• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati Di Jakarta 1998

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati Di Jakarta 1998"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI DI JAKARTA 1998

SKRIPSI

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA : NORA SANTI BR SINAGA

NIM : 070706011

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Lembar Persetujuan Skripsi

BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI DI JAKARTA 1998

Yang diajukan oleh

Nama : Nora Santi br Sinaga

Nim : 070706011

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:

Pembimbing

Dra. Haswita, M.SP Tanggal,

NIP. 195101061981032001

Ketua Departemen Ilmu Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M. Hum Tanggal,

NIP. 196409221989031001

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI DI JAKARTA 1998

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

Nora Santi br Sinaga

Nim 070706011

Pembimbing

Dra. Haswita, M.SP.

NIP. 195101061981032001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Ilmu Budaya

Dalam Bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(4)

Lembar Persetujan Ketua Departemen

Disetujui Oleh

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Medan

Departemen Ilmu Sejarah

Ketua Departemen Ilmu Sejarah

Drs. Edi Sumarno M. Hum

NIP. 196409221989031001

(5)

Lembar pengesahan skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN:

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Untuk Melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya

Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya Usu Medan

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU

Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A.

Nip: 195110131376031001

Panitia Ujian:

No. Nama tandatangan

1. Drs. Edi Sumarno, M. Hum (………)

2. Dra. Nurhabsyah, M. Si (………)

3. Dra. Haswita, M. SP. (………)

4. Dra. Lila Pelita Hati, M. Si (………)

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Yesus Kristus Juruslamatku yang hidup,

yang telah memberi saya kekuatan untuk bertahan, cobaan untuk dihadapi, tantangan untuk

diatasi dan berkat untuk menyelesaikan segala persoalan yang seakan tidak pernah habis

namun selalu menemukan jalan keluar. Terima kasih, Tuhan Yesus. Penulisan skripsi ini

dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara di bidang Ilmu Sejarah.

Suatu kepuasan tak terucapkan yang penulis rasakan ketika berhasil menyelesaikan

sekelumit penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul: BERDIRINYA YAYASAN

SRIKANDI SEJATI DI JAKARTA 1998. Sebagai bentuk pencapaian selama menjalani

studi di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU. Banyak kenangan dan masa manis dan

suram yang penulis alami semasa kuliah yang memberi inspirasi dan dorongan serta

memotivasi penulis dalam penulisan skripsi ini. Tanpa bantuan banyak pihak yang senantiasa

mendukung dan tak jenuh menemani dan memotivasi terutama teman- teman dan juga staf

pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU maka skripsi ini mungkin takkan

rampung.

Penulis berharap agar tulisan ini dapat berguna bagi banyak pihak walaupun penulis

menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karenanya segala

bentuk kritik dan saran sangat diharapkan penulis dari semua pihak sebagai dorongan

menyempurnakan penulisan sejarah.

Medan, Maret 2013

Nora Santi br Sinaga

(7)

ABSTRAK

Penulisan sejarah bertujuan merekonstuksi dan mencatat suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau dan mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan sehingga peristiwa tersebut tidak hilang tertelan waktu. Penulisan “Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati di Jakarta 1998” bertujuan untuk merekam peristiwa yang menjadi sejarah kontemporer bagi waria tentang organisasi pertama waria untuk menemukan eksistensinya. Mencoba memaparkan bagaimana latar belakang berdirinya Yayasan Srikandi Sejati, sehingga ditemukan rangkaian peristiwa proses berdirinya Yayasan Srikandi Sejati, kemudian pembaca mendapat gambaran bagaimana sistem pengelolaan Yayasan Srikandi Sejati.

Tujuan penelitian ini sendiri adalah agar diketahui latar belakang Yayasan Srikandi didirikan, sehingga pembaca dapat mengetahui alasan mengapa waria membutuhkan Yayasan Srikandi Sejati, dengan begitu segala perubahan yang muncul setelah adanya Yayasan Srikandi Sejati di dijelaskan apakah hal itu bersifat umum atau khusus bagi para waria saja. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi penulis maupun Organisasi atau LSM yag bergerak di bidang kemanusiaan terutama yang menaungi kaum marjinal,dengan begitu pengetahuan masyarakat tentang kaum marjinal terutama waria dapat terbuka.

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis ucapkan untuk Tuhanku Yesus Kristus yang tidak pernah

meninggalkanku dan memberiku keberanian untuk tetap berjuang dan bertahan serta

menyelesaikan segala persoalan dalam usaha menyelesaikan skripsi ini. Kata Syukur takkan

cukup untuk menyatakan kebaikan Allah Bapa dalam perjalanan hidup yang terkadang sangat

rumit. Terima kasih untuk Mamaku tercinta, engkau adalah hal terbaik yang diberikan Allah

di dalam hidupku.

Terima kasih untuk:

1. Keluarga penulis yang luar biasa, tempat saya tertawa dan menangis, tempat untuk

pulang di saat saya tak punya semangat lagi untuk berlari. Terima kasih buat

mamaku yang luar biasa yang menjadi motivasi terutamaku untuk berjuang

sampai akhir, untuk bapak yang sabar menanti anak pertamanya wisuda. Untuk

adik- adikku yang super metal, Kiong, Ijon, Santo dan Selin yang menemani saat-

saat bahagia dan susah, dan membawa senyuman setiap kali mengingat

kebersamaan bersama kalian. I love U all, Terima kasih karena tidak mengeluh

memiliki kakak seperti saya.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara

3. Ibu Dra. Dewi Murni selaku Dosen Wali saya selama kuliah dan kepada Ibu Dra.

Haswita selaku Dosen Pembimbing skripsi saya. Terima kasih telah bersabar

menghadapi saya dan atas bantuannya selama saya kuliah dan menyusun skripsi

dan maaf karena seringkali bersikap keras kepala dan merepotkan ibu Dewi dan

ibu Haswita.

4. Bapak Drs. Edi Sumarno, M. Hum, selaku Ketua Departemen Jurusan Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya USU dan Ibu Dra. Nurhabsyah, Msi, selaku Sekretaris

Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU dan seluruh staf pengajar yang

tak bisa disebutkan satu persatu.

5. Saya ucapkan terima kasih untuk sahabat- sahabat terbaik saya yang tersebar di

Indonesia, Lenon, Laolies, dan Icha, Guardian Ranger’sku atas persahabatannya

(9)

ketemu dan mendengar suara tawa kita bersama, tapi kenangan bersama kalian

tetap menjadi bagian terbaik dalam masa kuliahku.

6. Teristimewa temen- temen satu kelas, satu angkatan dan satu perjuangan menjadi

sarjana walau masuknya bareng, tamatnya sendiri- sendiri yaitu 07fm yang luar

biasa. Buat Eta Ludika yang tidak pernah bosen menjadi sahabatku, April,

Hendrik, Azmi, Bona, David, Krisman, Togi, Shoji, Usman, Ucil, Astina, Ade

Putera, Geneton, Antonius, Pasrah, Siti, Iwan, Sari, Intan, Andika, Mohan, Sulis,

Okki, Naf’an, Judika, Okta, Asima, Meisia, Olida, Budi. Rumah keduaku,

terimakasih telah menerimaku apa adanya.

7. Hasianku yang tak perlu disebut namanya, terima kasih untuk senyumanmu yang

mampu mengubah suasana hatiku dan kesediaanmu menjadi samsakku.

8. Terkasih adik kelasku semua angkatan terutama tujuh orang anak ayamku, Hap-

hap, Nawan, El, Ibel, Weny, Halimah dan Komting. Terima kasih karena bersedia

menemaniku di tahun terakhirku, kalian memberi corak tersendiri dalam

kehidupanku dan menjadi salah satu alasanku harus tamat.

9. Terkasih sahabat- sahabatku sewaktu SMA yang sampai sekarang belum

melupakan saya dan tetap setia menjadi sahabat terbaik di Jakarta, Oktarianda,

Rezky, dan Fiona.

10.Ibu Leny Sugiharto selaku Direktur Yayasan Srikandi Sejati dan informan utama,

Ibu Maya Tatang aktivis Yayasan Srikandi Sejati yang membuka jalan bagi saya

untuk masuk ke dalam YSS, juga untuk Dave dari Arus Pelangi yang banyak

banget membantu dan memberi informasi.

Dengan rasa syukur saya ucapkan terima kasih dan saya berdoa semoga Tuhan Yesus

yang paling baik, akan membalas kebaikan kalian semua dan senantiasa memberkati kita

semua serta memberikan apa yang kita butuhan.

