• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAYA IKAT PERSETUJUAN NEW YORK (NEW YORK AGREEMENT) 1962 ANTARA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN BELANDA MENGENAI IRIAN BARAT BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DAYA IKAT PERSETUJUAN NEW YORK (NEW YORK AGREEMENT) 1962 ANTARA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN BELANDA MENGENAI IRIAN BARAT BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

DAYA IKAT PERSETUJUAN NEW YORK (NEW YORK AGREEMENT) 1962 ANTARA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN

BELANDA MENGENAI IRIAN BARAT BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

Skripsi

Oleh

Agit Yogi Subandi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

DAFTAR ISI

1. Pengertian Perjanjian Internasional ... 10

2. Pengertian Konvensi... 12

3. Pengertian Pacta Sunt Servanda... 13

B. Hal-hal Yang Berhubungan Dengan Perjanjian Internasional...… 13

1. Istilah-istilah Perjanjian Internasional... 13

2. Klasifikasi Perjanjian Internasional……… 18

a) Klasifikasi perjanjian dilihat dari subjek yang mengadakan perjanjian……….. 18

b) Klasifikasi atas dasar jumlah para pihak yang mengadakan perjanjian internasional………. 19

c) Klasifikasi perjanjian ditinjau dari sudut bentuknya………. 19

d) Klasifikasi perjanjian dilihat dari proses pembentukannya.. 20

e) Klasifikasi perjanjian dilihat dari sifat pelaksanaannya…… 21

f) Klasifikasi perjanjian dilihat dari sifatnya/fungsinya……… 20

3. Prosedur dan tahap-tahap Pembuatan Perjanjian Internasional... 22

4. Mulai Berlaku dan berakhirnya Perjanjian Internasional... 26

C. Daya Ikat Perjanjian Internasional... 27

D. Mengenai Suksesi Negara……….…….……... 30

1. Pengertian Suksesi Negara Pada Umumnya... 30

(3)

C. Pendekatan Masalah... 37 A. Status Papua Setelah Indonesia Merdeka... 40

B. Konflik Antara Indonesia Dengan Belanda Mengenai Papua Barat... 42

1. Peranan PBB Dalam Penyelesaian Konflik Papua Barat………… 45 Negara Kesatuan Republik Indonesia Dengan Kerajaan Belanda

II.Pada Sidang Paripurna ke-1127, tanggal 21 September 1962, Majelis Umum menerima draf resolusi yang diserahkan oleh Indonesia dan Belanda (A/L. 393)

III.Naskah Pernyataan Bersama seusai diskusi antara Menteri Luar Negeri Belanda, Mr. J.M. Luns dan Menteri Kerjasama Pembangunan, Mr. B.J. Udink, dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Mr. Adam Malik, di Roma pada tanggal 20 dan 21 Mei 1969

IV. Resolusi Nomor 2504 (Xxiv) yang diusulkan Oleh 6 Negara 1, A/1.574, Diterima Oleh Majelis Pada Tanggal 19 November 1969, Dalam Rapat Paripurna Ke 1813, Dengan 84 Negara Menerima, Yang Menentang 0 Dan Abstain 30 Negara.

(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

A.K, Syahmin, 2002. Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Winna 1969). Armico, Bandung.

Danim, Sudarman. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Pustaka Setia, Bandung. Dae, Darnetty dan Abdul Muthalib Tahar. 2008. Hukum Perjanjian Internasional

& Perkembangannya, Universitas Lampung, Bandarlampung.

Departemen Luar Negeri, 2002, Pelatihan Pembuatan Kontrak Internasional. (Jurnal)

Hasan, Madjedi. 2005. Pacta Sunt Servanda, Penerapan Asas “Janji Itu

Mengikat” dalam Kontrak Bagi Hasil di Bidang Minyak dan Gas Bumi. Penerbit PT Fikahati Aneska, Jakarta.

I Wayan Partiana. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1. Penerbit Mandar Maju, Bandung.

_________. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2. Penerbit Mandar Maju, Bandung.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1990. Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung-Jakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes, 2003. Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung.

Kusumohamidjojo, Budiono. 1986. Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung.

(5)

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rudy, T. May. 2002. Hukum Internasional 2. Refika Aditama. Bandung.

Starke, J. G. 1992. Pengantar Hukum Internasional – Jilid I. Sinar Grafika, Jakarta.

_________. 1992. Pengantar Hukum Internasional – Jilid II. Sinar Grafika, Jakarta.

Universitas Lampung, 2005. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung, Penerbit Universitas Lampung, Lampung.

Makalah

Achmad, Yulianto. 2004. Eksistensi Perjanjian Antara Indonesia Dengan Australia Tentang Zona Kerjasama di Daerah Antara Timor Timur dan Australia Bagian Dalam Hal Timor Timur Menjadi Negara Merdeka. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. (makalah)

Juwana, Hikmahanto. (Tanpa Tahun). Status Yuridis Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Jaya Dalam Perspektif Hukum Internasional.

(Makalah).

Saefullah, Tien, 1981. Suksesi Negara Sehubungan dengan Perjanjian Internasional, PPS UNPAD, Bandung,. (makalah)

Koran dan Majalah

Abdul Rivai Ras, Dilema Papua dan “Early Warning System”. Sinar Harapan, Tanggal 22 Juli 2002. (Tulisan)

(6)

New York Agreement 1962. Perjanjian antara Negara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda mengenai Guninea Baru Barat (Irian Barat) yang ditandatangani di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Tanggal 15 Agustus 1962.

Website:

1. Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia. Konflik Papua Barat: http://id.wikipedia.org/wiki/konflik_papua_barat (diakses pada tanggal 19 Januari 2009, Pukul 11.52 am.

2. Bappenas: tanggal 19 Januari 2009 pada pukul 09.59 am)

5. DKN:

www.dkn.go.id/NR/rdonlyres/B0798520-F7A6-4EB7-A31B-internasional-dan-konflik.html (diakses 19 Februari 2009, Pukul: 9.45 pm). 9. DKN: http://www.dkn.go.id/xdknweb/hukuminternasional.htm (diakses pada

tanggal, 30 Januari 2009 pukul 1.25 am).

10.Umy: http://www.umy.ac.id/hukum/download/YULI.htm (diakses pada tanggal, 14 Februari 2009 pukul 10.21 wib pm)

(7)

13.Pemilu Antara: http://pemilu.antara.co.id diakses pada tanggal, 15 Maret 2009 pukul 23.00 wib.

14. Situs Muhhamad Taufan:

http://taufanmuhammad.multiply.com/journal/item/38, diakses pada tanggal, 28 Juli 2009.

15.Daftar Nama-nama Anggota PBB:

http://organisasi.org/daftar_nama_negara_dunia_anggota_pbb_perserikatan_b angsa_bangsa_belajar_ilmu_pengetahuan_umum_dunia_global_internasional, diakses pada tanggal, 28 Juli 2009.

16. Jalannya Pepera 1969 (Act Of Free Choice) Di Papua Barat:

(8)

DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM

ADB : Asian Development Bank. PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa.

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia.

UNTEA : United Nation Temporary Executive Authority. OPM : Organisasi Papua Merdeka.

Pepera : Penentuan Pendapat Rakyat.

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. MoU : Memorandum of Understanding.

KODAM : Panglima Komando Daerah Militer. GPL : Gerakan Pengacau Liar.

GPK : Gerakan Pengacau Keamanan. HAM : Hak Asasi Manusia

NGR : New Guinea Raad (Dewan New Guinea). RIS : Republik Indonesia Serikat.

RI : Republik Indonesia. Alm. : Almarhum.

DVP : Demokratische Volks Partij. Depkeu : Departemen Keuangan. DAU : Dana Alokasi Umum. DOK : Dana Otonomi Khusus.

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat. Sekjen : Sekretaris Jenderal.

MU : Majelis Umum. Otsus : Otonomi Khusus.

KMB : Konferensi Meja Bundar

(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian-pengertian

Sebelum membahas permasalahan lebih lanjut, perlu dikaji terlebih dahulu mengenai pengertian-pengertian yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

1. Pengertian Perjanjian Internasional.

Mochtar Kusumaatmadja mendefinisikan perjanjian internasional sebagai sebuah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. Mochtar mensyaratkan, untuk dapat disebut perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subyek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Sementara itu, dalam Hukum Internasional yang dapat disebut sebagai subyek hukum internasional selain Negara, Takhta Suci, Palang Merah Internasional, Organisasi Internasional dan Individu adalah Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent).1

Sebuah situs yang berjenis Ensiklopedia2 yang berbahasa Indonesia menuliskan sebuah pengertian Perjanjian internasional, yaitu sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum internasional oleh beberapa pihak

1

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M., Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung-Jakarta, 1990, hlm. 79 & 84.

