Gambar 2.4 Logical Framework Approach
C. Permasalahan Pengembangan KPBPB
FTZ umumnya berasal dari sebagian kecil negara di dunia yakni dari Jepang dan Amerika, seperti data tabel berikut ini :
Tabel 4.2 Pemilik Investasi di FTZ
Asal Investor Malaysia (1990) % Republic of Korea (1991) % Philippines (1996) %
Investor lokal 14,2 27,2 12,6
Investor Jepang 36,6 68,9 22,2
Investor Amerika 17,7 0,7 35,6
Investor dari negara Barat lainnya 12,6 ‐ 5,5
lainnya 15,8 3,3 5,8
Sumber : Kusago and Tzannatos Tahun 1998 dalam Laporan ESCAP Tahun 2005
Karakterisik pendukung di dalam KPBPB/FTZ meliputi :
1. FTZ yang mengembangkan industri tradisional memilih suatu lokasi dalam FTZ dengan ciri‐ciri bersifat padat karya. Sektor‐sektor di FTZ berorientasi padat karya adalah FTZ yang menghasilkan produk‐produk tekstil, pakaian, pengolahan makanan, peralatan listrik dan elektronik, peralatan transportasi di sejumlah negara seperti Republik Dominika, ElSalvador, Guatemala, Honduras, Mauritius, Mexico, Madagaskar, Jamaica, Malaysia, Saint Lucia, Sri Lanka, Bangladesh. Menurut Kusago and Tzannatos Tahun 1998 dalam Laporan ESCAP Tahun 2005, rasio investasi padat karya terhadap total investasi di FTZ 66‐68 % terjadi di wilayah FTZ Masan (Korea), Kaohsiung (Taiwan), Lat Krabang (Thailand), sementara di China seperti di Shenzen investasi yang bersifat padat karya hanya 56 %.
2. Komposisi jenis kelamin, umur dan pendidikan tenaga kerja di FTZ
a. Kontribusi tenaga kerja perempuan di FTZ lebih tinggi dibandingkan dengan kegiatan ekonomi secara keseluruhan maupun sektor industri di luar FTZ, alasannya Industri padat karya lebih menyukai pekerja perempuan karena perempuan lebih sedikit meminta gaji yang tinggi dibanding tenaga kerja laki‐laki dan perempuan lebih tekun dalam bekerja seperti yang terjadi di Sri Lanka, Panama dan Philipina.
b. Di beberapa negara yang memiliki jumlah penduduk besar, tenaga kerja yang diserap FTZ umumnya berumur 18 ‐ 25 tahun dimana umumnya belum menikah, dengan tingkat pendidikan umumnya sekolah dasar.
3. Upah dan Kondisi Pekerjaan
Jumlah upah dan kondisi pekerjaan di FTZ tidaklah sama dibandingkan dengan industri manufaktur di dalam negara yang melaksanakan FTZ. Biasanya upah dinegosiasikan oleh individu karyawan kepada pemilik usaha, atau secara berkelompok. Namun beberapa negara sudah memiliki standar upah minimun bagi pekerja (seperti yang terjadi di Thailand, United Kingdom, dll). Bebebapa negara memiliki kebijakan pembayaran upah yang terdiri dari upah minimum per jam, harian, mingguan, bulanan, yang bervariasi sesuai dengan keahlian atau keterampilan.
C.
Permasalahan Pengembangan KPBPB
Di Haiti, FTZ secara umum juga disebut sebagai Kawasan bebas. Bagi negara‐negara yang diteliti (menurut studi UNESCAP Tahun 2005 di beberapa negara diantaranya Haiti, China, Indonesia, Madagaskar) tentang pelaksanaan free trade zone, dinilai bahwa FTZ sebagai suatu bagian dari strategi imperialist (kaum kapitalis) untuk mengembangkan dominasi modal mereka dan keuntungan mereka. Menurut tim studi, jika negara pengadopsi FTZ setuju bahwa kawasan bebas (free zone) ini adalah bagian dari upaya percepatan pembangunan, maka produksi adalah sebagai kata kuncinya yang menjadikan kawasan tersebut sangat penting. Namun apa yang terjadi di Haiti, sejak tahun 1960 negara imperialist menginvestasikan modalnya di Haiti, bukan melalui pengembangan sektor produksi ekonomi kerakyatan seperti perikanan ataupun pertanian, tetapi melalui spekulasi pada pengembangan industri yang bersifat rakitan dengan bahan baku impor seperti industri elektronik,
6 Bab IV
pakaian, dimana semua hasil produksi barang‐barang tersebut dikirim kembali ke negara‐negara investor tersebut, dan sebagai sub‐kontraktor (eksportir), mereka akhirnya mengekspor kembali produk dari Haiti tersebut ke berbagai negara‐negara lainnya dengan harga lebih tinggi. Negara‐ negara kapitalis tersebut memperoleh keuntungan berlipat‐lipat tidak hanya dari hasil produksi yang efisien di Haiti, tetapi juga sebagai agen eksportir ke berbagai negara.
