BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI DI JAKARTA 1998
SKRIPSI
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA : NORA SANTI BR SINAGA
NIM : 070706011
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembar Persetujuan Skripsi
BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI DI JAKARTA 1998
Yang diajukan oleh
Nama : Nora Santi br Sinaga
Nim : 070706011
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:
Pembimbing
Dra. Haswita, M.SP Tanggal,
NIP. 195101061981032001
Ketua Departemen Ilmu Sejarah
Drs. Edi Sumarno, M. Hum Tanggal,
NIP. 196409221989031001
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI DI JAKARTA 1998
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
Nora Santi br Sinaga
Nim 070706011
Pembimbing
Dra. Haswita, M.SP.
NIP. 195101061981032001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan
Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Ilmu Budaya
Dalam Bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembar Persetujan Ketua Departemen
Disetujui Oleh
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
Medan
Departemen Ilmu Sejarah
Ketua Departemen Ilmu Sejarah
Drs. Edi Sumarno M. Hum
NIP. 196409221989031001
Lembar pengesahan skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian
PENGESAHAN:
Diterima oleh:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Untuk Melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Fakultas Ilmu Budaya
Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya Usu Medan
Pada :
Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU
Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A.
Nip: 195110131376031001
Panitia Ujian:
No. Nama tandatangan
1. Drs. Edi Sumarno, M. Hum (………)
2. Dra. Nurhabsyah, M. Si (………)
3. Dra. Haswita, M. SP. (………)
4. Dra. Lila Pelita Hati, M. Si (………)
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Yesus Kristus Juruslamatku yang hidup,
yang telah memberi saya kekuatan untuk bertahan, cobaan untuk dihadapi, tantangan untuk
diatasi dan berkat untuk menyelesaikan segala persoalan yang seakan tidak pernah habis
namun selalu menemukan jalan keluar. Terima kasih, Tuhan Yesus. Penulisan skripsi ini
dibuat untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara di bidang Ilmu Sejarah.
Suatu kepuasan tak terucapkan yang penulis rasakan ketika berhasil menyelesaikan
sekelumit penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul: BERDIRINYA YAYASAN
SRIKANDI SEJATI DI JAKARTA 1998. Sebagai bentuk pencapaian selama menjalani
studi di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU. Banyak kenangan dan masa manis dan
suram yang penulis alami semasa kuliah yang memberi inspirasi dan dorongan serta
memotivasi penulis dalam penulisan skripsi ini. Tanpa bantuan banyak pihak yang senantiasa
mendukung dan tak jenuh menemani dan memotivasi terutama teman- teman dan juga staf
pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU maka skripsi ini mungkin takkan
rampung.
Penulis berharap agar tulisan ini dapat berguna bagi banyak pihak walaupun penulis
menyadari terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh karenanya segala
bentuk kritik dan saran sangat diharapkan penulis dari semua pihak sebagai dorongan
menyempurnakan penulisan sejarah.
Medan, Maret 2013
Nora Santi br Sinaga
ABSTRAK
Penulisan sejarah bertujuan merekonstuksi dan mencatat suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau dan mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan sehingga peristiwa tersebut tidak hilang tertelan waktu. Penulisan “Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati di Jakarta 1998” bertujuan untuk merekam peristiwa yang menjadi sejarah kontemporer bagi waria tentang organisasi pertama waria untuk menemukan eksistensinya. Mencoba memaparkan bagaimana latar belakang berdirinya Yayasan Srikandi Sejati, sehingga ditemukan rangkaian peristiwa proses berdirinya Yayasan Srikandi Sejati, kemudian pembaca mendapat gambaran bagaimana sistem pengelolaan Yayasan Srikandi Sejati.
Tujuan penelitian ini sendiri adalah agar diketahui latar belakang Yayasan Srikandi didirikan, sehingga pembaca dapat mengetahui alasan mengapa waria membutuhkan Yayasan Srikandi Sejati, dengan begitu segala perubahan yang muncul setelah adanya Yayasan Srikandi Sejati di dijelaskan apakah hal itu bersifat umum atau khusus bagi para waria saja. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi penulis maupun Organisasi atau LSM yag bergerak di bidang kemanusiaan terutama yang menaungi kaum marjinal,dengan begitu pengetahuan masyarakat tentang kaum marjinal terutama waria dapat terbuka.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih penulis ucapkan untuk Tuhanku Yesus Kristus yang tidak pernah
meninggalkanku dan memberiku keberanian untuk tetap berjuang dan bertahan serta
menyelesaikan segala persoalan dalam usaha menyelesaikan skripsi ini. Kata Syukur takkan
cukup untuk menyatakan kebaikan Allah Bapa dalam perjalanan hidup yang terkadang sangat
rumit. Terima kasih untuk Mamaku tercinta, engkau adalah hal terbaik yang diberikan Allah
di dalam hidupku.
Terima kasih untuk:
1. Keluarga penulis yang luar biasa, tempat saya tertawa dan menangis, tempat untuk
pulang di saat saya tak punya semangat lagi untuk berlari. Terima kasih buat
mamaku yang luar biasa yang menjadi motivasi terutamaku untuk berjuang
sampai akhir, untuk bapak yang sabar menanti anak pertamanya wisuda. Untuk
adik- adikku yang super metal, Kiong, Ijon, Santo dan Selin yang menemani saat-
saat bahagia dan susah, dan membawa senyuman setiap kali mengingat
kebersamaan bersama kalian. I love U all, Terima kasih karena tidak mengeluh
memiliki kakak seperti saya.
2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara
3. Ibu Dra. Dewi Murni selaku Dosen Wali saya selama kuliah dan kepada Ibu Dra.
Haswita selaku Dosen Pembimbing skripsi saya. Terima kasih telah bersabar
menghadapi saya dan atas bantuannya selama saya kuliah dan menyusun skripsi
dan maaf karena seringkali bersikap keras kepala dan merepotkan ibu Dewi dan
ibu Haswita.
4. Bapak Drs. Edi Sumarno, M. Hum, selaku Ketua Departemen Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya USU dan Ibu Dra. Nurhabsyah, Msi, selaku Sekretaris
Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU dan seluruh staf pengajar yang
tak bisa disebutkan satu persatu.
5. Saya ucapkan terima kasih untuk sahabat- sahabat terbaik saya yang tersebar di
Indonesia, Lenon, Laolies, dan Icha, Guardian Ranger’sku atas persahabatannya
ketemu dan mendengar suara tawa kita bersama, tapi kenangan bersama kalian
tetap menjadi bagian terbaik dalam masa kuliahku.
6. Teristimewa temen- temen satu kelas, satu angkatan dan satu perjuangan menjadi
sarjana walau masuknya bareng, tamatnya sendiri- sendiri yaitu 07fm yang luar
biasa. Buat Eta Ludika yang tidak pernah bosen menjadi sahabatku, April,
Hendrik, Azmi, Bona, David, Krisman, Togi, Shoji, Usman, Ucil, Astina, Ade
Putera, Geneton, Antonius, Pasrah, Siti, Iwan, Sari, Intan, Andika, Mohan, Sulis,
Okki, Naf’an, Judika, Okta, Asima, Meisia, Olida, Budi. Rumah keduaku,
terimakasih telah menerimaku apa adanya.
7. Hasianku yang tak perlu disebut namanya, terima kasih untuk senyumanmu yang
mampu mengubah suasana hatiku dan kesediaanmu menjadi samsakku.
8. Terkasih adik kelasku semua angkatan terutama tujuh orang anak ayamku, Hap-
hap, Nawan, El, Ibel, Weny, Halimah dan Komting. Terima kasih karena bersedia
menemaniku di tahun terakhirku, kalian memberi corak tersendiri dalam
kehidupanku dan menjadi salah satu alasanku harus tamat.
9. Terkasih sahabat- sahabatku sewaktu SMA yang sampai sekarang belum
melupakan saya dan tetap setia menjadi sahabat terbaik di Jakarta, Oktarianda,
Rezky, dan Fiona.
10.Ibu Leny Sugiharto selaku Direktur Yayasan Srikandi Sejati dan informan utama,
Ibu Maya Tatang aktivis Yayasan Srikandi Sejati yang membuka jalan bagi saya
untuk masuk ke dalam YSS, juga untuk Dave dari Arus Pelangi yang banyak
banget membantu dan memberi informasi.
Dengan rasa syukur saya ucapkan terima kasih dan saya berdoa semoga Tuhan Yesus
yang paling baik, akan membalas kebaikan kalian semua dan senantiasa memberkati kita
semua serta memberikan apa yang kita butuhan.
