• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan praktikum farmakologi PROGRAM ST

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan praktikum farmakologi PROGRAM ST"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan praktikum farmakologi

Jilid 1

Dosen

Dra. Refdanita, Msi, Apt.

Annisa Farisa Muti, S.Farm.,M.Sc., Apt.

Di susun oleh : Siti Fakhriyyah Firza (14330132)

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya lah laporan praktikum farmakologi ini dapat terselesaikan.

Melalui laporan praktikum farmakologi ini kita dapat mengetahui tentang : cara-cara pemberian obat, variasi biologik, variasi kelamin, dosis obat dan respon, hipnotik-sedativ pada hewan percobaan mencit dan tikus.

Laporan praktikum farmakologi ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik hewan percobaan yang dipakai dan dapat menangani hewan percobaan dengan baik, mengetahui cara-cara-cara pemberian obat pada hewan percobaan, serta efek farmakologi pada hewan percobaan.

Saya sadar bahwa laporan ini belum mencapai kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat di perlukan guna perbaikan tugas-tugas berikutnya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat sekian dan terima kasih.

Jakarta, 2016

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

CARA-CARA PEMBERIAN OBAT

PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT

VARIASI KELAMIN

DOSIS OBAT DAN RESPON

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

I.I Judul Percobaan

Cara-Cara Pemberian Obat

I.2 Latar Belakang

Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan atau menimbulkan suatu kondisi tertentu misalnya membuat seorang infertile, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan.

Obat merupakan zat yang digunakan untuk mendiagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan. Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 193/Kab/B.VII/71, obat merupakan suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia.Mayoritas obat bekerja secara spesifik terhadap suatu penyakit. Namun tidak jarang juga obat yang bekerjanya secara menyeluruh.

Hewan yang digunakan diantaranya adalah mencit, tikus, kelinci, marmot. karakteristik utama mencit : hewan mencit di laboraturium mudah ditangani ia bersifat penakut, fotofobia, cenderung berkumpul sesamanya, mempunyai kecenderungan untuk bersembunyi dan lebih aktif dimalam hari dari pada siang hari. Kehadiran manusia akan menghambat aktivitas mencit. Suhu normal 37,4oC. Laju respirasi normal 163 kali tiap menit.

(5)

37,5-38,00C. Laju respirasi normal 210 tiap menit. Bila diperlakukan kasar (atau apabila ia

mengalami defisiensi nutrisi) tikus menjadi galak dan sering menyerang si pemegang.

Karakteristik utama kelinci : kelinci jarang sekali bersuara, hanya dalam keadaan nyeri luar biasa ia bersuara. Kelinci pada umumnya cenderung untuk berontak apabila merasa keamanannya terganggu. Suhu rektal kelinci sehat adalah antara 38,5-400C, pada umunyan

39,50C. Suhu rektal ini berubah apabila hewan tersebut tereksitasi, ataupun karena gangguan

lingkungan. Laju respirasi kelinci dewasa normal adalah 38-65 permenit, pada umumnya 50 (pada kelinci muda, laju ini dipercepat, dan pada kelinci bayi bisa mencapai 100 permenit).

Karakteristik utama marmot : marmot agak jinak tidak menimbulkan kesukaran pada waktu dipegang dan jarang menggigit. Marmot yang sehat selalu bersikap awas: kulitnya halus dan berkilat, tidak dikotori oleh feses maupun urin. Bila dipegang, bulunya tebal, kuat tapi tidak kasar, marmot berdaging tebal. Tidak ada caran keluar dari hidung ataupun telinga, juga tidak meneteskan air luar atau diare. Pernafasannya teratur dan tidak bersembunyi. Sikapnya dan cata berjalannya normal. Dalam satu species, variasi bobot badan dan ukuran badan antara sikap dan cara berjalannya normal. Dalam satu spesies, variasi bobot badan dan ukuran badan antara tiap marmot yang berumur sama, tidak besar. Laju denyut jantung marmot normal adalah 150-160 per menit, laju respirasi 110-115 per menit, dan suhu rektal antara 39-400C.

Macam- Macam Rute Pemberian Obat 1. Rute Oral (melalui mulut)

Obat- obat paling sering diberikan secara oral karena bentuk obat yang cocok dapat relative mudah diproduksi dengan disamping itu kebanyakan pasien lebih menyukai pemakaian ini, akan tetapi pemakaina obat secara oral dihindari untuk bahan obat yang sukar diabsorbsi melaui saluran cerna atau iritasi mukosa lambung. Cara pemakaian obat merupakam cara obat yang paling umum dilakukan karena mudah, aman dan murah. Kerugiannya ialah banyak factor yang mempengaruhui biovaibilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran cerna dan perlu kerja sama dengan penderita, tidak bisa dilakukan bila pasien koma.

(6)

Bagian kulit yang baik untuk cara pemberian ini adalah kulit disisi sebelah punggung atau tengkuk.Hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi jaringan.Absorpsi biasanya terjadi lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama.Obat dalam bentuk suspensi diserap lebih lambat daripada dalam bentuk larutan. Obat dalam bentuk padat yang ditanamkan di dalam kulit dapat diabsorpsi selama beberapa minggu atau beberapa bulan.

3. Rute Intravena (kedalam pembuluh darah balik atau vena)

Penyuntikan dilakukan pada vena ekor dengan menggunakan jarum suntik number 27.Tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Larutan tertentu yang iritatif hanya dapat diberikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah relative tidak sensitive dan bila disuntikan perlahan-lahan obat segera diencerkan oleh darah. Kerugiannya ialah efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah dan jaringan. Di samping itu obat yang disuntikkan IV tidak dapt ditarik kembali.

4. Rute Intraperitoneal (kedalam rongga perut)

Penyuntikan dilakukan pada bagian perut sebelah kanan.Penyuntikan ini tidak dilakukan pada manusia karena bahaya infeksi dan adisi terlalu besar.

5. Rute Intamuskular (IM)

Kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik, misalnya : digoksin, fenitoin dan diazepam, akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air diserap cukup cepat tergantung dari aliran darah di tempat suntikan.

I.3 Tujuan Percobaan

a. Mengenal cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat. b. Menyadari pengaruh rute pembrian obat terhadap efek yang timbul.

c. Dapat menyatakan beberapa konsekuensi praktis akibat rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan.

(7)

BAB II

(8)

Banyak obat, banyak juga cara pemberiannya kepada pasien. Sediaan per-oral sering kita temukan dalam perkembangan pemberian obat. Namun, banyak Cara Pemberian & Minum Obat ke pasien selain per-oral. Mengapa hal ini terjadi? Cara Pemberian Obat Ke Pasien didasarkan beberapa faktor, diantaranya : Faktor Formulasi. Faktor zat aktif serta stabilitasnya menjadi alasan bahwa obat dibuat dalam sediaan yang cocok untuk zat aktif tersebut.

