TERAPI APPLIED BEHAVIOUR ANALYSIS UNTUK
MENINGKATKAN KOMUNIKASI ANAK AUTIS
SKRIPSI
Oleh:
Prestisia Noviarta Hapsari 06810249
FAKULTAS PSIKOLOGI
TERAPI APPLIED BEHAVIOUR ANALYSIS UNTUK
MENINGKATKAN KOMUNIKASI ANAK AUTIS
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang
Sebagai salah satu persyaratan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
Prestisia Noviarta Hapsari
06810249
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Terapi Applied Behaviour Analysis untuk Meningkatkan Komunikasi Anak Autis”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Drs. Tulus Winarsunu, M.Si, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
2. Dra. Djudiyah, M.Si dan Yudi Suharsono, M.Si selaku Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dengan kesabaran dan saran-saran yang sangat bermanfaat selama penyusunan skripsi ini.
3. Tri Muji Ingarianti M.Psi selaku dosen wali yang telah mendukung dan memberi pengarahan sejak awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.
4. Ibu Ika Setyoningrum, selaku pimpinan sekolah dan pusat terapi anak berkebutuhan khusus Cita Hati Bunda yang telah memberikan ijin dan fasilitas bagi penulis untuk melakukan penelitian.
5. Kedua subjek penelitian FR dan RN, yang telah membantu menjadi subjek di dalam penelitian.
6. Para terapis yang ada di sekolah dan pusat terapi anak berkebutuhan khusus Cita Hati Bunda, yang telah membantu penulis didalam melakukan penelitian.
7. Kedua orangtuaku yang senantiasa memberikan support di awal sampai selesainya kuliah dan di dalam penyusunan skripsi ini serta doa’nya dan kasih sayang yang tak ternilai harganya.
9. Sahabat-sahabatku “Dragon Lapin’s Crew” (Tata, Dee, and Va), mengenal kalian dan bersama kalian dalam mengisi hari-hariku, merupakan suatu pengalaman yang berharga. Terima kasih atas pengalaman-pengalaman yang pernah kurasakan bersama kalian, persahabatan ini harus selalu kita jaga
“sahabat adalah bagian terbaik dari diri kita sendiri”.
10. Seluruh keluarga besar UKM Kine Klub Universitas Muhammadiyah Malang, bersama kalian telah memberikan banyak pengalaman berharga, terima kasih telah memberikan bantuan, nasehat dan pengalaman di dalam organisasi.
11. Teman-teman angkatan 2006 khususnya kelas E yang selalu memberikan semangat sehingga penulis terdorong untuk menyelesaikan skripsi ini.
12. Rekan-rekan serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan saran demi perbaikan karya skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.
Malang, 18 November 2011 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
SURAT PERNYATAAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
INTISARI ... vii
ABSTRACT ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR GRAFIK ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
1. Secara Teoritis ... 10
2. Secara Praktis ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Komunikasi Anak Autis ... 11
1. Komunikasi ... 11
2. Anak ... 16
3. Autisme ... 21
B. Terapi Applied Behavior Analysis (ABA) ... 31
1. Pengertian Terapi Applied Behavior Analysis (ABA) ... 31
2. Prinsip Dasar Metode Applied Behavior Analysis (ABA) ... 32
3. Tujuan Terapi Applied Behavior Analysis (ABA) ... 33
5. Teknik Dasar Applied Behavior Analysis (ABA) ... 34
6. Tatalaksana Applied Behavior Analysis (ABA) ... 35
C. Terapi Applied Behavior Analysis (ABA) Untuk Meningkatkan Komunikasi Anak Autis ... 39
D. Kerangka Pikir ... 41
G. Tempat Pelaksanaan Penelitian ... 46
H. Prosedur Penelitian ... 47
I. Jadwal Penelitian ... 48
J. Metode Analisis Data ... 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 51
1. Deskripsi subjek ... 51
2. Deskripsi baseline/keadaan awal subjek sebelum pemberian perlakuan terapi ABA ... 54
