfestasi pelepasan panas dari tubuh ternak akibat suhu udara yang tinggi ditunjukkan dengan tingginya frekuensi pernapasan. Sedangkan nilai THI>78 menyebabkan ternak tidak mampu mempertahankan mekanisme termoregulasinya (Silanikove 2000).

Sapi-sapi dari daerah beriklim sedang seperti limousin dan simental memberikan respon yang berbeda. Saat musim hujan sapi peranakan simental mempunyai frekuensi pernafasan yang sama pada ketiga ketinggian namun saat musim kemarau respon frekuensi pernafasannya berbeda. Berbeda dengan sapi peranakan limousin yang justru saat musim kemarau responnya sama pada ketiga ketinggian tempat. Perbedaan respon kedua bangsa sapi ini menunjukkan bahwa sapi peranakan limousin lebih tahan terhadap suhu lingkungan yang tinggi. Hasil ini sejalan dengan penelitian Aryogi et al. (2005) yang melaporkan bahwa sapi silangan limousin lebih cocok dikembangkan di dataran rendah dibandingkan dengan sapi silangan simental. Sapi simental adalah sapi tipe perah dan pedaging, sedang limousin adalah murni sapi tipe pedaging, sehingga hasil silangan limousin mempunyai potensi genetik pertumbuhan yang lebih baik dan daya tahan terhadap temperatur panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi silangan simental.

Denyut Jantung

(39)

suplai O2 lebih banyak yang harus dipenuhi melalui peningkatan aliran darah dengan peningkatan denyut jantung.

Respons fisiologis denyut jantung (per menit) empat bangsa sapi pada musim kemarau dan musim hujan dan kemarau dapat dilihat pada Tabel 3.2. Denyut jantung sapi bali di Lampung Tengah dan Pesawaran lebih tinggi dibandingkan dengan Lampung Barat. Tingginya denyut jantung pada musim kemarau sejalan dengan tingginya respirasi karena meningkatnya aktivitas otot pada organ respirasi yang membutuhkan suplai oksigen lebih banyak dan harus dipenuhi melalui peningkatan aliran darah yaitu peningkatan denyut jantung.

Tabel 3.2 Respons fisiologis denyut jantung empat bangsa sapi pada musim hujan dan musim kemarau Keterangan: Superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata (P<0,05).

Sapi PO pada musim hujan di Lampung Barat mempunyai denyut jantung nyata (P<0,05) nyata lebih tinggi dibandingkan Pesawaran dan saat musim kemarau nyata lebih tinggi dibandingkan Pesawaran dan Lampung Tengah. Peningkatan denyut jantung ini merupakan respons dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Yani 2006). Pada musim hujan denyut jantung di Lampung Tengah nyata (P<0,05) lebih tinggi daripada Pesawaran. Denyut jantung yang tinggi di Lampung Tengah sejalan dengan frekuensi respirasiya yang tinggi juga.

(40)

Suhu Rektal

Suhu tubuh merupakan hasil dari dua proses yaitu panas yang diterima dari lingkungan luar maupun dalam tubuh sendiri dan panas yang dilepaskan ke lingkungan. Suhu rektal dipakai sebagai ukuran suhu tubuh karena suhu rektum digunakan sebagai media ukur, merupakan suhu paling optimal. Respon suhu rektal empat bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau disajikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Respon suhu rektal empat bangsa sapi pada musim hujan dan kemarau

Bangsa Sapi n Lampung Tengah n Pesawaran n Lampung Barat Keterangan: Superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata (P<0,05).

Suhu rektal sapi bali pada musim hujan tidak dipengaruhi (P>0,05) oleh ketinggian tempat, sedangkan pada musim kemarau suhu rektal di Lampung Barat lebih rendah. Ketika musim hujan pembuangan panas tubuh ke lingkungan masih bisa melalui pernafasan, sedangkan pada musim kemarau sapi bali di Lampung Tengah dan Pesawaran sudah tidak mampu meningkatkan pembuangan panas tubuh ke lingkungan sehingga suhu tubuhnya meningkat. Secara beruntun respon ternak terhadap suhu tinggi adalah aliran darah diperbesar, berkeringat, peningkatan frekuansi respirasi, peningkatan denyut jantung, peningkatan suhu rektal dan peningkatan suhu tubuh.

