STRATEGI KEDAULATAN PANGAN LOKAL BERDASAR
ZONASI KAWASAN RAWAN BENCANA ERUPSI MERAPI
(Studi Kasus desa Kepuharho Cangkringan Sleman DIY) (1)
Strategy for Local Food Sovereignty Based on Disaster Prone Areas of Merapi Eruption. (A case study in Kepuharjo village, Cangkringan Sleman DIY)
Dr.Ir. Gunawan Budiyanto (2)
Abstract
Merapi Eruption 2010 caused damage that led to the decline in the quality of land and raises of food insecurity in the region affected by the eruption. The studies aims to establish local food sovereignty strategy based on disaster prone areas of eruption of Mount Merapi, and carried out from August 2011 to March 2012 in the village of Kepuharjo Cangkringan Sleman DIY. The research was conducted using observational methods to obtain condition of physiographic regions and ecosystem components after the eruption of Merapi 2010. Data were analyzed by descriptive-spatial serve as the basis in determining the prone zoning and conservation, as well as the analysis of descriptive-comparative was done to determine the strategy of local food sovereignty.
The results of the study recommended that the area within a radius less than eight kilometers. from the peak can be used as a conservation area in the form of forests and fodder grass cultivation. While the area within a radius eight kilometers or more from the peak can be used as dry-land farming for food sovereignty of seasonal crops (corn, cassava, sweet potatoes and vegetables) and food sovereignty of animal (cattle and poultry farm).
Keywords : Merapi eruption, food insecurity, local food sovereignty.
PENDAHULUAN.
Kawasan gunung Merapi selama ini telah memberikan kualitas lingkungan yang terjaga
keseimbangannya dan telah memberikan sumberdaya hayati melimpah sebagai modal yang kuat guna
mencapai kedaulatan pangan lokal masyarakat lereng Merapi. Erupsi Merapi tahun 2010 merupakan siklus
aktivitas volkan yang cukup panjang dan telah mengakibatkan rusaknya sebagian kawasan hutan Taman
Nasional Gunung Merapi (TNGM). Seluas 2.400 hektar tanaman hutan yang ada mengalami kerusakan
parah akibat terjangan awan panas dan materi volkan, dan sebagian kawasan tersebut berada di wilayah
Kabupaten Sleman. Kerusakan kawasan hutan tidaklah mudah diatasi, karena beberapa hal, yaitu a)
tanaman hutan pada umunya adalah tanaman tahunan yang membutuhkan waktu cukup lama untuk
mengembalikan kepada fungsi ekologis yang pernah ada, b) temperatur yang dimiliki awan panas dan
materi volkanik menyebabkan musnahnya potensi kesuburan tanah yang bersifat memarginalkan lahan dan
c) endapan material volkanik sedikit banyak menyebabkan berubah dan hilangnya sistem tata air setempat.
Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) membagi kawasan lereng Merapi
menjadi 3 kawasan rawan bencana (KRB) berdasarkan tingkat kerawanan ancaman, yaitu kawasan rawan
bencana (KRB) III merupakan kawasan yang sering dilanda luncuran awan panas, aliran lahar dan
dan guguran lava pijar, kawasan rawan bencana (KRB) II merupakan kawasan yang berpotensi terlanda
awan panas, guguran aliran lahar dan guguran lava pijar, sedangkan kawasan rawan bencana (KRB) I
merupakan kawasan yang kemungkinan terkena dampak perluasan awan panas dan beberapa areal yang
merupakan daerah sekitar aliran beberapa sungai yang berhulu di Merapi, yaitu, sungai Krasak, sungai
Boyong, sungai Kuning, sungai Opak dan sungai Gendol. Erupsi Merapi dapat menyebabkan berbagai
tingkat kerusakan, mulai dari kerusakan berat yang berupa tertimbunnya lahan produktif oleh materi
piroklastik volkan dan guguran lava pijar serta materi-materi yang dibawa awan panas. KRB III, merupakan
kawasan yang dapat mengalami kerusakan total sehingga dapat menghilangkan potensi produktivitas
lahannya termasuk potensi tanaman pertanian dan tanaman hutan. KRB II lebih banyak mengalami
kerusakan lahan akibat sedimentasi abu gunung sampai beberapa sentimeter dan kerusakan tanaman
semusim yang secara signifikan dapat menurunkan potensi hasil tanaman. Sementara KRB I berpotensi
memiliki kerusakan lahan di sepanjang kawasan aliran sungai akibat adanya luapan ke samping (spill-over) materi berupa campuran lumpur abu, pasir dan bebatuan.