Selain itu industri milik kaum kapitalis yang berbentuk kawasan bebas mendapat manfaat dari insentif (bebas bea dan pajak). Untuk itu negara‐negara kapitalis memerlukan kerangka aturan (aspek legal) yang diupayakan dengan bernegosiasi dengan pemerintah setempat sehingga aspek legal tersebut dikeluarkan oleh pemerintah (negara bagian) tentang pendirian kawasan bebas. Tahun 1979 investor dari negara kapitalis mencoba mengembangkan suatu peraturan pada kawasan bebas. Sejak tahap ini mereka terus mempersiapkan peluang yang dapat dimanfaatkannya dalam kawasan bebas di wilayah pesisir seperti pelabuhan bebas. Mereka berdalih bahwa FTZ ini penting untuk pengembangan ekonomi negara Haiti. Namun peraturan legal tersebut akhirnya tidak dapat diterapkan di Haiti. Alasannya adalah Investasi di kawasan bebas membutuhkan peran pedagang, dimana kasus di Haiti posisi tawar pedagang lokal (kaum borjuis) sangat lemah.
Kemudian, keberadaan FTZ dibeberapa negara yang memiliki jumlah penduduk besar, akan kurang signifikan disebabkan jumlah lapangan kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan populasi dan pertambahan angkatan kerja baru.Selanjutnya, di Haiti terdapat masalah tingkat upah buruh yang sangat rendah artinya kehadiran kawasan bebas tidak dapat memberikan kesejahteraan bagi pekerja. Masalah tenaga kerja, seperti di Madagaskar, Indonesia, China bahwa kawasan bebas yang di dalamnya terdapat kawasan industri, menyimpan masalah yang relatif sama kasusnya di banyak negara yaitu masalah tingkat upah yang tidak mencukupi kebutuhan dasar (makan, transportasi, kesehatan dan pendidikan, namun industri‐industri tersebut tidak peduli dengan masalah upah para pekerja yang tidak mencukupi ini.
EPZ atau FTZ Dakar (Senegal) didirikan Tahun 1974 beroperasi penuh Tahun 1976, merupakan salah satu contoh FTZ yang gagal mencapai tujuan yaitu gagal dalam menciptakan lapangan pekerjaan maupun dalam menarik investasi asing. Data Tahun 1986, jumlah tenaga kerja yang terserap di kawasan FTZ Dakar 1.200 orang dan mengalami penurunan drastis tahun 1990 menjadi 600 orang. Sebanyak 10 perusahaan asing yang menyumbangkan ekspor USD 14.700 terpaksa keluar dari kawasan meskipun ada lingkungan politik yang stabil serta promosi insentif yang menarik. Kebijakan insentif yang diterapkan oleh Pemerintah Senegal sebenarnya sama dengan negara‐negara lain seperti pembebasan pajak pendapatan, pembebasan kewajiban kepabeanan, serta pembebasan pajak mesin, input, produk setengah jadi, dan produk jadi. Namun terdapat kendala tingginya berbagai pungutan liar, minimnya jumlah tenaga kerja, rendahnya skill dan produktivitas tenaga kerja, kakunya lingkungan pasar tenaga kerja, tidak tersedianya standar sewa lahan, tingginya biaya transportasi dan biaya jasa publik lainnya.
Permasalahan lainnya adalah dari perbedaan kategori FTZ, misalnya antara FTZ enclave dengan non enclave, dan antara FTZ yang dikelola oleh pemerintah dengan yang dikelola oleh swasta. FTZ yang dideliniasi terpisah dari wilayah sekitar (enclave), memiliki kelemahan minimnya keterkaitan ke belakang dan transfer teknologi dari FTZ ke wilayah lain. FTZ tradisional yang dikelola oleh pemerintah (bukan dibiayai oleh sektor swasta murni), memiliki kelemahan kurangnya perhatian dari pemerintah lokal, banyaknya pungutan liar, dan adanya korupsi. Namun di Taiwan dan Korea, FTZ yang dikelola oleh pemerintah relatif sukses.
Dari penjelasan di atas, kecenderungan permasalahan yang terdapat di dalam pengembangan KPBPB/FTZ meliputi :
1. FTZ yang dideliniasi terpisah dari wilayah sekitar (enclave), memiliki kelemahan minimnya keterkaitan ke belakang dan transfer teknologi dari FTZ ke wilayah lain.