Medan, Maret 2013

(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI

LEMBAR PENGESAHAN DEKAN

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4 Tinjauan Pustaka ... 7

1.5 Metode Penelitian ... 9

BAB II Latar Belakang Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati ... 11

2.1 Waria Dalam Kajian Sejarah Kebudayaan ... 11

2.2 Pandangan Masyarakat Terhadap Waria ... 14

2.3 Kondisi Ekonomi Waria ... 24

2.4 Pandangan Agama Terhadap Waria ... 27

BAB III Proses Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati ... 33

3.1 Jakarta Sebagai Tujuan Urbanisasi ... 33

3.2 Sejarah Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati ... 37

3.3 Kendala Dalam Proses Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati ... 42

BAB IV Yayasan Srikandi Sejati ... 47

(11)

4.1.1 Visi Yayasan Srikandi Sejati ... 47

4.1.2 Misi Yayasan Srikandi Sejati ... 47

4.1.3 Kepengurusan Yayasan Srikandi Sejati ... 48

4.2 Peranan Yayasan Srikandi Sejati ... 48

4.2.1 Bidang Kesehatan ... 50

4.2.2 Bidang Kemanusiaan ... 51

4.2.3 Bidang Ekonomi ... 52

4.2.4 Bidang Agama ... 53

4.2.5 Bidang Hiburan ... 54

BAB V Kesimpulan dan Saran ... 55

Kesimpulan ... 55

Saran ... 58

DARTAR PUSTAKA

(12)

ABSTRAK

Penulisan sejarah bertujuan merekonstuksi dan mencatat suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau dan mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan sehingga peristiwa tersebut tidak hilang tertelan waktu. Penulisan “Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati di Jakarta 1998” bertujuan untuk merekam peristiwa yang menjadi sejarah kontemporer bagi waria tentang organisasi pertama waria untuk menemukan eksistensinya. Mencoba memaparkan bagaimana latar belakang berdirinya Yayasan Srikandi Sejati, sehingga ditemukan rangkaian peristiwa proses berdirinya Yayasan Srikandi Sejati, kemudian pembaca mendapat gambaran bagaimana sistem pengelolaan Yayasan Srikandi Sejati.

Tujuan penelitian ini sendiri adalah agar diketahui latar belakang Yayasan Srikandi didirikan, sehingga pembaca dapat mengetahui alasan mengapa waria membutuhkan Yayasan Srikandi Sejati, dengan begitu segala perubahan yang muncul setelah adanya Yayasan Srikandi Sejati di dijelaskan apakah hal itu bersifat umum atau khusus bagi para waria saja. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi penulis maupun Organisasi atau LSM yag bergerak di bidang kemanusiaan terutama yang menaungi kaum marjinal,dengan begitu pengetahuan masyarakat tentang kaum marjinal terutama waria dapat terbuka.

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ilmu Sejarah merupakan disiplin ilmu yang membahas segala kejadian yang terjadi

pada masa lampau yang berhubungan dengan kegiatan manusia. Dengan mencatat dan

merekonstruksi ulang setiap kegiatan yang di lakukan manusia pada masa lampau, maka

sejarah mampu mengurai peristiwa kekinian untuk memberi gambaran umum masa depan.

Dalam merekonstruksi kembali peristiwa masa lampau, segala kegiatan yang di lakukan

manusia, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, agama, termasuk segala sesuatu yang

memberikan maupun membentuk nilai dalam kemasyarakatan, mampu menjadi petunjuk

tentang bagaimana masa depan yang mungkin terjadi.

Proses sejarah menjadi sesuatu yang kompleks, sebab terjadi interaksi dari berbagai

unsur yang saling mempengaruhi dan saling ketergantungan diantara unsur- unsur tersebut.

Dalam memahami suatu proses sejarah, penelitian dan penulisan sejarah merupakan usaha

untuk merekonstruksi ataupun menulis kembali peristiwa sejarah dan menyusunnya menjadi

sebuah historiografi yang lengkap. Historiografi tidak hanya sekedar usaha penyuntingan

ulang sebuah kisah lampau. Agar menjadi sebuah disiplin ilmu, historiografi harus

berkembang dengan menggunakan metode dan pendekatan ilmu- ilmu sosial. Sebab dengan

menggunakan pendekatan ilmu sosial ruang lingkup sejarah tidak lagi dibatasi oleh

pertanyaan tentang proses, tapi juga berbicara tentang struktur. Sejarah yang semula bersifat

kisah yang hanya membahas deskriptif dan diakronik mulai menuju ke arah tulisan yang

analitis dan sikronis. Dari berbagai tema penulisan sejarah, tema tentang sejarah sosial

(14)

dan berbagai aktifitasnya sebagai bahan kajian baik peristiwa yang bersifat lokal maupun

nasional.

Sosial sebagai bidang kajian terluas dan paling beragam memberi historiografi ruang

untuk mengkaji berbagai peristiwa dalam sejarah sebagai materi kajiannya. Sejarah yang

bersifat kontemporer membuka celah bagi sejarah untuk mengupas dan membahas berbagai

peristiwa kekinian yang memenuhi syarat- syarat penulisan sejarah. Isu gender yang semakin

berkembang dewasa ini, merupakan salah satu kajian yang menarik bagi historiografi

menurut sudut pandang sejarah terjadinya. Berkembangnya isu gender tentang persamaan hak

antara laki- laki dan perempuan, isu tentang SARA, isu yang berkaitan dengan diskriminasi

kelompok minoritas seperti LGBT merupakan peristiwa yang menuai kontroversi dari

berbagai sudut pandang termasuk sejarah.

Di tengah masyarakat Indonesia yang mengenal dan mengakui dua jenis gender

(kontruksi sosial bentukan masyarakat yang membedakan antara jenis kelamin laki- laki dan

perempuan), maka keberadaan transgender (seseorang yang mempunyai sifat dan sikap yang

tidak sesuai dengan gendernya) yaitu waria menjadi momok yang menakutkan bagi

masyarakat mapan yang mengetengahkan ajaran agama sebagai pedoman hidup. Masyarakat

pada umumnya merasa terancam dengan keberadaan waria sebab takut tertimpa hukuman

akibat dosa yang dilakukan oleh waria karena dianggap melakukan penyimpangan kodrat.

Hal ini cenderung memicu perlakuan kasar dan semena- mena dari masyarakat sebagai usaha

untuk menyadarkan kaum waria dari penyimpangannya. Masyarakat percaya bahwa

kekerasan akan mendorong waria untuk bertobat dari kewariaannya. Kurangnya pengetahuan

dan kesadaran masyarakat akan fakta- fakta yang berkenaan dengan waria membuat

masyarakat menilai positif tindakan kekerasan yang mereka lakukan sehingga menghilangkan

(15)

Kecurigaan berlebihan yang timbul akibat keberadaan waria, disebabkan oleh

kurangnya pengetahuan masyarakat tentang waria. Paradigma (kerangka berfikir) yang

berkembang ialah waria sebagai penyakit yang bisa menular, sehingga masyarakat takut

untuk mendekati apalagi bergaul dengan waria, bahkan untuk bertetangga dengan mereka

karena ajaran agama yang dianut secara umum, mengajarkan bahwa penyimpangan kodrat

adalah dosa. Sulitnya mencari pekerjaan merupakan hal biasa yang dialami waria, sehingga

banyak waria yang bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), agar bisa bertahan hidup.

Mereka hampir tidak memiliki alternatif pilihan pekerjaan akibat steriotip (konsepsi tentang

suatu kelompok yang didasarkan pada prasangka yang subyektif dan tidak tepat) yang ada di

masyarakat.

Kekerasan, kesulitan dalam pekerjaan, dan ketidakpedulian masyarakat menambah

daftar panjang hal negatif menyangkut waria. Di tambah lagi tidak adanya tanggapan

positif-negatif mengenai keberadaan waria dari pemerintah. Tidak adanya usaha perlindungan

terhadap hak waria dan kurang ditekankannya kewajiban bagi masyarakat umum terhadap

waria, menimbulkan kesulitan yang sangat banyak bagi waria. Waria yang mengalami

penganiayaan dan tindak kekerasan kurang dipedulikan dan kesehatan mereka sangat tidak

diperhatikan, akibat dari stigmatisasi (proses indentitas sosial yang hilang sehingga

disingkirkan dari pergaulan) dan steriotip yang cenderung mengabaikan penderitaan mereka

dan menganggap hal itu sebagai bentuk hukuman dari jalan hidup yang mereka pilih sendiri.

Menilik usaha dan kerja keras waria untuk dapat diterima di tengah keluarga dan

masyarakat. Serta perjuangan mereka dalam menentukan jati diri, eksistensi dan penerimaan

mereka terhadap penolakan yang di lakukan masyarakat, mendorong penulis untuk

mengungkap sisi lain dari waria di luar konsep yang secara umum tertanam dalam benak

(16)

Melihat kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa waria membutuhkan dampingan

dan dukungan untuk mampu mandiri di dalam bermasyarakat, menjadi motivasi untuk

meneliti dan melakukan penulisan yang bersifat ilmiah tentang komunitas- komunitas yang di

bangun untuk melindungi dan menolong waria dari tindakan diskriminasi. Masa di mana

militer memegang peran penting, sehingga kekerasan sering digunakan untuk mengendalikan

situasi dan keamanan.

Pentingnya sosialisasi tentang bahaya dari penyakit HIV/ AIDS dan membantu

mereka yang terinfeksi dalam menghadapi penyakit tersebut, mendorong di bangunnya satu

lembaga khusus yang mengfokuskan diri untuk membantu para waria dalam mengatasi

masalah tersebut. Kurangnya pemahaman waria sendiri akan peliknya masalah ini,

menjadikan masalah kesehatan akibat seks bebas menjadi fokus utama yang menjadi

perhatian lembaga tersebut.

Hal ini yang menginspirasi dan mendorong penulis untuk menulis tentang “

Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati di Jakarta 1998 ” yang merupakan organisasi berbentuk

yayasan pertama di Indonesia yang mendapat legalitas (keabsahan) dari pemerintah untuk

mewadahi dan menampung aspirasi waria bukan hanya di Jakarta tetapi juga di Indonesia.

