• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Pembuktian Dalam Transaksi Transfer Dana Dengan Menggunakan Telepon Seluler

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Hukum Pembuktian Dalam Transaksi Transfer Dana Dengan Menggunakan Telepon Seluler"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK HUKUM PEMBUKTIAN DALAM TRANSAKSI TRANSFER

DANA DENGAN MENGGUNAKAN TELEPON SELULER

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NIM : 11O2OO439

GRACIA WULANDARI MANURUNG

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

i

Gracia Wulandari Manurung* Mahmul Siregar**

Windha***

Kehadiran teknologi informasi telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan manusia khususnya dalam bidang perekonomian. Salah satu pengaruh yang diberikan adalah produk perbankan elektronik atau e-banking.

SMS banking atau m-banking merupakan salah satu produk layanan e-banking

yang paling mudah digunakan dimana saja dan kapan saja khususnya dalam transaksi transfer dana. Penggunaan layanan ini tidak selalu berjalan dengan baik, baik karena kelalaian nasabah maupun pihak bank sehingga menyebabkan adanya pihak yang dirugikan.Dalam penyelesaian masalah ini diperlukan adanya pemahaman tentang bagaimana ketentuan alat bukti elektronik menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, kemudian bagaimana pula transaksi transfer dana dengan menggunakan telepon seluler menurut hukum positif serta bagaimana keabsahan pembuktiannya yang menjadi permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode pendekatan yuridis normatif dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) disertai dengan mengumpulkan data dan membaca referensi melalui peraturan, majalah, internet, dan sumber lainnya, kemudian diseleksi dengan data-data yang layak untuk mendukung penulisan. Pnelitian hukum normatif dalam skripsi ini didasarkan pada data sekunder dan dianalisis secara kualitatif.

Ketentuan alat bukti elektronik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memberikan kepastian hukum bahwa informasi elektronik dan dokumen elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah seperti alat bukti lainnya. Transaksi transfer dana dengan menggunakan telepon seluler menurut hukum positif termasuk dalam transaksi elektronik yaitu dengan menggunakan layanan

sms banking, keabsahan pembuktiannya diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Kata Kunci : transaksi elektronik, transfer dana, hukum pembuktian

* Mahasiswa

(3)

ii

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menghantarkan penulis sampai di batas ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari perhatian, bimbingan, dorongan dan bantuan dari semua pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Rutung Sitepu SH, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan

I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan; Bapak Syafruddin

Hasibuan, S.H.,M.H, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara Medan; Bapak Dr. Ok Saidin, S.H.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Ibu Windha, S.H.,M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara Medan dan Dosen Pembimbing II yang banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Dr.Mahmul Siregar, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang

banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Ramli Siregar,S.H.,M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum

(4)

iii

7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

8. Terkhusus untuk kedua orang tua penulis, Almarhum Bapak Pdt. Sudin

Manurung, M.Th., yang terkasih yang masih sempat memberikan dukungan

dan semangat untuk penyelesaian tugas akhir ini di semester 7 penulis dan Almarhumah Ibu Ratna Juniar Pasaribu, yang terlebih dahulu pergi ke pangkuan Bapa di Surga di semester 5 perkuliahan penulis , terima kasih yang sebesar-besarnya atas doa, nasihat dan kasih sayang dan segala bentuk dukungan baik moral maupun mental yang selalu diberikan yang tidak mungkin dapat penulis lupakan dan balas sampai kapan pun.

9. Kakak Maria Fransiska Manurung,S.Sos., dan Abang Daniel Andrea

Hutapea,S.E., serta seluruh keluarga penulis, atas dukungan dan

bimbingannya selama penyelesaian tugas akhir ini.

10.David Halomoan Sidabutar, karena terus menjadi adik dan partner terbaik

penulis yang memberikan doa, kasih dan dukungan moral serta mental, juga waktu dan tenaga bagi penulis sehingga skripsi ini boleh selesai tepat waktu.

11.Erick Michael Pranata Kaban, S.H. dan Roulinta Y. Sinaga, S.H., yang

(5)

iv

13.Teman-teman pengurus dan anggota Gerakan Mahasiswa Nasional

Indonesia (GMNI), untuk dukungan moral serta mental dimana penulis boleh

merasakan kasih persaudaraan yang sebenarnya lewat teman-teman.

14.Teman-teman pengurus dan anggota Ikatan Mahasiswa Hukum Ekonomi

(IMAHMI), untuk motivasi dan dukungan untuk boleh sama-sama berjuang

dalam penyelesaian tugas akhir ini.

15.Teman-teman anggota Kebaktian Mahasiswa Kristen Universitas

Sumatera Utara Unit Pelayanan Fakultas Hukum (UKM KMK USU UP

FH), untuk setiap doa dan pembelajaran yang boleh penulis terima lewat

teman-teman.

16.Kelompok kecilku BOC_ ImagoDei, bg Doni Hermanto Sihombing, S.T.,

Dameriana Manalu, Maye Cronika Sinaga dan Salmon Silangit untuk

setiap doa, kasih dan dukungan moral yang benar-benar saya boleh rasakan lewat kalian.

