• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DI INDONESIA"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DI INDONESIA

Oleh

ADHI CAHYANTO

(2)

saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk diminta keterangan, termasuk untuk diminta dokumen atau bukti lain; melakukan penelitian dan pemeriksaan pengaduan/laporan melalui permintaan keterangan dan penjelasan pelapor, saksi dan atau yang bersangkutan serta pemeriksaan dokumen atau bukti lain; membuat kesimpulan hasil penelitian dan pemeriksaan dengan disertai berita acara penelitian dan pemeriksaan dan menyampaikan kesimpulan hasil penelitian dan pemeriksaan kepada Pimpinan DPRD untuk ditindaklanjuti dalam Rapat Paripurna DPRD. Badan Kehormatan hendaknya melibatkan pihak-pihak lain di luar anggota Badan Kehormatan DPRD sendiri sehingga mekanisme pengawasan yang berbasis etika dapat terwujud lebih independen dan objektif. Sehingga Badan kehormatan mampu berperan tidak hanya sekadar menjadi lembaga penjaga moral dan integritas anggota DPR dan DPRD melainkan juga menjadi mekanisme internal untuk menegakkan kode etik.

(3)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan tempat masyarakat untuk

menyampaikan aspirasi dan menyuarakan kepentingannya. Melalui lembaga ini

akan keluar kebijakan yang menjadi dasar bagi presiden dalam menjalankan roda

pemerintahan, yang diwujudkan dalam bentuk undang-undang. Lahirnya lembaga

perwakilan menjadi suatu keharusan karena sistem demokrasi langsung (direct democracy) yang dilaksanakan pada zaman Yunani Kuno sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilaksanakan.

DPRD dalam sistem politik dan sistem pemerintahan negara Republik Indonesia

merupakan salah satu lembaga negara dan sebagai wahana melaksanakan

Demokrasi Pancasila. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, lembaga

perwakilan rakyat merupakan perangkat kenegaraaan yang sangat penting

disamping perangkat-perangkat kenegaraan yang lain, baik yang bersifat infra

struktur maupun supra struktur politik. Setiap pemerintahan yang menganut

sistem demokrasi selalu didasari suatu ide bahwa warga negara seharusnya

(4)

Sistem pemerintahan yang demokratis, konsep kedaulatan ini sangat menentukan

untuk dijadikan sebagai parameter. Dalam sistem tersebut dinyatakan bahwa tidak

ada kekuasaan mutlak dan semua keputusan politik harus mendapatkan

persetujuan dari rakyat secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem

perwakilan.

Fungsi badan perwakilan rakyat yang mencirikan demokrasi modern ini

memperkenalkan nama badan legislatif atau badan pembuat undang-undang

kepadanya, fungsi ini dapat diartikan sebagai fungsi legislasi. Melalui fungsi ini

parlemen menunjukkan bahwa dirinya sebagai wakil rakyat dengan memasukkan

aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya kedalam pasal-pasal

undang-undang.

Berdasarkan gambaran tersebut akan diperoleh gambaran sejauh mana DPRD

telah menjalankan fungsi legislasinya yang biasa dijadikan sebagai indikator

adanya proses demokratisasi, sebaliknya kurang atau tidak berjalannya fungsi

legislasi oleh DPRD dapat dijadikan kurang atau tidak berjalannya proses

demokratisasi.

Pada hakekatnya fungsi utama dari DPR adalah membuat undang-undang

(legislasi) yang dalam tingkat daerah, dijalankan oleh DPRD dalam bentuk produk hukum daerah, Peraturan Daerah (Perda), yang sejalan dengan

fungsi-fungsi lain seperti fungsi-fungsi pengawasan (controlling) juga merupakan bagian fungsi legislasi, karena dalam menjalankan fungsi pengawasan tentunya terlebih dahulu

(5)

melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Begitu

juga fungsi anggaran (budgeting) yang merupakan sebagian dari fungsi legislasi karena untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga

ditetapkan dengan Peraturan Daerah APBD setiap tahun anggaran. Maka yang

menjadi fungsi pokok dari DPRD adalah pembentukan Peraturan Daerah sebagai

landasan hukum bagi pemerintah dalam membuat kebijakan publik, artinya

masyarakat disertakan dalam pembuatan kebijakan publik (public policy) melalui wakil-wakilnya di parlemen.

Apabila diikuti secara seksama pasal-pasal yang mengatur DPRD di dalam

Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang-Undang-Undang

Pemda)1, DPRD mempunyai tugas yang sangat penting dalam kehidupan

ketatanegaraan Indonesia. DPRD adalah suatu bentuk nyata dari hasil konsepsi

perwakilan masyarakat Indonesia di daerah, sehingga DPRD dianggap mampu

merumuskan kemauan dan keinginan dari rakyat yang dapat di mulai dari

perencanan, pembuatan, persetujuan Rancangan Perda sampai disetujui menjadi

Perda, yang akhirnya mengandung konsekuensi dan keterikatan masyarakat

terhadap Perda.

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa tugas pokok dan fungsi

DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi cukup penting

terutama untuk mewakili hak-hak rakyat dalam pemerintahan itu sendiri. Fungsi

1

(6)

dari DPRD sebagai wujud perwakilan politik masyarakat, diharapkan mampu

mencerminkan kepentingan-kepentingan masyarakat, bukan mengutamakan

kepentingan pribadi maupun kepentingan partai. Dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya, DPRD harus tetap memegang teguh kode etik yang telah

ditetapkan. Kode etik DPRD dimaksudkan untuk memberikan batasan-batasan

terhadap tugas dan tanggung jawab, hal-hal yang wajib dilakukan serta perbuatan

yang dapat dikenakan sanksi bagi anggota DPRD (selanjutnya disebut Anggota

Dewan) yang melanggarnya. Dalam hal, anggota Dewan dinyatakan terbukti

bersalah, karena tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau

berhalangan tetap sebagai Anggota Dewan, dinyatakan melanggar sumpah/janji,

kode etik DPRD maupun tidak melaksanakan kewajibannya, maka anggota

Dewan dapat dikenakan sanksi berupa pemberhentian atau penonaktifan sebagai

anggota Dewan. Mekanisme pemberhentian diatur dalam Undang-Undang tentang

Lembawa Perwakilan.2

Pemberhentian anggota Dewan yang telah melanggar kode etik, sebelum tahun

2004 umumnya didasarkan pada ketentuan peraturan yang berlaku, dan setelah

tahun 2004 yang berwenang memberhentikan anggota DPR adalah fraksi

bersangkutan sebagai kepanjangan tangan partai politik serta melalui proses

penyelidikan dan verifikasi yang dilakukan oleh Badan Kehormatan (selanjutnya

disebut BK). Pemberhentian anggota DPRD juga dikenal dengan istilah

penggantian antarwaktu (PAW). Baru dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang

2

(7)

Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)3 dengan tegas disebutkan perlunya

pembentukan Badan Kehormatan. Undang-Undang MD3 menyebutkan,

kewenangan BK DPRD melakukan verifikasi terhadap laporan masyarakat

tentang pelanggaran Kode Etik DPRD yang dilakukan oleh anggota DPRD.

Dalam kode etik itu termasuk tidak menjalankan tugas-tugas sebagai anggota

DPRD, seperti tidak mampu mewakili kepentingan/aspirasi dari daerah pemilihan

atau tindakan-tindakan lain yang tidak terpuji.