2

(10)

yang berupa negara atau organisasi internasional. Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian bilateral dibuat antara dua negara.

Dalam pengertian umum dan luas, perjanjian internasional3 menurut I Wayan Partiana yang dalam bahasa Indonesia disebut juga persetujuan, traktat, ataupun konvensi, adalah:

Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.4

Pengertian ini nampak masih sangat umum dan luas, antara lain dapat ditunjukkan pada:

Pertama: dalam definisi tersebut semua subjek hukum internasional dipandang dapat mengadakan perjanjian internsional. Padahal dalam kenyataannya, tidaklah setiap subjek hukum internsional dapat berkedudukan sebagai pihak dalam perjanjian internasional. Dalam Konvensi Wina 1969, hanya Negara yang dapat mengadakan perjanjian internasional, sedangkan subjek yang lain diadakan oleh hukum kebiasaan atau diatur oleh perjanjian internasional itu sendiri. Sehingga hanya negara, tahta suci, dan organisasi internasional (tidak semuanya) kaum belligerensi, bangsa yang sedang

3 I Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional bagian 1 tahun 2002, menuliskan,

Dalam buku ini akan dugunakan istilah “perjanjian” atau “perjanjian internasional” sebagai istilah umum atau generik untuk segala macam perjanjian internasional, sedangkan istilah-istilah lainya seperti traktat (treaty), Konvensi (convention), persetujuan (Agreement), dan lain-lain adalah istilah yang lebih bersifat khusus atau spesifik untuk jenis-jenis perjanjian internsional tertentu.

4

(11)

memperjuangkan hak-haknya, yang dapat berkedudukan sebagi pihak dalam suatu perjanjian internasional5.

Kedua: definisi tersebut di samping mencakup perjanjian internsional tertulis juga mencakup perjanjian internasional yang berbentuk tidak tertulis, yang masing-masing memiliki karakter yang sangat berbeda, meskipun sama-sama merupakan perjanjian internasional6.

Oleh karena luasnya ruang lingkup perjanjian internasional menurut pengertian di atas, maka kiranya pengertian ini hanya dapat dipakai sebagai pedoman awal dalam pembahasan secara mendalam tentang perjanjian internasional dan hukum perjanjian internasional. Dengan kata lain, pengertian perjanjian internasional yang sangat umum dan luas ini berguna sebagai titik tolak untuk mengklarifikasikan perjanjian internasional dengan lebih mempersempit ruang lingkupnya. Baik ruang lingkup subjek hukumnya maupun ruang lingkup bentuknya7. Dengan demikian juga dapat diharapkan kejelasan dari ruang lingkupnya yang secara substansial diatur oleh hukum perjanjian internasional.

2. Pengertian Konvensi

Konvensi biasanya dipergunakan untuk memberi nama suatu catatan dari persetujuan mengenai hal-hal penting tetapi tidak bersifat politik tinggi. Konvensi juga biasanya dipakai untuk dokumen yang resmi dan bersifat

5

Ibid.

6

Op.Cit, hlm. 13

7

(12)

multilateral, dan juga mencakup dokumen-dokumen yang dipakai oleh aparat-aparat lembaga internasional.8

3. Pengertian Pacta Sunt Servanda

Suatu perikatan hukum yang dilahirkan dari suatu perjanjian mempunyai dua atribut, yaitu hak dan kewajiban hukum. Kewajiban hukum adalah mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu kepada pihak lain, sementara hak atau manfaat berupa tuntutan dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu9. Karena itu dalam setiap perjanjian, masing-masing pihak harus menepati janjinya untuk melaksanakan kewajibannya dan juga menghormati hak pihak lain.

B. Hal-hal Yang Berhubungan Dengan Perjanjian Internasional

Ada berbagai hal yang menyangkut perjanjian internasional dan instrumen-instrumen di dalamnya juga harus dipahami. Berikut ini adalah bagaimana cara mengikatkan diri terhadap perjanjian internasional, istilah dan klasifikasi perjanjian internasional.

1. Istilah Perjanjian Internasional

Praktek pembuatan perjanjian internasional dewasa ini telah melahirkan bentuk perjanjian internasional yang kadangkala berbeda-beda pemakaianya oleh negara-negara pengguna. Pemahaman negara satu bisa jadi akan berbeda dengan negara lain mengenai satu bentuk perjanjian internasional. Adapun

8

T. May Rudy. 2002. Hukum Internasional 2. Refika Aditama. Bandung. Hlm. 123.

9

Ir. Madjedi Hasan, MPE, M.H., 2005. Pacta Sunt Servanda, Penerapan Asas “Janji Itu

(13)

bentuk perjanjian internasional yang banyak dipergunakan oleh negara-negara di dunia adalah sebagai berikut10:

a. Traktat (treaties)

Bentuk treaties biasanya secara umum diartikan sebagai segala bentuk perjanjian internasional, namun secara khusus merujuk kepada perjanjian internasional yang sangat formal dan penting. Biasanya treaties digunakan untuk perjanjian-perjanjian yang bersifat multilateral. Namun ada pula yang menggunakannya dalam tingkatan bilateral. Sehingga penggunaan bentuk ini tidak memiliki keseragaman.

b. Konvensi (Convention)

Dalam pengertian umum, konvensi juga mencakup pengertian perjanjian internasional secara umum. Sehingga pengertiannya dapat disamakan dengan pengertian treaty. Traktat dan konvensi sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam urutan perjanjian internasional. Selanjutnya, konvensi sendiri digunakan dalam perjanjian internasional multilateral

yang melibatkan banyak pihak. Hal ini dikarenakan sifatnya yang “law

making” yaitu merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat

internasional.

c. Persetujuan (Agreement)

Bentuk persetujuan (Agreement) dalam perjanjian internasional juga memiliki pengertian umum dan khusus. Secara umum menyangkut seluruh perjanjian internasional yang ada, sementara secara khusus adalah perjanjian internasional yang memiliki kedudukan di bawah treaty dan

10

(14)

konvensi. Biasanya bentuk agreement digunakan bagi perjanjian-perjanjian bilateral yang mengatur prinsip-prinsip suatu kerjasama secara umum. Namun dapat pula digunakan secara terbatas pada perjanjian multilateral.

d. Piagam (Charter)

Istilah piagam atau charter juga bisa dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional. Organisasi internasional yang menggunakan istilah piagam atau charter untuk konstitusinya, misalnya Perserikatan bangsa-Bangsa yang piagamnya secara otentik disebut Charter Of The United Nations, demikian juga Organisasi Persatuan Afrika yang piagamnya bernama Charter Of The African Unity, dan Charter Of The American States, 1948.

e. Protokol (Protocol)

Protokol merupakan jenis perjanjian internasional yang kurang formal, jika dibandingkan dengan traktat (treaty) ataupun konvensi (convention). Selanjutnya Starke mengklasifikasikan penggunaan istilah protokol ini dalam beberapa golongan, yaitu :

(15)

disisipkan pada konvensi. Rativikasi yang dilakukan oleh suatu negara atas konvensinya, dengan sendirinya berarti pula merupakan ratifikasi atas protokolnya itu sendiri.

b) Protokol yang merupakan suatu instrumen pembantu pada suatu konvensi tetapi berkedudukan secara diri sendiri dan berlaku serta tunduk pada ratifikasi atas konvensi itu sendiri. Protokol semacam ini biasanya dibuat dalam waktu yang berbeda atau tidak bersamaan dengan perumusan naskah konvensinya itu sendiri, misalnya dibuat beberapa tahun kemudian setelah berlakunya konvensi yang bersangkutan.

c) Protokol sebagai suatu perjanjian yang sifat dan derajatnya sama dengan konvensi.

d) Protokol yang merupakan rekaman atas salimg pengertian antara para pihak mengenai masalah-masalah tertentu yang menurut Starke lebih

sering disebut dengan istilah “proces verbal”.

f. Deklarasi (Declaration)

Deklarasi juga merupakan suatu perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum dimana para pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut dimasa yang akan datang. Deklarasi memiliki isi yang singkat dan ringkas, serta menyampingkan ketentua-ketentuan yang bersifat formal seperti

(16)

g. Memorandum Kesepahaman (Memorandum of Understanding)

Memorandum of understanding atau lebih dikenal dengan MoU, merupakan salah satu bentuk perjanjian yang populer. Bentuk MoU ini merujuk kepada perjanjian-perjanjian yang kurang formal dan memiliki unsur teknik yang kental.

