Oleh
Mohammad Yusfaneri
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
1. Tim Penguji
Ketua : Tri Andrisman S.H.,M.H ………
Sekretaris/Anggota : Diah Gustiniati M S.H.,M.H ………
Penguji Utama : Firganefi S.H.,M.H ………
2. Dekan Fakultas Hukum
Dr. Heryandi, S. H., M. S.
NIP 19621109 198703 1 003
Jangan tetap tinggal dimasa lalu, atau bermimpi tentang masa depan, namun pusatkan perhatian anda pada masa sekarang dan masa yang
akan datang.
Jangan hanya terdiam bila ingin meraih mimpi, bekerja keras dan pengorbanan adalah satu kunci kesuksesan untuk menggapai mimpi. Sa at berjalan jangan hanya melihat kedepan, tapi fikirkan masa depan
yang datang dan menantang. (Mohammad Yusfaneri)
Melakukan hal yang berguna, mengatakan suatu keberanian dan merenungkan suatu keindahan adalah hal yang perlu dilakukan dalam
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 09 April
1990, yang merupakan putra ketiga dari enam bersaudara dari
Bapak Mohammad Yusuf S.H.,M.Kn dan Ibu Indrawati
Sulaiman. Penulis menyelesaikan studi di SD Negeri 6
Gedong Air lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan studi
di SMP Negeri 26 Bandar Lampung lulus pada tahun 2005, kemudian SMA
Negeri 16 Bandar Lampung lulus pada tahun 2008.
Penulis pada tahun 2008 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Lampung. Penulis pada tahun 2012 mengikuti kegiatan
Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sidorejo, Kecamatan Sekampung Udik,
Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung
dengan judul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP
PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR (Studi Kasus No: 791/Pid.A/2012/PN.TK)
Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan
serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembimbing Pertama dan Ibu Diah
4. Ibu Firganefi, S.H., M.H. dan Ibu Dona Raisa Monica S.H., M.H. sebagai
Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan
kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
5. I Gede Arya Bagus Wiranata, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik
selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.
6. Ibu Ida Ratnawati, S.H.,M.H.selaku responden dari Pengadilan Negeri Kelas
I A Tanjung Karang, yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan
wawancara demi penelitian skripsi ini.
7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan
satu persatu.
8. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas
bantuannya selama penyusunan skripsi.
9. Papa dan Mama tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari
setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti
keberhasilanku.
10. Saudara-saudaraku: Kakakku Yuswika Indriana dan Ami Sandriana serta
Adik-adikku Ratih Yulia Pratiwi, Putri Sabrina, Ravelina Oktavia, dan
beserta seluruh keluarga besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan.
11. Sahabat-sahabatku: Jaya Adha Ruskar S.H, Novrendi Zadiatama, Bayu
Dily, Riana, Fitri, Dewi, Wendi, Iwan, Niky dan Rendy
12. Abang-abang dan emba-embaku yang tidak lain kakak tingkatku di Fakultas
Hukum dan yang tidak bias kusebutkan satu persatu yang selalu memberi
petunjuk dan arahan.
13. Kantin Mak Sugeng Is The Best dan beserta staf-stafnya yaitu Mba Sri, Mba
Iin, dan Mba Yanti dan yang terutama Pak Sugeng dan Mak Sugeng yang
telah menolongku disaat aku lelah karena lapar dan haus dan masih banyak
hal lainnya yg tidak bias kusebutkan satu persatu.
14. Bapak Giman dan Ibu Wati yang merawat dan menjagaku semasa
melakukan kegiatan KKN.
15. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan
pengalaman berharga.
Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa
dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang
membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT
senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.
Bandar Lampung, 12 Februari 2013 Penulis
DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR (Studi Kasus No: 791/Pid.A/2012/PN.TK)
Oleh
Mohammad Yusfaneri
Anak nakal yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana berupa pidana atau tindakan. Anak yang belum cukup umur enam belas tahun, apabila melakukan tindak pidana dapat dijatuhi hukuman yaitu dikembalikan kepada orang tua atau walinya, diserahkan kepada pemerintah atau dijatuhi pidana dengan dikurangi sepertiga dari maksimum pidana pokok. Salah satunya adalah tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa Deri Adiputra bin Handoyo, kepada korban yaitu tidak lain teman baiknya sendiri Dwi Komalasari bin Rasimun. Perbuatan ini dilakukan dengan cara tipu muslihat bujuk rayu dan secara paksa serta menggunakan minuman sprite yang di campur obat tetes mata insto yang diduga oleh terdakwa ampuh untuk membuat korban menjadi lemas atau kehilangan kesadaran. Berdasarkan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan oleh anak, dan apakah yang menjadi dasar Hukum Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan oleh anak pada Putusan Nomor Perkara 791/Pid.A/2012/PN.TK.
pertanggungjawaban pidana merupakan hal yang harus dilaksanakan seseorang akibat perbuatan atau kesalahannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Seorang yang dapat dikatakan bersalah jika seseorang tersebut memenuhi unsur-unsur kesalahan, yaitu melakukan perbuatan pidana, mampu bertanggung jawab, dengan sengaja atau alpa dan tidak ada alasan pemaaf. Selain memenuhi unsur kesalahan, pertanggungjawaban pidana seseorang ditentukan oleh kemampuan terdakwa untuk bertanggung jawab. Terdakwa Deri Adiputra bin Handoyo dalam perkara ini dapat disimpulkan mampu bertanggung jawab karena saat melakukan perbuatan maupun memberikan keterangan di persidangan berada dalam kondisi sehat jasmani dan rohani, serta tidak ditemukan adanya alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, sehingga terdakwa dipandang mampu bertanggung jawab atas seluruh perbuatan yang telah dilakukan. Dan bentuk Hakim dalam memberikan atau menjatuhkan pidana kurungan penjara terhadap terdakwa dalam kasus pembunuhan yang dilakukannya, yaitu diancam dengan Pasal 339 KUHP Jo Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan hukuman pidana penjara paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa yaitu paling lama 10 (sepuluh) tahun penjara, didasarkan oleh ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP, serta memuat pula hal-hal yuridis dan non yuridis. Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana adalah didasarkan oleh alat bukti yang mendukung, terpenuhinya segala unsur tindak pidana yang dilakukan berdasarkan pembuktian dan fakta persidangan yang terungkap.
