• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR (Studi Kasus No: 791/Pid.A/2012/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR (Studi Kasus No: 791/Pid.A/2012/PN.TK)"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh

Mohammad Yusfaneri

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

1. Tim Penguji

Ketua : Tri Andrisman S.H.,M.H ………

Sekretaris/Anggota : Diah Gustiniati M S.H.,M.H ………

Penguji Utama : Firganefi S.H.,M.H ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S. H., M. S.

NIP 19621109 198703 1 003

(3)

Jangan tetap tinggal dimasa lalu, atau bermimpi tentang masa depan, namun pusatkan perhatian anda pada masa sekarang dan masa yang

akan datang.

Jangan hanya terdiam bila ingin meraih mimpi, bekerja keras dan pengorbanan adalah satu kunci kesuksesan untuk menggapai mimpi. Sa at berjalan jangan hanya melihat kedepan, tapi fikirkan masa depan

yang datang dan menantang. (Mohammad Yusfaneri)

Melakukan hal yang berguna, mengatakan suatu keberanian dan merenungkan suatu keindahan adalah hal yang perlu dilakukan dalam

(4)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 09 April

1990, yang merupakan putra ketiga dari enam bersaudara dari

Bapak Mohammad Yusuf S.H.,M.Kn dan Ibu Indrawati

Sulaiman. Penulis menyelesaikan studi di SD Negeri 6

Gedong Air lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan studi

di SMP Negeri 26 Bandar Lampung lulus pada tahun 2005, kemudian SMA

Negeri 16 Bandar Lampung lulus pada tahun 2008.

Penulis pada tahun 2008 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas

Hukum Universitas Lampung. Penulis pada tahun 2012 mengikuti kegiatan

Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sidorejo, Kecamatan Sekampung Udik,

(5)

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung

dengan judul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP

PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR (Studi Kasus No: 791/Pid.A/2012/PN.TK)

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan

serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.

Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembimbing Pertama dan Ibu Diah

(6)

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H. dan Ibu Dona Raisa Monica S.H., M.H. sebagai

Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan

kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

5. I Gede Arya Bagus Wiranata, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik

selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

6. Ibu Ida Ratnawati, S.H.,M.H.selaku responden dari Pengadilan Negeri Kelas

I A Tanjung Karang, yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan

wawancara demi penelitian skripsi ini.

7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan

satu persatu.

8. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas

bantuannya selama penyusunan skripsi.

9. Papa dan Mama tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari

setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti

keberhasilanku.

10. Saudara-saudaraku: Kakakku Yuswika Indriana dan Ami Sandriana serta

Adik-adikku Ratih Yulia Pratiwi, Putri Sabrina, Ravelina Oktavia, dan

beserta seluruh keluarga besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan.

11. Sahabat-sahabatku: Jaya Adha Ruskar S.H, Novrendi Zadiatama, Bayu

(7)

Dily, Riana, Fitri, Dewi, Wendi, Iwan, Niky dan Rendy

12. Abang-abang dan emba-embaku yang tidak lain kakak tingkatku di Fakultas

Hukum dan yang tidak bias kusebutkan satu persatu yang selalu memberi

petunjuk dan arahan.

13. Kantin Mak Sugeng Is The Best dan beserta staf-stafnya yaitu Mba Sri, Mba

Iin, dan Mba Yanti dan yang terutama Pak Sugeng dan Mak Sugeng yang

telah menolongku disaat aku lelah karena lapar dan haus dan masih banyak

hal lainnya yg tidak bias kusebutkan satu persatu.

14. Bapak Giman dan Ibu Wati yang merawat dan menjagaku semasa

melakukan kegiatan KKN.

15. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan

pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa

dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang

membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun

sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT

senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 12 Februari 2013 Penulis

(8)

DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR (Studi Kasus No: 791/Pid.A/2012/PN.TK)

Oleh

Mohammad Yusfaneri

Anak nakal yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana berupa pidana atau tindakan. Anak yang belum cukup umur enam belas tahun, apabila melakukan tindak pidana dapat dijatuhi hukuman yaitu dikembalikan kepada orang tua atau walinya, diserahkan kepada pemerintah atau dijatuhi pidana dengan dikurangi sepertiga dari maksimum pidana pokok. Salah satunya adalah tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa Deri Adiputra bin Handoyo, kepada korban yaitu tidak lain teman baiknya sendiri Dwi Komalasari bin Rasimun. Perbuatan ini dilakukan dengan cara tipu muslihat bujuk rayu dan secara paksa serta menggunakan minuman sprite yang di campur obat tetes mata insto yang diduga oleh terdakwa ampuh untuk membuat korban menjadi lemas atau kehilangan kesadaran. Berdasarkan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan oleh anak, dan apakah yang menjadi dasar Hukum Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan oleh anak pada Putusan Nomor Perkara 791/Pid.A/2012/PN.TK.

(9)

pertanggungjawaban pidana merupakan hal yang harus dilaksanakan seseorang akibat perbuatan atau kesalahannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Seorang yang dapat dikatakan bersalah jika seseorang tersebut memenuhi unsur-unsur kesalahan, yaitu melakukan perbuatan pidana, mampu bertanggung jawab, dengan sengaja atau alpa dan tidak ada alasan pemaaf. Selain memenuhi unsur kesalahan, pertanggungjawaban pidana seseorang ditentukan oleh kemampuan terdakwa untuk bertanggung jawab. Terdakwa Deri Adiputra bin Handoyo dalam perkara ini dapat disimpulkan mampu bertanggung jawab karena saat melakukan perbuatan maupun memberikan keterangan di persidangan berada dalam kondisi sehat jasmani dan rohani, serta tidak ditemukan adanya alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, sehingga terdakwa dipandang mampu bertanggung jawab atas seluruh perbuatan yang telah dilakukan. Dan bentuk Hakim dalam memberikan atau menjatuhkan pidana kurungan penjara terhadap terdakwa dalam kasus pembunuhan yang dilakukannya, yaitu diancam dengan Pasal 339 KUHP Jo Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan hukuman pidana penjara paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa yaitu paling lama 10 (sepuluh) tahun penjara, didasarkan oleh ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP, serta memuat pula hal-hal yuridis dan non yuridis. Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana adalah didasarkan oleh alat bukti yang mendukung, terpenuhinya segala unsur tindak pidana yang dilakukan berdasarkan pembuktian dan fakta persidangan yang terungkap.

