ANALISIS PRODUKSI DAN FAKTOR-FAKTOR PENENTU
ADOPSI TEKNOLOGI PEMUPUKAN BERIMBANG
PADA USAHATANI PADI
Y U L I A R M I
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis
saya yang berjudul:
ANALISIS PRODUKSI DAN FAKTOR-FAKTOR PENENTU ADOPSI TEKNOLOGI PEMUPUKAN BERIMBANG PADA USAHATANI PADI
merupakan hasil karya saya sendiri dengan bimbingan para Komisi Pembimbing,
kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan
untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lainnya.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.
Bogor, 24 Mei 2006
ABSTRAK
YULIARMI. Analisis Produksi dan Faktor-Faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang Pada Usahatani Padi (Yusman Syaukat sebagai Ketua dan Sri Hartoyo sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Program Pemupukan Berimbang merupakan teknologi peningkatan produksi padi melalui pemakaian pupuk berimbang dan varietas unggul. Pemupukan berimbang sudah sejak dahulu dianjurkan pada usahatani padi sawah, tetapi pemakaian pupuk di tingkat petani masih belum sesuai dengan rekomendasi yang ditetapkan.
Dalam penelitian ini dianalisis tingkat penerapan teknologi usahatani padi sawah dengan sistem skor, faktor yang mempengaruhi keputusan petani mengadopsi teknologi pemupukan berimbang dengan model logit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah dianalisis dengan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Tingkat penerapan teknologi usahatani padi sawah di Kecamatan Plered berada pada kategori sedang. Dalam upaya peningkatan penerapan teknologi usahatani padi sawah di Kecamatan Plered dari kategori sedang menjadi tinggi dapat ditingkatkan melalui komponen pupuk dan pemupukan dan perlindungan tanaman yang sesuai dengan rekomendasi yang telah ditetapkan.
Proses adopsi teknologi pemupukan berimbang di Kecamatan Plered dipengaruhi secara nyata oleh luas lahan garapan petani, biaya pupuk, dan harga gabah. Sedangkan produksi padi sawah dipengaruhi secara nyata oleh luas lahan, jumlah pupuk, dan tenaga kerja luar keluarga. Faktor pendorong bagi petani dalam menerapkan teknologi pemupukan berimbang adalah produksi yang lebih tinggi dan faktor penghambatnya adalah tidak adanya jaminan harga yang layak.
Penerapan teknologi pemupukan berimbang yang telah dilaksanakan di Kecamatan Plered secara statistik tidak signifikan dalam meningkatkan produksi padi sawah yang diperoleh petani. Hal ini disebabkan oleh berbagai permasalahan yang dihadapi di tingkat lapang, seperti ketersediaan pupuk yang tidak tepat waktu dan penggunaan pupuk yang belum sesuai dengan rekomendasi spesifik lokasi.
© Hak cipta milik Yuliarmi, tahun 2006
Hak cipta dilindungi
ANALISIS PRODUKSI DAN FAKTOR-FAKTOR PENENTU ADOPSI TEKNOLOGI PEMUPUKAN BERIMBANG
PADA USAHATANI PADI
Y U L I A R M I
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Analisis
Produksi dan Faktor-Faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang
pada Usahatani Padi.
Program Pemupukan Berimbang bertujuan untuk meningkatkan produksi
dan pendapatan petani melalui pemakaian varietas unggul dan pemupukan
berimbang dengan memakai pupuk majemuk NPK. Program ini dilaksanakan oleh
Departemen Pertanian bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Barat (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat). Daerah pelaksana program di
Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta.
Tesis ini dapat diselesaikan atas arahan dan bimbingan dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan kepada Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc sebagai Ketua Komisi
Pembimbing dan Dr. Ir. Sri Hartoyo sebagai Anggota Komisi Pembimbing, dan
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian.
Ucapan terima kasih atas dorongan dan do’a yang diberikan dengan tulus
ikhlas juga penulis haturkan kepada suami dan anak penulis, orangtua,
kakak-kakak dan adik-adik penulis serta teman-teman EPN yang tak dapat penulis
sebutkan namanya satu persatu.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Institut
Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, yang telah memberikan ilmu dan
bimbingannya selama penulis mengikuti pendidikan.
Penulis telah berusaha menyelesaikan tesis ini sebaik mungkin sesuai
dengan kemampuan penulis. Penulis menyadari bahwa tesis ini tak luput dari
kekurangan, namun penulis berharap dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Bogor, 24 Mei 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat tanggal 24 Juli 1969. Ayah
Sa’ardi dan Ibu Lismayar. Penulis adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara.
Pada tahun 1983 penulis lulus SDN 1 Simabur. Tahun 1986 lulus dari
SMPN Simabur dan tahun 1989 lulus dari SMAN 2 Padang. Gelar Sarjana
Pertanian diperoleh dari Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian
Universitas Andalas tahun 1994.
Penulis menikah pada tahun 1997 dengan Azmi dan telah dikaruniai
seorang putri bernama Syafira Pritami Angelina. Pada tahun 2001 penulis
mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Program Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Tahun 2002 penulis diterima sebagai staf di Direktorat Jenderal Bina
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... iii
DAFTAR GAMBAR... iv
DAFTAR LAMPIRAN... v
I. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Kegunaan Penelitian ... 7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA... 9
2.1. Kebijakan Perberasan Indonesia ... 9
2.2. Subsidi Pupuk ... 10
2.3. Penggunaan Pupuk dalam Menekan Biaya Produksi Padi ... 11
2.4. Intensifikasi Padi... 13
2.5. Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu ... 14
III. KERANGKA TEORITIS... 17
3.1. Program Pemupukan Berimbang ... 17
3.2. Perubahan Teknologi ... 20
3.3. Pendekatan Fungsi Produksi ... 22
3.4. Proses Adopsi Teknologi ... 24
3.4.1. Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang ... 24
3.4.2. Penyuluhan Pertanian... 25
3.5. Model Pemilihan Kualitatif ... 27
IV. METODE PENELITIAN... 29
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29
4.3. Metode Analisis ... 30
4.3.1. Pandangan Petani terhadap Program Pemupukan Berimbang dan Tingkat Penerapan Teknologi Usahatani Padi Sawah ... 30
4.3.2. Model Logit ... 32
4.3.3. Model Fungsi Produksi ... 33
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN... 35
5.1. Gambaran Umum Wilayah Kecamatan Plered ... 35
5.2. Gambaran Umum Pertanian Kecamatan Plered... 36
5.3. Gambaran Umum Petani Sampel... 37
5.3.1. Karakter Petani Sampel... 37
5.3.2. Usahatani Padi Sawah... 41
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN... 52
6.1. Pandangan Petani terhadap Program Pemupukan Berimbang dan Tingkat Penerapan Teknologi Usahatani Padi Sawah... 52
6.1.1. Pandangan Petani terhadap Program Pemupukan Berimbang... 53
6.1.2. Tingkat Penerapan Teknologi Pemupukan Berimbang... 57
6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani untuk Mengadopsi Teknologi Pemupukan Berimbang... 61
6.3. Pengaruh Program Pemupukan Berimbang terhadap Produksi dan Pendapatan Petani Padi Sawah ... 64
6.3.1. Pengaruh Program Pemupukan Berimbang terhadap Produksi Padi Sawah... 64
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Strategi Reorientasi Penggunaan Pupuk pada Padi Sawah Akibat
Adanya Kenaikan Harga Pupuk Tanpa Subsidi... 12
2. Luas Lahan Sawah di Kecamatan Plered Tahun 2005... 36
3. Karakteristik Petani Sampel di Kecamatan Plered ... 39
4. Pandangan Petani dalam Proses Adopsi Teknologi Pemupukan
Berimbang di Kecamatan Plered ... 54
5. Tingkat Penerapan Teknologi Usahatani Padi Sawah di Kecamatan
Plered ... 59
6. Hasil Pendugaan Model Logit untuk Mengetahui Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Petani dalam Mengadopsi Teknologi
Pemupukan Berimbang ... 63
7. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Program Pemupukan Berimbang
di Kecamatan Plered ... 64
8. Uji Analisis Varian Fungsi Produksi Program Pemupukan
Berimbang di Kecamatan Plered ... 66
9. Penggunaan dan Rekomendasi Pupuk N, P, dan K di Kecamatan
Plered ... 68
10. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produksi Program Pemupukan Berimbang (Model V) di Kecamatan Plered... 71
