• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spatial management of green space through the building permit and the property tax approaches in the city of Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Spatial management of green space through the building permit and the property tax approaches in the city of Tangerang"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB) SERTA PAJAK

BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI KOTA TANGERANG

HENDRI JOPANDA

NRP: A156080041

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengendalian Luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) melalui Pendekatan Izin Mendirikan Bangunan(IMB) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Tangerang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

(4)
(5)

permit and the property tax approaches in the city of Tangerang.Under direction of Khursatul Munibah and Laksmi Andriani Savitri

Tangerang is a city that is growing rapidly. These growth resulted in the number of green space is diminishing. The existence of urban green space area is needed in order to create a comfortable and healthy environment. This study aims to 1) Provide solutions to compliance and the availability of green space 2) Looking for a green space in the form of community wants 3) Looking for the institutions that responsible to managing green space. To fulfil the needs of the extent dan distribution of green space, use the Willingness To Pay analysis (WTP) that superimposed to the data of building permit and property tax. The result was recalculated using the optimization method by Linear Programming analysis. And to find forms and institutions that responsible to manage green space, using Analytical Hierarchy Process (AHP). Open space needs based on the total area of Tangerang City mandated that the Act is 4978.08 ha, while the area is currently an area of 7,492.5 ha, this means having excess 2,514.4 ha. There are two district from 13 district, that are very short, they are Cileduk and Larangan for a total area of 195.4 ha deficiency. Using WTP analysis, which are charged to the imposition of environmental improvements in this community to be included at the expense of building permit and at the time of payment of property tax, then there is acceptance of the community as much as Rp. 721 469 817 000,- while at the same time the burden of expenditures for compliance with green space area of Rp. 5,770,000,000,000,-. This means for the fulfillment of an area of green space in the two districts (Cileduk and Larangan) in need of eight years assuming other conditions remain. To the management body should be elected by the public green space managed by the local government and continued by the community. While the form of green space is selected with first priority is to form a sub-form of the selected area form the city parks and green lines as the second priority

(6)
(7)

HENDRI JOPANDA. Pengendalian Luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) melalui Pendekatan Izin Mendirikan Bangunan(IMB) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Tangerang. Dibimbing oleh: KHURSATUL MUNIBAH dan LAKSMI ANDRIANI SAVITRI.

Kota Tangerang sebagai penyangga Ibu Kota perkembangnya sangat pesat. Perkembangan tersebut berakibat pada jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang semakin berkurang. Padahal keberadaan RTH sangat diperlukan di perkotaan agar tercipta lingkungan yang nyaman dan sehat. Penelitian ini bertujuan 1). Memberikan solusi terhadap pemenuhan dan ketersediaan RTH yang lebih merata 2). Mencari bentuk RTH yang dibutuhkan oleh masyarakat 3). Mencari lembaga pengelola dari RTH.

Untuk memenuhi kebutuhan luasan dan pendistribusiaan RTH digunakan alat analisis Willingness To Pay (WTP) yang di tumpang tindihkan dengan IMB dan PBB selanjutnya di hitung kembali mengunakan metode Optimasi dengan alat analisis Program Linier, sedangkan untuk mencari bentuk dan lembaga pengelola digunakan alat analisis AHP (Analytical Hierarchy Process)

Preferensi masyarakat terhadap bentuk dan fungsi RTH dianalisis menggunakan metode AHP terhadap 31 responden yang terdiri dari kalangan Pemerintah (Bappeda, Dinas KLH, Dinas Tata Kota), Swasta (Pengembang) dan Masyarakat (akademisi,tokoh masyarakat dan LSM pemerhati lingkungan).

Kebutuhan RTH Kota Tangerang berdasarkan luas wilayah yang di amanatkan UU No. 26 Thn. 2007 adalah 4.978,08 Ha, sedangkan luas wilayah yang ada sekarang seluas 7.492,5 Ha, ini berart memiliki kelebihan 2.514,4 Ha. Tetapi jika dilihat per kecamatan dari 13 (tiga belas) kecamatan, maka ada 2 (dua) kecamatan yang sangat kekurangan, yaitu kecamatan Cileduk dan Larangan dengan total kekurangan seluas 195,4 Ha.

Dengan menggunakan alat analisis WTP, dimana pembebanan perbaikan lingkungan dibebankan ke masyarakat dalam hal ini di ikut sertakan pada saat pengeluaran Izin Mendirikan Bangunan(IMB) dan pada saat pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),yang besar nilainya masing-masing 2,5% untuk IMB dan 1,1 % untuk PBB, maka ada penerimaan dari masyarakat sebanyak Rp. 721.469.817.000,- sedangkan pada waktu yang sama beban pengeluaran untuk pemenuhan luasan RTH sebesar Rp. 5.770.000.000.000,- ini berarti untuk pemenuhan luasan RTH di dua kecamatan (Cileduk dan Larangan) di butuhkan waktu 8 (delapan) Tahun dengan asumsi keadaan yang lain tetap.

Untuk lembaga pengelola terpilih oleh masyarakat sebaiknya RTH dikelola oleh PEMDA dengan bobot nilai 0,692, dengan sub pengelola Dinas Tata Kota dengan bobot total 0,5875, sedang prioritas kedua oleh masyarakat dengan sub pengelola Swasta dengan bobot total 0,2337

Bentuk RTH yang terpilih dengan prioritas utama adalah bentuk Kawasan dengan bobot nilai 0,405 dengan sub bentuk terpilih bentuk taman kota dengan bobot nilai 0,793 dan prioritas kedua bentuk jalur dengan sub bentuk jalur hijau dengan bobot nilai 0,760.

(8)
(9)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tampa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyususnan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN (IMB) SERTA PAJAK

BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI KOTA TANGERANG

HENDRI JOPANDA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Pengendalian Luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) melalui

Pendekatan Izin Mendirikan Bangunan(IMB) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Tangerang

Nama : Hendri Jopanda NRP : A156080041

Disetujui: Komisi Pembimbing

Dr. Khursatul Munibah, MSc

Ketua Anggota

Dr.Laksmi Andriani Savitri,MSi

Diketahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Ilmu Perencanaan wilayah Pascasarjana,

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah,MSc.Agr.

(14)
(15)

Untuk Kedua Orang TuaKu

Juga Untuk Istri dan Kedua AnakKU

F. Diana

Egen dan Hatta

Bukan ....

Karena hari ini Indah, Kita bahagia....

Tetapi karena kita Bahagia, hari ini menjadi Indah

Bukan....

Karena Semua BAIK, Kita Tersenyum

(16)
(17)

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Salawat dan Salam saya hanturkan kepada Junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Karena perkenaanNya maka penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini berjudul Strategi Pengendalian Luas Ruang Terbuka Hijau melalui pendekatan Izin Mendirikan Bangunan serta Pajak Bumi dan Bangunan di Kota Tangerang. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam penyususnan penelitian ini penulis mendapat masukan, arahan, petunjuk dan bimbingan serta kritik dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Khursatul Munibah, Msc. Sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Laksmi Andriani Savitri, Msi. Sebagai Anggota Komisi Pembimbing, serta Ibu Dyah Panuju, Msi atas pengarahan, bimbingan dan saran yang diberikan. Lebih dari pada itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Program Studi. Bapak Dr. Ernan Rustiadi dan Bapak Dr. Baba Barus yang telah membantu dan memberikan inspirasi sehingga penulisan ini dapat dilakukan.

Ucapkan terikasih juga penulis sampaikan kepada Istri, dan anak-anak tercinta yang telah memberi semangat, doa, dan kasih sayangnya, tidak lupa teman-teman PWL 2008 Angkatan Wali Songo, terutama Juwarin , PWL 2009 terutama Zulian dan Yoga dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis sampaikan terima kasih atas segala bantuan dan kerja samanya yang terjalin selama ini. Akhirnya Semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat.

(18)
(19)

Penulis lahir di Teluk Betung Bandar Lampung pada tanggal 24 April 1965, dari ayah Helmi Ali dan ibu Rosmanelly. Menikah dengan F. Diana HA dan dikaruniai anak Ahmad Reaggen Jopanda dan Ahmad Hatta Jopanda.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pahoman Bandar Lampung pada tahun 1984 dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Lampung pada jurusan Akuntansi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Pada tahun 1985 Penulis lulus seleksi lagi untuk masuk Universitas Lampung pada Fakultas Ekonomi di jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Pada tahun 2008 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan mendapat Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS).