Adapun Saran yang diberikan penulis yaitu Hakim harus mempertimbangkan kembali dalam memberikan hukuman pidana kepada terdakwa karena dalam memberi hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara dapat mengakibatkan turunnya mental terdakwa dikarenakan terdakwa masih tergolong anak dibawah umur. Hakim harus melihat kembali dampak yang kan terjadi pada terdakwa karena hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara bukanlah waktu yang singkat, dikarenakan terdawka masih tergolong anak dibawah umur hukuman penjara yang diberikan kepada terdakwa bisa saja berdampak negatif, hukuman yang diberikan bukan menimbulkan sifat jera akibat perbuatannya atau benar-benar menyadari kesalahannya, namun sebaliknya dikarenakan ruang lingkup didalam penjara, terdakwa mendapatkan wawasan yang luas dalam melakukan perbuatan kriminal.

(10)

A. Latar Belakang

Pemikiran dan usaha-usaha ke arah peradilan anak telah dimulai sekitar tahun

1958, yaitu dengan diadakannya sidang pengadilan anak yang berbeda dengan

sidang pengadilan yang berlaku untuk orang dewasa. Usaha pemerintah ini

didasarkan pada pemikiran bahwa terhadap anak yang melakukan kenakalan harus

diperlakukan berbeda dengan orang dewasa yang melakukan kejahatan. Tujuan

dan dasar pemikiran dari Peradilan Anak jelas tidak dapat dilepaskan dari tujuan

utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan

bagian integral dari kesejahteraan sosial.1Dengan kalimat terakhir ini tidak harus

diartikan bahwa kesejahteraan atau kepentingan anak itu pada hakikatnya

merupakan bagian dari usaha mewujudkan kesejahteraan sosial.

Pada saat membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Anak yang

konsepnya telah siap tahun 1967, almarhum Sudarto (1981: 140) juga berpendapat

bahwa walaupun didalam Rancangan Undang-Undang (RUU) disebutkan

Pengadilan Anak mengutamakan kesejahteraan anak disamping kepentingan

masyarakat. Namun beliau berpendapat bahwa kepentingan anak tidak boleh

dikorbankan demi kepentingan masyarakat.

1

(11)

Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut sejak tahun 1997 telah disahkan

menjadi undang-undang, yaitu Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak (selanjutnya disebut UUPA), dengan demikian keinginan untuk

mewujudkan perundang-undangan yang khusus bagi anak, yang mengatur secara

integrative mengenai hukum pidana materil, hukum pidana formil, dan hukum

pelaksaan pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana/kenakalan telah

terpenuhi. Dalam undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “Anak adalah orang dalam

perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum

mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.”

Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, yang dimaksud anak nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,

baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan

hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.

Anak nakal yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhi sanksi berupa pidana

atau tindakan. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak. Anak yang belum cukup umur enam belas tahun,

apabila melakukan tindak pidana dapat dijatuhi hukuman:

(a) dikembalikan kepada orang tua atau walinya;

(12)

(c) dijatuhi pidana dengan dikurangi sepertiga dari maksimum pidana pokok.

Saksi Pidana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak:

(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan

pidana tambahan.

(2) Pidana Pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :

a. Pidana penjara;

b. Pidana Kurungan;

c. Pidana denda; atau

d. Pidana pengawasan.

(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap

Anak Nakal dapat juga dijatuhakan pidana tambahan, berupa perampasan

barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.

Selanjutnya penjatuhan sanksi yang berupa Tindakan diatur dalam Pasal 24

sebagai berikut:

(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;

b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,

pembinaan, dan latihan kerja; atau

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan

(13)

(2) Tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai

dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim.

Penjatuhan saksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Anak

(UUPA) didasarkan pada batasan umur tertentu anak yang melakukan tindak

pidana. Misalnya dalam Pasal 5 Undang-Undang Pengadilan Anak (UUPA)

dinyatakan:

1. Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau

diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat

dilakukan pemeriksaan oleh penidik.

2. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orangtua,

wali atau orangtua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak

tersebut kepada orangtua asuhnya.

3. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh

orangtua, wali atau orangtua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak

tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari

Pembimbing Kemasyarakatan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Pengadilan Anak (UUPA) diatas,

dapat diketahui bahwa berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik

terhadap anak yang melakukan tindak pidana yang dibawah umur 8 (delapan)

tahun hanya dapat di jatuhi saksi berupa tindakan:

(14)

(2) diserahkan kepada Departemen Sosial.

Salah satunya adalah tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa

Deri Adiputra bin Handoyo selanjutnya disebut sebagai terdakwa, pada bulan 18

Juli sampai dengan Bulan 06 Agustus 2012, bertempat tinggal di Jl.Gatot Subroto

Kantor Pusri Lampa Kelurahan Pahoman, Kecamatan Teluk Betung Utara Bandar

Lampung dan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang berwenang mengadili

perkaranya, telah melakukan perbuatan “dengan sengaja melakukan kekerasan

atau pembunuhan terhadap korban Dwi Komala Sari bin Rasimun Siswi SMK

SMTI. Perbuatan ini dilakukannya kepada teman akrabnya sendiri dengan cara

tipu muslihat dan secara paksa serta menggunakan minuman sprite yang di

campur obat tetes mata insto yang diduga oleh terdakwa ampuh untuk membuat

korban menjadi lemas atau kehilangan kesadaran yang dilakukan dirumah

terdakwa Jl.Gatot Subroto Kantor Pusri Lama Kelurahan Pahoman, Kecamatan

Teluk Betung Utara Bandar Lampung. Jaksa menuntut terdakwa bersalah

melakukan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak dibawah umur

serta pemaksaan untuk menguasai seluruh barang korban yaitu Handphone dan

Sepeda Motor Mio J milik korban. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

Pasal 339 KUHP Jo 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor

3 Tahun 1997. Jaksa menuntut terdakwa dengan pidana penjara yang dapat

dijatuhkan kepada Anak Nakal paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum

(15)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap Tindak Pidana

Pembunuhan yang dilakukan oleh anak ?

b. Apakah yang menjadi dasar Hukum Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan

pidana terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan oleh anak pada

Putusan Nomor Perkara 791/Pid.A/2012/PN.TK ?