Melalui Yayasan Srikandi Sejati (YSS), waria mendapat pengetahuan lebih terutama di

bidang kesehatan mengenai HIV/ AIDS, dan mendapat bantuan kesehatan. Juga mendapat

banyak penyuluhan dan pelatihan keterampilan kerja. Serta menyelenggarakan pertunjukan

kesenian dalam rangka pengumpulan dana untuk membantu masyarakat yang kurang mampu.

Berdasarkan S.K. Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. : M- 135 – HT. 03.05 – Th.

1986 tgl. 9 – 12 – 1986.

Semua usaha ini dilakukan untuk membangun kepercayaan masyarakat bahwa waria

(17)

dalam diri waria bahwa mereka memiliki wadah inspirasi yang akan menolong dan

memberikan masukan untuk hal- hal yang kurang mereka pahami terutama di bidang

kesehatan. Seperti pencegahan penyakit tertentu dan bagaimana mengatasinya.

Yayasan Srikandi Sejati mencoba memberi dampingan berwirausaha bagi para waria

agar mereka memiliki keterampilan khusus, sehingga mampu bekerja di sektor informal,

seperti membuka salon atau berjualan jamu. Juga mengadakan kegiatan yang bersifat

keagamaan, seperti merayakan lebaran atau natal bersama. YSS juga mengadakan seminar-

seminar sosialisasi mengenai HIV/AIDS, bahaya dan pencegahannya. Di samping itu mereka

juga mengadakan dampingan di lapangan untuk mengetahui kebutuhan dan memberi

informasi kabar terkini seputar komunitas mereka. Mereka juga berusaha memberikan

bantuan hukum atau menuntut keadilan bagi waria yang mengalami diskriminasi.

Semakin besarnya peluang bagi waria untuk mengekspresikan diri dengan cara yang

positif dan adanya dukungan dari keluarga, masyarakat serta kesempatan yang muncul sejak

era reformasi membuka jalan bagi waria untuk membentuk organisasi yang di bentuk dan

diperuntukan untuk mengorganisir kebutuhan mereka berorganisasi dan membentuk

kelompok yang mampu menyatukan mereka. Melindungi dan mewadahi tiap kebutuhan

mereka terutama bidang kesehatan.

2. Rumusan Masalah

Untuk memudahkan penulisan dalam upaya melakukan penelitian yang objektif, maka

pembahasannya difokuskan pada masalah-masalah berikut :

1. Bagaimana latar belakang berdirinya Yayasan Srikandi Sejati?

(18)

3. Bagaimana sistem pengelolaan Yayasan Srikandi Sejati?

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Mengetahui apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji oleh penulis maka

yang menjadi kajian permasalahan adalah tujuan penulis dalam penelitian ini, serta manfaat

yang didapatkan dari hasil penulisan.

Tujuan penulisan ini adalah:

1. Mengetahui latar belakang Yayasan Srikandi Sejati didirikan.

2. Memaparkan alasan- alasan pentingnya keberadaan Yayasan Srikandi Sejati bagi

para waria di Jakarta maupun Indonesia secara umum.

3. Menunjukkan perubahan yang muncul sejak Yayasan Srikandi Sejati didirikan

baik bagi waria secara khusus atau masyarakat secara umum.

Adapun manfaat penulisan tersebut ialah:

1. Menambah literatur bagi penulis maupun pembaca tentang Organisasi atau LSM yang

bergerak di bidang kemanusiaan terutama yang menaungi kaum marjinal misalnya

waria,

2. Dapat dijadikan bahan reverensi untuk penulisan selanjutnya mengenai waria dalam

penulisan sejarah ataupun penulisan lainnya yang berhubungan,

3. Menambah pengetahuan masyarakat tentang kaum marjinal dan membuka wawasan

(19)

4. Tinjauan Pustaka

Untuk mendukung penulisan tersebut terdapat beberapa buku yang dapat dijadikan acuan

yaitu:

Buku karangan Zunly Nadia yang berjudul Waria Laknat atau Kodrat yang

memberikan gambaran lebih jelas mengenai pandangan agama terutama agama Islam selaku

agama mayoritas yang dianut rakyat Indonesia tentang waria. Dalam buku ini dijelaskan

mengenai beberapa penyimpangan seksual, berbagai pandangan tentang waria, ruang sosial

waria dan waria dalam lintasan sejarah.

Juga tentang hadis dan fikih mengenai waria dan peraturan bagi waria dalam Islam

baik dalam hukum dan pengadilan maupun soal hak warisan. Secara tidak langsung buku ini

menunjukan masalah waria sudah ada bahkan sejak jaman nabi, dan bahwa ada peraturan

yang bersikap lebih toleran terhadap keberadaan waria melalui hadis dan fikih.

Waria di dalam kitab fikih disebut khuntsa.1 Khuntsa juga berarti seseorang yang

diragukan jenis kelaminnya, apakah laki- laki atau perempuan, karena memiliki alat kelamin

laki- laki dan perempuan secara bersamaan atau pun tidak memiliki alat kelamin sama sekali,

baik alat kelamin laki- laki maupun perempuan.2 Di terangkan bahwa dalam hal warisan

maupun pengadilan seorang khuntsa memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dari seorang

pria ataupun wanita. Dengan demikian, selama hukum fikih masih mengacu pada hal- hal

yang lahir ( aspek jasmani), maka untuk kasus waria- transeksual, waria- transvestisme

sampai saat ini masih belum ada kejelasan hukum.3

1

Zunly Nadia, Waria Laknat atau Kodrat, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2005) hlm. 80

2

Ibid., hlm 81 3

Ibid., hlm 86

Dengan adanya pembakuan hukum

dalam kitab- kitab fikih secara otomatis masalah waria menjadi semakin kompleks pada masa

(20)

dan acuan yang menjadi representasi dari hukum Tuhan yang baku, dimana posisi fikih

seolah sejajar dengan Al- Qur’an itu sendiri. Sedemikian besar pengaruh fikih dalam

konstruksi masyarakat sehingga tanpa adanya rekonstruksi fikih pemahaman masyarakat

terhadap realitas sosial yang ada pada saat ini akan tetap parsial karena mengabaikan konteks

yang melingkupinya.4

Ariyanto dan Rido Triawan dalam bukunya Hak Kerja Waria : Tanggung Jawab

Negara memaparkan tentang fakta- fakta kehidupan yang dialami waria di Indonesia,

terutama tentang sikap keluarga dan lingkungan terhadap mereka. Banyak kekerasan fisik

maupun verbal yang di alami waria sejak mereka menyatakan diri sendiri sebagai perempuan.

Juga dalam perihal pekerjaan mereka mengalami diskriminasi. Dari semua waria yang

terpaksa harus mencari dan menemukan cara untuk menghidupi dirinya di sektor informal di

pinggir- pinggir jalan sebagai PSK, sulit dibantah hal itu disebabkan karena perlakuan

diskriminatif dan intoleran yang terus bertahan dalam aparatur negara negara maupun

perusahaan- perusahaan negara dan swasta.

5

Ariyanto dan Rido Triawan dalam bukunya yang lain yang berjudul Jadi, Kau Tak

Merasa Bersalah mengupas secara mendalam mengenai kebijakan yang diskriminatif,

perkembangan Internasional mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan

Interseksual (LGBTI), dan pemahaman tentang diskriminasi. Dalam buku ini juga pembaca

bisa melihat contoh kasus kekerasaan yang di alami oleh waria yang terjadi di Indonesia di

tengah masyarakat kita yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).

Ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib kelompok LGBTI, membuat kelompok LGBTI

rentan terhadap diskriminasi dan pelecehan serta pelanggaran Hak Asasi Manusia. Undang-

undang yang berlaku di negara belum ada yang sepenuhnya memihak pada kepentingan

4

. Ibid., hlm 88

5

Ariyanto dan Rido Triawan, Hak kerja Waria : Tanggung Jawab Negara, (Jakarta: Arus Pelangi,

(21)

kelompok minoritas. Pembedaan berdasarkan gender masih sering terjadi bukan hanya

terhadap para wanita tetapi juga waria. Waria seringkali menjadi pihak yang dipersalahkan

dan diperlakukan tidak adil, sedangkan aparatur penegak hukum seakan tidak peduli dan

tidak mau tahu terhadap nasib kaum minoritas termasuk waria.

Kasus- kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami kaum minoritas seperti

Waria seringkali diabaikan bahkan tidak diproses. Kaum LGBTI seringkali diperlakukan

dengan kasar dan semena- mena seperti seorang penjahat. Tidak jarang, kaum minoritas

tersebut dijadikan kambing hitam dan mereka kesulitan mendapatkan bantuan hukum. Usaha-

usaha yang dikalukan guna mendapatkan keadilan justru mendapat hambatan dan tidak

dipedulikan.

5. Metode Penelitian

Dalam melakukan penulisan sejarah yang deskriptif analitis harus melalui langkah-

langkah tertentu. Langkah pertama heuristik (pengumpulan sumber) yang sesuai dan

mendukung sumber objek yang diteliti. Penelitian kepustakaan dengan menggunakan

beberapa buku, majalah, artikel-artikel, skripsi dan karya tulis yang pernah ditulis

sebelumnya berkaitan dengan judul yang dikaji. Lalu penelitian lapangan dilakukan dengan

menggunakan metode wawancara terhadap pimpinan sekaligus pendiri Yayasan Srikandi

Sejati yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini.

