Korea Selatan
TAHAP : DAMPAK
B. Analisis Isu dan Permasalahan
Isu dan permasalahan strategis yang terkait dengan pengembangan KPBPB di Indonesia akan diinventarisir berdasarkan beberapa sumber, antara lain dari literatur dan survei terhadap pengembangan Bonded Zone Batam yang secara de fakto dapat dianggap sebagai sebuah KPBPB; serta studi literatur terhadap pengalaman pengembangan KPBPB di Sabang. Isu dan permasalahan ini secara garis besar dapat dibagi kedalam dua aspek yaitu : (1) Kepelabuhanan; dan (2) Industri dan Perdagangan.
Aspek Industri dan Perdagangan
Isu utama yang mengemuka dalam pengembangan industri dan perdagangan dalam KPBPB adalah
bagaimana menciptakan daya saing investasi yang kompetitif di dalam Kawasan industri di sekitar
pelabuhan. Daya saing investasi yang rendah akan menyebabkan nilai rendahnya investasi yang
masuk sehingga menyebabkan KPBPB sulit mewujudkan tujuan‐tujuannya yaitu meningkatkan kinerja ekspor dan menciptakan lapangan pekerjaan. Kecilnya investasi berarti sedikitnya pembangunan pabrik‐pabrik baru, kecilnya perluasan kapasitas pabrik‐pabrik yang ada, serta rendahnya permintaan industri terhadap barang‐barang modal, barang‐barang setengah jadi, bahan baku dan input‐input lainnya. Jika permintaan antara ini sepenuhnya dipenuhi oleh sektor‐sektor lain di wilayah tersebut terutama UMKM lokal, maka dengan sendirinya output di sektor‐sektor lain dan
Bab V 15 UMKM juga rendah. Dengan demikian, penambahan output, ekspor, maupun penyerapan tenaga kerja pun akan menjadi rendah.
Beberapa isu yang berpotensi dapat menyebabkan lemahnya daya saing investasi kawasan industri di sekitar pelabuhan diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Keterbatasan sarana dan prasarana pendukung kegiatan industri. Ketersediaan sarana dan
prasarana dasar seperti gas, listrik, air bersih, serta jalan dan jembatan sangat diperlukan sebagai prasyarat pengembangan KPBPB dan perlu disediakan secara cukup dan memadai oleh pemerintah. Sebagai ilustrasi, pengembangan Bonded Zone di Pulau Batam dihadapkan pada permasalahan kurangnya pasokan gas, padahal gas merupakan sumber tenaga listrik utama di kawasan ini. Dampaknya Pulau Batam mengalami krisis listrik karena pasokannya berkurang. Pemadaman listrik secara bergilir seringkali menganggu kegiatan industri dan berpotensi melemahkan daya saing Pulau Batam di mata investor. Dalam kasus pengembangan KPBPB Sabang, pengembangan industri dan perdagangan terhambat akibat ketergantungan yang besar terhadap anggaran pemerintah dalam penyediaan infrastruktur (Economic Overhead Capital and Social Overhead Capital).
2. Kurangnya kepastian hukum, yang disebabkan oleh beberapa faktor :
a. Lemahnya konsistensi dan komitmen dalam menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan
termasuk perencanaan yang telah disusun. Sesuai amanat Undang‐undang KPBPB,
diperlukan penjabaran Undang‐Undang tersebut ke dalam berbagai produk perundang‐ undangan yang lebih teknis‐operasional serta penuntasan berbagai masalah teknis di lapangan sebagai implikasi dari pemberlakuan kebijakan tersebut. Pengalaman dalam pengembangan kawasan khusus di Indonesia selama ini, misalnya dalam pengembangan KPBPB Sabang, memperlihatkan kurangnya konsistensi dan komitmen pemerintah baik di tingkat pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini dapat berupa kurangnya dukungan, asistensi dan monitoring dari pemerintah pusat, tidak adanya penjabaran kebijakan secara operasional, ataupun tidak adanya pemecahan terhadap berbagai permasalahan teknis di lapangan yang muncul sebagai implikasi dari pemberlakuan kebijakan. Kondisi ini dikhawatirkan terjadi dalam pengembangan KPBPB sehingga dapat menyebabkan ketidakpastian hukum
b. Tidak harmonisnya peraturan perundang‐undangan. Pertentangan antar peraturan
perundang‐undangan yang ada berpotensi terjadi dalam pemberlakuan KPBPB. Beberapa contoh yang dapat dikemukakan antara lain, pemanfaatan lahan di dalam KPBPB Bintan yang sebagian besar merupakan hutan lindung berbenturan dengan peraturan di bidang pertanahan dan kehutanan. Permasalahan ketidakpastian hukum sering mencuat karena pemerintah tidak memberikan respon yang cepat dan tanggap untuk mengharmonisasikan pertentangan peraturan perundang‐undangan yang muncul.