3. Deskripsi fase treatment/pemberian perlakuan terapi ABA ... 59
4. Deskripsi fase setelah pemberian perlakuan terapi ABA ... 86
B. Analisis Data Perbandingan Baseline dengan Efek setelah Pemberian Terapi Applied Behaviour Analysis (ABA) ... 92
1. Subjek FR ... 92
2. Subjek RN ... 95
3. Subjek FR dan Subjek RN ... 99
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 107 B. Saran ... 107
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Hasil Observasi Fase Baseline: Menyampaikan Keinginannya kepada Terapis (Subjek FR) ... 54
Grafik 2. Hasil Observasi Fase Baseline: Menyampaikan Keinginannya kepada Terapis (Subjek RN) ... 55
Grafik 3. Hasil Observasi Fase Baseline: Mengeluarkan Pendapat ketika Berkomunikasi dengan Terapis dengan Menggunakan Bahasa Verbal (Subjek FR) ... 56
Grafik 4. Hasil Observasi Fase Baseline: Mengeluarkan Pendapat ketika Berkomunikasi dengan Terapis dengan Menggunakan Bahasa Verbal (Subjek RN) ... 56
Grafik 5. Hasil Observasi Fase Baseline: Kelancaran Anak dalam Mengucapkan Kalimat ke Terapis (Subjek FR) ... 57
Grafik 6. Hasil Observasi Fase Baseline: Kelancaran Anak dalam Mengucapkan Kalimat ke Terapis (Subjek RN) ... 58
Grafik 7. Hasil Observasi Fase Baseline: Kemampuan Anak untuk Bertanya kepada Terapis (Subjek FR) ... 58
Grafik 8. Hasil Observasi Fase Baseline: Kemampuan Anak untuk Bertanya kepada Terapis (Subjek RN) ... 59
Grafik 9. Hasil Observasi Fase Terapi: Menunjuk Sesuatu yang Diinginkan (Subjek FR) ... 60
Grafik 10. Hasil Observasi Fase Terapi: Menunjuk Sesuatu yang Diinginkan (Subjek RN) ... 61
Grafik 11. Hasil Observasi Fase Terapi: Mengatakan Objek yang Diinginkan (Subjek FR) ... 61
Grafik 12. Hasil Observasi Fase Terapi: Mengatakan Objek yang Diinginkan (Subjek RN) ... 62
Grafik 13. Hasil Observasi Fase Terapi: Menyebutkan Nama Gambar (Subjek FR) ... 63
Grafik 15. Hasil Observasi Fase Terapi: Melabel Benda-benda Melalui Fungsinya (Subjek FR) ... 64
Grafik 16. Hasil Observasi Fase Terapi: Melabel Benda-benda Melalui Fungsinya (Subjek RN) ... 65
Grafik 17. Hasil Observasi Fase Terapi: Melabel Anggota Keluarga atau Orang Dekat dengan Menggunakan Foto (Subjek FR) ... 65
Grafik 18. Hasil Observasi Fase Terapi: Melabel Anggota Keluarga atau Orang Dekat dengan Menggunakan Foto (Subjek RN) ... 66
Grafik 19. Hasil Observasi Fase Terapi: Menjawab Pertanyaan Sosial (Subjek FR) ... 67
Grafik 20. Hasil Observasi Fase Terapi: Menjawab Pertanyaan Sosial (Subjek RN) ... 67
Grafik 25. Hasil Observasi Fase Terapi: Memakai Kalimat untuk Menyatakan Keinginannya (Subjek FR) ... 71
Grafik 26. Hasil Observasi Fase Terapi: Memakai Kalimat untuk Menyatakan Keinginannya (Subjek RN) ... 71
Grafik 27. Hasil Observasi Fase Terapi: Menjawab Pertanyaan tentang Pengetahuan Umum (Subjek FR) ... 72
Grafik 28. Hasil Observasi Fase Terapi: Menjawab Pertanyaan tentang Pengetahuan Umum (Subjek RN) ... 73
Grafik 29. Hasil Observasi Fase Terapi: Menjawab Kata Pertanyaan
dengan Kata Tanya “Di Manakah” (Subjek FR) ... 73
Grafik 30. Hasil Observasi Fase Terapi: Menjawab Kata Pertanyaan
Grafik 31. Hasil Observasi Fase Terapi: Melabel Objek Berdasar Fungsinya (Subjek FR) ... 75
Grafik 32. Hasil Observasi Fase Terapi: Melabel Objek Berdasar Fungsinya (Subjek RN) ... 75
Grafik 33. Hasil Observasi Fase Terapi: Melabel Bagian Tubuh Melalui Fungsinya (Subjek FR) ... 76
Grafik 34. Hasil Observasi Fase Terapi: Melabel Bagian Tubuh Melalui Fungsinya (Subjek RN) ... 77
Grafik 35. Hasil Observasi Fase Terapi: Menirukan Kalimat yang Panjangnya Dua-Tiga Kata (Subjek FR) ... 77
Grafik 36. Hasil Observasi Fase Terapi: Menirukan Kalimat yang Panjangnya Dua-Tiga Kata (Subjek RN) ... 78
Grafik 37. Hasil Observasi Fase Terapi: Melabel Kategori atas Suatu Benda (Subjek FR) ... 79