(6)

v

(7)

vi

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KETENTUAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Arti Pembuktian dan Hukum Pembuktian ... 18

B. Teori/Sistem Pembuktian ... 25

C. Klasifikasi Bukti Elektronik ... 31

D. Ketentuan Alat Bukti Elektronik Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ... 37

BAB III TRANSAKSI TRANSFER DANA DENGAN

(8)

vii

C. Transaksi Transfer Dana dengan Menggunakan

Telepon Seluler Menurut Hukum Positif ... 80

BAB IV KEABSAHAN PEMBUKTIAN DALAM

TRANSAKSI TRANSFER DANA DENGAN MENGGUNAKAN TELEPON SELULER

A. Beban Pembuktian dalam Transaksi Transfer Dana dengan Menggunakan Telepon Seluler……….……….89 B. Keabsahan Pembuktian Dalam Transaksi

Transfer Dana dengan Menggunakan Telepon

Seluler ... 94 C. Implementasi Pembuktian Terkait Sengketa

dalam Transfer Dana dengan Menggunakan

Telepon Seluler ... 102 BAB V PENUTUP

(9)

i

Gracia Wulandari Manurung* Mahmul Siregar**

Windha***

Kehadiran teknologi informasi telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan manusia khususnya dalam bidang perekonomian. Salah satu pengaruh yang diberikan adalah produk perbankan elektronik atau e-banking.

SMS banking atau m-banking merupakan salah satu produk layanan e-banking

yang paling mudah digunakan dimana saja dan kapan saja khususnya dalam transaksi transfer dana. Penggunaan layanan ini tidak selalu berjalan dengan baik, baik karena kelalaian nasabah maupun pihak bank sehingga menyebabkan adanya pihak yang dirugikan.Dalam penyelesaian masalah ini diperlukan adanya pemahaman tentang bagaimana ketentuan alat bukti elektronik menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, kemudian bagaimana pula transaksi transfer dana dengan menggunakan telepon seluler menurut hukum positif serta bagaimana keabsahan pembuktiannya yang menjadi permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode pendekatan yuridis normatif dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research) disertai dengan mengumpulkan data dan membaca referensi melalui peraturan, majalah, internet, dan sumber lainnya, kemudian diseleksi dengan data-data yang layak untuk mendukung penulisan. Pnelitian hukum normatif dalam skripsi ini didasarkan pada data sekunder dan dianalisis secara kualitatif.

Ketentuan alat bukti elektronik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memberikan kepastian hukum bahwa informasi elektronik dan dokumen elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah seperti alat bukti lainnya. Transaksi transfer dana dengan menggunakan telepon seluler menurut hukum positif termasuk dalam transaksi elektronik yaitu dengan menggunakan layanan

sms banking, keabsahan pembuktiannya diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Kata Kunci : transaksi elektronik, transfer dana, hukum pembuktian

* Mahasiswa

(10)

1

A.Latar Belakang

Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia pada berbagai aspek kehidupan, yang dilakukan secara berkelanjutan berlandaskan pada kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan perkembangan global. Pembangunan di bidang hukum merupakan bagian dari pembangunan nasional, karena hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat tidak boleh ketinggalan dari proses perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. 1 Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum sebagai sarana pembaruan (pembangunan) masyarakat harus berkembang seiring dengan lajunya pembangunan/perkembangan di segala bidang kehidupan.2

Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan hukum diarahkan sesuai dengan konsep pembangunan hukum di Indonesia, yang harus dilakukan dengan jalan peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional antara lain dengan mengadakan pembaruan, kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat; menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing;

1

Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata (Bandung: Alumni, 2009), hlm.1.

2 Ibid

(11)

peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum; memupuk kesadaran hukum masyarakat; serta membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah/Negara ke arah komitmen yang kuat dalam penegakan hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.3

Pembaharuan pembangunan hukum ditandai dengan perkembangan yang terjadi dalam bidang perundang-undangan antara lain dengan terbentuknya berbagai perundang-undangan baru, seperti diantaranya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UUP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan (selanjutnya disebut UUDP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) juga Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana (selanjutnya disebut UUTD). Pembentukan perundang-undangan itu dilakukan berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam era globalisasi sekarang ini.4

Pembangunan hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini terkait dengan munculnya berbagai fenomena baru yang merupakan implikasi dari kemajuan teknologi dan informasi yang antara lain ditandai dengan era teknologi dan informatika yang memperkenalkan dunia maya (cyberspace) dengan hadirnya interconnected network (selanjutnya

3

Ilhami Bisri, Sistim Hukum Indonesia : Prinsip-Prinsip & Implementasi Hukum di Indonesia (Jakarta : Rajawali Pers, 2004), hlm. 127.