11. Struktur Biaya dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah di
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Dampak Subsidi Pupuk terhadap Produktivitas Padi... 11
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Perkembangan Produksi Padi Tahun 1974 – 2004 ... 85
2. Komponen Penentu (Impact Point) Teknologi Padi Sawah ... 86
3. Jumlah Penduduk Kecamatan Plered Berdasarkan Jenis Kelamin ... 91
4. Ukuran Rumahtangga dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Plered 92
5. Tingkat Penerapan Teknologi Usahatani Padi Sawah di Kecamatan
Plered ... 93
6. Deskripsi Varietas Ciherang ... 94
7. Deskripsi Varietas Cigeulis... 95
8. Data Variabel Bebas (Xi) dan Variabel Terikat (Pi) Fungsi Logit (Petani Peserta Program Pemupukan Berimbang) di Kecamatan
Plered, Tahun 2005 ... 96
9. Data Variabel Bebas (Xi) dan Variabel Terikat (Pi) Fungsi Logit (Petani Non Peserta Program Pemupukan Berimbang) di
Kecamatan Plered ... 97
10. Hasil Pendugaan Fungsi Logit Adopsi Teknologi Pemupukan
Berimbang di Kecamatan Plered ... 98
11. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Padi Sawah Teknologi Pemupukan Berimbang (Model I) di Kecamatan Plered ... 100
12. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Padi Sawah Teknologi Pemupukan Berimbang (Model II) di Kecamatan Plered ... 101
13. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Padi Sawah Teknologi Pemupukan Berimbang (Model III) di Kecamatan Plered ... 102
14. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Padi Sawah Teknologi Pemupukan Berimbang (Model IV) di Kecamatan Plered ... 103
15. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Padi Sawah Teknologi Pemupukan Berimbang (Model V) di Kecamatan Plered... 104
Pertanian No. 01/Kpts/SR.130/1/2006) ... 105
17. Penggunaan Pupuk pada Petani Peserta Teknologi Pemupukan
Berimbang ... 106
18. Penggunaan Pupuk pada Petani Non Peserta Program Pemupukan
Berimbang... 107
19. Data Variabel Bebas (Xi) dan Variabel Terikat (Y) Fungsi Produksi Padi Sawah (Petani Peserta Program Pemupukan Berimbang) di
Kecamatan Plered ... 108
20. Data Variabel Bebas (Xi) dan Variabel Terikat (Y) Fungsi Produksi Padi Sawah (Petani Non Peserta Program Pemupukan Berimbang)
di Kecamatan Plered ... 109
21. Data Biaya, Penerimaan, Pendapatan dan Keuntungan Usahatani Padi Sawah (Petani Peserta Program Pemupukan Berimbang)
di Kecamatan Plered ... 110
22. Data Biaya, Penerimaan, Pendapatan dan Keuntungan Usahatani Padi Sawah (Petani Non Peserta Program Pemupukan Berimbang)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Padi merupakan komoditas strategis dan utama dalam memenuhi kebutuhan
pangan nasional. Hal ini disebabkan bahwa 95 persen rakyat Indonesia masih
mengkonsumsi beras sebagai sumber bahan pangan karbohidrat (Ditjen Bina
Produksi Tanaman Pangan, 2004).
Selain berperan penting sebagai makanan pokok, padi merupakan sumber
perekonomian sebagian besar masyarakat di pedesaan. Kekurangan produksi
berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, dan
bahkan politik. Karena itu upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi
kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk tentu perlu mendapat perhatian utama dalam pembangunan pertanian
(Las, 2005).
Berdasarkan hasil prediksi Japan International Cooperation Agency (JICA)
tahun 1993, pada tahun 1999 konsumsi beras perkapita sebesar 152.97 kg, pada
tahun 2006 sebanyak 154.14 kg dan tahun 2025 sebanyak 147.00 kg, sehingga
secara berturut-turut dibutuhkan produksi beras sebanyak 35 145 000 ton pada
tahun 2006 dan sebanyak 40.04 juta ton pada tahun 2025. Terlihat bahwa mulai
tahun 2006 total konsumsi perkapita sudah mulai turun akan tetapi total
kebutuhan masih meningkat terus sampai tahun 2025 (Ditjen Bina Produksi
Tanaman Pangan, 2004).
Perhitungan berdasarkan kebutuhan pangan nasional, Indonesia dengan
giling (GKG) per tahun atau setara dengan 35 juta ton beras. Dengan luas lahan
yang ada maka produktivitas padi rata-rata harus di atas 4.9 ton/ha, sedangkan
hingga saat ini baru mencapai 4.6 ton/ha. Oleh karena itu, untuk mencapai
ketahanan pangan yang stabil dengan laju peningkatan kebutuhan beras 2 – 3
persen per tahun, pemerintah harus terus berupaya meningkatkan produktivitas
dan produksi padi secara intensif (Las, 2005).
Kebijakan pemerintah dalam penyediaan pangan, meliputi aspek (1)
pengadaan pangan secara nasional dengan cara memproduksi sendiri di dalam
negeri, atau impor bila diperlukan, (2) ketahanan pangan yang mampu mengatasi
gejolak ketidak-pastian, baik di tingkat makro maupun mikro (desa dan rumah
tangga), (3) terjaminnya kestabilan harga pangan yang mampu mengurangi laju
inflasi yang tidak menguntungkan bagi perekonomian nasional, dan (4)
terjaminnya mutu pangan dengan gizi seimbang dan tidak membahayakan
kesehatan (Hasan, 1994).
Namun kenyataannya pengadaan beras di dalam negeri dihadapkan kepada
sejumlah kendala seperti sarana produksi yang mahal dengan harga beras yang
tidak menentu, sehingga petani kurang bergairah untuk menerapkan cara
pengelolaan tanaman padinya secara optimal. Selain itu, adanya berbagai kendala
iklim, hama, dan penyakit tanaman serta kurangnya pengetahuan tentang
pemupukan berimbang akan menyebabkan turunnya produktivitas tanaman padi
dan rendahnya efisiensi penggunaan pupuk atau pemborosan input/sarana
produksi padi.
Usaha dalam meningkatkan produksi padi guna mencukupi kebutuhan
yang tepat, yaitu efisien, efektif, dan tidak mencemari lingkungan sehingga petani
dapat menerima keuntungan yang layak dan lingkungan yang sehat. Menurut
Makarim (2004), tujuan utama di atas dapat dicapai dengan menerapkan sistem
pertanian yang berdasarkan konsep yang disebut prescription farming.
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mempertimbangkan bahwa
sistem produksi pertanian padi merupakan suatu sistem dinamik, dimana produk
akhirnya (hasil padi) merupakan fungsi dari faktor iklim (radiasi surya, suhu), air,
tanah (fisik dan kimia) serta tanaman dengan berbagai karakternya yang bersifat
dinamik. Fluktuasi hasil dapat diterangkan sebagai akibat respon proses di dalam
tanaman terhadap perubahan faktor di atas. Input (pupuk) yang diberikan
merupakan pendukung terhadap kondisi tanah agar proses pertumbuhan tanaman
berjalan optimal pada lingkungan tertentu. Konsep ini kemudian dikenal dengan
istilah pemupukan berimbang (Makarim, 2004).
Usaha untuk meningkatkan produksi padi memerlukan sejumlah perbaikan
dalam cara pengelolaan. Efektivitas input dalam menaikkan produksi tanaman,
efisiensi dalam penggunaan input yang semakin langka dan mahal, serta tidak
merusak lingkungan harus diutamakan. Penggunaan teknologi yang spesifik
lokasi dengan menggunakan konsep agroekologi (Las, et al., 1991) dan ciri tanah
(Makarim, et al., 1992) diharapkan dapat memenuhi harapan di atas.
1.2. Perumusan Masalah
Permintaan pangan terutama beras di Indonesia terus meningkat seiring
peningkatan pertambahan penduduk. Pemenuhan kebutuhan pangan melalui
produksi pangan dalam negeri harus tetap dilakukan. Walaupun bahan pangan
pemenuhan kebutuhan pangan dari hasil produksi sendiri penting untuk
mengurangi ketergantungan pada pasar dunia dan upaya peningkatan pendapatan
petani. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya untuk mencukupi kebutuhan
pangan terutama beras dari produksi dalam negeri dengan harga yang terjangkau
oleh daya beli masyarakat (Rasahan, 2000).
Berbagai kebijakan dan program di bidang pertanian telah dilakukan dalam
upaya peningkatan produksi padi. Kemajuan teknologi pertanian yang dikenal
dengan Revolusi Hijau (Green Revolution) yang dimulai tahun 1968 merupakan
program intensifikasi padi yang dipadukan dengan rekayasa sosial ekonomi
(Abbas, 1997). Revolusi hijau diawali dengan ditemukannya varietas padi berdaya
hasil tinggi, berumur pendek, tanggap terhadap pemupukan dengan produksi yang
tinggi (Balai Penelitian Tanaman Padi, 2003). Revolusi hijau telah berhasil
mengimbangi kebutuhan akan beras yang terus meningkat sejalan dengan
pertumbuhan penduduk di Indonesia.