Grafik 38. Hasil Observasi Fase Terapi: Melabel Kategori atas Suatu Benda (Subjek RN) ... 79
Grafik 39. Hasil Observasi Fase Terapi: Menyebutkan Benda-benda yang termasuk dalam suatu Kategori (Subjek FR) ... 80
Grafik 40. Hasil Observasi Fase Terapi: Menyebutkan Benda-benda yang termasuk dalam suatu Kategori (Subjek RN) ... 81
Grafik 41. Hasil Observasi Fase Terapi: Melabel Kepemilikan (Subjek FR) ... 81
Grafik 42. Hasil Observasi Fase Terapi: Melabel Kepemilikan (Subjek RN) ... 82
Grafik 43. Hasil Observasi Fase Terapi: Menjelaskan Bagaimana Melakukan Sesuatu (Subjek FR) ... 83
Grafik 44. Hasil Observasi Fase Terapi: Menjelaskan Bagaimana Melakukan Sesuatu (Subjek RN) ... 83
Grafik 45. Hasil Observasi Fase Terapi: Menjawab Pertanyaan dengan Dua Pilihan Jawaban (Subjek FR) ... 84
Grafik 47. Hasil Observasi Fase Terapi: Menceritakan Kembali suatu Cerita (Subjek FR) ... 85
Grafik 48. Hasil Observasi Fase Terapi: Menceritakan Kembali suatu Cerita (Subjek RN) ... 86
Grafik 49. Hasil Observasi setelah Perlakuan: Kemampuan untuk Menyampaikan Keinginannya kepada Terapis (Subjek FR) ... 87
Grafik 50. Hasil Observasi setelah Perlakuan: Kemampuan untuk Menyampaikan Keinginannya kepada Terapis (Subjek RN) .... 88
Grafik 51. Hasil Observasi setelah Perlakuan: Kemampuan untuk Mengeluarkan Pendapat ketika Berkomunikasi dengan Terapis dengan Menggunakan Bahasa Verbal (Subjek FR) ... 88
Grafik 52. Hasil Observasi setelah Perlakuan: Kemampuan untuk Mengeluarkan Pendapat ketika Berkomunikasi dengan Terapis dengan Menggunakan Bahasa Verbal (Subjek RN) ... 89
Grafik 53. Hasil Observasi setelah Perlakuan: Kelancaran Anak dalam Mengucapkan Kalimat ke Terapis (Subjek FR) ... 90
Grafik 54. Hasil Observasi setelah Perlakuan: Kelancaran Anak dalam Mengucapkan Kalimat ke Terapis (Subjek RN) ... 90
Grafik 55. Hasil Observasi setelah Perlakuan: Kemampuan Anak untuk Bertanya kepada Terapis (Subjek FR) ... 91
Grafik 56. Hasil Observasi setelah Perlakuan: Kemampuan Anak untuk Bertanya kepada Terapis (Subjek RN) ... 91
Grafik 57. Hasil Observasi Fase Baseline dan setelah Perlakuan: Kemampuan Anak untuk Menyampaikan Keinginannya kepada Terapis (Subjek FR) ... 92
Grafik 58. Hasil Observasi Fase Baseline dan setelah Perlakuan: Kemampuan Anak untuk Mengeluarkan Pendapat Ketika Berkomunikasi dengan Terapis dengan Menggunakan Bahasa Verbal (Subjek FR) ... 93
Grafik 59. Hasil Observasi Fase Baseline dan setelah Perlakuan: Kelancaran Anak dalam Mengucapkan Kalimat ke Terapis (Subjek FR) ... 93
Grafik 61. Hasil Observasi Fase Baseline dan setelah Perlakuan: Kemampuan Anak untuk Menyampaikan Keinginannya kepada Terapis (Subjek RN) ... 95
Grafik 62. Hasil Observasi Fase Baseline dan setelah Perlakuan: Kemampuan Anak untuk Mengeluarkan Pendapat Ketika Berkomunikasi dengan Terapis dengan Menggunakan Bahasa Verbal (Subjek RN) ... 96
Grafik 63. Hasil Observasi Fase Baseline dan setelah Perlakuan: Kelancaran Anak dalam Mengucapkan Kalimat ke Terapis (Subjek RN) ... 97
Grafik 64. Hasil Observasi Fase Baseline dan setelah Perlakuan: Kemampuan Anak Bertanya kepada Terapis (Subjek RN) ... 98
Grafik 65. Hasil Observasi Fase Baseline dan Setelah Perlakuan Subjek FR dan Subjek RN ... 99
Grafik 66. Hasil Observasi Fase Baseline dan Setelah Perlakuan Subjek FR dan Subjek RN ... 99
Grafik 67. Hasil Observasi Fase Baseline dan Setelah Perlakuan Subjek FR dan Subjek RN ... 100
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Indikator dan Guide Observasi
Lampiran 2. Rancangan dan Modul Terapi Applied Behaviour Analysis (ABA)
Lampiran 3. Lembar Penilaian
Lampiran 4. Hasil Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, S.A. (1999). Kemampuan bina diri anak autis melalui terapi applied
