A Logframe Matrix
Tabel 6.22 Tingkat Kendala Pengukuran Indikator Kinerja KPBPB
A. Deksripsi Kinerja Batam Pasca Pemberlakuan KPBPB
Indikator 1 : Tersedianya payung hukum pembentukan KPBPB serta peraturan
pelaksanaannya
Perkembangan Pulau Batam dimulai sekitar tahun 1970, dimana Pemerintah pada awal Orde Baru melihat potensi Batam yang dapat dijadikan sebagai salah satu pilar perekonomian nasional. Pada awalnya Pulau Batam merupakan pangkalan logistik dan operasional yang berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai PN Pertamina. Berdasarkan Keppres No. 74 tahun 1971 Pemerintah menjadikan Batu Ampar sebagai wilayah entreport partikulir yang memberikan implikasi berdatangannya investor asing. Mereka mulai merelokasikan kegiatannya ke Batu Ampar, khususnya industri yang berkaitan dengan peralatan pengeboran minyak lepas pantai. Selanjutnya Pulau Batam dikembangkan sebagai kawasan industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Kawasan Batam mendapatkan insentif fiskal berupa bebas pajak PPN, PPnBM dan bea masuk. Berdasarkan Keppres No. 41 Tahun 1973, tugas Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam adalah sebagai berikut : (1) Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan Pulau Batam sebagai suatu daerah industri; (2) Merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi‐ instalasi prasarana dan fasilitas lainnya; (3) Mengembangkan dan mengendalikan kegiatan pengalihkapalan (transhipment) di Pulau Batam; (4) Menampung dan meneliti permohonan izin usaha yang diajukan oleh para pengusaha serta mengajukannya kepada instansi‐instansi yang bersangkutan; (5) Menjamin agar tata cara perizinan dan pemberian jasa‐jasa yang diperlukan dalam mendirikan dan menjalankan usaha‐usaha di Pulau Batam dapat berjalan lancar dan tertib, segala sesuatunya untuk dapat menumbuhkan minat para pengusaha menanamkan modalnya di Pulau Batam. Keppres tersebut juga memberikan hak pengelolaan lahan kepada Otorita Batam yang kemudian diperkuat dengan adanya SK Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 dan Keputusan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9‐VIII‐1993. Hak pengelolaan lahan tersebut diberikan untuk pengembangan daerah industri, pelabuhan, pariwisata, permukiman, peternakan, perikanan dan lain‐lain usaha yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Untuk menjalankan tugasnya tersebut, struktur organisasi Otorita Batam dipimpin oleh seorang Ketua yang dibantu oleh tiga orang Deputi yaitu Deputi Bidang Operasi, Deputi Bidang Administrasi dan Perencanaan, dan Deputi Bidang Pengawasan dan Pengendalian.
Kedudukan Otorita Batam mulai berubah seiring dengan berlakunya UU No. 53/1999 tentang Pembentukan Kota Batam sebagai Daerah Otonom dan UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pengembangan Kawasan Batam, Otorita Batam bekerja sama dengan pihak Pemerintah Kota Batam. Untuk lebih memaksimalkan pelaksanaan pengembangan serta menjamin kegiatan usaha di bidang perekonomian di Kawasan Batam, maka berdasarkan UU 44 /2007 mengenai Kawasan Perdagangan bebas dan Pekabuhan Bebas, yang kemudian diikuti oleh peneribitan PP 46/2007, Kawasan Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk Jangka waktu 70 tahun
Bab VI 25 dengan kegiatan utama yaitu sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan dan pariwisata. Berdasarkan PP ini, batas‐batas dari KPBPB Batam yang akan mendapat insentif fiskal meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru, sedangkan Pulau Bulan tidak termasuk ke dalam KPBPB.