Pemberian obat ikut juga dalam menentukan cepat lambatnya dan lengkap tidaknya resorpsi suatu obat. Tergantung dari efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di seluruh tubuh) atau

efek lokal (setempat) dan keadaan pasien serta sifat-sifat fisiko-kimiawi obat, dapat dipilih di antara berbagai cara untuk memberikan obat.

Untuk Memberikan Efek Sistemik (Obat disebar ke seluruh tubuh)

1. Oral :

Yaitu pemberiannya melalui mulut, mudah dan aman pemakaiannya, lazim dan praktis, tidak semua obat dapat diberikan per-oral, misalnya : Obat yang bersifat merangsang (emetin, aminofilin) atau yang diuraikan oleh getah lambung (benzilpenisilin, insulin dan oksitoksin), dapat terjadi inaktivasi oleh hati sebelum diedarkan ke tempat kerjanya, dapat juga untuk mencapai efek lokal misalnya : obat cacing, obat diagnostik untuk pemotretan lambung – usus, baik sekali untuk mengobati infeksi usus. Bentuk sediaan oral : Tablet, Kapsul, Obat hisap, Sirup dan Tetesan.

2. Injeksi

Yaitu pemberiannya dengan jalan suntikkan, efek yang diperoleh cepat, kuat dan lengkap, keberatannya lebih banyak dari pasien, alat suntik harus steril dan dapat merusak pembuluh darah atau syaraf jika tempat penyuntikkannya tidak tepat. Terutama untuk obat yang merangsang atau dirusak oleh getah lambung atau tidak tidak diresorpsi oleh dinding usus.

Cara Memberikan Obat Pada Hewan Percobaan :

A. Mencit

(9)

Cairan obat diberikan dengan menggunakan sonde oral, sonde oral ditempelkan pada langit – langit

mulut atas mencit kemudian masukkan perlahan-lahan sampai ke esophagus dan cairan obat dimasukkan.

 Subkutan :

Kulit di daerah tengkuk di angkat dan di bagian bawah kulit dimasukkan obat dengan menggunakan alat suntik 1 ml.

 Intra vena :

Mencit dimasukkan ke dalam kandang restriksi mencit dengan bagian ekor menjulur keluar. Bagian ekor dicelupkan ke dalam air hangat agar pembuluh venaekor mengalami dilatasi lalu pemberian obat ke dalam pembuluh vena menjadimudah. Pemberian obat dilakukan dengan jarum suntik no.24.

 Intra peritoneal :

Mencit dipegang dengan cara seperti pada 1.4.1, pada penyuntikkan posisikepala lebih rendah dari abdomen. Jarum disuntikkan dengan sudut sekitar 10 dariabdomen pada daerah yang sedikit menepi dari garis tengah, agar jarum suntik tidak terkena kandung kemih dan tidak terlalu tinggi supaya tidak terkena penyuntikkan pada hati.

 Intramuskular (im)

 Penyuntikan dilakukan dalam otot misalnya, penyuntikan antibiotika atau dimana tidak banyak terdapat pembuluh darah dan syaraf, misalnya otot pantat atau lengan atas.

B. Tikus

Pemberian secara oral, intra muscular dan intra peritoneal dilakukan dengancara sama pada mencit. Secara sub kutan dilakukan penyuntikkan di bawah kulittengkuk atau kulit abdomen dan pemberian secara intra vena dilakukan pada vena penis ketimbang vena ekor.

(10)

Variasi biologis berarti tidak ada dua akan memberikan atau lebih sediaan uji yang diharapkan akan memberikan hasil yang identic dan sediaan yang sama pada saat yang sama diharapkan menimbulkan reaksi yang berbeda.

Ada 4 hal dilihat dalam menentukan hewan coba : 1. Umur

Bayi atau hewan yang baru lahir memiliki respon yang berbeda dengan hewan yang telah dewasa. Disebabkan oleh pendewasaan organisme. Misalkan tikus, hamster, dan mencit. Hewan tersebut terlahir dengan sawar otak yang secara fungsional tidak matang dan kadar amino tak lebih rendah dari hewan dewasannya. Indikasi lain untuk membedakan hewan yang lebih muda dan lebih tua dengan memberikan reseprin pada bayi tikus dan terjadi penggosongan katekolamin otak, hal tersebut disebabkan oleh dosis resperin jauh lebih intensif pada hewan muda dibandingkan dengan hewan yang lebih tua.

2. Spesies

Pemilihan spesies akan sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan penelitian. Percobaan dilakukan ada yang menggunakan spesies yang relative kecil dan ada juga spesies yang karasteristik yang unit yang memberikan keuntungan bagi peneliti obat spesifik. Sebagai contoh monyet memiliki system respirasi dan thoraks yang sama dengan manusia. Setiap hewan berbeda –beda responnya, disebabkan oleh injeksi SC. Sebagai contoh respon obat pada kelinci dan tikus. Pada kelinci darahnya yang membuat relative resistensi terhadap blockade atropine sedangkan pada tikus terjadi reflex muntah.

3. Strain

Strain hewan yang memiliki aplikasi spesifik di dalam penelitian analog penyakit manusia, termaksuk mencit yang gemuk secara genetis yang kurang peka terhadap ambilan diafragmatik dan jaringan adipose terhadap glukosa radioaktif selama pembentukan glikogen. Aktivitas strain mencit secara konsisten lebih rendah dari pada mencit jantan dansetiap strain yang diwariskan. Strain tikus dapat diketahui dengan perbedaan konsentrasi sel darah putih yang beredar di dalam darahnya.

(11)

Penelitian untuk menentukan perbedaan aktivitas biologis antara hewan jantan dan betina. Betina memiliki siklus yang berhubungan dengan ovulasi misalnya siklus estrus begitu pula dengan sebaliknya. Sebagai contoh pada tikus dianastesi dengan disuntikkan oksitosin. Selama fase diestrus dan anestrus bersifat vasodilator. Namaun pada fase estrusoksitosin menyebabkan vasokontrikisi dan menyebabkan kenaikan tekanan darah. Pada tikus jantang diketahui memiliki aktivitas enzim yang lebih besar, seperti enzim aminopirin N-demitilasi dan disaat berumur 7 minggu mengalami ulkus lambung yang diinduksi oleh respire lebih nyata dibandingkan dengan tikus betina pada umur yang sama.

(12)

METODOLOGI PRAKTIKUM

Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum oral yang telah dipasang pada alat suntik berisi obat, diselipkan dekat langit-langit tikus dan diluncurkan masuk ke esophagus. Larutan diberikan dengan menekan spuit pendorong sambil badan spuit ditahan agar ujung jarum oral tidak melukai esophagus. Volume maksimum yang dapat diberikan adalah 5 ml/ 100 gram bobot badan ( bb ).

2. Rute subkutan ( SK ) Bahan dan Alat

Bahan :

Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml Hewan percobaan : Tikus putih

Alat :

Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 26, 3/4 – 1 inchi

Dosis0,25 ml

(13)

Penyuntikan biasanya dilakukan di bawah kulit tengkuk atau abdomen; seluruh jarum disuntikkan langsung ke bawah kulit dan larutan obat didesak keluar dari alat suntik.