Adapun Saran yang diberikan penulis yaitu Hakim harus mempertimbangkan kembali dalam memberikan hukuman pidana kepada terdakwa karena dalam memberi hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara dapat mengakibatkan turunnya mental terdakwa dikarenakan terdakwa masih tergolong anak dibawah umur. Hakim harus melihat kembali dampak yang kan terjadi pada terdakwa karena hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara bukanlah waktu yang singkat, dikarenakan terdawka masih tergolong anak dibawah umur hukuman penjara yang diberikan kepada terdakwa bisa saja berdampak negatif, hukuman yang diberikan bukan menimbulkan sifat jera akibat perbuatannya atau benar-benar menyadari kesalahannya, namun sebaliknya dikarenakan ruang lingkup didalam penjara, terdakwa mendapatkan wawasan yang luas dalam melakukan perbuatan kriminal.
A. Latar Belakang
Pemikiran dan usaha-usaha ke arah peradilan anak telah dimulai sekitar tahun
1958, yaitu dengan diadakannya sidang pengadilan anak yang berbeda dengan
sidang pengadilan yang berlaku untuk orang dewasa. Usaha pemerintah ini
didasarkan pada pemikiran bahwa terhadap anak yang melakukan kenakalan harus
diperlakukan berbeda dengan orang dewasa yang melakukan kejahatan. Tujuan
dan dasar pemikiran dari Peradilan Anak jelas tidak dapat dilepaskan dari tujuan
utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan
bagian integral dari kesejahteraan sosial.1Dengan kalimat terakhir ini tidak harus
diartikan bahwa kesejahteraan atau kepentingan anak itu pada hakikatnya
merupakan bagian dari usaha mewujudkan kesejahteraan sosial.
Pada saat membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Anak yang
konsepnya telah siap tahun 1967, almarhum Sudarto (1981: 140) juga berpendapat
bahwa walaupun didalam Rancangan Undang-Undang (RUU) disebutkan
Pengadilan Anak mengutamakan kesejahteraan anak disamping kepentingan
masyarakat. Namun beliau berpendapat bahwa kepentingan anak tidak boleh
dikorbankan demi kepentingan masyarakat.
1
Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut sejak tahun 1997 telah disahkan
menjadi undang-undang, yaitu Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (selanjutnya disebut UUPA), dengan demikian keinginan untuk
mewujudkan perundang-undangan yang khusus bagi anak, yang mengatur secara
integrative mengenai hukum pidana materil, hukum pidana formil, dan hukum
pelaksaan pidana bagi anak yang melakukan tindak pidana/kenakalan telah
terpenuhi. Dalam undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “Anak adalah orang dalam
perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.”
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, yang dimaksud anak nakal adalah :
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.
Anak nakal yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhi sanksi berupa pidana
atau tindakan. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. Anak yang belum cukup umur enam belas tahun,
apabila melakukan tindak pidana dapat dijatuhi hukuman:
(a) dikembalikan kepada orang tua atau walinya;
(c) dijatuhi pidana dengan dikurangi sepertiga dari maksimum pidana pokok.
Saksi Pidana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak:
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan
pidana tambahan.
(2) Pidana Pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
a. Pidana penjara;
b. Pidana Kurungan;
c. Pidana denda; atau
d. Pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap
Anak Nakal dapat juga dijatuhakan pidana tambahan, berupa perampasan
barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
Selanjutnya penjatuhan sanksi yang berupa Tindakan diatur dalam Pasal 24
sebagai berikut:
(1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;
b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan
(2) Tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai
dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim.
Penjatuhan saksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Anak
(UUPA) didasarkan pada batasan umur tertentu anak yang melakukan tindak
pidana. Misalnya dalam Pasal 5 Undang-Undang Pengadilan Anak (UUPA)
dinyatakan:
1. Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat
dilakukan pemeriksaan oleh penidik.
2. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orangtua,
wali atau orangtua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak
tersebut kepada orangtua asuhnya.
3. Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh
orangtua, wali atau orangtua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak
tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari
Pembimbing Kemasyarakatan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Pengadilan Anak (UUPA) diatas,
dapat diketahui bahwa berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik
terhadap anak yang melakukan tindak pidana yang dibawah umur 8 (delapan)
tahun hanya dapat di jatuhi saksi berupa tindakan:
(2) diserahkan kepada Departemen Sosial.
Salah satunya adalah tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa
Deri Adiputra bin Handoyo selanjutnya disebut sebagai terdakwa, pada bulan 18
Juli sampai dengan Bulan 06 Agustus 2012, bertempat tinggal di Jl.Gatot Subroto
Kantor Pusri Lampa Kelurahan Pahoman, Kecamatan Teluk Betung Utara Bandar
Lampung dan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang berwenang mengadili
perkaranya, telah melakukan perbuatan “dengan sengaja melakukan kekerasan
atau pembunuhan terhadap korban Dwi Komala Sari bin Rasimun Siswi SMK
SMTI. Perbuatan ini dilakukannya kepada teman akrabnya sendiri dengan cara
tipu muslihat dan secara paksa serta menggunakan minuman sprite yang di
campur obat tetes mata insto yang diduga oleh terdakwa ampuh untuk membuat
korban menjadi lemas atau kehilangan kesadaran yang dilakukan dirumah
terdakwa Jl.Gatot Subroto Kantor Pusri Lama Kelurahan Pahoman, Kecamatan
Teluk Betung Utara Bandar Lampung. Jaksa menuntut terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak dibawah umur
serta pemaksaan untuk menguasai seluruh barang korban yaitu Handphone dan
Sepeda Motor Mio J milik korban. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 339 KUHP Jo 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor
3 Tahun 1997. Jaksa menuntut terdakwa dengan pidana penjara yang dapat
dijatuhkan kepada Anak Nakal paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap Tindak Pidana
Pembunuhan yang dilakukan oleh anak ?
b. Apakah yang menjadi dasar Hukum Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan oleh anak pada
Putusan Nomor Perkara 791/Pid.A/2012/PN.TK ?