Gambar 6.5 Batas‐batas Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (sesuai PP
46/2007)
Sebagai penjabaran dari PP 46/2007 telah dibentuk Dewan Kawasan KPBPB melalui penerbitan Keputusan Presiden RI nomor 9 tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Selain itu telah diterbitkan pula Surat Keputusan Dewan Kawasan KPBPB nomor KPTS/6/DK/IX/2008 mengenai pembentukan Badan Pengusahaan Kawasan (BPK) KPBPB Batam yang disahkan 3 bulan lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan yaitu tanggal 31 Desember 2008. Meski demikian hingga penelitian ini disusun, masih terdapat beberapa regulasi pelaksanaan dari PP no. 46/2008 yang belum diterbitkan dan masih dalam proses penyusunan, antara lain Peraturan Menteri keuangan (PMK) mengenai penetapan jumlah dan jenis barang yang diberikan fasilitas serta pelayanan pelimpahan kewenangan dari pusat terkait izin usaha kepada Badan Pengusahaan Kawasan. Belum adanya beberapa regulasi pendukung tersebut menyebabkan pengusaha belum sepenuhnya merasakan kepastian hukum dalam melakukan usaha di Pulau Batam1
Tabel 6.23 Pengukuran Indikator Kinerja KPBPB Ke‐ 1
Pengukuran Ketersediaan
Ketersediaan Regulasi pembentukan KPBPB Ada, PP 46/2008 Ketersediaan regulasi penetapan batas kawasan yang
memperoleh fasilitas
Ada, diatur dalam PP 46/2008
Ketersediaan regulasi pembentukan Dewan Kawasan Ada, diatur dalam Keppres RI nomor 9/2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam
Ketersediaan regulasi pembentukan Badan Pengusahaan
Kawasan
Ada, diatur dalam SK Ketua Dewan Kawasan KPBPB nomor
KPTS/6/DK/IX/2008 tentang BP KPBPB Ketersediaan regulasi penetapan jumlah dan jenis barang
yang diberikan fasilitas
Belum ada
Ketersediaan regulasi pelimpahan kewenangan perizinan Belum ada
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masih ada beberapa regulasi pelaksanaan yang belum selesai, sehingga indikator 1 belum sepenuhnya terpenuhi.
26 Bab VI
Indikator 2 : Tersedianya dokumen perencanaan pengembangan dan pengusahaan KPBPB
Beberapa dokumen perencanaan yang dibutuhkan dalam pengembangan dan pengusahaan KPBPB antara lain masterplan dan business plan KPBPB, rencana penataan ruang (spasial plan), serta rencana pengembangan dan pengusahaan pelabuhan (port masterplan).
Dari sisi perencanaan ruang, telah disusun Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional KPBPB untuk Batam, Bintan, Karimun (BBK) oleh Direktorat Penataan Ruang Wilayah I Ditjen Penataan Ruang Departemen PU yang merupakan tugas pemerintah pusat atau kewajiban dalam rangka implementasi MOU kerjasama pengembangan BBK antara Indonesia‐Singapura. Agar dapat diimplementasikan, saat ini RTR KSN KPBPB BBK tersebut tengah disusun Rancangan Peraturan Presidennya bersama BKTRN dan diupayakan akan disahkan oleh oleh Presiden pada tahun 2009. Hal ini merujuk pada UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, dimana RTR KSN harus ditetapkan dengan Perpres dan selanjutnya harus disinkronkan dengan RTRW Kota Batam (PERDA No 2/2004 tentang RTRW Kota Batam Tahun 2004‐2014). Dengan demikian Pemko Batam tidak perlu lagi menyusun RTR KPBPB Batam.
Dari sisi pengembangan dan pengusahaan kawasan, dokumen yang tengah disusun adalah masterplan dan business plan KPBPB. Hingga penelitian ini disusun, Badan Pengusahaan KPBPB tengah melakukan review terhadap masterplan dan business Plan KPBPB Batam yang rencananya akan disinkronkan dengan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional KPBPB Batam yang sedang disusun oleh Ditjen Penataan Ruang Departemen PU.
Dari sisi kepelabuhanan, Badan Otorita Batam yang mengelola beberapa pelabuhan meliputi Pelabuhan Batu Ampar, Sekupang, Teluk Senimba, Tanjung Uncang, Sagulung, Galang, Telaga Punggur, Kabil, Nongsa Pura, dan Batam Centre, telah mengajukan rencana induk pelabuhan untuk mendapatkan penetapan dari Menteri Perhubungan sejak tahun 2005 sesuai surat No. B/205/KA/IX/2005 tanggal 4 September 2005. Rencana induk pelabuhan meliputi rencana peruntukan lahan dan rencana peruntukan perairan. Berdasarkan rencana induk pelabuhan dapat ditetapkan batas‐batas daerah lingkungan kerja (DLKR) dan daerah lingkungan kepentingan (DLKP) pelabuhan yang dikelola Otorita Batam. Sampai dengan akhir Juni 2007, baru 2 rencana induk pelabuhan Batam yang telah ditetapkan oleh Menteri Perhubungan yaitu Pelabuhan Kabil sesuai Peraturan Menteri Perhubungan No. 62 Tahun 2006 tanggal 7 Nopember 2006 dan Pelabuhan Sekupang sesuai Peraturan Menteri Perhubungan No. KM.7 Tahun 2007 tanggal 7 Maret 2007, sementara pelabuhan lainnya belum ditetapkan rencana induknya. Pengembangan Pelabuhan Batu Ampar misalnya, tampaknya masih menemui hambatan kepastian hukum, karena adanya perbedaan persepsi antara Otorita Batam, dengan Departemen Pehubungan, dimana Departemen Perhubungan cenderung mengembangkan Kabil sebagai entry‐port, sedangkan OB lebih cenderuing mengembangkan pelabuhan Batu Ampar2.