2. Ruang Lingkup

Penelitian yang dilakuakan dibatasi pada pembahasan materi yang berkaitan

dengan sistem penjatuhan pidana yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak. Lokasi penelitian dibatasi pada wilayah hukum

Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a) Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap Tindak Pidana

Pembunuhan yang dilakukan oleh anak.

b) Untuk Mengetahui yang menjadi dasar Hukum Pertimbangan Hakim

dalam menjatuhkan pidana terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang

(16)

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara Teoritis

Untuk menambah pengetahuan penulis dibidang ilmu hukum pidana,

khususnya hukum pidana anak yang berkaitan dengan sistem penjatuhan

sanksi pidana dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak.

b. Secara Praktis

Untuk memberikan masukan bagi penegak hukum berkaitan dengan sistem

penjatuhan pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi

dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.2

Penjatuhan sanksi pidana yang dikenakan pada anak yang melakukan tindak

pidana haruslah dipertimbangkan secara hati hati karena penerapan sanksi pada

umurnya mempunyai efek-efek negatif bagi terpidana serta harus cermat

berdasarkan tujuan dan alas an pembenar dari pidana tersebut untuk mendapatkan

jenis sanksi pidana apa yang pantas dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana

2

(17)

sesuai dengan berat ringannya kejahatan yang telah dilakukannya dengan tidak

menyimpang dari undang - undang dan hak asasi pelaku sebagai manusia.

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang

siapa melanggar larangan tersebut.3

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan seseorang dapat tidaknya ia dipidana

harus memenuhi rumusan sebagai berikut:

a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan. b. Hubungan bathin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan

dengan perbuatannya, berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).

c. Tidak ada alasan yang menghapus pertanggungjawaban pidana atau kesalahan bagi pembuat.4

Ruslan Saleh menyatakan:

Janganlah jatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan yang tidak

bersyarat jika suatu pidana bersyarat dipandang telah cukup, janganlah

jatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, yang sifatnya adalah panjang

jika suatu pidana waktunya pendek telah dapat menyelesaikan persoalan

itu.5

Penanganan perkara pidana yang pelakunya masih tergolong anak haruslah

ditunjukan pada:

a. Menjatuhkan Kesejahteraan anak (the promotion of well being of the juvenile),

dan

3

Soesilo, R. 1999. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap dengan Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor.

4

Sudarto. 1997. Hukum Pidana. Yayasan Sudarto. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang.

5

(18)

b. Prinsip proposionalitas (the principle of proportionality).

Bahwa prinsip memajukan kesejahteraan anak untuk menghindari penggunaan

sanksi yang semata-mata bersifat pidana atau semata-mata bersifat menghukum.

Sedangkan prinsip proporsionalitas digunakan untuk mengekang penggunaan

sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas semata-mata.6

Selain mencakup teori tujuan pemidanaan dalam usaha mewujudkan keadilan

hukum juga mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi

manusia dengan menerapkan beberapa teori-teori dasar pertimbangan hakim.

Adapun teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam

memutus perkara dalam sidang pengadilan antara lain:

a. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum memberikan penjelasan bahwa segala macam bentuk kejahatan dan pelanggaran harus di berikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Dalam teori ini sangat berhubungan erat dengan asas legalitas dalam hukum pidana, bahwa setiap tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan harus diproses dalam sistem peradilan pidana guna menjamin kepastian hukum.

b. Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan. Jadi sebagai pertimbangan hakim dengan melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi akan tetapi hanya diberikan tindakan rehabilitasi kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya.

6

(19)

c. Teori Keadilan

Teori keadilan menjelaskan bahwa dalam menegakkan hukum seorang Hakim juga harus memperhatikan teori keadilan hukum dan juga harus melihat fakta kongkret dalam persidangan. Karena melihat rasa keadilan tidak tepat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, di bawah umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak diganjar dengan hukuman pidana penjara maka Hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan. Nilai hukum dan rasa keadilan Hakim jauh lebih diutamakan dalam mewujudkan hukum yang berkeadilan.

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman

menyebutkan bahwa hakim wajib memutuskan tiap-tiap perkara, menafsirkan atau

menjelaskan Undang-undang jika tidak jelas dan melengkapinya jika tidak

lengkap. Tetapi penfsiran hakim mengenai undang-undang dan ketentuan yang

dibuatnya itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat umum, tapi hanya berlaku

dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Karena itu secara prinsip, hakim tidak terikat

oleh putusan-putusan hakim lainnya.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep

khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah

yang ingin tahu akan diteliti.7

Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan

teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada

7

(20)

pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang

terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana

yang terjadi atau tidak.8

B. Pembunuhan

Pembunuhan adalah perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang,

di mana perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang telah diatur dalam

ketentuan yang ada dalam KUHP.9

C. Anak

Dalam Undang-Undang Negera Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 yang

dimaksud dengan anak adalah :

1. Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur

8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun

dan belum pernah kawin.

2. Anak Nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindaka pidana; atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,

baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut

peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang

bersangkutan.10

c. Dibawah Umur

Anak dalam UU No.3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang

berbunyi: “ Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai

umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (deklapan belas)

8

Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Dan Pertanggung Jawaban Pidana. Aksara Bara, Jakarta.

9

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.

10

(21)

tahun dan belum pernah menikah .” Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatsi

dengan syarat sebagai berikut: pertama, anak dibatasi dengan umur antara 8

(delapan) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si

anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan

ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat

dalam perkawinan atau perkawinanya putus karena perceraian, maka sianak

dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas)

tahun.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan

tujuan agar pembaca dapat dengan mudah memahami dan memperoleh gambaran

menyeluruh tentang penelitian ini terdiri lima bab, yaitu :

I. PENDAHULUAN

Membahas tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan

kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Membahas mengenai teori-teori pemidanaan, tujuan pemidanaan di Indonesia,

(22)

III. METODE PENELITIAN

Mengemukakan langkah-langkah atau cara yang ingin dicapai dalam penulisan

ini, meliputi pendekatan masalah, penentuan sampel dan jenis data, metode

pengumpulan dan pengelolaan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Memuat tentang pokok-pokok bahasan berdasarkan hasil penelitian, yaitu tentang

karakteristik responden, pengaturan sanksi pidana dalam Undang-undang

Pengadilan Anak, dan sistem penjatuhan pidana yang diatur dalam

Undang-undang Pengadilan Anak.