3. Rute Intra Vena ( IV )

Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 27, 3/4 – 1 inchi

Dosis0,2 ml

Prosedur :

Tikus dimasukkan ke dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar sebelum disuntikkan. Sebaiknya pembuluh balik vena pada ekor dilatasi dengan penghangatan/ pengolesan memakai pelarut organic seperti aseton/ eter. Bila jarum suntik tidak masuk ke vena, terasa ada tahanan, jaringan ikat daerah sekitar penyuntikan terlihat memutih dan bila piston alat suntik ditarik, tidak ada darahyang mengalir masuk ke dalamnya. Dalam keadaan di mana harus dilakukan penyuntikan berulang, penyuntikan dimulai dari bagian distal ekor.

4. Rute Intra Peritoneal ( IP ) Bahan dan Alat

Bahan :

Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml Hewan percobaan : Tikus putih

Alat :

Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 27, 3/4 – 1 inchi

Dosis0,2 ml

(14)

Tikus dipegang tengkuknya sedemikian sehingga posisi badan abdomen lebih tinggi dari

Obat diberikan : Phenobarbital50mg/1ml Hewan percobaan : Tikus putih

Alat :

Alat suntik 1ml, jarum suntik No. 26, 1/2 inchi

Dosis0,25 ml

Prosedur :

Larutan obat disuntikkan ke dalam otot sekitar gluteus maximus atau ke dalam otot paha lain dari kaki belakang. Selalu perlu diperiksa apakah jarum tidak masuk ke dalam vena, dengan menarik kembali piston alat suntik.

Kateter dari logam atau slikon, alat suntik 1 ml

Dosis0,2 ml

(15)

Kateter dibasahi lebih dahulu dengan paraffin atau gliserin, setelah itu masukan kateter kedalam rectum tikus, sejauh kira-kira 4cm dan larutan obat di desak ke luar sehingga masuk ke rektrum

(16)

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan :

Tikus 1 – Oral

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

(17)

Tikus 4 – Intra Peritoneal

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

Perubahan

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

(18)

Perhitungan Dosis

Faktor Konversi manusia 70 kg ke tikus 200 mg adalah 0,018

1. Tikus 1 – Oral

Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg

BB tikus-1 = 109 g

Dosis konversi Tikus = 109g

200g x 100 mg x 0,018

= 0,981 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml Volume yang disuntikkan = 0,98150mgmg x 1 ml

Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg

BB tikus-2 = 105 g

Dosis konversi Tikus = 105g

200g x 100 mg x 0,018

= 0,945 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml

Volume yang disuntikkan = 0,94550mgmg x 1 ml

3. Tikus 3 – Intra Rektal

Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg

BB tikus-3 = 111 g

Dosis konversi Tikus = 111g

200g x 100 mg x 0,018

= 0,999 mg

(19)

Volume yang disuntikkan = 0,99950mgmg x 1 ml

4. Tikus 4 – Intra Muskular

Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg

BB tikus-4 = 140 g

Dosis konversi Tikus = 140g

200g x 100 mg x 0,018

= 1,26 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml Volume yang disuntikkan = 1,2650mgmg x 1 ml

5. Tikus 5 – Intra Peritoneal

Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg

BB tikus-5 = 123 g

Dosis konversi Tikus = 123g

200g x 100 mg x 0,018

= 1,107 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml Volume yang disuntikkan = 1,10750mgmg x 1 ml

Dosis Fenobarbital pada manusia : 100 mg

(20)

Dosis konversi Tikus = 130200gg x 100 mg x 0,018 = 1,17 mg

Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50 mg/ml Volume yang disuntikkan = 1,17mg

50mg x 1 ml

Pada cara pemberian obat secara Oral mulai mengamati pada jam 12:14, terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam12:16 dan selesai efek perubahan aktivitas pada jam12:30, durasi pada efek perubahan aktivitas selama 14 menit. Sedangkan terjadinya perubahan efek sedativ pada jam 12:30 dan selesai efek sedativ pada jam 12:50, durasi pada efek sedativ selama 20 menit dan tikus 1 yang diberikan obat secara Oral kembali aktif pada jam 12:50.

Pada cara pemberian obat secara Intravena mulai mengamati pada jam 12:24, terjadinya perubahan aktivitas pada jam 12:27 dan selesai efek perubahan aktivitas pada 12:30, durasi pada efek perubahan aktivitas selama 3 menit. Sedangkan terjadinya perubahan efek sedatif pada jam 12:30 dan selesai efek sedativ pada jam 12:43, durasi pada efek sedativ selama 13 menit. Pada tikus 2, obat yang diberikan secara Intravena kembali aktif pada jam 12:43.

(21)

Pada cara pemberian obat secara Intraperitoneal mulai mengamati pada jam 12:29. Terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:32 dan selesai efek perubahan aktivitas pada jam 12:39, durasi pada efek perubahan aktivitas selama 7 menit. Sedangkan terjadinya efek sedativ pada jam 12:39 dan selesai efek sedativ pada jam 13:02, durasi terjadinya efek sedativ selama 23 menit dan pada tikus ke-4 kembali aktif pada jam 13:02

Pada tikus ke-5 cara pemeberian obatnya yaitu secara Intramuskular, mulai mengamati pada jam 12:31. Terjadinya efek perubahan aktivitas pada jam 12:35 dan selesai efek perubahan aktivitas pada jam 12:44, durasi efek pada perubahan aktivitas selama 9 menit. Sedangkan terjadinya efek sedativ pada jam 12:44 dan selesai efek sedativ pada jam 12:48, durasi pada efek tersebut selama 4 menit. Pada tikus ke-5 aktif kembali pada jam 12:48.

Pada tikus ke-6 cara pemberian obatnya secara Subkutan, mulai mengamati pada jam 12:34. Terjadinya perubahan aktifitas pada jam 12:38, selesai efek pada jam 12:41 dan durasi pada efek perubahan aktivitas selama 3 menit. Sedangkan pada efek sedativ mulai terjadinya efek pada jam 12:41, selesai efek pada jam 12:57 dan durasi pada efek sedativ selama 16 menit. Pada tikus ke-6 terjadinya juga efek hipnotik, mulai terjadinya efek pada jam 12:52 dan selesai efek pada jam 12:57, durasi pada efek hipnotik selama 5 menit saja. Tikus ke-6 kembali aktif pada jam 12:57.

(22)

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut : 1. Data menunjukkan bahwa pemberian obat dengan cara IM memiliki efek sedatif lebih

(23)

2. Sedangkan pada efek hipnotik hanya terjadi pada tikus ke-6 yang diberikan obat Fenobarbital secara Subkutan.

3. Peningkatan dosis dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan dari pada dosis awal yang diberikan.

4. Berat badan dapat mempengaruhi onset dan durasi yang dihasilkan.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh., 2000, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, hal. Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Depkes RI, Jakarta, hal.

(24)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 judul percobaan

Pengaruh Variasi Biologi Terhadap Dosis Obat

1.2 latar belakang

(25)

jumlah obat yang diserap ditentukan oleh bioavailabilitas obat tersebut, dan bioavailabilitas ditentukan dengan mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.