Tetapi keberhasilan tersebut juga menimbulkan ancaman terhadap
keberlanjutan usahatani, antara lain menurut Makarim, et al. (2004) terjadinya
kemunduran kualitas lahan sawah. Kemunduran tersebut dicirikan dengan
semakin meluasnya lahan kekurangan unsur hara. Di pulau Jawa, gejala
kekurangan beberapa unsur hara mikro telah teridentifikasi sejak tahun 1977.
Kemudian diketahui gejala tersebut telah meluas ke pulau-pulau lainnya.
Produksi padi nasional dalam dekade terakhir relatif tidak mengalami
peningkatan yang berarti, bahkan pada tahun-tahun tertentu cenderung turun.
(Balai Penelitian Tanaman Padi, 2002). Makarim, et al. (2004) juga menyatakan
sawah-sawah yang dikelola secara intensif telah diidentifikasi antara lain disebabkan oleh
menurunnya kualitas lahan. Kandungan bahan organik tanah, hara tanaman yang
tersedia dalam tanah tidak seimbang dan sifat fisika tanah yang tidak bisa
menopang pertumbuhan tanaman untuk mencapai produktivitas tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (2006), penggunaan pupuk yang digunakan petani
belum efisien, belum rasional, dan belum berimbang. Sebagian petani
menggunakan pupuk tertentu dengan dosis yang berlebihan, dan sebagian petani
menggunakan pupuk dengan dosis yang lebih rendah dari kebutuhan tanaman. Hal
ini mengakibatkan produksi yang dihasilkan petani tidak optimal karena
ketidakseimbangan hara dalam tanah.
Rekomendasi pemupukan padi sawah yang dilakukan petani sekarang masih
bersifat umum untuk semua wilayah Indonesia tanpa memperhatikan status hara
tanah dan kemampuan tanaman menyerap hara. Sementara status P dan K lahan
sawah bervariasi dari rendah sampai tinggi. Bahkan sebagian besar lahan sawah di
Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Lombok dan Bali berstatus hara P
dan K tinggi. Kadar P dan K yang tinggi dalam tanah akan menekan ketersediaan
unsur hara mikro seperti Zn dan Cu (Agus, et al., 2004).
Pada lahan sawah intensifikasi, pupuk urea diberikan secara berlebihan 300
– 500 kg Urea/ha (Balai Penelitian Tanaman Padi, 2003) dan sebagian besar
tanaman padi sudah tidak tanggap terhadap pemupukan P dan K (Agus, et al.,
2004). Hal ini akan menyebabkan produksi padi yang dihasilkan tidak sesuai
pemupukan sesuai dengan ketersediaan hara tanah dan kebutuhan tanaman dengan
pelaksanaan pemupukan secara berimbang.
Dalam perkembangan produksi padi di Indonesia, pulau Jawa memberikan
kontribusi dan memasok 60 persen produksi padi nasional. Produktivitas padi
menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.
Untuk tingkat produktivitas padi di Provinsi Jawa Barat (52.73) menunjukkan
angka di atas produktivitas rata-rata nasional (45.38) (BPS, 2005). Tetapi bila
memperhatikan produktivitas padi perkabupaten, maka terdapat beberapa
kabupaten di Jawa Barat yang produktivitasnya masih berada di bawah rata-rata
produktivitas provinsi bahkan di bawah tingkat produktivitas nasional.
Perlu diupayakan peningkatan produktivitas padi di kabupaten-kabupaten
yang produktivitasnya di bawah provinsi melalui pemupukan berimbang. Dengan
kondisi lahan sawah yang kelebihan/kekurangan hara tertentu, penerapan program
pemupukan berimbang akan dapat meningkatkan produksi, akan diperoleh
manfaat optimal dari unsur hara yang terkandung dalam pupuk dan bahkan bisa
memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan pemupukan dosis tinggi yang tidak
rasional. Dengan demikian tingkat pendapatan petani akan lebih baik.
Oleh karena itu, dari pelaksanaan program pemupukan berimbang di
Kabupaten Purwakarta, bagaimana pandangan petani terhadap teknologi
pemupukan berimbang? Sejauh mana adopsi teknologi pemupukan berimbang
oleh petani dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan petani dalam
penerapan teknologi pemupukan berimbang? Sejauh mana teknologi pemupukan
berimbang dapat meningkatkan produksi padi dan faktor-faktor apa saja yang
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang dilakukan pada usahatani padi sawah di Kecamatan
Plered Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat adalah:
1. Analisis pandangan petani terhadap teknologi pemupukan berimbang dan
tingkat penerapan teknologi pemupukan berimbang.
2. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk
mengadopsi teknologi pemupukan berimbang.
3. Pendugaan fungsi produksi dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi padi sawah dengan teknologi pemupukan berimbang.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi dan
keputusan petani untuk mengadopsi teknologi pemupukan berimbang yang telah
dilaksanakan di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta, diharapkan dapat
memberikan gambaran tentang perilaku petani padi sehingga dapat disusun
rekomendasi teknologi padi yang sesuai dengan agro-ekologinya dengan
mempertimbangkan aspek sosial ekonomi masyarakat.
Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak
berikut:
1. Petani
Sebagai tambahan informasi bagi petani padi dalam meningkatkan produksi
dan pendapatan usahatani.
2. Pemerintah
Sebagai masukan dalam perencanaan dan pelaksanaan program peningkatan
3. Penelitian selanjutnya
Sebagai bahan kajian dan informasi bagi penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan tujuan yang akan dicapai, maka penelitian ini terbatas pada
usahatani padi sawah, baik pada petani peserta program pemupukan berimbang
ataupun petani non peserta program pemupukan berimbang yang dilaksanakan di
Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Analisis produksi
ini mencakup faktor yang mempengaruhi produksi dan penentuan
faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan teknologi pemupukan berimbang pada
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Perberasan Indonesia
Kebijakan mengenai perberasan di Indonesia telah dilakukan sejak tahun
1969/1970. Kebijakan tersebut (tahun 1969/1970 s/d 1998) mencakup kebijakan
harga dasar gabah (HDG) atau dikenal dengan nama floor price policy dan
pembelian beras oleh pemerintah. Pada tahun 1969/1970, HDG berada pada harga
Rp 20,90/kg dan pada tahun 1997 HDG berada pada harga Rp 525,00
(perkembangan harga terlampir). Pelaksanaan pembelian gabah dan beras oleh
pemerintah dilakukan oleh Koperasi Unit Desa (KUD) yang membeli dengan
harga di atas HDP. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membantu petani dalam
peningkatan pendapatannya (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2005).
Kebijakan perberasan dalam Inpres No. 9 Tahun 2002 (Deputi Setnet
Bidang Hukum dan Perundang-Undangan, 2002) dan Inpres No. 2 Tahun 2005
(Deputi Setnet Bidang Hukum dan Perundang-Undangan, 2005) dilaksanakan
dengan mengimplementasikan kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) atau
dikenal dengan nama procurement price policy. Dengan kebijakan HPP,
pemerintah melalui Perum Bulog membeli gabah petani yang bertujuan untuk
memberikan insentif harga kepada petani pada harga yang relatif tinggi dibanding
harga pasar, dengan maksud untuk “mengangkat” harga gabah di tingkat petani
terutama pada saat panen raya.
Dalam Inpres No. 9 Tahun 2002 dan Inpres No. 2 Tahun 2005 juga
menetapkan kebijakan impor beras. Menurut Inpres No. 2 Tahun 2005 kebijakan
raya, yaitu satu bulan sebelum panen raya dan dua bulan sesudah panen raya
(Januari – Juni) untuk melindungi petani dari rendahnya harga beras. Bahkan pada
tahun 2005 ini kalau memungkinkan pelarangan impor beras akan berlanjut
sampai bulan Desember 2005.
2.2. Subsidi Pupuk
Dalam rangka mendukung ketahanan pangan, pemerintah telah melakukan
kebijakan subsidi pupuk. Pemberian subsidi pupuk oleh pemerintah dapat dilihat
dari sejarah perkembangan subsidi pupuk sebagai berikut (Ditjen Bina Sarana
Pertanian, 2004):
1. Pemberian subsidi pupuk untuk sektor pertanian dimulai pada tahun 1979 dan
berakhir Desember 1998.
2. Periode tahun 1998 – 2000, subsidi dan tataniaga pupuk dicabut dan distribusi
pupuk diserahkan pada mekanisme pasar.
3. Periode tahun 2001 – 2002, pemerintah mengalokasikan subsudi pupuk dalam
bentuk insentif gas domestic (IGD) untuk pupuk Urea.
4. Periode tahun 2003 – 2004, pemerintah mengalokasikan subsidi pupuk
melalui subsidi gas untuk pupuk Urea dan subsidi harga untuk pupuk non
Urea (SP-36, ZA dan NPK).