Desa Kepuharjo merupakan secara adminstratif terletak di Kecamatan Cangkringan Kabupaten
Sleman dengan batas wilayah sebelah Utara kawasan taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), sebelah
Selatan desa Wukirsari, sebelah barat desa Umbulharjo dan sebelah Timur desa Glagahharjo. Desa
Kepuharjo memiliki 8 dusun yaitu dusun Kaliadem, Jambu, Petung, Kopeng, Batur, Pagerjurang, Kepuh dan
Manggong. Desa Kepuharjo merupakan salah satu desa yang masuk ke dalam zona KRB III (radius 0 – 5
km.) dan II (radius 6 – 10 km.). Sedimentasi material volkanik di desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan
pada umumnya berkisar antara 10 – 30 cm. (Suriadikarta,dkk., 2010), dan di cekungan tanah dapat
mencapai lebih dari 30 cm yang meliputi kawasan hulu sungai Gendol. Sedangkan suhu panas yang masih
dimiliki endapan materi volkan, mengurangi potensi luasan lahan dapat tergunakan. Ancaman kerusakan
lingkungan dan lahan memunculkan potensi kerawanan pangan di desa Kepuharjo dan dapat
menyebabkan desa tersebut memiliki ketergantungan pasokan pangan dari kawasan lain.
Berdasarkan hal di atas, peningkatan kedaulatan pangan lokal sudah saatnya dimulai dari
mengembalikan ketahanan pangan berdasarkan potensi kerawanan yang dimiliki masing-masing kawasan.
Dengan kata lain, desa Kepuharjo yang pada mulanya merupakan wilayah dengan potensi pangan yang
cukup, harus dipulihkan kembali melalui sebuah pola perbaikan yang sesuai dengan tingkat kerawanan
yang ada. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menetapkan strategi kedaulatan pangan lokal berdasar
zonasi rawan bencana erupsi Merapi di desa Kepuharjo Cangkringan Sleman yang diharapkan dapat
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2011 sampai Maret 2012, menggunakan metode
survei dengan melakukan pengamatan kondisi fisiografi wilayah, kondisi lahan dan komponen ekosistem
setelah erupsi 2010. Hasil survei dianalisis secara deskriptif, spatial dan komparatif. Analisis deskriptif
merupakan prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan kondisi obyek penelitian berdasarkan
fakta-fakta yang ditemukan di lapangan dan mencari hubungan antara satu fakta dengan fakta lain
(Nawawi,1995). Data yang diperoleh dianalisis secara deksriptif-spatial yang dijadikan sebagai dasar
penetapan zonasi kerawanan dan konservasi, serta analisis deskriptif-komparatif guna menentukan strategi
kedaulatan pangan lokal.
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang didapatkan melalui
pengamatan lapangan, analisis sampel tanah dan data sekunder yang berhubungan dengan kondisi fisik
kewilayahan dan potensi kebencanaan akibat erupsi Merapi 2010 melalui intepretasi peta kewilayahan dan
peta kebencanaan BNPB.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kerusakan sumberdaya lahan akibat erupsi merapi 2010 sebagian besar berupa endapan batu,
pasir dan abu. Dari delapan dusun yang diamati, dusun Kaliadem, Jambu dan Petung memiliki sebaran
batuan yang lebih banyak dibanding ke lima dusun lainnya, sesuai dengan jarak luncurnya dari pusat
letusan (puncak Merapi) menuju dusun-dusun tersebut. Hasil pengukuran ketebalan endapan materi
piroklastik disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 1. Ketebalan sedimen materi volkan dan kebatuan di Desa Kepuharjo.
Dusun Tebal Sedimen (cm.) Kebatuan
Tabel 1 memperlihatkan bahwa kawasan yang mendekati pusat letusan memiliki ketebalan
pusat letusan. Dari hasil pengamatan ini sebenarnya menunjukkan tingkat kerawanan yang dimiliki delapan
dusun yang ada di desa kepuharjo. Intensitas sebaran batuan yang terdapat di dusun Kaliadem, Petung
dan Jambu menunjukkan bahwa ke tiga dusun ini memiliki ancaman paling serius terhadap lontaran materi
volkan jika terjadi letusan gunung Merapi.