Langkah kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini kritik dilakukan

terhadap sumber yang telah dikumpulkan untuk mencari keabsahan sumber tersebut dari segi

isi yaitu dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis misalnya buku-buku atau

(22)

Mengkritik dari segi materinya untuk mengetahui asli- tidaknya sumber tersebut agar

autentik sifatnya, kritik ini disebut kritik ekstern.

Langkah ketiga adalah interpretasi, di sini data yang diperoleh dianalisis kembali

sehingga menjadi satu analisis baru yang bersifat lebih objektif dan ilmiah. Pada tahap ini

subjektivitas penulis harus dihilangkan, paling tidak dikurangi agar analisis menjadi lebih

akurat.

Langkah terakhir adalah historiografi, yakni menyusun kembali kesaksian yang dapat

dipercaya menjadi satu kisah atau kajian yang menarik namun akurat dan berusaha

mengetengahkan aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah

deskriptif analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta yang ada untuk

memperoleh penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah.

Dalam fase heuristik, selain mengumpulkan bahan-bahan seperti telah dipaparkan di

atas, juga digunakan ”ilmu-ilmu bantu” yang relevan dengan fokus penelitian. Ilmu bantu

mempunyai fungsi yang esensial yang digunakan para sejarawan untuk mendukung penelitian

dan penulisan sejarah sebagai suatu karya ilmiah. Ilmu bantu tersebut dalam ilmu-ilmu sosial

seperti sosiologi, psikologi, antropologi, politikologi, ekonomi, dan lain sebagainya.

Konsep-konsep dari ilmu sosial membantu atau menjadi alat (tools) untuk kajian sejarah yang

analitis-kritis ilmiah.6

Pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang memberikan karakteristik

“ilmiah” kepada sejarah. Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini

memungkinkan suatu masalah dapat ditinjau dari berbagai dimensi sehingga pemahaman

tentang masalah itu, baik keluasaan maupun kedalamannya, akan semakin jelas.7

6

Helius Sjamsuddin, Metologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2007, hal. 240-241; 267. 7

(23)

BAB II

LATAR BELAKANG BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI

.

2.1. Waria Dalam Kajian Sejarah Kebudayaan

Sulit untuk menentukan kapan dan dimana sejarah kebudayaan waria mulai muncul.

Sejarah belum mampu mencatat secara pasti kapan waktu yang akurat. Sepertinya waria

belum masuk ke dalam lingkungan peradaban manusia normal. Sebab keberadaan mereka

belum di pandang sebagai suatu fenomena sejarah dan peradaban. Namun, budaya waria

tidak muncul begitu saja sebagai akibat modernisasi seperti sangkaan banyak orang, yang

menuduh bahwa mordernisasi menyebabkan kelainan- kelainan seksual seperti homoseksual

sebagai imbasnya.

Dalam sejarah bangsa Yunani memang tercatat adanya waria. Di jaman pertengahan,

seperti yang pernah direkam Hipocrates, telah muncul beberapa waria kelas elite seperti Raja

Henry III dari Prancis, Abbe de Choissy Duta Besar Prancis di Siam, serta Gubernur New

York tahun 1702, Lord Cornbury. Mereka berdandan laiknya perempuan. Karena beberapa di

antaranya adalah orang- orang terpandang, maka atribut mereka tidak ditampakkan dalam

kehidupan sehari- hari. Menurut catatan itu, mereka adalah laki- laki berjiwa perempuan,

dengan pakaian perempuan dan lebih senang di anggap perempuan8

Siapakah waria? Waria adalah seseorang yang terlahir dengan jenis kelamin laki- laki

yang dalam proses pertumbuhannya menunjukan sifat keperempuanan yang lebih menonjol

dan pada masa dewasanya menyatakan diri sebagai perempuan dan berdandan selayaknya

perempuan pada umumnya. Kartini Kartono dalam bukunya Psikologi Abnormal dan

Abnormalitas Seksual, mengatakan bahwa istilah waria berasal dari kata ”wanita-pria”, .

8

(24)

disamping itu mendapat sebutan lain seperti wadam ( hawa-adam) atau banci9

Berdasarkan kajian sejarah kebudayaan, terdapat beberapa kebudayaan dimana waria

diasosiasikan dengan kekuatan spiritual yang lebih tinggi, seperti mediasi antara dewa dan

manusia. Dalam banyak kasus, gabungan laki- laki dan perempuan ini juga diasosiasikan

dengan kesuburan dan kesejahteraan komunitas secara keseluruhan

. Umumnya

waria bersikap dan memiliki perasaan yang halus seperti perempuan dan hal itu menimbulkan

rasa tidak nyaman bagi masyarakat umum yang menganggap mereka sebagai laki- laki yang

semestinya bersikap keras dan tegas.

10

. Bentuk seksualitas

sakral ini ditemukan penggunaannya dalam tantrisme, Taotisme, juga praktik spiritual di

Eropa, balkan dan Asia kuno11. Kebudayaan kuno tersebut menjadikan waria sebagai sesuatu

yang suci dan dihormati. Pada bangsa Turco- Mongol di gurun Siberia, dukun pria pada

umumnya berpakaian wanita, mereka umumnya mempunyai daya linuwih12, dan sangat

ditakuti orang. Dukun- dukun semacam ini juga dapat di jumpai di Malaysia, Sulawesi,

Patagona, Kepulauan Aleut, dan beberapa suku Indian Amerika Utara. Suku Indian Sioux dan

Crow, misalnya mengenal pria berpakaian wanita yang disebut berdache13

Di Indonesia juga terdapat beberapa kebudayaan yang mengenal, menghormati dan

mengasosiasikan waria sebagai pendeta misalnya Bissu di masyarakat Bugis, Sulawesi dan

Warok di Ponorogo, Jawa Timur. Dalam masyarakat Bugis terdapat lima gender yaitu: laki-

laki, perempuan, calabai, calalai dan bissu. Calabai adalah laki- laki yang bersikap seperti

perempuan, melakukan pekerjaan perempuan dan kerap memiliki pasangan laki- laki. Cabalai

umumnya melakukan berbagai fungsi dalam perayaan pernikahan. Calalai adalah perempuan

.

9

Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Sexual, 1989 ( Bandung: CV. Mandar Maju ) hal 265

10

Saskia E. Wieringa, Jurnal Gandrung, vol 1 no.12, Desember, 2010 ( Surabaya: Yayasan GAYa NUSANTARA) hal 26

11

Loc.cit 12

. Daya linuwih adalah kemampuan yang luar biasa yang dimiliki oleh dukun pria dan biasanya sangat ditakuti.

13

(25)

yang berpenampilan seperti laki- laki dan hidup bersama pasangan perempuannya dan

melakukan peran seperti laki- laki. Namun mereka tidak berperan dalam upacara- upacara

dan saat ini sudah jarang ditemukan. Cabalai bisa menjadi Bissu. Bissu mempunyai fungsi

ritual yang sangat penting, mereka adalah penjaga pusaka kerajaan dan dalam fungsi tersebut

mereka dipandang sebagai biseksual, karena pusaka- pusaka ini memerlukan persatuan

dengan lawan jenis. Maka Bissu dianggap sebagai “ pasangan hermafrodit pusaka”14

Bissu adalah seniman yang juga pendeta agama Bugis kuno (Sulawesi Selatan) pra-

Islam yang makin berkurang personilnya. Umumnya mereka adalah pria yang bersifat

kewanitaan ( calabai/ waria) dan dalam kehidupan keseharian selalu tampil sebagai wanita.

Walaupun Bissu adalah waria, mereka bukan waria biasa. Untuk menjadi Bissu, seorang

waria harus ditasbihkan (irebba) terlebih dahulu. Mereka memiliki kesaktian dan peran dalam

upacara- upacara ritual. Mereka juga memiliki kedudukan dalam masyarakat sebagai penjaga

pusaka keramat (arajang) di istana yang dipercayai dihuni oleh roh- roh nenek moyang.

Tradisi transvestite (laki- laki yang berperan sebagai perempuan) dalam masyarakat Bugis

sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu

.

Status gender dan seksual ambigu Bissu sejak dulu hingga sekarang masih sangat

dihargai. Dalam peran- peran ritual, Bissu mengambil kondisi androgini yang simbolik guna

memastikan kesejahteraan dan kemakmuran penguasa dan komunitasnya. Terdapat juga

kemiripan peran Bissu dengan Basir atau Balian pada Dayak Ngaju di Kalimantan. Balian

adalah penyembuh dan peramal sakti yang berpakaian seperti perempuan.

15

Sekitar 1950 hingga 1965, meletus pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam

Indonesia (DI/TII) yang berusaha keras menghapuskan dan melarang semua yang dianggap

(26)

setelah peristiwa tragis yang dialami para Bissu selama Orde Lama dan Orde Baru. Tokoh

DI/TII di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakar, menganggap kegiatan para Bissu termasuk

menyembah berhala. Karena itu, kegiatan, alat- alat upacara dan para pelakunya diberantas.