Untuk kebanyakan obat, keragaman respons pasien terhadap obat terutama disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik; kecepatan biotransformasi suatu obat menunjukkan variasi yang terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakodinamik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respon pasien. Variasi dalam berbagai faktor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat dan toleransi. (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007)

Variasi-variasi metabolisme obat yang tergantung pada jenis kelamin telah dikenal baik pada hewan tikus tetapi tidak ditemukan pada binatang pengerat lainnya. Tikus-tikus jantan muda dewasa menunjukkan metabolisme obat yang jauh lebih cepat daripada tikus-tikus betina muda dewasa atau tikus jantan pubertas. Perbedaan ini disebabkan oleh hormon androgenik. Beberapa laporan klinik menyarankan bahwa perbedaan metabolisme yang sex dependent ini terjadi juga pada obat-obat seperti etanol, propanolol, benzodiazepin, estrogen, dan salisilat. wanita cenderung memiliki persentase dari lemak tubuh yang lebih tinggi dan memiliki persentase cairan tubuh yang lebih rendah dari pada pria pada berat badan yang sama. (Mary K. and Jim K., 2005)

1.3 Tujuan Praktikum

Untuk mengetahui pengaruh variasi biologis terhadap dosis obat yang diberikan kepada hewan percobaan.

1.4 Prinsip Percobaan

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kerja obat dalam tubuh dipengaruhi oleh banyak variabel. Perbedaan-perbedaan nya adalah perbedaan-perbedaan fisik di antara pasien, faktor-faktor psikologi, bentuk sediaan, rute pemberian obat dan efek samping serta reaksi yang berlawanan. Perbedaan Fisik Usia pasien memiliki pengaruh yang nyata terhadap kerja obat. Baik anak-anak dan orang tua memerlukan dosis yang lebih sedikit pada beberapa pengobatan.

(27)

untuk menghasilkan suatu efek tertentu, sedangkan bagi orang yang kurus, akan mendapatkan efek walaupun pada dosis yang sedikit.

Dosis obat untuk anak-anak biasanya dihitung menurut berat badan, luas permukaan tubuh dan umur. Jumlah makanan yang terdapat dalam lambung secara langsung mempengaruhi kerja obat. Obat yang terdapat dalam lambung yang kosong biasanya mencapai aliran darah lebih cepat daripada ketika lambung penuh.

Obat-obat yang mengiritasi lambung sering diminum setelah makan, obat-obat yang lain diberikan ketika lambung kosong. Adanya penyakit dapat mengubah kerja obat. Perubahan fungsi gastrointestinal, misalnya, dapat menghambat atau mempercepat penyerapan obat yang diberikan secara oral. Fungsi ginjal yang terganggu dapat menurunkan jumlah obat yang

diekskresikan. Jika dosis obat yang diberikan tinggi dapat menyebabkan akumulasi yang serius. Dalam kasus ini, obat-obat tersebut merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan gangguan ginjal. Faktor Psikologi Banyak kerja obat adalah hasil dari kepercayaan pasien tersebut. Jika seorang percaya bahwa obat akan bekerja, kesempatan akan ada. Efek ini didokumentasikan oleh penelitian ”efek palebo”. Sebaliknya, ketidakpercayaan pasien, sebuah tingkah laku umum yang depresi, dan perasaan putus asa biasa mengurangi aktivitas obat.

Orang-orang yang mengatur pengobatan seharusnya menyadari bahwa tingkah laku mereka terhadap obat dapat mempengaruhi pasien, secara tak langsung mempengaruhi kerja obat. Bentuk Sedian. Banyak terdapat bentuk sedian yang berbeda. Bentuk sedian dapat

mempengaruhi seberapa cepat suatu obat mulai bekerja, intensitas kerjanya dan lama kerja obat tersebut. Larutan adalah cairan yang berisi zat-zat yang terlarut. Pelarutnya dapat berupa air atau alkohol seperti eliksir, tinktur, dll. Obat dalam bentuk larutan dapat diserap dengan mudah dan cepat. Makin besar konsentrasi larutan makin cepan diabsorbsi.

(28)

di atas. Sebagai gantinya kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis rata-rata yang biasanya (lazim) memberikan efek yang diinginkan. Doses farmakope luar negeri sebetulnya berlaku untuk orang Barat dewasa berdasarkan bobot rata-rata 150 pound (68 kg). tubuh orang Indonesia umumnya lebih kecil dengan berat rata-rata 56 kg, sehingga seharusnya mendapatkan takaran yang lebih rendah pula.

(29)

- Kapas - Alcohol

Prosedur Kerja

- Siapkan hewan coba 3 ekor tikus jantan. - Timbang masing-masing hewan coba

- Hitung dosis dan volume pemberian untuk masing-masing hewan sesuai dengan berat badan

- Lakukan pemberian larutan fenobarbital pada 2 ekor hewan coba secara IP (intraperitonial)

- Sebagai pembanding berikan larutan NaCl fisiologis 0,9% secara IP pada 1 ekor hewan coba dengan dosis yang sama seperti fenobarbital

- Tempatkan hewan dalam wadah pengamatan. Amati efek selama 45 menit dimulai setelah pemberian obat. Efek yang diharapkan adalah hewan tertidur, tetapi masih memberikan respon bila dirangsang.

- Catat hasil pengamatan dan tabelkan sesuai dengan data berikut : a. Mati = sangat peka

b. Tidur, bila diberikan rangsangan nyeri tidak tegak = peka

c. Tidur, bila diberi rangsangan nyeri tegak = sesuai dengan efek yang diduga d. Tidak tidur, tetapi mengalami ataksia = resisten

e. Tidak mengalami perubahan = sangat resist.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perhitungan dosis

Tikus I

- Berat badan : 121g

- Dosis Fenobarbital pada manusia : 100mg - Faktor konversi dari 70kg manusia- 200g tikus : 0,018 - Dosis fenobarbital pada tikus

121g

200gx100mg x0,018=1,089mg

- Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50mg/ml - Volume fenobarbital yang diambil

1,089mg

50mg x1ml=

0,021ml

(30)

Tikus II

- Berat badan : 146g

- Dosis Fenobarbital pada manusia : 100mg - Faktor konversi dari 70kg manusia- 200g tikus : 0,018 - Dosis fenobarbital pada tikus

146g

200g x100mg x0,018=1,314mg

- Kadar Fenobarbital dalam sediaan : 50mg/ml - Volume fenobarbital yang diambil

(31)

Pada menit ke-45 tikus tidak menunjukkan efek apapun

4.3 Pembahasan

Dari hasil percobaan diperoleh data bahwa tikus I dan tikus II yang diberikan larutan fenobarbital tidak memberikan efek obat yang diharapkan pada menit yang ditetapkan, melainkan hanya memberikan efek resisten seperti tidak tidur tetapi mengalami ataksia. Pada menit ke 45 pada tikus I (berat badan 121 g), tikus mengalami ataksia ringan sedangkan pada tikus II berat badan (146 g), tikus mengalami ataksia sedang. Hal ini dapat dilihat pada saat tikus I diberikan rangsangan, respon yang di berikan tikus I sedikit lebih cepat dibanding tikus II. Namun, meskipun tikus II mengalami respon yang sedikit lebih lambat dari tikus I tidak menutup kemungkinan bahwa tikus II dapat mencapai efek yang diharapkan namun dalam waktu lebih dari 45 menit.