Sebelum tahun 2010, erupsi Merapi yang cukup besar terjadi pada bulan Mei 2006. Berdasarkan
hasil intepretasi citra satelit ALOS-PALSAR bulan September 2006 dapat diketahui bahwa persebaran
materi piroklastik, guguran lava pijar dan efek awan panas (LAPAN, 2006). Fase aktivitas Merapi saat itu
telah menyebabkan terjadinya perubahan morfologi di sekitar puncak Merapi. Perubahan tersebut termasuk runtuhnya tebing kawah yang selama ini disebut ”geger boyo”, yang secara fisik melindungi beberapa kawasan di sekitar hulu sungai Gendol termasuk desa Kepuharjo. Runtuhnya ”geger boyo” ini
menyebabkan semakin terbukanya hulu sungai Gendol sebagai main-outlet materi volkanik. Beradasarkan penelitian tim LAPAN (2006) telah terjadi perubahan ukuran lebar hulu sungai Gendol dari 50-75 meter
menjadi 150-250 meter. Kondisi ini telah membuka jalan apabila terjadi guguran lava pijar, awan panas dan
lahar dingin, yang akan langsung mengarah ke hulu sungai Gendol. Oleh karena itu, pada kejadian erupsi
Oktober-November 2010, desa Kepuharjo Cangkringan termasuk salah satu wilayah yang mengalami
kerusakan paling parah.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa endapan materi volkan di dusun yang mendekati puncak letusan
menunjukkan peningkatan tingkat kepadatan tanah. Abu vulkanik yang terendapkan menyebabkan
permukaan menjadi agak keras dan agak sulit ditembus air sehingga menimbulkan genangan air
Hal yang sama juga telah disampaikan oleh Idjudin, dkk. (2010) dan Suriadikarta,dkk. (2010) bahwa sifat
fisik abu volkan gunung Merapi apabila jatuh di permukaan tanah akan cepat mengeras dan relatif sulit
ditembus air. Sedimen materi volkan juga menyebabkan tanah menjadi agak padat terutama pada kawasan
yang dekat dengan pusat letusan.
Materi volkan yang memiliki temperatur cukup tinggi, terutama awan panas menyebabkan
berkurangnya kandungan bahan organik. Hal ini terlihat bahwa kawasan- kawasan tersebut memiliki
kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah. Sementara kawasan yang berada di luar radius 8
kilometer (Batur, Pagerjurang, Kepuh dan Manggong) memiliki kadar C-organik yang lebih tinggi. Hasil
pengukuran pH tanah menunjukkan bahwa erupsi Merapi tidak banyak mengubah tingkat
kemasaman-kebasaan tanah, sehingga masih cukup sesuai digunakan untuk budidaya tanaman.
Gambar 1. Lapisan kedap air akibat sedimen abu Volkan (foto oleh: Gunawan-B,2010)
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi Kementrian ESDM telah
menetapkan kawasan rawan bencana berdasarkan ancaman bencana yang dapat ditimbulkan erupsi
gunung Merapi. Berdasarkan kriteria tersebut delapan dusun yang ada di Desa Kepuharjo masuk ke dalam
KRB III (dusun Kaliadem, Jambu dan Petung) dan KRB II (dusun Kopeng, Batur, Pagerjurang, Kepuh dan
Manggong). Sedangkan pengalaman kejadian erupsi Merapi 2010 dan serta resiko jatuhnya korban jiwa
pada kejadian erupsi yang akan datang, pemerintah telah merelokasi penduduk desa Kepuharjo di
beberapa titik pemukiman baru yaitu di dusun Batur dan sekitar areal Merapi Golf. Sementara lahan
terdampak yang berada di beberapa dusun terutama Kaliadem, Jambu, Petung dan Kopeng dikategorikan
sebagai kawasan berbahaya untuk dihuni dan dialihfungsikan menjadi areal hutan lindung. Rencana ini
mendapat tentangan dari warga karena mereka masih menggantungkan perolehan pakan ternak dari
telah bersertifikat. Warga menginginkan agar kawasan bekas pemukiman dialihfungsikan menjadi hutan
rakyat, sehingga warga masih bisa memasuki kawasan tersebut untuk memanen rumput pakan ternak.
Atas dasar hal tersebut direkomendasikan agar zonasi kawasan rawan bencana gunung Merapi
hedaknya didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan ilmiah, teknis kebencanaan, ekologis tanpa
harus meninggalkan keinginan dan hak warga setempat. Dengan demikian penetapan zonasi kawasan
rawan bencana dalam upaya mencapai kedaulatan pangan lokal di desa Kepuharjo dibagi menjadi dua
yaitu kawasan dalam radius <8 kilometer dari puncak (Kaliadem, Jambu, Petung dan Kopeng) dan kawasan dalam radius ≥ 8 kilometer dari puncak (Batur, Pagerjurang, Kepuh dan Manggong) sebagaimana tersaji dalam gambar 2. Kawasan dalam radius < 8 kilometer difungsikan sebagai hutan rakyat yang
berguna bagi proses perbaikan tata air dan lingkungan dan budidaya tanaman rumput pakan ternak yang
dapat mendukung usaha peternakan sapi perah yang dapat diusahakan di kawasan di bawahnya.