Sapi PO yang hidup di Lampung Barat suhu rektalnya paling rendah dibandingkan kedua daerah lainnya baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Hal ini terjadi karena kecepatan angin di Lampung Barat lebih tinggi dibandingkan di kedua daerah lainnya. Menurut Beede and Coolier (1986), angin dapat digunakan untuk mereduksi cekaman panas pada ternak.

Sapi peranakan limousin pada penelitian ini bisa beradaptasi pada beberapa ketinggian tempat dan kedua musim, hal ini ditunjukkan dengan respon suhu rektal yang sama (P>0,05). Menurut Sonjaya (2013) sapi termasuk dalam golongan hewan homeotermi karena temperatur tubuhnya relatif konstan pada berbagai variasi temperatur lingkungan. Suhu tubuh sapi pada kondisi normal dapat bervariasi karena adanya perbedaan umur, jenis kelamin, iklim, panjang hari, suhu lingkungan, aktivitas, pakan, aktivitas pencernaan, dan jumlah air yang diminum.

(41)

peranakan simental pembuangan panas tubuh ke lingkungan belum semuanya sehingga masih terjadi peningkatan suhu tubuh. Suhu tubuh sebagai tahap terakhir dari respon sapi terhadap cekaman panas dari sapi peranakan simental tertinggi adalah di Lampung Tengah pada musim kemarau dan di Pesawaran pada musim hujan. Kedua tempat tersebut memiliki suhu tinggi dan kelembapan yang tinggi pula. Hal ini yang menyebabkan pengeluaran panas tubuh sapi peranakan simental terhambat.

Simpulan

(42)

4 KEMAMPUAN PRODUKSI EMPAT BANGSA SAPI PADA BEBERAPA KETINGGIAN TEMPAT YANG BERBEDA DI PROVINSI LAMPUNG

Pendahuluan

Faktor utama yang mempengaruhi produktivitas (produksi dan reproduksi) ternak dicerminkan oleh penampilannya (performance), sedangkan penampilan ternak merupakan manifestasi pengaruh genetik (G) dan lingkungan (L) secara bersama-sama. Faktor genetik menentukan kemampuan produksi dan reproduksi, sedangkan lingkungan merupakan pendukung supaya ternak mampu berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Ternak dengan sifat genetik baik tidak akan mengekspresikan potensi genetiknya tanpa didukung oleh lingkungan yang menunjang. Bahkan telah diketahui bahwa dalam membentuk penampilan, lingkungan memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan dengan genetik, yaitu 70% lingkungan dan 30% genetik.

Faktor lingkungan adalah pakan, pengelolaan, perkandangan, penyakit dan iklim (mikro maupun makro). Pengaruh tidak langsung dari lingkungan adalah ketersediaan pakan, tingginya serat kasar, perkandangan dan penyakit. Iklim merupakan faktor lingkungan yang langsung berpengaruh pada kehidupan ternak, namun iklim juga berpengaruh tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap faktor lingkungan yang lain (pakan dan kesehatan). Iklim merupakan faktor penentu ciri khas dan pola hidup dari suatu ternak. Ada empat faktor iklim utama yang berinteraksi yaitu : suhu udara, kelembapan, radiasi matahari dan kecepatan angin. Pertumbuhan populasi sapi potong di Indonesia selama 2013-2015 mencapai 8% per tahun atau rataan pertambahan 1 404 juta ekor setiap tahunnya. Pertumbuhan populasi sapi potong di provinsi Lampung selama tahun 2013-2015 mencapai 2.18% (Ditjen PKH Kementan 2015).

Hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau 2011 menunjukkan bahwa populasi ternak sapi potong di provinsi Lampung sebanyak 742 776 ekor menempati urutan pertama di pulau Sumatera. Bangsa sapi yang paling banyak ditemui di provinsi Lampung adalah sapi PO (Bos indicus), sapi bali (Bos javanicus), serta sapi peranakan limousin dan sapi peranakan simental (Bos taurus) dengan populasi berturut-turut 408 954 ekor, 186 712 ekor, dan 42 883 ekor atau sebesar 55.06%; 25.14% dan 5.77% (BPS 2011). Sapi-sapi tersebut tersebar di seluruh wilayah provinsi Lampung yang secara topografi bervariasi karena ketinggian tempat dari permukaan laut di provinsi Lampung adalah mulai dari 1-512 mdpl (BPS 2015).