BK DPRD belum berfungsi secara optimal sehingga makin menambah beban citra

DPRD. Padahal, BK diharapkan berperan tidak hanya sekadar menjadi penjaga

moral dan integritas anggota DPRD, melainkan juga menjadi mekanisme internal

untuk menegakkan kode etik DPRD. Saat ini peran BK kembali dipertanyakan,

terutama setelah banyak anggota Dewan terlibat dalam berbagai kasus, seperti

korupsi maupun suap. Akibatnya, terjadi krisis moral maupun integritas yang kian

parah dalam badan aspirasi maupun perwakilan itu.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan Penelitian

1. Bagaimana perkembangan pengaturan pemberhentian anggota dewan menurut

peraturan perundang-undangan yang pernah dan berlaku di Indonesia?

3

(8)

2. Bagaimana kewenangan Badan Kehormatan dalam pemberhentian anggota

dewan?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Tata Negara yang ruang

lingkupnya membahas mengenai perkembangan pengaturan tentang

pemberhentian anggota dewan menurut peraturan perundang-undangan yang

pernah dan berlaku di Indonesia dan kewenangan Badan Kehormatan dalam

pemberhentian anggota dewan.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perkembangan pengaturan pemberhentian anggota dewan

menurut peraturan perundang-undangan yang pernah dan berlaku di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kewenangan Badan Kehormatan dalam pemberhentian

anggota dewan.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dan

pengembangan pengetahuan ilmu hukum yaitu Hukum Tata Negara

(9)

anggota dewan serta kewenangan Badan Kehormatan sebagai salah satu alat

kelengkapan dalam menjaga pemberhentian anggota dewan.

2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini dapat membuka cakrawala pikir dan

menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi Badan Kehormatan DPRD dalam

melaksanakan tugas dan wewenang sebagai alat kelengkapan dewan serta

mengembangkan kualitas agar menghasilkan kinerja yang lebih baik sebagai

(10)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Demokrasi

Para ahli telah memperkenalkan bermacam-macam istilah demokrasi. Ada yang

dinamakan demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi

terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi

nasional dan sebagainya. Walaupun istilah demokrasi banyak macamnya, tetapi

makna yang terkandung dalam istilah demokrasi tersebut pada dasarnya yaitu

rakyat berkuasa. Hal ini seperti yang dikutip oleh Miriam Budihardjo, bahwa

demokrasi, menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau goverment or rule by the people. Kata Yunani, demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa.3

Munculnya konsep pemerintahan demokratis, telah melalui proses yang panjang

dimulai dari perdebatan antara filsuf Yunani kuno, kemudian dilanjutkan oleh

para sarjana yang lahir pada abad-abad berikutnya seperti Socrates, Plato,

Aristoteles, Thomas Aquings, Polybius dan Ceciro. Dengan tinjauan

masing-masing, kesemuanya memberikan andil dan pengaruh yang tidak sedikit terhadap

perkembangan dan esensi pemerintahan demokratis dewasa ini.

3

(11)

Walaupun Socrates tidak mewariskan karya ilmiah berupa buku sebagai media

penyebar luas gagasannya, melalui metode dialektika (tanya jawab) yang ia

praktekkan, tergali gagasan tentang bentuk pemerintahan (negara) yang dia

cita-citakan, yaitu negara demokrasi. Hal itu terangkum dari pernyatannya yang

menyatakan, bahwa negara yang dicita-citakan tidak hanya melayani kebutuhan

penguasa, tetapi negara yang berkeadilan bagi warga masyarakat umum.4

Plato memberikan penjelasan mengenai bentuk pemerintahan yang ada di dunia.

Bentuk pemerintahan di setiap negara berbeda-beda, yaitu mulai dari aristokrasi,

timokrasi, oligarki, demokrasi dan monarki. Lima macam bentuk pemerintahan

yang dimaksud yaitu :

Aristokrasi, sebagai puncak dari bentuk pemerintahan yang baik, kemudian berubah menjadi Timokrasi. Bentuk ini ternyata tidak dapat bertahan lama sehingga berganti dengan Oligarki. Dalam perjalanannya, bentuk pemerintahan yang demikian mendapat reaksi dari masyarakat atau rakyat miskin sehingga lahirlah demokrasi. Demokrasi ternyata mempunyai kelemahan karena dapat memberikan peluang masyarakat untuk bertindak sebebas-bebasnya tanpa batas yang akhirnya mengakibatkan terjadinya kekacauan atau anarkisme. Dalam keadaan yang demikian kacau tentu diperlukan seorang yang kuat agar dapat mengatasi keadaan, sehingga tampillah seorang raja penindas, kejam dan tidak berkeadilan yang disebut dengan pemerintahan Tyrani. Selain itu juga, Plato mengakui bentuk pemerintahan Monarki dan Mobokrasi sebagaimana terurai dalam pemikirannya yang membagi bentuk pemerintahan (negara) atas dua jenis yaitu the ideal form(bentuk cita) dan

the corruption form(bentuk pemerosotan).5

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa baik Plato dan Aristoteles

tidak hanya mampu mengembangkan teori atau konsep, tetapi juga praktek

mampu meletakkan landasan dan semangat perbedaan (demokrasi), khususnya

4

Sachran Basah,Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 86.

5Ibid

(12)

dalam hal pengelompokkan demokrasi itu sendiri. Plato menempatkan pada

bentuk pemerintahan yang dicitakan (bagus, baik), sementara Aristoteles

menempatkan demokrasi pada kelompok pemerintahan yang korup (jelek).

Perbedaan lainnya yaitu terletak pada penggunaan kriteria masing-masing, Plato

lebih cenderung menggunakan indikator kualitatif dan kuantitatif, sementara

Aristoteles lebih kuantitatif semata. Dikatakan kualitatif karena Plato

menitikberatkan kriteria pemerintahan pada kualitas pendidikan dan moral

pemimpin, yakni apabila dipegang oleh kelompok atau orang yang cerdik

(intelektual) atau tidak, bermoral atau tidak, di samping tetap pada kriteria

kuantitatif sebagaimana yang digunakan Aristoteles, yakni berdasarkan pada

jumlah orang yang memimpin dan untuk kepentingan masing-masing.

Ditinjau dari asal katanya, maka demokrasi mengandung banyak arti. Hal ini

seperti yang diungkapkan oleh Rod Hague dan Martin Harrop, bahwa :

The world itself comes from the Greek demokratioa, meaning rule (kratos) by the people (demos). Thus democracy in its literal and riches sense-refers not to the election of rulers by the rule but to the denial of any separation between the two. Jadi demokrasi secara harfiyah mempunyai banyak makna, tidak hanya pemilihan terhadap pemimpin oleh masyarakat tetapi juga termasuk penyangkalan pemisahan terhadapnya.6

Terlepas dari pemahaman kata rakyat itu menunjukkan orang sedikit atau banyak

bahkan seluruh orang, namun pada tahun 1864 saat perang sipil di Amerika

memuncak, maka makna demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat,

oleh rakyat dan untuk rakyat. Hal ini diungkapkan oleh Abraham Lincoln’s

menegaskan bahwa kata rakyat dalam kaitannya dengan demokrasi dikembangkan

6Ibid

(13)

menjadi suatu filosofi pemerintahangovernment of the people, by the people and for the people.7

Berdasarkan uraian dan pandangan-pandangan tersebut, terlihat betapa sulitnya

mendefinisikan demokrasi karena kata demokrasi itu meliputi berbagai aspek,

baik itu aspek pemerintahan, politik, kemerdekaan, kesamaan, keadilan, sosial,

ekonomi, budaya dan hukum. Selain itu juga pengertian demokrasi itu akan terus

berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Akan tetapi, selama ini

demokrasi diklasifikasikan menjadi dua pengertian, yaitu materiil dan formil.