Medan, Maret 2013
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI
LEMBAR PENGESAHAN DEKAN
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
1.4 Tinjauan Pustaka ... 7
1.5 Metode Penelitian ... 9
BAB II Latar Belakang Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati ... 11
2.1 Waria Dalam Kajian Sejarah Kebudayaan ... 11
2.2 Pandangan Masyarakat Terhadap Waria ... 14
2.3 Kondisi Ekonomi Waria ... 24
2.4 Pandangan Agama Terhadap Waria ... 27
BAB III Proses Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati ... 33
3.1 Jakarta Sebagai Tujuan Urbanisasi ... 33
3.2 Sejarah Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati ... 37
3.3 Kendala Dalam Proses Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati ... 42
BAB IV Yayasan Srikandi Sejati ... 47
4.1.1 Visi Yayasan Srikandi Sejati ... 47
4.1.2 Misi Yayasan Srikandi Sejati ... 47
4.1.3 Kepengurusan Yayasan Srikandi Sejati ... 48
4.2 Peranan Yayasan Srikandi Sejati ... 48
4.2.1 Bidang Kesehatan ... 50
4.2.2 Bidang Kemanusiaan ... 51
4.2.3 Bidang Ekonomi ... 52
4.2.4 Bidang Agama ... 53
4.2.5 Bidang Hiburan ... 54
BAB V Kesimpulan dan Saran ... 55
Kesimpulan ... 55
Saran ... 58
DARTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Penulisan sejarah bertujuan merekonstuksi dan mencatat suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau dan mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan sehingga peristiwa tersebut tidak hilang tertelan waktu. Penulisan “Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati di Jakarta 1998” bertujuan untuk merekam peristiwa yang menjadi sejarah kontemporer bagi waria tentang organisasi pertama waria untuk menemukan eksistensinya. Mencoba memaparkan bagaimana latar belakang berdirinya Yayasan Srikandi Sejati, sehingga ditemukan rangkaian peristiwa proses berdirinya Yayasan Srikandi Sejati, kemudian pembaca mendapat gambaran bagaimana sistem pengelolaan Yayasan Srikandi Sejati.
Tujuan penelitian ini sendiri adalah agar diketahui latar belakang Yayasan Srikandi didirikan, sehingga pembaca dapat mengetahui alasan mengapa waria membutuhkan Yayasan Srikandi Sejati, dengan begitu segala perubahan yang muncul setelah adanya Yayasan Srikandi Sejati di dijelaskan apakah hal itu bersifat umum atau khusus bagi para waria saja. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi penulis maupun Organisasi atau LSM yag bergerak di bidang kemanusiaan terutama yang menaungi kaum marjinal,dengan begitu pengetahuan masyarakat tentang kaum marjinal terutama waria dapat terbuka.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ilmu Sejarah merupakan disiplin ilmu yang membahas segala kejadian yang terjadi
pada masa lampau yang berhubungan dengan kegiatan manusia. Dengan mencatat dan
merekonstruksi ulang setiap kegiatan yang di lakukan manusia pada masa lampau, maka
sejarah mampu mengurai peristiwa kekinian untuk memberi gambaran umum masa depan.
Dalam merekonstruksi kembali peristiwa masa lampau, segala kegiatan yang di lakukan
manusia, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, agama, termasuk segala sesuatu yang
memberikan maupun membentuk nilai dalam kemasyarakatan, mampu menjadi petunjuk
tentang bagaimana masa depan yang mungkin terjadi.
Proses sejarah menjadi sesuatu yang kompleks, sebab terjadi interaksi dari berbagai
unsur yang saling mempengaruhi dan saling ketergantungan diantara unsur- unsur tersebut.
Dalam memahami suatu proses sejarah, penelitian dan penulisan sejarah merupakan usaha
untuk merekonstruksi ataupun menulis kembali peristiwa sejarah dan menyusunnya menjadi
sebuah historiografi yang lengkap. Historiografi tidak hanya sekedar usaha penyuntingan
ulang sebuah kisah lampau. Agar menjadi sebuah disiplin ilmu, historiografi harus
berkembang dengan menggunakan metode dan pendekatan ilmu- ilmu sosial. Sebab dengan
menggunakan pendekatan ilmu sosial ruang lingkup sejarah tidak lagi dibatasi oleh
pertanyaan tentang proses, tapi juga berbicara tentang struktur. Sejarah yang semula bersifat
kisah yang hanya membahas deskriptif dan diakronik mulai menuju ke arah tulisan yang
analitis dan sikronis. Dari berbagai tema penulisan sejarah, tema tentang sejarah sosial
dan berbagai aktifitasnya sebagai bahan kajian baik peristiwa yang bersifat lokal maupun
nasional.
Sosial sebagai bidang kajian terluas dan paling beragam memberi historiografi ruang
untuk mengkaji berbagai peristiwa dalam sejarah sebagai materi kajiannya. Sejarah yang
bersifat kontemporer membuka celah bagi sejarah untuk mengupas dan membahas berbagai
peristiwa kekinian yang memenuhi syarat- syarat penulisan sejarah. Isu gender yang semakin
berkembang dewasa ini, merupakan salah satu kajian yang menarik bagi historiografi
menurut sudut pandang sejarah terjadinya. Berkembangnya isu gender tentang persamaan hak
antara laki- laki dan perempuan, isu tentang SARA, isu yang berkaitan dengan diskriminasi
kelompok minoritas seperti LGBT merupakan peristiwa yang menuai kontroversi dari
berbagai sudut pandang termasuk sejarah.
Di tengah masyarakat Indonesia yang mengenal dan mengakui dua jenis gender
(kontruksi sosial bentukan masyarakat yang membedakan antara jenis kelamin laki- laki dan
perempuan), maka keberadaan transgender (seseorang yang mempunyai sifat dan sikap yang
tidak sesuai dengan gendernya) yaitu waria menjadi momok yang menakutkan bagi
masyarakat mapan yang mengetengahkan ajaran agama sebagai pedoman hidup. Masyarakat
pada umumnya merasa terancam dengan keberadaan waria sebab takut tertimpa hukuman
akibat dosa yang dilakukan oleh waria karena dianggap melakukan penyimpangan kodrat.
Hal ini cenderung memicu perlakuan kasar dan semena- mena dari masyarakat sebagai usaha
untuk menyadarkan kaum waria dari penyimpangannya. Masyarakat percaya bahwa
kekerasan akan mendorong waria untuk bertobat dari kewariaannya. Kurangnya pengetahuan
dan kesadaran masyarakat akan fakta- fakta yang berkenaan dengan waria membuat
masyarakat menilai positif tindakan kekerasan yang mereka lakukan sehingga menghilangkan
Kecurigaan berlebihan yang timbul akibat keberadaan waria, disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang waria. Paradigma (kerangka berfikir) yang
berkembang ialah waria sebagai penyakit yang bisa menular, sehingga masyarakat takut
untuk mendekati apalagi bergaul dengan waria, bahkan untuk bertetangga dengan mereka
karena ajaran agama yang dianut secara umum, mengajarkan bahwa penyimpangan kodrat
adalah dosa. Sulitnya mencari pekerjaan merupakan hal biasa yang dialami waria, sehingga
banyak waria yang bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), agar bisa bertahan hidup.
Mereka hampir tidak memiliki alternatif pilihan pekerjaan akibat steriotip (konsepsi tentang
suatu kelompok yang didasarkan pada prasangka yang subyektif dan tidak tepat) yang ada di
masyarakat.
Kekerasan, kesulitan dalam pekerjaan, dan ketidakpedulian masyarakat menambah
daftar panjang hal negatif menyangkut waria. Di tambah lagi tidak adanya tanggapan
positif-negatif mengenai keberadaan waria dari pemerintah. Tidak adanya usaha perlindungan
terhadap hak waria dan kurang ditekankannya kewajiban bagi masyarakat umum terhadap
waria, menimbulkan kesulitan yang sangat banyak bagi waria. Waria yang mengalami
penganiayaan dan tindak kekerasan kurang dipedulikan dan kesehatan mereka sangat tidak
diperhatikan, akibat dari stigmatisasi (proses indentitas sosial yang hilang sehingga
disingkirkan dari pergaulan) dan steriotip yang cenderung mengabaikan penderitaan mereka
dan menganggap hal itu sebagai bentuk hukuman dari jalan hidup yang mereka pilih sendiri.
Menilik usaha dan kerja keras waria untuk dapat diterima di tengah keluarga dan
masyarakat. Serta perjuangan mereka dalam menentukan jati diri, eksistensi dan penerimaan
mereka terhadap penolakan yang di lakukan masyarakat, mendorong penulis untuk
mengungkap sisi lain dari waria di luar konsep yang secara umum tertanam dalam benak
Melihat kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa waria membutuhkan dampingan
dan dukungan untuk mampu mandiri di dalam bermasyarakat, menjadi motivasi untuk
meneliti dan melakukan penulisan yang bersifat ilmiah tentang komunitas- komunitas yang di
bangun untuk melindungi dan menolong waria dari tindakan diskriminasi. Masa di mana
militer memegang peran penting, sehingga kekerasan sering digunakan untuk mengendalikan
situasi dan keamanan.
Pentingnya sosialisasi tentang bahaya dari penyakit HIV/ AIDS dan membantu
mereka yang terinfeksi dalam menghadapi penyakit tersebut, mendorong di bangunnya satu
lembaga khusus yang mengfokuskan diri untuk membantu para waria dalam mengatasi
masalah tersebut. Kurangnya pemahaman waria sendiri akan peliknya masalah ini,
menjadikan masalah kesehatan akibat seks bebas menjadi fokus utama yang menjadi
perhatian lembaga tersebut.