4

(12)

disebut internet) yang mempergunakan komunikasi tanpa kertas (paperless document).5

Lembaga perbankan yang sarat dengan teknologi harus mengikuti dan mengusahakan teknologi sebagai bagian dari sistem pelayanannya, yang dikenal dengan electronic banking (selanjutnya disebut e-banking). Perkembangan teknologi akan mengubah secara radikal sistem transaksi perbankan, yang pada akhirnya mengubah budaya perbankan. Transaksi-transaksi konvensional melalui kertas, cepat atau lambat akan ditinggalkan. Pada akhirnya, transaksi perbankan akan sangat tergantung pada perkembangan sistem komunikasi ini. Tegasnya, e-banking merupakan tumpuan harapan dari seluruh transaksi perbankan di masa mendatang.6 Secara umum, sistem layanan perbankan yang menggunakan e-banking dikategorikan antara lain Automatic Teller Machine (selanjutnya disebut ATM) Banking; Kartu Debit; Kartu Kredit; Internet Banking; Short Message Service (selanjutnya disebut SMS) Banking; Call Banking; Phone Banking, IP Phone Banking; kartu penarikan fasilitas lain, termasuk sarana bayar lainnya.7

Berdasarkan sistem layanan perbankan di atas penggunaan telepon seluler untuk transaksi e-banking lebih mudah dikarenakan telepon seluler (ponsel) atau telepon genggam (telgam) atau handphone (HP) adalah perangkat telekomunikasi elektronik yang mempunyai kemampuan dasar yang sama dengan telepon konvensional saluran tetap, namun dapat dibawa ke mana-mana dan tidak perlu

5Ibid

.

6

Try Widiyono., Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia

(Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), hlm.195.

7 Ibid

(13)

disambungkan dengan jaringan telepon menggunakan kabel.8 Saat ini Indonesia mempunyai dua jaringan telepon nirkabel yaitu sistem GSM (Global System for Mobile Telecommunications) dan sistem CDMA (CodeDivision Multiple Access).

Adapun perusahaan penyelenggara telekomunikasi seluler terbesar di Indonesia adalah Telkomsel, XL, dan Indosat. Untuk lebih mendorong perluasan layanan, Bank Indonesia (selanjutnya disebut BI) melakukan fasilitasi untuk menciptakan sinergi kerjasama bisnis antar pelaku sistem pembayaran, yaitu dengan melakukan interkoneksi antar ketiga perusahaan telekomunikasi tersebut. Interkoneksi layanan transfer antaroperator seluler tersebut bertujuan untuk efisiensi industri sistem pembayaran dan diharapkan dapat mendorong percepatan adopsi uang elektronik secara massal. Selain itu juga akan memberikan lebih banyak kemudahan bagi nasabah untuk melakukan transfer dana dan kedepannya layanan pembayaran lintas operator serta mendukung keuangan inklusif.9

Layanan pembayaran lintas operator seluler yang canggih atau fasilitas apa saja yang dapat dimanfaatkan nasabah berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada masing-masing layanan, baik secara tertulis maupun yang terdapat dalam mesin ATM pada saat pendaftaran dan atau input data, dimana masing-masing bank mempunyai fasilitas e-banking yang berbeda-beda, sesuai tingkat teknologi informasi yang dimiliki. Penggunaan layanan ini tidak selalu berjalan

8

Telepon Genggam, tanggal 23 Oktober 2014).

9

Transaksi Transfer Dana via Ponsel Melonjak, http://bisnis

(14)

dengan baik karena kelalaian nasabah atau kesalahan oleh pihak bank sehingga menyebabkan adanya pihak yang dirugikan. Dalam penyelesaian masalah ini diperlukan adanya alat bukti yang dapat menerangkan siapa pihak yang telah melakukan kesalahan. Akan tetapi sistem pembuktian atas transaksi e-banking

masih diperdebatkan.10

Dilihat dari aspek pembuktian, maka input data yang terdapat dan atau yang dikeluarkan oleh sarana elektronik tersebut belum sepenuhnya mendapatkan perlindungan hukum sebagai alat bukti di hadapan hakim pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari praktik yang mengharuskan adanya print out dalam bentu kertas (paper).11

B.Rumusan Masalah

Hal inilah yang melatarbelakangi saya menguraikan tentang Aspek Hukum Pembuktian Dalam Transaksi Transfer Dana Dengan Menggunakan

Telepon Seluler.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana ketentuan alat bukti elektronik menurut peraturan perundang- undangan di Indonesia?

2. Bagaimana transaksi transfer dana dengan menggunakan telepon seluler menurut hukum positif ?

3. Bagaimana keabsahan pembuktian dalam transaksi transfer dana dengan menggunakan telepon seluler?

10

Try Widiyono, Op.Cit., hlm. 196.

11Ibid

(15)

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan alat bukti elektronik menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia.

b. Untuk mengetahui bagaimana transaksi transfer dana dengan menggunakan telepon seluler menurut hukum positif.

c. Untuk mengetahui keabsahan pembuktian dalam transfer dana dengan menggunakan telepon seluler.