Tabel 6.24 Pengukuran Indikator Kinerja KPBPB Ke‐2
Pengukuran Ketersediaan
Ketersediaan Masterplan dan Business Plan KPBPB Dalam proses review
Ketersediaan Spatial Plan KPBPB Dalam proses penetapan menjadi Raperpres
Ketersediaan Port Masterplan Dari 10 pelabuhan yang dikelola OB, baru dua pelabuhan
yang memiliki rencana induk
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dokumen perencanaan yang mendukung penataan, pengembangan, dan pengusahaan KPBPB belum seluruhnya tersedia. Dengan demikian indikator 2 dapat dinilai belum terpenuhi.
2
Bab VI 27 Indikator 3 : Tersedianya insentif Bea masuk, PPN, PPnBM, dan cukai
Berbagai insentif fiskal (bea masuk, PPN, PPn BM dan cukai) sebenarnya telah dinikmati Batam sejak Tahun 1970‐an hingga 1995 meskipun secara hukum belum ditetapkan sebagai KPBPB, karena padaa waktu itu status Batam adalah sebagai kawasan berikat. Sejak berlakunya Convention Kyoto tahun 1988 dimana ditetapklan konsep FTZ adalah enclave yang tidak boleh bercampur dengan permukiman penduduk, maka kondisi Batam yang sudah terlanjur bercampur dengan permukiman penduduk, menurut konvensi ini bukanlah FTZ yang sesungguhnya. Kondisi Batam seperti itu sebenarnya merugikan pemerintah karena banyak penerimaan pemerintah yang tidak tepat sasaran yang seharusnya diarahkan untuk peningkatan daya saing industri di kawasan berikat, malah dinikmati untuk hal yang bersifat konsumtif oleh masyarakat Batam. Melihat kondisi tersebut pada tahun 2003, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 tentang perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Pulau Batam untuk mencegah kehilangan pemasukan pajak yang besar. Melalui pemberlakuan PPN dan PPnBM di Batam, pemerintah menargetkan pungutan sebesar sekitar Rp 300 miliar sampai Rp 400 miliar setahun atau skitar Rp 1,2 triliun sampai Rp 1,3 triliun per tahun jika pungutan itu tak mempengaruhi pemasukan dari penerimaan pajak (2002).3 Pemberlakuan PPN dan PPnBM bertahap diawali tiga
komoditas, yaitu minuman beralkohol, rokok, dan mobil pada 1 Januari 2004, serta barang‐barang elektronik pada 1 Maret 2004. Lalu dalam enam bulan Menteri Keuangan akan mengevaluasi pemberlakuan hal sama terhadap barang‐barang lainnya. Kebijakan dipertegas lagi dengan munculnya Keputusan Menkeu No. 393/KMK.03/2004 tentang pemberlakuan PPN, PPn BM dan Bea Masuk di Batam. Pada tahun 2007, sejalan dengan diterbitkannya UU 44/2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2007 tentang Perubahan atas UU 36/2000 tentang penetapan peraturan pengganti UU 1/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi UU, maka secara otomatis di Batam diberlakukan insentif fiskal yang terdiri dari pembebasan bea masuk, PPN, PPn BM dan cukai. Hal ini dipertegas dengan keluarnya PP No. 2/2009 sebagai pengganti PP 63/2007. PP N0.2/2009 merupakan payung pelaksanaan kepabeanan, perpajakan dan cukai KPBPB Batam, Bintan, dan Karimun. yang merupakan pelaksanaan amanat UU dan dalam upaya mewujudkan komitmen bersama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perdagangan, investasi, industri dan pariwisata4. Saat ini telah ditandatangani pula juklak kepabeanan, perpajakan dan cukai serta pengawasan dan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditunjuk sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas yang mulai berlaku 19 Januari 2009. Dengan keluarnya PP ini diharapkan tidak ada lagi tumpang tindih regulasi yang menghambat perkembangan investasi kawasan Batam, Bintan, Karimun.5
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa regulasi mengenai insentif fiskal telah tersedia, sehingga indikator 3 telah terpenuhi.