2. Ruang Lingkup
Penelitian yang dilakuakan dibatasi pada pembahasan materi yang berkaitan
dengan sistem penjatuhan pidana yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. Lokasi penelitian dibatasi pada wilayah hukum
Pengadilan Negeri Tanjung Karang.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a) Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap Tindak Pidana
Pembunuhan yang dilakukan oleh anak.
b) Untuk Mengetahui yang menjadi dasar Hukum Pertimbangan Hakim
dalam menjatuhkan pidana terhadap Tindak Pidana Pembunuhan yang
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis
Untuk menambah pengetahuan penulis dibidang ilmu hukum pidana,
khususnya hukum pidana anak yang berkaitan dengan sistem penjatuhan
sanksi pidana dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak.
b. Secara Praktis
Untuk memberikan masukan bagi penegak hukum berkaitan dengan sistem
penjatuhan pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.2
Penjatuhan sanksi pidana yang dikenakan pada anak yang melakukan tindak
pidana haruslah dipertimbangkan secara hati hati karena penerapan sanksi pada
umurnya mempunyai efek-efek negatif bagi terpidana serta harus cermat
berdasarkan tujuan dan alas an pembenar dari pidana tersebut untuk mendapatkan
jenis sanksi pidana apa yang pantas dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana
2
sesuai dengan berat ringannya kejahatan yang telah dilakukannya dengan tidak
menyimpang dari undang - undang dan hak asasi pelaku sebagai manusia.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.3
Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan seseorang dapat tidaknya ia dipidana
harus memenuhi rumusan sebagai berikut:
a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan. b. Hubungan bathin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan
dengan perbuatannya, berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
c. Tidak ada alasan yang menghapus pertanggungjawaban pidana atau kesalahan bagi pembuat.4
Ruslan Saleh menyatakan:
Janganlah jatuhkan pidana penjara atau pidana kurungan yang tidak
bersyarat jika suatu pidana bersyarat dipandang telah cukup, janganlah
jatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, yang sifatnya adalah panjang
jika suatu pidana waktunya pendek telah dapat menyelesaikan persoalan
itu.5
Penanganan perkara pidana yang pelakunya masih tergolong anak haruslah
ditunjukan pada:
a. Menjatuhkan Kesejahteraan anak (the promotion of well being of the juvenile),
dan
3
Soesilo, R. 1999. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap dengan Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor.
4
Sudarto. 1997. Hukum Pidana. Yayasan Sudarto. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang.
5
b. Prinsip proposionalitas (the principle of proportionality).
Bahwa prinsip memajukan kesejahteraan anak untuk menghindari penggunaan
sanksi yang semata-mata bersifat pidana atau semata-mata bersifat menghukum.
Sedangkan prinsip proporsionalitas digunakan untuk mengekang penggunaan
sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas semata-mata.6
Selain mencakup teori tujuan pemidanaan dalam usaha mewujudkan keadilan
hukum juga mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi
manusia dengan menerapkan beberapa teori-teori dasar pertimbangan hakim.
Adapun teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam
memutus perkara dalam sidang pengadilan antara lain:
a. Teori Kepastian Hukum
Teori kepastian hukum memberikan penjelasan bahwa segala macam bentuk kejahatan dan pelanggaran harus di berikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Dalam teori ini sangat berhubungan erat dengan asas legalitas dalam hukum pidana, bahwa setiap tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan harus diproses dalam sistem peradilan pidana guna menjamin kepastian hukum.
b. Teori Kemanfaatan
Teori kemanfaatan memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan. Jadi sebagai pertimbangan hakim dengan melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi akan tetapi hanya diberikan tindakan rehabilitasi kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya.
6
c. Teori Keadilan
Teori keadilan menjelaskan bahwa dalam menegakkan hukum seorang Hakim juga harus memperhatikan teori keadilan hukum dan juga harus melihat fakta kongkret dalam persidangan. Karena melihat rasa keadilan tidak tepat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, di bawah umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak diganjar dengan hukuman pidana penjara maka Hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan. Nilai hukum dan rasa keadilan Hakim jauh lebih diutamakan dalam mewujudkan hukum yang berkeadilan.
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa hakim wajib memutuskan tiap-tiap perkara, menafsirkan atau
menjelaskan Undang-undang jika tidak jelas dan melengkapinya jika tidak
lengkap. Tetapi penfsiran hakim mengenai undang-undang dan ketentuan yang
dibuatnya itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat umum, tapi hanya berlaku
dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Karena itu secara prinsip, hakim tidak terikat
oleh putusan-putusan hakim lainnya.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep
khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah
yang ingin tahu akan diteliti.7
Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
A. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada
7
pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana
yang terjadi atau tidak.8
B. Pembunuhan
Pembunuhan adalah perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang,
di mana perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang telah diatur dalam
ketentuan yang ada dalam KUHP.9
C. Anak
Dalam Undang-Undang Negera Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 yang
dimaksud dengan anak adalah :
1. Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur
8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah kawin.
2. Anak Nakal adalah :
a. Anak yang melakukan tindaka pidana; atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut
peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.10
c. Dibawah Umur
Anak dalam UU No.3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang
berbunyi: “ Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (deklapan belas)
8
Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Dan Pertanggung Jawaban Pidana. Aksara Bara, Jakarta.
9
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.