c. Konflik kewenangan antar lembaga pelaksana. Pengembangan KPBPB akan diiringi oleh
pembentukan Badan Pengusahaan Kawasan di tingkat daerah. Namun pengalaman dalam pengembangan kawasan khusus ekonomi selama ini, misalnya kasus pengelolaan Bonded Zone di Batam, menunjukkan adanya potensi persaingan yang tidak sehat antara pemerintah daerah dengan lembaga pengelola kawasan (Badan Otorita), yang disebabkan tidak adanya kejelasan aturan main dalam pembagian kewenangan antara kedua lembaga. Konflik kewenangan yang sama dalam pengusahaan KPBPB dikhawatirkan akan kembali terjadi jika tidak ada aturan yang jelas mengenai kedudukan dan pola hubungan Badan Pengusahaan Kawasan dengan Pemerintah kabupaten/kota.
3. Iklim ketenegakerjaan kurang kondusif, yangd isebabkan oleh beberapa faktor :
a. Rendahnya daya saing tenaga kerja lokal. Pengembangan KPBPB akan dapat dinikmati
sepenuhnya oleh masyarakat setempat jika lapangan kerja yang ada mampu menyerap tenaga kerja lokal. Namun pengalaman dalam pengembangan kawasan khusus ekonomi selama ini, misalnya dalam pengembangan Boinded Zone Batam, menunjukkan rendahnya daya saing tenaga kerja lokal sehingga hanya mampu memperleh pekerjaan di level yang rendah dengan tingkat pendapatan yang rendah pula, karena hanya memiliki keterampilan
16 Bab V
dan tingkat pendidikan yang rendah. Untuk mengoptimalkan manfaat KPBPB bagi masyarakat setempat diperlukan penguatan institusi‐institusi pendidikan dan pelatihan setempat agar tenaga kerja lokal mampu bersaing dengan tenaga kerja dari luar daerah.
b. Hubungan industrial yang tidak kondusif. Berdasarkan pengalaman pengembangan bonded
zone di Batam, konflik antara buruh dengan perusahaan masih sering terjadi sehingga mengganggu iklim usaha secara keseluruhan. Hal ini bersumber dari Undang Undang No. 13/2003 mengenai ketenagakerjaan yang memiliki semangat pro‐buruh. Meskipun baik untuk kesejahteraan buruh, namun dari sisi pengusaha kondisi ini kurang menguntungkan. Misalnya, pengusaha harus membayar pesangon yang tinggi ketika melakukan pemecatan tenaga kerja yang disebabkan oleh rendahnya produktivitas. Untuk mengembangan KPBPB yang sukses, iklim ketenagakerjaan ini perlu dirubah agar tercipta suasana yang lebih seimbang, antara lain dengan cara meningkatkan keterampilan dan produktivitas tenaga kerja agar dapat bekerja dengan sebaik‐baiknya.
4. Belum efisiennya sistem pelayanan perizinan. Pengembangan KPBPB mensyaratkan pelayanan
perizinan investasi yang murah dan cepat. Namun hingga saat ini pelayanan perizinan investasi di Indonesia masih belum sekompetitif negara lain. Pada kasus Batam misalnya, saat ini telah memiliki sistem pelayanan perijinan terpadu yang dibangun pada tahun 2006. Sistem pelayanan terpadu ini merupakan amanat UU 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal yang melayani pengurusan berbagai perijinan pusat, yang selama ini harus diurus ke Jakarta sehingga memerlukan waktu dan biaya yang besar. Namun demikian sistem pelayanan terpadu ini masih belum sepenuhnya efisien dimana proses perijinan masih harus diproses di banyak loket yang merupakan perwakilan instansi pusat dan daerah. Untuk mendukung efisiensi perizinan dalam KPBPB, sistem ini perlu disempurnakan menjadi sistem pelayanan satu pintu dengan proses yang terintegrasi. Untuk itu diperlukan pelimpahan kewenangan perizinan dari berbagai instansi terkait di pusat dan di daerah kepada lembaga pengusahaan kawasan agar proses perizinan dapat dilakukan secara cepat, tepat, dan di tempat.