Hal ini yang menginspirasi dan mendorong penulis untuk menulis tentang “
Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati di Jakarta 1998 ” yang merupakan organisasi berbentuk
yayasan pertama di Indonesia yang mendapat legalitas (keabsahan) dari pemerintah untuk
mewadahi dan menampung aspirasi waria bukan hanya di Jakarta tetapi juga di Indonesia.
Melalui Yayasan Srikandi Sejati (YSS), waria mendapat pengetahuan lebih terutama di
bidang kesehatan mengenai HIV/ AIDS, dan mendapat bantuan kesehatan. Juga mendapat
banyak penyuluhan dan pelatihan keterampilan kerja. Serta menyelenggarakan pertunjukan
kesenian dalam rangka pengumpulan dana untuk membantu masyarakat yang kurang mampu.
Berdasarkan S.K. Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. : M- 135 – HT. 03.05 – Th.
1986 tgl. 9 – 12 – 1986.
Semua usaha ini dilakukan untuk membangun kepercayaan masyarakat bahwa waria
dalam diri waria bahwa mereka memiliki wadah inspirasi yang akan menolong dan
memberikan masukan untuk hal- hal yang kurang mereka pahami terutama di bidang
kesehatan. Seperti pencegahan penyakit tertentu dan bagaimana mengatasinya.
Yayasan Srikandi Sejati mencoba memberi dampingan berwirausaha bagi para waria
agar mereka memiliki keterampilan khusus, sehingga mampu bekerja di sektor informal,
seperti membuka salon atau berjualan jamu. Juga mengadakan kegiatan yang bersifat
keagamaan, seperti merayakan lebaran atau natal bersama. YSS juga mengadakan seminar-
seminar sosialisasi mengenai HIV/AIDS, bahaya dan pencegahannya. Di samping itu mereka
juga mengadakan dampingan di lapangan untuk mengetahui kebutuhan dan memberi
informasi kabar terkini seputar komunitas mereka. Mereka juga berusaha memberikan
bantuan hukum atau menuntut keadilan bagi waria yang mengalami diskriminasi.
Semakin besarnya peluang bagi waria untuk mengekspresikan diri dengan cara yang
positif dan adanya dukungan dari keluarga, masyarakat serta kesempatan yang muncul sejak
era reformasi membuka jalan bagi waria untuk membentuk organisasi yang di bentuk dan
diperuntukan untuk mengorganisir kebutuhan mereka berorganisasi dan membentuk
kelompok yang mampu menyatukan mereka. Melindungi dan mewadahi tiap kebutuhan
mereka terutama bidang kesehatan.
2. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan penulisan dalam upaya melakukan penelitian yang objektif, maka
pembahasannya difokuskan pada masalah-masalah berikut :
1. Bagaimana latar belakang berdirinya Yayasan Srikandi Sejati?
3. Bagaimana sistem pengelolaan Yayasan Srikandi Sejati?
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Mengetahui apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji oleh penulis maka
yang menjadi kajian permasalahan adalah tujuan penulis dalam penelitian ini, serta manfaat
yang didapatkan dari hasil penulisan.
Tujuan penulisan ini adalah:
1. Mengetahui latar belakang Yayasan Srikandi Sejati didirikan.
2. Memaparkan alasan- alasan pentingnya keberadaan Yayasan Srikandi Sejati bagi
para waria di Jakarta maupun Indonesia secara umum.
3. Menunjukkan perubahan yang muncul sejak Yayasan Srikandi Sejati didirikan
baik bagi waria secara khusus atau masyarakat secara umum.
Adapun manfaat penulisan tersebut ialah:
1. Menambah literatur bagi penulis maupun pembaca tentang Organisasi atau LSM yang
bergerak di bidang kemanusiaan terutama yang menaungi kaum marjinal misalnya
waria,
2. Dapat dijadikan bahan reverensi untuk penulisan selanjutnya mengenai waria dalam
penulisan sejarah ataupun penulisan lainnya yang berhubungan,
3. Menambah pengetahuan masyarakat tentang kaum marjinal dan membuka wawasan
4. Tinjauan Pustaka
Untuk mendukung penulisan tersebut terdapat beberapa buku yang dapat dijadikan acuan
yaitu:
Buku karangan Zunly Nadia yang berjudul Waria Laknat atau Kodrat yang
memberikan gambaran lebih jelas mengenai pandangan agama terutama agama Islam selaku
agama mayoritas yang dianut rakyat Indonesia tentang waria. Dalam buku ini dijelaskan
mengenai beberapa penyimpangan seksual, berbagai pandangan tentang waria, ruang sosial
waria dan waria dalam lintasan sejarah.
Juga tentang hadis dan fikih mengenai waria dan peraturan bagi waria dalam Islam
baik dalam hukum dan pengadilan maupun soal hak warisan. Secara tidak langsung buku ini
menunjukan masalah waria sudah ada bahkan sejak jaman nabi, dan bahwa ada peraturan
yang bersikap lebih toleran terhadap keberadaan waria melalui hadis dan fikih.
Waria di dalam kitab fikih disebut khuntsa.1 Khuntsa juga berarti seseorang yang
diragukan jenis kelaminnya, apakah laki- laki atau perempuan, karena memiliki alat kelamin
laki- laki dan perempuan secara bersamaan atau pun tidak memiliki alat kelamin sama sekali,
baik alat kelamin laki- laki maupun perempuan.2 Di terangkan bahwa dalam hal warisan
maupun pengadilan seorang khuntsa memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dari seorang
pria ataupun wanita. Dengan demikian, selama hukum fikih masih mengacu pada hal- hal
yang lahir ( aspek jasmani), maka untuk kasus waria- transeksual, waria- transvestisme
sampai saat ini masih belum ada kejelasan hukum.3
1
Zunly Nadia, Waria Laknat atau Kodrat, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2005) hlm. 80
2
Ibid., hlm 81 3
Ibid., hlm 86
Dengan adanya pembakuan hukum
dalam kitab- kitab fikih secara otomatis masalah waria menjadi semakin kompleks pada masa
dan acuan yang menjadi representasi dari hukum Tuhan yang baku, dimana posisi fikih
seolah sejajar dengan Al- Qur’an itu sendiri. Sedemikian besar pengaruh fikih dalam
konstruksi masyarakat sehingga tanpa adanya rekonstruksi fikih pemahaman masyarakat
terhadap realitas sosial yang ada pada saat ini akan tetap parsial karena mengabaikan konteks
yang melingkupinya.4
Ariyanto dan Rido Triawan dalam bukunya Hak Kerja Waria : Tanggung Jawab
Negara memaparkan tentang fakta- fakta kehidupan yang dialami waria di Indonesia,
terutama tentang sikap keluarga dan lingkungan terhadap mereka. Banyak kekerasan fisik
maupun verbal yang di alami waria sejak mereka menyatakan diri sendiri sebagai perempuan.
Juga dalam perihal pekerjaan mereka mengalami diskriminasi. Dari semua waria yang
terpaksa harus mencari dan menemukan cara untuk menghidupi dirinya di sektor informal di
pinggir- pinggir jalan sebagai PSK, sulit dibantah hal itu disebabkan karena perlakuan
diskriminatif dan intoleran yang terus bertahan dalam aparatur negara negara maupun
perusahaan- perusahaan negara dan swasta.
5
Ariyanto dan Rido Triawan dalam bukunya yang lain yang berjudul Jadi, Kau Tak
Merasa Bersalah mengupas secara mendalam mengenai kebijakan yang diskriminatif,
perkembangan Internasional mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan
Interseksual (LGBTI), dan pemahaman tentang diskriminasi. Dalam buku ini juga pembaca
bisa melihat contoh kasus kekerasaan yang di alami oleh waria yang terjadi di Indonesia di
tengah masyarakat kita yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).
Ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib kelompok LGBTI, membuat kelompok LGBTI
rentan terhadap diskriminasi dan pelecehan serta pelanggaran Hak Asasi Manusia. Undang-
undang yang berlaku di negara belum ada yang sepenuhnya memihak pada kepentingan
4
. Ibid., hlm 88
5
Ariyanto dan Rido Triawan, Hak kerja Waria : Tanggung Jawab Negara, (Jakarta: Arus Pelangi,
kelompok minoritas. Pembedaan berdasarkan gender masih sering terjadi bukan hanya
terhadap para wanita tetapi juga waria. Waria seringkali menjadi pihak yang dipersalahkan
dan diperlakukan tidak adil, sedangkan aparatur penegak hukum seakan tidak peduli dan
tidak mau tahu terhadap nasib kaum minoritas termasuk waria.
Kasus- kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami kaum minoritas seperti
Waria seringkali diabaikan bahkan tidak diproses. Kaum LGBTI seringkali diperlakukan
dengan kasar dan semena- mena seperti seorang penjahat. Tidak jarang, kaum minoritas
tersebut dijadikan kambing hitam dan mereka kesulitan mendapatkan bantuan hukum. Usaha-
usaha yang dikalukan guna mendapatkan keadilan justru mendapat hambatan dan tidak
dipedulikan.