10
tahun dan belum pernah menikah .” Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatsi
dengan syarat sebagai berikut: pertama, anak dibatasi dengan umur antara 8
(delapan) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si
anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan
ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat
dalam perkawinan atau perkawinanya putus karena perceraian, maka sianak
dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas)
tahun.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan
tujuan agar pembaca dapat dengan mudah memahami dan memperoleh gambaran
menyeluruh tentang penelitian ini terdiri lima bab, yaitu :
I. PENDAHULUAN
Membahas tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan
kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Membahas mengenai teori-teori pemidanaan, tujuan pemidanaan di Indonesia,
III. METODE PENELITIAN
Mengemukakan langkah-langkah atau cara yang ingin dicapai dalam penulisan
ini, meliputi pendekatan masalah, penentuan sampel dan jenis data, metode
pengumpulan dan pengelolaan data serta analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Memuat tentang pokok-pokok bahasan berdasarkan hasil penelitian, yaitu tentang
karakteristik responden, pengaturan sanksi pidana dalam Undang-undang
Pengadilan Anak, dan sistem penjatuhan pidana yang diatur dalam
Undang-undang Pengadilan Anak.
V. PENUTUP
Memberikan Kesimpulan dan saran dari hasil penelitian sehubungan dengan
A. Teori Pemidanaan
Teori tujuan sebagai Theological Theory dan teori gabungan sebagai pandangan
integratif di dalam tujuan pemidanaan beranggapan bahwa pemidanaan
mempunyai tujuan pliural, di mana kedua teori tersebut menggabungkan
pandanganUtilitariandengan pandanganRetributivist.
Pandangan Utilitarians yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus
menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan dan pandangan
retributivist yang menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabula tujuan yang
Theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip
keadilan.11
Beberapa teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut :
1. Teori Absolut / Retribusi
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan.
Imamanuel Kant memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatif”
yakni seseorang harus dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan
kejahatan sehingga pidana menunjukan suatu tuntutan keadilan. Tuntutan
11
keadilan yang sifatnya absolute ini terlihat pada pendapat Imamanuel Kant
di dalam bukunya“Philosophy of Law”sebagai berikut :
Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat tapi dalam semua hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah melakukan sesuatu kejahatan.12
Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah juga memberikan pendapat
sebagai berikut :
Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana”.13
Artinya teori pembalasan tidak memikirkan bagaimana membina sipelaku
kejahatan, padahal sipelaku kejahatan mempunyai hak untuk dibina dan untuk
menjadi manusia yang berguna sesuai dengan harkat dan martabatnya.
2. Teori Tujuan / Relatif
Pada penganut teori ini memandang sebagaimana sesuatu yang dapat digunakan
untuk mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah
maupun yang berkaitan dengan dunia luar, misalnya dengan mengisolasi dan
memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan menjadikan dunia
tempat yang lebih baik.14
Dasar pembenaran dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya.
Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat kesalahan)
12
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005.Teori-TeoridanKebijakan Pidana. Alumni. Bandung.
13
Samosir, Djisman. 1992.Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia.Bina Cipta. Bandung.
14
melakukan ne peccetur(supaya orang jangan melakukan kejahatan), maka cukup
jelas bahwa teori tujuan ini berusaha mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.15
Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan menjadi
dua istilah, yaitu :
a. Prevensi special(speciale preventie)atau Pencegahan Khusus
Bahwa pengaruh pidana ditunjukan terhadap terpidana, dimana prevensi
khusus ini menekankan tujuan pidana agar terpidana tidak mengulangi
perbuatannya lagi. Pidana berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki
terpidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai
dengan harkat dan martabatnya.
b. Prevensi General (Generale Prevenie) atau Pencegahan Umum
Prevensi General menekankan bahwa tujuan pidana adalaha untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Pengaruh
pidana ditunjukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan maksud untuk
menakut-nakuti. Artinya pencegahan kejahatan yang ingin dicapai oleh
pidana adalah dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada
umumnya untuk tidak melakukuan tindak pidana.
Menurut Johan Andenaes terdapat tiga bentuk pengaruh dalam pengertiannya
prevensi general yaitu :
a. Pengaruh pencegahan.
b. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral.
c. Pengaruh untuk mendorong suatu kebiasaan pembuatan patuh pada hukum.
15
Sehubungan yang dikemukakan oleh Johan Andenaes, maka Van Veen
berpendapat bahwa prevensi general mempunya tiga fungsi,16yaitu :
1. Menegakan Kewibawaan
2. Menegakan Norma
3. Membentuk Norma.
3. Teori Gabungan
Teori gabungan adalah kombinasi dari teori relatif. Menurut teori gabungan,
tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk
melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban dengan ketentuan
beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil.17
Menurut Pellegrino Rossi dalam bukunya “Traite de Droit Penal” yang ditulis
pada tahun 1828 menyatakan : ‘Sekalipun pembalasan sebagai asas dari pidana
bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil,
namun pidana mempunya berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang
rusak dalam masyarakat dan prevensi general’18
Terhadap teori gabungan ini terdapat tiga aliran yang mempengaruh, yaitu :
a. Teori gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, tetapi sifatnya yang
berguna bagi masyarakat. Pompe menyebutkan dalam bukunya “Hand boek
van hetNed.Strafrecht”bahwa pidana adalah suatu sanksi yang memiliki
ciri-ciri tersendiri dari sanksi lain dan terikat dengan tujuan dengan sanksi-sanksi
16
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung.
17
Samosir, Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Bina Cipta. Bandung
18
tersebut karenanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan
kaidah-kaidah yang berguna bagi kepentingan umum.
b. Teori gabungan yang menitikberatkan pertahan tatatertib masyarakat.
Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi tujuannya adalah melindungi
kesejahteraan masyarakat.
c. Teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib
masyarakat.19
Begitu pula Roeslan Saleh mengemukakan, bahwa pidana hakekatnya terdapat
dua poros yang menentukan garis-garis hukum pidana yaitu :
a. Segi Prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi, suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama dengan melakukan pencegahan kejahatan.
b. Segi Pembalasan, yaitu bahwa hukum pidana sekaligus merupakan pula penentu hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu yang bersifat tidak hukum.20
Pada hakekatnya pidana selalu melindungi masyarakat dan pembalasan atas
perbuatan tidak hukum.
Selain itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal
lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai suatu yang akan membawa
kerukunan serta sebagai suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat
diterima kembalidalam masyarakat. Jadi memang sudah seharusnyalah tujuan
pidana adalah membentuk kesejahteraan negara dan masyarakat yang tidak
bertentangan dengan norma kesusilaan dan perikamanusiaan sesuai dengan
Pancasila.