Pada periode 1979 – 1997, subsidi pupuk memberikan kontribusi pada
produktivitas sehingga dicapai swasembada beras pada tahun 1984. Pada akhir
Desember 1998 sampai tahun 2000, subsidi pupuk dicabut dan berakibat pada
penurunan produktivitas 4.38 ton.ha menjadi 4.22 ton/ha. Pada tahun 2001 –
2002, pemerintah memberikan subsidi pupuk melalui Insentif Gas Domestik
melalui penetapan harga gas dan pupuk non Urea melalui subsidi harga, sehingga
terjadi peningkatan produktivitas dari 4.22 ton/ha menjadi 4.43 ton/ha. Dampak
subsidi pupuk terhadap produktivitas padi, sejak tahun 1979 sampai dengan 2003,
dapat dilihat pada Gambar 1, di bawah ini:
Dampak Subsidi Pupuk
Sumber: Ditjen Bina Sarana Pertanian, 2004
Gambar 1. Dampak Subsidi Pupuk terhadap Produktivitas Padi Tahun 1979 – 1997, 1998 – 2000, dan Tahun 2001 – 2003
2.3. Penggunaan Pupuk dalam Menekan Biaya Produksi Padi
Walaupun harga pupuk telah disubsidi oleh pemerintah masih dirasakan
harga pupuk yang dikeluarkan petani tidak seimbang dengan harga gabah yang
diperoleh petani. Usaha yang dapat dilakukan petani dalam rangka memperoleh
keuntungan yang lebih besar dalam usahatani padi adalah dengan menekan biaya
produksi dengan pemakaian pupuk sesuai kebutuhan tanaman dan kondisi tanah.
Pemborosan dalam penggunaan pupuk akan meningkatkan biaya produksi
Aspek teknis yang dapat dilakukan untuk menekan biaya produksi dalam
pemakaian pupuk adalah: (1) reorientasi penggunaan pupuk, yaitu merubah
proporsi pemberian pupuk urea, SP-36, dan KCl, (2) efisiensi penggunaan pupuk
SP-36, (3) pemanfaatan jerami padi sebagai sumber K atau pengganti pupuk KCl,
dan (4) pemanfaatan bahan organik/pupuk kandang (Ditjen Bina Sarana Pertanian,
2004).
Tabel 1. Strategi Reorientasi Penggunaan Pupuk pada Padi Sawah Akibat Adanya Kenaikan Harga Pupuk Tanpa Subsidi
Takaran pupuk tidak bersubsidi (kg/ha) Sumber: Ditjen Bina Sarana Pertanian (2004)
Keterangan:
*) Harga perkiraan yang perlu penyesuaian kembali Pilihan 1: Untuk persawahan berstatus K tinggi, P rendah
(Biaya untuk pupuk relatif tetap)
Pilihan 2: Untuk persawahan berstatus P tinggi, K rendah (Biaya untuk pupuk relatif tetap)
Pilihan 3: Untuk persawahan berstatus K sedang/rendah, P sedang/rendah (Biaya untuk pupuk relatif tetap)
Dari Tabel 1, dapat dibandingkan bahwa takaran pupuk yang berlaku secara
umum lebih tinggi dalam penggunaan pupuk SP-36 (unsur P) dan KCl (unsur K)
dari takaran pupuk yang sudah berdasarkan status P dan K tanah. Modal yang
dibutuhkan untuk membeli pupuk (dengan takaran rekomendasi umum) adalah
Rp 537 500 (dengan memakai harga pupuk bersubsidi). Takaran pupuk yang
tergantung harga pupuk bersubsidipun biaya pupuk dapat ditekan dan penggunaan
pupuk lebih efisien.
2.4. Intensifikasi Padi
Intensifikasi padi adalah program pemerintah dalam peningkatan produksi
padi dengan penerapan teknologi panca usahatani/sapta usahatani yang meliputi
varietas padi unggul, rekomendasi pemupukan berimbang, pengendalian hama
terpadu, perbaikan cara bercocok tanam, penggunaan air secara efisien dan
penanganan panen dan pasca panen. Peningkatan kemampuan petani sebagai
pelaku utama pembangunan pertanian juga harus dilaksanakan agar mampu
mengadopsi teknologi yang dianjurkan (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan,
2002).
Selanjutnya menurut Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan (2002), tujuan
dari kegiatan intensifikasi adalah: (1) meningkatkan pendapatan dan taraf hidup
petani melalui peningkatan produktivitas dan pengembangan usahatani
berwawasan agribisnis, (2) meningkatkan produksi pangan untuk memenuhi
kebutuhan pangan di dalam negeri dalam rangka memantapkan ketahanan pangan
nasional, dan (3) mendorong pembangunan ekonomi pedesaan melalui
pemberdayaan kelembagaantani, penguatan permodalan, dan pengembangan
hubungan kemitraan.
Menurut Abbas (1997), pola intensifikasi telah diterapkan sejak adanya
rencana mewujudkan swasembada beras (SSB) pada tahun 1959. Di lapangan
dimulai dari Bimbingan Massal (Bimas), Inmas, Inmun, Insus, Opsus dan Supra
tersebut, terbukti dapat meningkatkan produksi padi. Perkembangan produksi padi
dari tahun 1974 sampai dengan tahun 2004 dapat dilihat pada Lampiran 1.
Penerapan teknologi intensifikasi dalam upaya peningkatan produksi padi
terdiri dari 10 unsur. Unsur tersebut yakni pengaturan pola tanam (IP>200),
pengolahan tanah secara sempurna, pencapaian populasi tanam ≥ 200.000
rumpun/ha, penggunaan benih unggul, pemakaian PPC/ZPT, pengaturan tataguna
air, termasuk pemupukan berimbang (Abbas, 1997).
2.5. Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan adopsi
teknologi telah banyak dilakukan, antara lain Buana (1997), Nahraeni (2000),
Santoso, et al. (2001), Surya (2002), Noer (2002), Pribadi (2002), dan lain-lain.
Untuk kasus Program Pemupukan Berimbang Padi Sawah di Provinsi Jawa Barat
belum ada yang menganalisis.
Buana (1997) menganalisis tingkat adopsi teknologi budidaya padi sawah di
Provinsi Sulawesi Tenggara melalui pendekatan Koefisien Korelasi Peringkat
Spearman. Hasil analisisnya memberikan gambaran bahwa tingkat adopsi petani
terhadap teknologi budidaya padi sawah tergolong sedang; petani telah
melaksanakan budidaya padi sawah tetapi belum sesuai dengan rekomendasi
penyuluh pertanian setempat. Karakteristik internal (pendidikan formal, jumlah
tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan pendapatan) menunjukkan
hubungan yang nyata dan bersifat positif, yang menjelaskan bahwa semakin tinggi
pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan
pendapatan semakin tinggi tingkat adopsi teknologinya sedangkan umur dan
yang menjelaskan bahwa semakin lama berusahatani semakin menurun tingkat
adopsi teknologinya.
Nahraeni (2000) dengan analisis keputusan menggunakan model logit
diperoleh hasil bahwa keputusan petani untuk mengadopsi teknologi sangat terkait
dengan faktor resiko, keyakinan, dan pendapatan yang tinggi dari teknologi
tersebut. Upaya-upaya pembinaan langsung di lapang dan demonstrasi lapang
lebih efektif dalam mendorong penerapan teknologi tabela di Kabupaten Cianjur,
Jawa Barat.
Santoso, et al. (2001) mengkaji mengenai tingkat penerapan teknologi
Sistem Usaha Pertanian (SUP) padi di wilayah Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo
dan Jember yang dilakukan pada tahun 1998/1999 sampai dengan tahun 2000
dengan analisis deskriptif memakai sistem skor. Hasil kajian menunjukkan bahwa
adopsi teknologi anjuran pada sistem usahatani padi di wilayah pengkajian, belum
sepenuhnya diadopsi oleh petani. Teknologi anjuran yang diadopsi oleh petani
peserta di Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo dan Jember sekitar 53 persen,
sedangkan teknologi anjuran yang terdifusi oleh petani non peserta mencapai
sekitar 47 persen. Adopsi teknologi telah berdampak terhadap peningkatan
produktivitas dan pendapatan usahatani padi, yaitu sekitar 9 persen dan 26 persen.
Agar adopsi teknologi ajuran dapat berlanjut, disarankan agar dorongan
pemerintah daerah, pembinaan dan bimbingan melalui kelompok tani
ditingkatkan.
Surya (2002) menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi petani
dalam mengadopsi usahatani padi metode Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
penerapan metode PHT, Metode PHT perlu terus dikembangkan dimana dapat
meningkatkan pendapatan petani dengan mengurangi biaya tunai usahatani dan
menjaga kelestarian lingkungan.
Noer (2002) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ubi
kayu dengan adanya Program Ittara di Kabupaten Lampung Timur dengan model
fungsi produksi Cobb-Douglas, menunjukkan bahwa produksi ubi kayu secara
nyata dipengaruhi oleh lahan, bibit, pupuk, dan pestisida. Faktor produksi tenaga
kerja walaupun bernilai positif tetapi tidak berpengaruh nyata pada produksi ubi
kayu karena ketersediaannya yang cukup.