V. PENUTUP

Memberikan Kesimpulan dan saran dari hasil penelitian sehubungan dengan

(23)

A. Teori Pemidanaan

Teori tujuan sebagai Theological Theory dan teori gabungan sebagai pandangan

integratif di dalam tujuan pemidanaan beranggapan bahwa pemidanaan

mempunyai tujuan pliural, di mana kedua teori tersebut menggabungkan

pandanganUtilitariandengan pandanganRetributivist.

Pandangan Utilitarians yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus

menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan dan pandangan

retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabula tujuan yang

Theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip

keadilan.11

Beberapa teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut :

1. Teori Absolut / Retribusi

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang telah

melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan.

Imamanuel Kant memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatif”

yakni seseorang harus dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan

kejahatan sehingga pidana menunjukan suatu tuntutan keadilan. Tuntutan

11

(24)

keadilan yang sifatnya absolute ini terlihat pada pendapat Imamanuel Kant

di dalam bukunya“Philosophy of Law”sebagai berikut :

Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat tapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah melakukan sesuatu kejahatan.12

Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah juga memberikan pendapat

sebagai berikut :

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana”.13

Artinya teori pembalasan tidak memikirkan bagaimana membina sipelaku

kejahatan, padahal sipelaku kejahatan mempunyai hak untuk dibina dan untuk

menjadi manusia yang berguna sesuai dengan harkat dan martabatnya.

2. Teori Tujuan / Relatif

Pada penganut teori ini memandang sebagaimana sesuatu yang dapat digunakan

untuk mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah

maupun yang berkaitan dengan dunia luar, misalnya dengan mengisolasi dan

memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan menjadikan dunia

tempat yang lebih baik.14

Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya.

Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat kesalahan)

12

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005.Teori-TeoridanKebijakan Pidana. Alumni. Bandung.

13

Samosir, Djisman. 1992.Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia.Bina Cipta. Bandung.

14

(25)

melakukan ne peccetur(supaya orang jangan melakukan kejahatan), maka cukup

jelas bahwa teori tujuan ini berusaha mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.15

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan menjadi

dua istilah, yaitu :

a. Prevensi special(speciale preventie)atau Pencegahan Khusus

Bahwa pengaruh pidana ditunjukan terhadap terpidana, dimana prevensi

khusus ini menekankan tujuan pidana agar terpidana tidak mengulangi

perbuatannya lagi. Pidana berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki

terpidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai

dengan harkat dan martabatnya.

b. Prevensi General (Generale Prevenie) atau Pencegahan Umum

Prevensi General menekankan bahwa tujuan pidana adalaha untuk

mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Pengaruh

pidana ditunjukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan maksud untuk

menakut-nakuti. Artinya pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh

pidana adalah dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada

umumnya untuk tidak melakukuan tindak pidana.

Menurut Johan Andenaes terdapat tiga bentuk pengaruh dalam pengertiannya

prevensi general yaitu :

a. Pengaruh pencegahan.

b. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral.

c. Pengaruh untuk mendorong suatu kebiasaan pembuatan patuh pada hukum.

15

(26)

Sehubungan yang dikemukakan oleh Johan Andenaes, maka Van Veen

berpendapat bahwa prevensi general mempunya tiga fungsi,16yaitu :

1. Menegakan Kewibawaan

2. Menegakan Norma

3. Membentuk Norma.

3. Teori Gabungan

Teori gabungan adalah kombinasi dari teori relatif. Menurut teori gabungan,

tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk

melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban dengan ketentuan

beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil.17

Menurut Pellegrino Rossi dalam bukunya “Traite de Droit Penal” yang ditulis

pada tahun 1828 menyatakan : ‘Sekalipun pembalasan sebagai asas dari pidana

bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil,

namun pidana mempunya berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang

rusak dalam masyarakat dan prevensi general’18

Terhadap teori gabungan ini terdapat tiga aliran yang mempengaruh, yaitu :

a. Teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, tetapi sifatnya yang

berguna bagi masyarakat. Pompe menyebutkan dalam bukunya “Hand boek

van hetNed.Strafrecht”bahwa pidana adalah suatu sanksi yang memiliki

ciri-ciri tersendiri dari sanksi lain dan terikat dengan tujuan dengan sanksi-sanksi

16

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.

17

Samosir, Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Bina Cipta. Bandung

18

(27)

tersebut karenanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan

kaidah-kaidah yang berguna bagi kepentingan umum.

b. Teori gabungan yang menitikberatkan pertahan tatatertib masyarakat.

Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi tujuannya adalah melindungi

kesejahteraan masyarakat.

c. Teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib

masyarakat.19

Begitu pula Roeslan Saleh mengemukakan, bahwa pidana hakekatnya terdapat

dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana yaitu :

a. Segi Prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.

b. Segi Pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentu hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.20

Pada hakekatnya pidana selalu melindungi masyarakat dan pembalasan atas

perbuatan tidak hukum.

Selain itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal

lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai suatu yang akan membawa

kerukunan serta sebagai suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat

diterima kembalidalam masyarakat. Jadi memang sudah seharusnyalah tujuan

pidana adalah membentuk kesejahteraan negara dan masyarakat yang tidak

bertentangan dengan norma kesusilaan dan perikamanusiaan sesuai dengan

Pancasila.

19

Hamzah, Andi. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi. Pradya Paramita. Jakarta.

20

(28)

4. Teori Integratif

Teori Itegratif ini diperkenalkan oleh Muladi, guru besar dari Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro:

Dewasa ini masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk leboh memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak-hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Untuk ini diperlukan pendekatan multi dimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual maupun dampak yang bersifat sosial.21

Pendekatan semacam ini mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori

integratif tentang tujuan pemidanaan, yang dapat memenuhi fungsinya dalam

rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana

(individual and social damages).