19
Hamzah, Andi. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi. Pradya Paramita. Jakarta.
20
4. Teori Integratif
Teori Itegratif ini diperkenalkan oleh Muladi, guru besar dari Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro:
Dewasa ini masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk leboh memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak-hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Untuk ini diperlukan pendekatan multi dimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual maupun dampak yang bersifat sosial.21
Pendekatan semacam ini mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori
integratif tentang tujuan pemidanaan, yang dapat memenuhi fungsinya dalam
rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana
(individual and social damages).
Pemilihan teori integratif tentang tujuan pemidanaan ini didasarkan atyas
alasan-alasan, baik yang bersifat sosiologis, ideologis, maupun yuridis. Alasan secara
sosiologis dapat diruk pada pendapat yang dikemukakan oleh Stanley Grupp,
bahwa kelayakan suatu teori pemidanaan tergantung pada anggapan-anggapan
seseorang terhadapa hakekat manusia, informasi yang diterima seseorang sebagai
ilmu pengetahuan yang bermanfaat, macam dan luas pengetahuan yang mungkin
dicapai dan penilaian terhadap persyaratan-persyaratan untuk menerapkan
teori-teori tertentu serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk
menemukan persyaratan-persyaratan tersebut.
Alasan secara ideologis, dengan mengutip pendapat Notonagoro, menyatakan :
Berdasarkan Pancasila, maka manusia ditempatkan pada keseluruhan harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dengan
21
kesadaran untuk mengembangkan kodratnya sebagai mahluk pribadi dan sekaligus sosial. Pancasial yang bulat dan utuh itu memberi keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia dengan alam, dalam hubungannya dengan bangsa lain, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahirlah dan kebahagiaan rohani.
Selanjutnya alasan yang bersifat yuridis Muladi menyetujui pendapat Herbert L.
Packer sebagai berikut :
Hanya ada dua tujuan untama dari pemidanaan, yakni pengenaan penderitaan yang setimpal terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan. Teori pemidanaan yang integratif mensyaratkan pendekatan yang integral tujuan-tujuan pemidanaan, berdasarkan pengakuan bahwa ketegangan-ketegangan yang terjadi diantara tujuan-tujuan pemidanaan tidak dapat dipecahkan secara menyeluruh. Didasarkan atas pengakuan bahwa tidak satupun tujuan pemidanaan bersifat definitif, maka teori pemidanaan yang bersifat integratif ini meninjau tujuan pemidanaan tersebut dari segala perspektif. Pidana merupaka suatu kebutuhan, tetapi merupakan bentuk kontrol sosial yang diselesaikan, karena mengenakan penderitaan atas nama tujuan-tujuan yang pencapaiannya merupakan sesuatu kemungkinan.
Berdasarkan alasan-alasan sosiologis, ideologi dan yuridis diatas, Muladi
menyimpulkan sebagai berikut :
Dengan demikian, maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuitis.
Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud diatas adalah :
1. Pencegahan (umum dan khusus);
2. Perlindungan Masyarakat;
3. Memelihara Solidaritas Masyarakat dan
B. Dasar Pertimbangan Hakim
Tujuan pemidanaan bukan merupakan suatu hal yang baru, tetapi dampak dari
pemidanaan yang berkenaan dengan kelanjutan kehidupan terpidana, khususnya
dampak stigmatisasi terhadap terpidana dan keluarganya, menumbuhkan
aliran-aliran dalam hukum pidana yang lebih baru yang mengkreasi jenis-jenis pidana
lain yang dianggap lebih menghormati harkat dan martabat manusia, di samping
ingin mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri. Penjatuhan sanksi pidana harus
merupakan hal yang paling penting dipertimbangkan hakim, karena menyangkut
kepentingan-kepentingan tersebut.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur
bahwa hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim
dalam memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan
itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan
mengenai salah tidaknya seseorang atau benar atau tidaknya suatu peristiwa dan
kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto hakim
memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya;
c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.
Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dalam proses peradilan pidana berperan sebagai pihak yang
memberikan pemidanaan dengan tidak mengabaikan hukum atau norma serta
peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 sebagai berikut:
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembangan dalam
masyarakat.”
Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim
dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung
pembuktian dan keyakinannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP,
yaitu:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Pasal 183 KUHAP tersebut menentukan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana harus memenuhi dua persyaratan yaitu dua alat bukti sah yang ditentukan
secara limitatif di dalam undang-undang dan apakah atas dasar dua alat bukti
tersebut timbul keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Undang-Undang No.
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan
rakyat Indonesia. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Alat bukti yang dimaksud ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan
saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, petunjuk dan keterangan terdakwa menjadi
dasar jaksa dalam membuat tuntutannya. Alat bukti yang cukup dan memiliki
kekuatan pembuktian yang kuat dapat mempermudah jaksa dalam membuat surat
tuntutan. Setelah alat bukti terpenuhi, maka dipertimbangkan pula pemeriksaan
dan pembuktian di persidangan. Hal yang yang berikutnya dipertimbangkan oleh
jaksa adalah hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa. Atas dasar
hal-hal tersebut penuntut umum berdasarkan persetujuan pimpinan menentukan
tuntutan pidana terhadap terdakwa.
C. Tujuan Pemidanaan di Indonesia
Pandangan Utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus
menimbulkan kosekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan. Keadilan tidak boleh
melalui pembebanan penderitaan itu sendiri, selain itu pandangan Retibutivist
menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabila tujaun yang theological
tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-prinsip keadilan,
misalnya penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang
pemidanaan sangatlah penting sebagai pedoman dalam emberikan dan
menjatuhkan pidana.22
Didalam rancangan KUHP baru yang dibuat oleh Tim RUU KUHP BPHN
Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI Tahun 2000 dalam Pasal 50,
tujuan pemidanaan dirumuskan sebagai berikut :
1) Pemidanaan bertujuan untuk :
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum
dan pengayom masyarakat.