Namun pada perkembangannya lebih lanjut, MoU juga sering digunakan pada perjanjian-perjanjian internasional yang formal. Memorandum saling pengertian merupakan bentuk lain dari perjanjian internasional yang memiliki sifat khas. Intinya adalah terdapat perbedaan pandangan yang luas mengenai MoU adalah non-legally binding dan perlu dibedakan dengan treaties. Namun pandangan lainnya mengatakan bahwa setiap persetujuan yang dibuat antara negara (termasuk MoU) memiliki daya mengikat seperti teraties.

Dalam prakteknya, perjanjian yang dibuat melalui penandatanganan MoU lebih disukai karena dianggap sederhana (simple agreement) dan dapat dibuat sebagai persetujuan induk (umbrella agreement) atau sebagai pelaksanaan (implementing agreement) yaitu mengatur hal-hal yang bersifat teknis. Karena dianggap simple maka MoU umumnya tidak

diratifikasi. Yang perlu diperhatikan adalah penggunaan kata “Shall” dan

Will” pada MoU tersebut. Dalam hal suatu negara tidak ingin terikat,

(17)

Suatu MoU memiliki fleksibilitas yang tinggi. MoU dapat mengatur hal-hal yang sifatnya umum, namun juga dapat mengatur hal-hal-hal-hal yang bersifat teknis. MoU dapat memiliki legally binding dan dapat memiliki akibat non-legally binding tergantung pada seberapa besar para pihak dalam suatu perjanjian internasional memberikan kekuatan hukum pada MoU.

2. Klasifikasi Perjanjian Internasional.

Adapun klasifikasi Perjanjian Internasional dapat terdiri dari beberapa segi, yaitu:

a) Klasifikasi Perjanjian Dilihat Dari Subjek Yang Mengadakan

Perjanjian;

Klasifikasi atas subjek yang mengadakan perjanjian, dapat dibedakan atas: 1) Perjanjian antara negara dengan negara, merupakan jenis perjanjian

yang jumlahnya paling banyak. Hal ini dapat dimengerti, oleh karena negara merupakan subjek hukum internasional yang paling utama dan paling tua.

2) Perjanjian antara negara dengan subjek hukum internasional lainnya, misalnya dengan organisasi internasional, Tahta Suci atau dengan belligerent yang merupakan subjek hukum internasional dalam arti bebas.

(18)

b) Klasifikasi Atas Dasar Jumlah Para Pihak Yang Mengadakan

PerjanjianInternasional;

Klasifikasi atas dasar jumlah para pihak yang mengadakan perjanjian internasional, adalah:

1) Perjanjian bilateral, yakni perjanjian yang diadakan oleh dua belah pihak (negara saja). Pada umumnya perjanjian ini hanya mengatur soal-soal khusus yang menyangkut kedua pihak, seperti soal delimitasi (tapal batas) wilayah negara, dwikewarganegaraan dan lain-lainnya.

Perjanjian bilateral pada umumnya termasuk apa yang disebut “treaty

contracts”.

2) Perjanjian multilatral, ialah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak yang pada umumnya merupakan perjanjian terbuka,, di mana hal yang tidak diaturnya merupakan hal yang bersifat umum, yang tidak hanya menyangkut kepentingan para pihak yang mengadakan perjanjian, melainkan menyangkut juga kepentingan pihak lain yang bukan peserta perjanjian itu sendiri. Perjanjian multilateral inilah yang

umumnya dikategorikan sebagai “law making treaties”.

c) Klasifikasi Perjanjian Ditinjau Dari Sudut Bentuknya;

Klasifikasi perjanjian ditinjau dari sudut bentuknya, adalah:

1) Perjanjian antara kepala negara (Head Of State Form). Pihak peserta

dari perjanjian ini lazimnya disebut “Hight Contracting State”. Di

(19)

perjanjian itu dapat pula diwakilkan kepada Menteri Luar Negeri atau

Duta Besar sebagai pejabat “kuasa penuh” (full power).

2) Perjanjian antar pemerintah (inter government form) seperti halnya dalam perjanjian antar kepala negara, dalam perjanjian antar pemerintah ini pun dapat dan bahkan sudah sering ditunjuk Menteri Luar Negeri atau Duta Besar yang diakreditasikan pada negara di mana perjanjian itu diadakan.

3) Perjanjian antar negara (inter state form). Di dalam perjanjian corak/bentuk ketiga ini, pihak peserta perjanjian sesuai dengan namanya disebut negara dan sebagai pejabat yang berkuasa penuh mewakilinya adalah dapat pula ditunjuk Menteri Luar Negeri ataupun Duta Besar.

d) Klasifikasi Perjanjian Dilihat Dari Proses Pembentukannya;

a) Perjanjian internasional yang diadakan menurut tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatanganan dan ratifikasi. Biasanya perjanjian ini diadakan untuk hal yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power).

(20)

e) Klasifikasi Perjanjian Dilihat Dari Sifat Pelaksanaannya;

penggolongan perjanjian berdasarkan atas sifat dari pelaksanaannya ini dapat dibedakan atas dua macam:

a. Dispositive treaties (perjanjian yang menentukan) adalah perjanjian yang dimaksud dan tujuannya dianggap sudah tercapai pelaksanaan isi daripada perjanjian itu. Contoh: perjanjian tentang tapal-batas negara, penyerahan wilayah atau kedaulatan.

b. Executory treaties (perjanjian yang dilaksanakan) adalah perjanjian yang dilaksanakan tidak sekaligus, melainkan harus dilanjutkan terus-menerus, selama jangka waktu perjanjian berlaku. Contohnya perjanjian perdagangan.

f) Klasifikasi Perjanjian Dilihat Dari Sifatnya/Fungsinya;

penggolongan perjanjian berdasarkan atas fungsinya dalam pembentukan hukum (khususnya di bidang hukum internasional), dapat dibedakan menjadi dua jenis:

1. Law-making teraties (perjanjian membentuk hukum) adalah perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan, yang pada umumnya merupakan perjanjian multilateral. Contohnya: Konvensi Jenewa 1958, yang melahirkan ketentuan-ketentuan tentang hukum laut yang berkaitan dengan laut teritorial dan jalur tambahan, laut lepas, perikanan dan perlindungan kekayaan hayati laut lepas.

(21)

mengakibatkan hak-hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja. Pada hakekatnya treaty contract pun secara tidak langsung dapat membentuk kaedah-kaedah yang berlaku umum yaitu melalui hukum kebiasaan. Contohnya: perjanjian konsuler yang pada mulanya hanya menimbulkan kaedah-kaedah di bidang konsuler bagi kedua pihak yang mengadakan kontrak, lama kelamaan dengan semakin banyaknya diadakan perjanjian mengenai hal serupa, maka timbullah ketentuan-ketentuan hukum di bidang konsuler yang berlaku umum melalui proses hukum kebiasaan.

3. Prosedur dan Tahap-tahap Pembuatan Perjanjian Internasional

Cara pembuatan perjanjian internasional pada umumnya masih tergantung pada kebiasaan masing-masing negara dengan ketentuan-ketentuan konstitusinya masing-masing. Dengan demikian sampai saat ini belum terdapat keseragaman tentang tata-cara (prosedur) pembentukan perjanjian internasional dimaksud. Sebagai pegangan dari segi teoritis dan praktis, maka dipergunakan Konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian Internasional.11

Menurut Konvensi Wina 1969 yang dapat membuat perjanjian internasional hanya terbatas kepada negara (Pasal 1), tetapi tidak menutup kemungkinan subjek hukum internasional lainnya seperti organisasi internasional, Tahta Suci, Palang Merah Internasional dan belligerent untuk dapat membuat perjanjian internasional, namun dalam pembuatan perjanjian antara subjek hukum internasional bukan negara diatur secara tersendiri artinya bukan diatur oleh

11

(22)

konvensi Wina 1969. Contohnya Konvensi mengenai perjanjian internasional yang dibuat antara negara dan organisasi internasional telah diadopsi ke dalam Konvensi Wina tahun 1986. Walaupun konvensi ini belum berlaku, namun saat ini telah dianggap sebagai aplicable law oleh bangsa-bangsa di dunia.

Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki substansi yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional, pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politik dan hukum bagi para pihak tersebut. Sehingga, apapun bentuknya suatu perjanjian internasional akan berlaku dan mengikat dengan didasarkan pada seberapa besar para pihak dalam perjanjian memberikan kekuatan hukum pada

perjanjian tersebut. Dengan demikian asas “pacta sunt servanda” akan berlaku

pada setiap proses pembuatan perjanjian internasional.

Pembuatan perjanjian internasional yang umumnya berlaku dan diterima oleh berbagai negara di dunia adalah cara pembuatan perjanjian internasional berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969. Selanjutnya, dalam Konvensi Wina menurut pasal-pasalnya yang mengatur tentang prosedur pembuatan perjanjian internasional melalui tahap-tahap serta persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi menurut Mieke Komar12:

12

Mieke Komar, 1985. Di dalam bukunya “Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun

(23)

a. Harus dilakukan oleh wakil yang berkuasa penuh untuk dapat berunding, menerima dan mengesahkan suatu perjanjian atas nama Negara yang diwakilinya dan dalam hal apakah diperlukan adanya full powers.

b. Harus melalui tahap perundingan dan perlu ditentukan tentang cara penerimaan dan pengesahan naskah perjanjian.

c. Harus dinyatakan secara tegas tentang cara suatu negara dapat menyatakan persetujuannya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian, yakni dengan penandatanganan, pertukaran instrument ratifikasi, pernyataan ikut serta. d. Harus ditentukan perihal waktu antara penandatanganan dan mulai berlakunya

perjanjian.

Menurut hukum internasional, tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional melalui beberapa tahap, yaitu tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan penandatanganan. Adapun penjelasan tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut.

a. Tahap Penjajakan

Tahap penjajakan adalah tahap di mana para pihak yang ingin membuat perjanjian menjajaki kemungkinan-kemungkinan untuk dibuatnya perjanjian internasional. Penjajakan dapat dilakukan melalui inisiatif negara atau dari calon mitra (counterpart).

b. Tahap Perundingan

(24)

tahap penjajakan. Tahap ini pula dapat digunakan sebagai wahana untuk memperjelas pemahaman setiap pihak tentang ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam perjanjian internasional.

c. Tahap Perumusan Naskah

Rumusan naskah adalah merupakan hasil kesepakatan dalam perundingan oleh para pihak atas materi perjanjian internasional. Pada tahap ini dilakukan pemarafan terhadap naskah perjanjian internasional.

d. Tahap Penerimaan

Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil

perundingan dapat disebut “penerimaan” yang biasanya ditandai dengan

pemarafan pada naskah perjanjian internasional oleh masing-masing ketua delegasi. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional.

e. Tahap Penandatanganan

Tahap ini merupakan tahap terakhir dari sebuah perundingan untuk melegalisasi kesepakatan yang dituangkan dalam naskah perjanjian internasional. Namun penandatanganan tidak selalu merupakan pemberlakuan perjanjian internasional. Keterikatan akan tergantung pada klausula pemberlakuan yang disepakati oleh para pihak dan dituangkan dalam naskah perjanjian bersangkutan.

(25)

substansi merupakan persoalan para pihak penandatanganan. Hal ini perlu disadari bahwa suatu kesepakatan para pihak (consent to be bound) merupakan suatu hal penting saat merumuskan naskah perjanjian internasional. Lebih jelasnya, suatu perjanjian internasional yang berhasil dicapai setelah melalui perundingan-perundingan yang kadang-kadang sangat alot merupakan kompromi dari kepentingan-kepentingan para pihak.

4. Mulai Berlaku dan berakhirnya Perjanjian Internasional

Ada dua kategori untuk pelaksanaan suatu perjanjian internasional13, yaitu:

a) Perjanjian-perjanjian yang langsung dapat berlaku segera setelah penandatanganan, artinya terhadap perjanjian tersebut tidak perlu lagi proses pengesahan lebih lanjut. Pada kriteria ini adalah perjanjian yang prosedur pembuatannya disederhanakan yaitu cukup dengan perundingan dan penandatanganan.

b) Perjanjian-perjanjian yang memerlukan pengesahan terlebih dahulu sebelum diberlakukan di negaranya sesuai dengan prosedur konstitusional yang berlaku di Negara masing-masing. Prosedur ini adalah prosedur yang disebut prosedur normal.

Selain itu,secara umum suatu perjanjian bisa punah atau berakhir karena beberapa sebab yang tersebut di bawah ini14:

1. Karena telah tercapai tujuan perjanjian itu; 2. Karena habis waktu berlakunya perjanjian itu;

13

Op.Cit. Hlm. 71

14

(26)

3. Karena punahnya salah satu pihak peserta perjanjian atau punahnya objek perjanjian itu;

4. Karena adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian itu;

5. Karena diadakannya perjanjian antara para peserta yang kemudian meniadakan perjanjian terdahulu;

6. Karena dipenuhinya syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri; dan

7. Diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterimanya pengakhiran itu oleh pihak lain.

D. Daya Ikat Perjanjian Internasional

Menurut Budiono Kusumahamidjojo Kesepakatan untuk mengikatkan diri (concent to be bound) pada perjanjian merupakan tindak lanjut yang dilakukan oleh negara-negara setelah menyelesaikan suatu perundingan untuk membentuk suatu perjanjian internasional15. Hal ini diatur dalam Konvensi Wina 1969, yang melahirkan kewajiban-kewajiban tertentu bagi negara-negara perunding setelah menerima hasil rundingan (adotion), maupun naskah (seat) perjanjian dan menimbulkan kewajiban-kewajiban untuk tidak melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan esensi yaitu, maksud dan tujuan perjanjian yang telah disepakati. Mengenai perundingan antar negara yang menghasilkan kesepakatan yang disebut perjanjian internasional akan mengikat negara-negara yang membuatnya.

15

(27)

Supaya perjanjian itu mengikat sebagai hukum internasional positif, maka negara-negara itu perlu menyatakan persetujuannya untuk terikat secara tegas pada perjanjian. Jika negara tidak menyatakan persetujuannya untuk mengikat atau secara tegas menolak untuk terikat, maka perjanjian itu tidak akan pernah mengikatnya16. Persetujuan atau penolakan untuk terikat adalah manifestasi dari kedaulatan setiap negara.

Menurut Pasal 11 Konvensi Wina 1969, ditegaskan beberapa cara untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, yaitu dengan penandatanganan (signature), pertukaran instrumen yang membentuk perjanjian (exchange of instruments constituting a treaty), ratifikasi (ratification), akseptasi (acceptance), persetujuan atau aksesi (approval or accession), atau dengan cara lain yang disepakati (or by any other means if so agreed). Semua cara itu selanjutnya masing-masing diatur dengan lebih rinci dalam Pasal 12-17 Konvensi Wina 196917.

Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional mengandung dua aspek yaitu aspek eksternal dan aspek internal18. Aspek eksternalnya adalah hubungannya dengan negara yang bersangkutan terhadap perjanjian dalam hubungannya dengan negara lain yang juga sama-sama terikat pada suatu perjanjian itu. Suatu negara yang menyatakan persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, berarti negara itu menyatakan kesediannya untuk menaati dan menghormati perjanjian internasional tersebut. Negara itu terikat pada perjanjian internasional yang telah disetujuinya

16 I Wayan Parthiana. Op.cit. Hlm. 109. 17

Op.Cit., hlm. 109.

18

(28)

sama dengan negara lain maupun dalam hubungan antara mereka dengan yang lainnya. Perjanjian itu akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik secara bersama-sama maupun secara timbal balik antara negara-negara yang sama-sama maupun secara timbal balik antara negara-negara yang sama-sama telah menyatakan persetujuannya untuk terikat. Semuanya itu tunduk pada prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional pada umumnya dan hukum perjanjian internasional pada khususnya19. Dengan demikian, aspek eksternal ini relatif lebih pasti karena adanya satu bidang hukum yang mengaturnya yaitu hukum internasional dan di dalamnya termasuk hukum perjanjian internasional yang berlaku bagi semua negara di dunia.

Mengenai aspek internalnya, berkenaan dengan masalah di dalam negeri dari negara yang bersangkutan. Misalnya organ yang manakah dari pemerintah negara itu yang berwenang menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, bagaimana mekanismenya sampai dikeluarkannya persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, serta konsekuensinya terhadap hukum nasional dari keterikatan negara itu pada suatu perjanjian internasional. Pengaturan hal ini tentu saja akan berbeda antara negara yang satu dengan negara lainnya yang disebabkan karena setiap negara memiliki sistem hukum, politik, maupun konstitusi yang berbeda-beda. Hal ini dapat dipahami karena terikatnya suatu negara pada suatu perjanjian internasional, berarti pula mengikat terhadap warganegara dari negara itu sendiri20, jadi walaupun yang terikat secara hukum adalah negara, tetapi secara faktual

19

Op.Cit, hlm. 145

20

(29)

warganearalah dari negara yang berjanji itu sendirilah yang sebenarnya menikmati hak-hak dan dan memikul kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut.