2. Manfaat penulisan

Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini memiliki manfaat antara lain: a. Secara teoritis

Sebagai sumbangsih pemikiran penulis, skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai tambahan dokumentasi segi hukum dalam rangka membahas penerapan alat bukti elektronik dalam transaksi transfer dana dengan menggunakan telepon seluler dalam ketentuan undang-undang. b. Secara praktis

(16)

c. Secara akademis

Secara akademis, manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam hal ini Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

D.Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Aspek Hukum Pembuktian dalam Transaksi Transfer Dana dengan Menggunakan Telepon Seluler”, yang belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal ini dibenarkan oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum/ Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum yang menyatakan bahwa “tidak ada judul yang sama” dan tidak terlihat adanya keterkaitan.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah hasil pemikiran penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku, referensi-referensi buku, media elektronik dan bantuan dari berbagai pihak, dalam rangka memenuhi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(17)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian transaksi elektronik

Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.12 Pada perkembangannya, transaksi yang memanfaatkan teknologi tersebut diatas dikenal dengan istilah electronic commerce (selanjutnya disebut e-commerce)

yang didefinisikan Wikipedia sebagai berikut:13

Pasal 1 Angka 2 UU ITE mendefinisikan Transaksi Elektronik sebagai transaksi yang dilakukan secara elektronik yang pada dasarnya merupakan perikatan-perikatan

Electronic commerce, commonly known as (electronic marketing) e-commerce or e-e-commerce, consist of the buying and selling of products or services over electronic systems such as the Internet and other computer networks. The amount of trade conducted electronically has grown extraordinarily with widespread Internet usage. The use of commerce is conducted in this way, spurring and drawing on innovations in electronic funds transfer, supply chain management, Internet marketing, online transaction processing, electronic data interchange (EDI), inventory management systems, and automated data collection systems. Modern electronic commerce typically uses the World Wide Web at least at some point in the transaction’s lifecycle, although it can encompass a wider range of technologies such as e-mail as well.

14

12

Republik Indonesia, Undang‐Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Bab I, Pasal 1 Angka 2.

13

Resa Raditio, Aspek Hukum Perikatan,Pembuktian,dan Penyelesaian Sengketa Dalam Transaksi Elektronik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 3.

14

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. (Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 2004), hlm. 1.)

(18)

komputer global atau internet. Hubungan hukum sendiri dapat diartikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (subyek hukum) yang mempunyai akibat hukum berupa hak dan kewajiban sesuai hukum.15

Hubungan hukum dalam e-commerce tersebut timbul sebagai perwujudan dari asas kebebasan berkontrak (laissez faire) yang mengikat para pihak (pacta sun servanda)16. Hal ini diatur dalam “buku wajib” aturan hukum perdata di Indonesia, yaitu Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( selanjutnya disebut KUH Pdt.) yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku halnya sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Meskipun demikian, kebebasan berkontrak dalam e-commerce tetap mempunyai pembatasan-pembatasan dalam KUH Pdt.17

a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Pdt. yang menyatakan bahwa sahnya suatu perjanjian wajib didasarkan pada:

Kesepakatan adalah persesuaiam kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lain. Pengertian sesuai disini adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui oleh orang lain.18

15

Resa Raditio, Op.Cit.,hlm. 7.

16

Asas pacta sunt servanda merupakan asas dalam hukum perdata yang menyangkut kontrak atau disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat kontrak dimana hakim atau pihak ketiga tidak boleh mengintervensi kontrak. (Yahman, Karakteristik

Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan yang Lahir dari Hubungan Kontraktual (Surabaya:

Kencana, 2014) hlm. 76.)

17

Pasal 53 UU ITE menyatakan bahwa pada saat berlakunya UU ITE , semua peraturan perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertentangan dengan UU ITE dinyatakan tetap berlaku.

18

(19)

b. Kecakapan bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum.19

Objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah kewajiban debitor dan hak kreditor. Prestasi terdiri dari memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Prestasi harus dapat ditentukan, dibolehkan dimungkinkan, dan dapat dinilai dengan uang.

c. Adanya objek perjanjian

20

Pasal 1320 KUH Pdt. tidak menjelaskan pengertian kausa yang halal, dan dalam Pasal 1337 KUH Pdt. hanya disebutkan kausa yang terlarang. Dikatakan terlarang apabila perjanjian tersebut bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, maka ketentuan tersebut dikatakan tidak memiliki kekuatan atau lazim disebut batal demi hukum. d. Adanya kausa yang halal.

21

Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut maka dapat terlihat bahwa keabsahan suatu kontrak diukur dari terpenuhinya kehendak para pihak pada klausula-klausula yang di sepakati. Itu sebabnya, Pasal 1320 KUH Pdt. dengan tegas menyebutkan kesepakatan para pihak sebagai unsur perjanjian yang pertama dan utama. Pasal 1320 Ayat (1) KUH Pdt. ini mewajibkan para pihak dalam membuat kontrak (perjanjian tertulis) harus sama-sama memberikan dan meminta

19Ibid

.,hlm. 84.

20Ibid

.,hlm. 85.