5. Belum diberlakukannya insentif fiskal secara menyeluruh. Sesuai dengan amanat UU KPBPB,
perlu diberlakukan paket insentif fiskal secara menyeluruh berupa pembebasan PPn, PPnBM, serta pembebasan bea masuk terhadap segala jenis komoditas. Namun hingga saat ini pemerintah tampaknya masih setengah hati untuk memberlakukan insentif fiskal secara menyeluruh dengan masih mempertahankan peraturan perundang‐undangan yang bertentangan dengan semangat KPBPB. Salah satu isu yang saat ini mengemuka adalah masih diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam. PP ini mengatur pemungutan PPn dan PPnBM atas empat komoditas yaitu rokok, minuman keras, barang elektronik, dan mobil. Tetap diberlakukannya PP ini mengundang pro kontra, karena sebagian pihak berpendapat bahwa PP ini harus dicabut agar Batam dapat menjadi wilayah tujuan investasi dengan daya saing tinggi, namun sebagian lainnya berpendapat bahwa pencabutan PP tersebut tidak akan memberikan dampak yang signifikan kepada peningkatan efisiensi produksi dan daya saing sektor industri.
6. Lemahnya keterkaitan Industri manufaktur PMA skala besar dengan UKM/IKM sebaga.
Backward linkage merupakan merupakan salah satu isu penting dalam pengembangan KPBPB
karena menunjukkan seberapa besar manfaat pengembangan KPBPB terhadap perekonomian lokal. Pada kasus pengembangan Bonded Zone di Batam misalnya, keterkaitan antara industri elektronika PMA skala besar dengan industri lokal terutama UMKM, masih sangat lemah3. Sementara di Sabang, pemberlakuan KPBPB belum mampu menciptakan efek multiplier yang besar terhadap pengembangan ekonomi lokal. Untuk itu, ke diperlukan terobosan kebijakan Pemerintah untuk mendorong keterkaitan yang lebih tinggi antara kegiatan produksi di kawasan industri dengan bahan baku lokal (backward linkages) di dalam KPBPB. Kebijakan seperti telah
3
Bab V 17 dilakukan oleh China yang secara bertahap berhasil meningkatkan keterkaitan produksi FTZ dengan bahan baku lokal.
7. Kerugian negara akibat penyelundupan. Dalam pengembangan KPBPB, diperlukan pengawasan
yang ketat terhadap pelabuhan‐pelabuhan yang menjadi pintu keluar‐masuk untuk menghindari terjadinya penyelundupan. Salah satu masalah di Batam adalah banyaknya pelabuhan yang menjadi pintu keluar‐masuk, belum termasuk pelabuhan‐pelabuhan liar. Lemahnya pengawasan oleh aparat menyebabkan maraknya tingkat penyelundupuan, bahkan perekonomian Kota Batam saat ini disinyalir banyak ‘ditopang’ oleh kegiatan‐kegiatan ilegal seperti penyelundupan. Mengurangi pintu masuk dan keluar akan lebih memudahkan aparat bea dan cukai dalam melakukan pelayanan dan pengawasan terhadap arus perdagangan internasional.
Aspek Kepelabuhanan
Isu utama yang mengemuka dalam pengembangan kepelabuhanan dalam KPBPB adalah bagaimana
menciptakan pelabuhan laut yang produktif dan kompetitif. Tantangan yang dihadapi oleh
pelabuhan‐pelabuhan di seluruh dunia saat ini bukan hanya terkait dengan ukurannya melainkan juga pelayanannya. Perkembangan industri perkapalan dan perdagangan global dewasa ini mengakibatkan tekanan terhadap pelabuhan‐pebuhan di seluruh dunia untuk dapat mengurangi biaya, meningkatkan efisiensi operasi, dan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai. Manajemen transportasi internasional yang terus berkembang menuju Integrated Logistic System
menuntut pelabuhan‐pelabuhan untuk dapat menjadi Pusat Logitik Terpadu yang memiliki konektivitas yang lebih baik dengan moda lainnya (angkutan darat dan angkutan udara) serta aksesibilitas yang lebih baik menuju hinterland‐nya. Perkembangan teknologi kapal menuntut adanya investasi besar dalam penyediaan sarana dan prasarana pelabuhan untuk dapat mengakomodasi kapal‐kapal berukuran raksasa.