(20)
(21)

DAFTAR GAMBAR………... xv

DAFTAR LAMPIRAN………... xvii

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan Penelitian... 1.4. Manfaat Penelitian ... 1.5. Kerangka Pemikiran...

III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian...

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

(22)

V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ……….. 5.2. Saran ……….…………

65

(23)

1

Kriteria Penilaian Alternatif ………. Rencana Konstribusi Penerimaan Pemerintah Daerah…. ………. Komposisi Penutupan lahan dan RTH Kota Tangerang………... Penerimaan IMB dan PBB Kota Tangerang tahun 2001-2007 ... Pola Konversi Lahan dan Perubahannya Thn 1991-2005 di Kota Tangerang ………. Data WTP Kota Tangerang……… Harga lahan /M2 di Tingkat kecamatan ………... Luas Penutupan lahan ssetelah Optimasi …….. …… ..……… Luas RTH Aktual, Hasil Optimasi dan berdasarkan RTRW ...…... Contoh arah perubahan luasan penutupan lahan sebelum dan sesudah Dilakukan optimasi di Kec. Cileduk ……… Contoh arah perubahan luasan penutupan lahan sebelum dan sesudah Dilakukan optimasi di Kec. Larangan ………... Pengeluaran Biaya untuk perbaikan RTH ……..…... …..……… Hasil AHP untuk Prioritas Bentuk RTH …..…….… .……….. Bentuk RTH dan Nilai Bobot total ……..………. ..………...……….. Pengelola RTH dan nilai bobot total….…………...………...

(24)
(25)

2 Diagram Bobot Prioritas Lembaga Pengelola RTH unsur Masyarakat

(26)
(27)

1 Bentuk RTH berdasarkan Jumlah Penduduk, Berdasarkan Peraturan

Menteri Pekerjaan Umum No. 005/PRT/M/2008 ……….. Bentuk Penutupan Lahan di Kota Tangerang ………... Bentuk-bentuk RTH di Kota Tangerang ……… Kuesioner WTP ……….. Kuesioner AHP-1 ………... Kuesioner AHP-2 ………... Pemanfaatan Ruang Kota Tangerang Berdasarkan RTRW 2006-2016

(28)
(29)

Kota Tangerangbagiandarikota di Jabodetabek yang

mengalamiperkembanganyang pesatdansebagaidaerahpeyanggaIbu

Kota,denganluaswilayah 16.593,6 ha, luaslahanterbangunseluas 8.888,2 ha.

Jumlahpenduduk 1.531.666 jiwa (Biro PusatStatistik.

2008).Danlajupertumbuhanpenduduk 1,7% pertahun (Juwarin. 2010),

implikasidarikeadaaninimakamakintingginyatekananterhadappemanfaatanruang,

yang

padaakhirnyaakanmeyebabkanmenurunnyakualitasdankuantitasruangterbukahijau

(RTH) yang ada.

Penutupanlahan di Kota Tangerangdapat di kategorikandalam 4 (empat)

klasifikasi, yaitu, klasifikasipenutupanlahanbervegetasipohondenganluas total

973,7ha, semak, rumput, tanamansemusimdantanamansejenisdenganluas 6.518,8

ha, klasifikasilahankosongseluas 212,9 ha

danklasifikasilahanterbangunseluas8.888,2 ha.

Luasan RTH secaraaktualmasihmelebihiluasan yang di amantkanoleh UU,

karenaluasan RTH yang diamantkanoleh UU No. 26 Tahun 2007

tentangPenataanRuangdalamPasal 29 ayat 2 berbunyi

‘Proporsiruangterbukahijaupadawilayahkabupaten/kota paling sedikit 30

(tigapuluh) persendariluaswilayah’, iniberartiseluas 4.978,1 hasedangkanluasan

yang adaseluas 7.492,5 ha. Akan

tetapijikadiperhatikansecararincidaripenutupanlahanterlihatjelasbahwa

diKecamatanCiledukdanKecamatanLarangankurangdari 30% luasan RTH

dariluaswilayahKecamatannya.Atasdasarkeduafaktainilahmakapengendalianharus

segeradilakukan, janganmenundasampaiterjadimasalah yang lebihrumit.Sebagai

Kota PenyanggaIbu Kota, Kota Tangerangjelasmemilikibeban yang sangatbesar,

terutamabebanpembangunanfisik.MenurutSitoruset.al (2011)

Perkembangansektor-sektorekonomidanjumlahpendudukmenyebabkankebutuhansumberdayalahanmeni

ngkatuntukmenyediakansaranapendukung, makasemakintinggi pula

(30)

(2003)dalamKustirani (2006) bahwa rata-rata lahan sawah di Kota Tangerang berkurang dalam 1(satu) tahunnya 93,89 ha, sedangkan Tegalan berkurang 130,36

ha per tahun, air berkurang 12,62 hapertahun dan hutan berkurang 7,14 ha

pertahun yang menambah pertahunnya adalah Lahan perkotaan (infrastruktur

Kota) yaitu rata-rata 282,39 ha pertahun.

Di tambahlagipencariansumberpenerimaanaslidaerah yang

sangatberkaitaneratdengankonversilahan, yang dilakukanolehPemerintah

DaerahyaituPenerimaandarirestribusiIzinMendirikanBangunan (IMB)

,danPajakBumidanBangunan (PBB).

IMB dan PBB sebagaisumberpenerimaan yang

terusmeningkatdariwaktukewaktudapat di

jadikanpencirimakintingginyakonversilahan di wilayahtersebut,

mengapademikian, karenamakintinggirestribusi yang diterimadari IMB,

inimenandakanmakinbanyakbangunan yang berdiridan PBB,

PajakBumicendrungtetap, terkecualiadapemekaranwilayahadministratip,

sedangkanBangunan, iniberubahtergantungjumlahdanjenisbangunannya.

Jikakedua instrument inimeningkatmakadapat di

katakanmakinhilangnyalahanhijauatauRuang Terbuka Hijau di

daerahtersebut.Menurut Kantor KPP Kota TangerangdanDinasPenanaman Modal

danPerizinan Kota Tangerangbahwa bahwa laju pertumbuhan penerimaan IMB

rata-rata pertahun adalah 16, 4 % dan Laju pertumbuhan penerimaan PBB

pertahun rata-rata 27,58 %. Kedua instrumen ini merupakan instrumen yang

diandalkan oleh hampir seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai sumber

utama penerimaan asli daerah, padahal kedua instrumen ini jika meningkat ini

bertendensi peningkatan pula konversi lahan, terutama lahan hijau menjadi lahan

terbangun.

Untukitulahmakadiperlukankebijakanstrategisuntuktetapmengendalikanjumlahlua

sanRuang Terbuka Hijaudengantetaptidakmengganggusumberpenerimaan yang

berasaldari IMB dan PBB.

Salah satupengendaliantataruangadalahberlakunya minimal 30 %

dariluaswilayahKabupaten/Kota harusberupaRuang Terbuka Hijau, denganrincian

(31)

% disediakanolehmasyarakat (Ruang Terbuka HijauPrivat). Adapunproporsi 30 %

merupakanukuran minimal untukmenjaminkeseimbanganekosistemkota,

baikkeseimbangan system hidrologidan system mikroklimatmaupun system

ekologislainnya, yang selanjutnyaakanmeningkatkanketersedianudarabersihyang

dibutuhkanmasyarakatsertasekaligusdapatmeningkatkannilaiestetikakota.

Walaupun UU No. 26 Thn 2007 tidakmengisyaratkanberlaku di tingkatkecamatan,

tetapinampaknyaPemerintahKabupaten/Kota

dapatmembuatusulanmengenaiaturan/ Peraturandaerah yang

khususmengaturluasan, bentuk, pendistribusiandanjenis RTH

berdasarkankondisiwilayahmasing-masingkabupaten/kota, sehingga RTH yang

dibuatbenar-benarbermanfaatdanberdayagunabagimasyarakatnyasecarakeseluruhan,

tidaklagiterjebakpadabentuk-bentuk RTH sepertiHutan Kota, Taman Kota

ataujalurhijau, yang menumpuk di pusatkota,

tetapiperlujugamembuat/membangun RTH-RTH dalambentuk lain seperti Taman

RW atau RTatau Taman Lingkungan yang ada di tengah-tengahmasyarakat,

sehinggaestetikadankenyamananlingkunganjugadapat di rasakanolehmasyarakat

di setiapsudutkota.