E. Mengenai Suksesi Negara

1. Pengertian Suksesi Negara atauSuksesi Pada Umumnya

Mengenai istilah “suksesi negara” (State Succession) terutama bersangkut paut dengan pengalihan hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara-negara yang telah berubah atau kehilangan identitasnya kepada negara-negara atau kesatuan-kesatuan lain, perubahan atau kehilangan identitas demikian terjadi terutama apabila berlangsung perubahan baik secara keseluruhan atau sebagian kedaulatan atas bagian-bagian wilayahnya21. Menurut Pasal 2 Konvensi Wina Mengenai Suksesi Negara-negara Berkaitan dengan Traktat-traktat, tanggal 23 Agustus 1978, dan Pasal 2 Konvensi Wina Mengenai Suksesi Negara Berkaitan Dengan Harta Benda, Arsip-arsip dan Utang-utang Negara tanggal 7 April 1983.

“Suksesi Negara” didefinisikan artinya “penggantian kedudukan satu negara oleh

negara lainnya dalam hal tanggung jawab bagi hubungan-hubungan internasional

wilayah itu”22

. Definisi ini agak membingungkan, dan tidak mungkin dapat diterima sebagai suatu dalil absolut untuk mencakup semua hal di mana dengan berlakunya hukum, hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional boleh beralih kepada negara-negara penggantinya (Successor State), misalnya dalam kasus di mana kedaulatan negara penyewa wilayah tertentu dikembalikan kepada pihak negara yang menyewakan, sebagaimana yang akan terjadi pada tahun 1997 pada

21

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2. Cetakan Keempat, Juli 2003. penerbit Sinar Grafika. Jakarta. Dalam Bab 11 Mengenai Suksesi Terhadap Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban pada buku Hlm. 431.

22

(30)

Cina yang akan memperoleh kedaulatannya kembali atas wilayah-wilayah Hongkong, yang pada saat ini dilaksanakan oleh Inggris sebagai negara penyewa dari Cina. Persoalan-persoalan hukum internasional yang berkenaan dengan masalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut23:

(1) Sampai sejauh mana hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara yang digantikan (predecessor State) akan terhapus, atau—apabila hanya ada perubahan kedaulatan terhadap sebagian dari wilayah negara itu—sampai sejauh mana hak-hak dan keajiban-kewajiban tersebut masih tetap melekat pada negara itu?

(2) Sampai sejauh mana negara pengganti (Successor State), yaitu negara yang diserahi seluruh atau sebagian kedaulatan tersebut, berhak atas hak-hak atau tunduk pada kewajiban-kewajiban demikian?

Adapun istilah “suksesi negara” merupakan sebuah istilah yang kurang tepat,

karena istilah tersebut mengandaikan analogi-analogi dalam hukum perdata, di mana pada peristiwa kematian atau kepailitan dan lain-lain maka hak-hak dan kewajiban akan beralih dari orang yang mati itu atau orang yang tak mampu kepada individu-individu lain, dapat diterapkan terhadap negara-negara. Namun yang benar adalah tidak ada prinsip umum dalam hukum internasional yang menyangkut suksesi antara negara-negara, tidak ada subtitusi yuridis secara penuh dari suatu negara untuk menggantikan negara lama yang telah kehilangan atau berubah identitasnya24. Mengenai perubahan kedaulatan atas wilayah, melalui perolehan dan kehilangan kedaulatan yang terjadi secara bersamaan: kehilangan

23

Ibid.

24

(31)

bagi negara yang semula menikmati kedaulatan dan perolehan oleh negara-negara yang kepadanya diserahkan seluruh atau sebagian kedaulatan tersebut.

Tidak mudah menerapkan analogi-analogi yang berkaitan dengan pengalihan sesuatu suatu universitas juris menurut hukum domestik kepada hukum internasional. Sejauh menyangkut hak-hak dan kewajiban menurut hukum internasional, tidak ada masalah apapun mengenai suksesinya. Negara yang telah mengambil alih hak-hak dan kewajiban-kewajiban demikian tunduk pada hukum internasional, semata-mata karena sifatnya sebagai sebuah negara, bukan oleh alasan suatu doktrin suksesi apapun.

Adapun kaitan istilah kedua yaitu apa yang dinamakan “Suksesi Pemerintahan”

(succession of government), masalahnya berlainan. Perubahan kedaulatan adalah masalah intern semata-mata, apakah hal tersebut terjadi melalui proses konstitusional atau proses revolusi. Pemerintah yang baru memegang kendali dari pemerintahan, dan yang menjadi persoalan adalah sampai sejauh mana hak-hak dan kewajiban pemerintah lama terhapus, dan sejauh mana pemerintah baru berhak atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut.

Menurut terminologi yang lebih tepat, kedua istilah tersebut yaitu25:

a. Pengalihan hak-hak dan kewajiban-kewajiban karena perubahan kedaulatan atas wilayah oleh sebab-sebab ekstern.

b. Pengalihan hak-hak dan kewajiban-kewajiban karena perubahan kedaulatn oleh sebab-sebab intern, tanpa memperhatikan adanya perubahan teritorial.

25

(32)

2. Faktor-Faktor Yang Mendorong Terjadinya Suksesi Negara.

a. Faktor Eksternal

Menurut J.G. Starke26, situasi-situasi umum yang paling sering terjadi berkaitan dengan perubahan-perubahan kedaulatan atas wilayah oleh sebab-sebab ektern, adalah:

a) Sebagian wilayah negara A dimasukkan ke dalam negara B, atau terbagi di antara beberapa negara B, C, D dan negara lainnya.

b) Sebagian wilayah negara A dijadikan sebagai basis sebuah negara baru.

c) Seluruh wilayah negara A dimasukkan ke dalam negara B, yang mengakibatkan negara A lenyap.

d) Seluruh wilayah negara A dibagi di antara beberapa negara B, C, D dan negara lain, juga menyebabkan negara A lenyap.

e) Seluruh wilayah negara A menjadi basis beberapa negara baru, negara A dengan demikian juga menjadi lenyap.

f) Seluruh wilayah negara A menjadi bagian dari wilayah sebuah negara baru, yang juga mengakibatkan lenyapnya negara A.

Perubahan-perubahan atas wilayah tidak hanya dapat terjadi terhadap negara-negara melainkan juga perubahan dari negara-negara-negara-negara menjadi kesatuan-kesatuan non-negara, sebagai contoh, lembaga-lembaga internasional,27 atau dari negara penyewa kepada negara yang menyewakan seperti yang akan terjadi pada tahun 1997 ketika kedaulatan terhadap wilayah Hong Kong

26

Ibid.

27

(33)

dikembalikan dari Inggris kepada Cina; dan kesatuan-kesatuan non-negara, seperti wilayah perwalian dan protektorat-protektorat, wilayah-wilayah itu dapat memperoleh kedaulatan untuk mendapat status negara.

Tidak ada kriteria yang dapat mempermudah diberikannya suatu pedoman.28 Sebagaimana dikatakan oleh Prof. H. A. Smith29.

“....Rumitnya dan beragamnya persoalan yang timbul di dalam praktek sedemikian rupa sehingga menghambat analisis yang akurat dan lengkap dalam batas-batas yang sempit”.

Namun demikian, suatu aturan umum yang berlaku, dan satu yang diterapkan dalam hukum kasus, adalah melihat kepada naskah-naskah perundang-undangan, traktat-traktat, deklarasi-deklarasi dan persetujuan-persetujuan lainnya yang relevan yang menyertai perubahan kedaulatan, dan memastikan tentang apa tujuan negara atau negara-negara terkait mengenai kelanjutan atau pengalihan hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu.

b. Faktor Internal.

Prinsip yang dipakai di sini adalah apa yang dinamakan prinsip kontinuitas (continuity) yaitu, meskipun terjadi perubahan-perubahan intern dalam organisasi pemerintahan, atau dalam struktur konstitusional negara tertentu, namun negara itu sendiri tetap terikat pada hak-hak dan kewajiban-kewajibannya menurut hukum internasional, termasuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban traktat. Oleh karena itu setiap pemerintah pengganti

28

J. G. Starke, ibid.

29

(34)

(succesive government) secara hukum, bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pemerintah sebelumnya.