Pribadi (2002) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
penentu adopsi teknologi Sawit Dupa pada usahatani padi di lahan pasang surut
Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa teknologi Sawit Dupa dapat
meningkatkan produksi dan pendapatan petani padi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi padi adalah lahan, pupuk, dan tenaga kerja dalam
keluarga. Proses adopsi teknologi sawit dupa di Kalimantan Selatan dipengaruhi
oleh ketersediaan benih varietas unggul dan resiko produksi yang cukup besar.
Teknologi Sawit Dupa pada umumnya diadopsi oleh petani yang mempunyai
pendapatan rendah, dimana mereka tidak memiliki akses yang baik terhadap jenis
pekerjaan lain sehingga penerapan teknologi Sawit Dupa ini memberikan
III. KERANGKA TEORITIS
3.1. Program Pemupukan Berimbang
Program Pemupukan Berimbang adalah suatu upaya peningkatan
produktivitas padi dan kualitas gabah yang dihasilkan (Ditjen Bina Produksi
Tanaman Pangan, 2004). Untuk memperoleh produksi gabah yang optimal dengan
mutu yang baik dan memperhatikan kelestarian kesuburan lahan, maka
pemupukan berimbang perlu disosialisasikan sampai ke petani sebagai pelaksana
usahatani.
Yang dimaksud dengan pemupukan berimbang menurut Abbas (1997)
adalah pemberian pupuk (hara) sesuai dengan kebutuhan tanaman baik dalam
jumlah maupun jenis pupuk (hara) yang dikaitkan dengan sifat tanah, status hara
tanah, kebutuhan tanaman serta keadaan lingkungan. Hal itu dapat dicapai tidak
hanya melalui penambahan unsur hara yang kurang, tetapi juga dapat mengurangi
pemberian unsur hara yang berlebihan. Ditambahkan oleh Ditjen Bina Produksi
Tanaman Pangan (2004), dalam aplikasi pemupukan berimbang di lapangan,
selain memperhatikan asas 6 tepat (tepat waktu, jumlah, jenis, harga, mutu, dan
penggunaan) juga disesuaikan dengan kondisi wilayahnya (spesifik lokasi).
Penggunaan pupuk yang tepat jumlah untuk lokasi yang spesifik menurut
Makarim, et al. (2004) akan sangat menguntungkan baik secara teknis, ekonomis
dan lingkungan.
Tujuan dari program peningkatan produktivitas melalui penerapan
1. Mendorong petani untuk menerapkan teknologi dengan menggunakan benih
unggul bermutu dan pemupukan berimbang
2. Mendorong peningkatan produktivitas dan produksi padi dalam upaya
mendukung ketahanan pangan sehingga produksi sesuai dengan kebutuhan
3. Menyiapkan sarana produksi di tingkat petani secara enam tepat
4. Mendorong terjalinnya kemitraan usaha antara petani/kelompoktani dengan
penggilingan padi/stakeholders lainnya
5. Meningkatkan dan mendorong kegiatan perekonomian di pedesaan,
Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan mengurangi impor beras.
Program peningkatan produksi padi melalui pemupukan berimbang meliputi
penerapan teknologi seperti penggunaan varietas unggul bermutu, sistem tanam,
pengendalian gulma hama penyakit terpadu (PHT). Teknologi anjuran dalam
Program Pemupukan Berimbang adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan varietas unggul bermutu:
Varietas
a. Varietas Produksi Tinggi (IR-64, Way Apu Buru, dan lain-lain)
b. Padi Tipe Baru (Fatmawati, Ciherang, Gilerang)
c. Padi Hibrida (Maro, Rokan, dan lain-lain)
Benih
a. Pemakaian benih 30 kg/ha
b. Umur benih muda 15 – 21 hari
2. Cara Tanam:
Tanam Pindah (Tapin)
Jarak tanam 20 cm x 20 cm, 20 cm x 25 cm, 25 cm x 25 cm
3. Pemupukan dan jenis pupuk:
Dosis pupuk
a. Pupuk Tunggal
Urea 250 kg/ha
SP-36 100 kg/ha
KCl 75 – 100 kg/ha
b. Pupuk Majemuk
NPK Kujang 400 kg/ha
NPK Phonska 300 kg/ha + Urea 150 kg/ha
c. Pupuk Kandang 200 – 500 kg/ha
Jadwal pemupukan
Pemupukan I = 0 – 10 hari setelah tanam (hst)
Pemupukan II = 30 – 35 hst
4. Pengendalian Gulma:
Penyiangan secara manual dilakukan 2 kali setiap 1 hari setelah pemupukan
5. Pengendalian OPT
a. Menggunakan pestisida nabati/alami
b. Menggunakan pestisida (kimiawi) bila perlu
3.2. Perubahan Teknologi
Salah satu syarat pokok pembangunan pertanian menurut Mosher (1978)
adalah terjadinya perubahan teknologi. Perubahan teknologi di sektor pertanian
menurut Ghatak dan Ingersent (1984) meliputi perubahan secara teknik (induced
technical change) dan perubahan kelembagaan (induced institutional change).
Perubahan secara teknik berhubungan dengan perubahan yang terjadi dalam cara
memproduksi suatu output pada gugus pilihan yang efisien sedangkan perubahan
kelembagaan berkaitan dengan cara-cara bagaimana masyarakat melakukan
kerjasama, fungsi, dan tingkah lakunya sebagai pribadi dan kelompok
dihubungkan dengan tingkah lakunya sendiri dan orang lain dalam proses
produksi (Hutabarat, 1988).
Program Pemupukan Berimbang merupakan inovasi teknologi usahatani
padi sawah dengan menggunakan teknologi baru dengan pemakaian benih unggul
bermutu, pemupukan berimbang dan teknik budidaya yang dianjurkan. Benih padi
yang ditanam oleh petani peserta program pemupukan berimbang adalah benih
berlabel, varietasnya Ciherang dan Cigeulis yang merupakan varietas produksi
tinggi. Sedangkan jenis pupuk an-organik yang digunakan adalah pupuk majemuk
NPK yang mampu meningkatkan produksi padi 1.02 – 1.83 ton/ha dibandingkan
dengan pupuk tunggal (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2004). Benih dan
pupuk ini disediakan oleh PT. Pertani sebagai mitra kerja petani dengan
pembayaran secara yarnen dan produksi gabah petani ditampung/dibeli oleh PT.
Pertani.
Pada beberapa asumsi menyatakan produksi pada keadaan teknologi tetap.
A TPP2
Y2
Y1’
Y2’
Y1
mengalami perubahan setiap tahun/musim tanam. Penggunaan teknologi baru
dalam proses produksi akan menyebabkan peningkatan hasil (output) dari setiap
kombinasi sumberdaya (input) yang digunakan (Debertin, 1986). Dampak
perubahan teknologi, kurva produksi bergerak ke arah kanan luar. Kemajuan
teknologi menyebabkan pertumbuhan produksi. Produksi semakin meningkat
(Chisholm and McCarty, 1978).
Berdasarkan hasil penelitian Sidhu (1974), dengan penggunaan teknologi
baru (penggunaan varietas baru pada komoditas gandum) telah menggeser ke atas
fungsi produksi gandum. Hal ini berimplikasi bahwa dengan menggunakan
varietas baru output yang dihasilkan akan lebih besar. Dengan demikian, Program
Pemupukan Berimbang yang dilaksanakan di Kecamatan Plered Kabupaten
Purwakarta diharapkan dapat meningkatkan produksi padi yang dihasilkan petani.
Output (Y)
Dari hasil penelitian Hert (1981) terhadap petani di Philiphina, dengan
teknologi modern dalam usahatani padi akan terjadi pergeseran fungsi produksi
yang menunjukkan respon output terhadap pemakaian input produksi. Program
Pemupukan Berimbang dengan teknologi barunya akan menggunakan input dari
X1 menjadi X2, sehingga output yang dihasilkan berubah dari Y1 menjadi Y2. Pada
saat itu nilai produk marginal sama dengan harga input (Px).
3.3. Pendekatan Fungsi Produksi
Menurut Debertin (1986) beberapa bentuk fungsi yang dapat digunakan
untuk menduga fungsi produksi, antara lain Cobb-Douglas, The Spillman
Production Function, Trancendental Production Function, Fungsi Produksi
Cobb-Douglas dengan elastisitas input variabel, Modifikasi de Janvry, dan bentuk
Polinomial.
Bentuk fungsi produksi yang dipakai dalam penelitian ini adalah fungsi
linier Cobb-Douglas. Dipilihnya fungsi ini mengingat menggambarkan
karakteristik pola produksi komoditas padi, aplikasinya secara empiris lebih
sederhana dalam analisis, pada fungsi produksi Cobb-Douglas nilai dugaan
parameternya sekaligus juga menunjukkan nilai elastisitasnya.
Fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk studi empirik pertama kali
tahun 1928 dalam jurnal American Economic Riview. Fungsi produksi
Cobb-Douglas yang asli menggunakan dua input produksi tenaga kerja (L) dan modal
(K) dengan persamaan fungsi produksi sebagai berikut:
α α −
= 1
L AK
dimana:
L = Tenaga kerja (labor) K = Modal (capital)
Karakteristik dari fungsi produksi di atas adalah 1) homogenous berderajat satu, 2)
diminishing MPPL dan MPPK, A menggambarkan teknologi, dan 3) mudah
diestimasi.
Bentuk umum fungsi Cobb-Douglas dapat dirumuskan seperti persamaan di
bawah ini:
Dapat dilakukan transformasi ke dalam bentuk logaritma natural, sebagai berikut:
µ
Dari fungsi tersebut, dapat diketahui elastisitas produksinya sebagai berikut:
[
i i][
i i]
i3.4. Proses Adopsi Teknologi
3.4.1. Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang
Inovasi didefinisikan oleh Rogers (1983) sebagai suatu ide atau gagasan,
tindakan atau barang baru oleh individu atau masyarakat. Inovasi juga diartikan
sesuatu hal yang baru yang belum banyak
diketahui/diterima/diterapkan/dilaksanakan tetapi juga dapat mendorong
terjadinya pembaharuan dalam masyarakat.
Untuk memproduksi suatu inovasi, menurut Fadholi (1986) menyatakan
bahwa ada empat faktor yang harus menjadi perhatian dan pertimbangan, yaitu (1)
secara teknis memungkinkan, (2) secara ekonomi menguntungkan, (3) secara
sosial juga memungkinkan, dan (4) sesuai dengan kebijakan pemerintah. Hal ini
dilakukan agar inovasi yang telah dirancang dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan Rogers (1983)
menjelaskan bahwa variabel yang menentukan tingkat adopsi adalah (1)
sejauhmana inovasi dianggap lebih menguntungkan (relative advantage), (2)
kesesuaian dengan norma dan kebutuhan yang ada (compatibility), (3) tingkat
kerumitan dalam penerapannya oleh pengguna (complexity), (4) dapat dicoba oleh
pengguna dengan sumberdaya yang ada (trialability), dan (5) sejauhmana manfaat
penerapan inovasi dapat diketahui oleh penggunanya.
Menurut Rogers (1983), terdapat lima langkah dalam proses keputusan
inovasi, yaitu (1) Pengenalan (knowledge), adanya pemahaman terhadap inovasi
baru, (2) Persuasi (persuation), adanya sikap terhadap inovasi, (3) Keputusan
(Decision), adanya keputusan menerima atau menolak inovasi, (4) Implementasi
(Implementation), melakukan inovasi, dan (5) konfirmasi (confirmation),
penguatan dari keputusan yang telah dibuat.
Dalam keputusan yang dilakukan individu terhadap inovasi, ada
kemungkinan individu akan melanjutkan mengadopsi (continued adoption) atau
mencari informasi lebih lanjut dan terlambat mengadopsinya (later adoption) atau
tetap menolak (continued rejecttion) sesuai dengan informasi yang diterimanya.
Sesuai dengan kategorinya, Rogers (1983) mengelompokkan individu yang
mengadopsi suatu inovasi (adopter) atas lima kategori sebagai berikut:
1. Innovators, kelompok kosmopolit yang berani dan gemar dengan
pembaharuan.
2. Early Adopter, kelompok yang terdiri dari pemimpin informal sebagai
panutan bagi adopter selanjutnya
3. Early Majority, kelompok yang biasanya menjadi anggota tetapi lebih awal
mengadopsi inovasi daripada anggota kelompok lain
4. Late Majority, kelompok yang bertindak menjauhi resiko
5. Laggards, kelompok yang tradisional
3.4.2. Penyuluhan Pertanian
Pengembangan usahatani tidak terlepas dari peran kelembagaan yang
terdiri dari beberapa instansi yang menyangkut penelitian maupun penyuluhan.
Instansi baik pemerintah maupun swasta yang melakukan penelitian dan
pengembangan pertanian merupakan tempat menghasilkan teknologi-teknologi
baru yang akan diadopsi oleh petani sebagai subjek pertanian. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat disampaikan kepada petani melalui peran komunikator
penyuluhan (transfer alih teknologi).
Penyuluh pertanian mempunyai peran dalam proses alih teknologi sehingga
dapat diadopsi oleh petani. Cepat atau lambatnya proses adopsi teknologi oleh
Proses transfer alih teknologi menurut Soekartawi (1988), dapat dilakukan
melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan berdasarkan kelembagaan dan
pendekatan berdasarkan proses. Pendekatan berdasarkan kelembagaan melalui
lembaga penyuluhan pertanian (BPP). Di BPP, Penyuluh Pertanian Lapangan
(PPL) merencanakan dan membuat program penyuluhan yang dapat disampaikan
kepada petani dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi (demplot, demfarm,
demarea) atau dengan cara lain. PPL bersama-sama dengan kelompoktani
meneruskan informasi tersebut kepada petani, melalui kunjungan lapangan atau
pertemuan dengan anggota kelompoktani.
Pendekatan berdasarkan proses dilakukan melalui identifikasi. Diperlukan
suatu identifikasi mengenai rekomendasi yang ditetapkan dalam suatu BPP.
Setelah permasalahan di wilayah BPP (WKBPP) tersebut diidentifikasi, maka
disusun program sebagai bahan penyuluhan yang dapat berupa latihan-latihan
ataupun kunjungan PPL ke lapangan.
Kegiatan penyuluhan pertanian meliputi: (1) memfasilitasi proses
pembelajaran petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis, (2)
memberikan rekomendasi dan mengihtiarkan akses petani dan keluarganya ke
sumber-sumber informasi dan sumberdaya yang akan membantu mereka dalam
memecahkan masalah yang dihadapi, (3) membantu menciptakan iklim usaha
yang menguntungkan, (4) mengembangkan organisasi petani menjadi organisasi
sosial ekonomi yang tangguh, dan (5) menjadikan kelembagaan penyuluhan
sebagai lembaga mediasi dan intermediasi, terutama yang menyangkut teknologi
3.5. Model Pilihan Kualitatif
Model Pilihan Kualitatif (Model of Qualitative Choice) adalah suatu model
dimana variabel terikat (dependent variable) Y melibatkan dua atau lebih pilihan
kualitatif. Kemungkinan atau peluang yang terpilih adalah salah satu dari dua atau
lebih pilihan yang tersedia. Pada Model of Qualitative Choice, variabel terikat Y
digambarkan sebagai dummy variable (0,1) atau lebih dikenal dengan Model
Pilihan Binary (Binary-Choice Model), dimana individu-individu dihadapkan
pada suatu pilihan diantara dua alternatif dan pilihan mereka tergantung pada
karakteristik masing-masing individu tersebut (Pindyck dan Rubinfeld, 1981).
Pindyck dan Rubinfeld (1981) menyatakan bahwa untuk menjawab
masalah-masalah yang sifatnya binary choice terdapat empat model yang dapat
digunakan, yaitu linear probability model, probit model, dan logit model.
Selanjutnya menurut Pindyck dan Rubinfeld (1981) serta Simatupang (1988),
model linier mempunyai kelemahan karena terdapat kemungkinan nilai peluang
bersyaratnya berada di luar kisaran (0 - 1), sehingga sulit dilakukan pendugaan
selanjutnya menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square). Sedangkan pada
model probit dan model logit persyaratan ini selalu dipenuhi karena nilai
peluangnya selalu berada pada kisaran (0 - 1), namun model probit lebih rumit
perhitungannya dan sukar diduga dibandingkan model logit. Oleh karena itu,
model logit lebih banyak digunakan dalam penelitian terapan seperti yang
dilakukan dalam penelitian ini.
Model logit didasari oleh Fungsi Peluang Logistik Komulatif dan secara
⎟
apabila kedua ruas kanan dan ruas kiri dari persamaan (3.6) dibagi dengan Pidan
kemudian dikurangi 1, maka diperoleh:
⎟⎟
jika ruas kanan dan ruas kiri di-log-kan, maka diperoleh:
⎟⎟
atau dari persamaan (3.5) diperoleh:
i 1 - Pi = Peluang petani tidak mengadopsi suatu teknologi
α = Intersep
β = Parameter peubah Xi
Xi = Vektor peubah bebas (i = 1, 2, 3, ……., n)
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2005. Lokasi penelitian adalah
di Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara
purposive dimana Kabupaten Purwakarta merupakan salah satu daerah
pelaksanaan program pemupukan berimbang, tepatnya di Kecamatan Plered.