5. Metode Penelitian
Dalam melakukan penulisan sejarah yang deskriptif analitis harus melalui langkah-
langkah tertentu. Langkah pertama heuristik (pengumpulan sumber) yang sesuai dan
mendukung sumber objek yang diteliti. Penelitian kepustakaan dengan menggunakan
beberapa buku, majalah, artikel-artikel, skripsi dan karya tulis yang pernah ditulis
sebelumnya berkaitan dengan judul yang dikaji. Lalu penelitian lapangan dilakukan dengan
menggunakan metode wawancara terhadap pimpinan sekaligus pendiri Yayasan Srikandi
Sejati yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini.
Langkah kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini kritik dilakukan
terhadap sumber yang telah dikumpulkan untuk mencari keabsahan sumber tersebut dari segi
isi yaitu dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis misalnya buku-buku atau
Mengkritik dari segi materinya untuk mengetahui asli- tidaknya sumber tersebut agar
autentik sifatnya, kritik ini disebut kritik ekstern.
Langkah ketiga adalah interpretasi, di sini data yang diperoleh dianalisis kembali
sehingga menjadi satu analisis baru yang bersifat lebih objektif dan ilmiah. Pada tahap ini
subjektivitas penulis harus dihilangkan, paling tidak dikurangi agar analisis menjadi lebih
akurat.
Langkah terakhir adalah historiografi, yakni menyusun kembali kesaksian yang dapat
dipercaya menjadi satu kisah atau kajian yang menarik namun akurat dan berusaha
mengetengahkan aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah
deskriptif analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta yang ada untuk
memperoleh penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah.
Dalam fase heuristik, selain mengumpulkan bahan-bahan seperti telah dipaparkan di
atas, juga digunakan ”ilmu-ilmu bantu” yang relevan dengan fokus penelitian. Ilmu bantu
mempunyai fungsi yang esensial yang digunakan para sejarawan untuk mendukung penelitian
dan penulisan sejarah sebagai suatu karya ilmiah. Ilmu bantu tersebut dalam ilmu-ilmu sosial
seperti sosiologi, psikologi, antropologi, politikologi, ekonomi, dan lain sebagainya.
Konsep-konsep dari ilmu sosial membantu atau menjadi alat (tools) untuk kajian sejarah yang
analitis-kritis ilmiah.6
Pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang memberikan karakteristik
“ilmiah” kepada sejarah. Penggunaan berbagai konsep disiplin ilmu sosial lain ini
memungkinkan suatu masalah dapat ditinjau dari berbagai dimensi sehingga pemahaman
tentang masalah itu, baik keluasaan maupun kedalamannya, akan semakin jelas.7
6
Helius Sjamsuddin, Metologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2007, hal. 240-241; 267. 7
BAB II
LATAR BELAKANG BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI
.
2.1. Waria Dalam Kajian Sejarah Kebudayaan
Sulit untuk menentukan kapan dan dimana sejarah kebudayaan waria mulai muncul.
Sejarah belum mampu mencatat secara pasti kapan waktu yang akurat. Sepertinya waria
belum masuk ke dalam lingkungan peradaban manusia normal. Sebab keberadaan mereka
belum di pandang sebagai suatu fenomena sejarah dan peradaban. Namun, budaya waria
tidak muncul begitu saja sebagai akibat modernisasi seperti sangkaan banyak orang, yang
menuduh bahwa mordernisasi menyebabkan kelainan- kelainan seksual seperti homoseksual
sebagai imbasnya.
Dalam sejarah bangsa Yunani memang tercatat adanya waria. Di jaman pertengahan,
seperti yang pernah direkam Hipocrates, telah muncul beberapa waria kelas elite seperti Raja
Henry III dari Prancis, Abbe de Choissy Duta Besar Prancis di Siam, serta Gubernur New
York tahun 1702, Lord Cornbury. Mereka berdandan laiknya perempuan. Karena beberapa di
antaranya adalah orang- orang terpandang, maka atribut mereka tidak ditampakkan dalam
kehidupan sehari- hari. Menurut catatan itu, mereka adalah laki- laki berjiwa perempuan,
dengan pakaian perempuan dan lebih senang di anggap perempuan8
Siapakah waria? Waria adalah seseorang yang terlahir dengan jenis kelamin laki- laki
yang dalam proses pertumbuhannya menunjukan sifat keperempuanan yang lebih menonjol
dan pada masa dewasanya menyatakan diri sebagai perempuan dan berdandan selayaknya
perempuan pada umumnya. Kartini Kartono dalam bukunya Psikologi Abnormal dan
Abnormalitas Seksual, mengatakan bahwa istilah waria berasal dari kata ”wanita-pria”, .
8
disamping itu mendapat sebutan lain seperti wadam ( hawa-adam) atau banci9
Berdasarkan kajian sejarah kebudayaan, terdapat beberapa kebudayaan dimana waria
diasosiasikan dengan kekuatan spiritual yang lebih tinggi, seperti mediasi antara dewa dan
manusia. Dalam banyak kasus, gabungan laki- laki dan perempuan ini juga diasosiasikan
dengan kesuburan dan kesejahteraan komunitas secara keseluruhan
. Umumnya
waria bersikap dan memiliki perasaan yang halus seperti perempuan dan hal itu menimbulkan
rasa tidak nyaman bagi masyarakat umum yang menganggap mereka sebagai laki- laki yang
semestinya bersikap keras dan tegas.
10
. Bentuk seksualitas
sakral ini ditemukan penggunaannya dalam tantrisme, Taotisme, juga praktik spiritual di
Eropa, balkan dan Asia kuno11. Kebudayaan kuno tersebut menjadikan waria sebagai sesuatu
yang suci dan dihormati. Pada bangsa Turco- Mongol di gurun Siberia, dukun pria pada
umumnya berpakaian wanita, mereka umumnya mempunyai daya linuwih12, dan sangat
ditakuti orang. Dukun- dukun semacam ini juga dapat di jumpai di Malaysia, Sulawesi,
Patagona, Kepulauan Aleut, dan beberapa suku Indian Amerika Utara. Suku Indian Sioux dan
Crow, misalnya mengenal pria berpakaian wanita yang disebut berdache13
Di Indonesia juga terdapat beberapa kebudayaan yang mengenal, menghormati dan
mengasosiasikan waria sebagai pendeta misalnya Bissu di masyarakat Bugis, Sulawesi dan
Warok di Ponorogo, Jawa Timur. Dalam masyarakat Bugis terdapat lima gender yaitu: laki-
laki, perempuan, calabai, calalai dan bissu. Calabai adalah laki- laki yang bersikap seperti
perempuan, melakukan pekerjaan perempuan dan kerap memiliki pasangan laki- laki. Cabalai
umumnya melakukan berbagai fungsi dalam perayaan pernikahan. Calalai adalah perempuan
.
9
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Sexual, 1989 ( Bandung: CV. Mandar Maju ) hal 265
10
Saskia E. Wieringa, Jurnal Gandrung, vol 1 no.12, Desember, 2010 ( Surabaya: Yayasan GAYa NUSANTARA) hal 26
11
Loc.cit 12
. Daya linuwih adalah kemampuan yang luar biasa yang dimiliki oleh dukun pria dan biasanya sangat ditakuti.
13
yang berpenampilan seperti laki- laki dan hidup bersama pasangan perempuannya dan
melakukan peran seperti laki- laki. Namun mereka tidak berperan dalam upacara- upacara
dan saat ini sudah jarang ditemukan. Cabalai bisa menjadi Bissu. Bissu mempunyai fungsi
ritual yang sangat penting, mereka adalah penjaga pusaka kerajaan dan dalam fungsi tersebut
mereka dipandang sebagai biseksual, karena pusaka- pusaka ini memerlukan persatuan
dengan lawan jenis. Maka Bissu dianggap sebagai “ pasangan hermafrodit pusaka”14
Bissu adalah seniman yang juga pendeta agama Bugis kuno (Sulawesi Selatan) pra-
Islam yang makin berkurang personilnya. Umumnya mereka adalah pria yang bersifat
kewanitaan ( calabai/ waria) dan dalam kehidupan keseharian selalu tampil sebagai wanita.
Walaupun Bissu adalah waria, mereka bukan waria biasa. Untuk menjadi Bissu, seorang
waria harus ditasbihkan (irebba) terlebih dahulu. Mereka memiliki kesaktian dan peran dalam
upacara- upacara ritual. Mereka juga memiliki kedudukan dalam masyarakat sebagai penjaga
pusaka keramat (arajang) di istana yang dipercayai dihuni oleh roh- roh nenek moyang.
Tradisi transvestite (laki- laki yang berperan sebagai perempuan) dalam masyarakat Bugis
sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu
.
Status gender dan seksual ambigu Bissu sejak dulu hingga sekarang masih sangat
dihargai. Dalam peran- peran ritual, Bissu mengambil kondisi androgini yang simbolik guna
memastikan kesejahteraan dan kemakmuran penguasa dan komunitasnya. Terdapat juga
kemiripan peran Bissu dengan Basir atau Balian pada Dayak Ngaju di Kalimantan. Balian
adalah penyembuh dan peramal sakti yang berpakaian seperti perempuan.