behaviour analysis (ABA) di PT. Arun NAD. Digilib. UMM
Azwar, S. (2001). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Fourth Edition
Chaplin, J.P. (2008). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Connor. J. M. (2006). Autism and applied behaviour analysis (Lovaas): an update
http://www.mugsy.org/connor74.htm
Corey, G. (2009). Teori dan praktek, konseling dan psikoterapi (Cetakan kelima). Bandung: PT Refika Aditama
Dariyo, A. (2007). Psikologi perkembangan anak tiga tahun pertama. Bandung: PT Refika Aditama
Davidson, C. G., Neale, M. J., & Kring, M.A. (2006). Psikologi abnormal (Edisi kesembilan). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Ginanjar, S.A. (2009). Meningkatkan ketrampilan komunikasi pada anak autis
http://www.lspr.edu/csr/autismawareness/media/seminar/Meningkatkan%20K emampuan%20Komunikasi%20pada%20Anak%20Autism%20%20Dr%20A driana%2021-09-08.pdf
Hadis, A. (2006). Pendidikan anak berkebutuhan khusus autistik. Bandung: Alfabeta
Handojo. (2009). Autisma pada anak, menyiapkan anak autis untuk mandiri dan
masuk sekolah regular dengan metode ABA Basic. Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer
Hurlock, E.B. Perkembangan anak. Jilid 1, edisi 6. Jakarta: Erlangga
Huzaemah. (2010). Kenali autisme sejak dini. Jakarta: Pustaka Popular Obor
Jalaluddin, R. (2005). Psikologi komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Judarwanto, W. (2009). Terapi konvensional, inovatif dan alternative penderita autis.
http://childrenautismclinic.wordpress.com/2009/04/12/terapi-konvensional-inovatif-dan-alternatif-penderita-autis/
Kompas. (2009). Jumlah anak autis meningkat
http://health.kompas.com/read/2009/12/21/11102245/Jumlah.Anak.Autis.Me ningkat
Latipun. (2008). Psikologi eksperimen, edisi kedua. Malang: UMM Press
Mirza, M. (2010). Anak autis, mendidik anak autis dan gangguan mental lain menuju anak cerdas dan sehat. Jogjakarta: Katahati
Moekijat. (1993). Teori komunikasi. Bandung: Mandar Maju
Mulyana, D. (2001). Ilmu komunikasi suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Muslimah. (2010). Terapi ABA anak autis
http://pendidikanindonesia.web.id/?page_id=325
Nazir, M. (2005). Metode penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia
Prasetyono, D.S. (2008). Serba-serbi anak autis (autisme dan gangguan psikologis lainnya) mengenal, menangani dan mengatasinya dengan tepat dan bijak. Jogjakarta: DIVA Press
Santrock, J. W. (1995). Life-span development, perkembangan masa hidup. Jilid 1 (Edisi kelima). Jakarta: Erlangga
Uchjana, O.E. (1992). Ilmu komunikasi: teori dan praktek. Bandung: Remaja Karya
Widjaja, H. A. W. (2000). Ilmu komunikasi pengantar studi (Ed. revisi). Jakarta: Rineka Cipta
Wikipedia. Anak. http://id.wikipedia.org/wiki/Anak
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Banyak ditemukan anak-anak kecil yang menderita penyakit autis pada saat ini. Masalah autis saat ini menjadi masalah yang sangat memprihatinkan dan sulit untuk diterima di lingkungan keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang menderita autis, terutama pada orang tuanya. Mempunyai anak normal, sehat jasmani dan rohani merupakan dambaan setiap keluarga dan orang tua. Tetapi, tidak dapat dihindari jika salah satu anggota keluarga mereka terkena penyakit autis. Terlebih tidak adanya obat-obatan yang dapat mengurangi perilaku autis pada anak, selain berbagai macam metode terapi-terapi yang ada saat ini. Hal itulah yang semakin membuat orang tua yang mempunyai anak yang terkena penyakit autis semakin bingung dan takut dengan kondisi anaknya, dan mereka akhirnya sangat bergantung kepada terapi-terapi yang dianjurkan oleh para dokter maupun ahli terapis.