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadikannya orang yang lebih berguna.
c. Menyelesaikan langkah yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan
merendahkan martabat manusia.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa pemidanaan
merupakan suatu proses dimana agar proses ini dapat berjalan dan peranan hakim
penting sekali. Pasal tersebut mengkongkritkan danksi pidana yang terdapat dalam
suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu
serta memuat tujuan ganda yang hendak dicapai melalui pemidanaan.
Mengenai tujuan pemidanaan yang tercantum dalam Pasal 47 Konsep Rancangan
KUHP (Baru) tersebut, J.E. Sahetapy menuliskan sebagai berikut :
22
“Tujuan pemidanaan ini sangatlah penting. Ia tidak sanja menyangkut dan
dalam aspek tertentu mempertanyakanraison d’etredari teori-teori pidana.
Pemidanaan yang ada, terutama yang lahi dari kandungan budaya pemikiran barat, melainkan seharusnya Hakim setelah mengkaji segala ratifikasi tindak pidan dan faktor pertanggungjawaban/pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tadi dengan memperhatikan buka saja rasa keadilan dalam kalbu masyarakat, melainkan harus mampu menganalisis relasi timbal balik antara si pelaku dengan si korban”23
Dapat dikatakan bahwa tujuan pemidanaan yang tercantum dalam rancangan
KUHP tersebut meliputi usaha prevensi, koreksi kedamaian dalam masyarakat,
dan pembebasan rasa bersalah para terpidana sehingga tujuan pemidanaan
seharusnya adalah pembinaan sedemikian rupa sehingga terbebas dalam alam
pikiran jahat maupun dari kenyataan sosial yang membelenggu serta membentuk
kesejahteraan negara dan masyarakat selama tidak bertentangan dengan norma
kesusilaan dan prikemanusiaan yang sesuai dengan falsafah dan dasar negara kita,
yakni Pancasila.
Konsesus tujuan pemidanaan merupakan tanggung jawab bersama bagi kita untuk
memikirkan dan merealisasikan khususnya bagi aparat pelaksana dan penegak
hukum. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana merupakan suatu proses
dinamis yang meliputi penilaian secara terus menerus dan seksama terhadapa
sasaran yang hendak dicapai dan konsekuesi yang dapat dipilih dari keputusan
tertentu terhadap hal-hal tertentu yang berhubungan dengan tujuan pemidanaan.24
D. Pengertian Anak
Berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
antara lain telah menetapkan apa yang dimaksud anak, yaitu orang yang dalam
23
Samosir, Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Bina Cipta. Bandung.
24
perkaranya anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur
18 tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 butir 1). Yang dimaksud anak nakal
adalah :
a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang
hidup dan berlaku dalam masyarakat.
Simandjutak menyatakan bahwa kenakalan anak adalah perbuatan anak-anak yang
melanggar norma-norma, baik norma sosial, norma hukum, norma kelompok,
mengganggu ketentraman masyarakat sehingga yang wajib mengambil tindakan
pengasingan.25
Konsep mengenai apa yang dimaksud dengan anak nakal erat hubungannya
dengan pengertian kenakalan anak. Menurut Zakiah Daradjat bahwa :
“Kenakalan anak dipandang sebagai perbuatan yang tidak baik, perbuatan
dosa, maupun sebagai manifestasi dari rasa tidak puas, kegelisahan ialah perbuatan-perbuatan yang mengganggu ketenangan dan kepentingan orang
lain, kadang dirinya sendiri”
Berdasarkan dua pengertian tersebut dapat diketahui bahwa kenakalan anak
mempunyai sifat yang terkelompok menjadi dua bagian besar yaitu :
1. Kenakalan yang bersifat amoral dan anti sosial. Kenakalan ini tidak diatur dalam undang-undang sehingga tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran hukum.
2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum, misalnya mencuri atau dengan kekerasan, penipuan serta pembunuhan atau penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian seseorang.
25
Djoko Prakoso juga menyatakan bahwa istilah anak nakal dirasa kurang tepat dan
kurang mendukung sanksi terhadap penindakan terhadap anak-anak, sehingga
kiranya istilah “anak nakal” tersebut diganti dengan istilah “petindak anak-anak”,
sedangkan tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak digunakan istilah “tindak
pidana anak-anak”. Pengguna istilah tersebut kiranya sudah tepat sebab hanya
seseorang anak yang melakukan suatu tindak pidana yang dapat dipidana yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997.
E. Sanksi Pidana Bagi Anak yang Melakukan Tindak Pidana
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dikatakan bahwa semua anak,
asal jiwanya sehat dianggap mampu bertanggungjawab dan dapat dituntut. Secara
yuridis formal, ketentuan pidana yang berlaku bagi anak-anak telah mendapatkan
jaminan atas kapasitas hukum, terutama Hukum Pidana terdapat beberapa Pasal
didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang secara langsung mengatur
dan menunjuk.
Pasal 45
Dalam hal penentuan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena
melakukan sesuatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, Hakim dapa
menentukan :
Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya
atau pemeliharaanya, tanpa pidana apapun. Ataupun memerintahkan supaya yang
bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan
490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536 dan 540 serta
belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan
atau salah satu pelanggaran tersebut diatas dan putusannya telah menjadi tetap;
atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Pasal 46
( 1 ) Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan pada
pemerintah, maka iah dimasukan dalam rumah pendidikan negara supaya
menerima pendidikan dan pemerintah atau kemudian hari dengan cara
lain, atau diserahkan kepada seseorang tertentu yang bertempat tuingga di
Indonesia atau kepada suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal
yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya
atau kemudian hari atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain dalam
kedua hal diatas a\paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai
umur 18 (delapanbelas) tahun.
( 2 ) Aturan untuk melaksanakan ayat (1) Pasal ini ditetapkan dengan
Undang-undang.
Pasal 47
( 1 ) Jika hakim menjatuhkan pidana meka maksimum pidana pokok terhadap
tindak pidananya dikurangi sepertiga.