Kecamatan Plered sebagai pelaksana program pemupukan berimbang
merupakan kecamatan usulan dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten
Purwakarta dengan pertimbangan bahwa petani padi sawah di Kecamatan Plered
telah melakukan pemupukan N, P, K tetapi belum memakai pupuk secara
berimbang, tidak termasuk daerah Program Peningkatan Mutu Intensifikasi (PMI)
Padi dan KUT.
4.2. Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan panduan
kuisioner yang telah dipersiapkan untuk petani padi sawah di Kecamatan Plered
yang menjadi responden.
Responden adalah petani yang mengikuti program pemupukan berimbang
(petani peserta program pemupukan berimbang) dan yang tidak mengikuti
program pemupukan berimbang (petani non peserta program pemupukan
berimbang). Petani peserta program pemupukan berimbang adalah petani yang
mendapatkan input (benih dan pupuk) dari dana program yang disalurkan melalui
yang menyediakan dan membeli sendiri input produksinya Jumlah total responden
adalah 55 petani, 30 petani peserta program pemupukan berimbang dan 25 petani
non peserta program pemupukan berimbang. Pemilihan responden dilakukan
dengan metode penarikan contoh acak sederhana (simple random sampling).
Data primer yang dikumpulkan meliputi data identitas rumahtangga, data
profil petani dan luas lahan usahatani, seluruh data aktivitas produksi, hasil
penjualan, biaya produksi dan pendapatan usahatani. Termasuk di dalamnya data
penggunaan bibit, pupuk, pestisida dan tenaga kerja sebagai variabel yang
mempengaruhi produksi. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh data yang
benar-benar menggambarkan kegiatan produksi. Disamping itu juga data harga
input variabel dan data harga produksi di masing-masing wilayah penelitian yang
akan digunakan untuk menghitung tingkat pendapatan petani.
Data sekunder meliputi keadaan umum wilayah penelitian dan gambaran
umum program pemupukan berimbang. Data ini diperoleh dengan wawancara dan
pengamatan langsung terhadap instansi terkait di Kabupaten Purwakarta dan
Propinsi Jawa Barat. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan gambaran
umum daerah penelitian dan gambaran umum pelaksanaan program pemupukan
berimbang.
4.3. Metode Analisis
4.3.1. Pandangan Petani terhadap Program Pemupukan Berimbang dan Tingkat Penerapan Teknologi Usahatani Padi Sawah
Tidak semua petani di Kecamatan Plered mau dan melaksanakan program
pemupukan berimbang. Dari wawancara langsung (kuisioner) dengan petani
program pemupukan berimbang. Pandangan/alasan petani ini dikelompokkan
sebagai faktor-faktor pendorong dan faktor-faktor penghambat bagi petani dalam
mengikuti program pemupukan berimbang. Hasil wawancara dengan petani
responden ini ditabulasi dan dianalisis sehingga dapat menggambarkan beberapa
faktor yang mendorong dan menghambat petani dalam menerapkan teknologi
program pemupukan berimbang di daerah penelitian.
Analisis tingkat penerapan teknologi usahatani padi sawah di Kecamatan
Plered dilakukan untuk melihat persentase (%) tingkat penerapan teknologi
pemupukan berimbang yang dilakukan oleh petani baik petani peserta program
pemupukan berimbang maupun petani non peserta program pemupukan
berimbang. Data yang diperoleh juga merupakan data kualitatif dari hasil
wawancara langsung (kuisioner) dengan petani responden.
Dari data kualitatif yang diperoleh dianalisis dengan memakai metoda skor
(dikuantitatifkan) dengan daftar komponen faktor penentu (impact point) tanaman
padi (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Purwakarta, 2005). Daftar
komponen faktor penentu tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.
Cara perhitungan persentase (%) tingkat penerapan teknologi pemupukan
berimbang di Kecamatan Plered adalah sebagai berikut:
1. Nilai, diperoleh dari setiap butir komponen faktor penentu sesuai dengan
jawaban dari masing-masing responden.
2. Nilai Total, diperoleh dari jumlah nilai pada point 1.
3. Nilai yang diharapkan, diperoleh dari skor maksimum setiap butir komponen
faktor penentu.
Bentuk umum persamaan tingkat penerapan teknologi pemupukan
berimbang pada usahatani padi sawah di Kecamatan Plered adalah sebagai
berikut:
% TPT = Persentase (%) Tingkat Penerapan Teknologi
Bobot total = 800
Hasil kriteria dari % TPT yang diperoleh adalah:
Tinggi, jika % TPT > 75%
Sedang, jika % TPT 60% - 75%
Rendah, jika % TPT < 60%
4.3.2. Model Logit
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani
melaksanakan usahatani dengan teknologi pemupukan berimbang, maka
dilakukan analisis dengan menggunakan pendekatan fungsi logit. Model logit
didasarkan pada Fungsi Peluang Logistik Kumulatif (Pyndick dan Rubinfeld,
1991), sedangkan pendugaan parameternya dilakukan dengan metode Maximum
Likelihood Estimation (MLE). Fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
dimana:
Pi = Peluang petani melaksanakan program pupuk berimbang
α = Intersep
X1 = Luas lahan usahatani (ha)
CX3 = Biaya pupuk (Rp)
RISK = Resiko produksi (kg) P = Harga gabah (Rp)
B = Keuntungan usahatani (Rp) PR = Pendidikan formal petani (tahun) PUR = Pengalaman usahatani (tahun)
βi = Parameter peubah Xi
Tanda parameter yang diharapkan: β1, β4, β5, β6, β7 > 0;β2,β3 < 0
Variabel-variabel luas lahan, biaya pupuk, resiko produksi, harga gabah,
keuntungan usahatani, pendidikan dan pengalaman usahatani dipilih dalam
persamaan fungsi logit di atas dengan pertimbangan bahwa variabel independen
yang berhubungan dengan proses adopsi suatu teknologi (Roger and Shoemaker,
1971) dipengaruhi oleh personal petani sendiri (personality variable) dan sosial
ekonomi (socioeconomic status) dari petani yang akan mengadopsi suatu
teknologi dalam usahataninya. Variabel pendidikan formal dan pengalaman
usahatani diharapkan dapat menggambarkan sumberdaya manusia (personality
variable) dan luas lahan, biaya pupuk, resiko produksi, harga gabah, dan
keuntungan usahatani diharapkan dapat menggambarkan sosial ekonomi
(socioeconomic varieble).
4.3.3. Model Fungsi Produksi
Untuk menduga hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah di
Kecamatan Plered, digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi
penerapan teknologi pemupukan berimbang dan usahatani padi sawah tanpa
penerapan teknologi pemupukan berimbang, terdiri dari 6 (enam) variabel bebas
yaitu 5 (lima) variabel input produksi dan 1 (satu) variabel dummy. Sedangkan
pendugaan parameter fungsi produksinya dilakukan dengan metode kuadrat
terkecil (Ordinary Least Square), dengan menggunakan program Statistical
Analysis System/Econometric Time Series (SAS/ETS) release 9.0, dengan fungsi
produksi yang dirumuskan sebagai berikut:
LnY = β0+β1LnX1+β2LnX2+β3LnX3+β4LnX4+β5LnX5+λ1D1+µ …... (4.3)
Produksi padi yang dihasilkan petani sampel untuk satu kali proses produksi usahatani (kg)
Luas lahan usahatani padi yang diusahakan petani (ha)
Jumlah penggunaan benih padi untuk satu kali proses produksi usahatani (kg)
Jumlah pupuk an-organik, yaitu jumlah pupuk tunggal (Urea, KCl, SP-36) dan pupuk majemuk (NPK, Phonska) yang digunakan untuk satu kali proses produksi usahatani (kg) Jumlah tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan selama satu kali proses produksi usahatani (HOK)
Jumlah tenaga kerja luar keluarga yang digunakan selama satu kali proses produksi usahatani (HOK)
Dummy program (D1 = 1, petani peserta program pemupukan
berimbang, D1 = 0 untuk petani non peserta program
pemupukan berimbang) Intersep
Parameter yang diduga Kesalahan pengganggu
Tanda paramerer yang diharapkan (hipotesis): β1, β2, β3, β4, β5, λ1 > 0
Parameter untuk semua input diharapkan bertanda positif, artinya semakin
besar penggunaan input maka produksi akan semakin meningkat. Variabel dummy
program digunakan untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan program pemupukan
berimbang terhadap peningkatan produksi padi sawah yang dihasilkan di
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Wilayah Kecamatan Plered
Kecamatan Plered merupakan salah satu kecamatan yang berada di sebelah
Selatan Kabupaten Purwakarta. Jaraknya dari Ibukota Kabupaten sekitar 17 km.
Luas wilayah Kecamatan Plered 3 148 hektar, yang terdiri dari luas lahan sawah
1 197 dan 1 951 hektar luas lahan bukan sawah.
Secara administratif, di sebelah Utara Kecamatan Plered berbatasan dengan
Kecamatan Babakansari dan Citekokaler, sebelah Selatan dengan Kecamatan
Darangdan, sebelah Barat dengan Kecamatan Citeko dan Gandamekar, di sebelah
Timur berbatasan dengan Kecamatan Pasawahan. Keadaan tanah di daerah ini
secara umum mempunyai pH bervariasi antara 4.5 – 5.5 dengan ketinggian 241
dari permukaan laut (dpl). Jenis tanah di Kecamatan Plered adalah podzolik.
Kedalaman tanah efektif mayoritasnya lebih dari 90 cm.
Keadaan iklim di Kecamatan Plered termasuk iklim basah tipe A
(Puslittanak, 2002) dengan tujuh bulan basah dan 5 bulan kering menurut Schmidt
dan Ferguson dengan temperatur antara 19 - 30°C atau rata 24.5°C dan
rata-rata curah hujan tahunan 2 963 mm. Pergiliran musim penghujan dan musim
kemarau dalam keadaan normal musim penghujan jatuh pada bulan Oktober –
Maret dan musim kemarau jatuh pada bulan April – September (Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Kabupaten Purwakarta, 2004).
Berdasarkan data BPS (2003), jumlah penduduk di Kecamatan Plered
berjumlah 60 438 orang atau 8.47 persen dibandingkan dengan jumlah penduduk
sebanyak 11 202 Kepala Keluarga (KK) dengan ukuran rumahtangga rata-rata 5
orang per keluarga (lihat Lampiran 3 dan 4).
5.2. Gambaran Umum Pertanian Kecamatan Plered
Kegiatan pertanian terutama untuk tanaman padi di Kecamatan Plered
memanfaatkan lahan sawah seluas 1 197 ha yang terdiri dari sawah irigasi dan
sawah tadah hujan, seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas Lahan Sawah di Kecamatan Plered Tahun 2005
Uraian Luas (ha) Luas (%)
Sawah Irigasi
1 Irigasi Teknis 235 19.63
2 Irigasi setengah teknis 315 26.32
3 Irigasi sederhana 188 15.71
4 Irigasi non PU 108 9.02
Sawah Tadah hujan 351 29.32
Total 1 197 100
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Purwakarta (2005)
Adapun realisasi tanam padi di Kecamatan Plered berdasarkan data
Kabupaten Purwakarta Dalam Angka (2003), luas panen 2 051 ha dengan
produktivitas 52.17 ku/ha sehingga menghasilkan produksi padi sebanyak 10 700
ton GKP. Tingkat produktivitas padi di Kecamatan Plered lebih tinggi dari
rata-rata produktivitas padi kabupaten (50.52 ku/ha).
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang sering menyerang tanaman
padi di Kecamatan Plered diantaranya tungro, hama putih, BLB, tikus, dan ulat
grayak. Pengendalian hama dan penyakit tanaman (PHT) padi oleh Dinas
Pertanian Kabupaten Purwakarta lebih ditekankan pada pengendalian secara alami
dan ramah lingkungan. Petani di Kecamatan Plered dilatih PHT dengan
rempah-rempah/dedaunan yang mudah didapat di lingkungan sekitar. Selain tidak
mencemarkan lingkungan juga murah harganya.
Sedangkan penggunaan pupuk di Kecamatan Plered pada umumnya
menggunakan pupuk tunggal yaitu Urea Pril, TSP/SP-36, ZA dan KCl.
Belakangan ada kecenderungan petani untuk menggunakan pupuk
organik/kandang tetapi petani yang menggunakannya masih relatif sedikit yang
tertarik dengan pertanian organik. Dengan adanya program pupuk berimbang
diharapkan petani yang terbiasa menggunakan pupuk tunggal akan beralih
menggunakan pupuk majemuk yang terbukti dapat meningkatkan produksi yang
diperoleh petani.
5.3. Gambaran Umum Petani Sampel
Berdasarkan hasil wawancara terhadap seluruh petani sampel, diperoleh
data karakteristik petani di daerah penelitian. Data ini meliputi umur, pendidikan,
jumlah anggota keluarga, pengalaman usahatani, status dan luas lahan yang
dimiliki.
5.3.1. Karakter Petani Sampel
Penelitian dilakukan di Kecamatan Plered dengan responden sebanyak 55
responden. Berikut ini akan disajikan karakteristik responden dan usahataninya.
Pemaparan karakteristik ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi sosial
ekonomi petani dan keragaan usahatani padi di Kecamatan Plered.
Petani sampel sebagian besar berumur antara 41 – 50 tahun dan di atas 50
tahun, yaitu 43.33 persen (13 orang) untuk petani peserta program pemupukan
orang) untuk petani non peserta program pemupukan berimbang berumur antara
41 – 50 tahun dan 44 persen (11 orang) di atas 50 tahun. Sedangkan yang berumur
antara 31 – 40 tahun jumlahnya paling sedikit, yaitu 13.33 persen (4 orang) untuk
petani peserta program pemupukan berimbang dan 8 persen (2 orang) untuk
petani non peserta program pemupukan berimbang.
Dari penyebaran umur petani sampel terlihat bahwa pada umumnya petani
di Kecamatan Plered telah memasuki usia tua. Semakin tua umur semakin
berkurang kekuatan fisiknya sehingga produktivitasnya semakin menurun. Harus
ada regenerasi agar keberlanjutan pertanian khususnya usahatani padi terus
berjalan dan berkesinambungan.
Umur petani akan mempengaruhi fisiknya untuk bekerja dan berfikir.
Menurut Soeharjo dan Patong (1973), umumnya petani yang berumur muda dan
sehat mempunyai kemampuan fisik yang lebih kuat daripada petani tua. Petani
muda lebih cepat menerima inovasi baru (kosmopolit = terbuka) serta lebih berani
menanggung resiko dibandingkan petani tua.
Tingkat pendidikan petani responden sebagian besar tamat SD, sebagian
tamat SLTP. Pada petani peserta program pemupukan berimbang sudah ada yang
menduduki bangku kuliah (3.33 persen) sedangkan pada petani responden non
pupuk berimbang paling tinggi pendidikan formalnya SLTA (8 persen). Dilihat
dari tingkat pendidikan formalnya, petani responden masih memerlukan tambahan
pendidikan baik secara formal ataupun pelatihan-pelatihan tentang inovasi
teknologi padi sehingga dapat menunjang keberhasilan usahatani padi yang
Petani yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih
banyak menggunakan teknologi baru dibandingkan dengan yang mempunyai
pendidikan rendah, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan semakin respon
dalam menggunakan input-input baru. Menurut Soeharjo dan Patong (1973),
pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi cara berfikir petani. Pendidikan
yang lebih tinggi dan umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis.
Tabel 3. Karakteristik Petani Sampel di Kecamatan Plered
Pupuk Berimbang Non Pupuk Berimbang Uraian Jumlah 3. Pengalaman Usahatani
Pada umumnya petani responden melakukan usahatani padi merupakan
turun temurun, sesuai dengan kebiasaan yang telah diwariskan dari orang tua
mereka. Jadi, petani responden telah mulai mengenal usahatani padi sejak kecil
dan menekuninya (sebagai patokan perhitungan pengalaman usahatani) setelah
berumahtangga untuk menghidupi keluarganya. Pengalaman usahatani petani
responden sebagian besar berkisar 10 – 20 tahun dan sebagian 21 – 30 tahun, 31 –
40 tahun, bahkan ada yang mempunyai pengalaman di atas 40 tahun. Petani yang
relatif tua mempunyai kapasitas pengelolaan usahatani yang lebih matang.
Jumlah tanggungan keluarga petani responden berkisar antara 1 – 7 orang.
Jumlah tanggungan 1 – 2 orang pada petani peserta program pupuk berimbang
sebanyak 10 keluarga (33.33 persen) dan pada petani non peserta program
pemupukan berimbang juga sebanyak 10 keluarga (40 persen), jumlah tanggungan
3 – 4 orang pada petani peserta program pemupukan berimbang sebanyak 13
keluarga (43.33 persen)dan non peserta program pemupukan berimbang 11
keluarga (44 persen), dan di atas 4 orang pada petani peserta program pemupukan
berimbang sebanyak 7 keluarga (23.33 persen) dan pada petani non peserta
program pemupukan berimbang sebanyak 4 keluarga (16 persen). Anak-anak
petani responden tidak dapat diharapkan sebagai tenaga kerja dalam keluarga
karena mereka sebagai pelajar atau bersekolah.
Status lahan umumnya merupakan milik sendiri, yaitu pada petani peserta
program pemupukan berimbang sebanyak 29 petani (96.67 persen) dan pada
petani non peserta program pemupukan berimbang sebanyak 23 petani (92