Pemilihan teori integratif tentang tujuan pemidanaan ini didasarkan atyas

alasan-alasan, baik yang bersifat sosiologis, ideologis, maupun yuridis. Alasan secara

sosiologis dapat diruk pada pendapat yang dikemukakan oleh Stanley Grupp,

bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung pada anggapan-anggapan

seseorang terhadapa hakekat manusia, informasi yang diterima seseorang sebagai

ilmu pengetahuan yang bermanfaat, macam dan luas pengetahuan yang mungkin

dicapai dan penilaian terhadap persyaratan-persyaratan untuk menerapkan

teori-teori tertentu serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk

menemukan persyaratan-persyaratan tersebut.

Alasan secara ideologis, dengan mengutip pendapat Notonagoro, menyatakan :

Berdasarkan Pancasila, maka manusia ditempatkan pada keseluruhan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dengan

21

(29)

kesadaran untuk mengembangkan kodratnya sebagai mahluk pribadi dan sekaligus sosial. Pancasial yang bulat dan utuh itu memberi keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia dengan alam, dalam hubungannya dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahirlah dan kebahagiaan rohani.

Selanjutnya alasan yang bersifat yuridis Muladi menyetujui pendapat Herbert L.

Packer sebagai berikut :

Hanya ada dua tujuan untama dari pemidanaan, yakni pengenaan penderitaan yang setimpal terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan. Teori pemidanaan yang integratif mensyaratkan pendekatan yang integral tujuan-tujuan pemidanaan, berdasarkan pengakuan bahwa ketegangan-ketegangan yang terjadi diantara tujuan-tujuan pemidanaan tidak dapat dipecahkan secara menyeluruh. Didasarkan atas pengakuan bahwa tidak satupun tujuan pemidanaan bersifat definitif, maka teori pemidanaan yang bersifat integratif ini meninjau tujuan pemidanaan tersebut dari segala perspektif. Pidana merupaka suatu kebutuhan, tetapi merupakan bentuk kontrol sosial yang diselesaikan, karena mengenakan penderitaan atas nama tujuan-tujuan yang pencapaiannya merupakan sesuatu kemungkinan.

Berdasarkan alasan-alasan sosiologis, ideologi dan yuridis diatas, Muladi

menyimpulkan sebagai berikut :

Dengan demikian, maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuitis.

Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud diatas adalah :

1. Pencegahan (umum dan khusus);

2. Perlindungan Masyarakat;

3. Memelihara Solidaritas Masyarakat dan

(30)

B. Dasar Pertimbangan Hakim

Tujuan pemidanaan bukan merupakan suatu hal yang baru, tetapi dampak dari

pemidanaan yang berkenaan dengan kelanjutan kehidupan terpidana, khususnya

dampak stigmatisasi terhadap terpidana dan keluarganya, menumbuhkan

aliran-aliran dalam hukum pidana yang lebih baru yang mengkreasi jenis-jenis pidana

lain yang dianggap lebih menghormati harkat dan martabat manusia, di samping

ingin mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri. Penjatuhan sanksi pidana harus

merupakan hal yang paling penting dipertimbangkan hakim, karena menyangkut

kepentingan-kepentingan tersebut.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur

bahwa hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim

dalam memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan

itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili.

Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan

mengenai salah tidaknya seseorang atau benar atau tidaknya suatu peristiwa dan

kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto hakim

memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya;

(31)

c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman dalam proses peradilan pidana berperan sebagai pihak yang

memberikan pemidanaan dengan tidak mengabaikan hukum atau norma serta

peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 sebagai berikut:

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembangan dalam

masyarakat.”

Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim

dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung

pembuktian dan keyakinannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP,

yaitu:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Pasal 183 KUHAP tersebut menentukan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

pidana harus memenuhi dua persyaratan yaitu dua alat bukti sah yang ditentukan

secara limitatif di dalam undang-undang dan apakah atas dasar dua alat bukti

tersebut timbul keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Undang-Undang No.

(32)

keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan

rakyat Indonesia. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Alat bukti yang dimaksud ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan

saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, petunjuk dan keterangan terdakwa menjadi

dasar jaksa dalam membuat tuntutannya. Alat bukti yang cukup dan memiliki

kekuatan pembuktian yang kuat dapat mempermudah jaksa dalam membuat surat

tuntutan. Setelah alat bukti terpenuhi, maka dipertimbangkan pula pemeriksaan

dan pembuktian di persidangan. Hal yang yang berikutnya dipertimbangkan oleh

jaksa adalah hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa. Atas dasar

hal-hal tersebut penuntut umum berdasarkan persetujuan pimpinan menentukan

tuntutan pidana terhadap terdakwa.

C. Tujuan Pemidanaan di Indonesia

Pandangan Utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus

menimbulkan kosekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan. Keadilan tidak boleh

melalui pembebanan penderitaan itu sendiri, selain itu pandangan Retibutivist

menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujaun yang theological

tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip keadilan,

misalnya penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang

(33)

pemidanaan sangatlah penting sebagai pedoman dalam emberikan dan

menjatuhkan pidana.22

Didalam rancangan KUHP baru yang dibuat oleh Tim RUU KUHP BPHN

Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI Tahun 2000 dalam Pasal 50,

tujuan pemidanaan dirumuskan sebagai berikut :

1) Pemidanaan bertujuan untuk :

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum

dan pengayom masyarakat.

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadikannya orang yang lebih berguna.

c. Menyelesaikan langkah yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan

merendahkan martabat manusia.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa pemidanaan

merupakan suatu proses dimana agar proses ini dapat berjalan dan peranan hakim

penting sekali. Pasal tersebut mengkongkritkan danksi pidana yang terdapat dalam

suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu

serta memuat tujuan ganda yang hendak dicapai melalui pemidanaan.

Mengenai tujuan pemidanaan yang tercantum dalam Pasal 47 Konsep Rancangan

KUHP (Baru) tersebut, J.E. Sahetapy menuliskan sebagai berikut :

22

(34)

“Tujuan pemidanaan ini sangatlah penting. Ia tidak sanja menyangkut dan

dalam aspek tertentu mempertanyakanraison d’etredari teori-teori pidana.