21Ibid

(20)

dipenuhinya hak dan kewajibannya. Kontraknya sendiri merupakan suatu ‘piagam’ yang menjadi dasar sekaligus pedoman bagi para pihak dalam melakukan perjanjian itu. Karena itu selama kontrak e-commerce telah memenuhi kesepakatan para pihak dan telah tertuang secara nyata (tertulis) maka secara hukum kontrak e-commerce tersebut dapat dikatakan telah memenuhi unsur pertama syarat sahnya perjanjian tersebut.22

2. Pengertian transfer dana

Hal ini pun telah sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UU ITE Jo. Pasal 19 UU ITE yang intinya menyatakan bahwa “para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati.”

Transfer Dana adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari Pengirim Asal yang bertujuan memindahkan sejumlah Dana kepada Penerima yang disebutkan dalam Perintah Transfer Dana sampai dengan diterimanya Dana oleh Penerima.23

Hukum pembuktian adalah suatu rangkaian peraturan tata tertib yang harus dipedomani hakim dalam proses persidangan untuk menjatuhkan putusan bagi pencari keadilan.

3. Pengertian dan tujuan pembuktian

24

22

Resa Raditio, Op.Cit.,hlm. 7.

23

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana, Bab I, Pasal 1 Angka 1.

24

H.P.Panggabean, Hukum Pembuktian: Teori-Praktik dan Yurisprudensi Indonesia

(Jakarta : Alumni, 2012), hlm. 1.

(21)

menghasilkan suatu penetapan (jika pengadilan voluntair atau peradilan semu). Oleh karena itu, tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan pada pembuktian itu.25

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris, yaitu research. Kata

research berasal dari re (kembali) dan to search (mencari). Research berarti mencari kembali. Karena itu, penelitian pada dasarnya merupakan ”suatu upaya pencarian.” Pada dasarnya yang dicari adalah pengetahuan atau pengetahuan yang benar.26

Menurut Soerjono Soekanto, tipologi penelitian hukum dapat dibagi dalam hukum normatif dan hukum empiris. Hal ini diungkapkan sebagai berikut.27

Penelitian hukum normatif atau biasa disebut penelitian yuridis normatif, terdiri atas:

a. Penelitian hukum normatif

28

1) Penelitian terhadap asas-asas hukum; 2) Penelitian terhadap sistematika hukum; 3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum; 4) Penelitian sejarah hukum;

25

Achmad Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata (Jakarta : Kencana, 2012), hlm. 57.

26

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm.1.

27Ibid

., hlm. 12 .

28Ibid

(22)

5) Penelitian perbandingan hukum. b. Penelitian hukum empiris

Penelitian hukum empiris atau sosiologis, terdiri atas:29 1) Penelitian terhadap identifikasi hukum; dan

2) Penelitian terhadap efektivitas hukum.

Penelitan hukum yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen elektronik terkait, dan beberapa buku mengenai transaksi elektronik, transaksi transfer dana, telepon seluler, serta aspek hukum pembuktian.

Penulisan skripsi ini bersifat penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang keadaan yang menjadi objek penelitian yakni pembuktian dalam transaksi transfer dana dengan menggunakan telepon seluler. Penulisan skripsi ini juga menggunakan pendekatan yuridis yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan peraturan perundang-undangan serta literatur hukum yang berhubungan dengan permasalahan skripsi ini.

29Ibid

(23)

2. Data penelitian

Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat secara tidak langsung dari objek penelitian. Data penelitian terdiri dari:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif).30

1) Peraturan perundang-undangan, misalnya KUH Pdt., Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), UUTD, UU ITE, dan sebagainya.

Bahan hukum tersebut terdiri atas :

2) Catatatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi.31

1) Buku-buku teks yang membahas tentang transaksi elektronik, transaksi transfer dana, telepon seluler, dan aspek hukum pembuktiannya.

Publikasi tersebut terdiri atas:

2) Artikel-artikel hukum.

30 Ibid

., hlm. 47.

31

(24)

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yaitu mencakup bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku, baik dari koleksi pribadi dan perpustakaan, artikel-artikel dari media elektronik, dan peraturan perundang-undangan.

4. Analisa data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.32

32

(25)

G.Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat hal-hal yang bersifat umum antara lain memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II KETENTUAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK MENURUT

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Bab ini membahas tentang arti pembuktian dan hukum pembuktian, teori/sistem pembuktian, klasifikasi bukti elektronik dan ketentuan alat bukti elektronik menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia.

BAB III TRANSAKSI TRANSFER DANA DENGAN

MENGGUNAKAN TELEPON SELULER MENURUT HUKUM POSITIF

(26)

BAB IV KEABSAHAN PEMBUKTIAN DALAM TRANSAKSI TRANSFER DANA DENGAN MENGGUNAKAN TELEPON SELULER

Bab ini membahas tentang keabsahan pembuktian dalam transaksi transfer dana dengan menggunakan telepon seluler,beban pembuktian dalam transaksi transfer dana dengan menggunakan telepon seluler, implementasi pembuktian terkait sengketa dalam transfer dana dengan menggunakan telepon seluler.