( 2 ) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara paling lama limabelas tahun.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 45, 46 dan 47 ini dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Pasal 67
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, dan yang isinya menyatakan :
“Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Pasal 45, 46, dan 47 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan demikian, ketentuan yang mengatur tentan anak yang melakukan tindak
Pidana harus mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur
sanki-sanksi yang dapat dikenakan terhadapa anak sebagaimana ditentukan dalam Pasal
23 sebagai berikut:
( 1 ) Pidana yang dapat dijatuhkan pada anak nakal ialah pidana pokok dan
piana tambahan.
( 2 ) Pidana Pokok yang dapa ditunjuka pada anak nakal ialah :
a. Pidana Penjara
b. Pidana Kurungan
c. Pidana Denda
d. Pidana Pengawasan
( 3 ) Selain Pidana Pokok sebagaimana dimaksud ayat (2) maka terdapat anak
nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan
Selanjutnya terdapat pula beberapa jenis tindakan yang dapat dikenakan pada
anak yang diatur dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, sebagai berikut :
( 1 ) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah :
a. Mengembalikan kepada orangtua, wali atau orangtua asuh
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan
dan latihan kerja, atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja.
( 2 ) Tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai
dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Dalam Konsep KUHP (baru) Tahun 2012 mengenai Pidana dan tindakan bagi
anak diatur dalam Pasal 106 sampai dengan Pasal 123 Konsep KUHP. Ketentuan
tentang Pidana bagi anak diatur dalam Pasal 109 Konsep KUHP sebagai berikut :
( 1 ) Pidana Pokok bagi anak terdiri atas :
a. Pidana Nominal :
1. Pidana Peringatan, atau
2. Pidana Teguran Keras
b. Pidana dengan syarat :
1. Pidana Pembinaan diluar lembaga,
2. Pidana Kerja Sosial, atau
c. Pidana Denda, atau
d. Pidana Pembatasan Pembebasan :
1. Pidana Pembinaan didalam lembaga.
2. Pidana Penjara, atau
3. Pidana Tuntutan.
( 2 ) Pidana Tambahan terdiri atas :
a. Perampasan barang-barang tertentu dan atau tagihan,
b. Pembayaran ganti kerugian, atau
c. Pemenuhan kewajiban adat.
Sedangkan mengenai tindakan diatur Pasal 122, yang isinya sebagai berikut :
( 1 ) Setiap anak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 dan 35 dapat dikenakan tindakan :
a. Perawatan dirumah sakit jiwa,
b. Penyerahan kepada pemerintah, atau
c. Penyerahan kepada seseorang.
( 2 ) Tidanakan yang dapat dikenakan terhadap anak tanpa menjatuhkan Pidana
Pokok adalah :
a. Pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhannya;
b. Penyerahan kepada pemerintah;
c. Penyerahan kepada seseorang;
d. Keharusan meliputi suatu pelatihan yang diadakan oleh pemerintah
ayau badan swasta;
f. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
g. Perbaikan akibat tindak pidana;
h. Rehabilitas; dan
i. Perawatan di lembaga.
Dalam Konsep KUHP ini, ada hal-hal baru yang menarik untuk dikemukakan
berkenaan dengan pemidanaan, yang tidak akan ditemui pada hukum positif kita,
antara lain :
1. Anak pelaku yang belum mencapai umur 12 tahun tidak dapat di
pertanggungjawabkan Pasal 106 ayat (1), serta pidana dan tindakan hanya
berlaku pada anak berusia antara 12 tahun sampai dengan 18 tahun (ayat (2))
2. Penerapan pidana pembatasan kebebasan dalam merupakan upaya terakhir,
khususnya terhadap tindak pidana berat atau yang disertai dengan kekerasan
Pasal 117 ayat (1).
3. Maksimum pidana pembatasan/perampasan kebebasan yang dikenakan
adalah selama-lamanya ½ (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang
diancamkan terhadap orang dewasa Pasal 121 ayat (2).
4. Apabila tindak pidana diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, maka pidana yang dapat dijatuhkan pada anak adalah Pidana
A. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.26
Untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin, maka peneliti perlu
mengadakan pendekatan masalah. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan
masalah yaitu langkah-langkah pendekatan untuk meneliti, melihat, menyatakan
dang mengkaji yang ada padaproyek penelitian, untuk itu penulis menggunakan 2
(dua) cara :
1. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan normative yaitu peendekatan dengan cara studi kepustakaan dengan
menelaah kaidah-kaidah hukum, undang-undang, peraturan dan berbagai literatur
yang kemudian dibaca, dikutip dan dianalisis selanjutnya disimpulkan.
2. Pendekatan Yuridis Empiris
Pendekatan empiris yaitu dengan meneliti sera mengumpulkan data primer yang
telah diperoleh secara langsung pada obyek penelitian melalui wawancara atau
26
interview dengan responden atau nara sumber ditempat obyek penelitian yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari hasil penelitian di
lapangan. Data primer ini didapatkan dengan cara melakukan wawancara
dengan Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Klas IA Tanjung
Karang dan Dosen pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila,
yang berkaitan dengan sistem penjatuhan Pidana dalam Undang-undang
Pengadilan Anak.
2. Data skuder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan.
Skunder diproleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur-literatur dan
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sistem penjatuhan
pidana dalam Undang-undang Pengadilan Anak. Data skunder dalam
penelitian ini :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,
antara lain jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dan KUHP.
b. Bahan Hukum Skunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang,
hasil-hasil penelitian, dan petunjuk teknis maupun pelaksanaan yang
berkaitan dengan sistem penjatuhan pidana dalam Undang-Undang
c. Bahan Skunder Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang
mencangkup bahan-bahan yang member petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan skunder, seperti , kamus,
bibliografi, dan sebagainya.
C. Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh objek dan seluruh individu atau seluruh gejala atau
seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti. Dalam penenlitian ini yang
akan menjadi populasi adalah Hakim pada Pengadilan Negri Kelas IA Tanjung
Karang dan Dosen pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.
Penentuan sampel dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu
penentuan sekelompok subjek yang didasarkan atas pertimbangan maksud dan
tujaun yang telah ditetapkan serta sesuai cirri-ciri tertentu pada masing-masing
responden yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan cirri-ciri
populasi.