Prinsip ini telah memperoleh pemakaian luas pada tahun 1947 dalam pengertian memperoleh banyak dukungan bahwa, meskipun terjadi perubahan-perubahan besar dalam konstitusinya saat India muncul sebagai negara merdeka, negara tersebut tetap sebagai anggota asli (original member) Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan segala hak dan kewajiban yang sebelumnya. Opini tersebut berlaku dalam praktek, negara India baru secara otomastis diakui sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Prinsip kontinuitas tidak berlaku secara tidak wajar. Oleh karenanya, apabila ketentuan-ketentuan traktat yang mengikat negara, baik secara tegas maupun tersirat, didasarkan atas asumsi bentuk khusus pemerintahan atau suatu kelajutan konstitusi khusus, dan yang disebut terakhir itu berubah, maka traktat tersebut tidak lagi berlaku mengikat pemerintah yang baru. Di samping itu, mungkin terjadi perubahan revolusioner fundamental dengan munculnya pemerintah dengan politik, ekonomi dan sosial yang baru, sehingga tidak mungkin sebenarnya untuk mempertahankan pemerintah tersebut pada kewajiban-kewajiban tertentu yang memberatkan.

(35)
(36)

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan, adalah penelitian hukum normative, yaitu penelitian yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan prilaku setiap orang.1

B. Tipe Penelitian

Tipe Penelitian yang digunakan termasuk dalam tipe penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.2

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dan literatur-literatur hukum internasional, Konvensi Wina 1969 dan Perjanjian New York 1962 antara Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda mengenai Irian Barat.

1

Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung., Hlm. 52.

2

(37)

D. Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa:

a) Bahan hukum primer, yaitu berupa konvensi internasional yang mengatur tentang hukum Perjanjian Internasional seperti Vienna Convention 1969 Naskah Perjanjian New York 1962 yang dibuat dan ditandatangani di New York pada Tahun 1962.

b) Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan hukum yang menjelaskan dengan rinci dan jelas mengenai Perjanjian New York 1962, pendapat para sarjana serta buku-buku pendukung dari para ahli atau para sarjana.

c) Bahan hukum tersier yaitu berupa bahan hukum pelengkap untuk mempermudah dalam penelitian penulis memahami dan menganalisa data seperti kamus Bahasa Hukum, Kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris.

E. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan hanya melalui studi kepustakaan dengan proses membaca, menganalisa serta mengutip literatur-literatur atau dokumen-dokumen dan bahan perpustakaan lainya yang memiliki hubungan dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian yang dibuat penulis.

F. Pengolahan Data

Pengolahan data yang dilakukan dengan cara:

(38)

Perjanjian New York Tahun 1962 antara NKRI dengan Kerajaan Belanda terhadap kekuatan Hukum Internasional.

b) Klasifikasi data, yaitu penempatan dan pengelompokan data-data yang akan dimasukkan dalam penulisan ini harus melaui proses pemeriksaan serta penggolongan data sesuai dengan permasalahan.

c) Penyusunan data, yaitu data yang telah diperiksa dan terklarifikasi kemudian disusun secara sistematis sesuai dengan urutannya sehingga mempermudah pembahasan agar mudah dipahami.

G. Analisis Data

(39)

IV. PEMBAHASAN

A. Status Papua Setelah Indonesia Merdeka

Pada abad ke 16 M Portugis dan Spanyol datang ke Papua Barat, untuk mencari rempah-rempah yang kemudian disusul dengan praktik monopoli perdagangan, termasuk pemaksaan dan penjajahan di wilayah tersebut. Untuk mempertahankan diri maka terjadilah beberapa pertempuran antara kerajaan-kerajaan di wilayah Maluku-Papua dengan Portugis dan Spanyol, terkadang karena bersatunya kerajaan Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo, menyebabkan para penjajah Eropa tersebut mengalami kesulitan untuk menaklukan wilayah Tidore dan sekitarnya.

(40)

pada tanggal 1801 M, di masa Sultan Nuku inilah perjuangan melawan penjajahan asing di beberapa wilayah Pasifik lainnya juga mengalami masa kegemilangan.

Setelah melalui pelbagai fase yang mendorong kesadaran baru di lingkungan masyarakat terpelajar dan masyarakat politik kerajaan-kerajaan Nusantara (Hindia Belanda), maka secara seiring juga dijalankan sebuah kebijaksanaan yang dikenal dengan politik etis oleh pemerintahan kolonial Belanda, penerapan politik ini, yang sering juga dideskripsikan sebagai kebijakan balas jasa sebenarnya juga merupakan gejala internasional di semua negara kolonial barat yang berhubungan dengan suatu refleksi global atas sikap negeri-negeri induk terhadap wilayah jajahan mereka. Salah satu aspek yang penting yang pada akhirnya berdampak besar dalam proses perjumpaan antara Nusantara-Indonesia dan Belanda (Hindia-Belanda, Nederlands-Indie), ialah pendidikan. Memasuki abad ke-20, lahirlah generasi baru dari warga Hindia-Belanda, yaitu warga terdidik-tercerahkan seperti yang telah disinggungkan di atas. Mereka inilah yang berinteraksi dialogis untuk memikirkan kehidupan bersama mereka yang satu-bersatu dalam pengertian bangsa, natie,nation. Setelah melalui proses dialogis dalam waktu yang tidak singkat, yaitu tahun 1908-1928, maka melalui Kongres Pemuda, para pemimpin pemuda yang turut serta dalam kongres itu merumuskan kesepakatan mereka dan menyebut diri dengan nama baru: Indonesia.

(41)

uti possidetis juris, yang berarti bahwa negara-negara baru yang lahir dari proses dekolonisasi mempunyai batas-batas wilayah yang sama dengan batas-batas wilayah rezim kolonial sebelumnya1. Hal ini dibuktikan melalui perjanjian dengan Inggris Mengenai Batas darat Belanda dan Inggris, tahun 1895 di New Guinea/Papua barat dan Papua Nugini.

Status Papua Barat setelah pernyataan kemerdekaan adalah wilayah Papua Barat berintegrasi ke dalam wilayah Indonesia berdasarkan doktrin uti possidetis juris dan diperkuat lagi dengan perjanjian Antara Belanda dengan Inggris pada tahun 1895 mengenai Batas-batas wilayah jajahan.

B. Konflik Antara Indonesia Dengan Belanda Mengenai Papua Barat

Konflik Antara Indonesia dengan Belanda ini merupakan perebutan suatu wilayah kedaulatan. Papua sebagai wilayah jajahan Belanda yang telah diproklamasikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Secara hukum, Presiden Pertama RI telah membuat aneksasinya menjadi suatu cause celèbre selama 50 tahun terakhir2. Secara de jure pengakuan terhadap kemerdekaan suatu Negara dari Negara-negara lain merupakan status yang menentukan bagi sebuah Negara yang baru merdeka, namun secara de facto Papua merupakan jajahan Belanda yang berada dalam lingkup territorial yang menyebabkan pernyataan bahwa Indonesia dari Sabang sampai Marauke telah diakui pula oleh Negara-negara dan Organisasi Internasional, seperti PBB.

1

Dikutip dari makalah, Charles Scheiner. 28 Oktober 2006. Penentuan Nasib Sendiri Bukan Sekedar Merdeka Secara Politis, Perkembangan Baru di Timor-Leste. Diadaptasi oleh Timor-Leste Institute For Reconstruction Monitoring and Análisis dalam suatu presentasi dalam konfrensi tentang International Law And The Sahara Question Of Western Sahara di Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda,

2

(42)

PBB sebagai sebuah organisasi yang terbesar turut ambil peran di dalam konflik ini, yang kemudian menghasilkan sebuah Perjanjian antara Indonesia dengan Belanda mengenai Papua Barat pada tahun 1962, di New York dan menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa Papua diberikan hak untuk melakukan self determination sesuai dengan kesepakatan yang telah tertulis di dalam perjanjian tersebut3.

Perincian mengenai penjelasan tersebut, akan diuraikan dalam sub-judul berikut ini yang membahas mengenai Peranan PBB dalam konflik ini, kekuatan mengikat Perjanjian New York 1962, Pepera, pelaksanaan Pepera itu sendiri.