BAB V PENUTUP

(27)

18

E.Arti Pembuktian dan Hukum Pembuktian

Bukti, pembuktian atau membuktikan dalam Hukum Inggris sering menggunakan istilah dua perkataan, yaitu: proof dan evidence. Sementara itu dalam hukum Belanda disebut “bewijs.” Untuk memahami pengertian hukum pembuktian, terlebih dahulu harus memahami arti dari pembuktian atau membuktikan. 33 Sebuah pengertian telah dikemukakan oleh Soedikno Mertokusumo, sebagai berikut:34

1. Kata membuktikan dikenal dalam arti logis. Pembuktian di sini berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Di sini aksioma dihubungkan menurut ketentuan logika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan yang memberi kepastian mutlak.

2. Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensional. Di sini pun membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, selain kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya, yang mempunyai tingkatan-tingkatan:35

a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan belaka maka kepastian ini bersifat intuitif, dan disebut

conviction intime.

b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee.

c. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan

33

Achmad Ali, Op.Cit.,hlm.15.

34

R.M. Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 96.

35Ibid.

(28)

mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensional yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian, pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak, hal ini terlihat bahwa ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.

Tentang pengertian dari istilah “evidence” itu sendiri, Sir Roland Burrows memberikan definisi sebagai berikut:36

Definisi yang dikemukakan oleh Sir Roland Burrows mengandung dua pengertian yang utama dari kata “evidence,” yaitu:

evidence as used in judicial proceeding, has several meanings. The two mainsense of the word are: firstly, the means, apart form argument and inference, whereby the court is informed as to the issues of fact ascertained by the pleadings; secondly, the subject matter of such means. The word is also use to denote that some fact may be admitted as proof and also in some cases that some fact which relevance to the issues of fact. In a real sense evidence is that which may be placed before the court in order that it may decide the issue of the fact. There are also other shades of meaning that is not necessary to discuss here. Thus it has been held that “evidence” in the inheritance (Family Provision) Act, 1938, covers all material that persons outside a court of law take into consideration when deciding how to act (Re Vrindt, Vrindt V. Swain, (1940) Ch, 920).

Evidence, in the first sense, means the testimony, whether oral, documentary or real, which may be legally received in order to prove or disproved some fact in dispute….”

37

1. Bagian dari alasan dan kesimpulan, dengan jalan mana pengadilan mengetahui peristiwa yang dipersengketakan sebagai suatu kepastian. 2. Pokok dari persoalan apa saja.

Selain itu, perkataan “evidence” juga menurut Sir Roland digunakan:38

36Ibid

., hlm. 18.

37Ibid

.

38Ibid

(29)

1. Untuk menunjukkan beberapa fakta yang mungkin dikenali sebagai bukti.

2. Dan juga dalam beberapa kasus tentang beberapa fakta yang mempunyai relevansi dengan peristiwa yang dipersengketakan.

Di kalangan ahli hukum Indonesia Supomo mengemukakan pengertian pembuktian menurut cara membuktikannya sebagai berikut:39

1. Pengertian yang luas.

Pembuktian adalah membenarkan hubungan dengan hukum. Misalnya hakim mengabulkan tuntutan penggugat, maka pengabulan ini berarti bahwa hakim menarik kesimpulan bahwa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar. Berhubung dengan itu, maka membuktikan dalam arti yang luas adalah memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat bukti yang sah. 2. Pengertian dalam arti terbatas.

Berarti bahwa yang perlu dibuktikan itu hanyalah hal-hal yang dibantah oleh tergugat. Hal ini yang diakui tergugat tidak perlu dibuktikan lagi. Demikian juga kita tidak bisa mengatakan bahwa pembuktian hanya untuk menghasilkan putusan, karena pada umumnya pengertian “putusan” hanya berlaku bagi pengadilan yang sesungguhnya, yaitu dalam hal persengketaan ada, sedangkan dalam pengadilan voluntair hanya dihasilkan “penetapan.”

Makna hukum pembuktian adalah suatu rangkaian peraturan tata tertib yang harus dipedomani hakim dalam proses persidangan untuk menjatuhkan putusan bagi pencari keadilan. Lebih lanjut, Munir Fuady mendefinisikan hukum pembuktian itu sebagai suatu proses dalam Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana maupun hukum acara lainnya yakni penggunaan prosedur kewenangan

39Ibid

(30)

hakim untuk menilai fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pngadilan untuk dapat dibuktikan kebenarannya.40

Subekti mengemukakan bahwa hukum pembuktian memberikan aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka hakim.41 Sementara Achmad Ali dan Wiwie Heryani merumuskan batasan tentang pengertian hukum pembuktian sebagai hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan tentang pembuktian yang menggunakan alat bukti yang sah sebagai alatnya dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran melalui putusan atau penetapan hakim. 42

Sistem hukum mengenal adanya klasifikasi hukum materiil dan hukum formal. Hukum formal memuat aturan-aturan tentang tata tertib persidangan, maka posisi hukum pembuktian sudah tepat ditentukan dalam klasifikasi hukum formal. Dalam sistem hukum Indonesia, ternyata status hukum pembuktian tidak hanya ditemukan dalam hukum formal (hukum acara), tetapi juga diatur (ditentukan) dalam materiil dapat diartikan bahwa hukum pembuktian dalam klasifikasi hukum materiil adalah untuk menjamin penerapan hukum materiil tersebut dalam proses persidangan.43

Dasar hukum pembuktian dapat diuraikan sebagai berikut.44

40

H.P. Panggabean, Op.Cit., hlm. 1.