Pembudidayaan rumput pakan ternak harus dilengkapi asupan pupuk organik atau pupuk kandang yang
berasal dari limbah usaha ternak sapi perah. Jenis rumput pakan ternak yang dirasa cocok adalah jenis
rumput yang selama ini dapat tumbuh dan telah menjadi tanaman insitu, yaitu rumput kolonjono (Panicum muticum) serta dapat dikembangkan jenis rumput gajah (Pennisetum purpureum) (gambar 3). Budidaya rumput sangat berarti bagi warga yang selama ini telah menjadikan sapi perah sebagai salah satu sumber
ekonomi keluarga. Pupuk kandang disamping dapat menyediakan hara juga mampu meningkatkan
kemampuan tanahnya dalam menyimpan air. Kawasan ini memiliki slope antara 10-25% sehingga rentan
terhadap erosi dan longsoran materi volkan bila terjadi hujan. Dengan demikian pengaturan pola tanam
antara tanaman hutan (tahunan) dan rumput pakan ternak dapat menggunakan pola tanam lorong dengan
penterasan di beberapa bagian yang terjal (Gambar 4).
Sedangkan kawasan yang berada dalam radius ≥ 8 kilometer memiliki kemiringan yang lebih landai atau kurang dari 15%. Endapan materi volkan di kawasan ini lebih banyak didominasi oleh sedimen pasir
dan abu dengan ketebalan kurang dari 10 cm. Endapan ini masih dapat diolah menggunakan cangkul, dan
dengan penambahan pupuk kandang atau pupuk organik lainnya, kawasan ini masih memiliki potensi untuk
dikembangkan lebih lanjut bagi pembudidayaan berbagai komoditas pangan nabati seperti jagung, ubi kayu,
ubi jalar dan sayuran, serta usaha komoditas pangan hewani (peternakan sapi dan ayam). Tahap
pengolahan tanah di kawasan ini menjadi sangat penting karena endapan materi volkanik masih dapat
disingkap dengan peralatan sederhana, sehingga masih bisa didapatkan lapisan tanah asalnya
Gambar 2. Zonasi Kawasan Rawan Bencana Pasca Erupsi 2010
Kawasan yang berada dalam radius ≥ 8 km. juga memiliki lingkungan yang cenderung lebih baik dan mendukung karena pada saat erupsi 2010 kondisinya tidak separah kawasan di atasnya. Ketersediaan
pangan nabati dan hewani yang penerapannya melalui inisiasi pola pertanian lahan kering di kawaan ini
diharapkan dapat menciptakan kedaulatan pangan lokal.
Gambar 4. Pola pertanaman lorong di kawasan dalam radius < 8 km dari puncak.
Gambar 5. Tebal lapisan abu volkan dan penyingkapan permukaan tanah asal. (foto oleh: Gunawan-B,2011)
KESIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa berdasarkan pertimbangan teknis
penanganan kebencanaan, ekologis dan hak masyarakat, kawasan terdampak erupsi Merapi 2010, desa
Kepuharjo Cangkringan Sleman dibagi menjadi dua kawasan utama, sebagai dasar pencapaian kedaulatan
pangan lokal, yaitu kawasan dalam radius <8 kilometer dari puncak difungsikan sebagai hutan rakyat dan
penanaman rumput pakan ternak, dan kawasan dalam radius ≥8 kilometer dapat diterapkan pola pertanian
lahan kering guna mencapai kedaulatan pangan nabati (jagung, ubi kayu dan ubi jalar) dan kedaulatan
DAFTAR PUSTAKA BNPB.2010. Peta Zonasi Ancaman Gunung Merapi.
_____.2010. Peta Jumlah Rumah Rusak Akibat Bencana Gunung Merapi di Kecamatan Cangkringan Kabupaten
Sleman.
LAPAN.2006. Laporan pemantauan Bahaya Lahar Dingin Gunung Api Merapi. Pusat Pengembangan Peman-
faatan dan Teknologi Penginderaan Jauh. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta.
Nawawi,H.1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada Univ. Press.
Suriadikarta,D.A., Abdullah Abbas,Id., Sutono, Erfandi,D., Edi Santoso dan A.Kasno. 2010. Identifikasi Sifat Abu
Volkan, Tanah dan Air di Lokasi Dampak Letusan Gunung Merapi. http://balittanah.litbang.deptan.
go.id/dokumentasi/lainnya/identifikasi.pdf. Diakses Juni 2011.
Idjudin,A.A., Erfandi,M.D. dan Sutomo,S.2010. Teknologi Peningkatan Produktivitas Lahan Endapan Volkanik
Pasca Erupsi G. Merapi. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/lainnya/ Teknologi.pdf