15
Sekitar 1950 hingga 1965, meletus pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) yang berusaha keras menghapuskan dan melarang semua yang dianggap
setelah peristiwa tragis yang dialami para Bissu selama Orde Lama dan Orde Baru. Tokoh
DI/TII di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakar, menganggap kegiatan para Bissu termasuk
menyembah berhala. Karena itu, kegiatan, alat- alat upacara dan para pelakunya diberantas.
Ribuan perlengkapan upacara dibakar atau ditenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun)
dan Bissu dibunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras. Penderitaan ini masih
berlanjut pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Gerakan pembantaian besar- besaran itu
diberi nama Operasi Toba (Operasi Taubat) yang dilancarkan pada masa Orde Baru antara
1965- 1967.16
Meskipun demikian, masih ada lagi budaya lain di Indonesia yang mengenal tradisi
waria dalam kesenian tradisional yaitu masyarakat Jawa Timur yang berkecimpung dalam
dunia seni Warok di Ponorogo dan kesenian pentas tradisional Ludruk17
Indonesia merupakan negara yang berbasis agama. Penduduk Indonesia diwajibkan
menganut salah satu dari agama yang dinyatakan sah oleh negara. Oleh karena itu, banyak
pandangan dan nilai- nilai yang berlaku di masyarakat merupakan nilai moral berdasarkan
keyakinan agama. Agama mengajarkan tentang dua jenis kelamin yaitu laki- laki dan
termasuk tari
ngremo dan gadrung. Hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan sikap tabu terhadap
kontak dengan wanita di luar pernikahan yang sah. Lain halnya dengan budaya keraton Jawa
di jaman Mataram. Waria termasuk dalam kelompok yang justru memiliki daya linuwih
karena kelainan yang dialaminya, sehingga mereka tidak disingkirkan namun menjadi simbol
kegaiban.
2.2 Pandangan Masyarakat Terhadap Waria
16
Wawancara dengan Fitri
17
perempuan sehingga keberadaan waria terasa asing dan sulit diterima. Dalam agama Islam
maupun Kristen yang memiliki banyak penganut, menjadi waria merupakan dosa, sehingga
menjadi aib bagi keluarga bila ada seorang laki- laki yang terlahir sebagai waria. Hal yang
seringkali terjadi adalah upaya menghindari aib dan dosa yang dilakukan keluarga dan
masyarakat menyebabkan diskriminasi terhadap waria.
Seorang anak laki- laki yang terlahir sebagai waria, tidak selalu menunjukan gejala
perbedaan sejak kecil. Umumnya ‘kelainan’ terlihat saat dia akil balig lalu berlanjut pada
keinginan mencari identitas diri karena merasa tidak nyaman dengan peran laki- laki yang
disandangnya. Waria di masa kanak- kanaknya lebih suka bermain bersama anak perempuan
dan memainkan permainan anak perempuan. Dia merasa tidak nyaman dengan permainan
anak laki- laki yang cenderung lebih keras dan kasar. Dan tak mengerti dengan selera
permainan laki- laki yang lebih agresif dibandingkan anak perempuan.
Di masa remajanya seorang waria semakin merasakan krisis identitas yang dirasa
sebagai ‘kekosongan’. Dia lebih tertarik pada sesama jenisnya. Dan memiliki perasaan dan
keinginan layaknya perempuan. Dengan fisik yang terlahir sebagai laki- laki, seorang waria
semakin merasa berbeda dengan lingkungannya yang menuntutnya memerankan figur
seorang laki- laki yang tegas dan berkarisma.
Di masa dewasanya, kebanyakan waria dengan berani menyatakan dirinya sebagai
bukan laki- laki namun juga tidak memiliki fisik sebagai perempuan sehingga muncul
sebutan waria. Beberapa diantaranya mengubah penampilan menyerupai perempuan dengan
rambut panjang dan berpakaian seperti perempuan umumnya. Sebagian lagi tetap
berpenampilan seperti laki- laki dengan rambut pendek namun terkadang memakai pakaian
Penampilan fisik waria yang tidak umum dan sulit diklasifikasikan sebagai satu dari
jenis kelamin yang dikenal umum menimbulkan perasaan asing dan sulit menerima
dikalangan keluarga dan masyarakat. Seringkali ketika seorang anak laki- laki menunjukan
gejala yang berbeda dibanding anak laki- laki lainnya, si anak menerima perlakuan kasar
sebagai reaksi atas perilakunya yang berbeda.
Ada beberapa pendapat berbeda yang beredar di kalangan masyarakat maupun para
ahli tentang penyebab “waria” muncul. Sebagian percaya, berdasarkan pengalaman empiris
bahwa seseorang menjadi waria disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Akibatnya waria
dianggap sebagai bentuk dari kelainan jiwa, dan harus diklasifikasikan sebagai pengidap sakit
jiwa yang perlu ditangani oleh ahli jiwa di Rumah Sakit Jiwa. Sebagian lagi berpendapat,
berdasarkan penelitian terhadap gen manusia bahwa seseorang menjadi waria bukan karena
lingkungan melainkan akibat kelebihan kromosom tertentu, dan kekurangan testoteron dalam
darah sehingga ciri- ciri kewariaan muncul dalam diri seseorang. Dengan teori ini maka waria
tidak diklasifikasikan ke dalam kelainan jiwa tapi kelainan gen sehingga seorang waria tidak
termasuk dalam kategori pengidap kelainan jiwa, dan tidak perlu perawatan di Rumah Sakit
Jiwa.
Peta kelainan seksual dalam pandangan ilmu biologi terbagi dalam dua penggolongan
besar. Pertama, kelainan seksual karena kromosom18. Dari kelompok ini, seseorang ada yang
berfenotip pria dan yang berfenotip wanita. Kelainan pada laki- laki disebut sindroma
klienfelter19
18
. Kromosom adalah salah satu bagian dari dalam tubuh (yang berjumlah 46 bagi manusia normal) yang terdapat dalam nukleus sel, yaitu pembawa gen, berbentuk filamen kromatin yang lembut pada tahap awal yang kemudian mengkerut untuk membentuk sebuah silinder padat yang terbagi dalam dua lengan pada tingkat metafhase dan anafhase pada bagian sel dam mampu mereproduksi struktur kimia dan fisika secara terus- menerus.
19
. Sindroma klienfelter adalah kelainan kromosom, berupa tambahan satu atau dua kromosom X pada inti setiap sel seorang bayi laki- laki.
. Hal ini disebabkan oleh kelebihan kromosom X, bisa XXY, atau XXYY atau
pada saat meiosis20yang pertama dan kedua. Hal ini disebabkan usia ibu yang mempengaruhi
proses reproduksi21
Di samping itu, perbedaan jenis kelamin juga ditentukan oleh ada tidaknya badan
kromatin
oleh karena itu semakin tua usia seorang ibu, maka akan semakin tidak
baik proses pembelahan sel dan akibatnya semakin besar kemungkinan menimbulkan
kelainan seks pada anaknya.
22
Jumlah seks kromatin pada seseorang yang mempunyai kelainan kromosom seperti
waria transeksual
yang sering disebut kromatin kelamin atau seks kromatin. Seks kromatin terdiri
dari salah satu dari dua buah kromosom X yang terdapat dalam inti sel tubuh wanita, yang
berarti sebuah kromosom X yang nonaktif. Jika wanita normal mempunyai dua kromosom X,
maka ia memiliki sebuah seks kromatin positif. Sebaliknya, laki- laki hanya mempunyai
sebuah kromosom X saja oleh sebab itu ia tidak mempunyai seks kromatin sehingga bersifat
seks kromatin negatif.
23
Kedua, kelainan seksual yang bukan karena kromosom. Ditilik dari cara berpakaian,
waria dimasukan ke dalam dua kelompok yaitu, seorang transvestisme dan transeksualisme.
Transvestisme adalah sebuah nafsu patologis untuk memakai pakaian lawan jenisnya, dia
mendapatkan kepuasan seks dengan memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya. Di sini,
seorang transvestis tetap berusaha mempertahankan identitas kelaminnya meski dia memakai disebabkan dia mempunyai kromosom XXY. Jadi, dia adalah seorang
laki- laki yang memiliki satu seks kromatin, oleh sebab itu ia memiliki sifat- sifat kewanitaan
dalam dirinya.
20
. Meiosis adlah pembelahan sel.
21
.Usia seseorang untuk melakukan proses reproduksi memang banyak berpengaruh terhadap terhadap janin yang dilahirkan. Hal ini karena ovarium yang sudah mengandung telur- telur terlalu lama diam di dalam sehingga kromosom yang ada bisa menjadi lengket.
22
. Seks kromatin ditemukan oleh Barr dari University of Western Ontario USA pada 1940. Wanita memiliki seks kromatin (sehingga disebut bersifat seks kromatin positif) dan pria tidak memilikinya (sehingga disebut bersifat seks kromatin negatif)
23
rok jika laki- laki atau memakai pakaian laki- laki jika perempuan, seringkali transvestis
adalah seorang heteroseksual namun terdapat juga yang homoseksual. Dengan demikian,
transvestisme termasuk dalam gangguan psikoseksual parafia24
Para waria sebagai seorang transeksualis memiliki karakteristik yang berbeda.