41

Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm. 5.

42

Achmad Ali, Op.Cit., hlm. 23.

43

H.P. Panggabean, Loc.Cit.

44

Agus Putu Agung, “Dasar Hukum Pembuktian”,

(31)

1. Hukum Acara Perdata

Pada dasarnya, aturan tentang pembuktian dalam masalah perdata diatur lebih terperinci dalam KUH Pdt., bukan dalam hukum acaranya. Mengapa hal ini bisa terjadi, para pakar hukum masih memperdebatkan masalah tersebut. Sebenarnya pembuktian merupakan bagian dari hukum acara perdata. Diaturnya pembuktian dalam KUH Pdt. karena masih adanya kerancuan dari makna hukum formil dan hukum materil.45

Satu sisi hukum materil diartikan sebagai hukum dalam suasana damai dan hukum formil adalah hukum dalam suasana pertentangan. Dalam hal ini pembuktian termasuk dalam hukum formil. Di sisi lain hukum materil diartikan sebagai suatu aturan yang berkaitan dengan isi, sedangkan hukum formil adalah suatu aturan yang berkaitan dengan bentuk luar. Dalam pengertian yang kedua ini pembuktian termasuk dalam hukum materil karena merupakan bagian dari hukum gugatan. Inilah yang menjadikan adanya unsur tarik ulur dalam menempatkan pembuktian pada Hukum Perdata atau hukum acaranya.46

Pengertian “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan-persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau “perkara” dimuka hakim atau pengadilan. Memang, pembuktian itu hanya diperlukan apabila timbul suatu perselisihan.

2. Hukum Acara Pidana

47

45Ibid

.

46Ibid

.

47Ibid

(32)

Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada Pasal 183-189 KUHAP. Menurut Pasal 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, kadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Selain itu alat bukti harus dapat menyakinkan hakim sesuai negatief wettelijk bewijs theorie. Menurut Narendra Jatna, bahwa dalam persidangan satu bukti sudah cukup dengan catatan bahwa bukti tersebut dapat menyakinkan hakim dalam mengambil keputusan. Dalam Pasal tersebut dijelaskan sekurang-kurangnya dua bukti. Hal ini dikarenakan KUHAP menggunakan asas konkordasi dengan hukum “KUHAP” Belanda.48

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Belanda Pasal 342 mejelaskan asas unus testis nullus testis, namun asas ini sudah berkurang petingnya, karena Mahkamah Agung Belanda beranggapan bahwa pembuktian mengenai semua tuduhan terhadap tertuduh tidak boleh didasarkan pada pernyataan seorang saksi, namun pernyataan oleh seorang saksi cukup sebagai bukti bagi masing-masing unsur secara terpisah. Alat bukti yang dimaksud di sini adalah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP Ayat 1, yaitu keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk;keterangan terdakwa atau pengakuan terdakwa. Barang bukti adalah benda bergerak atau tidak berwujud yang dikuasai oleh penyidik sebagai hasil dari serangkaian tindakan penyidik dalam melakukan

48Ibid

(33)

penyitaan dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.49

Secara materil, barang bukti yang ada bermanfaat bagi hakim untuk memperkuat keyakinan hakim dalam proses persidangan. Bahkan sering kali hakim dapat membebaskan seorang terdakwa berdasarkan barang bukti yang ada dalam proses persidangan (setelah melewati proses yang arif, bijaksana, teliti, cermat dan saksama). Jika dicermati, pembuktian dalam proses perkara pidana tidak mudah.50

Menurut Pasal 180 KUHAP, keterangan seorang ahli dapat saja ditolak untuk menjernihkan duduk persoalan. Baik oleh hakim ketua sidang maupun terdakwa/penasehat hukum. Terhadap kondisi ini, hakim dapat memerintahkan melakukan penelitian ulang oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda, serta instansi lain yang memiliki kewenangan. Kekuatan keterangan ahli ini bersifat bebas dan tidak mengikat hakim untuk menggunakannya apabila bertentangan dengan keyakinan hakim. Dalam hal ini, hakim masih membutuhkan alat bukti lain untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.51

Menurut Pasal 188 KUHAP, petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, petunjuk juga

49Ibid

.

50Ibid

.

51

Ibid.