Masalah ini dapat dialami oleh siapa pun, baik di kota maupun di desa dan dari etnis manapun. Anak-anak di Negara maju pada umumnya memiliki kesempatan terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan penanganan yang lebih dini dan hasil yang baik. Penderita autis sering tidak fokus pada saat berkomunikasi dengan orang lain. Tetapi, terkadang banyak ditemui penderita autis yang memiliki tingkat kecerdasan yang lumayan bagus, jika dibandingkan dengan anak yang normal, Huzaemah (2010).
Terdiagnosisnya anak-anak autis dengan cepat di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh adanya tingkat teknologi yang tinggi, yang bisa dengan cepat mendeteksi anak merupakan penderita autis pada saat dini. Begitu juga dengan pengobatan, dengan teknologi yang baik, mengakibatkan anak cepat mendapatkan penanganan dengan hasil yang baik pula.
2
orang, bahkan ada yang mengatakan 1 di antara 1.000 anak. Di Inggris, pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 di antara 10 anak menderita autisme. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui berapa persisnya jumlah penderita, namun diperkirakan jumlah anak autis dapat mencapai 150-200 ribu orang. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6-4: 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat, Huzaemah (2010).
Setiap tahun, angka kejadian autisme meningkat pesat. Data terbaru dari
Centre for Disease Control and Prevention Amerika Serikat menyebutkan 1 dari 110 anak di Amerika menderita autis. Angka ini naik 57 persen dari data tahun 2002 yang memperkirakan angkanya 1 dibanding 150 anak. Di Indonesia peningkatan anak autis juga terlihat, meski tidak diketahui pasti berapa jumlahnya. CDC menyebutkan gejala autis lebih sering terlihat pada anak laki-laki dibanding perempuan, pada anak laki-laki prevelansinya naik 60 persen dibanding dengan data tahun 2002, sementara pada anak perempuan hanya 48 persen.
Autis merupakan suatu kelainan perilaku yang serius dan kompleks. Gejalanya sangat kompleks karena sangat variatif dan seringkali disertai dengan handicap lain seperti retardasi mental dan kelainan/kelemahan fisik, dan kompleksitas ini makin bertambah dengan ditemukannya penyebab baru. Semula kelainan ini sulit untuk disembuhkan, tetapi sekarang semakin banyak upaya dan metode yang ditemukan untuk dapat mengurangi atau mengobati kelainan ini,
ternyata banyak penyandang kelainan ini yang berhasil menjadi orang “normal”
kembali. Biasanya anak-anak penyandang autis yang bisa kembali “normal” seperti anak-anak normal lainnya karena pengobatan atau terapi, akhirnya bisa masuk kedalam sekolah biasa seperti anak-anak normal yang lain.
3
tingkah laku dan fisik termasuk autis. Faktor-faktor lain yang menyebabkan anak menderita penyakit autis adalah pada makanan yang dikonsumsi oleh ibu, pada saat hamil. Ketika anak memasuki usia 1-2 tahun, biasanya gejala autis sangat sedikit, sehingga orang tua tidak mengetahui jika anaknya menderita autis. Tetapi, pada usia 3 tahun, gejala penderita autis mulai banyak keluar, dan akhirnya orang tuanya mengetahui jika anak mereka menderita autis. Gangguan ini pada awalnya juga dianggap berasal dari faktor psikologis atau psikodinamik yaitu karena kurangnya komunikasi dan kasih sayang dari orang tua terutama ibu (keluarga yang tidak berfungsi secara baik dan tidak mendukung perkembangan anak), sehingga menyebabkan anak menjadi terkena autis, karena kurang adanya dukungan dari ibu di dalam perkembangannya, Davidson, dkk (2006).
Salah satu penyebab gangguan autis menurut kutipan dari, Berman (2010) peneliti menemukan adanya mutasi genetik yang terlibat dalam reproduksi dan sinyal sel yang mengakibatkan terjadinya gangguan autis. Stanley Nelson mengatakan mutasi membuat individu lebih rentan terhadap autisme, kelainan genetik tidak secara otomatis berarti seseorang akan mengalami gangguan tersebut.