Penilaian produktivitas ternak dapat dilihat melalui BCS. Rutter (2000) dan Ditjennak (2010) membagi ternak sapi potong menjadi lima kategori berdasarkan BCS yaitu sangat kurus, kurus, sedang, gemuk dan sangat gemuk. Indikator lainnya dapat dilihat berdasarkan parameter tubuh ternak tersebut. Parameter tubuh yang sering digunakan dalam menilai produktivitas antara lain lingkar dada, tinggi badan dan panjang badan. Bobot badan juga merupakan indikator penilaian produktivitas dan keberhasilan manajemen peternakan (Ulatus et al. 2001).

(43)

poel 3 dan poel 4 secara berurutan sebesar 136.3 cm; 135.75 cm; 141.35 cm dan 142.75 cm (Ni’am et al. 2012); sapi PO 159.43 cm (Haryoko dan Suparman, 2009) dan 175.18 ± 9.26 (Paputungan et al. 2013); sapi peranakan limousin 167.20±14.07 cm dan peranakan simental 167.60±9.47 cm (Trifena et al. 2011). Tinggi badan sapi bali poel 1, poel 2, poel 3 dan poel 4 secara berurutan adalah 106.6 cm; 106.8 cm, 109.8 cm dan 111.5 cm (Ni’am et al. 2012); sapi PO 124.25±2.00 cm (Putra et al. 2016); sapi peranakan limousin 126.55±5.52 cm dan peranakan Simental 125.15±6.25 cm (Trifena et al. 2011).

Sapi bali mempunyai kemampuan termoregulasi lebih baik dibandingkan dengan sapi PO di dataran rendah. Sapi simental atau limousin adalah sapi yang berasal dari daerah sedang (temperate zone), terbiasa hidup di daerah dengan temperatur udara yang dingin dan tatalaksana pemeliharaan yang intensif (Astuti et al. 2002). Karena perbedaan respons terhadap lingkungan tersebut maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui kemampuan produksi sapi bali, sapi PO, sapi peranakan limousin dan sapi peranakan simental pada beberapa ketinggian tempat yang berbeda di provinsi Lampung.

Materi dan Metode

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2013-Desember 2014, dengan pengamatan di lapangan dilakukan dua kali yaitu bulan Desember 2013-Februari 2014 mewakili musim penghujan dan bulan Juli-September 2014 mewakili musim kemarau. Lokasi penelitian adalah peternakan sapi rakyat pada tiga kabupaten di provinsi Lampung, yaitu kabupaten Lampung Tengah mewakili daerah dengan ketinggian 0-100 mdpl, kabupaten Pesawaran mewakili daerah dengan ketinggian 100-250 mdpl dan kabupaten Lampung Barat mewakili daerah dengan ketinggian 400-500 mdpl (BPS 2015).

Materi Penelitian

Materi yang digunakan adalah sapi betina dewasa masing-masing sebanyak: sapi bali 82 ekor, sapi PO 138 ekor, sapi peranakan limousin 54 ekor dan sapi peranakan simental 32 ekor. Umur sapi-sapi tersebut adalah dua sampai empat tahun, dengan cara pemeliharaan dikandangkan.

Metode Penelitian

Pengukuran data respon produksi yang meliputi lingkar dada, tinggi badan dan body condition score (BCS) dilakukan bersamaan dengan pengambilan data respon fisiologis.

Pelaksanaan Penelitian

(44)

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati untuk respon produksi adalah lingkar dada, tinggi badan dan body condition score (BCS).

Alat dan Perlengkapan

Alat yang dipergunakan untuk pengukuran parameter produksi adalah pita ukur dan alat pengukur tinggi badan.

Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ketinggian terhadap kemampuan produksi empat bangsa sapi (sapi bali, PO, peranakan limousin dan peranakan simental) menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga taraf perlakuan yaitu ketinggian tempat. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) dan diuji lanjut menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan.

