• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN LAMPUNG DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENJUALAN OBAT TRADISIONAL TANPA IZIN EDAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN LAMPUNG DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENJUALAN OBAT TRADISIONAL TANPA IZIN EDAR"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENJUALAN OBAT TRADISIONAL TANPA IZIN EDAR

Oleh : Elfina Roza

Pengobatan tradisional biasanya menggunakan obat tradisional atau yang biasa dikenal di Indonesia dengan istilah jamu sebagai sarana penyembuhan. Obat tradisional sendiri mempunyai bemacam-macam jenis, manfaat maupun fungsi untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Obat tradisional yang tidak terdaftar dianggap sebagai obat yang berbahaya, terdapat jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM-RI) merupakan lembaga resmi yang mendapat wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap obat dan makanan yang beredar di masyarakat ,termasuk peredaran obat tradisional yang tidak terdaftar maupun obat tradisional yang di curigai mengandung bahan kimia obat. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peran penyidik pegawai negeri sipil Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan-Bandar Lampung sebagai unit pelaksanaan tugas Badan POM-RI di daerah ( Propinsi ) dalam penegakan hukum terhadap penjualan obat tradisional tanpa izin edar dan apakah faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap penjualan obat tradisional tanpa izin edar oleh penyidik pegawai negeri sipil BBPOM-Bandar Lampung.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan didukung dengan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

(2)
(3)

Oleh Elfina Roza

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

(Skripsi)

Oleh Elfina Roza

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………. 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 10

E. Sistematika Penulisan ………. 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum Pidana ... 16

B. Pengertian Tindak Pidana ... 19

C. Tindak Pidana Peredaran Obat TradisionalTanpa Izin Edar………. 27

D. Pengaturan dan Pengawasan Peredaran Obat Tradisional…….…… 29

E. Tinjauan Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan……….….. 31

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah……….…………..……….. 34

B. Sumber dan Jenis Data……….…………..……….. 34

C. Penentuan Populasidan Sampel ………..……….. 35

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data….…....…..……….. 36

(6)

B. Peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil BBPOM Dalam Penegakan

Hukum Terhadap Penjualan Obat Tradisional Tanpa Izin Edar ... 38 C. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Penegakan Hukum Tindak

Pidana Peredaran Obat Tradisional Tanpa Izin Edar Oleh

Penyidik Pegawai Negeri Sipil BBPOM……….... 52

V. PENUTUP

A. Kesimpulan………..………. 58

B. Saran ………. 59

(7)

Azwar Agoes dan T.Jacob. 1992.Antropologi Kesehatan Indonesia. EGC, Jakarta. Anief. Moh. 1997. Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta.

Atmasasmita, Romli, 2012Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif.Genta Publshing. Yogyakarta.

Chazawi, Adam, 2002, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lamintang, PAF, 1984,Delik-delik khusus, Sinar Baru, Bandung. Moeljatno, 1983,Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Nawawi Arief, Barda, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Projodikoro, Wirjono, 1986.Asas-Asas hukum Pidana Indonesia, Eresco, Bandung. Raharjo, Satjipto, 1983,Masalah Penegakan Hukum.Sinar Baru, Bandung,

Soekanto, Soerjono, 2005, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

_________________, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Sunarso, Siswanto. 2004, Penegakkan Hukum Psikotropika, Graha Widya, Yogyakarta.

Sudarto, 1986,Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

(8)

Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 99a/Menkes/SK/III/1982

(9)

A. Latar Belakang

Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa maka diperlukan pembangunan di bidang kesehatan yang merata, terarah, terpadu dan berkesinambungan.

(10)

kesadaran, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

Pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut semua segi kehidupan baik fisik, mental maupun sosial ekonomi. Dalam perkembangan pembangunan kesehatan selama ini, telah terjadi perubahan orientasi di bidang kesehatan yang dipengaruhi oleh politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu diperlukan upaya kesehatan yang merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat.

Upaya kesehatan yang semula dititikberatkan pada upaya penyembuhan penderita secara berangsur-angsur berkembang kearah keterpaduan upaya kesehatan yang menyeluruh dimana upaya kesehatan tersebut meliputi :

1. Upaya peningkatan kesehatan (promotif) 2. Pencegahan penyakit (preventif)

3. Penyembuhan penyakit (kuratif) 4. Pemulihan Kesehatan (rehabilitatif).1

Keempat hal di atas harus dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan dan dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan masyarakat (Penjelasan UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Penyelenggaraan upaya kesehatan di atas dilaksanakan dengan berbagai cara, salah satunya melalui

1

(11)

pengobatan tradisional yaitu dengan menggunakan bahan alam. Pengobatan tradisional merupakan salah satu upaya pengobatan dan perawatan cara lain diluar ilmu kedokteran maupun ilmu keperawatan.