Hal ini kurang sesuai dengan teori yang menyatakan efek biologi tiap hewan berdasarkan berat badan.Ketidaksesuaian efek yang diharapkan dengan data yang diperoleh dapat disebabkan karena efek fisiologis tikus yang sudah mengalami stres sebelum obat diberikan, atau lokasi tempat pemberian obat (dalam percobaan ini intraperitonial) yang kurang sesuai.

(32)

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Variasi biologi mempengaruhi pemberian dosis obat, pada tikus I (berat badan 121 g), tikus mengalami ataksia ringan sedangkan pada tikus II berat badan (146 g), tikus mengalami ataksia sedang.

Hal ini dapat dilihat pada saat tikus I diberikan rangsangan, respon yang di berikan tikus I sedikit lebih cepat dibanding tikus II. Namun, meskipun tikus II mengalami respon yang sedikit lebih lambat dari tikus I tidak menutup kemungkinan bahwa tikus II dapat mencapai efek yang diharapkan namun dalam waktu lebih dari 45 menit.

Ketidaksesuaian efek yang diharapkan dengan data yang diperoleh dapat disebabkan karena efek fisiologis tikus yang sudah mengalami stres sebelum obat diberikan, atau lokasi tempat pemberian obat (dalam percobaan ini intraperitonial) yang kurang sesuai.

(33)

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK-UI. (2007). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 5.Gaya Baru; Jakarta, Hal 886, 894-895

Gan, S. (1980). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 2, Penerbit buku Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Halaman 120-122

Hitner, H., and Nagle, B. (1999). ”Basic Pharmacology”. Fourth Edition. Mc Graw Hill ; USA. Pages 231 – 232.

Katzung, B.G. (2002). “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Edisi VIII. Penerbit Buku Salemba Medika ; Jakarta. Halaman 44-46.

Mary, K., and Keogh, J. (2005). ”Pharmacology Demistified”. Mc Graw Hill ; New Jersey. Pages 42-44

(34)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Judul

Variasi kelamin

1.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang diberikan kepada hewan percobaan

2. Mampu membedakan terjadinya efek antara hewan coba yang berkelamin berbeda antara hewan jantan dan betina sebagai dasar pertimbangan percobaan dengan memakai hewan coba

1.3 Teori.

Cara pemberian obat sangat penting artinya karena setiap obat berbeda penyerapannya oleh tubuh dan sangat bergantung pada lokasi pemberian. Rute pemberian obat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, terutama laju penyerapan obat. Hal ini disebabkan karena perbedaan karakteristik lingkungan fisiologis, anatomi dan biokimiawi pada daerah kontak permulaan obat dan tubuh. Perbedaan karakteristik ini mengakibatkan perbedaan jumlah obat yang dapat mencapai tempat kerja pada rentang waktu tertentu sehingga mengakibatkan perbedaan onset (mula kerja obat) dan durasi (lama kerja obat).

(35)

BAB II

METODOLOGI PRAKTIKUM

2.1 Alat dan bahan  Alat

1. Timbangan hewan 2. Alat suntik

3. Wadah tempat pengamatan

 Bahan

1. Mencit jantan dan betina 2. Larutan NaCl

3. Fenobarbital 4. Alkohol

2.2 Cara kerja

1. Siapkan mencit betina dan jantan masing – masing 3 ekor. 2. Timbang masing – masing mencit, catat hasilnya

3. Hitung dosis masing – masing mencit sesuai berat badan masing – masing.

4. Suntikan fenobarbital secara IP, sesuai dosis masing – masing yang telah dihitung. 5. Catat waktu mulai efek perubahan aktifitas yang terjadi pada mencit, sedatif,

(36)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Biologis

Hewan coba Berat badan (gram)

Mencit betina 1 28

- Dosis Fenobarbital pada manusia 100 mg

- Factor konversi manusia (70kg)  mencit (200 gram) = 0,0026

- Sediaan obat dilakukan pengenceran 10x, dari kadar fenobarbital 50mg/ml diambil 2ml + NaCl 20 ml sehingga menjadi = 5mg/ml

(37)

44g

Efek Mulai efek Selesai efek Durasi

Perubahan aktivitas 02:57 13:23 11 menit 34 detik

Sedatif 13:23 18:43 5 menit 20 detik

Hipnotik 18:43 20:15 1 menit 32 detik

Anatesi

-2. Mencit betina 2

Efek Mulai efek Selesai efek Durasi

Perubahan aktivitas 03:45 10:13 6 menit 28 detik

Sedatif 10:13 15:05 4 menit 52 detik

Hipnotik 15:05 20:04 4 menit 59 detik

Anatesi -

-3. Mencit betina 3

Efek Mulai efek Selesai efek Durasi

Perubahan aktivitas 04:02 05:26 1 menit 24 detik

Sedatif 05:26 13:27 8 menit 1 detik

Hipnotik 13:27 20:00 6 menit 33 detik

Anatesi -

-4. Mencit jantan 1

Efek Mulai efek Selesai efek Durasi

Perubahan aktivitas 03:15 06:08 2 menit 53 detik

Sedatif 06:08 11:08 5 menit

Hipnotik 11:08 16:11 5 menit 3 detik

Anatesi -

-5. Mencit jantan 2

(38)

Perubahan aktivitas 07:40 10:11 2 menit 31 detik

Sedatif 10:11 22:30 12 menit 19 detik

Hipnotik 22:30 23.30 1 menit

Anatesi -

-6. Mencit jantan 3

Efek Mulai efek Selesai efek Durasi

Perubahan aktivitas 04:00 07:48 3 menit 48 detik

Sedatif 07:48 13:23 5 menit 35 detik

Hipnotik 13:23 14:40 1 menit 17 detik

Anatesi 14:40 22:37 7 menit 57 detik

3.4 Pembahasan

Pemberian obat secara Intra Peritonial yaitu pemberian cairan obat disuntikkan di rongga perut dibawah diagfragma. Mencit dipegang dengan cara membalikkan badannya. Bersihkan area kulit yang akan disuntik dengan alcohol 70%. Masukkan obat dengan menggunakan alat suntik 1 ml.

Pada mencit betina 1, awalnya aktivitasnya normal, setelah disuntik pada menit ke 2 : 57 mencit mengalami perubahan aktifitas. Untuk mengalami sedative, membutuhkan waktu yang lama yaitu pada menit ke 13 : 23 mencit mulai tenang. Pada menit ke 18 : 43 mencit mengalami keadaan hipnotik yang membuat mencit tidur. Setelah itu mencit terbangun kembali dan tidak mengalami anastesi.