Jugaperludilihatbagaimanaperananlembagapengelola,menurutHasni (2009) ada 3

(tiga) lembaga yang dapatmengelola RTH, yaituPemerintah,

SwastadanMasyarakat,karenafaktadilapanganberdasarkanstudiempirik yang

sayalakukan, masihbanyak di temui RTH yang

telahberubahfungsimenjadipangkalanojek,

tempatparkirkendaraandantempatberdagangparapedagang kaki lima.

1.2. PerumusanMasalah

Kota TangerangjikamengacupadaUndang-Undang No. 26 Tahun 2007

tentang Tata Ruang,pasal 29 ayat 2, yangharusmenyediakan minimal 30%

dariwilayahadministrasinyamerupakanruangterbukahijau (RTH)

jelasinisudahterpenuhi, karenadenganluaswilayah 16.593,6 ha,

makaruangterbukahijau yang harusdisediakanadalahseluas 4.978,08 ha

(32)

Namun jika di lihat lebih detil maka ada 2 (dua) Kecamatan, yaitu

Kecamatan Cileduk dan Larangan masih kurang dari 30% luas wilayah

merupakan luasan RTH.Untukituperludiaturataudikendalikanagar luasan RTH

yang adadapatmemenuhiketentuan UU, yang luasannyaadalahminimal 30 % dari

total wilayahmerupakanruangterbukahijauatauseluas 265 ha,

untukKecamatanCiledukdan 244,1 ha, untukKecamatanLarangan,

haliniberartikekurangan 59 hauntukKecamatanCiledukdan 136,4

haKecamatanLarangan. Walaupun UU tidakmengamanatkanbahwaluasan RTH

Minimal 30% itu di tingkatKecamatan, melainkan di Tingkat Kabupaten/Kota

tetapiPemerintahKabupaten/Kota

dapatmengusulkan/membuatPeraturanuntukmengaturmengenailuasan, bentuk,

pendistribusian RTH, sertajugaLembaga yang mengelola RTH,

sehinggakonsepdasardarikeharusanmenyediakan RTH yang diaturoleh UU,

dalamhalini UU No. 26 Tahun 2007

benar-benarbermanfaatbagimasyarakatsecarakeseluruhan.

Berdasarkanhaltersebutdiatas,

makasecarakhususpenelitianiniakanmerumuskanpermasalahanpengendalian RTH

di kotaTangerangsebagaiberikut:

1. StrategiPengendaliansepertiApa yang

harusdilakukanuntuktetapmenjagaluasan RTHdanterdistribusilebihmerata

di setiapkecamatan.

2. Bentuk RTH sepertiapa, yang di inginkanolehMasyarakat.

3. Kelembagaanmana yang sebaiknyabertanggungjawabterhadappengelolaan

RTH

1.3. TujuanPenelitian

Secaraumumpenelitianinibertujuanuntukmemberikanrumusankonsepuntuk

memenuhikebutuhanRTH

demiuntukmenjagatercapainyakeseimbanganlingkungan di wilayah Kota

Tangerang. Adapunsecarakhusus, penelitianinibertujuanuntuk:

1. Untukmengetahuiseberapabesarkemauanmasyarakatuntukmembayardal

(33)

2. Menganalisisbentuk RTH yang perlu di kembangkan di Kota Tangerang

3. MenganalisisprefensimasyarakatterhadapLembaga yang akanmengelola

RTH

1.4. ManfaatPenelitian

Hasilpenelitianinidiharapkandapatmemberikaninformasitentangkebutuhan

RTH di Kota Tangerang,

sehinggadapatdijadikanbahanpertimbangandalampengambilankebijakandalamrang

kamengendalikanluas RTH sesuaidenganUU No. 26 Tahun 2007 demi

terwujudnyasalahsatutujuanpembangunanyaitu Pembangunan yang

RUANG TERBANGUN RUANG TERBUKA

RUANG TERBUKA MELALUI IMB & PBB

LUAS, BENTUK DAN LEMBAGA PENGELOLA RTH

STANDAR KEBUTUHAN RTH

(34)
(35)

2.1.1. Ruang Terbuka

Menurut UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud

dengan ruang yaitu wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

termasuk ruang di dalam bumi sebagai suatu kesatuan wilayah, tempat manusia

dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara

kelangsungan hidupnya. Jayadinata (1999) dalam Hesty (2005) menjelaskan bahwa ruang adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfera

tempat hidup tetumbuhan, hewan, dan manusia.Ruang dapat merupakan suatu

wilayah yang mempunyai batas geografi, yaitu batas menurut keadaan fisik,

sosial, atau pemerintahan yang meliputi sebagian permukaan bumi, lapisan tanah

di bawahnya dan lapisan udara di atasnya. Rustiadi (1996) dalam Suryadi (2008) pemanfaatan ruang dalam pelaksanaanya tidak selalu sejalan dengan rencana tata

ruang yang telah ditetapkan, hal ini disebabkan adanya tekanan perkembangan

pasar terhadap lahan sebagai akibat ketersediaan lahan yang terbatas dan belum

jelasnya mekanisme pengendalian dan lemahnya lembaga penegakan hukum.

Penggunaan tanah merupakan suatu bagian dari tata ruang, untuk tetap

menjaga keseimbangan, keserasian, kelestarian lingkungan, serta memperoleh

manfaat tata ruang kota, maka harus dilakukan penataan penggunaan tanah untuk

meningkatkan kualitas manusia dan lingkungan hidup.Berdasarkan Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka

Hijau Kawasan Perkotaan, ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau

wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk

area memanjang jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang

pada dasarnya tanpa bangunan.

2.1.2. Ruang Terbuka Hijau

Ruang Terbuka Hijau digambarkan sebagai suatu kawasan atau areal

permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi

(36)

pengaman jaringan prasarana dan atau budidaya pertanian yang difungsikan

sebagai peresapan air dan menghasilkan oksigen, didominasi oleh tumbuhan

memberikan makna atas suatu hamparan yang penuh dengan tetumbuhan, tanpa

bangunan berarti, atau hamparan dengan koefisien lantai bangunan setara dengan

nilai (0). Menurut Hakim (2002) dalam Hesty (2005) Ruang Terbuka Hijau didefinisikan sebagai ruang-ruang yang terdapat di dalam kota, baik berupa

koridor/jalur ataupun area/kawasan sebagai tempat pergerakan/penghubung dan

tempat perhentian/tujuan, dimana unsur hijau (vegetasi) yang alami dan sifat

ruang terbuka lebih dominan, sedangkan menurut Yuliasari (2008) yang dimaksud

dengan Ruang Terbuka Hijau adalah ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih

bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh- tumbuhan secara alamiah ataupun

budidaya.

Menurut Anonim (2006) dalam Makalah Lokakarya Pengembangan system RTH Di Perkotaan dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke

60,yang dimaksud dengan Ruang Terbuka hijau adalah bagian dari ruang-ruang

terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi). RTH berguna mendukung manfaat langsung

dan/atau tidak langsung yang dihasilkan bagi kota tersebut yaitu keamanan,

kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan.

Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang

Penataan ruang terbuka hijau di Wilayah Perkotaan, Ruang Terbuka Hijau adalah

ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk

area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana di dalam

penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Berbeda

lagi dengan pengertian Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang

selanjutnya disingkat RTHKP yaitu bagian dari ruang terbuka suatu kawasan

perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat

ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika seperti tertera pada Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka

(37)

2.1.3. Pengelompokan dan Jenis Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau di kelompokan menjadi dua kelompok yaitu RTH

publik dan RTH privat. RTH publik adalah RTH yang penyediaan dan

pemeliharaanya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Contoh dari

RTH publik adalah taman kota, tempat pemakaman umum, jalur hijau sepanjang

jalan sungai dan pantai. RTH privat adalah RTH yang penyediaan dan

pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pihak/lembaga swasta, perseorangan

dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh

Pemerintah Kabupaten/Kota.

Adapun jenis Ruang Terbuka Hijau terdiri dari :

1. Kawasan Hijau Lindung yaitu bagian dari kawasan hijau yang memiliki

karakteristik alamiah yang perlu dilestarikan untuk tujuan perlindungan

habitat setempat maupun untuk perlindungan wilayah yang lebih luas.