Pengobatan tradisional ini biasanya menggunakan obat tradisional atau yang biasa dikenal di Indonesia dengan istilah ”jamu” sebagai sarana penyembuhan. Obat tradisional sendiri mempunyai bemacam-macam jenis, manfaat maupun fungsi untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Selain obat tradisional juga terdapat jenis obat yang disebut sebagai obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandarisasi. Sedangkan yang dimaksud dengan fitofarmaka yaitu sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi.2

Adanya perkembangan jenis produk obat bahan alam tidak hanya dalam bentuk Obat Tradisional tetapi juga dalam bentuk Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka , maka perlu adanya pedoman tata cara pembuatan obat tradisional yang baik sehingga apa yang diproduksi dapat terjamin mutunya. Meskipun obat tradisional dapat menyembuhkan namun banyak kejadian seseorang menderita akibat keracunan obat tradisional (jamu). Dari sini dapat dikatakan bahwa obat tradisional atau jamu bisa bersifat penyembuhan dan juga bisa bersifat sebagai racun. Obat tradisional atau jamu bersifat sebagai sarana penyembuhan penyakit apabila digunakan dengan dosis dan

2

(12)

waktu yang tepat. Jadi apabila sebaliknya maka akan bersifat racun. Oleh karena itu pengobatan tradisional yang umumnya menggunakan obat tradisional perlu dibina dan diawasi oleh pemerintah untuk diarahkan agar dapat menjadi pengobatan maupun perawatan yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. Selain itu perlu ditingkatkan pula pengendalian dan pengawasan lalu lintas penggunan obat tradisional baik dalam proses produksi, peredaran maupun pengkonsumsiannya.

Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan bertanggung jawab atas pengendalian dan pengawasan obat tradisional sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.. Setiap obat tradisional yang beredar harus melalui proses penilaian, pengujian dan pendaftaran terlebih dahulu. Penilaian dan pengujian obat tradisional dimaksudkan untuk membuktikan khasiat, aman dan bermutu, bermanfaat nyata atas kebutuhan. Oleh karena itu obat tradisional yang tidak terdaftar dilarang diimpor, didistribusi, disimpan, dan dikonsumsi, sehingga obat tradisional tersebut termasuk kategori yang berbahaya.

(13)

mengandung bahan-bahan asli dari alam yang mana akan berefek atau bereaksi cukup lama terhadap tubuh atau proses penyembuhannya lebih perlahan dan bertahap.3

Seperti yang diketahui bahwa obat tradisional merupakan bahan atau ramuan yang berasal dari bahan alam baik dari tumbuhan maupun hewan yang digunakan untuk pengobatan, sehingga kandungan dari obat tradisional adalah murni dari alam. Apabila dalam obat tradisional mengandung bahan kimia obat berarti disinilah terindikasi adanya pelanggaran terhadap aturan pembuatan ataupun komposisi dari obat tradisional yang diproduksi. Hal yang lebih mengkhawatirkan yaitu jika obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat tersebut beredar dan dijual bebas di tempat penjualan obat maka dapat mengakibatkan kerugian yang sangat fatal bagi orang yang mengkonsumsinya.

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan-Republik Indonesia (BBPOM-RI) merupakan lembaga resmi Non Departemen yang di resmikan pemerintah pada tanggal 31 Januari 2001 ,mendapat wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap peredaran obat tradisional yang tidak terdaftar maupun obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat. Peranan PPNS BBPOM di dibutuhkan dalam penyidikan apabila terjadi tindak pidana bidang kesehatan, karena mereka menguasai bidang tertentu yaitu pengawasan obat dan makanan. Keberadaan BPOM-RI mempunyai fungsi sebagai salah satu unsur operasional dalam penegakan hukum. Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan wewenang kepada PPNS BBPOM untuk melakukan penyidikan terkait adanya pelanggaran.

3

(14)

pidana pengadaan, penyimpanan, penjualan obat-obatan berbahaya. Diberikannya wewenang untuk memudahkan dalam pengungkapan suatu tindak pidana mengingat banyaknya kendala yang dihadapi oleh aparat kepolisian dalam melakukan penyidikan.

Pengawasan dan antisipasi terhadap persoalan ini memang seharusnya dilakukan mengingat masyarakat yang awam terhadap seluk beluk dunia obat-obatan khususnya obat tradisional. Selain itu obat tradisional yang mereka konsumsi terkadang justru menimbulkan dampak yang membahayakan dan merugikan kesehatan. Oleh karena itu, persoalan ini harus mendapat perhatian seruis dari pemerintah jika masalah ini dibiarkan maka akan timbul dampak yang semakin kompleks.

(15)

seringkali fiktif. Tapi pada beberapa kasus sudah dilakukan proses proyustisia dan masuk pengadilan.4

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, orang yang memproduksi dan atau mengedarkan obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat diancam pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta. Tindakan pelanggaran itu, menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, juga diancam hukuman pidana penjara selama lima tahun dan atau denda paling banyak Rp 2 miliar.

Pelanggaran yang terjadi memang dapat diselesaikan melalui peradilan pidana yang dimulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan proses peradilan. Pada awalnya biasanya didahului dengan pelaporan dari pihak-pihak yang mengetahui dilakukannya tindak pidana tersebut, kemudian dilakulan penyelidikan dan penyidikan. Untuk tahap ini menjadi kewenangan Polri, namun dalam menghadapi kasus-kasus tertentu seperti kasus peredaran obat tradisional yang mengndung bahan kimia obat yang termasuk dalam bidang kesehatan, maka pada tahap penyidikannya dilaksanakan oleh penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berwenang dalam melakukan penyidikan tindak pidana peredaran obat tradisional tanpa izin edar adalah penyidik pegawai negeri sipil RI. Namun dalam melaksanakan tugasnya PPNS

BPOM-4

(16)

RI berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri, hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Selain itu tindak pidana yang disidik PPNS BPOM-RI juga dilaporkan ke penyidik Polri dimana dalam hal ini penyidik Polri dapat memberikan petunjuk dan bantuan yang diperlukan kepada PPNS BPOM-RI.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang:“Peran Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Penjualan Obat Tradisional Tanpa Izin Edar”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Untuk mempermudah dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM)-Lampung dalam penegakan hukum terhadap penjualan obat tradisional tanpa izin edar

b. Apakah faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap penjualan obat tradisional tanpa izin edar oleh penyidik pegawai negeri sipil Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM)–Bandar Lampung

2. Ruang Lingkup

(17)

Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada peran penyidik pegawai negeri sipil BBPOM-Lampung dalam penegakan hukum terhadap penjualan obat tradisional tanpa izin edar dan faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukumnya. Sedangkan dalam lingkup bidang ilmu adalah bidang hukum pidana khususnya mengenai penegakan hukum pidana.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan masalah dari judul penelitian itu sendiri untuk memberikan arah yang tepat dalam proses penelitian agar penelitian berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Oleh karena itu peneliti mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini .Adapun tujuan obyektif dan subyektif yang hendak dicapai peneliti adalah sebagai berikut: a. Peran penyidik pegawai negeri sipil Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan

(BBPOM) di Bandar Lampung dalam penegakan hukum terhadap penjualan obat tradisional tanpa izin edar.

(18)

2. Kegunaan Penelitian

Peneliti berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi peneliti maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut penegakan hukum tindak pidana peredaran obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat oleh penyidik pegawai negeri sipil BBPOM.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat mengenai faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum tindak pidana tindak pidana peredaran obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat oleh penyidik pegawai negeri sipil BBPOM.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.5

5

(19)

Teori yang digunakan untuk menganalisa permasalahan dalam skripsi ini adalah teori peranan. Peranan adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa. Soerjono Soekanto menyatakan suatu peranan tertentu dapat dijabarkan ke dalam dasar-dasar sebagai berikut :

a. Peranan Normatif, (Peranan yang sesuai dengan undang-undang), b. Peranan Aktual, (Peranan yang nyata/kenyataan dilapangan), a. Peranan Ideal, (Peranan yang dicita-citakan / diharapkan).6

Berkaitan dengan penegakan hukum, peranan ideal dan peranan yang seharusnya adalah memang peranan yang dikehendaki dan diharapkan oleh hukum dan telah ditetapkan oleh undang-undang. Sedangkan peran yang dianggap oleh diri sendiri dan peran yang sebenarnya dilakukan adalah peran yang telah mempertimbangkan antara kehendak hukum yang tertulis dengan kenyataan-kenyataan, dalam hal ini kehendak hukum harus menentukan dengan kemampuannya berdasarkan kenyataan yang ada.

Berdasarkan teori tersebut, Sunarto mengambil suatu pengertian bahwa:

a. Peranan yang telah ditetapkan sebelumnya disebut sebagai peranan normatif, dalam penegakan hukum mempunyai arti penegakan hukum secara total enforcement, yaitu penegakan hukum yang bersumber pada substansi (substantive of criminal law).

b. Peranan ideal dapat diterjemahkan sebagai peranan yang diharapkan dilakukan oleh pemegang peranan tersebut. Kejaksaan sebagai suatu organisasi formal tertentu diharapkan berfungsi dalam penegakan hukum dapat bertindak sebagai

6

(20)

pengayom bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan ketertiban dan keamanan yang mempunyai tujuan akhir untuk kesejahteraan.

c. Interaksi kedua peranan yang telah diuraikan di atas, akan membentuk peranan faktual yang dimiliki BBPOM.7

Peranan yang dimaksudkan dalam skripsi ini adalah peranan PPNS BPOM-RI yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (legal knowledge ), artinya peran PPNS BPOM-RI yang berkaitan dengan tugas, fungsi dan wewenang dalam penegakan hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menjawab permasalah kedua di atas yaitu faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum, maka dapat menggunakan teori mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut :

a. Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang)

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan

e. Faktor kebudayaan.8

7

(21)

Kelima faktor tesebut diatas saling berkaitan erat karena merupakan esensi dari penegakan hukum, serta juga merupakan tolak ukur daripada efektfitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut diatas sangat tepat digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Perkembangan teknologi dibidang komputer dengan sistem jaringan yang telah diaplikasikan kedalam berbagai faktor kehidupan manusia. Sistem jaringan yang dibentuk telah menciptakan suatu yang disebut dunia maya. Pemanfaatan dunia maya ini dalam perkembangannya menuntut regulasi tersendiri, mengingat banyak dijumpai penyalahgunaan terhadap fasilitas yang ada dalam dunia maya tesebut.

Kompliasi permasalahan dalam dunia maya ini tentu saja memutar pembenahan terhadap sistem hukum secara menyeluruh baik mengenai kultur hukum dan substansi hukum khususnya hukum pidana. Dengan demikian kebujakan hukum pidana menduduki posisi yang strategis dalam perkembangan hukum pidana modern.9

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti.10 Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan

8

Soerjono Soekanto,Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 5

9

Barda Nawawi Arif,Op, Cit.,hlm 23

10

(22)

dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.11

b. Penegakan hukum pidana adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan (sebagai social engineering), memelihara dan mempertahankan (sebagaisocial control) kedamaian pergaulan hidup.12

c. Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional, turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik bersifatmagicmaupun pengetahuan tradisional.13

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembahasan dan memberikan gambaran mengenai sistematika penelitian hukum yang sesuai dengan aturan dalam penelitian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 5 (lima) bab. Adapun penulis menyususn sistematika penelitian hukum sebagai berikut:

11

Sudarto,Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1986), hlm 25

12

Soerjono Soekanto,Op, Cit.,hlm 13

13

(23)

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini berisikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini merupakan penghantar pemahaman terhadap dasar hukum, pengertian-pengertian umum mengenai tentang pokok bahasan mengenai penegakan hukum tindak pidana peredaran obat tradisional tanpaizin edar oleh penyidik pegawai negeri sipil.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan penjelasan dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai penegakan hukum tindak pidana peredaran obat tradisional tanpaizin edar oleh penyidik pegawai negeri sipil dan faktor penghambatnya.

V. PENUTUP

(24)

A. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum Pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, yaitu hukum pidana menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (On Recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.15

Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan ketiga ide inilah yang merupakan hakekat dari penegakan hukum. Penegakan hukum dapat diartikan pula penyelenggaraan hukum oleh petugas penegakan hukum dan setiap orang yang mempunyai kepentingan dan sesuai kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku.16Dengan demikian penegakan hukum merupakan suatu sistem yang menyangkut suatu penyerasian antara nilai dan kaidah serta perilaku nyata manusia. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya, perilaku atau sikap

15

Sudarto,Op, Cit.,hlm 60

16

(25)

tindak itu bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.

Gangguan terhadap penegakan hukum terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku. Gangguan tersebut timbul apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma dalam kaidah-kaidah yang simpangsiur dan pola perilaku yang tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.

Menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan. Walaupun dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian. Sehingga pengertian Law Enforcement

begitu populer. Bahkan ada kecenderungan untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksana keputusan-keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan peundang-undangan atau keputusan pengadilan, bisa terjadi malahan justru mengganggu kedamaian dalam pergaulan hidup masyarakat.17

Penegakan hukum pidana sebenarnya tidak hanya bagaimana cara membuat hukum itu sendiri, melainkan juga mengenai apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, dalam menangani masalah-masalah dalam penegakan hukum pidana yang terjadi dalam masyarakat dapat dilakukan secara penal (hukum pidana) dan non penal (tanpa menggunakan hukum pidana).

17

(26)

1. Upaya Non Penal(Preventif)

Upaya penanggulangan secara non penal ini lebih menitikberatkan pada pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya:

a. Penanganan objek kriminalitas dengan sarana fisik atau konkrit guna mencegah hubungan antara pelaku dengan objeknya dengan sarana pengamanan, pemberian pengawasan pada objek kriminalitas.

b. Mengurangi atau menghilangkan kesempatan berbuat criminal dengan perbaikan lingkungan.

c. Penyuluhan kesadaran mengenai tanggung jawab bersama dalam terjadinya kriminalitas yang akan mempunyai pengaruh baik dalam penanggulangan kejahatan

2. Upaya Penal(Represif)

Upaya penal merupakan salah satu upaya penegakan hukum atau segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih menitikberatkan pada pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang dilakukan dengan hukum pidana yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya. Penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan dan seterusnya merupakan bagian-bagian dari politik kriminil.18 Fungsionalisasi hukum pidana adalah suatu usaha untuk menaggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional untuk memenuhi rasa keadilan dan daya guna.19

18

Sudarto,Op, Cit.,hlm 113.

19

(27)

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif menegakkan hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tertentu yang merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Tahap-tahap tersebut adalah:20

a. Tahap Formulasi

Tahap penegakan hukum pidanain abstractooleh badan pembuat undang-undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislaif.

b. Tahap Aplikasi

Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan-peraturan perundangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang, dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut sebagai tahap yudikatif.

c. Tahap Eksekusi

Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Pada tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat

20

(28)

undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam putusan pengadilan. Dengan demikian proses pelaksanaan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam pelaksanaan tugasnya harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dan undang-undang daya guna.

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai suatu usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jelas harus merupakan jalinan mata rantai aktivitas yang terputus yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

B. Pengertian Tindak Pidana

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut.21 Adapun beberapa tokoh yang memiliki perbedaan pendapat tentang peristilahan

strafbaarfeit” atau tindak pidana, antara lain : 1) Simons

Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan

21

(29)

atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.22

2) Wirjono Prodjodikoro

Tindak pidana merupakan pelanggaran norma-norma dalam 3 (tiga) bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukum pidana.23

3) Pompe

Tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.24 4) R Tresna

Peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.25

Beberapa peristilahan dan definisi diatas, menurut pendapat penulis yang dirasa paling tepat digunakan adalah “Tindak Pidana dan Perbuatan Pidana”, dengan

alasan selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas, sebagai istilah hukum juga sangat praktis diucapkan dan sudah dikenal oleh masyarakat pada umumnya. Menurut Moeljatno, Perbuatan Pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang

22

PAF Lamintang,Delik-delik khusus, Sinar Baru , Bandung,1984, hlm 185.

23

Wiryono Prodjodikoro,Asas-Asas hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Eresco, 1986), hlm. 1

24

PAF Lamintang,Op, Cit, hlm. 182.

25

(30)

dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.26 Menurut Moeljatno, yang dikutib oleh Adam Chazawi perbuatan pidana lebih tepat digunakan dengan alasan sebagai berikut :

1) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.

2) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

3) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan), dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu.27

Sudradjat Bassar menyimpulkan pengertian perbuatan pidana yang didefinisikan oleh Moeljatno bahwa suatu perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut :

1) melawan hukum, 2) merugikan masyarakat, 3) dilarang oleh aturan pidana,

26

Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1983), hlm. 54

27

(31)

4) pelakunya diancam dengan pidana.28

Butir 1) dan 2) menunjukkan sifat perbuatan, sedangkan butir 3) dan 4) merupakan pemastian dalam suatu tindak pidana. Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana didefinisikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum.29 Beliau membedakan istilah perbuatan pidana dengan strafbaarfeit. Ini dikarenakan perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat perbuatan yang terlarang oleh peraturan perundang-undangan. Soedarto memakai istiah tindak pidana sebagai pengganti dari pada

strafbaarfeit, adapaun alasan beliau karena tindak pidana sudah dapat diterima oleh masyarakat.

Terdapat kelompok sarjana yang berpandangan monistis dan dualistis dalam kaitannya dengan tindak pidana. Pandangan monistis berpendapat bahwa semua unsur dari suatu tindak pidana yaitu unsure perbuatan, unsur memenuhi ketentuan undang-undang, unsur sifat melawan hukum, unsur kesalahan dan unsur bertanggungjawab digunakan sebagai satu kesatuan yang utuh, sehingga memungkinkan untuk dijatuhkan pidana kepada pelakunya. Mereka yang berpandangan dualistis, memisahkan perbuatan dengan pertanggungjawaban pidana dalam pengertian jika perbuatan tersebut telah memenuhi unsur yang terdapat dalam rumusan undang-undang, maka perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Mengenai pelaku tersebut, dalam hal pertanggungjawaban pidana, masih harus ditinjau secara tersendiri, apakah pelaku tersebut mempunyai

28

Adam Chazawi,Op, Cit, hlm. 2.

(32)

kualifikasi tertentu sehingga ia dapat dijatuhi pidana. Sebagai contoh apabila pelaku mengalami gangguan jiwa maka ia tidak dapat dipidana.

Adanya pandangan tentang kedua paham tersebut diatas, maka sangat berpengaruh terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (penyertaan). Sebagai contoh, A bersama dengan B melakukan pengrusakan terhadap barang milik C, maka menurut pandangan monistis maka A dan B semua dipenjara. Sedangkan menurut pandangan dualistis, jika A dan B (sehat akalnya semua), maka A dan B dapat dipidana tetapi apabila A (sehat akalnya) dan B (tidak sehat akalnya) maka A dapat dipidana dan B tidak dapat dipidana karena mengalami gangguan jiwa (tidak sehat akalnya) sesuai dengan Pasal 44 KUHP yang dalam pasal tersebut seseorang yang mengalami gangguan jiwa tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. Ini dikarenakan dalam pandangan dualistis, pertanggungjawaban pidana dipisahkan dengan perbuatan pidana para pelaku.

Indonesia menganut Paham Dualistis, terbukti dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 KUHP yang mengatur tentang tidak dipidananya seseorang walaupun telah melakukan suatu tindak pidana karena alasan-alasan tertentu, yaitu :

1) Cacat jiwa; 2) Daya paksa;

3) Pembelaan terpaksa;

(33)

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tindak pidana yang diberikan beberapa tokoh memiliki perbedaan, tetapi secara prinsip intinya sama. Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) segi yaitu :

a. Unsur Subyektif

Yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subyektif tindak pidana meliputi :

a) Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); b) Niat atau maksud dengan segala bentuknya; c) Ada atau tidaknya perencanaan;

b. Unsur Obyektif

Merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah yaitu dalam keadaan mana tindak pidana itu dilakukan dan berada diluar batin si pelaku.

a) Memenuhi rumusan undang-undang b) Sifat melawan hukum;

c) Kualitas si pelaku;

d) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab tindakan dengan akibatnya.

(34)

3. Jenis Tindak Pidana

Menurut sistem KUHP, dibedakan antara Kejahatan terdapat dalam Buku II dan Pelanggaran dimuat dalam Buku III. Kejahatan adalah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan meskipun peraturan perundang-undangan tidak mengancamnya dengan pidana. Sedangkan Pelanggaran atau tindak pidana undang-undang adalah perbuatan yang oleh masyarakat baru dirasa sebagai tindak pidana karena ada peraturan perundangundangan yang mengaturnya. Menurut M.v.T (Memorie van Toelichting) yang dikutib oleh Moeljatno, bahwa kejahatan adalah “rechtsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagi perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran

adalah “wetsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada ketentuan yang menentukan demikian.30

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pembagian atas kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada berat ringannya pidana. Kejahatan terdapat dalam Buku II, dan Pelanggaran diatur dalam Buku III. Ancaman pidana dalam kejahatan relatif lebih berat daripada pelanggaran. Beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat dari : a) Dalam hal percobaan, hanya kejahatan yang dapat dipidana, sedangkan

percobaan dalam pelanggaran tidak dipidana.

30

(35)

b) Hal pembantuan, pembantuan dalam hal melakukan tindak pidana kejahatan dapat dipidana, dalam hal pembantuan melakukan tindak pidana pelanggaran tidak dipidana.

c) Dalam hal penyertaan yang dilakukan terhadap tindak pidana menggunakan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan, sedangkan dalam pelanggaran tidak berlaku.

d) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya diberlakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan, dan bukan pelanggaran jabatan.

e) Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan.

f) Dalam hal perbarengan perbuatan (concursus), system penjatuhan pidana dalam concursus kejahatan menggunakan sistem absorbsi yang diperberat, sedangkan dalam concursus pelanggaran menggunakan sistem kumulasi murni.

(36)

Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan menitikberatkan pada akibat yang dilarang atau tidak dikehendaki. Tindak pidana ini baru selesai jika akibatnya sudah terjadi sedangkan cara melakukan perbuatan itu tidak dipermasalahkan. Terdapat tindak pidana formil materiil yaitu terdapat dalam Pasal 378 KUHP tentang penipuan dimana selain menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang yaitu memakai nama palsu/peri keadaan yang palsu juga menitikberatkan pada akibat untuk menghapuskan piutang atau membuat hutang yang merupakan akibat yang dilarang.

C. Tindak Pidana Peredaran Obat Tradisional Tanpa Izin Edar

Pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan oleh pelayanan yang mempergunakan metode kedokteran modern dan metode pengobatan tradisional. Penyediaan obat baik yang modern maupun tradisional merupakan faktor penting dalam pelayanan kesehatan. Pengobatan tradisional dengan obat-obatan tradisional mempunyai latarbelakang sosial budaya masyarakat dan dapat digolongkan sebagai sarana yang tepat guna karena bahan-bahan yang dipakai terdapat disekitar masyarakat itu sendiri, sehingga mudah didapat, murah dan mudah menggunakannya tanpa memerlukan peralatan yang mahal untuk mempersiapkannya.

(37)

Eksudat tumbuhan adalah isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya. Bahan hewani untuk obat tradisional dapat merupakan hewan untuk, bagian hewan ataupun zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan. Sedangkan bahan mineral umumnya merupakan bahan mineral yang belum diolah atau hanya diolah dengan cara sederhana. Obat tradisional meliputi simplisia (bahan-bahan obat tradisional yang telah dikeringkan), jamu gendong, jamu berbungkus dan obat kelompok fitoterapi.31

Kerangka pemikiran pengembangan obat tradisional Indonesia, terutama untuk dapat pengintergrasian dengan pelayanan formal, telah ditetapkan 2 golongan jamu atau obat tradisional Indonesia, yaitu :

1) Golongan Obat tradisional jamu sebagai penyedap.

Bahan baku adalah simplisia yang belum distandarisasikan dan belum pernah diteliti. Bentuk sediaannya masih sederhana, berwujud serbuk seduhan dan rajangan untuk seduhan. Istilah cara penggunaanya masih memakai pengertian tradisional seperti galian singset, sekalor, pegel linu, tolak angin, dll.

2) Golongan Fitoterapi.

Bahan adalah simplisia yang telah mendapatkan standarisasi dan telah dilakukan penelitian atas sediaan galeniknya. Istilah cara penggunaannya menggunakan pengrtian farmakologik seperti diuretika, obstipansia, kholagoga, dll.

31

(38)

Selain itu obat tradisional yang digunakan sebaiknya memenuhi kriteria mudah didapat, dikenal oleh orang banyak, proses penyimpanannya sederhana, mudah digunakan serta tidak berbahaya dalam penggunaannya.

D. Pengaturan dan Pengawasan Peredaran Obat Tradisional

Obat tradisional merupakan salah satu jenis dari sediaan farmasi. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Dengan kata lain sediaan farmasi itu adalah sesuatu hal yang digunakan untuk menunjang pelaksanaan tugas di bidang kesehatan.

Oleh karena pemerintah bertanggung jawab atas pembangunan kesehatan, maka dalam pelaksanaannya diperlukan suatu kebijakan yang menunjang pembangunan dibidang kesehatan yang dalam hal ini adalah mengenai obat. Dalam keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 99a/Menkes/SK/III/1982 menetapkan Sistem Kesehatan Nasional yang didalamnya juga menitikberatkan pembangunan dibidang obat. Unsur-Unsur Kebijakan Obat Nasional terdiri dari :

1) Penilaian, pengujian, pendaftaran 2) Konsepsi daftar obat nasional 3) Pengadaan dan produksi 4) Distribusi dan pelayanan

5) Penandaan, promosi, informasi dan penyuluhan 6) Pemeliharaan mutu

(39)

8) Obat tradisional 9) Sistem Informasi Obat

10) Peraturan Perundang-Undangan 11) Penelitian dan Pengembangan 12) Pengembangan tenaga

Pada dasarnya pengertian peredaran obat dalam hal ini obat tradisional adalah suatu proses peralihan/ pemindahan obat tradisional dari produsen (pembuat obat tradisional) kepada konsumen yang membutuhkan. Namun perlu diketahui bahwa konsumen juga mempunyai hak-hak seperti hak atas kenyamanan, kemanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.32 Berdasarkan hal tersebut maka untuk melindungi konsumen dari peredaran dan penggunaan obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat perlu dilakukan evaluasi melalui pendaftaran sebelum diedarkan.

Tujuan pokok penilaian, pengujian dan pendaftaran obat adalah agar obat yang bererdar terjamin berkhasiat nyata, aman, bermutu baik, serta sesuai kebutuhan maka kebijaksanaan pemerintah dalam pendaftaran ialah setiap obat yang beredar harus melalui proses penilaian, pengujian dan pendaftaran terlebih dahulu. Penilaian dan pengujian obat adalah untuk membuktikan khasiat, aman dan bermutu, bermanfaat nyata atas kebutuhan (Moh.Anief, 1997:50).

Menurut Pasal 2 Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar

32

(40)

dan Fitofarmaka menyatakan bahwa Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka yang dibuat dan/ atau diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar dari Kepala Badan yang mana untuk memperoleh izin edar tersebut harus melakukan pendaftaran.

Tata Cara untuk memperoleh Izin Edar antara lain sebagai berikut : 1) Pendaftaran diajukan pendaftar kepada Kepala Badan POM-RI 2) Pengisian Formulir

3) Pelaksanaan penilaian 4) Pemberian Keputusan

5) Dengar Pendapat (apabila ada keberatan dari pendaftar) 6) Peninjauan Kembali

7) Persetujuan Pendaftaran

Obat tradisional yang sudah memperoleh persetujuan pendaftaran mempunyai masa berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang melalui pendaftaran ulang. Selain itu pendaftar juga wajib melaporkan informasi kegiatan pembuatan obat tradisional secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Kepala Badan POM-RI.

E. Tinjauan Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan

(41)

Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.

Salah satu misi dari BPOM-RI yaitu melindungi kesehatan masyarakat dari risiko peredaran produk terapetik, obat tradisional, produk komplemen dan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat/kemanfaatan serta produk pangan yang tidak aman dan tidak layak dikonsumsi. Dari salah satu misi yang diemban oleh BPOM-RI tersebut diatas selanjutnya perlu diketahui mengenai fungsi BPOM-RI antara lain sebagai berikut:

a. Pengkajian & Penyusunan Kebijakan Nasional di bidang Pengawasan Obat dan Makanan.

b. Pelaksanaan Kebijakan tetentu di bidang Pengawasan Obat dan Makanan. c. Koordinasi Kegiatan Fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM-RI. d. Pemantauan ,Pemberian bimbingan dan Pembinaan terhadap kegiatan Instansi

Pemerintah di bidang Pengawas Obat dan Makanan.

e. Penyelenggaraan Pembinaan & Pelayanan Administrasi Umum di bidang Perencanaan Umum, Ketatausahaan, Organisasi & Tata Laksana.Kepegawaian,Keuangan.Kearsipan ,Persediaan Perlengkapan dan Rumah Tangga.

(42)

Adapun target kinerja Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM-RI ) adalah sebagai berikut :

a. Terkendalinya penyaluran produk terapetik dan NAPZA;

b. Terkendalinya mutu, keamanan dan khasiat/kemanfaatan produk obat dan makanan termasuk klim pada label dan iklan di peredaran;

c. Tercegahnya risiko penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai akibat pengelolaan yang tidak memenuhi syarat;

d. Penurunan kasus pencemaran pangan;

e. Peningkatan kapasitas organisasi yang didukung dengan kompetensi dan keterampilan personil yang memadai;

f. Terwujudnya komunikasi yang efektif dan saling menghargai antar sesama dan pihak terkait.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM-RI ) mempunyai unit pelayanan teknis yang berada di tingkat provinsi yang disebut Balai/Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (B/BBPOM) semisal seperti yang ada di Bandar Lampung. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandar Lampung mempunyai beberapa bidang, salah satunya yaitu Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan. Oleh karena itu, Penyidik Pegawai Negeri sipil di B/BBPOM dalam menjalankan tugasnya berada dalam lingkup bidang tersebut. Secara umum tugas Bidang Pemeriksaan dan Penyidikan BBPOM Lampung meliputi :

(43)

b. Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan pemeriksaan sarana produksi, distribusi dan instansi kesehatan di bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetik dan produk komplemen.

c. Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan pemeriksaan sarana produksi dan distribusi di bidang pangan dan bahan berbahaya.

d. Pelaksanaan penyidikan kasus pelanggaran hukum

(44)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan yang ada serta penegakan hukum di Indonesia.

B. Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini hanya menggunakan data sekunder saja, yaitu data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas, yang terdiri antara lain:

1. Bahan Hukum Primer, antara lain:

(45)

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

c) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dukemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari Literatur, Kamus, Internet, surat kabar dan lain-lain

C. Penetuan Populasi dan Sampel

Populasi yaitu jumlah keseluruhan dari unit analisa yang dapat diduga-duga. Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama. Sampel merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara “purposive sampling” atau penarikan sample yang bertujuan

(46)

Dalam penelitian ini responden sebanyak 2 orang, yaitu :

1. Penyidik Pegawai Negeri Sipil BBPOM Bandar Lampung : 1 orang 2. Penyidik Kepolisian Daerah di Bandar Lampung : 1 orang +

2 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan, dengan studi pustaka dan studi literatur.

a. Studi Pustaka

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari undang-undang, peraturan pemerintah dan literatur hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan. Hal ini dilakukan dengan cara membaca, mengutip dan mengidentifikasi data yang sesuai dengan pokok bahasan dan ruang lingkup penelitian ini.

b. Studi lapangan

(47)

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

E. Analisis Data

(48)

Tetapkan target hidupmu ,laporkan sama Allah SWT ,

(49)

1. Tim Penguji

Ketua : Firganefi, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heriyandi, S.H., M.S. NIP 19621109 198703 1 003

(50)

Dengan ketulusan dan kerendahan hati kupersembahkan karya kecil ini

kepada orang-orang yang terkasih dan mengasihiku :

Kedua orang tuaku tercinta, untuk tiap tetes keringat yang keluar untuk

keberhasilanku dan untuk semangat, nasihat, dorongan dan doa disetiap

shalat dan sujudnya.