Bab IV 7 2. FTZ tradisional yang dikelola oleh pemerintah (bukan dibiayai oleh sektor swasta murni), memiliki
kelemahan kurangnya perhatian dari pemerintah lokal, banyaknya pungutan liar, dan adanya korupsi. Namun di Taiwan dan Korea, FTZ yang dikelola oleh pemerintah relatif sukses.
3. Buruknya iklim investasi yang disebabkan oleh tingginya berbagai pungutan liar, minimnya jumlah tenaga kerja, rendahnya skill dan produktivitas tenaga kerja, kakunya lingkungan pasar tenaga kerja, tidak tersedianya kepastian lahan dan standar sewa lahan, tingginya biaya transportasi dan biaya jasa publik lainnya, menyebabkan FTZ tidak berkembang.
4. Tidak berkembangnya sektor produksi ekonomi kerakyatan (pelaku usaha domestik), akibat industri manufaktur yang berbahan baku impor. Padahal FTZ akan bermanfaat dalam pengembangan perekonomian domestik apabila terjadi peningkatan industri domestik dalam penyediaan bahan baku bagi kawasan industri di FTZ.
5. Tidak berkembangnya eksportir domestik, karena posisi tawar sangat lemah terhadap pengekspor dari investor asing yaitu perusahaan multinasional (MNC) yang telah menguasai jaringan pasar global. Negara investor seringkali bertindak sebagai sub‐kontraktor pengekspor produk dari FTZ ke berbagai negara, sehingga keuntungan berlipat‐lipat lebih dinikmati oleh investor asing.
6. Jumlah lapangan kerja yang tidak sebanding dengan pertumbuhan populasi dan pertambahan angkatan kerja baru.
7. Tingkat upah buruh relatif masih rendah, sehingga keberadaan FTZ (kawasan bebas) belum mampu memberikan kesejahteraan bagi pekerja.
8. Investor asing lebih mendominasi aktifitas bisnis dan sangat jeli memanfaatkan berbagai peluang bisnis di negara pengembang FTZ untuk maksimisasi keuntungannya, namun sebaliknya pengusaha domestik di FTZ tidak banyak terlibat.
D.
Tujuan dan Sasaran Pengembangan KPBPB
Tujuan utama banyak negara memutuskan pentingnya membangun FTZ adalah untuk menciptakan pengembangan lapangan kerja dan devisa negara melalui peningkatan investasi untuk sektor produktif yang berorientasi ekspor. Investasi yang ditarik berorientasi PMA sehingga membawa penambahan modal bagi suatu negara.
Menciptakan pengembangan lapangan pekerjaan. Penciptaan dan pengembangan lapangan pekerjaan merupakan tujuan utama dari pendirian suatu FTZ. Di beberapa negara, pendirian FTZ dapat menyerap tenaga kerja secara optimum, sementara di beberapa negara lainnya peran FTZ dalam penyerapan tenaga kerja kurang signifikan. Dampak FTZ akan kurang signifikan disebabkan jumlah lapangan kerja yang tidak sebanding pertumbuhan populasi dan pertambahan angkatan kerja.
Di Mexico, tahun 1966, terdapat 24 perusahaan di FTZ menyerap 6.107 tenaga kerja. Tahun 1994, jumlah perusahaan berkembang hingga 2000 unit dengan tenaga kerja sekitar 600.000 orang.
Di Mauritius, pada tahun 1971, sembilan EPZ yang didirikan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 600 orang, dan berkembang menjadi 91.000 orang pada tahun 1991 atau satu pertiga dari jumlah total tenaga kerja nasional dan 80 persen tenaga kerja industri. Di Filipina, jumlah tenaga kerja dari empat kawasan pada tahun 1986 23,651 orang, dan pada tahun 1994 jumlahnya bertambah mencapai 70,000 orang.
Di Malaysia, jumlah tenaga kerja dari tujuh kawasan tahun 1994 meningkat menjadi 123,000 orang. Pada umumnya di negara‐negara berkembang kondisi tenaga kerja umumnya bergerak di sektor pertanian dengan tingkat pendapatan rendah, dan ingin berpindah ke sektor industri pengolahan yang memberikan pendapatan lebih besar.
Meningkatan devisa. Banyak negara, terutama negara berpendapatan rendah, devisa luar negeri merupakan salah satu sumber untuk membiayai impor dan membangun perekonomian lokal. Pengembangan ekspor yang modern akan memberikan dampak secara langsung pada : a)