Seorang transeksualis, secara fisik memiliki jenis kelamin yag sempurna dan jelas, tetapi
secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis
yang sampai saat ini belum
diketahui penyebabnya.
25
Apapun teori yang dipakai tetap saja keberadaan waria di tengah sebuah komunitas
masyarakat terasa janggal dan sulit di terima. Sehingga timbul rasa saling curiga dan menarik
diri antara waria dan masyarakat itu sendiri. Kecenderungan seorang laki- laki yang bersikap
seperti wanita, membuat para lelaki merasa risih dan tidak nyaman saat berada di dekat waria.
Timbul ketakutan terhadap orientasi seks waria yang cenderung penyuka sesama jenis. Di
samping itu muncul kecurigaan bahwa waria dapat menular sehingga laki- laki umumnya
memandang waria sebagai pengidap penyakit menular dan menghindarinya. Berbeda dengan . Yang terpenting di sini
adalah kondisi psikis dan bukan pakaian yang dipakai. Para transeksual sering dianggap
sebagai orang yang terjebak dalam jenis kelamin yang salah karena identitas kelaminnya
yang terganggu. Waria secara fisik terlahir sebagai laki- laki dengan jenis kelamin laki- laki
yang sempurna namun menolak dirinya sebagai laki- laki sehingga waria dimasukkan ke
dalam kelompok transeksual. Gejala transeksual yaitu gejala merasa memiliki seksualitas
yang berlawanan dengan struktur fisiknya dan memiliki keinginan yang kuat untuk
mengubah jenis kelamin karena dorongan psikologis. Keinginan untuk menjadi perempuan
pada waria bukan hanya terletak pada cara berpakaian tetapi juga pada sikap, perilaku dan
penampilannya.
24
. Parafilia adalah kelainan yang ditandai dengan ketidaklaziman pada objek serta situasi seksualnya. Penderita jenis ini memerlukan khayalan atau perbuatan yang tidak lazim untuk bisa bergairah.
25
cara pandang wanita terhadap waria. Wanita cenderung bersikap lebih ramah dan menerima
terhadap keberadaan waria. Kehalusan perasaan waria seperti wanita, membuat perasaan
“nyambung” antara wanita dengan waria. Namun para waria seringkali memandang wanita
sebagai saingan sehingga di masa dewasanya mereka kurang suka bergaul dengan wanita
karena perbedaan fisik.
Perbedaan sikap penerimaan wanita dan laki- laki terhadap waria dalam kelompok
masyarakat yang lebih sempit tercermin dari perilaku anggota keluarga terhadap waria.
Seorang ibu walaupun tidak iklas, lebih mampu bersikap toleransi dan melindungi terhadap
anaknya yang waria. Tetapi seorang ayah akan bersikap kasar bahkan melakukan kekerasan
dan kecaman terhadap anaknya yang menunjukan orientasi berbeda. Seringkali seorang ayah
dengan peran laki- lakinya mencoba mendidik kembali seorang anak laki- laki yang lemah
lembut dengan cara keras untuk memancing jiwa lelakinya yang “tertidur”. Tabu dan
kurangnya pengetahuan umum soal waria menyebabkan seorang ayah mengira bahwa dengan
memukul maka sikap feminin dalam diri anak laki- lakinya akan menghilang. Seorang ibu,
dengan perannya sebagai wanita hanya mampu berdiam diri, karena kurangnya pengetahuan
dan rasa malu akibat melahirkan anak “cacat” tidak berdaya dalam upaya melindungi dan
mencari solusi atas masalah anaknya yang seorang waria.
Kebanyakan waria merasakan kecenderungan menjadi waria sejak kecil dan merasa
keberadaan mereka adalah kodrat yang tak bisa ditolak. Maka peran ahli jiwa, psikiater untuk
menyembuhkan waria menjadi manusia normal merupakan hal yang sia- sia kecuali dengan
mengubah jenis kelaminnya sesuai keadaan psikologis. Kehadiran seorang waria secara
umum tidak diinginkan oleh keluarga manapun sehingga respon penolakan keluarga setelah
mengetahui keadaan adanya perilaku menyimpang dari anggota keluarganya menimbulkan
respon berupa reaksi- reaksi setelah keluarganya mengetahui perilakunya. Respon orang tua
pemutusan hubungan keluarga. Hal ini dilakukan sebagai bentuk usaha mengaktualisasikan
diri sebagai wanita secara bebas dan total, berdandan dan memakai pakaian wanita sebagai
bentuk penyelesaian. Konflik yang terjadi memberikan ruang bagi waria untuk bersikap
mandiri secara ekonomi dan mengurangi kendali orang tua terhadap perilaku kewariaan
anaknya.
Peran keluarga sangat penting bagi perkembangan waria. Seorang waria yang
dilahirkan dalam keluarga yang baik- baik, taat beragama, berpendidikan ditambah lagi
keberadaan orangtua yang pada akhirnya menerima keberadaannya secara otomatis akan
memberikan pengaruh yang baik bagi perkembangan waria. Saat sebuah keluarga mau
menerima keberadaannya, maka dukungan positif secara moril dan materi akan didapatkan.
Dan mendorong waria tersebut menjadi warga yang baik sehingga diterima dengan baik oleh
masyarakat. Umumnya keberadaan waria di jalanan dan bekerja sebagai Pekerja Seks
Komersial adalah akibat tidak adanya penerimaan dari pihak keluarga.
Dalam kelompok yang lebih besar seperti di lingkungan pendidikan, seorang waria
seolah disamakan dengan pengidap cacat mental sehingga prestasinya kurang dihargai dan
tidak ditonjolkan. Hal ini menumbuhkan rasa tidak percaya diri dan perasaan kurang
berkompetensi dalam diri waria, sehingga banyak waria remaja yang kurang berminat dalam
hal pendidikan. Ditambah lagi banyaknya diskriminasi yang dialami waria oleh teman laki-
lakinya sehingga banyak waria yang putus sekolah atau kurang dalam hal pergaulan sesama
remaja. Sikap diskriminasi yang dilakukan teman sebaya dan guru membuat banyak waria
memilih menarik diri dari lingkungan dan memilih untuk tidak mempercayai siapapun
sehingga justru bersikap seenaknya sendiri dan diasosiasikan dengan kriminalitas.
Bagi waria yang berhasil menamatkan pendidikan hingga SMA, nasibnya seringkali
mencari pekerjaan. Tuntutan status jenis kelamin dalam hal pekerjaan menimbulkan banyak
penolakan terhadap waria yang dianggap dapat merusak citra dan nama baik perusahaan.
Beberapa waria yang bersikeras ingin tampil sebagai wanita mengalami penolakan dalam hal
pekerjaan, mereka cenderung dituntut tampil sebagai laki- laki sehingga untuk mendapatkan
pekerjaan mereka harus tampil sebagai laki- laki.
Penampilan waria yang agak berbeda dengan kebanyakan laki- laki ataupun wanita
menimbulkan steriotipe negatif di mata masyarakat tentang kompetensi mereka dalam hal
pekerjaan. Penampilannya yang menyimpang membuat masyarakat mengira bahwa waria
adalah sekelompok pembangkang yang tidak bisa dipercaya. Kesulitan mencari pekerjaan,
sikap kasar yang muncul akibat perbedaan membuat sebagian waria memilih untuk bersikap
kasar terhadap lingkungan dan hal ini berdampak negatif bagi sebagian waria yang berusaha
berbaur dengan masyarakat.
Keberanian waria dalam menunjukan siapa dirinya, malah dianggap sebagai bentuk
pelanggaran nilai moral dan agama. Yang lebih parahnya ketakutan akan dosa dan terhadap
orientasi seks waria membuat semakin panjang daftar bentuk diskriminasi terhadap kaum
waria, baik yang menarik diri maupun bagi yang mencoba berbaur. Agama seringkali
menjadi faktor utama yang memperlakukan waria dengan cara terburuk. Ide- ide radikal
seperti merajam, memukuli, mengusir bahkan menghukum mati waria justru datang dari
pihak agama yang diharapkan dapat menolong memberi jalan keluar. Dosa selalu menjadi
faktor utama penganiayaan. Pemukulan dianggap sebagai cara menghukum waria dari
dosanya yang menunjukan jatidirinya sebagai waria yang ditakutkan berimbas pada
masyarakat. Tak jarang cara- cara ekstrim dilakukan untuk mempermalukan waria, atas nama
Penerimaan masyarakat terhadap waria dapat dilihat dalam dua konteks yaitu
individual dan dalam komunitas. Konteks individual terkait dengan perilaku sosialnya sehari-
hari. Hal ini terlepas dari steriotipe tehadap waria sebagai PSK. Perilakunya dilihat
berdasarkan nilai- nilai masyarakat normal pada umumnya, sesuai dengan perilaku sehari-
hari bermasyarakat dan di nilai berdasarkan sopan santun dan perilaku baiknya. Sementara
dalam konteks komunitas, dunia waria dinilai dalam konstruksi yang bersifat historis,
sehingga menimbulkan pandangan yang ambigu. Di satu sisi, waria dipandang dengan
stigmatisasi sebagai PSK dengan segala atribut negatifnya. Dan di sisi lain, mereka menerima
waria hidup bersama di dalam lingkungan, baik karena kepentingan ekonomis atau
pertimbangan lainnya. Akibatnya meski masyarakat memahami seorang waria dalam
kehidupan sehari- harinya, namun dia dibatasi oleh konteks kultural, sehingga peraturan-
peraturan ketat diterapkan kepada waria tanpa kecuali. Masyarakat menerima atau menolak
kehadiran waria terutama ditentukan oleh usaha waria secara individual dan kolektif dalam
menunjukan perilaku kondusif sehari- hari. Pada dasarnya ruang sosial berikut aturan ketat
dalam masyarakat tersebut menjadi penekan sekaligus fasilitator.