Pemidanaan yang ada, terutama yang lahi dari kandungan budaya pemikiran barat, melainkan seharusnya Hakim setelah mengkaji segala ratifikasi tindak pidan dan faktor pertanggungjawaban/pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tadi dengan memperhatikan buka saja rasa keadilan dalam kalbu masyarakat, melainkan harus mampu menganalisis relasi timbal balik antara si pelaku dengan si korban”23

Dapat dikatakan bahwa tujuan pemidanaan yang tercantum dalam rancangan

KUHP tersebut meliputi usaha prevensi, koreksi kedamaian dalam masyarakat,

dan pembebasan rasa bersalah para terpidana sehingga tujuan pemidanaan

seharusnya adalah pembinaan sedemikian rupa sehingga terbebas dalam alam

pikiran jahat maupun dari kenyataan sosial yang membelenggu serta membentuk

kesejahteraan negara dan masyarakat selama tidak bertentangan dengan norma

kesusilaan dan prikemanusiaan yang sesuai dengan falsafah dan dasar negara kita,

yakni Pancasila.

Konsesus tujuan pemidanaan merupakan tanggung jawab bersama bagi kita untuk

memikirkan dan merealisasikan khususnya bagi aparat pelaksana dan penegak

hukum. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana merupakan suatu proses

dinamis yang meliputi penilaian secara terus menerus dan seksama terhadapa

sasaran yang hendak dicapai dan konsekuesi yang dapat dipilih dari keputusan

tertentu terhadap hal-hal tertentu yang berhubungan dengan tujuan pemidanaan.24

D. Pengertian Anak

Berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

antara lain telah menetapkan apa yang dimaksud anak, yaitu orang yang dalam

23

Samosir, Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Bina Cipta. Bandung.

24

(35)

perkaranya anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur

18 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 butir 1). Yang dimaksud anak nakal

adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik

menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang

hidup dan berlaku dalam masyarakat.

Simandjutak menyatakan bahwa kenakalan anak adalah perbuatan anak-anak yang

melanggar norma-norma, baik norma sosial, norma hukum, norma kelompok,

mengganggu ketentraman masyarakat sehingga yang wajib mengambil tindakan

pengasingan.25

Konsep mengenai apa yang dimaksud dengan anak nakal erat hubungannya

dengan pengertian kenakalan anak. Menurut Zakiah Daradjat bahwa :

“Kenakalan anak dipandang sebagai perbuatan yang tidak baik, perbuatan

dosa, maupun sebagai manifestasi dari rasa tidak puas, kegelisahan ialah perbuatan-perbuatan yang mengganggu ketenangan dan kepentingan orang

lain, kadang dirinya sendiri”

Berdasarkan dua pengertian tersebut dapat diketahui bahwa kenakalan anak

mempunyai sifat yang terkelompok menjadi dua bagian besar yaitu :

1. Kenakalan yang bersifat amoral dan anti sosial. Kenakalan ini tidak diatur dalam undang-undang sehingga tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran hukum.

2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum, misalnya mencuri atau dengan kekerasan, penipuan serta pembunuhan atau penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian seseorang.

25

(36)

Djoko Prakoso juga menyatakan bahwa istilah anak nakal dirasa kurang tepat dan

kurang mendukung sanksi terhadap penindakan terhadap anak-anak, sehingga

kiranya istilah “anak nakal” tersebut diganti dengan istilah “petindak anak-anak”,

sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak digunakan istilah “tindak

pidana anak-anak”. Pengguna istilah tersebut kiranya sudah tepat sebab hanya

seseorang anak yang melakukan suatu tindak pidana yang dapat dipidana yang

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997.

E. Sanksi Pidana Bagi Anak yang Melakukan Tindak Pidana

Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dikatakan bahwa semua anak,

asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggungjawab dan dapat dituntut. Secara

yuridis formal, ketentuan pidana yang berlaku bagi anak-anak telah mendapatkan

jaminan atas kapasitas hukum, terutama Hukum Pidana terdapat beberapa Pasal

didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang secara langsung mengatur

dan menunjuk.

Pasal 45

Dalam hal penentuan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena

melakukan sesuatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, Hakim dapa

menentukan :

Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya

atau pemeliharaanya, tanpa pidana apapun. Ataupun memerintahkan supaya yang

bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan

(37)

490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536 dan 540 serta

belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan

atau salah satu pelanggaran tersebut diatas dan putusannya telah menjadi tetap;

atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

Pasal 46

( 1 ) Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan pada

pemerintah, maka iah dimasukan dalam rumah pendidikan negara supaya

menerima pendidikan dan pemerintah atau kemudian hari dengan cara

lain, atau diserahkan kepada seseorang tertentu yang bertempat tuingga di

Indonesia atau kepada suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal

yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya

atau kemudian hari atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain dalam

kedua hal diatas a\paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai

umur 18 (delapanbelas) tahun.

( 2 ) Aturan untuk melaksanakan ayat (1) Pasal ini ditetapkan dengan

Undang-undang.

Pasal 47

( 1 ) Jika hakim menjatuhkan pidana meka maksimum pidana pokok terhadap

tindak pidananya dikurangi sepertiga.

( 2 ) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati

atau pidana penjara paling lama limabelas tahun.

(38)

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 45, 46 dan 47 ini dengan diundangkannya

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Pasal 67

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, dan yang isinya menyatakan :

“Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, 46, dan 47 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.

Dengan demikian, ketentuan yang mengatur tentan anak yang melakukan tindak

Pidana harus mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur

sanki-sanksi yang dapat dikenakan terhadapa anak sebagaimana ditentukan dalam Pasal

23 sebagai berikut:

( 1 ) Pidana yang dapat dijatuhkan pada anak nakal ialah pidana pokok dan

piana tambahan.

( 2 ) Pidana Pokok yang dapa ditunjuka pada anak nakal ialah :

a. Pidana Penjara

b. Pidana Kurungan

c. Pidana Denda

d. Pidana Pengawasan

( 3 ) Selain Pidana Pokok sebagaimana dimaksud ayat (2) maka terdapat anak

nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan

(39)

Selanjutnya terdapat pula beberapa jenis tindakan yang dapat dikenakan pada

anak yang diatur dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, sebagai berikut :

( 1 ) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah :

a. Mengembalikan kepada orangtua, wali atau orangtua asuh

b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan

dan latihan kerja, atau

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan

latihan kerja.