Menurut, Power (1989), karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam hal: interaksi sosial; komunikasi (bahasa dan lisan); perilaku emosi; pola bermain; gangguan sensorik dan motorik; perkembangan terlambat atau tidak normal. Gangguan interaksi sosial salah satunya meliputi merasa tidak senang atau menolak bila dipeluk. Gangguan komunikasi salah satunya meliputi kemampuan berbahasa dan keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Gangguan perilaku emosi dapat dilihat ketika ia tertawa-tawa sendiri, menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata. Gangguan pola bermain salah satunya meliputi bermain sangat monoton dan aneh. Gangguan sensorik dan motorik salah satunya meliputi perasaan sensitive terhadap cahaya dan pendengaran. Gangguan perkembangan yang terlambat atau tidak normal.
4
yaitu tidak mampu memberikan nama pada benda-benda di sekelilingnya. Anak juga tidak mampu menggunakan istilah abstrak seperti cinta, kasih sayang, menggunakan bahasa metaforik, yaitu ucapan yang penggunaannya untuk diri sendiri serta memiliki arti yang tidak jelas. Sering kali anak juga menunjukkan komunikasi non verbal yang tidak serasi. Sebagai contoh, anak merasa senang tetapi ekspresinya dingin.
Ganggguan atau karakteristik komunikasi pada anak autis, merupakan gangguan yang sangat berhubungan dengan kondisi sosial, karena anak autis tidak dapat berhubungan dengan baik dengan orang-orang sekitarnya. Pada karakteristik ini, orang tua harus perlu mengetahui apa yang dibicarakan anak, karena perilaku komunikasi pada anak autis terkadang sulit dimengerti, baik dari segi verbal maupun nonverbal. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal meliputi kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata-kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Begitu juga dengan orang yang ada di sekitar anak, mereka harus memahami dengan baik apa yang anak kehendaki, agar tidak terjadi kebingungan di dalam berkomunikasi dengan anak autis.
Perilaku komunikasi pada anak autis, mendorong orang yang ada disekitarnya mengerti dengan apa yang dikomunikasikan anak atau apa yang diinginkan anak, karena mereka lebih sering berkomunikasi dengan gaya yang mereka kehendaki, yang terkadang juga sulit untuk dimengerti oleh orang lain, terkadang mereka juga berbicara tidak seperti apa yang dimaksudkan, mereka berbicara sesuai dengan pengalaman mereka.
Bahasa dalam komunikasi terbagi menjadi dua, bahasa reseptif (kognitif) dan bahasa ekspresif. Bahasa reseptif (kognitif) adalah mengenal akan beberapa benda atau hal, yang juga disebut identifikasi dan juga melakukan pelabelan pada benda atau hal tersebut. Bahasa ekspresif adalah mengekspresikan hal-hal yang diingat dan sudah terrekam di dalam memorinya.
5
lebih baik lagi, karena terkadang anak autis mengucapkan kata-katanya dengan suara yang kurang jelas dan terkadang mereka mengucapkannya dengan pelan atau bahkan keras.
Kelemahan-kelemahan komunikasi tersebut dapat menjadi penyebab kelemahan sosial pada anak-anak dengan autisme dan bukan sebaliknya. Hubungan kausal tersebut diperkuat oleh sering munculnya perilaku afeksi dan bergantung yang spontan pada anak-anak tersebut setelah mereka dilatih untuk berbicara, Davidson, dkk (2006).
Kelemahan-kelemahan pada komunikasi inilah yang akhirnya membuat anak autis menjadi sangat tergantung dengan orang yang ada di sekitarnya, dan bahkan dalam berkomunikasi anak autis cenderung memakai bahasanya sendiri, sehingga orang-orang yang ada disekitarnya dituntut untuk memahami komunikasi atau apa yang anak autis maksud. Kelemahan komunikasi yang dialami oleh anak autis dimulai sejak anak mulai belajar berbicara atau berinteraksi dengan orang-orang yang ada disekitarnya, Davidson, dkk (2006).
Komunikasi sangat mendukung di dalam kehidupan sosial individu yang berguna sebagai penunjang interaksi sosial antara individu satu dengan yang lain. Untuk menyembuhkan perilaku komunikasi, sebagai salah satu perilaku yang kurang baik bagi anak autis, diperlukan pengobatan atau terapi-terapi yang menunjang anak-anak autis untuk mengubah perilaku-perilaku yang kurang di dalam diri anak-anak autis.