Pada awalnya betina, awalnya aktivitasnya normal, setelah disuntik pada menit ke 9:56 mencit mengalami perubahan aktifitas. Untuk mengalami sedative dalam waktu yang lama yaitu pada menit ke 17:17 mencit mulai tenang. Setelah itu mencit sadar dan dalam keadaan normal kembali sampai 17 : 20 dan kemudian, mencit pun masuk kedalam fase hipnotik hingga menit ke 37 : 25 yang membuat mencit tidur. Setelah itu mencit terbangun kembali dan tidak mengalami anastesi.

(39)

mencit mulai mengalami efek sedativ pada menit ke 10:13, setelah diamati kembali mencit mulai memasuki fase hipnotik pada menit ke 15:05, hingga pada menit ke 20:04 mencit kembali normal, tanpa mengalami anastesi.

Pada mencit betina ke 3 diamati dalam keadaan normal (sebelum disuntik), lalu diamati setelah disuntik, mencit mengalami perubahan aktivitas pada menit ke 04:02, kemudian mencit menjadi lebih tenang atau mulai mengalami efek sedativ pada menit ke 05:26, setelah diamati kembali mencit mulai memasuki fase hipnotik pada menit ke 13:27, hingga pada menit ke 20:00 mencit kembali bergerak normal, tanpa mengalami anastesi.

Mencit jantan 1 diamati dalam keadaan normal (sebelum disuntik), lalu diamati setelah disuntik, telihat mencit ,mulai mengalami perubahan aktivitas pada menit ke 03:15, kemudian mencit menjadi lebih tenang atau mulai mengalami efek sedativ pada menit ke 06:08, setelah diamati kembali mencit mulai memasuki fase hipnotik pada menit ke 11:08, hingga pada menit ke 16:11 mencit kembali bergerak normal, tanpa mengalami anastesi.

Pada mencit jantan III, aktifitas awal normal,setelah disuntikkan pada menit ke 4 : 00 terjadi perubahan aktifitas dimana mencit mulai memojok. Pada menit ke 7 : 48 mencit mulai mengalami sedative yang menenangkan mencit. Mencit mengalami sedative cukup lama, kemudian pada menit ke 13 : 23 mencit mengalami hipnotik yang meningkatkan keinginan untuk tidur. Pada menit ke 14 : 40 mencit mengalami anastesi sampai ke 22 : 37, setelah itu mencit terbangun dan melakukan aktifitas seperti biasa.

(40)

BAB IV PENUTUP

Kesimpulan

Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut : 1. Adanya perbedaan jenis kelamin hewan mempengaruhi pennyerapan obat dan

metabolismenya

(41)

3. Jenis kelamin akan mempengaruhi respon obat yang diberikan, dimana jantan lebih cepat memberika respon dari pada betina karena pengaruh hormone androgen.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Tim Dosen Praktikum Farmakologi,Penuntun Praktikum Farmakologi,Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Isntitut Sains Dan Teknologi Nasional,2013.

Gan, S. (1980). ” Farmakologi Dan Terapi ”. Edisi 2, Penerbit buku Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Halaman 120-122

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Farmakope Indonesia,ed.IV,1995

(42)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 judul percobaan

Dosis Obat dan Respon

1.2 Latar belakang

(43)

pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur.

Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi median atau dosis efektif median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50 %.

Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut :

Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50

Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya di bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar.

Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini terlalu besar sehingga menimbulkan efek toksis atau terlalu kecil sehingga tidak efektif.

Tanpa adanya kesalahan medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pada pemberian per oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh biavailabilitas obat ditentukan dengan mutu obat tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.

Untuk kebanyakan obat, keragaman respon pasien terhadap obat terutama disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik, kecepatan biotransformasi suatu obat menunjukkan variasai yang terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakokinetik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respon pasien. Faktor-faktor yang mempengaruhi respons pasien terhadap obat.

(44)

1. Bagaimana efek kerja obat phenobarbital setelah disuntikkan pada mencit dalam berbagai dosis yang berbeda?

2. Bagaimana perhitungan konversi dosis mencit ke dalam dosis manusia?

3. Bagaimana hubungan dosis obat yang diberikan dengan respon yang dihasilkan?

I.4 Tujuan praktikum

1. Untuk mengetahui efek kerja obat phenobarbital setelah disuntikkan pada mencit dalam berbagai dosis yang berbeda.

2. Untuk mengetahui perhitungan konversi dosis mencit ke dalam dosis manusia. 3. Untuk mengetahui dosis obat yang diberikan dengan respon yang dihasilkan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

(45)

Dosis lazim suatu obat dapat ditentukan sebagai jumlah yang dapat diharapkan menimbulkan efek pada pengobatan orang dewasa yang sesuai dengan gejalanya. Dosis tunggal diberikan untuk beberapa macam obat dan dosis harian untuk yang lainnya, tergantung pada bahan obat, bentuk sediaan dan keadaan yang diberi obat. Jika suatu obat dipakai dalam jangka waktu yang lama seperti aspirin untuk artritis, maka dosis obat harian lebih tepat. Dosis bahan obat dapat berbeda-beda, tergantung pada cara pemakaiannya. Hal ini sebagian besar karena perbedaan tingkat penyerapan obat dan kelanjutan kerja obat melalui berbagai cara setelah pemakaiannya. Selama aktivitas biologik, produk-produk yang berlainan seperti penisilin, poliomielitis vaksin, dan insulin berbeda-beda, maka setiap unit dari aktivitasnya, tersendiri bagi setiap obat dan tidak ada hubungan antara satu obat dan yang lainnya.

BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

Alat dan Bahan:

 Spuit (1 ml & 3 ml)

 Phenobarbital

 Alkohol

(46)

 Timbangan hewan

 Kapas

 NaCl

 Stopwatch

Prosedur

1. Siapkan hewan coba berupa mencit jantan sebanyak 5 ekor.

2. Siapkan alat & bahan.

3. Timbang berat badan masing-masing mencit dan beri penandaan tiap ekor mencit.

4. Hitung dosis phenobarbital dan volume pemberian untuk masing-masing mencit sesuai dengan berat badan mencit.

5. Lakukan pengenceran phenobarbital 2 ml + NaCl ad 20 ml.

6. Suntikan larutan phenobarbital secara Intravena pada masing-masing mencit.

7. Catat waktu pemberian dan mulai terjadinya efek obat.

8. Tempatkan hewan pada wadah pengamatan. Amati efek selama 30 menit. Efek yang diharapkan adalah hewan dapat tertidur, tetapi masih memberikan respon bila dirangsang.

9. Catat hasil pengamatan dan tabelkan sesuai dengan data berikut :

a. Perubahan aktivitas

b. Sedatif : tidak tidur tetapi mengalami ataksia (resisten)

c. Hipnotik : tertidur, tetapi bila diberi rangsangan nyeri tegak (sesuai dengan efek yang

diharapkan)

d. Anestesi : tertidur, dan bila diberi rangsangan tidak tegak (peka)

(47)
(48)

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Pengamatan

 Mencit ke 1

No .