Dunia cebongan26
26
. Cebongan adalah sebuah istilah di kalangan para waria yang berarti tempat pelacuran.
, adalah ruang tersendiri bagi waria untuk menunjukan
eksistensinya. Di sini, waria mengembangkan bentuk komunikasi tersendiri dengan
bahasanya yang khas sebagai ciri tersendiri dalam kelompok waria tersebut. Dunia cebongan
dalam kehidupan waria tidak hanya menjadi tempat bekerja tetapi juga menjadi media dalam
menegaskan identitasnya sebagai waria, karena di sini mereka mampu bersosialisasi dan
membangun solidaritas sesama waria. Ruang- ruang sosial tersebut banyak memberi
pengaruh dalam pola kehidupan waria. Menjalani kehidupan sebagai seorang waria
cenderung tidak memberi ruang dan belum sepenuhnya menerima dan memperlakukan waria
sejajar dengan jenis kelamin lainnya.
Berbagai macam pandangan tentang waria senantiasa diisi dengan penilaian negatif
tentang dunia pelacuran dan perilaku seks bebas dan hal negatif lainnya. Hal ini disebabkan
sebagian besar waria bekerja sebagai PSK dan sering berkumpul di malam hari dan
membentuk komunitas yang dikenal sebagai cebongan dan menjadi ciri khas waria dan
identifikasi mereka dengan steriotipe negatif.
Pemikiran negatif tentang waria yang timbul timbal balik antara sikap waria dan sikap
masyarakat menimbulkan ketegangan antara waria dan masyarakat. Tidak ada yang mau
mengalah dan semua pihak menolak kompromi. Bagi waria menjadi diri sendiri adalah hak
asasi dan menjadi urusan pribadinya dengan Tuhan. Bagi masyarakat menerima waria
dianggap sebagai penurunan nilai moral dan dapat merusak nilai- nilai yang dinyatakan
mapan yang telah lama dianut seperti sistem patriarkat.
Nilai- nilai partriarki mapan yang menjadi landasan hidup masyarakat di berbagai
kebudayaan, membuat laki- laki yang berpenampilan seperti wanita dianggap mengancam
stabilitas masyarakat. Laki- laki yang diharapkan selalu menjadi pemimpin dan bersikap
keras dalam memimpin serta mampu menjaga kelompoknya tidak dibenarkan untuk
berpenampilan tidak seperti laki- laki karena kuatir akan menimbulkan rasa mandiri dalam
diri wanita yang selam ini berada dalam pengaruh dan kekuasaan laki- laki. Oleh sebab itu
penyimpangan nilai yang dilakukan laki- laki lebih menjadi sorotan dibanding penyimpangan
yang dilakukan wanita.
Waria yang dalam usahanya untuk menjadi diri sendiri mengalami berbagai hambatan
dan tanggapan negatif dari berbagai golongan dan kelas masyarakat. Wanita yang selalu di
dalam memimpin laki- laki yang dianggap lebih kuat dan mampu. Waria yang tampil berbeda
dianggap semiwanita sehingga dinyatakan tidak memiliki kompetensi dalam memimpin dan
merusak citra laki- laki.
2.3 Kondisi Sosial Ekonomi Waria
Akibat perselisihan yang timbul antara waria dan masyarakat, waria mengalami
semakin banyak kesulitan selain kekerasan fisik dan verbal yaitu penolakan. Penolakan pihak
keluarga mengakui sebagai anggota keluarga, penolakan pihak agama mengakui sebagai
penganut agama tersebut dan penolakan dalam hal mencari pekerjaan. Kesulitan yang
semakin banyak yang dialami waria menimbulkan ketidakberdayaan dalam hal ekonomi.
Penolakan pihak keluarga mendorong waria untuk bertahan hidup sendiri di tengah
masyarakat. Penolakan pihak agama membuat waria kesulitan mendapat bantuan dalam
mencari pekerjaan dan rekomendasi positif untuk mendapatkan pekerjaan. Penolakan pihak
perusahaan membuat waria mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi
sehari- harinya.
Sektor formal menuntut kejelasan status jenis kelamin dan penampilan fisik,
sedangkan waria akibat dorongan hatinya ingin bebas tampil seperti wanita. Akibat
penampilan fisiknya yang berbeda, seorang waria dianggap tidak mampu melakukan
pekerjaan- pekerjaan dengan baik. Penilaian umum berdasarkan penampilan fisik membuat
banyak penilaian negatif tentang kompetensi waria dalam pekerjaannya. Seakan saat waria
tampil beda, maka dia pasti tidak mampu menaati aturan yang berlaku. Selain masalah
kompetensi dalam hal menyelesaikan pekerjaannya, menerima seorang pekerja waria
dianggap dapat merusak citra perusahaan yang di nilai tidak hati- hati dalam memilih
dan kredibilitas seorang waria yang diasosiasikan sebagai pembangkang dengan kelainan
jiwa.
Sektor informal terutama menjadi alternatif pekerjaan bagi waria. Banyak waria yang
bekerja di salon, atau sebagai penjual jamu, atau pedagang asongan juga sebagai pengamen.
Namun, lagi- lagi akibat steriotipe negatif dalam masyarakat, usaha- usaha yang dilakukan
waria dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, mengalami hambatan dan kesulitan untuk
berkembang. Seringkali waria diperlakukan dengan kasar, dan ketika membalas dengan
kekerasan maka waria secara umum serta merta dihubungkan dengan pembuat onar dan
kriminalitas.
Akibat kebutuhan yang mendesak dalam memenuhi kebutuhan ekonomi maka banyak
waria menggunakan jalan pintas dengan menjadi Pekerja Seks Komersial. Dengan begitu
sebagian besar waria bekerja sebagai PSK dan diasosiasikan sebagai penular HIV/ AIDS.
Orientasi seks waria yang penyuka sesama jenis, dan pekerjaannya sebagai PSK menambah
daftar panjang hal negatif tentang waria di mata masyarakat. Waria semakin dijauhi, ditakuti
dan dibenci.
Kekerasan yang sering dialami waria sejak kecil dan sikap diskriminasi yang sering
dialami saat dewasa membuat para waria kurang peduli lingkungan dan kesehatan. Mereka
terkesan “asal menjalani hidup”. Sehingga masyarakat umum menjadi semakin tidak mampu
bersikap toleransi terhadap sikap- sikap waria yang cenderung mengganggu ketentraman
umum.
Pemerintah sendiri sepertinya kurang peduli terhadap nasib kaum minoritas seperti
waria. Peraturan guna melindungi hak- hak waria kurang diperhatikan. Seringkali aparatur
Razia yang sering dilakukan polisi terhadap PSK seringkali lebih berat dialami waria
dibanding wanita. Saat razia maupun saat di tahanan, waria seringkali dipukuli dan diancam.
Ditambah lagi dengan tidak adanya perlindungan hukum bagi waria yang mengalami
tindak kejahatan. Kasus- kasus yang masuk seringkali diabaikan dan dalam suatu perselisihan
waria seringkali berada di pihak yang dipersalahkan. Banyak kasus penganiayaan bahkan
pembunuhan yang terjadi pada waria tidak ditangani dengan baik oleh pihak berwajib.
Ketidakadilan yang dialami waria di tengah masyarakat mendorong mereka untuk berusaha
bertahan hidup sendiri dengan aturan hukumnya sendiri. Hal ini berdampak munculnya
kasus- kasus kriminalitas yang dilakukan waria, yang berujung semakin sulit bagi waria
mendapatkan simpati masyarakat.
Kasus- kasus kejahatan yang melibatkan waria baik waria sebagai pelaku maupun
korban seringkali tidak adil bagi waria. Perbedaan penampilan yang ditunjukan waria
menimbulkan reaksi- reaksi negatif terhadap waria. Waria seringkali dipersalahkan dan
ketika korbannya waria aparat berwajib seringkali tutup mata dan berpura- pura tidak tahu.
Kurangnya wawasan di pihak waria membuat mereka menerima perlakuan tidak adil tersebut
dengan balas melakukan kekerasan. Sehingga waria selalu dikaitkan dengan tindak kejahatan.
Pekerjaan kebanyakan waria sebagai PSK, memunculkan anggapan bahwa semua waria PSK
dan membuat masyarakat semakin menjauh dan tidak mau peduli.