( 2 ) Tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai

dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.

Dalam Konsep KUHP (baru) Tahun 2012 mengenai Pidana dan tindakan bagi

anak diatur dalam Pasal 106 sampai dengan Pasal 123 Konsep KUHP. Ketentuan

tentang Pidana bagi anak diatur dalam Pasal 109 Konsep KUHP sebagai berikut :

( 1 ) Pidana Pokok bagi anak terdiri atas :

a. Pidana Nominal :

1. Pidana Peringatan, atau

2. Pidana Teguran Keras

b. Pidana dengan syarat :

1. Pidana Pembinaan diluar lembaga,

2. Pidana Kerja Sosial, atau

(40)

c. Pidana Denda, atau

d. Pidana Pembatasan Pembebasan :

1. Pidana Pembinaan didalam lembaga.

2. Pidana Penjara, atau

3. Pidana Tuntutan.

( 2 ) Pidana Tambahan terdiri atas :

a. Perampasan barang-barang tertentu dan atau tagihan,

b. Pembayaran ganti kerugian, atau

c. Pemenuhan kewajiban adat.

Sedangkan mengenai tindakan diatur Pasal 122, yang isinya sebagai berikut :

( 1 ) Setiap anak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

34 dan 35 dapat dikenakan tindakan :

a. Perawatan dirumah sakit jiwa,

b. Penyerahan kepada pemerintah, atau

c. Penyerahan kepada seseorang.

( 2 ) Tidanakan yang dapat dikenakan terhadap anak tanpa menjatuhkan Pidana

Pokok adalah :

a. Pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhannya;

b. Penyerahan kepada pemerintah;

c. Penyerahan kepada seseorang;

d. Keharusan meliputi suatu pelatihan yang diadakan oleh pemerintah

ayau badan swasta;

(41)

f. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

g. Perbaikan akibat tindak pidana;

h. Rehabilitas; dan

i. Perawatan di lembaga.

Dalam Konsep KUHP ini, ada hal-hal baru yang menarik untuk dikemukakan

berkenaan dengan pemidanaan, yang tidak akan ditemui pada hukum positif kita,

antara lain :

1. Anak pelaku yang belum mencapai umur 12 tahun tidak dapat di

pertanggungjawabkan Pasal 106 ayat (1), serta pidana dan tindakan hanya

berlaku pada anak berusia antara 12 tahun sampai dengan 18 tahun (ayat (2))

2. Penerapan pidana pembatasan kebebasan dalam merupakan upaya terakhir,

khususnya terhadap tindak pidana berat atau yang disertai dengan kekerasan

Pasal 117 ayat (1).

3. Maksimum pidana pembatasan/perampasan kebebasan yang dikenakan

adalah selama-lamanya ½ (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang

diancamkan terhadap orang dewasa Pasal 121 ayat (2).

4. Apabila tindak pidana diancam dengan pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup, maka pidana yang dapat dijatuhkan pada anak adalah Pidana

(42)

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.26

Untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin, maka peneliti perlu

mengadakan pendekatan masalah. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan

masalah yaitu langkah-langkah pendekatan untuk meneliti, melihat, menyatakan

dang mengkaji yang ada padaproyek penelitian, untuk itu penulis menggunakan 2

(dua) cara :

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan normative yaitu peendekatan dengan cara studi kepustakaan dengan

menelaah kaidah-kaidah hukum, undang-undang, peraturan dan berbagai literatur

yang kemudian dibaca, dikutip dan dianalisis selanjutnya disimpulkan.

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan empiris yaitu dengan meneliti sera mengumpulkan data primer yang

telah diperoleh secara langsung pada obyek penelitian melalui wawancara atau

26

(43)

interview dengan responden atau nara sumber ditempat obyek penelitian yang

berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari hasil penelitian di

lapangan. Data primer ini didapatkan dengan cara melakukan wawancara

dengan Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Klas IA Tanjung

Karang dan Dosen pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila,

yang berkaitan dengan sistem penjatuhan Pidana dalam Undang-undang

Pengadilan Anak.

2. Data skuder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan.

Skunder diproleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur-literatur dan

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sistem penjatuhan

pidana dalam Undang-undang Pengadilan Anak. Data skunder dalam

penelitian ini :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

antara lain jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak dan KUHP.

b. Bahan Hukum Skunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang,

hasil-hasil penelitian, dan petunjuk teknis maupun pelaksanaan yang

berkaitan dengan sistem penjatuhan pidana dalam Undang-Undang

(44)

c. Bahan Skunder Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang

mencangkup bahan-bahan yang member petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan skunder, seperti , kamus,

bibliografi, dan sebagainya.

C. Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh objek dan seluruh individu atau seluruh gejala atau

seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti. Dalam penenlitian ini yang

akan menjadi populasi adalah Hakim pada Pengadilan Negri Kelas IA Tanjung

Karang dan Dosen pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.

Penentuan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu

penentuan sekelompok subjek yang didasarkan atas pertimbangan maksud dan

tujaun yang telah ditetapkan serta sesuai cirri-ciri tertentu pada masing-masing

responden yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan cirri-ciri

populasi.

Berdasarkan metode sampling tersebut diatas, maka yang menjadi

sampel/responden dalam penelitian ini yaitu :

1. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang 2 Orang

2. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung 1 Orang +

(45)

D. Prosedur Pengumpulan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data skunder, yaitu

melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi, dengan cara

membaca, mencatat, dan mengutip buku-buku referensi yang

berhubungan dengan sistem penjatuhan pidana dalam Undang-undang

Peradilan Anak.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer. Adapun

mengumpulkan data primer dilakukan dengan menggunakan metode

wawancara terpimpin, yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah

disiapkan terlebih dahulu dan dilakukan wawancara secara langsung

dengan responden.