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

1 Perubahan Aktivitas 04:33 09:56 05:23

2 Sedatif 09:56 36:57 27:01

3 Hipnotik 36:57 -

-4 Anastesi - -

-5 Mati (Dosis Letal) - -

- Mencit ke 2

No. Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

1 Perubahan Aktivitas 08:02 25:33 17:31

2. Sedatif 25:33 55:00 30:07

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

1. Perubahan Aktivitas 03:57 08:14 04:57

2. Sedatif 08:14 10:49 02:35

3. Hipnotik 10:49 38:26 28:17

4. Anastesi 38:26 -

-5. Mati (Dosis Letal) - -

(49)

No .

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

1. Perubahan Aktivitas 08:26 12:46 04:20

2. Sedatif 12:46 29:22 17:16

Efek Mulai Efek Selesai Efek Durasi

1. Perubahan Aktivitas 01:40 05:46 04:06

2. Sedatif 05:46 24:07 19:01

3. Hipnotik 24:07 32:40 08:33

4. Anastesi 32:40 -

-5. Mati (Dosis Letal) - -

-4.2 Perhitungan

Dik : Dosis phenobarbital pada manusia = 100mg

BB mencit-1 = 41g

BB mencit-2 = 39g

BB mencit-3 = 35g

BB mencit-4 = 41g

BB mencit-5 = 39g

Dit : Dosis masing – masing mencit ? volume yang diberikan?

(50)

Faktor konversi manusia (70kg) → Mencit (20g) = 0,0026 a. BB mencit-1 = 41g

Dosis phenobarbital mencit-1 = 41g

20g x 0,0026 x 100 mg

= 0,533 mg

 Tiap ml sediaan mengandung phenobarbital 50 mg Kadar phenobarbital dalam sediaan = 50 mg /ml Volume sediaan yang diambil = 0,533mg

50mg x 1 ml

= 0,01 ml

 Kadar phenobarbital dalam sediaan harus diencerkan 10x 1 ml sediaan + NaCl ad 10 ml atau

2 ml sediaan + NaCl ad 20 ml

Sehingga, kadar phenobarbital menjadi 5 mg/ml

Jadi, volume sediaan yang diambil = 0,533mg

5mg x 1 ml

= 0,1 ml

b. Mencit-2 = 39 g

Dosis phenobarbital mencit-2 = 39g

20g x 0,0026 x (2 x 100 mg)

= 1,014 mg

Volume sediaan yang diambil = 1,0145mgmg x 1 ml

= 0,2 ml c. Mencit-3 = 35 g

Dosis phenobarbital mencit-3 = 35g

(51)

Volume sediaan yang diambil = 4,2645mgmg x 1 ml

(52)

Pada mencit ke-2 dengan berat badan 39 g dengan dosis yang diberikan sebanyak 1,014 mg, kemudian volume phenobarbital yang diambil sebanyak 0,2 ml. Suntikan secara intravena pada bagian ekor mencit yang berwarna keungu-an. Setelah disuntik, amati perubahan efek yang terjadi. Pada menit ke 08:02 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang ditandai dengan perubahan mencit yang sudah tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan aktivitas pada menit ke 25:33. Durasi efek perubahan aktifitas berlangsung selama 17:31. Selanjutnya, pada menit ke 25:33 berlanjut ke efek sedatif yang ditandai dengan efek ataksia atau mengantuk namun tidak tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke 55:00. Durasi efek sedatif berlangsung selama 30:07 menit. Kemudian, pada menit ke 55:00 terjadi mulai efek hipnotik yang ditandai tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali dan selesai efek hipnotik tidak dapat diperkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum. Pada mencit-2, efek yang terjadi diperkirakan hanya sampai efek hipnotik. Hal ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan sebesar 1,014 mg sehingga tidak menimbulkan efek anestesi bahkan letal (mati). Pada mencit-2, mulai efek perubahan aktifitas lebih lama dari 1. Hal ini disebabkan karena pada mencit-1 terjadi kesalahan penyuntikan saat praktikum, sehingga tidak semua larutan obat masuk ke pembuluh vena melainkan sebagian obat masuk ke dalam muskular (otot).

(53)

Percobaan pada mencit ke-4 dengan berat badan 41 g dengan dosis yang diberikan sebanyak 4,264 mg dan volume yang diambil sebanyak 0,8 ml. Kemudian larutan disuntikan secara Intravena pada bagian ekor mencit yang berwarna keungu-an. Setelah disuntikkan, amati perubahan efek yang terjadi. Pada menit ke 08:26 terjadi mulai efek perubahan aktivitas yang ditandai dengan perubahan mencit yang sudah tidak terlalu aktif dan selesai efek perubahan aktivitas pada menit ke 12:46. Durasi efek perubahan aktifitas berlangsung selama 04:20 menit. Pada menit ke 12:46 berlanjut ke efek sedatif yang ditandai dengan efek ataksia atau mengantuk namun tidak tidur dan selesai efek sedatif pada menit ke 29:22. Durasi efek sedatif berlangsung selama 17:16 menit. Pada menit ke 29:22 terjadi mulai efek hipnotik yang ditandai tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan dapat tegak kembali dan selesai efek hipnotik pada menit ke 30:28. Durasi efek hipnotik berlangsung selama 01:05 menit. Pada menit ke 30:28 terjadi mulai efek anestesi yang ditandai dengan tidurnya mencit, namun jika diberi rangsangan tidak dapat tegak kembali dan selesai efek anestesi tidak dapat di perkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum, sehingga dosis yang diberikan pada mencit ke-4 tidak diketahui dapat menyebabkan letal (mati) atau tidak.

(54)

perkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum, sehingga dosis yang diberikan pada mencit ke-5 tidak diketahui dapat menyebabkan letal (mati) atau tidak.

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

(55)

Pada mencit-2, mulai efek perubahan aktifitas lebih lama dari mencit-1. Hal ini disebabkan karena pada mencit-1 terjadi kesalahan penyuntikan saat praktikum, sehingga tidak semua larutan obat masuk ke pembuluh vena melainkan sebagian obat masuk ke dalam muskular (otot).

dosis yang diberikan pada mencit ke-3,4,5 tidak diketahui dapat menyebabkan letal (mati) atau tidak, efek anestesi tidak dapat di perkirakan karena keterbatasan waktu dalam praktikum.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi keempat. Jakarta: Universitas

(56)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 judul percobaan

hipnotik-sedativ

(57)

Susunan saraf pusat berkaitan dengan sistem saraf manusia yang merupakan suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Fungsi sistem saraf antara lain : mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat atau sentral dan sistem saraf tepi (SST). Pada sistem syaraf pusat, rangsang seperti sakit, panas, rasa, cahaya, dan suara mula-mula diterima oleh reseptor, kemudian dilanjutkan ke otak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit disebabkan oleh perangsangan rasa sakit diotak besar. Sedangkan analgetik narkotik menekan reaksi emosional yang ditimbulkan rasa sakit tersebut. Sistem syaraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik, misalnya sedatif hipnotik. Obat yang dapat merangsang SSP disebut analeptika.

Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP) yang realtif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat (kecuali benzodiazepin) yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung pada dosis. Pada dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respons terhadap perangsangan emosi dan menenangkan. Sedatif menekan reaksi terhadap perangsangan, terutama rangsangan emosi tanpa menimbulkan kantuk yang berat. Obat yang tergolong sedative, yaitu chloralhidrat. Hipnotik menyebabkan tidur yang sulit dibangunkan disertai penurunan refleks hingga kadang-kadang kehilangan tonus otot. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.

1.3 Rumusan Masalah

A. Apakah Pemberian obat depresan pada mencit menyebabkan adanya efek depresi ringan dan sampai terjadinya efek tidur?

B. Apakah terdapat pengaruh perbedaan berat badan pada tikus dengan efek yang timbul?

(58)

1.4 Tujuan Praktikum

1. Mengelompokan berbagai senyawa barbiturat sesuai dengan ciri-ciri kerja farmakologi.

2. Merumuskan implikasi praktis dari berbagai jangka waktu kerja antagonisme dan sinergisme pada senyawa-senyawa barbiturat.

3. Merencanakan eksperimen-eksperimen sederhana untuk implikasi praktis dari antagonisme dan sinergisme barbiturat.

BAB II

METODOLOGI PRAKTIKUM

2.1 Alat dan bahan

 Alat 1. Jarum suntik

(59)

 Bahan 1. Tikus Jantan 2. Fenobarbibatal 3. NaCl

2.2 Cara Kerja

a. Diambil 3 ekor tikus

b. Diamati keadaan biologi dari hewan coba meliputi : bobot badan. c. Timbang berat badan masing-masing tikus, catat hasil penimbangan.

d. Dihitung dosis fenobarbital yang akan diberikan kepada hewan coba sesuai berat badan yang diperoleh.

e. Disuntikan fenobarbital sesuai dosis yang dihitung pada 2 hewan coba dan 1 hewan coba disuntikan NaCl sebagai kontrol secara IV (intra vena)

f. Dicatat waktu perubahan aktifitas yang terjadi pada tikus dari sedatif, hipnotik hingga bangun kembali.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Biologis Hewan Coba

(60)

Tikus 1 131

Tikus 2 132

Tikus 3 (kontrol) 109

3.2 Perhitungan Dosis

Dosis Fenobarbital pada manusia 100 mg

Factor konversi manusia (70kg)  tikus (200 gram) = 0,018 a. Dosis fenobarbital pada tikus 1 dengan berat badan 131 gram

= 200131gg X 0,018 = 1,179 mg

Kadar fenobarbital dalam sediaan 50 mg/ml Volume sdiaan yang di ambil = 1,179mg

Volume sediaan yang diambil = 1,179mg

5mg X 1 ml

= 0,2 ml

b. Dosis fenobarbital pada tikus 2 dengan berat badan 132 gram c. Dosis Fenobarbital pada tikus pertama ( BB = 132 g )

= 200131gg X 0,018

= 1,179 mg

Kadar fenobarbital dalam sediaan 50 mg/ml

Volume sdiaan yang di ambil = 1,1885mgmg X 1 ml

= 0,02 ml ( tidak bisa diambil )

Volume sediaan yang diambil = 1,1885mgmg X 1 ml

(61)

d. Dosis NaCl pada tikus kontrol = 0,2 ml

3.3 Hasil Pengamatan

Tikus 1

Efek Mulai efek Selsai efek Durasi

Perubahan aktifitas 06 : 16 20 : 11 13 : 95

Sedatif 20 : 11 31 : 10 10 : 99

Hipnotik 31 : 10 40 : 02 08 : 92

Tikus 2

Efek Mulai efek Selsai efek Durasi

(62)

Dari kedua hewan uji tersebut, didapat perbedaan lama durasi yang dicapai pada masing-masing hewan uji. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh perbedaan berat badan hewan uji. Obat phenobarbital ini merupakan golongan barbiturat yang mudah larut dalam lemak, dapat ditimbun dijaringan lemat dan otot sehingga menyebabkan kadar obat dalam plasma dan otak menurun dengan cepat.

Adanya kesalahan pada saat penyuntikan juga dapat mempengaruhi durasi obat pada hewan uji. Pada tikus 2 saat proses penyuntikan, obat phenobarbital tersebut tidak masuk seluruhnya kedalam jaringan tubuh tikus. Hal ini terjadi karena hewan uji tersebut bergerak-gerak sehingga mengganggu pada saat penyuntikan berlangsung. Pada tikus 2 didapatkan hasil pengamatan berupa durasi yang lebih pendek dibandingkan dengan tikus 1. Hal ini dapat terjadi karena obat yang masuk lebih sedikit sehingga efek yang ditimbulkan lebih cepat, sedangkan pada tikus 1 durasi yang dihasilkan lebih panjang. Hal ini disebabkan karena obat yang masuk kedalam tubuh hewan uji sesuai dengan dosis yang telah dihitung sehingga jumlah obat yang harus dieliminasi lebih banyak.

BAB V PENUTUP

(63)

 Dari kedua hewan uji tersebut, didapat perbedaan lama durasi yang dicapai pada masing-masing hewan uji. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh perbedaan berat badan hewan uji.

 Adanya kesalahan pada saat penyuntikan juga dapat mempengaruhi durasi obat pada hewan uji.

 Pada tikus 2 didapatkan hasil pengamatan berupa durasi yang lebih pendek dibandingkan dengan tikus 1. Hal ini dapat terjadi karena obat yang masuk lebih sedikit sehingga efek yang ditimbulkan lebih cepat, sedangkan pada tikus 1 durasi yang dihasilkan lebih panjang.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

(64)

Ikawati, Z., (2006). Pengantar Farmakologi Molekuler. Yogyakarta: Gadjah Mada Katzung, Bertram G.2002. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika. Mycek, M. J., (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi II. Jakarta: Widya Medika

Purwanto, SL dan Istiantoro, Yati. 1992. DOI(Data Obat DiIndonesia).Jakarta: PT. Grafindian Jaya.

(65)

Referensi

Dokumen terkait

Kenaikan nilai bahan yang terjadi di menit ke 21 tentu tidak bersesuaian dengan teori bahwa dalam pengenceran terjadi penurunan nilai dari kadar bahan, maka dapat diketahui

 Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun menetap, dan hal ini merupakan efek samping yang serius.Ketulian sementara juga dapat

Kulit sapi yang baru selesai dikuliti, hanya dapat bertahan selam 12 jam setelah pengulitan. Bila tidak segera memperoleh penanganan, kulit sapi akan terkontaminasi dengan

Penurunan berat badan mencit ini juga dapat berkaitan dengan faktor-faktor yang memengaruhi asupan makanan atau stres selama pemeliharaan.. Penting untuk memahami apakah penurunan ini

5 Pemberian Secara Oral 2.6 kesimpulan Berdasarkan hasil percobaan dengan memberikan lorazepam pada mencit dan tikus dengan berat badan yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa