KAJIAN
PENYUSUNAN
INDIKATOR
TIPOLOGI
DAN
INDIKATOR
KINERJA
PENGEMBANGAN
KAWASAN
STRATEGIS
NASIONAL
BIDANG
EKONOMI
DI
INDONESIA
LAPORAN
AKHIR
DIREKTORAT
KAWASAN
KHUSUS
DAN
DAERAH
TERTINGGAL
KEMENTERIAN
NEGARA
PERENCANAAN
PEMBANGUNAN
NASIONAL/BAPPENAS
KAJIAN
PENYUSUNAN
INDIKATOR
TIPOLOGI
DAN
INDIKATOR
KINERJA
PENGEMBANGAN
KAWASAN
STRATEGIS
NASIONAL
BIDANG
EKONOMI
DI
INDONESIA
LAPORAN
AKHIR
DIREKTORAT KAWASAN KHUSUS DAN DAERAH TERTINGGAL
KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS
©
LAPORAN
AKHIR
KAJIAN
“PENYUSUNAN
INDIKATOR
TIPOLOGI
DAN
INDIKATOR
KINERJA
PENGEMBANGAN
KAWASAN
STRATEGIS
NASIONAL
BIDANG
EKONOMI
DI
INDONESIA”
BAPPENAS
JAKARTA
2008
Semua pertanyaan, informasi, komentar, dan masukan dapat dialamatkan kepada :
Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP
Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Bappenas
Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta
Telepon/Faksimili : (021) 3926249 Email : suprayoga@bappenas.go.id
Kata Pengantar i
K
A
T
A
P
E
N
G
A
N
T
A
R
Undang‐Undang No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang telah memprioritaskan penataan ruang kawasan strategis nasional dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi (KSN Ekonomi). Pengembangan KSN ekonomi di Indonesia dilatarbelakangi oleh kepentingan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah serta mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Kawasan strategis ekonomi, dalam bentuk Special Economic Zone (SEZ), Free Trade Zone (FTZ), dan sebagainya telah banyak diterapkan di berbagai negara dengan berbagai variasi pendekatan dan model yang berbeda‐beda. Di beberapa negara seperti China dan Singapura, pengembangan kawasan strategis ekonomi menuai kesuksesan besar sehingga menjadi grand strategy bagi pembangunan ekonomi nasional. Model‐model pengembangan kawasan strategis ekonomi di negara lain tersebut perlu dijadikan masukan bagi upaya penyusunan kebijakan maupun upaya implementasi pengembangan KSN ekonomi di Indonesia. Untuk itu diperlukannya pemahaman yang mendalam mengenai tipologi berbagai kawasan strategis ekonomi beserta aspek‐aspek atau indikatornya.
Upaya pengembangan KSN Ekonomi di Indonesia juga perlu diiringi oleh evaluasi kinerja yang berkesinambungan sehingga dapat diketahui perkembangan dan kendala yang dihadapi sebagai upaya perbaikan kebijakan di masa depan. Untuk itu suatu indikator kinerja pengembangan KSN Ekonomi yang bersifat komprehensif sangatlah diperlukan.
Penyusunan kajian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menjadi masukan dalam perencanaan kebijakan pengembangan Kawasan Strategis Nasional, baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang, dan dapat menjadi referensi konseptual dalam pelaksaan kegiatan monitoring dan evaluasi pengembangan KSN ekonomi secara menyeluruh.
Jakarta, Desember 2008
Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal
Suprayoga Hadi
ii Daftar Isi
D
A
F
T
A
R
I
S
I
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi ... .. ii
Daftar Tabel ... v
Daftar Gambar ... vii
Daftar Lampiran ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... I – 1
1.1. Latar Belakang ... I – 1 1.2. Tujuan ... I – 2 1.3. Sasaran ... I – 3 1.4. Keluaran ... I – 3 1.5. Manfaat ... I – 3 1.6. Ruang Lingkup ... I – 3 1.6.1. Lingkup Materi ... I – 3 1.6.2. Lingkup Wilayah ... I – 4 1.7. Tahap Pelaksanaan Kajian ... I – 4 1.8. Sistematika Penulisan Laporan ... I – 4
BAB II TINJAUAN LITERATUR ... II – 1
2.1. Teori Pengembangan Wilayah ... II – 1
2.1.1. Teori Laju Perkembangan dan Pertumbuhan Ekonomi ... II – 1
2.1.2. Teori Pembangunan Seimbang ... II – 3
2.1.3. Teori Pembangunan Tidak Seimbang ... II – 6
2.1.4. Teori Tahapan Perkembangan Ekonomi ... II – 6
2.1.5. Teori Multiplier ... II – 7
2.1.6. Teori Lokasi ... II – 7
2.1.7. Teori Tempat Pemusatan ... II – 8
2.1.8. Teori Jalur Sepusat ... II – 9
2.1.9. Teori Sektor ... II – 9
2.1.10. Teori Pusat Lipat Ganda ... II – 9
2.1.11. Teori Resource Endowment ... II – 10
2.1.12. Teori Export Base ... II – 11
2.1.13. Teori Kutub Pertumbuhan ... II – 11
2.1.14. Indikator Corak dan Laju Pertumbuhan Ekonomi ... II – 13
2.2. Evaluasi Kinerja Program Pembangunan ... II – 14
2.3. Logical Framework Analysis ... II – 16
2.3.1. Analisis Situasi ... II – 16
A. Analisis Stakeholder ... II – 16
B. Analisis Masalah ... II – 16
C. Analisis Tujuan ... II – 17
2.3.2. Analisis Strategi ... II – 17
2.3.3. Matriks Perencanaan Proyek ... II – 17
2.3.4. Implementasi ... II – 18
Daftar Isi iii
BAB III METODOLOGI ... III – 1
3.1. Data dan Sumber Data ... III – 1
3.2. Waktu Pelaksanaan Kajian ... III – 1
3.3. Metode Kajian ... III – 2
3.4. Kerangka Logis Kajian ... III – 2
BAB IV INDIKATOR TIPOLOGI KAWASAN STRATEGIS EKONOMI ... IV – 1
4.1. Tinjauan Konsep dan Implementasi Pengembangan Kawasan Strategis Bidang
Ekonomi di Indonesia dan Pengalaman Beberapa Negara Lain ... IV – 2
4.1.1. Pengalaman Negara Lain dalam Pengembangan Kawasan Perdagangan
Bebas dan Perdagangan Bebas (KPBPB) ... IV – 2
A. Latar Belakang Pengembangan KPBPB ... IV – 2
B. Definisi dan Karakteristik Pengembangan KPBPB ... IV – 3
C. Permasalahan Pengembangan KPBPB ... IV – 5
D. Tujuan dan Sasaran Pengembangan KPBPB ... IV – 7
E. Kategori KPBPB ... IV – 9
F. Bentuk Implementasi Kebijakan Pengembangan KPBPB di Beberapa
Negara ... IV – 9
G. Output KPBPB di Beberapa Negara ... IV – 18
H. Dampak Pengembangan KPBPB ... IV – 20
I. Prastudi Pendirian Kawasan ... IV – 21
4.1.2. Pengalaman Beberapa Negara dalam Pengembangan Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) ... IV – 22
A. Latar Belakang Pengembangan KEK ... IV – 22
B. Definisi dan Kriteria KEK ... IV – 22
C. Permasalahan Pengembangan KEK ... IV – 23
D. Tujuan Pengembangan KEK ... IV – 24
E. Lokasi, Luas Kawasan, dan Jenis Aktifitas Bisnis ... IV – 25
F. Pembentukan dan Pengelolaan KEK ... IV – 28
G. Output dan Dampak Pengembangan KEK ... IV – 35
4.1.3. Pengalaman Indonesia dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi .. IV – 40
A. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) ... IV – 40
B. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) ... IV – 42
4.2. Analisis Tipologi Pendekatan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
dan Kawasan Ekonomi Khusus di Beberapa Negara ... IV – 46
BAB V INDIKATOR KINERJA KAWASAN STRATEGIS EKONOMI ... V – 1
5.1. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) ... V – 1
5.1.1. Analisis Situasi ... V – 1
A. Analisis Stakeholder ... V – 1
B. Analisis Masalah ... V – 2
C. Analisis Tujuan ... V – 5
5.1.2. Indikator Kinerja ... V – 6
A. Logframe Matrix ... V – 6
B. Deskripsi dan Metode Pengukuran Indikator ... V – 8
5.2. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) ... V – 13
5.2.1. Analisis Situasi ... V – 13
A. Analisis Stakeholder ... V – 13
B. Analisis Isu dan Permasalahan ... V – 14
C. Analisis Tujuan ... V – 18
iv Daftar Isi
A. Logframe Matrix ... V – 21
B. Deskripsi dan Metode Pengukuran Indikator ... V – 23
5.3. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ... V – 32
5.3.1. Analisis Situasi ... V – 32
A. Analisis Stakeholder ... V – 32
B. Analisis Masalah ... V – 33
C. Analisis Tujuan ... V – 34
5.3.2. Indikator Kinerja ... V – 37
A. Logframe Matrix ... V – 37
B. Deskripsi dan Metode Pengukuran Indikator ... V – 38
BAB VI HASIL UJI COBA INDIKATOR KINERJA KAWASAN STRATEGIS EKONOMI ... VI – 1
6.1. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) ... VI – 1
6.1.1. Hasil Uji Coba Indikator KAPET ... VI – 1
6.1.2. Deskripsi KAPET Parepare Berdasarkan Indikator Kinerja KAPET ... VI – 4
6.1.3. Kesimpulan ... VI – 20
6.2. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) ... VI – 22
6.2.1. Hasil Uji Coba Indikator KPBPB ... VI – 22
6.2.2. Deskripsi ... VI – 23
A. Deskripsi Kinerja Batam Pasca Pemberlakuan KPBPB ... VI – 24
B. Deskripsi Kinerja Batam Sebelum Pemberlakuan KPBPB (Periode 2003 –
2007) ... VI – 33
6.2.3. Kesimpulan ... VI – 38
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... VII – 1
7.1. Kesimpulan ... VII – 1
7.2. Rekomendasi ... VII – 4
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Daftar Tabel v
D
A
F
T
A
R
T
A
B
E
L
Tabel 3.1 Data Sekunder ... III – 1 Tabel 4.1 Perkembangan FPZ di Dunia ... IV – 3 Tabel 4.2 Pemilik Investasi di FTZ ... IV – 5 Tabel 4.3 Luas FTZ di Singapura ... IV – 10 Tabel 4.4 FEZ di Korea ... IV – 11 Tabel 4.5 FTZ di Republik Korea ... IV – 11 Tabel 4.6 Luas FTZ di Korea ... IV – 11 Tabel 4.7 Waktu Pendirian dan Ukuran FEZ di Korea ... IV – 12 Tabel 4.8 Fasilitas FTZ di Singapura ... IV – 12 Tabel 4.9 Kinerja FTZ Masan ... IV – 18 Tabel 4.10 Kinerja FTZ di China ... IV – 19 Tabel 4.11 Kondisi Implementasi FTZ Berbasis Industri Manufaktur di Korea ... IV – 19 Tabel 4.12 FTZ Berbasis Industri Logistik di Korea ... IV – 20 Tabel 4.13 Lokasi, Luas, dan Jenis Aktivitas Bisnis di SEZ China ... IV – 26 Tabel 4.14 Ukuran Kawasan Prosesing Eksport (EPZ) ... IV – 26 Tabel 4.15 Beberapa Contoh Lokasi SEZ di India, disertai Luas dan Jenis Aktivias Bisnis ... IV – 26 Tabel 4.16 Kebijakan Pengembangan FEZ di Korea ... IV – 34 Tabel 4.17 Tingkat Pertumbuhan Ekspor dari SEZ di India ... IV – 37 Tabel 4.18 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan PDB Singapura Tahun 1980‐2008 ... IV – 38 Tabel 4.19 Pemetaan Konsep Pendekatan dan Implementasi Pengembangan Kawasan
Bidang Ekonomi di Indonesia ... IV – 45 Tabel 4.20 Analisisi Tipologi Pendekatan dan Model Implementasi Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas ... IV – 46 Tabel 4.21 Analisisi Tipologi Pendekatan dan Model Implementasi Kawasan Ekonomi Khusus .. IV – 47 Tabel 5.1 Peran dan Kepentingan Stakeholder yang Terkait dalam Pengembangan KAPET ... V – 12 Tabel 5.2 Indikator Kinerja KAPET ... V – 7 Tabel 5.3 Stakeholder dan Peran/Kepentingannya dalam Pengembangan KPBPB ... V – 13 Tabel 5.4 Logframe Matrix Indikator Kinerja KPBPB ... V – 21 Tabel 5.5 Stakeholder KEK ... V – 32 Tabel 5.6 Indikator Kinerja KEK ... V – 37 Tabel 6.1 Tingkat Kendala Pengukuran Indikator Kinerja KEK ... VI – 3 Tabel 6.2 Rencana Pengembangan Prasarana dan Sarana KAPET Parepare Tahun 2005 –
2008 ... VI – 5 Tabel 6.3 Rencana Bisnis Pengembangan komoditi Unggulan di Wilayah KAPET Parepare
Tahun 2005‐2008 ... VI – 7 Tabel 6.4 Jumlah Pusat Pembangkit, Daya Terpasang, dan Daya Mampu di Cabang/Unit PLN
di Wilayah KAPET Parepare Tahun 2007 ... VI – 11 Tabel 6.5 Jumlah Pelanggan Daya Tersambung dan Energi Terjual di Tiap Cabang/Unit di
Wilayah KAPET Parepare Tahun 2007 ... VI – 11 Tabel 6.6 Komposisi Rumah Tangga di Wilayah KAPET Parepare Berdasarkan Sumber Air
vi Daftar Tabel
Tabel 6.10 Panjang Jalan Berdasarkan Jenis Permukaan di Wilayah KAPET Parepare Tahun
2006 ... VI – 13 Tabel 6.11 Panjang Jalan Berdasarkan Kondisi di Wilayah KAPET Parepare Tahun 2006 ... VI – 13 Tabel 6.12 Jumlah Kendaraan Bermotor di Wilayah KAPET Parepare Tahun 2007 ... VI – 13 Tabel 6.13 Jumlah Bongkar Muat Barang Pelabuhan di Wilayah KAPET Parepare Tahun 2007 .. VI – 14 Tabel 6.14 Jumlah Penumpang Angkutan Laut di Wilayah KAPET Parepare Tahun 2007 ... VI – 14 Tabel 6.15 Jenis Pelayanan dan Lama Waktu Pemrosesan KPP Kota Parepare ... VI – 15 Tabel 6.16 Perkembangan Investasi di Wilayah KAPET Parepare ... VI – 17 Tabel 6.17 Rencana Investasi di Wilayah KAPET Parepare Tahun 2006 ... VI – 18 Tabel 6.18 PDRB Wilayah KAPET Parepare Tahun 2003‐2007 Atas Dasar Harga Konstan Tahun
2000 ... VI – 18 Tabel 6.19 Kontribusi PDRB Wilayah KAPET Parepare terhadap PDRB Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2003‐2007 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 ... VI – 19 Tabel 6.20 PDRB Wilayah Sekitar KAPET Parepare Tahun 2002‐2006 Atas Dasar Harga Konstan
Tahun 2000 ... VI – 19 Tabel 6.21 Penilaian KAPET Parepare Ditinjau dari Indikator Kinerja KAPET ... VI – 20 Tabel 6.22 Tingkat Kendala Pengukuran Indikator Kinerja KPBPB ... VI – 22 Tabel 6.23 Pengukuran Indikator Kinerja KPBPB Ke‐1 ... VI – 25 Tabel 6.24 Pengukuran Indikator Kinerja KPBPB Ke‐2 ... VI – 26 Tabel 6.25 Jumlah Izin yang Keluar melalui Pusat Pelayanan Perizinan Terpadu (2001 ‐ 2006)
di Batam ... VI – 30 Tabel 6.26 Capaian Pembangunan Prasarana dan Sarana Wilayah di Batam ... VI – 34 Tabel 6.27 Realisasi Penyediaan Prasarana dan Sarana Pelabuhan Kargo Hingga Tahun 2007 ... VI – 34 Tabel 6.28 Realisasi Penyediaan Prasarana dan Sarana Pelabuhan Penumpang Tahun 2007 ... VI – 35 Tabel 6.29 Kesimpulan Kinerja KPBPB Batam ... VI – 39
Daftar Gambar vii
D
A
F
T
A
R
G
A
M
B
A
R
Gambar 2.1 Hipotesis Christaller ... II – 8 Gambar 2.2 Kronologi Terjadinya Area Pelayanan Heksagonal ... II – 8 Gambar 2.3 Teori Pola Penggunaan Tanah di Kota ... II – 10 Gambar 2.4 Logical Framework Approach ... II – 18 Gambar 3.1 Kerangka Logis Kajian ... III – 2 Gambar 4.1 Tahapan Penentuan Indikator Tipologi Kawasan Strategis Ekonomi ... IV – 1 Gambar 4.2 Peta Beberapa Lokasi SEZ di China ... IV – 25 Gambar 5.1 Pohon Permasalahan Pengembangan KAPET ... V – 5 Gambar 5.2 Pohon Tujuan Pengembangan KAPET ... V – 6 Gambar 5.3 Pohon Masalah Pengembangan KPBPB ... V – 19 Gambar 5.4 Pohon Tujuan Pengembangan KPBPB ... V – 20 Gambar 5.5 Pohon Permasalahan Pengembangan KEK ... V – 34 Gambar 5.6 Pohon Tujuan Pengembangan KEK ... V – 36 Gambar 6.1 Peta Wilayah KAPET Parepare ... VI – 2 Gambar 6.2 Komoditi Unggulan KAPET Parepare ... VI – 6 Gambar 6.3 Sistem Perijinan Satu Atap (SINTAP) Kota Parepare ... VI – 16 Gambar 6.4 Perkembangan Investasi di Wilayah KAPET Parepare ... VI – 17 Gambar 6.5 Batas‐Batas Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (Sesuai
PP 46/2007) ... VI – 25
viii Daftar Lampiran
D
A
F
T
A
R
L
A
M
P
I
R
A
N
Lampiran 1 Kuesioner Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
Lampiran 2 Kuesioner Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Lampiran 3 Kuesioner Kawasan Ekonomi Khusus
Lampiran 4 Revisi UU 13/2003 yang Diusulkan oleh Pemerintah, DPR, dan Asosiasi Pengusaha Indonesia
(APINDO)
Lampiran 5 Jenis, Dasar Hukum, Biaya, dan Standar Waktu Perizinan di Pusat Pelayanan Perizinan
Terpadu di Kota Batam
Lampiran 6 Prosedur/Mekanisme Pelayanan Perizinan di Batam
Bab I 1
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR
BELAKANG
Undang‐Undang no. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang telah memprioritaskan penataan ruang kawasan strategis nasional dari sudut pandang ekonomi (selanjutnya disebut KSN Ekonomi), antara lain, Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), serta Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas. Pengembangan kawasan strategis ekonomi nasional tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah serta mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Pengembangan KSN EKonomi perlu dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek, mulai dari kepastian regulasi dan hukum, perencanaan dan penganggaran, efektivitas kelembagaan, kemudahan pelayanan perizinan, dukungan infrastruktur, insentif fiskal, kepastian keamanan, dan aspek lainnya dalam rangka mewujudkan iklim berusaha yang kondusif. Hal ini diperlukan agar fungsi kawasan strategis nasional untuk meningkatkan pertumbuhan dan menjadi alat untuk pengurangan ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat berjalan efektif.
2 Bab I
semua provinsi. Core business kawasan atau core commodity adalah penghela pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat memberikan efek berganda serta efek turunan pengembangan perekonomian dalam kerangka pengembangan wilayah KAPET. Untuk pengembangannya, perlu kebijakan yang tepat dan konsisten misalnya menyangkut penyediaan berbagai fasilitas insentif baik fiskal maupun non fiskal, sehingga kebijakan tersebut dapat menarik investor untuk berperan aktif mengembangkan usahanya atau investasinya di KAPET.
Jenis KSN Ekonomi lainnya adalah Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau Free Trade Zone (FTZ). Kesepakatan pembentukan organisasi perdagangan dunia Tahun 1992 telah membuka pintu seluas‐luasnya bagi era perdagangan bebas, tanpa terkecuali di negara‐negara ASEAN seperti Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara anggota ASEAN yang meratifikasi kesepakatan pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO), yang berimplikasi pada kebijakan Pemerintah Indonesia untuk turut mengambil langkah membuka kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Indonesia yang disebut dengan FTZ / KPBPB, yang saat ini telah diterapkan di Sabang dan Batam. Tantangan yang muncul pada KPBPB di Sabang, Batam, Bintan dan Karimun menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas antara lain lalu lintas kegiatan perdagangan akan semakin mudah masuk maupun keluar karena akan dibebaskan dari bea masuk dan cukai.
KSN Ekonomi yang saat ini tengah dibahas pembentukannya adalah Kawasan Ekonomi Khusus. Kawasan ini diharapkan dapat menjadi katalisator reformasi ekonomi secara luas dan keseluruhan pada periode jangka menengah dan panjang, dan merupakan model pembangunan yang terintegrasi antara zona ekspor, zona industrial dengan kawasan (permukiman, pariwisata, utilitas, komersial, dan pelabuhan,), yang pengembangannya tidak hanya memerlukan insentif fiskal maupun non fiskal, tetapi lebih kepada kepastian keamanan dan kepastian hukum.
Beragamnya KSN ekonomi di Indonesia sering menimbulkan pertanyaan mengenai keterkaitan antara satu kawasan dengan kawasan lainnya. Di sisi lain, terdapat beberapa pengalaman sukses di negara lain dalam pengembangan kawasan strategis ekonomi yang terintegrasi, misalnya di Singapura, India, China, Korea, Taiwan, dan sebagainya. Pada kenyataannya, pendekatan pengembangan kawasan ekonomi di berbagai negara sangat bervariasi. Untuk itu diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai tipologi pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi beserta aspek‐aspek/indikator pembedanya, yang didasarkan pada pengalaman pengembangan di negara lain yang telah sukses menerapkan pendekatan ini, untuk menjadi masukan bagi penyusunan kebijakan pengembangan KSN ekonomi di Indonesia.
Upaya pengembangan KSN Ekonomi juga perlu diiringi oleh suatu upaya evaluasi kinerja pengembangan kawasan yang dapat melihat kinerja pengembangan kawasan secara komprehensif, mulai dari sisi proses, output, outcome, hingga dampak. Selama ini evaluasi kinerja yang dilakukan terhadap kawasan startegis ekonomi biasanya terlampau makro, misalnya dengan hanya mempertimbangkan indikator PDB wilayah, tanpa melihat kinerja proses yang seringkali membuat hasil evaluasi menjadi bias. Oleh karena itu perlu disusun indikator kinerja masing‐masing jenis KSN Ekonomi yang mampu dijadikan instrumen untuk mengevaluasi kinerja kawasan secara menyeluruh dari mulai proses hingga dampak dari pengembangan kawasan tersebut
1.2.
TUJUAN
Kajian ini bertujuan untuk menghasilkan indikator tipologi, indikator kinerja, dan gambaran kinerja pengembangan KSN ekonomi, yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pemangku kepentingan yang terkait dengan pengembangan KSN ekonomi.
Bab I 3
1.3.
SASARAN
Sasaran yang harus dicapai dalam kajian ini adalah :
Teridentifikasinya indikator tipologi KSN dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dan pengurangan ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Teridentifikasinya indikator kinerja pengembangan KSN dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dan pengurangan ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Terpetakan gambaran kinerja pengembangan KSN dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dan pengurangan ketimpangan antarwilayah.
1.4.
KELUARAN
Kajian ini diharapkan menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk laporan sebagai masukan kebijakan, serta sebagai instrumen bagi para pemangku kepentingan dalam mengembangkan KSN Ekonomi , baik dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian dan evaluasi.
1.5.
MANFAAT
A. Bagi Pemerintah Pusat dan Daerah
Dokumen hasil kajian ini diharapkan menjadi referensi bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam mendukung dan memberikan kontribusi terkait dengan pengembangan kawasan strategis nasional, serta diharapkan sebagai jembatan masukan bagi RKP dan RPJMN 2010‐2014.
B. Bagi Pelaku Usaha (Swasta)
Oleh karena kawasan strategis nasional sebagian besar diharapkan dapat digerakkan oleh prakarsa dunia usaha atau masyarakat, maka dokumen kajian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk meningkatkan minat investasi sektor swasta di kawasan strategis nasional.
C. Bagi Masyarakat
Dokumen kajian ini tidak hanya untuk kepentingan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pelaku usaha, namun juga dapat menjadi referensi bagi kalangan perguruan tinggi yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan sektor riil, serikat buruh/pekerja, LSM, sehingga dapat menjadi acuan untuk meningkatkan peran aktifnya di dalam proses perencanaan, implementasi, evaluasi berbagai kebijakan yang terkait, termasuk memberikan kritik dan saran bagi perbaikan hasil kajian ini lebih lanjut.
Kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi seluruh pemangku kepentingan agar menjadi lebih lebih mudah menyusun/mengarahkan kebijakan secara terukur di dalam mendorong percepatan pengembangan kawasan strategis nasional, untuk mengejar pertumbuhan dan pemerataan ekonomi daerah, dalam rangka pengurangan ketimpangan pembangunan antarwilayah.
1.6.
RUANG
LINGKUP
1.6.1.
Lingkup
Materi
Materi yang akan dibahas dalam kajian ini meliputi :
1. Tinjauan terhadap literatur yang terkait dengan pengembangan kawasan. 2. Tinjauan terhadap kebijakan pengembangan kawasan di daerah.
4 Bab I
5. Penentuan variabel dan indikator pengembangan kinerja implementasi kawasan.
6. Pemetaan terhadap implementasi pengembangan kawasan di wilayah studi berdasarkan variabel dan indikator yang telah disusun.
7. Perumusan kesimpulan dan saran dalam pengembangan kawasan.
1.6.2.
Lingkup
Wilayah
Lingkup wilayah kajian ini meliputi Kawasan Strategis Nasional bidang ekonomi, seperti yang tercantum dalam UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, yaitu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Industri, Kawasan Berikat, dan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (KPBPB).
Mengingat cakupan wilayah kajian ini yang sangat luas, maka dipilih secara sengaja (purposive) kawasan‐kawasan yang dianggap terbaik berdasarkan hasil kajian sebelumnya untuk sebagai wilayah studi, yaitu :
1. KAPET Pare‐Pare di Provinsi Sulawesi Selatan
2. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam di Provinsi Kepulauan Riau
1.7.
TAHAP
PELAKSANAAN
KAJIAN
Tahapan pelaksanaan kajian meliputi : 1. Pengumpulan data dan informasi di pusat 2. Pengumpulan data dan informasi di daerah 3. Tinjauan dan analisis :
a. Tinjauan literatur pengembangan KSN ekonomi b. Tinjauan kebijakan pengembangan KSN ekonomi
c. Tinjauan implementasi pengembangan kawasan strategis ekonomi di beberapa negara d. Identifikasi tipologi/kriteria KSN ekonomi
e. Identifikasi indikator kinerja pengembangan KSN ekonomi
f. Gambaran kinerja pengembangan KSN ekonomi di wilayah studi berdasarkan variabel dan indikator yang telah disusun.
4. Penyusunan laporan yang terdiri dari : a. Laporan pendahuluan
b. Laporan sementara c. Laporan akhir
1.8.
SISTEMATIKA
PENULISAN
LAPORAN
Penulisan laporan kajian mengenai “Penyusunan Indikator Tipologi dan Indikator Kinerja Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi di Indonesia” terdiri dari 7 (tujuh bab), yaitu :
Bab I Pendahuluan
Bab I membahas mengenai latar belakang penyusunan kajian, serta tujuan, sasaran, keluaran, dan manfaat dari kajian. Pada Bab I juga dibahas mengenai ruang lingkup dan tahapan kajian.
Bab II Tinjauan Literatur
Pada Bab II mengulas berbagai teori yang terkait dengan pengembangan wilayah. Selain itu, Bab II juga mengulas mengenai teori‐teori yang digunakan dalam analisis kajian ini, yaitu evaluasi kinerja program pengembangan, logical framework analysis (LFA), serta analisis input‐output.
Bab I 5 Bab III Metodologi
Setelah mengulas teori‐teori yang dijadikan dasar dalam analisis kajian, maka pada Bab III akan mengulas secara ringkas mengenai metodologi kajian, yaitu data dan sumber data, waktu pelaksanaan, metode, dan kerangka logis kajian.
Bab IV Indikator Tipologi Kawasan Strategis Ekonomi
Sesuai dengan tujuan dan sasaran kajian, pada Bab IV akan dibahas mengenai indikator tipologi kawasan strategis ekonomi di Indonesia. Dalam rangka menghasilkan indikator tipologi tersebut, maka pada Bab IV membahas akan kajian literatur dan pengalaman pengembangan kawasan strategis ekonomi di beberapa negara yang kemudian menghasilkan karakteristik konsep dan bentuk implementasi pengembangan kawasan strategis ekonomi. Dari sini, kemudian dilakukan identifikasi karakteristik kawasan strategis ekonomi di beberapa negara dan Indonesia.
Bab V Indikator Kinerja Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi
Tujuan dan sasaran kajian selanjutnya dibahas dalam Bab V mengenai indikator kinerja pengembangan pada setiap kawasan strategis ekonomi, yaitu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Pada setiap kawasan dilakukan analisis stakeholder, masalah, dan tujuan yang menghasilkan matriks indikator kinerja. Kemudian, setiap indikator dideskripsikan mengenai dasar pemikiran, verifikasi data, dan cara pengukuran.
Bab VI Hasil Uji Coba Indikator Kinerja Kawasan Strategis Ekonomi
Bab VI merupakan kelanjutan dari Bab V, yaitu menguji coba indikator kinerja kawasan strategis ekonomi. KAPET diujicobakan di KAPET Parepare, Provinsi Sulawesi Selatan, dan KPBPB di Kota Batam dan Kota Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.
Bab VII Kesimpulan dan Rekomendasi
Bab VII berisi kesimpulan dan rekomendasi bagi pengembangan kawasan strategis ekonomi di Indonesia, dan juga dalam mengevalusi kinerja kawasan tersebut di masa datang.
Bab II 1
BAB
II
TINJAUAN
LITERATUR
Pada bab ini akan membahas mengenai beberapa literatur yang menjadi pijakan dalam kajian ini. Pertama akan memaparkan teori‐teori pengembangan wilayah, terutama yang berkenaan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah. Kemudian dilanjutkan dengan bahasan mengenai evaluasi kinerja program pembangunan dan logical framework analysis (LFA) yang menjadi metode analisis pada kajian ini.
2.1.
TEORI
PENGEMBANGAN
WILAYAH
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Beberapa hasil pemikiran para ekonom dunia terdahulu tentang teori pertumbuhan ekonomi, diketahui tingkat dan laju pertumbuhan suatu perekonomian ditentukan oleh 4 hal : luas tanah (termasuk kekayaraan alam yang dikandung di dalamnya), jumlah dan perkembangan penduduk, jumlah stok modal dan perkembangannya dari tahun ke tahun, tingkat teknologi guna perbaikan dari tahun ke tahun (Sukirno, 2007). Hal itu diuraikan seperti berikut :
2.1.1.
Teori
Laju
Perkembangan
dan
Pertumbuhan
Ekonomi
1. Teori Adam Smith : perkembangan penduduk akan mendorong pembangunan ekonomi, karena memperluas pasar yang akan meningkatkan tingkat spesialisasi dalam perkonomian. Sebagai akibat spesialisasi maka tingkat kegiatan ekonomi akan bertambah tinggi, karena spesialisasi akan meningkatkan produktiftas tenaga kerja dan mendorong perkembangan teknologi dan inovasi. Jika sudah terjadi pertumbuhan ekonomi maka proses tersebut akan berlangsung terus menerus dari masa ke masa dimana pendapatan per kapita akan terus bertambah tinggi.
2 Bab II
kembali tingkat pembangunan ke taraf yang lebih rendah. Pada tingkat ini pekerja akan menerima upah yang sangat minimal. Kemajuan teknologi tidak dapat menghalangi terjadinya
stationary state (suatu keadaan dimana perkembangan ekonomi tidak terjadi sama sekali). 3. Teori Schumpeter : pertumbuhan ekonomi negara dari masa ke masa perkembangannya sangat
tidak stabil dan keadaannya sangat ditentukan oleh besarnya kemungkinan untuk pembentukan modal yang menguntungkan yang akan dilakukan pengusaha. Keadaan kemakmuran dan depresi datang silih berganti. Pembangunan ekonomi diciptakan oleh inisiatif dari golongan pengusaha yang inovatif atau golongan entrepreneur yaitu golongan masyarakat yang mengorganisikan dan menggabungkan faktor‐faktor produksi lainnya untuk menciptakan barang‐barang yang diperlukan masyarakat. Penemuan yang mereka ciptakan (invention) belum merupakan pembaharuan dalam masyarakat dan belum merupakan pembangunan ekonomi selama belum ada usaha untuk menggunakan penemuan tersebut untuk memproduksi barang‐barang yang diperlukan masyarakat.
4. Teori Harrod‐Domar : sebagai upaya menutup kelemahan atau perluasan dari analysis Keynes mengenai kegiatan ekonomi nasional dan masalah penggunaan tenaga kerja. Analysis Keynes
dianggap kurang lengkap karena tidak menyinggung persoalan mengatasi masalah‐masalah ekonomi dalam jangka panjang. Dalam teori Harrod‐Domar, pembentukam modal dipandang sebagai pengeluaran yang akan menambah kesanggupan perekonomian untuk menghasilkan barang maupun sebagai pengeluaran yang akan menambah permintaan seluruh masyarakat. Pertambahan dalam kesanggupan memproduksi ini tidak sendirinya akan menciptakan pertambahan produksi dan kenaikan pendapatan nasional. Pertambahan produksi dan pendapatan nasional bukan ditentukan oleh pertambahan dalam kapasitas memproduksi tetapi oleh kenaikan pengeluaran masyarakat. Teori ini mengupayakan persyaratan apa saja yang diperlukan untuk mencapai steady growth (pertumbuhan yang mantap), dimana pertambahan efektif kapasitas memperduksi barang‐barang modal yang baru suatu negara adalah ratio produksi modal (produktifitas modal) dikalikan dengan besarnya pembentukan modal yang dilakukan. Pertambahan dalam pendapatan nasional hanya tercipta dari penambahan penanaman modal. Artinya apbila pennaman modal lebih rendah dari yang seharusnya maka perekonomin atrersebut akanmengalami depresi, dan sebaliknya apabila penananman modal lebih besar dari pada penanaman yang diperlukan untuk menjamin tercapainya kapasitas penuh dalam pengunanan barang‐barang modal yang tersedia, maka perekonomian suatu negara akan mengalami inflasi.
5. Teori Neo Klasik : laju tingkat pertumbuhan yang dapat dicapai suatu negara tergantung pada tingkat perkembangan teknologi, penanaman modal dalam menciptakan pendapatan negara (produksi marjinal modal) dikalikan dengan tingkat perkembangan stok modal, dan peranan tenaga kerja dalam menciptakan pendapat negara (produktifitas marjinal tenaga kerja) dikalikan dengan tingkat pertambahan tenaga kerja. Teori Neo‐Klasik menganut faham bahwa perkembangan wilayah selalu berada dalam keseimbangan yang dinamis (equilibirium). Teori ini menjelaskan saling keterhubungan antara komponen‐komponen pertumbuhan ekonomi, seperti modal, tabungan, buruh, teknologi dan pertumbuhan penduduk. Menurut teori ini, mekanisme pasar bekerja untuk mengoreksi ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam perkembangan ekonomi. Dengan perkataan lain, dari pandangan Neo‐Klasik, development adalah proses yang bersifat kumulatif dan diatur oleh mekanisme penyeimbangan (equilibrating mechanism). Proses perkembangan ekonomi bersifat unlinear, dalam arti kata padanan tahap‐tahap perkembangan yang bersifat defenitif, dimana seluruh bangsa‐bangsa akan mengalaminya. Arthur lewis memandang bahwa aliran kapital cenderung bergerak dari wilayah yang tingkat upah buruhnya rendah, sedangkan tenaga buruh mengalir dengan arah sebaliknya, sampai terjadi keseimbangan baru lagi. Diasumsikan equilibrium terjadi dalam keadaan pasar yang sempurna. Tokoh‐tokoh pencetus teori Neo‐Klasik : Robert M. Solow, T. W. Swan (Sukirno S, 2007).
Bab II 3
2.1.2.
Teori
Pembangunan
Seimbang
1. Rosenstein‐Rodan yang menggagas program pembangunan di Eropa selatan dan Tenggara dengan program pembangunan industrialisasi secara besar‐besaran, dimana industrialisasi di daerah yang kurang berkembang merupakan upaya menciptkan pembagian pendapatan yang lebih merata. Menurutnya, pembangunan industri besar‐besaran dan saling berhubungan satu sama lain akan mengurangi biaya produksi dan menciptakan ekonomi ekstern, dimana ada tiga macam ekonomi ekstern yang diakibatkan oleh perluasan pasar yang dijelaskan oleh pandangan Nurkse.
2. Nurkse berpendapat bahwa faktor terpenting yang menentukan luas pasar adalah tingkat produktifitas. Di negara yang sedang berkembang pasarnya sangat terbatas, maka tidak ada ransangan bagi pengusaha untuk menggunakan barang‐barang modal yang up to date, sehingga terbataslah kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang‐barang yang diperlukan pasar. Menurutnya, pasar dapat diperluas dengan melaksanakan program pembangunan yang seimbang, yaitu dalam waktu yang bersamaan dilaksanakan penanaman modal di berbagai industri yang memiliki keterkaitan, sehingga pasar dapat diperluas, karena kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat yang diperoleh dari berbagai industri akan menciptakan permintaan terhadap barang‐barang yang dihasilkan oleh berbagai industri yang dibangun. Pembangunan industri menciptakan pasar bagi industri lain, makin banyak industri yang dibangun maka makin luas pasar sehingga memungkinkan untuk menggunakan modal yang lebih efisien dan intensif. Kedua pandangan ini sebagai pencipta teori pembangunan seimbang dengan penekanan pada kesimbangan aspek “penawaran”.
4 Bab II
ataupun teori Neo‐klasik tentang pertumbuhan ekonomi yang ada pada saat itu tidak dapat diterapkan pada Negara‐negara dengan surplus buruh yang tidak terbatas. Basis model Lewis adalah bahwa ekonomi nasional Negara‐negara yang terbelakang dapat dibagi menjadi dua sektor, yaitu tradisional (agriculture) dan modern (industrial) sektor.
4. Teori Leibenstein : faktor‐faktor yang menghambat pembangunan ekonomi yang yang menyebabkan suatu negara tetap berada pada tingkat pembangunan dan tingkat pendapatan per kapita yang rendah adalah sangat kompleks. Faktor‐faktor yang mempengaruhi lajunya pembangunan ekonomi menjadi dua golongan : kekuatan‐kekuatan yang menurunkan dan yang meningkatkan pendapatan per kapita. Usaha minimum kritis adalah suatu usaha yang menjamin agar kekuatan‐kekuatan yang akan menaikkan pendapatan per kapita mempunyai kemampuan untuk mengatasi kekuatan‐kekuatan yang menurunkan pendapatan per kapita. Empat faktor penentu yang menjadi penentu besarnya usaha minimun kritis adalah : (1) usaha tersebut harus dapat menghindarkan berlakunya disekonomi intern sebagai akibat dari skala kegiatan perusahaan yang terbatas, dalam hal ini penanaman modal harus mencapai suatu tingkat tertentu untuk menjamin tercapainya efisiensi yang tinggi dalam berbagai kegiatan ekonomi, (2) usaha tersebut harus menjamin agar di antara berbagai industri yang dikembangkan tercipta ekonomi ekstern yang cukup besar sehingga memungkinkan berbagai industri memperoleh keuntungan yang cukup untuk mendorong perkembangan kegiatan mereka, dengan kata lain harus ada upaya untuk merangsang industri‐industri untuk menanamkan modal yang diperlukan, (3) besarnya faktor yang menghalangi perkembangan ekonomi, yang bersifat timbul dengan sendirinya (perkembangan jumlah penduduk) dan sebagai akibat dari pembangunan, (4) tergantung pada faktor non ekonomi seperti sikap masyarakat, jumlah dan kualitas pengusaha yang inovatif, kondisi berbagai intitusi sosial. Jika berbagai faktor ini berpengaruh besar dalam menghambat pembangunan, makin besar perombakan sosial yang harus dilakukan, dan makin tinggi pula tingkat usaha minimum kritis yang diperlukan untuk menjamin terciptanya pembangunan yang diharapkan.
5. Teori Rannis ‐ Fei : usaha minimum kritis baru akan tercapai apabila usaha pembangunan menjamin berlakunya beberapa hal yakni kemajuan teknologi yang cukup besar, tingkat pertambahan modal yang cukup tinggi, terciptanya inovasi yang bersifat sangat menguntungkan dengan penggunaan lebih banyak tenaga kerja, pengaruh hukum hasil lebih yang makin berkurang terhadap kegiatan tenaga kerja tidak begitu kuat. Keempat faktor tersebut secara bersama akan menjamin tercapainya tingkat pertambahan kesempatan kerja yang lebih besar di sektor industri dari keseluruhan tingkat pertambahan tenaga kerja (Sukirno S, 2007).
Munculnya teori pembangunan seimbang menimbulkan pertentangan pendapat mengenai kebijakan penanaman modal yang sebaiknya dilaksanakan di negara‐negara berkembang. Kritik terhadap teori pembangunan seimbang oleh Hirschman dan Streeten bahwa program pembangunan tidak seimbang adalah program pembangunan yang lebih sesuai untuk mempercepat proses pembangunan di negara berkembang. Alasannya, berbagai aspek kegiatan ekonomi berkembang dalam laju yang berbeda yang berarti bahwa pembangunan berjalan secara tidak seimbang, kondisi negara‐negara berkembang menghadapi masalah kekurangan sumberdaya. Dengan melaksanakan program pembangunan tidak seimbang, maka usaha pembangunan pada suatu waktu tertentu dapat dipusatkan kepada beberapa kegiatan yang akan mendorong penanaman modal di berbagai kegiatan lain pada masa berikutnya.
Menurut Hirschman untuk menciptakan keadaan perekonomian yang maju terus‐menerus, maka pembangunan harus selalu menghadapi goncangan‐goncangan, disproporsisi dan berbagai ketidakseimbangan karena inilah proses pembangunan yang paling ideal, sebab gangguan dan ketidakseimbangan akan menggalakkan penanaman modal pada masa berikutnya.
Bab II 5
Ada dua hal pembangunan tidak seimbang menurut Hisrchman yaitu pembangunan antar sektor prasarana dan pembangunan sektor produktif. Pembangunan yang tidak seimbang ini ditunjukkan oleh apabila proyek‐proyek yang dilaksanakan memerlukan modal dan sumberdaya melebihi dari yang tersedia, sehingga bagaimana cara untuk menentukan proyek‐proyek yang harus didahulukan agar penggunaan sumberdaya yang tersedia mampu menciptakan tingkat perkembangan ekonomi yang maksimal. Usaha untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia dibedakan dalam dua cara yaitu dipilih secara bergantian (substitusi) apakah akan melakukan proyek A atau B, sedangkan ynag kedua dilakukan dengan pengunduran A atau B. Pemilihan proyek dapat ditentukan dengan menganalisis alokasi sumberdaya di antara sektor modal sosial (prasarana) dengan aktifitas produksi riil (sektor produktif). Ada tiga cara pendekatan yang mungkin dilakukan yaitu : pembangunan tidak seimbang di antara kedua sektor tersebut, pembangunan tidak seimbang dimana pembangunan sektor prasarana lebih ditekankan, pembangunan tidak seimbang dimana sektor produkfif lebih ditekankan. Apabila prasarana lebih dahulu dikembangkan, sektor produktif dapat dikembangkan dengan biaya yang lebih rendah berarti langkah ini mendorong perkembangan sektor produktif. Sebaliknya kalau sektor produktif dikembangkan terlebih dahulu akan timbul masalah kekurangan prasarana, dan ketidakseimbangan ini akan menimbulkan dorongan untuk mengembangkan lebih banyak prasarana. Menurut Hirschman, di dalam suatu negara yang motivasi masyarakatnya sangat terbatas, lebih baik melakukan pembangunan secara berkekurangan daripada berkelebihan kapasitas, artinya kondisi tersebut lebih tepat untuk mendahulukan perkembangan sektor produktif, karena cara pendekatan ini akan menghindari penghamburan penggunaan fasilitas prasarana.
Di dalam sektor produktif, mekanisme perangsang pembangunan yang tercipta sebagai akibat dari adanya hubungan diantara berbagai industri dalam menyediakan barang‐barang yang digunakan sebagai bahan baku untuk industri lainnya, dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu : (1) pengaruh hubungan ke depan (forward linkage effects) tingkat ransangan yang diciptakan oleh pengembangan suatu industri terhadap perkembangan industri‐industri lain yang menggunakan produk industri yang pertama sebagai bahan baku, dan (2) pengaruh hubungan ke belakang (backward linkage effects) tingkat ransangan yang diciptakan oleh pengembangan suatu industri terhadap perkembangan industri‐industri lain yang akan menyediakan bahan mentah kepada industri yang pertama. Dan yang dimaksud dengan pengaruh hubungan ke depan adalah tingkat ransangan yang diciptakan oleh pengembangan suatu industri terhadap perkembangan industri‐industri lain yang menggunakan produk industri yang pertama sebagai bahan bakunya. (Sukirno S, 2007). Tabel input output digunakan untuk mengukur sampai dimana perkembangan suatu industri dapat menciptakan dorongan bagi pengembangan industri lainnya.
6 Bab II
berbagai industri. Kritik terhadap teori pembangunan seimbang yang lain adalah kemungkinan terjadinya disekonomi ekstern yaitu pembangunan yang menghancukan cara‐cara tradisional dalam kegiatan produksi yang kurangmenguntungkan masyarakat sehingga terjadi menimbulkan pengangguran atau pengorbanan sosial.
Selain Hirschman, menurut Fleming apabila faktor‐faktor produksi jumlahnya terbatas maka pengembangan industri besar‐besaran dan secara serentak akan menurunkan efisiensi dan tingkat keuntungan bagi industri. Pembangunan seimbang hanya akan terjadi apabila tambahan modal yang diperlukan mudah diperoleh, upah rendah, tenaga kerja sektor pertanian dapat ditarik ke sektor perindustrian (Sukirno S, 2007).
Singer juga melakukan kritik terhadap teori pembangunan seimbang dimana menurutnya teori pembangunan seimbang tidak memperhatikan negara yang sedang berkembang mengalami kekurangan sumberdaya, sehingga negara berkembang tidak mungkin dapat melaksanakan pembangunan seimbang tersebut secara serempak di berbagai sektor industri dan sektor lainnya.
2.1.3.
Teori
Pembangunan
Tidak
Seimbang
Berbeda dengan teori Neo‐Klasik yang menganut faham bahwa perkembangan wilayah selalu berada dalam keseimbangan yang dinamis, teori tentang ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah mengatakan bahwa wilayah akan berkembang hanya jika didukung oleh pertumbuhan yang tidak seimbang. Para tokoh yang berperan dalam pengembangan teori ini berpendapat bahwa dalam strategi pembangunan, investasi harus dipusatkan pada beberapa sektor saja, tidak didistribusikan pada banyak sector. Teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah (unbalanced growth oleh Hirschman, 1958 dan Mydal, 1957) dimana :
1. Hirschman beragumentasi bahwa dalam strategi pembangunan, investasi harus dipusatkan pada beberapa sektor saja ketimbang didistribusikan pada banyak sektor. Pertumbuhan akan dijalarkan dari sektor‐sektor utama (leading sectors) ke sektor‐sektor lainnya, dan dari suatu industri ke industri lainnya.
2. Didukung oleh pendapat Myrdal bahwa keterbelakangan negara‐negara yang sedang berkembang dapat dijelaskan dengan model “circular causation with cumulative effects” ketimbang oleh model‐model static equilibrium. Selanjutkan ia mengenalkan konsep “backwash dan spread effects” yang serupa dengan tricling down dan polarization effectsnya Hirschman, yang oleh tokoh lain juga dijelaskan bahwa dalam pengembangan industry, pertumbuhan tidak akan terjadi disemua tempat dalam seketika. Pertumbuhan mulai muncul pada titik atau kutub pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda, dan menyebar melalui saluran‐saluran yang luas dan mempunyai pengaruh yang berbeda‐beda pada keseluruhan aspek ekonomi. Disini muncul masalah ketimpangan pendapatan wilayah makin meningkat sampai suatu titik dimana ketimpangan ini mulai menurun kembali. Disimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan wilayah merupakan suatu tahap dan keadaan yang tidak dapat dihindari dalam proses national development. Tokoh‐tokoh yang berperan dalam teori ini antara lain : Hirschman, Myrdal, Francois Perroux, Williamson, Alonso, Kaldor, Dixon dan Thirwall.
2.1.4.
Teori
Tahapan
Perkembangan
Ekonomi
Pembangunan ekonomi dilihat dari teori‐teori pertumbuhan ekonomi yang dicetuskan oleh Rostow
Bab II 7
masyarakat tradisonal menjadi suatu masyarakat modern merupakan suatu proses yang berdimensi banyak. Pembangunan ekonomi hanya dimungkinkan leh adanya kenanikan produktifitas sektor pertanian dan pertambangan sehingga akan terjadi perkembangan pertumbuhan ekonomi. Menurut Rostow, masa lepas landas suatu negara menjadi negara maju berkisar antara 20‐30 tahun. Hal itu terjadi seperti di Inggris, Perancis, Belgia, Amerika Serikat, Jerman, Swedia, Jepang, Rusia, Kanada, Argentina, Turki, India dan China. Untuk menentukan apakah suatu negara sudah mencapai tinggal landas, dapat dianalisis dari :
Terwujudnya kenaikan dalam penanaman modal yang produktif dari 5 % menjadi 10 % dari Produk Nasional Netto.
Terjadinya peningkatan satu atau beberapa sektor industri dengan tingkat laju perkembangan yang tinggi.
Adanya suatu platfom politik, sosial dan institusional baru yang menjamin berlangsungnya : segala tuntutan perluasan di sektor modern, potensi ekonomi eksternal yang ditemukan oleh kegiatan ekonomi lepas landas, sehingga pertumbuhan dapat terus berjalan (Sukirno S, 2007).
2.1.5.
Teori
Multiplier
Multiplier adalah pertambahan pengeluaran yang dikeluarkan oleh masyarakat akan menambah pendapat segolongan masyarakat lainnya. Proses multiplier dalam analisis makroekonomi tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan karena di negara berkembang sektor produksi mempunyai kemampuan terbatas untuk meningkatkan produksi barang apabila permintaan berkembang dengan cepat. Agar proses multiplier berjalan dengan baik, maka perekonomian harus mempunyai sifat‐sifat berikut :
1. Dalam masyarakat terdapat banyak pengangguran dan pengangguran ini tidak saja terdiri dari tenaga kerja yang biasa tetapi harus ada tenaga kerja yang terdidik, tenaga kerja usahawan dan tenaga kerja yang berpengalaman di bidang industri.
2. Berbagai jenis industri terutama industri barang‐barang konsumsi, masih mempunyai kelebihan kapasitas dan dapat dengan mudah memperbesar tingkat produksinya.
3. Bahan–bahan mentah yang diperlukan oleh industri‐industri tersebut dapat diperoleh dengan mudah sehingga tidak akan menjadi hambatan dalam usaha menaikkan produksinya. 4. Barang‐barang yang diproduksikan di dalam negeri mempunyai kualitas yang sama baiknya
dengan barang‐barang yang diimpor dari luar negeri.
2.1.6.
Teori
Lokasi
8 Bab II
2.1.7.
Teori
Tempat
Pemusatan
Teori tempat pemusatan merupakan pusat pelayanan yang Menurut Christaller, pusat‐pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah dengan pola berbentuk heksagon (segi enam). Keadaan seperti itu akan terlihat dengan jelas di wilayah yang mempunyai dua syarat: (1) topografi yang seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan, (2) kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, yang menghasilkan padi‐padian, kayu atau batu bara.
Dalam keadaan yang mempunyai kedua syarat seperti di atas itu akan berkembang tiga hal (Jayadinata, 1999) : (1) tempat jasa niaga akan berkembang secara wajar di seluruh wilayah dengan jarak dua jam berjalan kaki atau 2 x 3,5 = 7 km. Secara teori tiap pusat pelayanan melayani kawasan yang berbentuk lingkaran dengan radius 3,5 km (satu jam berjalan kaki), jadi pusat wilayah layanan akan terletak di pusat kawasan tersebut, teori ini disebut teori tempat pemusatan (central place theory), (2) kawasan‐kawasan berbentuk lingkaran yang saling berbatasan, walaupun bentuk lingkaran adalah paling efisien, akan mempunyai bagian‐bagian yang bertumpang tindih atau bagian‐ bagian yang senjang (kosong), sehingga bentuk lingkaran itu tidak biasa digunakan untuk kawasan atau wilayahnya. Christaller mengemukakan bahwa pusat pelayanan akan berlokasi menurut pola heksagon, sehingga wilayah akan saling berbatasan tanpa bertumpang tindih, dan dalam wilayah akan berkembang lokasi niaga dalam pola heksagon. Yang paling banyak adalah dusun‐dusun sebagai pusat perdagangan yang melayani penduduk wilayah pedesaan. Satu dusun dengan dusun lainnya akan menempuh jarak 7 km.
Gambar 2.1 Hipotesis Christaller
Dalam asumsi yang sama dengan Christaller, Lloyd melihat bahwa jangkauan/luas pelayanan dari setiap komoditas itu ada batasnya yang dinamakan range dan ada batas minimal dari luas pelayanannya dinamakan threshold. (Tarigan, 2006:79). Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dijelaskan model Christaller tentang terjadinya model area pelayanan heksagonal sebagai berikut : 1. Mula‐mula terbentuk area pelayanan berupa lingkaran‐lingkaran. Setiap lingkaran memilik pusat
dan menggambarkan threshold. Lingkaran‐lingkaran ini tidak tumpang tindih seperti pada bagian A dari Gambar 2.2
Gambar 2.2 Kronologi Terjadinya Area Pelayanan Heksagonal
Bab II 9
2. Kemudian digambarkan lingkaran‐lingkaran berupa range dari pelayanan tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih seperti terlihat pada bagian B.
3. Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh dataran yang tidak lagi tumpang tindih, seperti terlihat pada bagian C.
4. Tiap pelayanan berdasarkan tingkat ordenya memilik heksagonal sendiri‐sendiri. Dengan menggunakan k=3, pelayanan orde I lebar heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal pelayanan orde II. Pelayanan orde II lebar heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal pelayanan orde III, dan seterusnya. Tiap heksagonal memiliki pusat yang besar kecilnya sesuai dengan besarnya heksagonal tersebut. Heksagona yang sama besarnya tidak saling tumpang tindih, tetapi antara heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi tumpang tindih, seperti terlihat pada bagian D di atas.
2.1.8.
Teori
Jalur
Sepusat
Untuk penggunaan lahan, dalam pola tata guna tanah perkotaan yang berhubungan dengan nilai ekonomi, terdapat Teori Jalur Sepusat atau Teori Konsentrik (Consentric Zone Theory) E.W. Burgess, yang mengemukakan bahwa kota terbagi sebagai berikut:
1. Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (central business district atau CBD) yang terdiri atas: bangunan‐bangunan kantor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan toko pusat perbelanjaan; 2. Pada lingkaran tengah pertama terdapat jalur alih: rumah‐rumah sewaan, kawasan industri,
perumahan buruh;
3. Pada lingkaran tengah kedua terletak jalur wisma buruh, yakni kawasan perumahaan untuk tenaga kerja pabrik;
4. Pada lingkaran luar terdapat jalur madyawisma, yakni kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja halus dan kaum madya (middle class);
5. Di luar lingkaran terdapat jalur ulang‐alik;
6. Sepanjang jalan besar terdapat perumahan masyarakat golongan madya dan golongan atas atau masyarakat perkotaan. (Jayadinata, 1999)
2.1.9.
Teori
Sector
Selain itu dikenal juga teori sektor (Sector Theory) menurut Humer Hoyt yang mengatakan bahwa kota tersusun sebagai berikut:
1. Pada lingkaran pusat terdapat pusat kota;
2. Pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan kawasan perdagangan;
3. Dekat pusat kota dan dekat sektor tersebut di atas, pada bagian sebelah menyebelahnya, terdapat sektor murbawisma, yaitu kawasan tempat tinggal kaum murba atau kaum buruh; 4. Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan, terletak sektor
madyawisma;
5. Lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, kawasan tempat tinggal golongan atas. (Jayadinata, 1999:130)
2.1.10.
Teori
Pusat
Lipat
Ganda
Teori pusat lipatganda (Multiple Nuclei Concept) menurut R. D. Mc Kenie menerangkan bahwa kota meliputi : pusat kota, kawasan kegiatan ekonomi, kawasan hunian, dan pusat lainnya. Teori ini umumnya berlaku untuk kota‐kota yang agak besar. Menurut teori ini kota terdiri atas:
10 Bab II
1. Pusat kota;
2. Kawasan niaga dan industri;
3. Kawasan murbawisma atau tempat tinggal berkualitas rendah; 4. Kawasan madyawisma atau tempat tinggal berkualitas menengah; 5. Kawasan adiwisma atau tempat tinggal berkualitas tinggi;
6. Pusat industri berat;
7. Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran;
8. Upakota, untuk kawasan madyawisma dan adiwisma; 9. Upakota (suburb) untuk kawasan industri.
Gambar 2.3 Teori Pola Penggunaan Tanah di Kota
2.1.11.
Teori
Resource
Endowment
Dalam pengembangan ekonomi wilayah, terdapat beberapa teori yang terkait dengan sumberdaya dan ekspor, seperti Teori Resource Endowment dari suatu wilayah menyatakan bahwa perkembangan ekonomi wilayah dalam pembangunan bergantung pada sumber daya alam yang di miliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumber daya itu. Dalam jangka pendek sumber daya yang dimiliki suatu wilayah merupakan suatu aset untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan. Nilai dari suatu sumber daya merupakan nilai dan permintaan terhadapnya merupakan permintaan turunan. Suatu sumber daya menjadi berharga jika dapat dimanfaatkan dalam bentuk‐bentuk produksi.