Ribuan perlengkapan upacara dibakar atau ditenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun)

dan Bissu dibunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras. Penderitaan ini masih

berlanjut pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Gerakan pembantaian besar- besaran itu

diberi nama Operasi Toba (Operasi Taubat) yang dilancarkan pada masa Orde Baru antara

1965- 1967.16

Meskipun demikian, masih ada lagi budaya lain di Indonesia yang mengenal tradisi

waria dalam kesenian tradisional yaitu masyarakat Jawa Timur yang berkecimpung dalam

dunia seni Warok di Ponorogo dan kesenian pentas tradisional Ludruk17

Indonesia merupakan negara yang berbasis agama. Penduduk Indonesia diwajibkan

menganut salah satu dari agama yang dinyatakan sah oleh negara. Oleh karena itu, banyak

pandangan dan nilai- nilai yang berlaku di masyarakat merupakan nilai moral berdasarkan

keyakinan agama. Agama mengajarkan tentang dua jenis kelamin yaitu laki- laki dan

termasuk tari

ngremo dan gadrung. Hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan sikap tabu terhadap

kontak dengan wanita di luar pernikahan yang sah. Lain halnya dengan budaya keraton Jawa

di jaman Mataram. Waria termasuk dalam kelompok yang justru memiliki daya linuwih

karena kelainan yang dialaminya, sehingga mereka tidak disingkirkan namun menjadi simbol

kegaiban.

2.2 Pandangan Masyarakat Terhadap Waria

16

Wawancara dengan Fitri

17

(27)

perempuan sehingga keberadaan waria terasa asing dan sulit diterima. Dalam agama Islam

maupun Kristen yang memiliki banyak penganut, menjadi waria merupakan dosa, sehingga

menjadi aib bagi keluarga bila ada seorang laki- laki yang terlahir sebagai waria. Hal yang

seringkali terjadi adalah upaya menghindari aib dan dosa yang dilakukan keluarga dan

masyarakat menyebabkan diskriminasi terhadap waria.

Seorang anak laki- laki yang terlahir sebagai waria, tidak selalu menunjukan gejala

perbedaan sejak kecil. Umumnya ‘kelainan’ terlihat saat dia akil balig lalu berlanjut pada

keinginan mencari identitas diri karena merasa tidak nyaman dengan peran laki- laki yang

disandangnya. Waria di masa kanak- kanaknya lebih suka bermain bersama anak perempuan

dan memainkan permainan anak perempuan. Dia merasa tidak nyaman dengan permainan

anak laki- laki yang cenderung lebih keras dan kasar. Dan tak mengerti dengan selera

permainan laki- laki yang lebih agresif dibandingkan anak perempuan.

Di masa remajanya seorang waria semakin merasakan krisis identitas yang dirasa

sebagai ‘kekosongan’. Dia lebih tertarik pada sesama jenisnya. Dan memiliki perasaan dan

keinginan layaknya perempuan. Dengan fisik yang terlahir sebagai laki- laki, seorang waria

semakin merasa berbeda dengan lingkungannya yang menuntutnya memerankan figur

seorang laki- laki yang tegas dan berkarisma.

Di masa dewasanya, kebanyakan waria dengan berani menyatakan dirinya sebagai

bukan laki- laki namun juga tidak memiliki fisik sebagai perempuan sehingga muncul

sebutan waria. Beberapa diantaranya mengubah penampilan menyerupai perempuan dengan

rambut panjang dan berpakaian seperti perempuan umumnya. Sebagian lagi tetap

berpenampilan seperti laki- laki dengan rambut pendek namun terkadang memakai pakaian

(28)

Penampilan fisik waria yang tidak umum dan sulit diklasifikasikan sebagai satu dari

jenis kelamin yang dikenal umum menimbulkan perasaan asing dan sulit menerima

dikalangan keluarga dan masyarakat. Seringkali ketika seorang anak laki- laki menunjukan

gejala yang berbeda dibanding anak laki- laki lainnya, si anak menerima perlakuan kasar

sebagai reaksi atas perilakunya yang berbeda.

Ada beberapa pendapat berbeda yang beredar di kalangan masyarakat maupun para

ahli tentang penyebab “waria” muncul. Sebagian percaya, berdasarkan pengalaman empiris

bahwa seseorang menjadi waria disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Akibatnya waria

dianggap sebagai bentuk dari kelainan jiwa, dan harus diklasifikasikan sebagai pengidap sakit

jiwa yang perlu ditangani oleh ahli jiwa di Rumah Sakit Jiwa. Sebagian lagi berpendapat,

berdasarkan penelitian terhadap gen manusia bahwa seseorang menjadi waria bukan karena

lingkungan melainkan akibat kelebihan kromosom tertentu, dan kekurangan testoteron dalam

darah sehingga ciri- ciri kewariaan muncul dalam diri seseorang. Dengan teori ini maka waria

tidak diklasifikasikan ke dalam kelainan jiwa tapi kelainan gen sehingga seorang waria tidak

termasuk dalam kategori pengidap kelainan jiwa, dan tidak perlu perawatan di Rumah Sakit

Jiwa.

Peta kelainan seksual dalam pandangan ilmu biologi terbagi dalam dua penggolongan

besar. Pertama, kelainan seksual karena kromosom18. Dari kelompok ini, seseorang ada yang

berfenotip pria dan yang berfenotip wanita. Kelainan pada laki- laki disebut sindroma

klienfelter19

18

. Kromosom adalah salah satu bagian dari dalam tubuh (yang berjumlah 46 bagi manusia normal) yang terdapat dalam nukleus sel, yaitu pembawa gen, berbentuk filamen kromatin yang lembut pada tahap awal yang kemudian mengkerut untuk membentuk sebuah silinder padat yang terbagi dalam dua lengan pada tingkat metafhase dan anafhase pada bagian sel dam mampu mereproduksi struktur kimia dan fisika secara terus- menerus.

19

. Sindroma klienfelter adalah kelainan kromosom, berupa tambahan satu atau dua kromosom X pada inti setiap sel seorang bayi laki- laki.

. Hal ini disebabkan oleh kelebihan kromosom X, bisa XXY, atau XXYY atau

(29)

pada saat meiosis20yang pertama dan kedua. Hal ini disebabkan usia ibu yang mempengaruhi

proses reproduksi21

Di samping itu, perbedaan jenis kelamin juga ditentukan oleh ada tidaknya badan

kromatin

oleh karena itu semakin tua usia seorang ibu, maka akan semakin tidak

baik proses pembelahan sel dan akibatnya semakin besar kemungkinan menimbulkan

kelainan seks pada anaknya.

22

Jumlah seks kromatin pada seseorang yang mempunyai kelainan kromosom seperti

waria transeksual

yang sering disebut kromatin kelamin atau seks kromatin. Seks kromatin terdiri

dari salah satu dari dua buah kromosom X yang terdapat dalam inti sel tubuh wanita, yang

berarti sebuah kromosom X yang nonaktif. Jika wanita normal mempunyai dua kromosom X,

maka ia memiliki sebuah seks kromatin positif. Sebaliknya, laki- laki hanya mempunyai

sebuah kromosom X saja oleh sebab itu ia tidak mempunyai seks kromatin sehingga bersifat

seks kromatin negatif.

23

Kedua, kelainan seksual yang bukan karena kromosom. Ditilik dari cara berpakaian,

waria dimasukan ke dalam dua kelompok yaitu, seorang transvestisme dan transeksualisme.

Transvestisme adalah sebuah nafsu patologis untuk memakai pakaian lawan jenisnya, dia

mendapatkan kepuasan seks dengan memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya. Di sini,

seorang transvestis tetap berusaha mempertahankan identitas kelaminnya meski dia memakai disebabkan dia mempunyai kromosom XXY. Jadi, dia adalah seorang

laki- laki yang memiliki satu seks kromatin, oleh sebab itu ia memiliki sifat- sifat kewanitaan

dalam dirinya.

20

. Meiosis adlah pembelahan sel.

21

.Usia seseorang untuk melakukan proses reproduksi memang banyak berpengaruh terhadap terhadap janin yang dilahirkan. Hal ini karena ovarium yang sudah mengandung telur- telur terlalu lama diam di dalam sehingga kromosom yang ada bisa menjadi lengket.

22

. Seks kromatin ditemukan oleh Barr dari University of Western Ontario USA pada 1940. Wanita memiliki seks kromatin (sehingga disebut bersifat seks kromatin positif) dan pria tidak memilikinya (sehingga disebut bersifat seks kromatin negatif)

23

(30)

rok jika laki- laki atau memakai pakaian laki- laki jika perempuan, seringkali transvestis

adalah seorang heteroseksual namun terdapat juga yang homoseksual. Dengan demikian,

transvestisme termasuk dalam gangguan psikoseksual parafia24

Para waria sebagai seorang transeksualis memiliki karakteristik yang berbeda.

Seorang transeksualis, secara fisik memiliki jenis kelamin yag sempurna dan jelas, tetapi

secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis

yang sampai saat ini belum

diketahui penyebabnya.

25

Apapun teori yang dipakai tetap saja keberadaan waria di tengah sebuah komunitas

masyarakat terasa janggal dan sulit di terima. Sehingga timbul rasa saling curiga dan menarik

diri antara waria dan masyarakat itu sendiri. Kecenderungan seorang laki- laki yang bersikap

seperti wanita, membuat para lelaki merasa risih dan tidak nyaman saat berada di dekat waria.

Timbul ketakutan terhadap orientasi seks waria yang cenderung penyuka sesama jenis. Di

samping itu muncul kecurigaan bahwa waria dapat menular sehingga laki- laki umumnya

memandang waria sebagai pengidap penyakit menular dan menghindarinya. Berbeda dengan . Yang terpenting di sini

adalah kondisi psikis dan bukan pakaian yang dipakai. Para transeksual sering dianggap

sebagai orang yang terjebak dalam jenis kelamin yang salah karena identitas kelaminnya

yang terganggu. Waria secara fisik terlahir sebagai laki- laki dengan jenis kelamin laki- laki

yang sempurna namun menolak dirinya sebagai laki- laki sehingga waria dimasukkan ke

dalam kelompok transeksual. Gejala transeksual yaitu gejala merasa memiliki seksualitas

yang berlawanan dengan struktur fisiknya dan memiliki keinginan yang kuat untuk

mengubah jenis kelamin karena dorongan psikologis. Keinginan untuk menjadi perempuan

pada waria bukan hanya terletak pada cara berpakaian tetapi juga pada sikap, perilaku dan

penampilannya.

24

. Parafilia adalah kelainan yang ditandai dengan ketidaklaziman pada objek serta situasi seksualnya. Penderita jenis ini memerlukan khayalan atau perbuatan yang tidak lazim untuk bisa bergairah.

25

(31)

cara pandang wanita terhadap waria. Wanita cenderung bersikap lebih ramah dan menerima

terhadap keberadaan waria. Kehalusan perasaan waria seperti wanita, membuat perasaan

“nyambung” antara wanita dengan waria. Namun para waria seringkali memandang wanita

sebagai saingan sehingga di masa dewasanya mereka kurang suka bergaul dengan wanita

karena perbedaan fisik.

Perbedaan sikap penerimaan wanita dan laki- laki terhadap waria dalam kelompok

masyarakat yang lebih sempit tercermin dari perilaku anggota keluarga terhadap waria.

Seorang ibu walaupun tidak iklas, lebih mampu bersikap toleransi dan melindungi terhadap

anaknya yang waria. Tetapi seorang ayah akan bersikap kasar bahkan melakukan kekerasan

dan kecaman terhadap anaknya yang menunjukan orientasi berbeda. Seringkali seorang ayah

dengan peran laki- lakinya mencoba mendidik kembali seorang anak laki- laki yang lemah

lembut dengan cara keras untuk memancing jiwa lelakinya yang “tertidur”. Tabu dan

kurangnya pengetahuan umum soal waria menyebabkan seorang ayah mengira bahwa dengan

memukul maka sikap feminin dalam diri anak laki- lakinya akan menghilang. Seorang ibu,

dengan perannya sebagai wanita hanya mampu berdiam diri, karena kurangnya pengetahuan

dan rasa malu akibat melahirkan anak “cacat” tidak berdaya dalam upaya melindungi dan

mencari solusi atas masalah anaknya yang seorang waria.

Kebanyakan waria merasakan kecenderungan menjadi waria sejak kecil dan merasa

keberadaan mereka adalah kodrat yang tak bisa ditolak. Maka peran ahli jiwa, psikiater untuk

menyembuhkan waria menjadi manusia normal merupakan hal yang sia- sia kecuali dengan

mengubah jenis kelaminnya sesuai keadaan psikologis. Kehadiran seorang waria secara

umum tidak diinginkan oleh keluarga manapun sehingga respon penolakan keluarga setelah

mengetahui keadaan adanya perilaku menyimpang dari anggota keluarganya menimbulkan

respon berupa reaksi- reaksi setelah keluarganya mengetahui perilakunya. Respon orang tua

(32)

pemutusan hubungan keluarga. Hal ini dilakukan sebagai bentuk usaha mengaktualisasikan

diri sebagai wanita secara bebas dan total, berdandan dan memakai pakaian wanita sebagai

bentuk penyelesaian. Konflik yang terjadi memberikan ruang bagi waria untuk bersikap

mandiri secara ekonomi dan mengurangi kendali orang tua terhadap perilaku kewariaan

anaknya.

Peran keluarga sangat penting bagi perkembangan waria. Seorang waria yang

dilahirkan dalam keluarga yang baik- baik, taat beragama, berpendidikan ditambah lagi

keberadaan orangtua yang pada akhirnya menerima keberadaannya secara otomatis akan

memberikan pengaruh yang baik bagi perkembangan waria. Saat sebuah keluarga mau

menerima keberadaannya, maka dukungan positif secara moril dan materi akan didapatkan.

Dan mendorong waria tersebut menjadi warga yang baik sehingga diterima dengan baik oleh

masyarakat. Umumnya keberadaan waria di jalanan dan bekerja sebagai Pekerja Seks

Komersial adalah akibat tidak adanya penerimaan dari pihak keluarga.

Dalam kelompok yang lebih besar seperti di lingkungan pendidikan, seorang waria

seolah disamakan dengan pengidap cacat mental sehingga prestasinya kurang dihargai dan

tidak ditonjolkan. Hal ini menumbuhkan rasa tidak percaya diri dan perasaan kurang

berkompetensi dalam diri waria, sehingga banyak waria remaja yang kurang berminat dalam

hal pendidikan. Ditambah lagi banyaknya diskriminasi yang dialami waria oleh teman laki-

lakinya sehingga banyak waria yang putus sekolah atau kurang dalam hal pergaulan sesama

remaja. Sikap diskriminasi yang dilakukan teman sebaya dan guru membuat banyak waria

memilih menarik diri dari lingkungan dan memilih untuk tidak mempercayai siapapun

sehingga justru bersikap seenaknya sendiri dan diasosiasikan dengan kriminalitas.

Bagi waria yang berhasil menamatkan pendidikan hingga SMA, nasibnya seringkali

(33)

mencari pekerjaan. Tuntutan status jenis kelamin dalam hal pekerjaan menimbulkan banyak

penolakan terhadap waria yang dianggap dapat merusak citra dan nama baik perusahaan.

Beberapa waria yang bersikeras ingin tampil sebagai wanita mengalami penolakan dalam hal

pekerjaan, mereka cenderung dituntut tampil sebagai laki- laki sehingga untuk mendapatkan

pekerjaan mereka harus tampil sebagai laki- laki.

Penampilan waria yang agak berbeda dengan kebanyakan laki- laki ataupun wanita

menimbulkan steriotipe negatif di mata masyarakat tentang kompetensi mereka dalam hal

pekerjaan. Penampilannya yang menyimpang membuat masyarakat mengira bahwa waria

adalah sekelompok pembangkang yang tidak bisa dipercaya. Kesulitan mencari pekerjaan,

sikap kasar yang muncul akibat perbedaan membuat sebagian waria memilih untuk bersikap

kasar terhadap lingkungan dan hal ini berdampak negatif bagi sebagian waria yang berusaha

berbaur dengan masyarakat.

Keberanian waria dalam menunjukan siapa dirinya, malah dianggap sebagai bentuk

pelanggaran nilai moral dan agama. Yang lebih parahnya ketakutan akan dosa dan terhadap

orientasi seks waria membuat semakin panjang daftar bentuk diskriminasi terhadap kaum

waria, baik yang menarik diri maupun bagi yang mencoba berbaur. Agama seringkali

menjadi faktor utama yang memperlakukan waria dengan cara terburuk. Ide- ide radikal

seperti merajam, memukuli, mengusir bahkan menghukum mati waria justru datang dari

pihak agama yang diharapkan dapat menolong memberi jalan keluar. Dosa selalu menjadi

faktor utama penganiayaan. Pemukulan dianggap sebagai cara menghukum waria dari

dosanya yang menunjukan jatidirinya sebagai waria yang ditakutkan berimbas pada

masyarakat. Tak jarang cara- cara ekstrim dilakukan untuk mempermalukan waria, atas nama

(34)

Penerimaan masyarakat terhadap waria dapat dilihat dalam dua konteks yaitu

individual dan dalam komunitas. Konteks individual terkait dengan perilaku sosialnya sehari-

hari. Hal ini terlepas dari steriotipe tehadap waria sebagai PSK. Perilakunya dilihat

berdasarkan nilai- nilai masyarakat normal pada umumnya, sesuai dengan perilaku sehari-

hari bermasyarakat dan di nilai berdasarkan sopan santun dan perilaku baiknya. Sementara

dalam konteks komunitas, dunia waria dinilai dalam konstruksi yang bersifat historis,

sehingga menimbulkan pandangan yang ambigu. Di satu sisi, waria dipandang dengan

stigmatisasi sebagai PSK dengan segala atribut negatifnya. Dan di sisi lain, mereka menerima

waria hidup bersama di dalam lingkungan, baik karena kepentingan ekonomis atau

pertimbangan lainnya. Akibatnya meski masyarakat memahami seorang waria dalam

kehidupan sehari- harinya, namun dia dibatasi oleh konteks kultural, sehingga peraturan-

peraturan ketat diterapkan kepada waria tanpa kecuali. Masyarakat menerima atau menolak

kehadiran waria terutama ditentukan oleh usaha waria secara individual dan kolektif dalam

menunjukan perilaku kondusif sehari- hari. Pada dasarnya ruang sosial berikut aturan ketat

dalam masyarakat tersebut menjadi penekan sekaligus fasilitator.

Dunia cebongan26

26

. Cebongan adalah sebuah istilah di kalangan para waria yang berarti tempat pelacuran.

, adalah ruang tersendiri bagi waria untuk menunjukan

eksistensinya. Di sini, waria mengembangkan bentuk komunikasi tersendiri dengan

bahasanya yang khas sebagai ciri tersendiri dalam kelompok waria tersebut. Dunia cebongan

dalam kehidupan waria tidak hanya menjadi tempat bekerja tetapi juga menjadi media dalam

menegaskan identitasnya sebagai waria, karena di sini mereka mampu bersosialisasi dan

membangun solidaritas sesama waria. Ruang- ruang sosial tersebut banyak memberi

pengaruh dalam pola kehidupan waria. Menjalani kehidupan sebagai seorang waria

(35)

cenderung tidak memberi ruang dan belum sepenuhnya menerima dan memperlakukan waria

sejajar dengan jenis kelamin lainnya.

Berbagai macam pandangan tentang waria senantiasa diisi dengan penilaian negatif

tentang dunia pelacuran dan perilaku seks bebas dan hal negatif lainnya. Hal ini disebabkan

sebagian besar waria bekerja sebagai PSK dan sering berkumpul di malam hari dan

membentuk komunitas yang dikenal sebagai cebongan dan menjadi ciri khas waria dan

identifikasi mereka dengan steriotipe negatif.

Pemikiran negatif tentang waria yang timbul timbal balik antara sikap waria dan sikap

masyarakat menimbulkan ketegangan antara waria dan masyarakat. Tidak ada yang mau

mengalah dan semua pihak menolak kompromi. Bagi waria menjadi diri sendiri adalah hak

asasi dan menjadi urusan pribadinya dengan Tuhan. Bagi masyarakat menerima waria

dianggap sebagai penurunan nilai moral dan dapat merusak nilai- nilai yang dinyatakan

mapan yang telah lama dianut seperti sistem patriarkat.

Nilai- nilai partriarki mapan yang menjadi landasan hidup masyarakat di berbagai

kebudayaan, membuat laki- laki yang berpenampilan seperti wanita dianggap mengancam

stabilitas masyarakat. Laki- laki yang diharapkan selalu menjadi pemimpin dan bersikap

keras dalam memimpin serta mampu menjaga kelompoknya tidak dibenarkan untuk

berpenampilan tidak seperti laki- laki karena kuatir akan menimbulkan rasa mandiri dalam

diri wanita yang selam ini berada dalam pengaruh dan kekuasaan laki- laki. Oleh sebab itu

penyimpangan nilai yang dilakukan laki- laki lebih menjadi sorotan dibanding penyimpangan

yang dilakukan wanita.

Waria yang dalam usahanya untuk menjadi diri sendiri mengalami berbagai hambatan

dan tanggapan negatif dari berbagai golongan dan kelas masyarakat. Wanita yang selalu di

(36)

dalam memimpin laki- laki yang dianggap lebih kuat dan mampu. Waria yang tampil berbeda

dianggap semiwanita sehingga dinyatakan tidak memiliki kompetensi dalam memimpin dan

merusak citra laki- laki.

2.3 Kondisi Sosial Ekonomi Waria

Akibat perselisihan yang timbul antara waria dan masyarakat, waria mengalami

semakin banyak kesulitan selain kekerasan fisik dan verbal yaitu penolakan. Penolakan pihak

keluarga mengakui sebagai anggota keluarga, penolakan pihak agama mengakui sebagai

penganut agama tersebut dan penolakan dalam hal mencari pekerjaan. Kesulitan yang

semakin banyak yang dialami waria menimbulkan ketidakberdayaan dalam hal ekonomi.

Penolakan pihak keluarga mendorong waria untuk bertahan hidup sendiri di tengah

masyarakat. Penolakan pihak agama membuat waria kesulitan mendapat bantuan dalam

mencari pekerjaan dan rekomendasi positif untuk mendapatkan pekerjaan. Penolakan pihak

perusahaan membuat waria mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi

sehari- harinya.

Sektor formal menuntut kejelasan status jenis kelamin dan penampilan fisik,

sedangkan waria akibat dorongan hatinya ingin bebas tampil seperti wanita. Akibat

penampilan fisiknya yang berbeda, seorang waria dianggap tidak mampu melakukan

pekerjaan- pekerjaan dengan baik. Penilaian umum berdasarkan penampilan fisik membuat

banyak penilaian negatif tentang kompetensi waria dalam pekerjaannya. Seakan saat waria

tampil beda, maka dia pasti tidak mampu menaati aturan yang berlaku. Selain masalah

kompetensi dalam hal menyelesaikan pekerjaannya, menerima seorang pekerja waria

dianggap dapat merusak citra perusahaan yang di nilai tidak hati- hati dalam memilih

(37)

dan kredibilitas seorang waria yang diasosiasikan sebagai pembangkang dengan kelainan

jiwa.

Sektor informal terutama menjadi alternatif pekerjaan bagi waria. Banyak waria yang

bekerja di salon, atau sebagai penjual jamu, atau pedagang asongan juga sebagai pengamen.

Namun, lagi- lagi akibat steriotipe negatif dalam masyarakat, usaha- usaha yang dilakukan

waria dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, mengalami hambatan dan kesulitan untuk

berkembang. Seringkali waria diperlakukan dengan kasar, dan ketika membalas dengan

kekerasan maka waria secara umum serta merta dihubungkan dengan pembuat onar dan

kriminalitas.

Akibat kebutuhan yang mendesak dalam memenuhi kebutuhan ekonomi maka banyak

waria menggunakan jalan pintas dengan menjadi Pekerja Seks Komersial. Dengan begitu

sebagian besar waria bekerja sebagai PSK dan diasosiasikan sebagai penular HIV/ AIDS.

Orientasi seks waria yang penyuka sesama jenis, dan pekerjaannya sebagai PSK menambah

daftar panjang hal negatif tentang waria di mata masyarakat. Waria semakin dijauhi, ditakuti

dan dibenci.

Kekerasan yang sering dialami waria sejak kecil dan sikap diskriminasi yang sering

dialami saat dewasa membuat para waria kurang peduli lingkungan dan kesehatan. Mereka

terkesan “asal menjalani hidup”. Sehingga masyarakat umum menjadi semakin tidak mampu

bersikap toleransi terhadap sikap- sikap waria yang cenderung mengganggu ketentraman

umum.

Pemerintah sendiri sepertinya kurang peduli terhadap nasib kaum minoritas seperti

waria. Peraturan guna melindungi hak- hak waria kurang diperhatikan. Seringkali aparatur

(38)

Razia yang sering dilakukan polisi terhadap PSK seringkali lebih berat dialami waria

dibanding wanita. Saat razia maupun saat di tahanan, waria seringkali dipukuli dan diancam.

Ditambah lagi dengan tidak adanya perlindungan hukum bagi waria yang mengalami

tindak kejahatan. Kasus- kasus yang masuk seringkali diabaikan dan dalam suatu perselisihan

waria seringkali berada di pihak yang dipersalahkan. Banyak kasus penganiayaan bahkan

pembunuhan yang terjadi pada waria tidak ditangani dengan baik oleh pihak berwajib.

Ketidakadilan yang dialami waria di tengah masyarakat mendorong mereka untuk berusaha

bertahan hidup sendiri dengan aturan hukumnya sendiri. Hal ini berdampak munculnya

kasus- kasus kriminalitas yang dilakukan waria, yang berujung semakin sulit bagi waria

mendapatkan simpati masyarakat.

Kasus- kasus kejahatan yang melibatkan waria baik waria sebagai pelaku maupun

korban seringkali tidak adil bagi waria. Perbedaan penampilan yang ditunjukan waria

menimbulkan reaksi- reaksi negatif terhadap waria. Waria seringkali dipersalahkan dan

ketika korbannya waria aparat berwajib seringkali tutup mata dan berpura- pura tidak tahu.

Kurangnya wawasan di pihak waria membuat mereka menerima perlakuan tidak adil tersebut

dengan balas melakukan kekerasan. Sehingga waria selalu dikaitkan dengan tindak kejahatan.

Pekerjaan kebanyakan waria sebagai PSK, memunculkan anggapan bahwa semua waria PSK

dan membuat masyarakat semakin menjauh dan tidak mau peduli.

Sulitnya mendapat pekerjaan dan perlindungan hukum bagi waria akibat kurangnya

perhatian pemerintah terhadap waria, dipertegas dengan kesulitan mendapat status

kewarganegaraan waria yang tidak mendapat kepastian. Dalam kartu identitas kependudukan

warga Indonesia selain nama, dan agama, jenis kelamin juga menjadi salah satu identitas

warga Indonesia. Para waria menginginkan agar mereka memiliki identitasnya tersendiri

(39)

disebut sebagai laki- laki, namun pemerintah dan masyarakat tidak berkenan menyatakan

waria sebagai wanita. Para waria yang ingin tetap diizinkan berpenampilan sebagai wanita,

mengalami kesulitan saat di Kartu Tanda Penduduk ditulis sebagai laki- laki. Masalah KTP

membuat waria kesulitan saat melakukan segala urusan administrasi dalam kependudukan

dan pekerjaan.

Memperjuangkan hak transeksual, di antaranya adalah memperjuangkan hak untuk

bekerja pada sektor formal dan juga hak atas legal formal identitas mereka melalui proses

yang panjang dan rumit. Perjuangan untuk pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan juga

pemajuan Hak Asasi Manusia juga ditempuh melalui jalur legislasi. Jalur pemenuhan Hak

Asasi Manusia diperjuangkan keras ketika Amandemen Undang- Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945, yang tercantum dalam UUD pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia.

2.4 Pandangan Agama terhadap Waria

Hal serupa juga seringkali timbul dalam hal keagamaan, waria yang merupakan

warga negara Indonesia juga beragama. Dalam ajaran agama Islam laki- laki dan perempuan

duduk terpisah saat berada di Mesjid, hal ini menjadi masalah tersendiri bagi waria soal

pembagian tempat ibadah. Ikut di barisan wanita, atau laki- laki, memakai mukenah atau

sarung dan peci. Terkadang ada waria yang memilih duduk di barisan laki- laki atau secara

sembunyi- sembunyi memakai mukenah dan solat sebagai wanita. Dan tidak jarang waria di

usir saat memasuki Masjid karena dianggap tidak pantas berada di sana. Diskriminasi yang

dialami waria hingga kini belum menemukan titik penyelesaian.

Kecenderungan beragama pada setiap manusia adalah melalui hubungan primordial,

(40)

dilahirkan dalam tradisi Kristiani, secara kultur dia akan menjadi kristiani. Begitu juga bila

seorang anak lahir di keluarga yang beragama Islam, secara otomatis dia menjadi muslim.

Dalam hal orientasi seksual, Islam memberi legitimasi moral bahwa orientasi seksual yang

benar adalah yang bersifat heteroseksual, tidak kepada yang lain seperti homoseksual27.

Tuhan telah menciptakan manusia dengan berpasang- pasangan, yaitu pasangan manusia

adalah laki- laki dengan perempuan. Masalah waria dari sisi agama dapat dilihat dengan

lebih jelas dalam kitab- kitab fikih klasik, karena selama ini sumber otoritas yang bisa

dibilang mampu mewakili dan cukup rinci dalam membahas persoalan waria adalah fikih.

Dari sisi fikih nampaknya waria dapat diterima sebagai realitas sehingga sama sekali tidak

ada pengingkaran atas keberadaan mereka28

Pandangan fikih seperti ini terkesan positivistik, karena hanya melihat waria dari sisi

biologis (alat kelamin), tanpa melihat dari sudut psikologi atau kejiwaan. Padahal persoalan

waria tidak dapat disederhanakan hanya dengan tolak ukur alat/ jenis kelamin. Problem waria

meliputi berbagai aspek sehingga dalam pemberlakuan hukum pun dia tidak dapat ditentukan

hanya dengan salah satu aspek dari sekian banyak aspek. Pandangan fikih yang demikian itu

kemudian akan menghasilkan pemahaman yang parsial terhadap konteks waria dan berakibat

pula pada hukum yang akan diberlakukan

. Waria dalam kitab fikih disebut dengan khuntsa

yang berarti lembut dan pendar. Khustsa juga berarti seseorang yang diragukan jenis

kelaminnya, apakah laki- laki atau perempuan, karena memiliki alat kelamin laki- laki dan

perempuan secara bersamaan atau pun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat

kelamin laki- laki maupun perempuan.

29

27

. M. Haryadi, “ Orientasi Seksual dalam Tradisi Islam”, tabloid Sehat, 14 September 2001, hal 4

28

. Lies Marcoes- Narstir, “ Wandu, Wadam, Waria, Khuntsa, dan Apalagi...; Sebuah Pengantar Pemetaan Masalah Gender dan Seksualitas Kaum Pasangan Sejenis”, Tabloid Sehat, tahun IV no: 23, P3M, 2000, hal 3.

29

. Zunly Nadia, op. Cit., hal 86

(41)

Pemahaman tentang khuntsa di dalam fikih hanya mengacu pada kasus

waria-hermafrodit (dalam perspektif medis). Hal ini terjadi karena pada masa itu problem waria

hanya didapati pada kaum waria hermafrodit. Sementara untuk saat ini dalam konteks waria

terdapat berbagai macam kasus waria- hermafrodit sampai pada waria- transeksual ( yang

saat banyak mendominasi) dan transvestisme yang kesemuanya membutuhkan kejelasan

status dan hukum, baik dalam hukum negara maupun agama.30

Untuk kasus waria- hermafrodit acuan terhadap aspek lahir mungkin masih bisa

diberlakukan, namun untuk kasus waria transeksual dan waria transvestisme di mana kelainan

yang terjadi lebih pada aspek psikologi dan bukan pada hal- hal yang lahiriah maka mengacu

pada hal- hal lahiriah tetap akan menjadi problem baru jika hukum tersebut diputuskan dan

diberlakukan. Bagaimanapun juga fikih adalah produk interpretasi para ulama terhadap

syari’ah yang dikembangkan semenjak abad kedua Hijriah dan merupakan sebuah ajaran

non-dasar, bersifat lokal, elastis dan tidak pemanen.31

Hadis menjadi sumber otoritatif kedua setelah Al-Qur’an seperti tercermin dari

firman- firman Allah yang mewajibkan manusia untuk mengikuti wahyu-Nya dan Sunnah

Rasul-Nya. Hadis juga merupakan interpretasi awal terhadap Al-Qur’an yang berperan untuk

memberikan bimbingan di dalam praktik aktual umat Islam.

32

Dalam Musnad Ahmad bin

Hanbal kitab Musnad Bani Hasyim 1878, 2150, 2901, 2984, 2177, dan 327933

30

. Loc. cit

31

. Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al- Qur’an ( Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 290

32

. Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad (Bandung: Pustaka,1995), hal 45

33

. Abi ‘Abdillah Al- Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, jus II, hal 353

dan di dalam

Sunan Al- Darimy, kitabIsti’dzad 2535 diungkapkan bahwa Rasulullah Saw melaknat orang

yang berpenampilan menyerupai lawan jenisnya, serta orang yang memilih hidup melajang

tanpa ikatan perkawinan. Karena hal itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Yang dimaksud

(42)

perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki- laki, mereka harus dikeluarkan dari

rumah. Yang berarti mereka tidak diterima di dalam masyarakat dan tidak memiliki tempat di

surga. Berdasarkan hadis, maka waria-transeksual dan waria-transvestisme dimasukan ke

dalam golongan mukhannats yaitu pria yang dengan sadar dan sengaja memakai pakaian

wanita, dan wanita yang secara sadar dengan sengaja memakai pakaian pria sebagai

kesenangan dan melanggar kodrat, mereka ini diklaim sebagai orang terlaknat.

Masalah kejelasan status jenis kelamin waria menjadi momok yang belum

menemukan titik penyelesaian. Seringkali persoalan bila menyangkut waria, tidak

diperhatikan atau malah diabaikan. Sisi religi waria dianggap tidak pantas dan hanya kedok

untuk mendapatkan simpati. Padahal dalam kenyataannya, para waria benar- benar tulus

menjalani kehidupan agamanya dan mengharapkan penerimaan yang tulus dari pihak

keluarga, masyarakat dan pemerintahan. Ketakutan masyarakat terhadap akibat dari

penyimpangan waria dan kesulitan dalam memahami persoalan pribadi seorang waria

membuat banyak orang memilih untuk memusuhi dan ingin menghancurkan waria sampai ke

akar- akarnya.

Penerimaan waria dalam wacana masyarakat Muslim pada dasarnya berdasarkan hasil

produk hukum agama. Kekuatan agama menunjukan kemampuan menciptakan perubahan

sosial dalam masyarakat. Sebagai basis keyakinan dan iman masyarakat, agama mampu

mendorong pemeluknya untuk melihat realita sebagai obyek yang dijalani berdasarkan visi

teologis agama tersebut. Sedangkan dalam praktiknya perubahan yang di dorong oleh

semangat agama terkadang tidak sejalan dengan nilai kesucian agama tersebut.

Di bandingkan dengan produk agama, negara relatf lebih fleksibel dalam memandang

kehidupan waria, walaupun belum mampu menyentuh permasalahan yang lebih esensial di

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang dan sejarah berdirinya Yayasan Alpha Omega, untuk mengetahui kegiatan atau usaha apa yang dilakukan

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa sebelum Yayasan Sada Ahmo didirikan sangat banyak masyarakat di Kabupaten Dairi yang termarjinalisasi dalam

Penulis melakukan wawancara dengan Ketua Yayasan Kuntum Indonesia dan juga tiga pelaku UMKM yang berada di KWBT, dan mencari literatur mengenai latar belakang yayasan dan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) latar belakang remaja yang mengikuti pelatihan kewirausahaan (2) peran yayasan Kakak dalam pemberdayaan remaja

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa sebelum Yayasan Sada Ahmo didirikan sangat banyak masyarakat di Kabupaten Dairi yang termarjinalisasi dalam

Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran tingkat depresi pada lansia di Yayasan Pelayanan

Hasil analisis dan pembahasan menunjukkan bahwa yang menjadi latar belakang etnis Tionghoa menjadi korban pada peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta adalah

Penataan ruang dalam museum dibagi menjadi 5 bagian penting yaitu massa latar belakang kejadian, aksi perjuangan mahasiswa, tragedi Mei 1998, kerusakan dan