Menurut Ferster (1961), tidak adanya perhatian dari orang tua, terutama ibu, mencegah terbentuknya berbagai asosiasi yang menjadikan manusia sebagai penguat sosial. Karena orang tua sendiri tidak pernah menjadi penguat sosial, mereka tidak dapat mengendalikan perilaku si anak, dan mengakibatkan terjadinya gangguan autistic, Davidson, dkk (2006).
6
Penanganan untuk anak-anak autis biasanya mencoba mengurangi perilaku mereka yang tidak wajar dan meningkatkan ketrampilan komunikasi dan sosial. Menggunakan modeling dan pengondisian operant, para terapis perilaku mengajarkan anak-anak autis untuk berbicara, Hewett (1965), mengubah bicara ekolalik mereka, Carr, Schreibman & Lovaas (1975), mendorong mereka untuk bermain dengan anak lain, Romanczyk dkk (1975) dan membantu mereka secara umum menjadi lebih responsive kepada orang dewasa, Davidson (1964). Penderita autis paling sulit di dalam komunikasi, sehingga banyak terapis yang lebih dulu mengobati penderita autis pada tingkat komunikasinya, yang akhirnya bisa mendukung pengobatannya pada hal-hal yang lain juga.
Pengobatan komunikasi pada anak autis akan mengurangi perilaku-perilaku yang abnormal, dan akan menjadikan anak autis menjadi orang yang normal di dalam berkomunikasi. Hal ini karena adanya proses pengajaran anak untuk berbicara, mengubah ekolalik mereka, mendorong mereka untuk bermain dengan anak lain serta membantu anak autis untuk menjadi lebih responsive kepada orang dewasa. Setelah terjadinya proses pengobatan, hal ini membantu anak autis untuk bisa belajar bersosialisasi dengan baik, seperti halnya anak-anak normal lainnya. Serta akan membuat anak autis bisa memiliki relasi teman sebaya untuk berbagi minat dan emosi secara timbal-balik. Hal ini akan membuat anak autis lebih bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang sekitar, melalui bahasa yang mereka miliki, hal ini akan terjadi sampai mereka tumbuh menjadi dewasa, dan juga mempengaruhi pada waktu anak autis ini menjadi orang dewasa, sehingga akan menumbuhkan rasa kepercayaan diri anak autis untuk membantunya mendapatkan pekerjaan yang diinginkan maupun membangun sebuah hubungan dengan lawan jenisnya.
7
dengan menggunakan metode Applied Behavior Analysis atau yang biasa dikenal dengan nama metode ABA. Applied Behaviour Analysis (ABA), mulai dipraktikkan di Indonesia sejak tahun 1997. Hal ini memberi harapan bagi anak autis, karena dapat menyebabkan anak autis mampu mencapai tingkatan yang sebelumnya merupakan hal mustahil. Proses penyembuhan ini akhirnya bisa membuat mereka dapat seperti
anak “normal” yang bisa masuk kedalam sekolah regular, berkembang dan hidup
mandiri di masyarakat dan tidak menampakkan gejala sisa autis.
Metode ABA (Applied Behavior Analysis) adalah suatu metode mengajar yang tanpa kekerasan. Ada dua kaidah dasar yang harus selalu diingat sewaktu kita melakukan Metode ABA, yaitu Operant Conditioning dan Respondent Conditioning, Handojo (2009). Di dalam metode ABA terdapat beberapa metode yang digunakan untuk menyembuhkan anak autis yang salah satunya terdapat metode untuk meningkatkan perilaku komunikasi pada anak autis, yang di antaranya adalah terapi pada bahasa anak autis, ketiga hal itu sangat berpengaruh pada bentuk komunikasi anak autis.
Menurut pengalaman dan studi Lovaas, Handojo (2006) tahun 1997 terhadap 19 anak autis berusia di bawah 4 tahun dengan IQ rata-rata 60, yang berhasil diterapi secara kontinyu dengan metode ABA dan dapat diikuti sampai usia SLTA, maka 47% ternyata dapat membaur dengan teman-temannya secara sempurna dalam kelas yang normal. Tapi, sisanya yang 51% walaupun menampakkan kemajuan perilaku juga, masih tetap menampakkan sisa-sisa autisnya.
Metode yang digunakan dalam metode ABA adalah metode pengajaran atau pendidikan yang efektif untuk mengurangi kelemahan-kelemahan pada anak autis. Pemberian pengajaran pada penyandang autis secara fisik dapat mematangkan kecakapan motorik kasar dan halus, ketrampilan jari jemari, serta koordinasi mata dan tangan. Metode ABA merupakan metode terapi behavior atau terapi tingkah laku, terapi tingkah laku adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar, terapi ini menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku kearah cara-cara yang lebih adaptif, Corey (2009).