Dalam kawasan ini, termasuk diantaranya :

a. Cagar Alam, yaitu kawasan suaka alam, yang karena keadaan alamnya

mempunyai kekhasan tumbuhan dan/atau satwa, termasuk

ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi, baik di

daratan maupun perairan, yang perkembangannya berlangsung secara

alami.

b. Hutan Lindung, adalah kawasan hutan yang karena keadaan sifat

alamnya diperuntukkan guna pengatur tata air, pencegah banjir, erosi,

abrasi, dan intrusi, serta perlindungan bagi kesuburan tanah.

c. Hutan wisata, adalah kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai pusat

rekreasi dan kegiatan wisata alam.

2. Kawasan Hijau Binaan yaitu bagian dari kawasan hijau di luar kawasan

hijau lindung untuk tujuan penghijauan yang dibina melalui penanaman,

pengembangan, pemeliharaan maupun pemulihan vegetasi yang

diperlukan dan didukung fasilitas yang diperlukan, baik untuk sarana

ekologis maupun sarana sosial kota. Kawasan hijau binaan ini meliputi

(38)

a. RTH Fasilitas Umum berupa suatu hamparan lahan penghijauan yang

berupa tanaman dan/atau pepohonan, berperan untuk memenuhi

kepentingan umum, dapat berupa hasil pembangunan hutan kota, taman

kota, taman lingkungan/tempat bermain, lapangan olahraga, dan

pemakaman umum.

b. Jalur Hijau Kota, merupakan bagian dan ruang terbuka hijau yang

berdiri sendiri atau terletak di antara badan jalan atau

bangunan/prasarana kota lain, dengan bentuk teratur/tidak teratur yang

di dalamnya ditanami atau dibiarkan tumbuh berbagai jenis vegetasi.

c. Taman kota, merupakan bagian dari ruang terbuka hijau yang berdiri

sendiri atau terletak di antara batas-batas bangunan/prasarana kota lain

dengan bentuk teratur/tidak teratur yang ditata secara estetika dengan

menggunakan unsur-unsur buatan atau alami, baik berupa vegetasi

maupun material-material pelengkap lain yang berfungsi sebagai

fasilitas pelayanan warga kota dalam berinteraksi sosial. Secara umum,

taman kota mempunyai dua unsur perpaduan, baik buatan maupun

alami dengan menggunakan material pelengkap, dan secara spesifik

terdiri dari unsur hijau, yaitu pepohonan yang ditata secara soliter

dengan menonjolkan nilai estetikanya, perhimpunan tanaman perdu,

dan hamparan rerumputan yang teratur, sehingga membentuk kesatuan

kesan pandang keindahan wajah kota terkecil.

d. Taman Rekreasi, merupakan bagian dari ruang terbuka hijau yang

berdiri sendiri atau terletak di antara batas-batas bangunan/prasarana

kota lain dengan bentuk teratur/tidak teratur yang ditata secara estetis

dengan menggunakan unsur-unsur buatan dan alami, baik berupa

vegetasi maupun material-material pelengkap lain yang berfungsi

sebagai fasilitas pelayanan bagi warga kota untuk melakukan kegiatan

rekreasi sehingga perlu adanya elemen-elemen yang bersifat rekreasi

umum.

e. Taman Hutan, merupakan bagian dari RTH yang berdiri sendiri atau

terletak di antara batas-batas bangunan/prasarana kota lain dengan

(39)

menggunakan unsur-unsur buatan dan alami, khususnya dengan

penanaman berbagai jenis pohon dengan kerapatan yang tinggi. Ciri

spesifik taman hutan dalam kaitannya dengan fasilitas umum, adalah

bahwa hamparan lantai tapaknya dilengkapi dengan fasilitas (sarana

umum), yang secara langsung dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

f. Hutan Kota, berupa suatu hamparan kawasan hijau dengan luasan

tertentu,yang berada di wilayah perkotaan. Jenis tumbuhannya (dalam

hal ini pepohonan) beraneka ragam, bertajuk bebas, sistem

perakarannya dalam,dicirikan oleh karakter jarak tanam yang rapat,

sehingga membentuk satuan ekologi kecil karena terbentuknya

pelapisan (strata tajuk) dua sampai tiga tingkatan. Berdasarkan

fungsinya, kawasan hutan kota dapat dikembangkan sebagai penyangga

wilayah resapan air tanah, rekreasi alam, pelestarian plasma nutfah, dan

habitat satwa liar, serta meningkatkan kenyamanan lingkungan

perkotaan.

g. Taman Bangunan Umum, merupakan bagian dari ruang terbuka hijau

yang berdiri sendiri atau terletak di antara batas-batas

bangunan/prasarana kota lain dengan bentuk teratur/tidak teratur yang

berfungsi sebagai fasilitas pelayanan bagi masyarakat umum dalam

melakukan interaksi yang berkaitan dengan kegiatan yang sesuai

dengan bangunan tersebut.

h. Tepian Air, bagian dari RTH yang ditentukan sebagai daerah pengaman

dan terdapat di sepanjang batas badan air ke arah darat seperti

pantai,sungai, waduk, kanal, dan danau yang ditata dengan aspek

arsitektur lansekap melalui penanaman berbagai jenis vegetasi dan

sarana kelengkapan pertamanan.

i. Taman lingkungan/tempat bermain, merupakan suatu hamparan dengan

pepohonan yang rindang dan teduh yang dilengkapi dengan sarana dan

prasarana mainan anak-anak. Kawasan ini umumnya dekat dengan

pusat-pusat kegiatan sekolah, perkantoran, dan/atau berada di sekitar

(40)

keindahan dan keunikan dan memberikan kenyamanan bagi setiap insan

yang menikmatinya.

j. Lapangan olahraga, merupakan ruang terbuka yang ditanami pepohonan

dan rerumputan yang teratur untuk kepentingan kesegaran jasmani

melalui kegiatan olahraga. Jenis pepohonan pada hamparan ini

merupakan jenis jenis tumbuhan penghasil oksigen tinggi dan berfungsi

sebagai tempat peneduh.

k. Pemakaman, suatu fasilitas umum dalam kaitannya dengan peranan

fungsi sebagai RTH, karena hamparan lahannya cukup luas dapat

berfungsi sebagai wilayah resapan.

l. RTH fungsi Pengaman, merupakan suatu daerah penyangga alami,

dengan bentuk jalur penghijauan, yang dapat berupa taman dominan

rumput, dan/atau pepohonan besar yang diarahkan untuk pengamanan

dan penyangga situ-situ, bantaran sungai, tepian jalur rel kereta api,

sumber-sumber mata air, pengaman jalan tol, pengaman bandara, dan

pengaman tegangan tinggi.

m. Penghijauan pulau, merupakan suatu bentuk pemulihan nilai

produktivitas tanah melaui pembudidayaan tanaman agar fungsinya

semakin optimal.

n. RTH Budidaya Pertanian, merupakan area yang difungsikan untuk

budidaya pertanian milik perorangan, badan hukum atau pemerintah,

yang meliputi kebun pembibitan, sawah, dan pertanian daratan.

2.1.4. Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Manusia yang tinggal di lingkungan perkotaan membutuhkan suatu

lingkungan yang sehat dan bebas polusi, untuk kenyamanan hidup. Tolok ukur

dari penataan ruang adalah mampu memberikan kenyamanan, keasrian, dan

kesehatan bagi penghuni kota dengan tersedianya alokasi RTH. RTH di perkotaan

diharapkan mencukupi kebutuhan lingkungan perkotaan dan berkelanjutan dari

waktu ke waktu, Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006), Ruang

terbuka hijau dibangun untuk memenuhi berbagai fungsi dasar, yang secara umum

(41)

1. Fungsi bio-ekologis (fisik), adalah fungsi yang memberi jaminan pengadaan

RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur

iklim mikro, agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung

lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap (pengolah) polutan media

udara, air dan tanah, serta penahan angin.

2. Fungsi sosial, ekonomi (produktif), dan budaya adalah fungsi yang mampu

menggambarkan ekspresi budaya lokal, RTH merupakan media komunikasi

warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian.

3. Fungsi estetis, adalah fungsi untuk meningkatkan kenyamanan, ,memperindah

lingkungan kota baik dari skala mikro, halaman rumah, lingkungan

pemukiman, maupun makro, lansekap kota secara keseluruhan. Mampu

menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota. Juga bisa berekreasi

secara aktif maupun pasif, seperti : bermain, berolah raga, atau kegiatan sosiali

lainya, yang sekaligus menghasilkan keseimbangan kehidupan fisik dan psikis.

Selain itu, dapat tercipta suasana serasi, dan seimbang antara berbagai

bangunan gedung, infrastruktur jalan dengan pepohonan hutan kota, taman

kota, taman kota pertanian dan perhutanan, jalur hijau jalan, bantaran rel

kereta api, serta jalur biru bantaran kali.

4. Ekosistem perkotaan adalah fungsi untuk memproduksi oksigen, tanaman

berbunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa menjadi bagian dari usaha

pertanian, kehutanan, dan lain-lain.Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan

Perkotaan, fungsi RTH adalah :

(a) Pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan;

(b) Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara;

(c) Tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati;

(d) Pengendali tata air; dan

(e) Sarana estetika kota

Sementara itu dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 2007 tentang

Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, fungsi dari RTH adalah

(42)

a. Sebagai areal perlindungan untuk berlangsungnya fungsi ekosistem dan

penyangga kehidupan

b. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan

kehidupan lingkungan

c. Sebagai sarana rekreasi

d. Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam

pencemaran, baik di darat, perairan maupun udara

e. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat

untuk membentuk kesadaran lingkungan

f. Sebagai tempat perlindungan plasma nuftah

g. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro

h. Sebagai pengatur tata air.

2.1.5. Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006), RTH memiliki

manfaat, antara lain :

1. Penyeimbang antara lingkungan alam dengan lingkungan buatan, yaitu sebagai

penjaga fungsi kelestarian lingkungan pada media air, tanah, dan udara serta

konservasi sumberdaya hayati flora, dan fauna.

2. Bagi kesehatan, tanaman yang terdapat dalam RTH sebagai penghasil

oksigen(O2) terbesar dan penyerap karbon dioksida (CO2

3. Membentuk iklim yang sejuk dan nyaman.

) dan zat pencemar

udara lain.

4. Membantu sirkulasi udara.

5. Sebagai pemelihara akan kelangsungan persediaan air tanah.

6. Sebagai penjamin terjadinya keseimbangan alami, secara ekologis dapat

menampung kebutuhan hidup manusia itu sendiri, termasuk sebagai habitat

alami flora, fauna, dan mikroba yang diperlukan dalam siklus hidup manusia.

7. Sebagai pembentuk faktor keindahan arsitektural.

8. Sebagai wadah dan obyek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam

mempelajari alam.

(43)

2.2. Izin Mendirikan Bangunan

Izin Mendirikan Bangunan menurut definisi yang ada didalam Peraturan

Daerah Kota Tangerang, No.7 Tahun 2001, adalah izin yang diberikan oleh

Pemerintah Kota kepada orang pribadi atau badan untuk mendirikan suatu

bangunan, yang dimaksud agar desain, pelaksanaan pembangunan dan bangunan

sesuai dengan rencana Tata Ruang yang berlaku, sesuai dengan Garis Sempadan

Bangunan (GSB), sesuai Garis Sempadan Sungai (GSS), sesuai Koefisien Dasar

Bangunan (KDB), sesuai Koefisien Luas Bangunan (KLB), sesuai dengan

syarat-syarat keselamatan yang ditetapkan bagi yang menempati bangunan tersebut.

Pemberian IMB dimaksudkan untuk ,Pembinaan,Pengaturan, Pengendalian dan

Pengawasan atas kegiatan mendirikan bangunan oleh orang pribadi atau

badan.Tujuan Pemberian IMB adalah untuk melindungi kepentingan umum,

memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut retribusi

sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).Mendirikan Bangunan

adalah Pekerjaan mengadakan bangunan sebagian atau seluruhnya termasuk

pekerjaan menggali, menimbun, atau meratakan tanah yang berhubungan dengan

pekerjaan mengadakan bangunan.

a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan

Restribusi izin mendirikan Bangunan adalah Pembayaran atas pemberian

IMB termasuk mengubah/membongkar bangunan oleh Pemerintah kepada orang

pribadi atau badan.Secara singkat, yang perlu kita ketahui adalah IMB adalah izin

untuk mendirikan bangunan, diberikan oleh Pemerintah Kota.Jadi, IMB

merupakan produk dari pemerintah. Tak ada lembaga lain yang berhak untuk

menerbitkannya. Penerbitan oleh lembaga lain dianggap tidak sah.

IMB dapat diberikan kepada seseorang saja atau kepada badan seperti

perusahaan atau organisasi. Jadi, kita mendapatkan IMB agar kita bisa secara legal

memulai kegiatan pembangunan suatu bangunan.Agar desain, pelaksanaan

pembangunan dan bangunan sesuai dengan rencana Tata Ruang yang berlaku,

sesuai dengan Garis Sempadan Bangunan (GSB), sesuai Garis Sempadan Sungai

(44)

Bangunan (KLB), sesuai dengan syarat-syarat keselamatan yang ditetapkan bagi

yang menempati bangunan tersebut.

IMB bertujuan agar segala desain, pelaksanaan pembangunan, dan

bangunan sesuai dengan peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang

berlaku.Ini sangat penting untuk alasan keamanan dan keselamatan.

- Garis Sempadan Bangunan (GSB) adalah batas halaman terdepan atau batas

pemetakan atau batas penguasaan jalan.

- Garis Sempadan Sungai (GSS) adalah garis batas luar pengamanan sungai

- Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Luas Bangunan (KLB)

Sebelum memulai mendirikan bangunan, rumah sebaiknya memiliki

kepastian hukum atas kelayakan, kenyamanan, keamanan sesuai dengan

fungsinya.IMB tidak hanya diperlukan untuk mendirikan bangunan baru saja,

tetapi juga dibutuhkan untuk membongkar, merenovasi, menambah, mengubah,

atau memperbaiki yang mengubah bentuk atau struktur bangunan.IMB sendiri

dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat (kelurahan hingga kabupaten).

Dalam pengurusan IMB diperlukan pengetahuan akan

peraturan-peraturannya sehingga dalam mengajukan IMB, informasi mengenai peraturan

tersebut sudah didapatkan sebelum pembuatan gambar kerja arsitektur.

b. Tujuan Pemberian IMB 1. Pembinaan

Pembangunan sebuah bangunan memerlukan pembinaan.IMB dimaksudkan

agar lembaga yang berwenang dapat membina orang atau badan yang

bermaksud membangun agar dapat membangun dengan benar dan menghasilkan

bangunan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

2. Pengaturan

Bangunan-bangunan perlu diatur.Pengaturan bertujuan agar menghasilkan

sesuatu yang teratur.Pembangunan perlu memperhatikan peraturan-peraturan

yang berlaku.Jarak dari jalan ke bangunan, luas ruang terbuka, dan lain-lain

perlu diatur. Tanpa pengaturan, bangunan-bangunan akan semakin semrawut

(45)

3. Pengendalian

Pembangunan perlu dikendalikan.Tanpa pengendalian, bangunan

bangunan bisa muncul dimana-mana seperti jamur tanpa memperhatikan

peraturan yang berlaku. Lahan yang dimaksudkan menjadi taman bisa saja

diubah menjadi rumah tanpa pengendalian. Selain itu laju pembangunan perlu

diperhatikan.Pembangunan yang begitu pesat juga bisa membawa dampak buruk

bagi lingkungan.

4.Melindungi Kepentingan umum

IMB bertujuan melindungi kepentingan umum.Kegiatan pembangunan

yang bisa merusak lingkungan bisa saja ditolak.Terjaganya lingkungan juga

merupakan kepentingan umum.Kantor tak bisa begitu saja dibangun di atas

lahan hijau.Tak boleh ada rumah yang dibangun di pinggir sungai.Semua itu

terjadi karena pembangunan yang dimaksud bertentangan dengan kepentingan

umum masyarakat.Tak ada orang yang ingin rumahnya kebanjiran. Tak ada

orang yang tak ingin menghirup udara segar.

2.3. Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menurut definisi yang diberikan oleh

Mardiasmo (2008) adalah iuaran wajib bagi setiap warga negara atas kepemilikan

sah atas tanah dan bangunan yang besaranya ditentukan berdasarkan peraturan.

Berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi

dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12

Tahun 1994 adalah “Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di

bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk

rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia.Bangunan

adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan

atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan”.

PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang

ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan

subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Objek PBB

(46)

Bumi Adalah Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di dalam serta laut wilayah Indonesia, Contoh : sawah, ladang, kebun, tanah.

pekarangan, tambang,dll.

Bangunan Adalah Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Contoh : rumah tempat tinggal, bangunan

tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, Emplasemen , pagar

mewah, dermaga, taman mewah, fasilitas lain yang memberi manfaat, jalan tol,

kolam renang, anjungan minyak lepas pantai.

a. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan PBB

Objek pajak yang tidak dikenakan PBB, menurut Mardiasmo (2008)

adalah objek yang :

1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang

ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak

dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja,

rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.

2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis

dengan itu.

3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah

penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah yang belum dibebani

suatu hak.

4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal

balik.

5. Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang

ditentukan oleh Menteri Keuangan.

b. Dasar Pengenaan PBB

Ditetapkan perwilayah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dengan

mendengar pertimbangan Gubernur serta memperhatikan:

a. Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara

(47)

b. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya

berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya

c. Nilai perolehan baru

d. Penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti

2.4.Program Linier

Program Linier (Linear Programming) adalah suatu cara untuk menyelesaikan, menurut Permana (2008) persoalan pengalokasian

sumber-sumber yang terbatas diantara beberapa aktivitas yang bersaing, dengan

cara yang terbaik yang mungkin dilakukan.Persoalan pengalokasian ini

akan muncul manakala seseorang harus memilih tingkat aktivitas-aktivitas

tertentu yang bersaing dalam hal penggunaan sumber daya langka yang

dibutuhkan untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut.

Beberapa contoh situasi dari uraian diatas antara lain ialah persoalan

pengalokasian sumber daya nasional untuk kebutuhan domestik,

penjadwalan produksi, solusi permainan (game), dan pemilihan pola pengiriman (shipping). Satu hal yang menjadi ciri situasi diatas ialah adanya keharusan untuk mengalokasikan sumber terhadap aktivitas.

Program linier ini menggunakan model matematis untuk

menjelaskan persoalan yang dihadapi. Sifat“linier”disini member arti bahwa

seluruh fungsi matematis dalam model ini merupakan fungsi yang linier,

sedangkan kata “program” merupakan sinonim untuk perencanaan.Dengan

demikian,program linier adalah perencanaan aktivitas-aktivitas untuk

memperoleh suatu hasil yang optimum,yaitu suatu hasil yang mencapai

tujuan terbaik diantara seluruh aktivitas yang fisibel.Dalam membangun

model dari formulasi persoalan programa linier digunakan karakteristik-

karakteristik anatara lain, yaitu:

a. Variabel keputusan

Variabel keputusan adalah variabel yang menguraikan secara

lengkap keputusan-keputusan yang akan dibuat fungsi tujuan.

b. Fungsi tujuan

Fungsi tujuan merupakan fungsi dari dari variabel keputusan

(48)

atau diminimumkan (untuk ongkos).

c. Pembatas

Pembatas merupakan kendala yang dihadapi sehingga kita tidak

bias menentukan harga-harga variabel keputusan secara

sembarang.Koefisien dari variabel keputusan pada pembatas disebut

koefisien teknologis, sedangkan bilangan yang ada di sisi kanan

setiap pembatas disebut ruas kanan pembatas.

d. Pembatas tanda

Pembatas tanda adalah pembatas yang menjelaskan apakah variabel

keputusannya diasumsikan hanya berharga non negative atau

variabel keputusan tersebut boleh berharga positif, boleh juga

negatif (tidak terbatas dalam tanda).

Dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian persoalan program

linier (Linear Programming) adalah suatu persoalan optimasi dimana kita melakukan hal-hal berikut ini:

1. Berusaha memaksimumkan atau meminimumkan suatu fungsi linier

dari variabel-variabel keputusan yang disebut fungsi tujuan.

2. Harga/besaran dari variabel-variabel keputusan itu harus memenuhi

suatu set pembatas.Setiap pembatas harus merupakan persamaan

linier atau ketidaksamaan linier.

3. Suatu pembatas tanda dikaitkan dengan setiap variabel.

Model Program linier

Model merupakan suatu representasi atau formalisasi, dalam bahasa

tertentu (yang disepakati) dari suatu system nyata. Pengembangan model

adalah suatu usaha untuk memperoleh model baru yang memiliki

kemampuan lebih didalam beberapa aspek. Pengembangan model biasanya

menggunakan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:

1. Elaborasi

Pengembangan model dimulai dengan yang sederhana dan

secara bertahap dielaborasi sehingga diperoleh model yang

(49)

system asumsi yang ketat yang tercermin pada jumlah, sifat dan

relasi variabel-variabelnya.Tetapi asumsi yang dibuat tetap harus

memenuhi persyaratannya yakni konsistensi, indefendensi,

ekuivalensi dan relevansi.

2. Sinektik

Adalah metode yang dibuat untuk mengembangkan

pengenalan masalah-masalah secara logis. Sinektik yang mengacu

pada penemuan kesamaan-kesamaan akan membantu analis

membuat penggunaan satuan analogi yang kreatif dalam

mengembangkan suatu model. Banyak studi menunjukkan bahwa

orang seringkali gagal mengenali bahwa apa yang tampak menjadi

masalah baru pada kenyataannya secara tersembunyi merupakan hal

yang sama dan dapat didekati melalui model yang sudah ada.Karena

itu, pengembangan model dapat dilakukan dengan menggunakan

prinsip-prinsip, hukum, teori, aksioma, dan dalil yang sudah dikenal

secara luas tetapi belum pernah digunakan untuk memecahkan

masalah yang sedang dihadapi.Sinektik didasarkan pada asumsi

bahwa kesadaran mengenai hubungan yang identik atau mirip

diantara masalah system nyata dalam skala besar akan

meningkatkan kapasitas pemecahan masalah dari seorang analis.

3. Iteratif

Pengembangan model bukanlah proses yang bersifat

mekanistik dan linier. Oleh karena itu dalam tahap

pengembangannya mungkin saja dilakukan pengulangan atau

penijauan-peninjauan kembali (iteratif).Ada tiga komponen utama

prinsip iteratif ini,yaitu, pengembangan model awal atau dugaan,

langkah-langkah atau aturan yang harus ditempuh supaya dapat

diperoleh model yang memadai, dan ukuran kompleksitas model

sebagai titik akhir dimana kita menghentikan proses iteratif.

Program linier merupakan salah satu metodologi, yang merupakan

suatu urutan proses dan prosedur yang disusun secara sistematik dan

(50)

model, dll) yang telah direncanakan untuk diperoleh.

Menurut klasifikasi fungsi model, program linier merupakan suatu

model normative yang memberikan jawaban terbaik dari alternatif yang

ada terhadap sebuah masalah. Model ini memberikan aturan dan

rekomendasi untuk langkah-langkah atau tindakan yang dapat diambil

untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa keuntungan (nilai).

Masalah model normatife biasanya berbentuk penemuan nilai-nilai dari

variabel-variabel yang dapat dikendalikan (variable keputusan) yang akan

menghasilkan manfaat (nilai) yang paling besar seperti yang diukur oleh

variabel hasil atau kriteria pencapaian tujuan. Kesulitan utama dari model

ini adalah menentukan kriteria yang tepat untuk memilih jawaban terbaik.

2.5. Analisis Kemauan Untuk Membayar (Willingness To Pay)

Pengertian nilai atau value, khusus yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan, memang bisa berbeda

jika dipandang dari berbagai sudut disiplin ilmu, Fauzi (2006).Dari sisi ekologi

misalnya nilai dari hutan mangrove bisa berarti pentingnya hutan mangrove

sebagai tempat reproduksi spesies ikan tertentu atau untuk fungsi ekologis

lainnya.Dari sisi tehnik, nilai hutan mangrove bisa sebagai pencegah abrasi atau

banjir dan sebagainya. Perbedaan berbagai konsepsi nilai tersebut tentu akan

menyulitkan pemahaman mengenai pentingnya suatu ekosistem. Karena itu

diperlukan suatu persepsi yang sama untuk menilai ekosistem tersebut. Salah satu

tolok ukur yang relative mudah dan dapat dijadikan persepsi bersama dari

berbagai disiplin ilmu tersebut adalah pemberian price tag (harga) pada barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam. Dengan demikian, mengunakan apa

yang di sebut nilai ekonomi sumber daya alam.