(51)

PENJUALAN OBAT TRADISIONAL TANPA IZIN EDAR

Nama Mahasiswa : Elifina Roza No. Pokok Mahasiswa : 0842011009

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Firganefi, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H..

NIP 196131217 198803 2 003 NIP 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(52)

Penulis dilahirkan di kota kecil di Sumatera Barat yakni Batu Sangkar pada tanggal 23 Agustus 1969 dari Papa yang bernama Hi.Zainuir(alm) dan ibu Hj.Marni.

Pendidikan dasar sampai tingkat pertama penulis tempuh di kota tempat penulis dilahirkan dari tahun 1977 sampai tahun 1986 dan untuk tingkat pendidikan sekolah menengah tingkat atas penulis tempuh di Kota Jambi dengan mengikuti pendidikan Sekolah Menengah Farmasi dari tahun 1986 -1989.

(53)

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Peran Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandar Lampung Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Penjualan Obat Tradisional Tanpa Izin Edar”adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

(54)

menyempurnakan skripsi ini;

7. Bapak Drs. Sumaryanta, Apt., M.Si. Selaku Kepala Kantor BBPOM Bandar Lampung kesempatan kepada penulis untuk kerja dan mendapatkan pengalaman bekerja di BBPOM Bandar Lampung;

8. Bapak Drs. Hartadi, Apt. Selaku Kepala Bidang Serlik Kantor BBPOM Bandar Lampung yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi ini; 9. Bapak Drs. Tri Suyanto, Apt. Selaku Kepala Seksi Sertifikasi Kantor BBPOM

Bandar Lampung yang telah membantu penulis dalam proses sertifikasi; 10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik,

membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis;

11. Suami dan anak-anakku tersayang, serta ibundaku tercinta yang telah memberikan dukungan dan semangat.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Bandar Lampung, 14 Februari 2013 Penulis

(55)

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :

(56)

2. Faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap penjualan obat tradisional tanpa izin edar oleh penyidik pegawai negeri sipil BBPOM-Lampung antara lain karena faktor aparatur penegak hukum yang terbatas, jumlah PPNS BBPOM di Bandar Lampung yang tidak seimbang dengan luasnya wilayah kerja. Dengan wilayah kerja Lampung yang luas, sumber daya manusia yang ada di BBPOM Bandar Lampung tergolong sangat kurang mengingat luasnya wilayah yang harus diawasi dan dipantau. Banyaknya tindak pidana yang tidak seimbang dengan jumlah penyidik maka pelaksanaan penyidikan oleh PPNS BBPOM Lampung juga sering terhambat. Selain itu faktor sarana dan prasarana dalam hal anggaran dana Jumlah PPNS BBPOM di Bandar Lampung yang tidak seimbang dengan luasnya wilayah kerja. Faktor lain adalah faktor masyarakat sendiri yang tidak peka terhadap perkembangan-perkembangan permasalahan hukum di Indonesia membuat hasil tugas aparat penegak hukum tidak maksimal.

B. Saran

1. Perlu adanya penambahan jaringan atau institusi BPOM-RI di tingkat kabupaten atau kota yang sekiranya strategis dengan tujuan untuk mempermudah dalam pengawasan, pemantauan dan sosialisasi kebijakan di bidang obat dan makanan sehingga dapat meminimalisasi terjadinya tindak pidana maupun pelanggaran di bidang obat dan makanan.

(57)

Referensi

Dokumen terkait

Spesifikasi pelanggan atau persyaratan pelanggan berisi data atau informasi terstruktur tentang kebutuhan pelanggan dan keinginan berdasarkan hasil penelitian dari kuesioner VoC

On behalf of the Board of Commissioners of PT Summarecon Agung Tbk, I have the pleasure of presenting to you the Annual Report and Audited Financial

I. Pengurugan tanah untuk konstruksi landasan. Pcmbangunan Konslruksi landasan dan paved shoulder. Pada pekerjaan pcngurugan tanah, dalam pelaksanaa!Ulya mcnggunakan alat

[r]

Dalam persoalan industri farmasi/obat di Indonesia, pergeseran termaksud akan terjadi pada produk obat-obatan ala Barat, khususnya yang berasal dari obat dengan cap dagang asli dan

[r]

selalu berusaha meningkatkan kualitas kerja dan intergritas diri atas perusahaanya diantaranya ialah dengan melakukan berbagai pelatihan kerja dan program

Tidak dipungkiri lagi bahwa pada saat ini internet merupakan alat bantu yang sangat berguna bagi manusia dalam menyelesaikan setiap masalah yang ada. Pada Aplikasi ini penulis