Sulitnya mendapat pekerjaan dan perlindungan hukum bagi waria akibat kurangnya
perhatian pemerintah terhadap waria, dipertegas dengan kesulitan mendapat status
kewarganegaraan waria yang tidak mendapat kepastian. Dalam kartu identitas kependudukan
warga Indonesia selain nama, dan agama, jenis kelamin juga menjadi salah satu identitas
warga Indonesia. Para waria menginginkan agar mereka memiliki identitasnya tersendiri
disebut sebagai laki- laki, namun pemerintah dan masyarakat tidak berkenan menyatakan
waria sebagai wanita. Para waria yang ingin tetap diizinkan berpenampilan sebagai wanita,
mengalami kesulitan saat di Kartu Tanda Penduduk ditulis sebagai laki- laki. Masalah KTP
membuat waria kesulitan saat melakukan segala urusan administrasi dalam kependudukan
dan pekerjaan.
Memperjuangkan hak transeksual, di antaranya adalah memperjuangkan hak untuk
bekerja pada sektor formal dan juga hak atas legal formal identitas mereka melalui proses
yang panjang dan rumit. Perjuangan untuk pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan juga
pemajuan Hak Asasi Manusia juga ditempuh melalui jalur legislasi. Jalur pemenuhan Hak
Asasi Manusia diperjuangkan keras ketika Amandemen Undang- Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, yang tercantum dalam UUD pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia.
2.4 Pandangan Agama terhadap Waria
Hal serupa juga seringkali timbul dalam hal keagamaan, waria yang merupakan
warga negara Indonesia juga beragama. Dalam ajaran agama Islam laki- laki dan perempuan
duduk terpisah saat berada di Mesjid, hal ini menjadi masalah tersendiri bagi waria soal
pembagian tempat ibadah. Ikut di barisan wanita, atau laki- laki, memakai mukenah atau
sarung dan peci. Terkadang ada waria yang memilih duduk di barisan laki- laki atau secara
sembunyi- sembunyi memakai mukenah dan solat sebagai wanita. Dan tidak jarang waria di
usir saat memasuki Masjid karena dianggap tidak pantas berada di sana. Diskriminasi yang
dialami waria hingga kini belum menemukan titik penyelesaian.
Kecenderungan beragama pada setiap manusia adalah melalui hubungan primordial,
dilahirkan dalam tradisi Kristiani, secara kultur dia akan menjadi kristiani. Begitu juga bila
seorang anak lahir di keluarga yang beragama Islam, secara otomatis dia menjadi muslim.
Dalam hal orientasi seksual, Islam memberi legitimasi moral bahwa orientasi seksual yang
benar adalah yang bersifat heteroseksual, tidak kepada yang lain seperti homoseksual27.
Tuhan telah menciptakan manusia dengan berpasang- pasangan, yaitu pasangan manusia
adalah laki- laki dengan perempuan. Masalah waria dari sisi agama dapat dilihat dengan
lebih jelas dalam kitab- kitab fikih klasik, karena selama ini sumber otoritas yang bisa
dibilang mampu mewakili dan cukup rinci dalam membahas persoalan waria adalah fikih.
Dari sisi fikih nampaknya waria dapat diterima sebagai realitas sehingga sama sekali tidak
ada pengingkaran atas keberadaan mereka28
Pandangan fikih seperti ini terkesan positivistik, karena hanya melihat waria dari sisi
biologis (alat kelamin), tanpa melihat dari sudut psikologi atau kejiwaan. Padahal persoalan
waria tidak dapat disederhanakan hanya dengan tolak ukur alat/ jenis kelamin. Problem waria
meliputi berbagai aspek sehingga dalam pemberlakuan hukum pun dia tidak dapat ditentukan
hanya dengan salah satu aspek dari sekian banyak aspek. Pandangan fikih yang demikian itu
kemudian akan menghasilkan pemahaman yang parsial terhadap konteks waria dan berakibat
pula pada hukum yang akan diberlakukan
. Waria dalam kitab fikih disebut dengan khuntsa
yang berarti lembut dan pendar. Khustsa juga berarti seseorang yang diragukan jenis
kelaminnya, apakah laki- laki atau perempuan, karena memiliki alat kelamin laki- laki dan
perempuan secara bersamaan atau pun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat
kelamin laki- laki maupun perempuan.
29
27
. M. Haryadi, “ Orientasi Seksual dalam Tradisi Islam”, tabloid Sehat, 14 September 2001, hal 4
28
. Lies Marcoes- Narstir, “ Wandu, Wadam, Waria, Khuntsa, dan Apalagi...; Sebuah Pengantar Pemetaan Masalah Gender dan Seksualitas Kaum Pasangan Sejenis”, Tabloid Sehat, tahun IV no: 23, P3M, 2000, hal 3.
29
. Zunly Nadia, op. Cit., hal 86
Pemahaman tentang khuntsa di dalam fikih hanya mengacu pada kasus
waria-hermafrodit (dalam perspektif medis). Hal ini terjadi karena pada masa itu problem waria
hanya didapati pada kaum waria hermafrodit. Sementara untuk saat ini dalam konteks waria
terdapat berbagai macam kasus waria- hermafrodit sampai pada waria- transeksual ( yang
saat banyak mendominasi) dan transvestisme yang kesemuanya membutuhkan kejelasan
status dan hukum, baik dalam hukum negara maupun agama.30
Untuk kasus waria- hermafrodit acuan terhadap aspek lahir mungkin masih bisa
diberlakukan, namun untuk kasus waria transeksual dan waria transvestisme di mana kelainan
yang terjadi lebih pada aspek psikologi dan bukan pada hal- hal yang lahiriah maka mengacu
pada hal- hal lahiriah tetap akan menjadi problem baru jika hukum tersebut diputuskan dan
diberlakukan. Bagaimanapun juga fikih adalah produk interpretasi para ulama terhadap
syari’ah yang dikembangkan semenjak abad kedua Hijriah dan merupakan sebuah ajaran
non-dasar, bersifat lokal, elastis dan tidak pemanen.31
Hadis menjadi sumber otoritatif kedua setelah Al-Qur’an seperti tercermin dari
firman- firman Allah yang mewajibkan manusia untuk mengikuti wahyu-Nya dan Sunnah
Rasul-Nya. Hadis juga merupakan interpretasi awal terhadap Al-Qur’an yang berperan untuk
memberikan bimbingan di dalam praktik aktual umat Islam.
32
Dalam Musnad Ahmad bin
Hanbal kitab Musnad Bani Hasyim 1878, 2150, 2901, 2984, 2177, dan 327933
30
. Loc. cit
31
. Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al- Qur’an ( Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 290
32
. Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad (Bandung: Pustaka,1995), hal 45
33
. Abi ‘Abdillah Al- Syaibani, Musnad Ahmad bin Hanbal, jus II, hal 353
dan di dalam
Sunan Al- Darimy, kitabIsti’dzad 2535 diungkapkan bahwa Rasulullah Saw melaknat orang
yang berpenampilan menyerupai lawan jenisnya, serta orang yang memilih hidup melajang
tanpa ikatan perkawinan. Karena hal itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Yang dimaksud
perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki- laki, mereka harus dikeluarkan dari
rumah. Yang berarti mereka tidak diterima di dalam masyarakat dan tidak memiliki tempat di
surga. Berdasarkan hadis, maka waria-transeksual dan waria-transvestisme dimasukan ke
dalam golongan mukhannats yaitu pria yang dengan sadar dan sengaja memakai pakaian
wanita, dan wanita yang secara sadar dengan sengaja memakai pakaian pria sebagai
kesenangan dan melanggar kodrat, mereka ini diklaim sebagai orang terlaknat.
Masalah kejelasan status jenis kelamin waria menjadi momok yang belum
menemukan titik penyelesaian. Seringkali persoalan bila menyangkut waria, tidak
diperhatikan atau malah diabaikan. Sisi religi waria dianggap tidak pantas dan hanya kedok
untuk mendapatkan simpati. Padahal dalam kenyataannya, para waria benar- benar tulus
menjalani kehidupan agamanya dan mengharapkan penerimaan yang tulus dari pihak
keluarga, masyarakat dan pemerintahan. Ketakutan masyarakat terhadap akibat dari
penyimpangan waria dan kesulitan dalam memahami persoalan pribadi seorang waria
membuat banyak orang memilih untuk memusuhi dan ingin menghancurkan waria sampai ke
akar- akarnya.
Penerimaan waria dalam wacana masyarakat Muslim pada dasarnya berdasarkan hasil
produk hukum agama. Kekuatan agama menunjukan kemampuan menciptakan perubahan
sosial dalam masyarakat. Sebagai basis keyakinan dan iman masyarakat, agama mampu
mendorong pemeluknya untuk melihat realita sebagai obyek yang dijalani berdasarkan visi
teologis agama tersebut. Sedangkan dalam praktiknya perubahan yang di dorong oleh
semangat agama terkadang tidak sejalan dengan nilai kesucian agama tersebut.
Di bandingkan dengan produk agama, negara relatf lebih fleksibel dalam memandang
kehidupan waria, walaupun belum mampu menyentuh permasalahan yang lebih esensial di