1. Peranan PBB Dalam Penyelesaian Konflik Papua Barat

PBB merupakan suatu organisasi internasional dengan atribut yang terbesar dan terluas serta paling lengkap dan juga amat kompleks. Bukti yang tegas yang menyatakan bahwa PBB adalah sebuah organisasi internasional yaitu dari kalimat terakhir pada Preambule Piagam PBB. PBB terdiri dari beberapa badan-badan yang mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing, salah satunya adalah UNTEA yaitu Badan Otoritas Eksekutif Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dibentuk oleh dan di bawah kewenangan Seketaris Jenderal pada tanggal 1 Oktober 19624.

3

Bab-bab dalam Perjanjian New York 1962 yang mengatur mengenai, Pemerintahan Indonesia Dan Penentuan Nasib Sendiri.

4

(43)

Kewenangan PBB adalah menciptakan perdamaian dan keamanan internasional melalui cara damai 5 . Hal inilah yang mendorong PBB menangani kasus Papua Barat melalui jalur diplomasi yang dilakukan oleh Sekjen PBB, Dewan Keamanan, dan Majelis Umum. Tindakan ini mencegah meluasnya suatu konflik Indonesia-Belanda yang tak kunjung menemukan jalan tengah terhadap wilayah Papua Barat. Tapi PBB hanya sebagai fasilitator dalam menyelesaikan konflik atau sengketa dengan cara damai, bukan sebagai penentu dalam suatu keputusan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal XVI Perjanjian New York 1962, hanya sebatas memberi nasihat, membantu, dan berpartisipasi dalam pengaturan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan penentuan nasib sendiri. Namun, kesepakatan antara kedua belah pihak yang berjanji telah disepakati, dan disahkan oleh Resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan atau Mejelis Umum6. Tujuan daripada Resolusi ini adalah untuk memecahkan masalah yang timbul dalam pergaulan negara-negara di dunia yang menyangkut kepentingan anggota-anggota PBB. Sebagai jalan tengahnya, maka PBB memberikan hak effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful

means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace;

6

(44)

PBB dalam menangani perseteruan ini, memiliki dasar hukum yang jelas. Resolusi dan Piagam PBB telah memiliki kekuatan hukum, ditambah lagi Indonesia adalah salah satu anggota tetap pada waktu itu.

a. Piagam PBB

Piagam PBB adalah salah satu dasar hukum yang menggerakkan PBB untuk mendamaikan konflik di dunia. Sebagai organisasi internasional terbesar di dunia, PBB mempunyai dasar filosofis dalam pembentukannya. Berdasarkan pembukaan Piagam PBB bahwa PBB bertekad untuk menyelamatkan generasi penerus dari kekejaman perang yang menimbulkan kesengsaraan yang luar biasa bagi manusia, menegakkan hak asasi manusia, membangun kondisi yang berdasarkan keadilan dan penghormatan terhadap tanggung jawab yang bersumber dari traktat atau sumber-sumber hukum internasional lainnya serta meningkatkan kehidupan social standar hidup yang lebih baik.

Piagam PBB adalah konstitusi PBB7, yang ditandatangani di San Francisco pada 26 Juni 1945 oleh kelima puluh anggota asli PBB. Piagam ini mulai berlaku pada 24 Oktober 1945 setelah diratifikasi oleh lima anggota pendirinya—Republik Cina, Perancis, Uni Soviet, Britania Raya, Amerika Serikat—dan mayoritas penanda tangan lainnya. Sebagai sebuah Piagam ia adalah sebuah perjanjian konstituen, dan seluruh penanda tangan terikat dengan isinya. Selain itu, Piagam tersebut juga secara eksplisit menyatakan bahwa Piagam PBB mempunyai kuasa melebihi seluruh

7

(45)

perjanjian lainnya. Piagam PBB tersebut diratifikasi oleh Amerika Serikat pada 8 Agustus 1945, yang membuatnya menjadi negara pertama yang bergabung dengan PBB. Indonesia baru tercatat sebagai anggota PBB sejak 28 September 19508. sejak itu Indonesia terikat secara hukum dengan PBB.

Tujuan PBB, sebagaimana termaktub di dalam Pasal 1 Piagam PBB adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, membangun persahabatan, mencapai kerja sama internasional dalam menyelesaikan masalah-masalah internasional dalam berbagai bidang, dan menjadi pusat harmonisasi tindakan-tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan umum. Tujuan-tujuan inilah yang akhirnya menjadi landasan bagi PBB untuk turut andil sebagai mediator bagi NKRI dan Kerajaan Belanda dalam merancang Perjanjian New York 1962 mengenai Papua Barat. Selain itu Pasal 73e Piagam PBB9, menyatakan bahwa Papua Barat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dengan dasar pasal tersebut. Pasal inilah yang menjadi landasan negara-negara lain untuk merdeka.

Pada tahun 2006, PBB membuat daftar beberapa wilayah, khususnya Sahara Barat, yang masih menunggu hak mereka untuk menentukan nasib

8

Daftar nama-nama negara di bawah ini adalah nama-nama negara yang terdaftar dalam organisasi PBB atau perserikatan bangsa-bangsa hingga bulan juni 2006 yang berjumlah 192 negara. Dikutip dari situs:

http://organisasi.org/daftar_nama_negara_dunia_anggota_pbb_perserikatan_bangsa_bangsa_belaja r_ilmu_pengetahuan_umum_dunia_global_internasional, diakses pada tanggal, 28 Juli 2009

(46)

sendiri. Sejumlah kawasan yang sebenarnya terjajah, yakni Papua Barat, Tibet, Kanaky (New Caledoneia), Kashmir, Tahiti-nui (French Polynesia), Puerto Rico, Guam, tetap berada dalam kekuasaan asing, tetapi Majelis umum PBB tidak meletakkan mereka ke dalam daftar yang tak berpemerintahan sendiri10. Pertanyaannya, mengapa Papua Barat tidak dimasukkkan ke dalam dafar tersebut. Pada dasarnya, Papua Barat telah berintegrasi ke dalam wilayah Indonesia melalui berbagai hal. Pertama, Papua Barat ádalah negara jajahan Belanda yang telah mengadakan perjanjian dengan Inggris Mengenai Batas darat Belanda dan Inggris, tahun 1895 di New Guinea/Papua dan Papua Nugini. Secara harafiah, status integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia merupakan dasar dari doktrin uti possidetis juris, yang berarti bahwa negara-negara baru yang lahir dari proses dekolonisasi mempunyai batas-batas wilayah yang sama dengan batas-batas wilayah rezim kolonial sebelumnya. Kemudian pada tahun 1969, melalui penentuan nasib sendiri Papua Barat setuju untuk masuk ke dalam Indonesia dan disetujui melalui Resolusi PBB 2504 (XXIV) tahun 1969. Kedua hal tersebut, doktrin dan Resolusi Majelis Umum PBB sudah cukup membuktikan bahwa Papua Barat telah masuk ke dalam wilayah Indonesia.

Piagam PBB, lebih khususnya pasal 73 poin (e) tersebut, berlaku bagi wilayah manapun yang ingin memerdekan diri. Tapi pasal itu saja tidak cukup, karena harus melihat sejarah-sejarahnya terlebih dahulu. Sebuah

10

(47)

kesepakatan tentu tidak dapat berubah begitu saja. Tapi perlu diingat semua bangsa berhak untuk menentukan nasibnya sendiri.

b. Resolusi Majelis Umum

Resolusi Majelis Umum, sebagaimana Pasal 10 piagam PBB telah

menjamin bahwa ―wewenang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa

melingkupi badan-badan yang dibentuknya untuk kemudian mengemukakan anjuran-anjuran kepada anggota-anggota PBB atau kepada Dewan Keamanan atau kepada ketua badan tersebut mengenai segala soal

dan hal yang berkaitan‖, sehingga kewenangan Majelis umum dalam

mengeluarkan keputusan dan laporan atas anjuran-anjuran yang telah dijalankan, menjadi suatu kekuatan hukum yang cukup kuat.

Diterimanya Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 (XXIV) tahun 1969 mengenai Papua Barat, merupakan persetujuan dari apa yang telah dijalankan oleh kedua negara (NKRI dan Kerajaan Belanda), bahwa Pepera telah dilaksanakan dengan hasil Papua Barat berintegrasi ke dalam wilayah Indonesia. Dengan demikian, status hukum Papua Barat di Indonesia diyakini sangat jelas dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak manapun.

(48)

kemudian PBB mendamaikan kedua belah pihak untuk bernegosiasi mengenai Papua Barat. Pada tahun 1962 dibuatlah Persetujuan New York 1962 yang menyepakati bahwa Papua Barat berhak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pada tahun 1969, hasil Pepera yaitu Papua Barat setuju untuk berintegrasi ke dalam wilayah NKRI.