Indikator 4 : Tersedianya Kebijakan Ketenagakerjaan yang Kondusif bagi Investasi
Salah satu aspek yang menjadi kendala dalam peningkatan iklim investasi yang kondusif di kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas adalah tidak adanya UU ketenagakerjaan yang fleksibel terhadap investor, dimana UU 13/2003 dinilai oleh pengusaha terlalu memberatkan pengusaha. Alasannya, dalam era persaingan yang semakin meningkat dalam perdagangan internasional, pengusaha/investor dituntut untuk dapat berproduksi seefisien mungkin sehingga dapat bersaing. Keinginan para pengusaha tersebut ternyata tidak direpson oleh UU ketenagakerjaan di Indonesia.
3
www.kompas.co.id dalam www.unisosdem.org. Perlakuan PPN dan PPnBM di Pulau Batam : Antara Pemasukan Negara dan Investasi
4http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2009/01/ 19/3921.html.
5Hal ini diungkapkan Presiden dalam dialog dengan pengusaha di Batam pada tanggal 19 Januari 2009 (sumber : www.antaranews.com)
28 Bab VI
Hal ini membawa pengaruh pada sulitnya peningkatan investasi secara besar‐besaran di Indonesia terutama di kawasan yang yang memang sengaja dipelakukan khusus dengan memberikan berbagai insentif baik fiskal maupun non fiskal termasuk memberikan peraturan yang fleksible tentang ketenagkerjaan. Pemerintah merencanakan akan merevisi UU ketenagakerjaaan tersebut agar dapat dicari jalan tengah sehingga tidak terjadi kemuduran dalam pengembangan iklim investasi di Indonesia, yang menjadi pertentangan sengit antara pengusaha dengan kalangan pekerja/buruh. Namun rencana revisi UU tersebut mendapat reaksi keras dari seluruh pekerja di Indonesia beserta serikat buruhnya. Sejak itu sampai saat ini, Pemerintah masih menunda upaya revisi UU ketenagakerjaan. Penolakan oleh kalangan pekerja dilakukan karena sejumlah pasal yang direvisi dinilai mengebiri hak‐hak buruh/pekerja, persoalan upah, outsourcing, status kerja, pesangon, kebebasan berserikat, dan mogok. Namun sebaliknya bagi pihak pengusaha, terdapat sekitar 16 pasal yang memberatkan pengusaha sehingga perlu dihapus atau diubah. Dengan demikian hingga saat ini belum ada titik kesepakatan antara pengusaha dengan kalangan pekerja/buruh mengenai UU Ketenagakerjaan yang berimpllikasi pada belum baiknya iklim investasi di Indonesia, termasuk di KPBPB. Lampiran 4 pada kajian ini memperlihatkan isi revisi UU 13/2003 yang diusulkan oleh pemerintah, DPR dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) namun hingga saat ini belum terlaksana.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang mendukung iklim ketenagakerjaan yang kondusif belum tersedia. Dengan demikian indikator 4 belum terpenuhi.
Indikator 5 : Tersedianya Kebijakan Penyederhanaan Pelayanan Perijinan Investasi
Keputusan Presiden No. 29 tahun 2004 telah mengamanatkan pendekatan “one‐stop” atau “one‐ roof” (Sistem Pelayanan Satu Atap) dalam penyederhanaan prosedur investasi melalui pelayanan one stop service (OSS) yang bertujuan meningkatkan efisiensi dalam mendatangkan investor berinvestasi di Indonesia. Dalam Keppres 29/2004 ini disebutkan bahwa BPKM merupakan instansi pemerintah yang diamanatkan untuk menjalankan pelayanan OSS tersebut. Namun demikian, dalam melaksanakan peran itu BPKM sangat bergantung kepada instansi lain. Tidak ada petunjuk dalam keputusan tersebut yang menyatakan keharusan untuk mendelegasikan otoritas perizinan investasi kepada BPKM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Akibatnya jika departemen yang bersangkutan tidak mau mendelegasikan otoritas, BPKM dibatasi hanya untuk mengkoordinasikan kegiatan, tidak memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan;
Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 tahun 2006 mengenai Sistem Pelayanan Satu Pintu sebagai respon terhadap kebutuhan perubahan dalam pelayanan OSS terutama bagi PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri), dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dengan memberikan perhatian yang lebih besar pada peran usaha mikro, kecil dan menengah, sehingga perlu melakukan penyederhanaan penyelengaraan pelayanan terpadu satu pintu yang diharapkan mampu mewujudkan pelayanan publik yang cepat, murah, mudah transparan pasti dan terjangkau. Beberapa penyederhanaan yang dilakukan melalui sistem ini, yaitu :
• Pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan dilakukan oleh Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) yaitu perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola semua bentuk pelayanan perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistem satu pintu.
• Percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah;
• Kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah;
Bab VI 29
• Kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses pemberian perizinan dan non perizinan sesuai dengan urutan prosedurnya;
• mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk dua buah atau Lebih permohonan perizinan;
• Pembebasan biaya perizinan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang ingin memulai usaha baru sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan
• Pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan.
Sejalan dengan semangat pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang cepat, murah, mudah transparan pasti dan terjangkau, sistem OSS (pelayanan satu pintu) dibentuk selaras dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam hal ini, sistem pelayanan satu pintu mengandung implementasi yang berfokus pada desentralisasi dan mendukung otonomi daerah. Dapat dilihat bahwa pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota dan perangkat daerah) diberikan mandat yang lebih luas untuk mengelola perizinan investasi di daerahnya masing‐masing.
Di Pulau Batam, dasar hukum pembentukan Oine‐Stop Service adalah Keputusan Walikota Batam
Nomor Kpts.315/HK/IX/2001 tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Perizinan Usaha (One Stop
Service) Kota Batam yang mulai berlaku sejak tanggal 29 September 2001. Beberapa regulasi lain
yang mendukung operasionalisasi OSS Kota Batam antara lain :
• Keputusan Walikota Batam Nomor 13 tahun 2003 tentang Uraian Tugas Badan dan Kantor Kota Batam.
• Keputusan Walikota Batam Nomor Kpts.82/HK/IV/2004 tentang Jenis‐Jenis Perizinan Pada Pusat Pelayanan Perizinan Usaha (P3U) Kota Batam tanggal 27 April 2004.
• Keputusan Walikota Batam Nomor Kpts.83/HK/IV/2004 tentang Pembentukan Tim teknis Peningkatan Kualitas Pusat Pelayanan Perizinan Usaha (P3U) Kota Batam tanggal 27 April 2004.
• Keputusan Bersama Walikota Batam dan Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam Nomor: Kpts.02.SKB/HK/VI/2006 dan Nomor: 02/KA‐KB/VI/2006 tentang Pembentukan Tim Persiapan Pelaksanaan One Stop Service Bersama di Kota Batam tanggal 6 Juni 2006.
• Keputusan Walikota Batam Nomor Kpts.143A/HK/VII/2006 tentang Penetapan Gedung Pusat Promosi Sumatera Sebagai Tempat Penyelenggaraan Pusat Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Batam tanggal 14 Juli 2006.
• Keputusan Walikota Batam Nomor Kpts.145A/HK/VII/2006 tentang Penetapan Dinas Kelautan, Perikanan Dan Pertanian Kota Batam, Dinas Pertanahan Kota Batam, dan Badan Komunikasi Dan Informasi Kota Batam Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan di Pusat Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Batam tanggal 19 Juli 2006.
Pusat Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Batam mengkoordinir pelayanan 3 (tiga) badan dan 9 (sembilan) dinas. Pada Periode Oktober 2001 – Juni 2006 instansi yang dikoordinir antara lain Badan Penanaman Modal (BPM), Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), Dinas Perhubungan (Dishub), Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud), Dinas Pendapatan (Dispenda), Dinas Permukiman dan Prasarana (Diskimpras), Dinas Kesehatan (Dinkes), Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag). Pada Periode Juli 200, jumlah intansi yang dikoordinasi bertambah dua instansi yaitu Dinas Pertanahan (Distanah) dan Dinas Kelautan Pertanian dan Perikanan (DKP).
Sejak beroperasi pada tahun 2001, Pusat Pelayanan perizinan Terpadu telah mengeluarkan izin 42.425 buah dari berbagai instansi terkait (Tabel x.x.). Adapun jenis, dasar hukum, biaya, standar, waktu perizinan, serta prosedur perizinan di Pusat Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Batam diperlihatkan pada lampiran 5.
30 Bab VI
Tabel 6.25 Jumlah izin yang Keluar melalui Pusat Pelayanan Perizinan Terpadu (2001‐ 2006) di
Batam