Berdasarkan metode sampling tersebut diatas, maka yang menjadi
sampel/responden dalam penelitian ini yaitu :
1. Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang 2 Orang
2. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung 1 Orang +
D. Prosedur Pengumpulan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data skunder, yaitu
melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi, dengan cara
membaca, mencatat, dan mengutip buku-buku referensi yang
berhubungan dengan sistem penjatuhan pidana dalam Undang-undang
Peradilan Anak.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer. Adapun
mengumpulkan data primer dilakukan dengan menggunakan metode
wawancara terpimpin, yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah
disiapkan terlebih dahulu dan dilakukan wawancara secara langsung
dengan responden.
2. Prosedur Pengelolaan Data
a. Editing, yaitu data yang diperoleh dari penelitian diperiksa dan diteliti
kembali mengenai kelengkapan, kejelasan, dan kebenarannya,
sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.
b. Interprestasi, yaitu menghubungkan, dan menguraikan data serta
mendeskripsikan data dalam bentuk uraian, untuk kemudian ditarik
c. Sistematisasi, yaitu penyusunan data secara sistematis sesuai dengan
pokok permasalahan, sehingga memudahkan analisis data.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis
kualitatif, yaitu menggambarkan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil
penelitian, dengan menguraikan secara sistematis untuk memperoleh kejelasan
dan memudahkan pembahasan. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis data
tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan metode
induktif, yaitu suatu metode penarikan data yang didasarkan pada fakta-fakta yang
bersifat khusus, untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum, guna
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pertanggungjawaban atas tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh
seseorang merupakan hal yang harus dilaksanakan seseorang akibat perbuatan
atau kesalahannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Seorang
yang dapat dikatakan bersalah jika seseorang tersebut memenuhi unsur-unsur
kesalahan. Adapun unsur-unsur kesalahan adalah melakukan perbuatan
pidana, mampu bertanggung jawab, dengan sengaja atau tidak sengaja dan
tidak ada alasan pemaaf. Selain memenuhi unsur kesalahan,
pertanggungjawaban pidana seseorang ditentukan oleh kemampuan terdakwa
untuk bertanggung jawab. Terdakwa Deri Adiputra bin Handoyo dalam
perkara ini dapat disimpulkan mampu bertanggung jawab karena saat
melakukan perbuatan maupun memberikan keterangan di persidangan berada
dalam kondisi sehat jasmani dan rohani, serta tidak ditemukan adanya alasan
pembenar dan atau alasan pemaaf, sehingga terdakwa dipandang mampu
Pertanggungjawaban pidana dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh
terdakwa Deri Adiputra bin Handoyo terhadap Dwi Komalasari bin Rasimun
berdasarkan ketentuan Pasal 339 KUHP Jo Pasal 26 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tersebut di atas,
pertanggungjawaban pidana yang harus ditanggung oleh terdakwa adalah
pidana penjara ½ (satu per dua) dari hukuman orang dewasa yaitu paling lama
10 (sepuluh) tahun penjara.
2. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana kepada terdakwa Deri
Adiputra bin Handoyo yang telah melakukan pembunuhan terhadap Dwi
Komalasari bin Rasimun, didasarkan Pasal 339 KUHP Jo Pasal 26 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
terdakwa diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama ½ (satu per
dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa yaitu paling
lama 10 (sepuluh) tahun penjara, namun disini lain Hakim tidak memikirkan
dampak negatif apa yang akan terjadi dari hukuman pidana 10 (sepuluh) tahun
penjara yang telah diberikan kepada terdakwa sedangkan terdakwa masih
tergolong anak dibawah umur, dalam kasus ini hakim hanya melihat atau
memandang perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh teradakwa serta
hakim hanya menjalankan kewajiabannya untuk untuk memutuskan pidana
berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan dan yang menurutnya adil
bagi masyarakat dan korban, oleh ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP,
serta memuat pula hal-hal yuridis dan non yuridis. Pertimbangan hakim yang
bersifat yuridis dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana
tindak pidana yang dilakukan berdasarkan pembuktian dan fakta persidangan
yang terungkap. Pertimbangan yang bersifat non yuridis adalah hal yang
memberatkan dan meringankan terdakwa.
B. Saran
Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan dasar pertimbangan
hakim dalam pertanggungjawaban pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak
dibawah umur (Studi Putusan Perkara No 791/Pid.A/2012/PN.TK)) sebagai
berikut:
1. Hakim harus memperhatikan dan mempertimbangkan kembali dalam
memberikan hukuman pidana penjara kepada terdakwa karena dalam
memberikan hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara dapat mengakibatkan
turunnya mental terdakwa dikarenakan terdakwa masih tergolong anak
dibawah umur.
2. Hakim harus melihat kembali dampak yang kan terjadi pada terdakwa karena
hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara bukanlah waktu yang singkat,
dikarenakan terdawka masih tergolong anak dibawah umur hukuman penjara
yang diberikan kepada terdakwa bisa saja berdampak negatif, hukuman yang
diberikan bukan menimbulkan sifat jera akibat perbuatannya atau benar-benar
menyadari kesalahannya, namun sebaliknya dikarenakan ruang lingkup
didalam penjara, terdakwa mendapatkan wawasan yang luas dalam
(Skripsi)
Mohammad Yusfaneri
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Pemidanaan ... 13
B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana ... 20
C. Tujuan Pemidanaan di Indonesia ... 22
D. Pengertian Anak ... 24
E. Sanksi Pidana bagi Anak yang Melakukan Tindak Pidana ... 26
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 32
B. Sumber dan Jenis Data ... 33
C. Populasi dan Sampel ... 34
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data ... 35
No. 791/Pid.A/2012/PN.TK ... 37
B. Pertanggungjawaban Pidana Pembunuhan
yang Dilakukan Anak Dibawah Umur... 40
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Pembunuhan yang Dilakukan Oleh Anak Dibawah Umur... 47
V. PENUTUP
A. Kesimpulan... 59
B. Saran... 61