Model umum :

Y

ij

= μ + α

i

+ Є

ij

i = 1,2,3

j = 1,2,…..n

Dimana : Yij = hasil pengamatan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j

μ = nilai tengah umum

αi = pengaruh ketinggian tempat ke-i

Єij = pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Hasil dan Pembahasan

Tinggi Badan

Keempat bangsa sapi pada ketiga ketinggian tempat mempunyai tinggi badan yang sama (P>0,05) pada awal penelitian yaitu pada musim hujan (Tabel 4.1). Hasil ini menunjukkan bahwa ketersediaan pakan di musim hujan pada ketiga ketinggian tempat cukup untuk pertumbuhan keempat bangsa sapi.

Delapan bulan kemudian yaitu pada musim kemarau ketinggian tempat mempengaruhi (P<0,05) tinggi badan sapi bali dan sapi peranakan limousin. Tinggi badan sapi bali di Pesawaran sama dengan di Lampung Tengah tetapi lebih rendah dibandingkan tinggi badan sapi bali di Lampung Barat. Suhu udara yang tidak jauh berbeda di Pesawaran dan di Lampung Tengah memberikan pengaruh yang sama pada sapi bali. Suhu udara pada kedua daerah ini berada diatas comfort Zone bagi ternak tropik terutama pada siang hari, sehingga energi yang diperoleh dari pakan digunakan untuk menghilangkan stress akibat suhu lingkungan. Karena menurut Mursa (2011) comfort Zone bagi ternak tropik berkisar antara 10-27 oC.

(45)

membatu sapi peranakan limousin menghadapi stress lingkungan. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan sebanyak 10% dari bobot badan (BB) dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari BB.

Tabel 4.1 Tinggi badan sapi di tiga ketinggian tempat yang berbeda

Bangsa Sapi n Lampung Tengah n Pesawaran n Lampung Barat Keterangan: Superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata (P<0,05).

Lingkar Dada

Lingkar dada masing-masing bangsa sapi berikut rataannya dapat dilihat pada Tabel 4.2 untuk musim hujan dan musim kemarau. Hasil analisis terhadap rataan lingkar dada pada kedua musim menunjukkan hasil yang sama dengan tinggi badan.

Tabel 4.2 Lingkar dada sapi di tiga ketinggian tempat yang berbeda

Bangsa Sapi n Lampung Tengah n Pesawaran n Lampung Barat Keterangan: Superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata (P<0,05).

Gambar

Gambar 2.2  Suhu udara di lingkungan penelitian musim kemarau
Gambar 2.5  Kecepatan angin di lingkungan penelitian musim hujan
Gambar 2.6  Kecepatan angin di lingkungan penelitian musim kemarau
Gambar 2.8  Radiasi Matahari di lingkungan penelitian musim kemarau
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk lebih meningkatkan efektivitas dan percepatan penyelesaian tugas-tugas Menteri Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan dalam rangka

Kesimpulan dari hasil penelitian adalah kemampuan berpikir kritis siswa SMA dalam menyelesaikan soal Uji Kompetensi Tertulis (UKT) pada Olimpiade Sains Biologi

Sedangkan penelitian ini bertujuan membahas secara detail tulisan Joseph Petrillo yang berjudul ‘Counting Subgroups in a Direct Product of Finite Cyclic Groups.’ dalam The

Proses Manual Material Handling dengan postur kerja yang tidak ergonomis akan menyebabkan cedera bagi operator, hal tersebut terjadi pada pemindahan galon air

KUHPerdata Kaminah adalah ahli waris golongan I yang mana anak atau keturunan dari pasangan suami istri Wakidjan dan Sukini. Pertimbangan hakim juga terkait dengan

biokomposer dengan baik, mengelola dari kebutuhan bahan baku, penjadwalan, dan mengatur kapasitas produksi, 4) setiap kelompok tani memiliki unit instalasi pengolahan

“Sintren Maju Perang”, langsung dalam bentuk alih bahasa ke dalam bahasa Indonesia Dapat menemukan makna lirik lagu “Tuku Kembang”, langsung dalam bentuk alih bahasa ke

Berdasarkan kegiatan pengabdian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa seluruh peserta pelatihan yaitu perangkat desa sangat antusias dalam