2. Prosedur Pengelolaan Data

a. Editing, yaitu data yang diperoleh dari penelitian diperiksa dan diteliti

kembali mengenai kelengkapan, kejelasan, dan kebenarannya,

sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Interprestasi, yaitu menghubungkan, dan menguraikan data serta

mendeskripsikan data dalam bentuk uraian, untuk kemudian ditarik

(46)

c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan

pokok permasalahan, sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis

kualitatif, yaitu menggambarkan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil

penelitian, dengan menguraikan secara sistematis untuk memperoleh kejelasan

dan memudahkan pembahasan. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis data

tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan metode

induktif, yaitu suatu metode penarikan data yang didasarkan pada fakta-fakta yang

bersifat khusus, untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum, guna

(47)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam

penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Pertanggungjawaban atas tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh

seseorang merupakan hal yang harus dilaksanakan seseorang akibat perbuatan

atau kesalahannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Seorang

yang dapat dikatakan bersalah jika seseorang tersebut memenuhi unsur-unsur

kesalahan. Adapun unsur-unsur kesalahan adalah melakukan perbuatan

pidana, mampu bertanggung jawab, dengan sengaja atau tidak sengaja dan

tidak ada alasan pemaaf. Selain memenuhi unsur kesalahan,

pertanggungjawaban pidana seseorang ditentukan oleh kemampuan terdakwa

untuk bertanggung jawab. Terdakwa Deri Adiputra bin Handoyo dalam

perkara ini dapat disimpulkan mampu bertanggung jawab karena saat

melakukan perbuatan maupun memberikan keterangan di persidangan berada

dalam kondisi sehat jasmani dan rohani, serta tidak ditemukan adanya alasan

pembenar dan atau alasan pemaaf, sehingga terdakwa dipandang mampu

(48)

Pertanggungjawaban pidana dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh

terdakwa Deri Adiputra bin Handoyo terhadap Dwi Komalasari bin Rasimun

berdasarkan ketentuan Pasal 339 KUHP Jo Pasal 26 ayat (1) dan (2)

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tersebut di atas,

pertanggungjawaban pidana yang harus ditanggung oleh terdakwa adalah

pidana penjara ½ (satu per dua) dari hukuman orang dewasa yaitu paling lama

10 (sepuluh) tahun penjara.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana kepada terdakwa Deri

Adiputra bin Handoyo yang telah melakukan pembunuhan terhadap Dwi

Komalasari bin Rasimun, didasarkan Pasal 339 KUHP Jo Pasal 26 ayat (1)

dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

terdakwa diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama ½ (satu per

dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa yaitu paling

lama 10 (sepuluh) tahun penjara, namun disini lain Hakim tidak memikirkan

dampak negatif apa yang akan terjadi dari hukuman pidana 10 (sepuluh) tahun

penjara yang telah diberikan kepada terdakwa sedangkan terdakwa masih

tergolong anak dibawah umur, dalam kasus ini hakim hanya melihat atau

memandang perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh teradakwa serta

hakim hanya menjalankan kewajiabannya untuk untuk memutuskan pidana

berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan dan yang menurutnya adil

bagi masyarakat dan korban, oleh ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP,

serta memuat pula hal-hal yuridis dan non yuridis. Pertimbangan hakim yang

bersifat yuridis dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana

(49)

tindak pidana yang dilakukan berdasarkan pembuktian dan fakta persidangan

yang terungkap. Pertimbangan yang bersifat non yuridis adalah hal yang

memberatkan dan meringankan terdakwa.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan dasar pertimbangan

hakim dalam pertanggungjawaban pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak

dibawah umur (Studi Putusan Perkara No 791/Pid.A/2012/PN.TK)) sebagai

berikut:

1. Hakim harus memperhatikan dan mempertimbangkan kembali dalam

memberikan hukuman pidana penjara kepada terdakwa karena dalam

memberikan hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara dapat mengakibatkan

turunnya mental terdakwa dikarenakan terdakwa masih tergolong anak

dibawah umur.

2. Hakim harus melihat kembali dampak yang kan terjadi pada terdakwa karena

hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara bukanlah waktu yang singkat,

dikarenakan terdawka masih tergolong anak dibawah umur hukuman penjara

yang diberikan kepada terdakwa bisa saja berdampak negatif, hukuman yang

diberikan bukan menimbulkan sifat jera akibat perbuatannya atau benar-benar

menyadari kesalahannya, namun sebaliknya dikarenakan ruang lingkup

didalam penjara, terdakwa mendapatkan wawasan yang luas dalam

(50)

(Skripsi)

Mohammad Yusfaneri

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(51)

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Pemidanaan ... 13

B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana ... 20

C. Tujuan Pemidanaan di Indonesia ... 22

D. Pengertian Anak ... 24

E. Sanksi Pidana bagi Anak yang Melakukan Tindak Pidana ... 26

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 32

B. Sumber dan Jenis Data ... 33

C. Populasi dan Sampel ... 34

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data ... 35

(52)

No. 791/Pid.A/2012/PN.TK ... 37

B. Pertanggungjawaban Pidana Pembunuhan

yang Dilakukan Anak Dibawah Umur... 40

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Pembunuhan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur... 47

V. PENUTUP

A. Kesimpulan... 59

B. Saran... 61

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan anak di bawah umur melakukan tindak pidana pembunuhan, pertimbangan hakim dalam menerapkan sanksi

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan: Pertama pertanggungjawaban pidana bahwa pelaku terbukti melanggar pasal 374 KUHP maka majelis hakim menjatuhkan pidana

Roni divonis dengan mengingat Pasal 263 ayat (2) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdakwa bersalah melakukan tindak

Dengan kata lain, Hakim dalam menjatuhkan vonis hukuman pidana penjara terhadap terdakwa anak selama-lamanya 1 (satu) tahun mencerminkan bahwa Hakim lebih

Hal ini diatur dalam Pasal 341 KUHP mengenai tindak pidana pembunuhan anak sendiri yang baru dilahirkan yang diancam dengan pidana penjara maksimal tujuh tahun, dan di dalam Pasal

dari terdakwa Very Idham Henyansyah memang terbukti menghilangkan Korban Hery Santoso, dengan demikian Hakim menjatuhkan pidana mati seperti yang telah diancamkan

Penelitian ini akan mengkaji tentang taraf sinkronisasi hukum yang melihat pada putusan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan

Dalam hal putuan hakim pada perkara anak AM Putusan Nomor 18/Pid.Sus.Anak/2019/PN.Rbi seharusnya hakim, tidak serta merta menjatuhkan hukuma pidana penjara terhadap anak,