2. Perjanjian New York 1962

Perjanjian New York 1962, terdapat banyak ketentuan yang telah disepakati oleh kedua pihak, baik mengenai teknis dalam self determination maupun penentuan kewajiban-kewajiban setelah self determination selesai dieksekusi, sebagaimana telah dibahas di dalam Bab Tinjauan Pustaka mengenai daya ikat, bahwa kesepakatan untuk mengikatkan diri (concent to be bound) pada perjanjian merupakan tindak lanjut yang dilakukan oleh negara-negara setelah menyelesaikan suatu perundingan untuk membentuk suatu perjanjian internasional.

Menurut analisis dan hasil pembacaan penulis terhadap Perjanjian New York 1962, perjanjian ini mengedepankan penentuan nasib sendiri, sehingga secara keseluruhan perjanjian ini memuat teknis-teknis atau persiapan penentuan nasib sendiri untuk Papua Barat. Mediator perjanjian ini sendiri, yaitu PBB yang akhirnya menyerahkan tugasnya kepada UNTEA. Sebagaimana tertulis dalam Pasal XI, Perjanjian New York 1969,

―Sejauh mereka konsisten terhadap isi dan semangat Pejanjian ini,

(49)

peraturan-peraturan baru atau melengkapinya di dalam semangat dan kerangka kerja Perjanjian ini. Dewan-dewan perwakilan akan dimintai pertimbangan sebelum dikeluarkannya undang-undang dan peraturan-peraturan baru atau perubahan terhadap undang-undang yang ada‖. Pasal ini juga secara tidak langsung menyatakan bahwa UNTEA akan meminta pendapat para dewan untuk mempertimbangkan keputusan yang telah diambil oleh UNTEA, baik itu mengenai perubahan atau pembuatan peraturan baru sekalipun.

UNTEA dalam keputusan-keputusannya akan melibatkan Papua Barat untuk mempertimbangkannya. Berarti pasal tersebut juga secara tegas mengedepankan wakil-wakil rakyat Papua Barat juga. Penulis berpikir bahwa, perencanaan penentuan nasib sendiri yang memakai sistem perwakilan juga atas dasar persetujuan wakil-wakil rakyat Papua Barat sendiri dan disetujui oleh UNTEA.

Pasal XI ini diperkuat lagi dalam bab Pemerintahan Indonesia dan Penentuan Nasib Sendiri (Pepera), Pasal XIV, yang menyatakan mengenai

penyerahan tanggung jawab bahwa, ―Setelah penyerahan tangung jawab

(50)

telah ada dan diberlakukan dalam semangat Perjanjian ini. Dewan-dewan

perwakilan akan dimintai pertimbangan sebagaimana perlu.‖

Setelah penyerahan yang dilakukan oleh UNTEA kepada Indonesia pada tahap kedua Perjanjian New York 1962, maka Pemerintah Indonesia dibebankan tanggung jawab atau tugas-tugas sebagaimana dalam Pasal XV

yang ditekankan yaitu, ―tugas utama Indonesia adalah meniliti lebih lanjut

mengenai pendidikan masyarakat untuk memerangi buta huruf, dan

mengenai pemajuan perkembangan sosial, budaya dan ekonomi‖. Secara

langsung ditegaskan dalam pasal tersebut, bahwa Indonesia ditugasi untuk menanggulangi permasalahan mendasar bagi Rakyat Papua Barat pada umumnya. Sebab tujuan sebuah Negara bukan hanya sekedar menambah daerah kekuasaan belaka, tetapi juga memberikan pembangunan yang juga bukan sekadar material seperti bangunan-bangunan, jalan pasar dan lain-lain, tetapi juga non-material juga harus terpenuhi seperti pendidikan, agama, pergaulan dan lain-lain.

(51)

bersama Indonesia dengan perolehan 1054 suara untuk integrasi dan Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB.

Sebuah perjanjian internasional tidak dapat diubah begitu saja apa lagi menggugat keabsahannya dengan argumen yang tidak kuat. Menurut Konvensi Wina 1969, pasal 42 ayat 111, keabsahan itu dibedakan atas dua macam, yakni, keabsahan atas perjanjian internasional itu sendiri, dan keabsahan atas persetujuan suatu negara untuk terikat pada perjanjian. Secara teoritis, keduanya dapat dibedakan sebagai berikut.

Pertama, yang dipersoalkan adalah keabsahan perjanjian internasional itu sendiri yang disebabkan karena hal-hal yang terletak di luar diri masing-masing negara atau sebagai hasil interaksi negara-negara atau sebagai hasil interaksi negara-negara ataupun wakil-wakil dari negara-negara yang melakukan perundingan yang mengakibatkan kerugian dari salah satu atau lebih negara pesertanya dan karena itu negara atau negara-negara yang bersangkutan dapat mempersoalkan keabsahan perjanjian itu.

Kedua, masalahnya terletak pada persetujuan suatu Negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional (consent to be bound by treaty). Tegasnya, persetujuannya untuk terikat dipandang tidak sah oleh Negara itu sendiri, yang sudah tentu berdasarkan atas alasan yang menurutnya cukup kuat.

11

(52)

Kedua alasan tersebut menunjukan bahwa kesalahan yang terjadi setelah perjanjian disepakati tidak bisa dipungkiri, akan memang selalu ada, dan kerap terjadi amandemen setelah pelaksanaannya. Perubahan dapat terjadi setelah adanya peninjauan kembali oleh pihak-pihak yang berwenang. Siapa yang berwenang dalam Perjanjian New York 1962 ini, sudah barang tentu adalah subjeknya, yaitu kedua pihak yang berjanji, Indonesia dan Belanda. Kemudian kita lihat lagi dari segi klasifikasinya yaitu dari bentuknya. Berarti, untuk mengubah atau mengamandemen isi dari perjanjian beserta kesepakatannya, haruslah meminta persetujuan dari anggota badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power) tesebut.

(53)

Organisasi pemberontak yang dapat diakui oleh hukum internasional adalah organisasi-organisasi pemberontak yang kegiatan-kegiatan kekuatan pemberontaknya telah mencapai suatu tingkat keberhasilan di mana mereka menduduki secara efektif dan membentuk otoritas de facto di sebagian besar wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh pemerintah induk.12 Sedangkan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemberontak di Papua Barat masih bersifat separatis dan belum menguasai sebagian kecil dari wilayah Papua Barat.

Menurut hukum humaniter, organisasi pemberontak yang diakui oleh hukum internasional harus memenuhi beberapa syarat13, yaitu:

1. Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; 2. Mempunyai tanda pengenal yang melekat, yang dapat dilihat dari

jauh;

3. Membawa senjata secara terbuka; dan

4. Melakukan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.

Tapi yang patut dianalisis adalah, segala dokumen hasil dari perjanjian tersebut telah disepakati bersama antara NKRI dan Kerajaan Belanda yang disaksikan oleh negara-negara anggota, tanpa ada penentangan atau ada pihak yang keberatan menerima hasil putusan Pepera dan dokumen tersebut telah diterima dan disahkan oleh PBB secara baik dan pihak-pihak

12

J.G. Starke. 1995. Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh 1. Penerjemah: Bambang Iriana Djajaatmadja, S.H. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 197.

13

Referensi

Dokumen terkait

Program Strata 1 Pada Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas

[r]

35 Magnet dan listrik Disajikan 3 magnet yang berdekatan kutubnya, siswa dapat menentukan salah satu kutub magnet dari ilustrasi soal.

Terdapat ramai pengarca diseluruh dunia menggunakan kimpalan besi arka dan gas serta teknik peleburan yang sofistikated dalam membentuk seni arca besi mereka berbanding

Pada menit ke 30:28 terjadi mulai efek anestesi yang ditandai dengan tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan tidak dapat tegak kembali dan selesai efek anestesi tidak dapat

Keberadaan BUMDes yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Mojokerto Nomor 18 Tahun 2006 Tentang Pembentukan dan Pengelolaan Badan Usaha

Buntalan, Klaten.Kegiatan PPL merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh mahasiswa sebagai wujud pengabdian mahasiswa kepada sekolah atau lembaga masyarakat sekaligus untuk

Setelah dilakukan aktivitas alih teknologi pada program IPTEKDA LIPI, UKM Rotterdam bakery sudah mampu memproduksi roti dengan jumlah hingga 4350 per hari dengan 6 hari