Secara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah

maksimum seseorang inggin mengorbankan barang/jasa lainnya, secara formal

konsep ini disebut keinggin langsung membayar (willingness to pay) seseorang terhadap pengukuran nilai moneter barang dan jasa. Atau dalam bahasa yang

sederhana berapa besar nilai rupiah yang mau di bayarkan oleh masyarakat untuk

(51)

Untuk mengetahui nilai ekonomi sumber daya alam dan lingkungan secara

langsung dapat mengunakan metode Contingent Valuation Method (CVM).

Metode Valuasi Kontingensi

Metode Valuasi Kontingensi (Contingent Valuation Method, CVM) menurut Anhar (2008) adalah cara perhitungan secara langsung, dalam hal ini

langsung menanyakan kesediaan untuk membayar (willingness to pay, WTP) kepada masyarakat, dengan titik berat preferensi individu menilai benda publik

yang penekanan pada standar nilai uang. Metoda ini memungkinkan semua

komoditas yang tidak diperdagangkan di pasar dapat diestimasi nilai ekonominya.

Dengan demikian nilai ekonomi suatu benda publik dapat diukur melalui konsep

WTP.

Untuk mengukur WTP biasanya digunakan metode contingent valuation (CV). Menurut Husodo (2009 ) Metode CV telah banyak digunakan untuk

mengukur WTP konsumen, khususnya untuk barang-barang yang bersifat non market goods, seperti peningkatan kualitas lingkungan (Carson and Mitchell, 1981) atau pengendalian polusi udara (Loehman and De, 1982).Metode CV juga banyak digunakan untuk mengevaluasi WTP untuk keamanan pangan. Meski

terdapat beberapa metode ekonomi untuk melakukan valuasi non-market goods, CV dianggap sebagai metode yang paling tepat untuk mengukur nilai keamanan pangan (Buzby, et al., 1995). Para ekonom juga telah mengembangkan teknik CV untuk mengukur manfaat barang quasi public seperti udara dan peningkatan kualitas air, tempat rekreasi, ijin berburu, pengurangan resiko penyakit atau

bahkan label sertifikasi barang dan jasa. Manfaat-manfaat tersebut didefinisikan

sebagai penjumlahan willingness to pay (WTP) setiap individu terhadap adanya peningkatan kualitas lingkungan tertentu. Melalui teknik CVM seseorang akan ditanya kesanggupan dan berapa rupiah yang sanggup ia bayarkan terhadap

barang-barang non-market. Wan dan Wang (1996) menggunakan CVM untuk mengestimasi WTP konsumen terhadap sertifikasi keamanan pangan. Misra et al. (1991) dan Weaver et al. (1992) menggunakan harga premiun untuk melakukan survey WTP terhadap produk bebas residu. Prosedur paling penting dalam

(52)

tentang berapa banyak yang sanggup dia bayar jika ada perubahan kondisi dari

suatu sumberdaya lingkungan atau perbaikan jasa yang akan dirasakan

manfaatnya oleh responden dalam situasi hipotetis (Diamond, et. al., 1993; Haab and McConnell, 2001). Awalnya metode CV banyak menggunakan pertanyaan open ended questiorn seperti, "Berapa jumlah maksimum yang sanggup anda bayar?". Namun akhir-akhir ini, dalam metode CV banyak digunakan cara cara

lain semacam iterative bidding, payment cards, dan dichotomous choice questions (Boyle and Bishop,1988).

Kuesioner CVM meliputi empat bagian, yaitu :

1) Penulisan detail tentang benda yang dinilai, persepsi penilaian benda

publik,

2) Jenis kesanggupan dan alat pembayaran

3) Pertanyaan tentang WTP yang diteliti

4) Pertanyaan tentang karakteristik sosial demografi responden seperti usia,

tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Sebelum menyusun

kuisioner, terlebih dahulu dibuat skenario-skenario yang diperlukan dalam

rangka membangun suatu pasar hipotetis, benda publik yang menjadi

obyek pengamatan. Selanjutnya dilakukan pembuktian pasar hipotetis

menyangkut pertanyaan perubahan kualitas lingkungan yang dijual atau

dibeli.

Tahap-tahap Studi CVM

Menurut Fauzi (2006), implementasi CVM dapat dipandang menjadi lima

tahap pekerjaan, yaitu :

1) membangun pasar hipotetis

2) memunculkan/menghasilkan nilai tawaran (bid) 3) menduga nilai rata-rata WTP

4) menduga kurva nilai tawaran (bid curve) 5) evaluasi penggunaan CVM.

Dari lima tahapan tersebut, hanya tiga tahap yang dilakukan dalam

Penelitian ini,yaitu, membangun pasar hipotetis,memunculkan Nilai tawaran,dan

menduga nilai rata-rata WTP.

(53)

Membangunan sebuah pasar hipotetis bagi jasa lingkungan yang

dipertanyakan adalah tahap pertama yang harus dilakukan dalam studi CVM.

Skenario kegiatan harus diuraikan secara jelas dalam instrumen survai

(kuesioner) sehingga responden dapat memahami benda lingkungan yang

dipertanyakan serta keterlibatan masyarakat dalam rencana kegiatan. Kuesioner

yang digunakan juga harus menguraikan apakah semua konsumen akan membayar

sejumlah harga tertentu jika perubahan lingkungan jadi dilaksanakan, serta

bagaimanakah uang bayaran tersebut dikelola. Selain itu, kuesioner juga harus

menjelaskan bagaimanakah keputusan tentang dilanjutkan atau tidaknya rencana

kegiatan tersebut.

Tahap 2 (dua) : Penentuan nilai tawaran (bid)

Setelah kuesioner selesai dibuat, maka kegiatan survei dapat dilakukan dengan

wawancara secara langsung (tatap muka) dengan responden, melalui teplepon,

atau melalui e-mail. Wawancara melalui telepon sebaiknya merupakan alternative terakhir karena penyampaian informasi benda lingkungan melalui telepon dinilai

agak sulit, terutama karena keterbatasan waktu.Survei melalui surat sering

digunakan, tetapi seringkali mengalami bias dari jawaban yang

diterima.Wawancara menggunakan petugas yang terlatih akan menghasilkan

jawaban yang memadai,tetapi perlu juga diwaspadai bias yang mungkin terdapat

pada petugas yang melaksanakan wawancara.

Dalam kuesioner, setiap individu ditanya mengenai nilai uang yang bersedia

dibayarkan atau besaran prosentase yang mau dibayarkan berdasarkan nilai lahan

yang dimiliki (nilai WTP) agar peningkatan kualitas lingkungan jadi dilaksanakan

(atau nilai WTP untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas lingkungan).

Untuk mendapatkan nilai tersebut dapat dicapai melalui cara-cara sebagai

berikut:

a. Bidding game Nilai tawaran mulai dari nilai terkecil diberikan kepada b. Responden hingga mencapai nilai WTP maksimum yang bersedia

dibayarkan responden

c. Closed-ended referendum Sebuah nilai tawaran tunggal diberikan kepada responden, baik untuk responden yang setuju ataupun yang tidak setuju dengan nilai tersebut (jawaban ya atau tidak)

(54)

e. Open-ended question(pertanyaan terbuka). Setiap responden ditanya maksimum WTP yang bersedia dibayarkan dengan tidak adanya nilai tawaran yang diberikan. Namun dengan cara ini responden sering mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan yang diberikan, khususnya jika tidak memiliki pengalaman mengenai nilai perdagangan komoditas yang dipertanyakan.

Tahap tiga : Perhitungan nilai rata-rata WTP

Setelah nilai tawaran WTP didapatkan maka rata-rata nilai WTP dapat

dihitung. Ukuran pemusatan yang digunakan adalah nilai tengah dan/atau

median. Nilai median tidak dipengaruhi oleh nilai tawaran ekstrim, namun hampir

selalu lebih rendah dibandingkan dengan nilai tengah. Pada tahap ini nilai

tawaran yang tidak lazim ( protest bid) diabaikan dari perhitungan. Keputusan harus diambil tentang bagaimana mengidentifikasi dan memperlakukan pencilan

(outlier), yaitu nilai tawaran yang ekstrim.

Rata-rata nilai tawaran WTP akan lebih mudah dihitung jika model pertanyaan

dilakukan melalui pendekatan kartu pembayaran (payment card), pertanyaan terbuka, atau bidding game. Namun jika pertanyaannya menggunakan pendekatan pertanyaan tertutup (closed-ended referendum), maka perhitungan logit yang berhubungan dengan kemungkinan jawaban “Ya” untuk setiap jumlah yang

diberikan harus diestimasi.