Dalam pengertian materiil demokrasi sebagai idiologi, pandangan hidup dan teori

dan dalam artian formil yaitu demokrasi dalam praktek. Dalam arti meteriil

demokrasi terbagi menjadi tiga kategori, yaitu didasarkan pada kemerdekaan,

didasarkan pada bidang ekonomi dan didasarkan pada gabungan antara pertama

dan kedua secara simultan. Sementara dalam arti formil berwujud pada sistem

ketatanegaraan yang dianut masing-masing negara yang tidak selalu sama yakni

ada sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan presidensil, sistem

diktatorial, sistem pemerintahan campuran, adanya negara kesatuan dan adanya

negara federal, adanya negara republik dan adanya negara kerajaan.

Dengan demikian konsepsi demokrasi adalah sesuatu hal yang masih abstrak,

debatebel, subjektif dan universal, sebab pada realitasnya tidak sedikit negara yang bersistem pemerintahan otoriter, totaliter dan diktator pun dapat

menganggap dirinya sebagai negara demokrasi.

7

(14)

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka makna demokrasi

mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal ini seperti yang diungkapkan

oleh Sri Soemantri M., dengan mengutip pendapat Richard Butwell, yang

menyatakan bahwa :

Dalam perkembangannya demokrasi kemudian timbul bermacam-macam predikat seperti social democracy, liberal democracy, people democracy, guided demorcacy dan lain-lainnya. Indonesia sendiri setelah terjadinya peristiwa G30S PKI mempergunakan istilah Demokrasi Pancasila, sedangkan sebelumnya Demokrasi Terpimpin.8

Ada pula yang membagi demokrasi menjadi Westminster model dan Consensus model. Model demokrasi westminster dianut oleh Inggris beserta negara-negara Canada, Australia, Selandia Baru dan hampir seluruh jajahan Inggris di Asia dan

Afrika yang telah merdeka. Demokrasi klasik tentu berbeda dengan demokrasi

modern. Demokrasi klasik sering dikonotasikan demokrasi secara langsung,

sedangkan demokrasi modern lebih menekan pada demokrasi perwakilan.

Demokrasi modern didasarkan pada filosofi liberal yang tujuan negaranya dibatasi

oleh konstitusi. Tidak terlalu berbeda dengan pendapat tersebut, Sotjipto

Wirosarjono, menegaskan bahwa :

Tatkala hendak merumuskan norma demokrasi itulah kita temukan keberagaman. Dimensi tempat dan waktu memberi warna beragam antara pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi di satu situasi dan kondisi dengan situasi dan kondisi sosial budaya lainnya. Demokrasi di Amerika Serikat lain normanya bila dibandingkan dengan demokrasi di Jepang. Pelaksanaan kedaulatan rakyat di India berbeda norma dan aturannya di Skandanavia. Walaupun demikian, tentua ada norma baku yang harus ada di mana saja dan kapan saja, supaya tetap mencerminkan semangat etis demokrasi itu, yaitu pertanggungjawaban kepada rakyat (public accountability) dan kaidah contestability yaitu kesiapan untuk menjawab

8

(15)

pertanyaan atau uji kesahihan atas segala perbuatan konstitusionalnya. Tujuan, dasar dan landasan tindakan atas nama rakyat siap diuji, apakah ia mencerminkan kehendak bersama, atau atas nama kepentingan lain daripada kehendak dan kesadaran etis rakyatnya.9

Berpedoman pada pengklasifikasian dan uraian tersebut jenis-jenis demokrasi

yang ada ternyata demokrasi merupakan suatu sistem ketatanegaraan yang tidak

netral dan universal, artinya dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan, ideologi,

sejarah, waktu dan bentuk pemerintahan yang mempengaruhinya. Akibatnya,

lahirlah beberapa jenis demokrasi, yaitu demokrasi klasik, demokrasi modern,

demokrasi langsung, demokrasi tidak langsung, demokrasi liberal, demokrasi

sosial, demokrasi rakyat, demokrasi totaliter, demokrasi konstitusional, demokrasi

Pancasila, demokrasi terpimpin, demokrasi parlementer, demokrasi industri,

demokrasi protektif, demokrasi Westminster, demokrasi konsensus dan lain

sebagainya.

B. Konsep Kedaulatan dan Kekuasaan

1. Konsep Kedaulatan

Salah satu unsur atau syarat yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu negara

adalah pemerintahan yang berdaulat atau kedaulatan. Istilah kedaulatan ini

pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kenegaraan berkebangsaan Perancis,

Jeans Bodin. Menurut Jeans Bodin seperti yang dikutip oleh Sri Soemantri,

kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kedaulatan ini sifatnya

9

(16)

tunggal, asli, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tunggal berarti hanya ada satu

kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu tidak dapat dibagi-bagi. Asli berarti

kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari kekuasaan lain. Sedangkan abadi

berarti kekuasaan negara itu berlangsung terus-menerus tanpa terputus-putus.

Maksudnya pemerintah dapat berganti-ganti, kepala negara dapat berganti atau

meninggal dunia, tetapi negara dengan kekuasaanya berlangsung terus tanpa

terputus-putus.10

Kedaulatan atau sovereignity adalah ciri atau atribut hukum dari negara, dan sebagai atribut negara sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa

sovereignity itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri.11 Perkataan

sovereignity (bahasa Inggris) mempunyai persamaan kata dengan Souvereneteit (bahasa Belanda) yang berarti tertinggi. Jadi secara umum, kedaulatan atau

sovereignity itu diartikan sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang mempunyai wewenang untuk mengatur penyelenggaraan negara.

Setelah adanya negara di jaman modern, merumuskan kembali kedaulatan

menjadi suatu yang sangat penting. Menurut Harold J. Laski bahwa :

“The modern state is a sovereign state. It is, therefore, independent in the face of other communities. It may infuse its will towards them with a substance which need not be affected by the will of any external power. It is, moreover, internally supreme over the territory that it control”. (Negara modern adalah negara yang mempunyai kedaulatan. Hal ini untuk independen dalam menghadapi komunitas lain, dan akan mempengaruhi substansi yang akan diperlukan dalam kekuasaan internal dan kekuasaan eksternal. Hal ini lebih jauh merupakan kekuasaan yang tertinggi atas wilayahnya)12

10

Sri Soemantri,Op cit, hal. 29. 11

Dahlan Thaib,DPRD Sistem Ketatanegaran Indonesia,Liberty, Yogyakarta, 1994, hal. 9. 12http://www.theceli.com/index.php

(17)

Jelas kedaulatan merupakan suatu keharusan yang dimiliki oleh negara yang ingin

independen atau merdeka dalam menjalankan kehendak rakyat yang dipimpinnya.

Sehingga kedaulatan merupakan hal yang mempengaruhi seluruh kehidupan

bernegara.

Menurut Jean Bodin bahwa kedaulatan adalah suatu keharusan tertinggi dalam

negara:

“Suatu keharusan tertinggi dalam suatu negara, dimana kedaulatan dimiliki

oleh negara dan merupakan ciri utama yang membedakan organisasi negara dari organisasi yang lain di dalamn negara. Karena kedaulatan adalah wewenang tertinggi yang tidak dibatasi oleh hukum dari pada penguasa atas warga negara dia dan orang-orang lain dalam

wilayahnya”.13

Teori-teori kedaulatan yang mencoba merumuskan siapa dan apakah yang

berdaulat dalam suatu negara:

Bentuk kedaulatan yang 2 (dua) terakhir menunjukkan kedaulatan yang tidak

dipegang oleh suatupersoon. 1. Kedaulatan Tuhan

Teori kedaulatan Tuhan dimana kekuasaan yang tertinggi ada pada Tuhan, jadi

didasarkan pada agama. Teori-teori teokrasi ini dijumpai, bukan saja di dunia

13

(18)

barat tapi juga di timur. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan teokrasi

dimiliki oleh hampir seluruh negara pada beberapa peradaban. Apabila

pemerintah negara itu berbentuk kerajaan (monarki) maka dinasti yang

memerintah disana dianggap turunan dan mendapat kekuasaannya dari Tuhan.

Misalnya jika Tenno Heika di Jepang dianggap berkuasa sebagai turunan dari

Dewa matahari.

2. Kedaulatan Raja

Teori kedaulatan bahwa kekuasaan yang tertinggi ada pada raja hal ini dapat

digabungkan dengan teori pembenaran negara yang menimbulkan kekuasaan

mutlak pada raja/satu penguasa. Teori-teori kekuasaan jasmani atau teori-teori

perjanjian dari Thomas Hobbes. Dan kemudian muncul menjadi negara adalah

raja. L’etat cest moi yang diungkapkan oleh Louis XVI yang menjadi sumbu

dari pergerakan Revolusi Perancis.

3. Kedaulatan Rakyat

Teori ini lahir dari reaksi pada kedaulatan raja. Yang menjadi bapak dari

ajaran ini adalah JJ. Rousseau yang pada akhirnya teori ini menjadi inspirasi

Revolusi Perancis. Teori kedaulatan rakyat ini sebagai cikal bakal dari ajaran

demokrasi. Sebagai pelopor teori ini adalah Jean Jacques Rousseau. Menurut

beliau bahwa raja memerintah hanya sebagai wakil rakyat, sedangkan

kedaulatan penuh ditangan rakyat dan tidak dapat dibagikan kepada

pemerintah itu. Itu sebabnya Rosseau dianggap sebagai Bapak Kedaulatan

(19)

dan Indonesia, dan dapat disimpulkan bahwa trend dan simbol abad 20 adalah

tentang kedaulatan rakyat.

Menurut teori ini, rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan atau

menyerahkan kekuasaannya kepada negara. Kemudian negara memecah

menjadi beberapa kekuasaan yang diberikan pada pemerintah, ataupun

lembaga perwakilan. Tetapi karena pada saat dilahirkan teori ini banyak

negara yang masih menganut sistem monarki, maka yang berkuasa adalah raja

atau pemerintah. Bilamana pemerintah ini melaksanakan tugasnya tidak sesuai

dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak mengganti pemerintah

itu. Kedaulatan rakyat ini, didasarkan pada kehendak umum yang disebut

“volonte generale” oleh Rousseau. Apabila Raja memerintah hanya sebagai

wakil, sedangkan kedaulatan penuh ditangan rakyat dan tidak dapat dibagikan

kepada pemerintah itu.

4. Kedaulatan Negara

Teori ini juga sebagai reaksi dari kedaulatan rakyat, tetapi melangsungkan

teori kedaulatan raja dalam suasana kedaulatan rakyat. Menurut paham ini,

Negaralah sumber dalam negara. Dari itu negara (dalam arti government = pemerintah) dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap life,

liberty dan property dari warganya. Warga negara bersama-sama hak miliknya

tersebut, dapat dikerahkan untuk kepentingan kebesaran negara. Mereka taat

kepada hukum tidak karena suatu perjanjian tapi karena itu adalah kehendak

(20)

Hal ini terutama diajarkan oleh madzhab Deutsche Publizisten Schule, yang

memberikan konstruksi pada kekuasaan raja Jerman yang mutlak, pada

suasana teori kedaulatan rakyat. Kuatnya kedudukan raja karena mendapat

dukungan yang besar dari 3 golongan yaitu:

a. Armee(angkatan perang).

b. Junkertum(golongan idustrialis).

c. Golongan Birokrasi (staf pegawai negara).14

Sehingga praktis rakyat tidak mempunyai kewenangan apa-apa dan tidak

memiliki kedaulatan. Oleh karena itu menurut sarjana-sarjana, kedaulatan

bulat pada rakyat. Tetapi wewenang tertinggi tersebut berada pada negara.

Sebenarnya negara hanyalah alat, bukan yang memiliki kedaulatan. Jadi ajaran

kedaulatan negara ini adalah penjelamaan baru dari kedaulatan raja. Karena

pelaksanaan kedaulatan adalah negara, dan negara adalah abstrak maka

kedaulatan ada pada raja.15

5. Teori Kedaulatan Hukum

Teori kedaulatan hukum timbul sebagai penyangkalan terhadap teori

kedaulatan negara dan dikemukan oleh Krabbe. Teori ini menunjukkan

kekuasaan yang tertinggi tidak terletak pada raja (teori kedaulatan raja) juga

tidak pada negara (teori kedaulatan negara). Tetapi berada pada hukum yang

bersumber pada kesadaran hukum pada setiap orang.

14Op cit

,http://www.theceli.com/index.php.

(21)

Menurut teori ini, hukum adalah pernyataan penilaian yang terbit dari

kesadaran hukum manusia. Dan hukum merupakan sumber kedaulatan.

Kesadaran hukum inilah yang membedakan mana yang adil dan mana yang

tidak adil. Teori ini dipakai oleh Indonesia dengan mengubah Undang-Undang

Dasarnya, dari konsep kedaulatan rakyat yang diwakilkan menjadi kedaulatan

hukum. Kedaulatan hukum tercantum dalam UUD 1945 “Kedaulatan ada

ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh Undang-Undang Dasar.

Kedaulatan menurut UUD 1945 sebelum perubahan, dinyatakan bahwa

Indonesia adalah salah satu negara yang menganut teori kedaulatan rakyat. Hal

itu terlihat dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “...susunan negara

Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...”. selanjutnya dijelaskan

pula dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 hasil dekrit 5 juli 1959 atau sebelum

perubahan yang berbunyi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan

sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Menurut pasal tersebut

maka MPR adalah penjelmaan rakyat indonesia sebagai satu-satunya lembaga

yang memegang kedaulatan rakyat sepenuhnya.

Kedaulatan menurut UUD 1945 setelah perubahan, yaitu pada perubahan

ketiga tahun 2001 yang diantaranya mengubah rumusan pasal 2 ayat (2) UUD

1945 yang bunyinya menjadi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perubahan rumusan pasal 2

ayat (2) UUD 1945 tersebut membawa kosekuensi dan implikasi yang

(22)

pada lembaga MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya. Dengan

demikian MPR tidak lagi sebagai satu-satunya lembaga yang melakukan

kedaulatan rakyat. Kedaulatan tetap dipegang oleh rakyat, namun

pelaksanaanya dilakukan oleh beberpa lembaga negara yang memperoleh

amanat dari rakyat dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

2. Konsep Kekuasaan

Kekuasaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, oleh karenanya,

kekuasaan akan selalu hadir guna mengiringi kepentingan hidupnya, secara

individual maupun komunal, kekuasaan setingkat demi setingkat akan mengalami

perubahan dan akhirnya yang tinggal hanyalah kekuasaan primitive, kekuasaan

dalam bentuk primitive ini menurut R.M. Mac Lever, kemudian berkembang

kearah tujuan yang pasti sehingga sifatnya yang sempurna akan muncul dan

terelisasi dalam bentuk Negara modern seperti sekarang.16

Istilah kekuasaan sendiri hampir dipakai pada seluruh aspek keilmuaan, seperti

sosial, politik, hukum dan sebagainya, oleh karena itu menjadi wajar jika

pandangan mengenai rumusan kekuasaan mengalami perbedaan antara yang satu

dengan yang lain, namun juga tidak dapat dikecualikan bahwa antara berbagai

pandangan tersebut ada kesamaannya, Miriam Budiardjo mengemukakan bahwa

kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk

mempengaruhi tingkah lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa

16

(23)

sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang

yang mempunyai kekuasaan itu.17

Lebih jauh, Miriam Budiardjo mengutip beberapa pandangan ahli mengenai

istilah kekuasaan, diantaranya yaitu :

a. Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan yang mendefenisikan kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuan dari pihak pertama.

b. Max Weber berpandangan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan apapun dasar kemampuan sendiri.

c. Talcot Parson, mendefinisikan kekuasaan dengan kemampuan untuk menjamin pelaksanaan dari kewajiban-kewajiban yang mengikat oleh unit-unit organisasi kolektif.

d. R.M. Mac. Lever merumuskan kekuasaan dari aspek sosial yang menyebutkan

“social power is the capacity to control the behavior of others either directly by fiat or indirectly by the manipulation of available means”.18

Dalam aspek sosial, baik Weber maupun Max Iver, nampaknya tidak jauh berbeda

dalam merumuskan istilah kekuasaan, yakni suatu kemampuan untuk

mempengaruhi orang lain, hanya saja Weber lebih ekstrim dalam mengartikan

kekuasaan dibandingkan R.M. Mac. Laver. Dalam pandangan Weber, kemampuan

itu harus dilaksanakan meskipun mendapat tantangan dari pihak yang dipengaruhi

atau diarahkan, selain itu juga tidak memperdulikan apa yang menjadi dasar dari

kekuasaan tersebut. Keanekaragaman pemahaman tentang kekuasaan juga dapat

dipandang dari aspek politik, misalnya Ossip K. Flachteim membedakan dua

macam kekuasaan politik yaitu :

17

Miriam Budiardjo,Op cit,hal. 25. 18

(24)

a. Bagian dari kekuasaan sosial yang khususnya terwujud dalam negara (kekuasaan negara atau State Power), seperti lembaga-lembaga pemerintahan DPRD, Presiden dan sebagai.

b. Bagian dari kekuasaan sosial yang ditujukan kepada Negara.19

Dengan demikian, pada dasarnya kekuasaan politik itu merupakan bagian dari

kekuasaan sosial itu sendiri. Hanya saja dalam bentuk politik, kekuasaan lebih

ditujukan pada negara melalui organ-organnya, oleh karena itu, untuk

merelisasikan kekuasaan politik pada suatu negara harus ada pihak penguasa dan

sarana kekuasaannya (machtsminddelen), tanpa adanya kedua hal tersebut kekuasaan politik tidak akan memiliki legitimasi apa-apa.

Dalam kaitannya dengan hukum, kekuasaan itu sendiri memiliki hubungan yang

sangat erat dengan hukum.20 Karena di satu sisi hukum membutuhkan kekuasaan

untuk menjalankan fungsinya, sedang disisi lain kekuasaan membutuhkan hukum

untuk melegitimasi keberadaannya. Kekuasaan dalam aspek hukum dapat

dipahami sebagai suatu kedaulatan, wewenang dan hak.

Kekuasaan yang dipahami sebagai kedaulatan, berarti kedaulatan itu hakikatnya

merupakan kekuasaan yang utama. Menurut Dahlan Thaib, kedaulatan baik diun.

gkap dengan perkataan sovereignty (dalam bahasa Inggris) maupunsouvereiniteit

(dalam bahasa Belanda) pada dasarnya dapat diartikan sebagai sesuatu yang

tertinggi.21

19

Meriam Budiardjo,Dasar-dasar...,Op cit, hal 37-38. Meriam Budiardjo menambahkan: “Suatu

kekuasaan politik tidaklah mungkin tanpa penggunaan kekuasaan(Machttsuitoefening).

20

Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hal.147-148. 21

(25)

Dengan begitu, kekuasaan dalam arti kedaulatan dapat diartikan sebagai hak

mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak tergantung dan tanpa kecuali. Kedaulatan yang

demikian itu dalam suatu negara biasanya diwakilkan kepada lembaga-lembaga

negara untuk melaksanakannya, apakah dalam bentuk lembaga tinggi maupun

lembaga tertinggi, sedangkan kekuasaan dalam arti hak sebagai bagian dari

pemahaman kekuasaan dalam aspek hukum.

Kekuasaan merupakan hak sebagai kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh

hukum. Dalam arti lain dianggap sebagai suatu kekuasaan berdasarkan hukum,

dengan hak tersebut seseorang dapat melaksanakan kepentingannya.22 lebih jauh,

Van Apeldoorn dalam konteks yang tak jauh berbeda mengemukakan hak sebagai

kekuasaan, yaitu suatu kekuasaan bercita-citakan keadilan. Oleh karena itu, hak

diartikan kekuasaan karena dengan hak tersebut seseorang dapat menjaga

keseimbangan antara kepentingan pribadinya dengan pihak lain.23 Kepentingan

pribadi yang merupakan hak asasi yang harus dihormati keberadaannya oleh pihak

lain, begitu juga sebaliknya tanpa adanya hak-hak tersebut, akibatnya akan

muncul prilaku atau tindakan semena-mena yang pada gilirannya dapat

mengganggu ketertiban dan keamanan dalam pergaulan hidup manusia dengan

demikian hak dalam arti kekuasaan adalah hak-hak yang berada pada suatu pihak

yang diakui keberadaanya oleh pihak lain berdasarkan hukum.

22

Lili Rassjidi,Dasar-dasar Filsafat Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1988, hal. 45. 23

(26)

C. Badan Legislatif

Miriam Budihardjo, mengemukakan bahwa badan legislatif adalah lembaga yang

legislate atau membuat undang-undang. Anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat, maka dari itu badan ini sering dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat,

nama lain yang sering dipakai ialah parlemen.24

Ditambahkan oleh Budihardjo, bahwa menurut teori yang berlaku, maka rakyatlah

yang berdaulat, rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu kemauan. Dewan

Perwakilan Rakyat dianggap merumuskan kemauan rakyat atau kemauan umum

ini dengan jalan menentukan kebijaksanaan umum yang mengikat seluruh

masyarakat. Undang-undang yang dibuatnya mencerminkan

kebijaksanaan-kebijaksanaan itu. Dapat dikatakan bahwa ia merupakan badan yang membuat

keputusan yang menyangkut kepentingan umum.25

Menurut teori yang berlaku maka tugas utama dari badan legislatif terletak

dibidang perundang-undangan. Untuk membahas rancangan undang-undang

sering dibentuk panitia-panitia yang berwenang untuk memanggil menteri atau

pejabat lainnya untuk diminta keterangan seperlunya. Di beberapa negara seperti

Amerika Serikat dan Prancis, panitia legislatif ini sangat berkuasa, tetapi di

negara lain seperti Inggris, panitia-panitia ini hanya merupakan panitia teknis saja.

Biasanya sidang-sidang panitia legislatif diadakan secara tertutup, kecuali di

Amerika Serikat di mana dapat ditentukan bahwa sidang panitia terbuka untuk

umum.

24

Miriam Budihardjo,Dasar-dasar…,Op cit, hal. 173. 25Ibid

(27)

Akan tetapi dewasa ini telah menjadi gejala umum bahwa titik berat di bidang

legislatif telah banyak bergeser ke tangan badan eksekutif. Mayoritas dari

perundang-undangan dirumuskan dan dipersiapkan oleh badan eksekutif,

sedangkan badan legislatif tinggal membahas dan mengamadeernya. Lagipula

undang-undang yang dibuat atas inisiatif badan legislatif sedikit sejali jumlahnya

dan jarang menyangkut kepentingan umum. Hal ini tidak mengherankan, sebab

dalam negara modern badan eksekutif bertanggung jawab atas peningkatan taraf

kehidupan rakyat dan karena itu harus memainkan peranan yang aktif dalam

mengatus semua aspek kehidupan masyarakat.

D. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia

Pada awalnya, gagasan mengenai perlunya ada suatu Lembaga Perwakilan

Rakyat, adalah ketika John Locke (1632-1704) menerbitkan Second Treatise of Government(1690), ia menyadari pelaksanaan hak asasi seseorang mungkin akan dapat menyebabkan perbenturan terhadap hak asasi orang lainnya, bahkan

mungkin melanggarnya. Untuk mencegah ini, anggota masyarakat perlu

bergabung bersama dan membuat perjanjian masyarakat (du contrat social). Kemudian, Jean Jaques Rousseau (1712-1778) juga berbicara tentangDu contrat socialdan akhirnya dilanjutkan dengan gagasan Montesquieu yang paling popular dengan sebutan prinsip pemisahan kekuasaan (sparation of power). Menurutnya, kekuasaan negara haruslah dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi legislatif,

(28)

parlemen atau ‘legislature’, fungsi eksekutif dikaitkan dengan peran pemerintah

dan fungsi judikatif dengan lembaga peradilan.26

Tetapi dalam praktek, teori Montesquieu oleh sebagian sarjana dianggap terlalu

idealis. Hal ini dikarenakan, pada kenyataannya, sampai saat ini di dunia, tidak

ada atau belum ada satu negarapun yang dengan tegas melakukan sistem

pemisahan kekuasaan ini secara tegas sebagaimana yang dicita-citaka oleh

Montesqueiu tersebut. Karena, misalnya kita ambil contoh, di Indonesia sendiri

saja kekuasaan legislative tidak murni dipegang dan dimiliki oleh Dewan

Perwakilan Rakyat semata yang secara tersurat dalam UUD 1945 memiliki fungsi

legislative. Namun, wewenang ini juga dimiliki oleh Presiden, yang notabene

memegang peran pemerintahan dan menjalankan Undang-Undang yang dibuat

oleh legislative. Oleh para sarjana, negara yang dianggap paling mendekati ide

Montesquieu itu hanya Amerika Serikat yang memisahkan fungsi-fungsi

legislatif, eksekutif dan judikatif secara ketat dengan diimbangi mekanisme

hubungan yang saling mengendalikan secara seimbang Jika dikaitkan dengan

prinsip demokrasi atau gagasan kedaulatan rakyat, maka dalam konsep pemisahan

tersebut dikembangkan pandangan bahwa kedaulatan yang ada di tangan rakyat

dibagi-bagi dan dipisah-pisahkan ke dalam ketiga cabang kekuasaan negara itu

secara bersamaan. Agar ketiga cabang kekuasaan itu dijamin tetap berada dalam

26

(29)

keadaan seimbang, diatur pula mekanisme hubungan yang saling mengendalikan

satu sama lain yang biasa disebut dengan prinsip‘checks and balances’.27

Oleh karena itu, di masa reformasi ini, berkembang aspirasi untuk lebih

membatasi kekuasaan Presiden dengan menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan

yang tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif itu. Fungsi legislatif dikaitkan

dengan fungsi parlemen, sedangkan Presiden hanya memiliki fungsi eksekutif

saja. Pokok pikiran demikian inilah yang mempengaruhi jalan pikiran para

anggota MPR, sehingga diadakan Perubahan Pertama UUD 1945 yang

mempertegas kekuasaan DPR di bidang legislatif dengan mengubah rumusan

Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya perubahan itu,

berarti fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan judikatif telah dipisahkan secara

tegas, sehingga UUD 1945 tidak dapat lagi dikatakan tidak menganut ajaran

pemisahan kekuasaan dalam arti horizontal.

Jadi, dapat dilihat bahwa peranan parlemen di Indonesia saat ini sudah

mempunyai suatu arah yang pasti dan tugas juga wewenangnya dalam bidang

legislative juga sudah dijamin oleh konstitusi. Meskipun pada kenyataannya

presiden tetap mempunyai fungsi eksekutif. Sebaliknya, di Perancis s sampai saat

ini masih terus ditemui kondisi dimana presiden memiliki pula kekuasaan

eksekutif yang malahan melebihi parlemen. Fenomena ini mungkin akan terus ada

dan tidak akan pernah hilang, karena selalu adanya adagium bahwa pada dasarnya

presiden dianggap dan menganggap bahwa pemerintahan jauh lebih mengetahui

27Ibid

(30)

apa saja yang diperlukan agar pemerintahan dapat berjalan lancar, karena

eksekutif sendirilah pelaksana dari pemerintahan itu sendiri.

Majelis Permusyawaratan Rakyat sendiri pertama kali diusulkan oleh Mr.

Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI pada tanggal 11 Juli 1945. Ketika itu

Mr. Muhammad Yamin mengusulkan selain terdapat presiden dan

perangkat-perangkatnya sebagai lembaga eksekutif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

seharusnya terdapat pula Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk seluruh rakyat

Indonesia yang menjadi kekuasaan setinggi-tingginya sebagai lembaga legislatif.

Di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, tidak hanya diduduki oleh wakil dari

daerah-daerah kan tetapi juga wakil dari golongan-golongan sehingga mencakup

seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah salah satu unsur Majelis

Permusyawaratan rakyat yang dipilih melalui partai politik. Banyaknya jumlah

wakil rakyat yang mendapat kursi di DPR dari suatu partai politik, tergantung dari

besarnya suara yang diperoleh oleh partai politik tersebut selama pemilihan

umum. Semakin banyak suara yang diperoleh oleh suatu partai politik dalam

pemilihan umum maka jumlah kursi yang diperoleh akan lebih banyak pula.

Setiap anggota DPR akan otomatis menduduki jabatan sebagai anggota MPR.

Utusan daerah adalah utusan yang ditunjuk oleh pemerintah daerah untuk duduk

di MPR. Utusan daerah ini berfungsi untuk menyuarakan daerahnya dalam

forum-forum MPR sehingga permasalahan-permasalahan daerah dapat disampaikan

(31)

golongan-golongan seperti angkatan bersenjata dan kepolisian untuk

bersama-sama ikut duduk dalam MPR dan memberikan masukan-masukan mewakili

golongannya.

Dalam perkembangannya, Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia banyak

mengalami perubahan karena latar belakang historis. Perubahan yang paling

aktual adalah perubahan sistem Lembaga Perwakilan Rakyat karena amandemen

UUD 1945 sebanyak empat kali. Amandemen UUD 1945 menyebabkan

perubahan yang cukup signifikan. MPR tidak lagi terdiri dari anggota DPR,

utusan daerah dan utusaan golongan, melainkan terdiri dari anggota DPR dan

anggota DPD. DPD terbentuk karena adanya tuntutan otonomi daerah di

sebagaian besar wilayah di Indonesia sehingga DPD berfungsi sebagai wakil

daerah dalam MPR.

E. Pengertian dan Wewenang DPRD

Berdasarkan Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Pemda), mengatur bahwa Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga

perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Dalam hal ini DPRD sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan

daerah, harus mampu menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat

di daerah, baik masyarakat administrasi pemerintahan, pembangunan dan

(32)

Berdasarkan hal tersebut di dalam Pasal 42 Undang-Undang Pemda, mengatakan

tugas dan wewenang DPRD yaitu :

(1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang:

a. membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama;

b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan Kepala Daerah;

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan Kepala Daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;

d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota;

e. memilih wakil Kepala Daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil Kepala Daerah;

f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sana internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;

h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

i. membentuk panitia pengawas pemilihan Kepala Daerah;

j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah;

k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.

(2) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

DPRD dalam prakteknya terbagi menjadi dua bagian, yaitu pada tingkat provinsi

dan tingkat kabupaten/kota. DPRD Provinsi menurut Pasal 291 Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (Undang-Undang MD3) merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah

(33)

Pasal 293 Undang-Undang MD3 menegaskan mengenai tugas dan wewenang

yang diemban oleh DPRD Provinsi yaitu :

(1) DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang:

a. membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur;

b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur;

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi;

d. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;

e. memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur;

f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi;

h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi;

i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;

j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan

k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

Pasal 342 Undang-Undang MD3, memberikan pengertian mengenai DPRD

Kabupaten/Kota yaitu merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang

berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Selanjutnya tugas dan wewenang DPRD Kabupaten/Kota menurut Pasal 344 ayat

(34)

a. Membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

b. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota;

c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota;

d. Mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;

e. Memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota;

f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;

h. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;

i. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;

j. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

k. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menilik pengertian yang terkandung dalam uraian di atas, maka peran yang

dimainkan oleh DPRD tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan fungsi DPRD itu

sendiri, karena fungsi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan atau jabatan. Oleh

karena itu faktor-faktor yang menghambat peran DPRD dapat juga dimaknai

sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi DPRD.

DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah yang mendapat legitimasi dari

rakyat, yaitu dipilih secara langsung oleh rakyat melalui sistem proporsional

dengan daftar calon terbuka. Maka, sewajarnya apabila DPRD bertanggung jawab

atas tugas dan kinerjanya kepada daerah pemilihannya, mengingat DPRD sebagai

(35)

masyarakat yang memilihnya untuk selanjutnya disampaikan kepada pemerintah.

Hal ini tercantum dalam Pasal 45 sub (g) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

yang menyatakan memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya

selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap

daerah pemilihannya.

Bila dilihat dari keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dipilih

melalui Pemilihan Umum, hal ini nampak jelas menunjukkan bahwa lembaga ini

adalah tempat berkumpulnya para wakil rakyat dan bermakna sebagai

perpanjangan tangan rakyat di daerah, bahwa peran dari DPRD bertujuan untuk

memberdayakan DPRD yang secara fungsional diharapkan dapat memenuhi

tuntutan-tuntutan rakyat yaitu menyalurkan dan menjembatani aspirasi masyarakat

dengan legalitasnya yang berkemampuan untuk mendesak Kepala Daerah agar

menjalankan serta melaksanakan aspirasi dan tuntutan-tuntutan masyarakat di

daerah.

Untuk efisiensi dan efektivitasnya fungsi DPRD dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah, fungsi DPRD ditekankan pada salah satu fungsinya yaitu

fungsi kontrol atau pengawasan untuk mewujudkan check and balances antara DPRD dan Kepala Daerah.

Menurut Josep Riwu K, DPRD sebagai salah satu pelaksana dan penggerak legislasi di daerah haruslah beritikad baik dalam arti :

(36)

b. Memiliki kecakapan/kemampuan yang tinggi untuk melaksanakan tugas-tugasnya.28

Berdasarkan uraian tersebut, DPRD bertanggung jawab kepada rakyat di daerah

pemilihannya dan juga DPRD bertanggung jawab kepada pemerintah pusat dalam

hal ini Menteri Dalam Negeri sebagai pembina pemerintahan di daerah,

mengingat DPRD sebagai perwakilan rakyat daerah dan sekaligus sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ke (4)

dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

28

(37)

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif

atau penelitian hukum kepustakaan.29

B. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

pendekatan historis peraturan perundang-undangan (historical statue approach)30.

Historical statue approach dilakukan dalam rangka pelacakan sejarah lembaga legislatif daerah di Indonesia dari waktu ke waktu. Pendekatan tersebut sangat

membantu untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu.

Selain itu, dapat pula memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang

melandasi aturan hukum tersebut.

Dalam penelitian ini hendak diungkap secara mendalam mengenai perkembangan

pengaturan pemberhentian Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari tahun 1969

sampai sekarang.

29

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 13-14.

30

(38)

C. Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang terdiri

dari :

1. Bahan hukum primer antara lain :

a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

b. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 tentang Susunan dan Kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

e. Undang Nomor 5 Tahun 1995 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

f. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan

(39)

g. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

h. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

i. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

j. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

k. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman

Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD.

2. Bahan hukum sekunder berupa bahan hukum yang berkaitan erat dan

menjelaskan permasalahan misalnya, doktrin atau pendapat ahli Hukum Tata

Negara yang terdapat dalam buku, jurnal dan lain sebagainya.

3. Bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus

Hukum.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan penelitian, yang

dilakukan dengan mengadakan penelaahan terhadap perkembangan

(40)

dengan sekarang serta wewenang Badan Kehormatan DPRD dalam

pemberhentian anggota dewan.

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan, membaca,

mengidentifikasi, mengklasifikasi dan menganalisa data untuk kemudian

dilakukan pencatatan atau pengutipan terhadap data tersebut.31

E. Metode Pengolahan Data

1. Pemeriksaan data, yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup

lengkap, benar dan sesuai dengan masalah.

2. Seleksi data, yaitu memeriksa secara keseluruhan data untuk menghindari

kekurangan dan kesalahan data yang berhubungan dengan permasalahan.

3. Klasifikasi data, penempatan dan pengelompokkan data yang melalui proses

pemeriksaan serta penggolongan data.

4. Penyusunan data, yaitu menyusun data yang telah diperiksa secara sistematis

sesuai dengan urutan sehingga pembahasan lebih mudah dipahami.

F. Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis preskriptif, yaitu

mempelajari validitas hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum.32

Analisis bahan dalam tulisan ini dilakukan sebagai berikut :

31Ibid

, hal. 43. 32Ibid

(41)

1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan

untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan.

2. Mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk

mengatasi masalah tertentu.

3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan/

data yang telah dikumpulkan.

4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum.33

(42)

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada Bab

sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Perkembangan dan perbedaan pengaturan pemberhentian anggota dewan menurut

peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia mengalami

perubahan. Dimana, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun

1969 sampai diganti dan diubah selama 2 kali, yaitu dengan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985, begitu juga

dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tidak mengalami perubahan yang

signifikan, dimana pemberhentian anggota dewan dapat diajukan karena

meninggal dunia dan atas permintaan sendiri secara tertulis. Akan tetapi, terjadi

perkembangan pengaturan apabila dilihat dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2003 yaitu mengenai meninggal dunia, mengundurkan diri sebagai anggota atas

permintaan sendiri secara tertulis; dan diusulkan oleh partai politik yang

bersangkutan. Pada ketentuan undang-undang tersebut, terlihat bahwa partai

politik dapat mengusulkan pemberhentian anggota dewan yang langsung

disampaikan oleh Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota kepada gubernur melalui

(43)

dan pengambilan keputusan oleh badan kehormatan DPRD Kabupaten/ Kota atas

pengaduan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, masyarakat dan/atau pemilih.

Selanjutnya, pengaturan pemberhentian anggota dewan di dalam Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2009 mengalami perubahan yaitu meninggal dunia,

mengundurkan diri, atau diberhentikan.

2. Kewenangan Badan Kehormatan dalam pemberhentian Anggota Dewan, yaitu

sebagai berikut :

a. Memanggil Anggota yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan

pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan.

b. Memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk

diminta keterangan, termasuk untuk diminta dokumen atau bukti lain.

c. Melakukan penelitian dan pemeriksaan pengaduan/laporan melalui

permintaan keterangan dan penjelasan pelapor, saksi dan atau yang

bersangkutan serta pemeriksaan dokumen atau bukti lain.

d. Membuat kesimpulan hasil penelitian dan pemeriksaan dengan disertai berita

acara penelitian dan pemeriksaan.

e. Menyampaikan kesimpulan hasil penelitian dan pemeriksaan kepada

Pimpinan DPRD untuk ditindak lanjuti dalam Rapat Paripurna DPRD.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah

dikemukakan di atas, maka penulis mencoba memberikan saran demi perbaikan di

(44)

1. Badan Kehormatan hendaknya melibatkan pihak-pihak lain diluar anggota Badan

Kehormatan DPRD sendiri sehingga mekanisme pengawasan yang berbasis etika

dapat terwujud lebih independen dan objektif. Sehingga Badan kehormatan

mampu berperan tidak hanya sekadar menjadi lembaga penjaga moral dan

integritas anggota DPR dan DPRD melainkan juga menjadi mekanisme internal

untuk menegakkan kode etik.

2. Perlu adanya peningkatan pengetahuan bagi seorang anggota Badan Kehormatan

idealnya menguasai Filsafat Politik, Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum sebagai

bentuk refleksi mendalam yang memungkinkan kehidupan politik mengungkap

(45)

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DI INDONESIA ( Skripsi )

Oleh :

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

2012

(46)

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DI INDONESIA

Oleh :

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan Strata Satu (S-1)

Pada

Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

2012

(47)

Halaman

Halaman Judul... i

Abstrak ... ii

Halaman Pengesahan ... iv

Halaman Persetujuan... v

Riwayat Hidup ... vi

Motto ... viii

Persembahan ... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi... xiv

Daftar Tabel ... xvi

Daftar Gambar... xvii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian... 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Demokrasi dan Konsep Kedaulatan Rakyat... 8

B. Konsep Kedaulatan dan Kekuasaan ... 13

C. Badan Legislatif ... 24

D. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia ... 25

(48)

A. Jenis Penelitian... 35

B. Pendekatan Masalah... 35

C. Data dan Sumber Data ... 36

D. Metode Pengumpulan Data ... 37

E. Metode Pengolahan Data ... 38

F. Analisis Data ... 38

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perkembangan dan Perbedaan Pengaturan Pemberhentian Anggota Dewan Menurut Peraturan Perundang-undangan yang Pernah dan Sedang Berlaku di Indonesia ... 40

B. Kewenangan Badan Kehormatan dalam Pemberhentian Anggota Dewan ... 60

BAB V. PENUTUP A. Simpulan ... 68

B. Saran ... 69

(49)

Tabel Halaman

1. Perbedaan Pemberhentian Anggota Dewan menurut Peraturan

(50)

Tabel Halaman

1. Proses Mekanisme Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan

(51)

A. BUKU

Andrew Heywood,Politics, Palgrave, New York, Second Edition, 2002.

Bambang Cipto, Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Era Pemerintahan Modern-Industrial, Rajawali Press, Jakarta, 1995.

Dahlan Thaib, DPRD Sistem Ketatanegaran Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1994.

___________,Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty, Yogyakarta, 1998.

Josep Riwu Kihu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia: Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, PT. Raya Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Lili Rassjidi,Dasar-dasar Filsafat Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1988.

Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Sinar Harapan, Jakarta, 1991.

______________, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.

Nuri Evirayanti, Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Kehormatan Sebagai Alat Kelengkapan DPRD dalam Menjaga Martabat dan Kehormatan Anggota DPRD Berdasarkan Kode Etik, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009.

Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008.

Sachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

(52)

Indonesia (Kajian tentang Distribusi Kekuasaan antara DPRD dan Kepala Daerah Pasca kembali berlakunya UUD 1945) UII Press, Yokyakarta, 2004.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.

Soetjipto Wirosarjono, Dialog dengan Kekuasaan, Esai-Esai Tentang Agama, Negara, dan Rakyat, Mizan, Bandung, 1995.

Sri Soemantri M., Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, PT. Rajawali, Jakarta, 1981.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

(53)

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801).

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844).

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5104).

C. SUMBER LAIN

(54)

Adhi cahyanto dilahirkan di Bangun Sari, OKU Timur Sumatera Selatan pada

tanggal 13 Mei 1988. Penulis dibesarkan di Kabupaten Kayu Agung Sumatera

Selatan sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, buah hati dari Bapak Sutasno

dan Ibu Suryati. Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-Kanak (TK)

Kartika Kabupaten Kayu Agung, Sumatera Selatan yang selesai pada tahun 1994,

Sekolah Dasar (SD) Negari 1 Kecamatan Mesuji Makmur Kabupaten Kayu

Agung yang diselesaikan pada tahun 2000. Kemudian Penulis melanjutkan

kejenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negari 4 Belitang OKU Sumatera

Selatan yang diselesaikan pada tahun 2003. Setelah menyelesaikan studi diSMP,

Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU) Al-Azhar 3

Bandar Lampung yang diselesaikan dan berhasil lulus pada tahun 2006.

Tahun 2007 Penulis diterima sebagai mahasiswa di Universitas Lampung pada

Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa

Baru (SPMB) yang kemudian memilih untuk mendalami bagian Hukum Tata

Negara (HTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dibeberapa organisasi

kemahasiswaan diantaranya ; FOSSI periode 2007-2010,DPM U KBM Unila

Referensi

Dokumen terkait

Tiga menteri  pertanian yang  berbeda secara  berurutan yaitu: ­Toshikatsu  Matsuoka,  ­Norihiko Akagi ­Takehiko Endo ­ FumioKyuma  Menteri   Pertahanan ­  

Dalam hal ini, penulis mencari data tentang Pembiayaan Griya Faedah pada Bank Rakyat Indonesia Syariah KC Sidoarjo, seperti data angsuran pembiayaan, penggunaan pricing

Interaksi an- tara konsentrasi asap cair batang tembakau de- ngan lama perendaman tidak berpengaruh pada kekerasan, warna, aroma, dan total bakteri daging ikan gurami

Dari uraian-urainan tersebut di atas, untuk lebih mengetahui fenomena-fenomena yang terjadi pada proses pendinginan mesin mobil, maka penulis tertarik membuat suatu alat

Tidak boleh melakukan tindakan yang menyangkut risiko pribadi atau tanpa pelatihan yang sesuai.. Evakuasi

Gambar 6. Rancang Bangun Sistem Pemanas Sistem pemanas yang fungsinya untuk memanaskan fluida didalam tangki dengan menggunakan heater, kemudian dikendalikan oleh

 Bersama-sama dengan peserta didik melakukan refleksi dengan menayakan keepada peserta didik apa yang telah di pelajari dan kesulitan apa saja yang dihadapi selama dalam

Uji coba lapangan dilaksanakan di MTs Assyafi’iyah Gondang selama 2 minggu pada kelas VII E dengan jumlah siswa sebanyak 30 orang. Peneliti menggantikan guru kelas untuk