Beberapa isu yang berpotensi dapat menyebabkan lemahnya produktivitas dan daya saing pelabuhan di dalam KPBPB dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Terbatasnya sarana, prasarana, dan pelayanan pelabuhan. Beberapa keterbatasan yang banyak
ditemui antara lain :
a. Sekitar 90 persen perdagangan luar negeri Indonesia diangkut melalui laut, dan hampir semua perdagangan non‐curah (seperti peti kemas) dipindahmuatkan melalui Singapura dan Tanjung Pelepas (Malaysia). Indonesia belum mempunyai pelabuhan pindah muat (transhipment) yang mampu mengakomodasi kebutuhan kapal‐kapal besar antar benua
(large trans‐oseanic vessels)
b. Kedalaman pelabuhan pada umumnya menjadi masalah besar di hampir setiap pelabuhan di Indonesia, termasuk dalam pengembangan pelabuhan di KPBPB. Hal ini disebabkan Indonesia hanya memiliki sedikit pelabuhan‐pelabuhan perairan dalam serta rentannya sistem sungai terhadap pendangkalan parah yang membatasi kedalaman pelabuhan. Apabila pengerukan tidak dilakukan, kapal seringkali harus menunggu sampai air pasang sebelum memasuki pelabuhan, yang menyebabkan lamanya waktu non‐aktif bagi kapal (USAID, 2008). Kedalaman pelabuhan juga mempengaruhi kemampuan pelabuhan untuk mengakomodasi kapal‐kapal besar.
c. Banyak pelabuhan di Indonesia kekurangan sarana peti kemas, yang mengharuskan perusahaan‐perusahaan pelayaran untuk menggunakan peralatan sendiri, baik yang berada di kapal maupun yang disimpan di pelabuhan. Hanya 16 dari 111 pelabuhan komersial yang mempunyai penanganan peti kemas jenis tertentu.
d. Kekurangan tempat untuk penyimpanan dan pengisian peti kemas adalah masalah lain yang dihadapi sebagian besar pelabuhan Indonesia. Hal ini menyebabkan kargo yang baru dibongkar dari kapal harus diantar langsung kepada pelanggan dan menyebabkan meningkatnya biaya penanganan karena biaya transportasi yang mahal (USAID, 2008). e. Keterbatasan tenaga kerja di pelabuhan juga menyebabkan pelabuhan di Indonesia pada
18 Bab V
Pada umumnya pelabuhan di Indonesia tidak mengenal sistem pergiliran (shift) tenaga kerja, sehingga dalam satu hari, pelayanan terhenti enam jam untuk waktu istirahat. Hal ini menyebabkan pelayanan kapal tidak berkesinambungan dan menyebabkan waktu non‐aktif bagi kapal di pelabuhan semakin lama (USAID, 2008).
f. Beberapa pelabuhan regional di Indonesia belum memiliki sarana terpisah untuk kapal barang dan penumpang. Hal ini menyebabkan keterlambatan masuknya kapal ketika kapal penumpang dan barang masuk secara bersamaan, terutama di pelabuhan‐pelabuhan dengan tingkat okupansi tambatan kapal yang tinggi, serta memperlama waktu persiapan perjalanan pulang kapal barang (USAID, 2008).
2. Rendahnya tingkat keamanan di laut dan di pelabuhan. Pengiriman kargo dari Indonesia
biasanya menarik premi asuransi 30‐40 persen lebih tinggi dari kargo yang berasal dari Singapura. Hal ini disebabkan tidak hanya oleh adanya kegiatan perampokan di laut, tetapi juga oleh kegiatan di pelabuhan yang dilakukan kelompok‐kelompok kejahatan terorganisir, pencurian umum dan pencurian kecil sekaligus pemogokan dan penghentian kerja (USAID, 2008).
3. Pungutan liar di pelabuhan. Lamanya waktu non‐aktif kapal pada pelabuhan di Indonesia
seringkali disebabkan oleh adanya kolusi dalam alokasi tambatan/berth, serta pungutan liar untuk mengurangi waktu antri pada penggunaan sarana seperti derek jembatan dan ruang penyimpanan. Biaya‐biaya semacam tersebut masih ditambah lagi dengan banyak sekali pungutan liar yang diminta di pelabuhan untuk prosedur ekspor dan impor (USAID, 2008).
4. Terbatasnya jaringan pelayaran. Sebagian besar pelabuhan di Indonesia belum menjalin aliansi
strategis dengan shipping liner dan port operator di luar negeri, sehingga menyebabkan jaringan pelayaran internasional yang dapat dilayani secara langsung sangat terbatas. Salah satu contoh kasus di Batam adalah belum adanya pelabuhan kargo internasional yang mampu mengakses pasar global dengan berbagai negara secara langsung dimana ekspor industri dari Pulau Batam harus melalui Singapura.