2.6. Proses Hierarki Analitik

Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process – AHP) dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton School of Bussiness pada tahan 1970-an untuk mengorganisasikan informasi dan judgement dalam memilih alternatif yang paling disukai (Saaty, 1983). Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan yang akan dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir,

sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang

efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks dapat disederhanakan

dan dipercepat proses pengambilan keputusannya. Prinsip kerja AHP adalah

penyerderhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan

dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian

tingkat kepentingan setiap variable diberi nilai numerik secara subjektif tentang

(55)

lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk

menetapkan variable yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk

mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Secara grafis, persoalan keputusan AHP

dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat, yang dimulai dengan goal atau sasaran, lalu kriteria level pertama, subkriteria dan akhirnya alternatif.

AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu

kriteria majemuk (atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif,

yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons).Dr. Thomas L. Saaty, pembuat AHP, kemudian menentukan cara yang konsisten untuk mengubah perbandingan berpasangan atau pairwise, menjadi suatu himpunan bilangan yang merepresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan

alternatif.

AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan

keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami

oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP,

proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih

kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu, AHP juga menguji

konsistensi penilaian, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai

konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu

diperbaiki, atau hierarki harus distruktur ulang.

Ide dasar prinsip kerja AHP adalah sebagai berikut :

Penyusunan Hierarki

Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu

kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki.Struktur

hierarki yang disusun memiliki suatu tujuan atau disebut juga dengan goal yang akan dicapai. Selain itu hierarki tersebut memiliki kriteria-kriteria yang akan

membandingkan alternatif-alternatif yang memang akan dibandingkan.

Penilaian Kriteria dan Alternatif

Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut

(56)

dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala

perbandingan Saaty dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel.1 Kriteria Penilaian Alternatif

NILAI KETERANGAN

1 Alternatif A sama penting dengan alternatif B

3 A sedikit lebih penting dari B

5 A jelas lebih penting dari B

7 A sangat jelas lebih penting dari B

9 A mutlak lebih penting dari B

2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan

Nilai perbandingan A dengan B adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai

perbandingan B dengan A.

Ada berbagai cara untuk menentukan tingkat kepentingan kriteria atau alternatif

tersebut, antara lain adalah :

- Menentukan bobot secara sembarang.

- Membuat skala interval untuk menentukan ranking setiap kriteria.

- Menggunakan prinsip kerja AHP, yaitu perbandingan berpasangan

(pairwise comparison), tingkat kepentingan (importance) suatu kriteria relatif terhadap kriteria lain dapat dinyatakan dengan jelas.

Penentuan Prioritas

Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan

berpasangan (pairwise comparisons).Nilai-nilai perbandingan relative kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif.Baik kriteria

kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan

judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas.Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian

(57)

Konsistensi Logis

Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara

(58)

Penelitian dilakukan di wilayah administrasi Kota Tangerang, Propinsi

Banten.Proses penelitian dimulai dengan pengumpulan data, analisis dan diakhiri

dengan penyusunan tesis, pada bulan Januari 2011 hingga Juli 2012.

Kota Tangerang secara geografis terletak antara 6º6' Lintang Utara

sampai dengan 6º13’ Lintang Selatan dan 106º36' Bujur Timur sampai dengan

106º42' Bujur Timur. Batas-batas wilayah penelitian adalah:

 Sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Teluknaga dan Kecamatan

Sepatan Kabupaten Tangerang.

 Sebelah selatan, berbatasan dengan Kecamatan Curug Kabupaten Tangerang,

dan Kecamatan Serpong dan Kecamatan Pondok Aren Kota Tangerang

Selatan.

 Sebelah timur berbatasan dengan DKI Jakarta.

 Sebelah Barat, berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang.

Secara rinci, posisi geografis wilayah Kota Tangerang disajikan pada Gambar 2.

(59)

3.2. Bahan dan Alat

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah UU No.

26 Thn. 2007 tentang Tata Ruang, UU No. 12 Thn. 1994 tentang PBB, Peraturan

Mentri PU No. 05 Thn.2008 tentang Pedoman penyediaan dan Pemanfaatan

Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Peraturan Daerah Kota tangerang

No. 7 Thn. 2001 tentang IMB, kusioner,peta Penutupan Lahan Kota Tangerang,

sedangkan alat yang digunakan komputer dan kelengkapannya, software seperti Excel, Solver Parameter, Expert Choice.

3.3. Metode Penelitian

Tahapan penelitian dalam penelitian ini mengikuti seperti yang ada dalam

bagan alur penelitian seperti pada gambar 3.

Gambar 3. Bagan Alur Penelitian

Pengendalian Melalui IMB dan PBB

-Harga Lahan -% kemauan

Membayar untuk masing- masing klasifikasi

lahan untuk IMB & PBB

Willingnes To Pay

(60)

3.3.1. Penutupan Lahan Aktual

Penutupan lahan aktual adalah penutupan lahan yang ada di Kota

Tangerang, yang di klasifikasikan dalam 4 (empat) klasifikasi, yaitu

Klasifikasi lahan bervegetasi pohon, bervegetasi semak tanaman

semusim, bervegetasi lahan kosong dan vegetasi lahan terbangun.

Berdasarkan penutupan lahan ini RTH terdiri dari Vegetasi pohon dan

vegetasi semak tanaman semusim. RTH berdasarkan luas wilayah sudah

memenuhi ketentuan UU, namun jika diperhatikan secara detail/rinci

maka bentuk penyebaran RTH yang ada belum mencerminkan

pemerataan secara adil dan seimbang, terutama di 2 (dua) kecamatan

yaitu Kecamatan Cileduk dan Larangan.

3.3.2. PengendalianLuasan RTH Melalui IMB dan PBB

Pengendalian luasan RTH melalui IMB dan PBB adalah suatu

cara yang dapat digunakan untuk tetap menjaga luasan RTH yang ada dan

mengatur penyebarannya di masing-masing kecamatan, dengan

menggunakan instrument Izin Mendirikan bangunan (IMB) dan Pajak

Bumi dan Bangunan (PBB).

IMB adalah instrument yang di gunakan oleh Pemerintah Daerah

dalam mengatur pendirian bangunan di wilayah tersebut yang

pengenaannya diatur oleh Peraturan Daerah (PERDA). Makin banyak

IMB yang dikeluarkan atau penerimaan dari instrument ini mennandai

makin banyak konversi lahan yang terkonversi menjadi lahan

terbangun.Hasni (2009) mengatakan salah satu media yang dapat

digunakan untuk mengendalikan Ruang Terbuka Hijau adalah Izin

Mendirikan Bangunan (IMB) dimana setiap izin yang dikeluarkan

benar-benar sesuai dengan keadaanya. Untuk itu perlu ada beban lain/biaya lain

yang menyertainya untuk tetap menjaga RTH.

PBB adalah iuran wajib yang dibayarkan atas kepemilikan luas

lahan dan bangunan, luas lahan cendrung tetap, sedangkan jumlah

bangunan selalu berubah, makin tinggi penerimaan PBB ini

Gambar

Tabel.1  Kriteria Penilaian Alternatif
Gambar 2. Letak Geografis Kota Tangerang
Gambar 3. Bagan Alur Penelitian
Gambar 4. Struktur Hierarki Bentuk dan Pengelola RTH
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bahkan, analisis rasio keuangan merupakan alat utama dalam menganalisis keuangan, karena analisis ini dapat digunakan untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang

[r]

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga Laporan Tugas Akhir dengan Judul Studi Kasus

PENGEMBANGAN INSTRUMEN TES HASIL BELAJAR KETERAMPILAN DASAR BERMAIN BULUTANGKIS.. Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

[r]

penambahan tahanan pada metode tersebut maka dapat merubah besaran-besaran yang pada motor tersebut terutama pada efisiensi motor.maka dari itu dalam tugas akhir ini

Dengan begitu kita akan mengetahui persiapan menghadapi penyakit tersebut, tindakan pencegahan yang harus dilakukan agar penyakit tidak bertambah parah, serta melakukan

milling adalah metode yang lebih baik dari pada dry milling untuk mendapatkan. produk yang lebih halus karena molekul pelarut yang teradsorpsi