8
suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul, merupakan cara yang efektif untuk mengubah tingkah laku, di mana proses terapi ABA menggunakan metode reward untuk tingkah laku yang diinginkan. Melalui metode pembentukan respons, di dalam pembentukan respons, tingkah laku sekarang secara bertahap diubah dengan memperkuat unsur-unsur kecil dari tingkah laku baru yang diinginkan secara berturut-turut sampai mendekati tingkah laku akhir, di dalam proses terapi ini mengubah perilaku yang rendah, hingga akhirnya menjadi suatu perilaku yang diinginkan, Corey (2009)
Metode terapi ABA (Applied Behaviour Analysis)merupakan cara yang efektif untuk mengurangi kekurangan-kekurangan pada perilaku anak autis. Terapi ini menggunakan prinsip mengajarkan sesuatu yang kurang atau tidak dimiliki anak autis. Pemberian pengajaran pada penyandang autis secara fisik dapat mematangkan kecakapan motorik kasar dan halus., tujuannya agar perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan ditambahkan. Selain itu terapi ini membantu individu membangun kemampuan dengan ukuran nilai-nilai yang ada di masyarakat. Terapi ini juga menggunakan kaidah dasar, yaitu operant conditioning dan respondent conditioning, yang merupakan suatu pembelajaran pada perilaku dan juga dapat digunakan untuk mengubah perilaku yang tidak diinginkan. Penekanannya terdapat pada penguatan positif yang digunakan untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku tertentu.
Metode ABA dipilih untuk metode terapi perilaku karena memiliki ciri terstruktur, terarah dan terukur sehingga memudahkan terapis atau orangtua memantau perkembangan anak. Terapi perilaku ini merupakan terapi yang dilaksanakan untuk mendidik dan mengembangkan kemampuan perilaku anak yang terhambat dan mengurangi perilaku yang tidak wajar, kemudian menggantikannya dengan perilaku yang bisa diterima masyarakat.
Pada salah satu penelitian dengan judul “Kemampuan Bina Diri Anak Autis
melalui Terapi Applied Behaviour Analysis (ABA) di PT. Arun NAD”, Pemberian
9
penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terapi Applied Behaviour Analysis (ABA) dapat membantu meningkatkan kemampuan ataupun kemajuan bina diri pada anak autis. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan kemampuan bina diri pada kedua subjek yang pada setiap harinya menuju ke arah lebih baik dengan ditandainya penurunan waktu aktivitas yang semakin cepat. Selain itu subjek yang semula sering mengalami kesulitan saat menjalankan aktivitas bina diri, menjadi tampak lebih mandiri dan tidak memerlukan bantuan lagi dari orang lain.
Dengan mempunyai kemampuan bina diri yang baik, memungkinkan anak dapat belajar berkomunikasi dengan baik, karena adanya dasar kemampuan bina diri yang baik, sehingga mereka dengan cepat bisa memahami bagaimana cara mengurangi komunikasi yang kurang yang ada pada dirinya, dengan tidak terlalu banyak bantuan dari orang lain.
Dari berbagai penjelasan di atas, maka penelitian ini lebih ditekankan pada perilaku komunikasi anak autis, karena dapat digunakan untuk mengubah hubungan interaksi sosial, mengurangi kelemahan pada sosial anak autis sehingga mereka bisa memahami sosio-emosional pada orang yang ada di sekitar mereka. Penderita autis paling sulit di dalam komunikasi, sehingga banyak terapis yang lebih dulu mengobati penderita autis pada tingkat komunukasinya, yang akhirnya bisa mendukung pengobatan pada hal-hal yang lain juga.
Dari berbagai penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang “Terapi Applied Behaviour Analysis untuk Meningkatkan Komunikasi Anak Autis”.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui efektifitas terapi applied behavior analysis (ABA) terhadap peningkatan perilaku komunikasi yaitu pada bahasa anak autis.
C.Tujuan Penelitian
10
D.Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan untuk mengembangkan psikologi perkembangan dan psikologi klinis. Serta dapat memberikan gambaran bagaimana proses kemampuan bahasa anak autis melalui terapi applied behavior analysis (ABA), dan juga diharapkan dapat memberikan sumber wacana baru tentang terapi dalam bidang kesehatan atau klinis bagi professional dalam pengembangan terapi bagi anak autis.
2. Secara Praktis