51Ibid

(34)

merupakan alat bukti tidak langsung. Penilaian terhadap kekuatan pembuktian sebuah petunjuk dari keadaan tertentu, dapat dilakukan oleh hakim secara arif dan bijaksana, setelah melewati pemeriksaan yang cermat dan seksamaberdasarkan hati nuraninya.52

Menurut Pasal 194 KUHAP, yang dimaksud keterangan terdakwa itu adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di muka sidang, tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahui dan alami sendiri. Pengertian keterangan terdakwa memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena tidak selalu berisi pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa bersifat bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk tidak menjawab. Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa, tergantung pada alat bukti lainnya (keterangan terdakwa saja tidak cukup) dan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.53

1. Teori/sistem hukum pembuktian menurut hukum acara perdata

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pembuktian adalah untuk memberikan kepastian atau membenarkan apa yang disampaikan oleh penggugat maupun tergugat di persidangan yang kemudian dilaksanakan dengan rangakaian tata tertib atau aturan hukum pembuktian di depan hakim.

B. Teori/Sistem Pembuktian

Asas pembagian beban pembuktian tercantum dalam Pasal 163 Herziene Inlandsch Reglement (selanjutnya disebut HIR)54

53

Ibid.

dan Pasal 283 Rechtsreglement

54

(35)

voor de Buitengewesten (selanjutnya disebut RBg)55 / Pasal 1865 KUH Pdt., dengan uraian berikut :56

Sejalan dengan ketentuan Pasal 163 HIR tersebut, diajukan Pasal-Pasal yang memuat ketentuan yang lebih tegas dari ketentuan Pasal 163 HIR tersebut, yaitu :

“Barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkut hak orang lain harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.”

57

beberapa Pasal yang tersebar antara Pasal 372-Pasal 394 yang mengatur tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan, tentang bukti, tentang musywarah dan putusan, tentang banding, tentang menjalankan putusan, tentang beberapa hal mengadili perkara-perkara istimewa, dan tentang izin berperkara tanpa ongkos berperkara. (H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm. 5.)

55

RBg adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura. Ketentuan Hukum Acara Perdata termuat dalam Bab II yang terdiri atas 7 (tujuh) titel dari Pasal 104 sampai dengan Pasal 323. Yang berlaku hingga sekarang hanya titel IV dan titel V bagi Landraad (sekarang Pengadilan Negeri). Titel IV memuat tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan, tentang musyawarah dan putusan, tentang banding, tentang menjalankan putusan, tentang beberapa hal mengadili perkara yang istimewa, dan tentang izin berperkara tanpa ongkos berperkara. Sedangkan titel V berisi tentang bukti. (Ibid., hlm.6).

56 H.P. Panggabean, Op.Cit., hlm. 48.

57Ibid

.

Pasal 533 KUH Pdt. :

“Orang yang menguasai barang tidak perlu membuktikan iktikad baiknya. Siapa yang mengemukakan adanya itikad buruk harus membuktikannya.” Pasal 535 KUH Pdt. :

(36)

Pasal 1244 KUH Pdt. :

“Kreditur dibebaskan dari pembuktian kesalahan dari debitur dalam hal adanya wanprestasi.”

Ketentuan di atas telah dijadikan dasar hukum bagi hakim melakukan pembagian beban pembuktian.58

Peranan hakim untuk melakukan penilaian atas pembuktian, dibatasi oleh 3 (tiga) teori pembuktian yaitu :

a. Teori penilaian pembuktian oleh hakim

59

1) Teori pembuktian bebas.

Teori ini memberi kebebasan bagi hakim untuk melakukan penilaian sesuai kesadaran hukum yang dia miliki untuk mencari kebenaran.60 2) Teori pembuktian negatif.

Teori ini menentukan pembatasan yang bersifat negatif yakni ketentuan yang memberikan larangan-larangan tuntutan, meskipun ada ketentuan yang bersifat pengecualian (Pasal 1905 KUH Pdt., Pasal 109 HIR/Pasal 360 RBg.)61

3) Teori pembuktian positif.

Teori ini memuat perintah-perintah penilaian pembuktian kepada hakim dengan syarat-syarat pada Pasal 1870 KUH Pdt., Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg.62

58

Ibid.

59Ibid

., hlm. 50.

60Ibid

.

61Ibid

.

62Ibid

(37)

b. Teori/sistem beban pembuktian

Ilmu pengetahuan memperkenalkan beberapa teori/sistem tentang pembuktian yang dapat dijadikan pedoman penerapan hukum pembuktian.63

Menurut teori ini, berlaku asas hukum siapa mendalilkan (suatu hak) dia wajib membuktikannya dan bukan untuk mengingkari atau menyangkal. Praktik peradilan sudah tidak menerapkan teori ini.

1) Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka.

64

Menurut teori ini, proses perdata adalah merupakan pelaksana hukum subjektif atau bertujuan mempertahankan hukum subjektif dan siapa yang mendalilkan adanya suatu hak, dia harus membuktikannya. Dengan teori ini, Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak; dasar teori adalah ketentuan dalam Pasal 1865 KUH Pdt., yang pada intinya akan memberi jawaban apabila gugatan Penggugat didasarkan atas hukum subjektif. 2) Teori hukum subjektif

65

Menurut teori ini, penggugat cenderung meminta kepada hakim agar hakim menerapkan hukum objektif terhadap peristiwa yang diajukannya. Dengan teori ini, penggugat harus membuktikan kebenaran dari peristiwa 3) Teori hukum objektif

63Ibid

.

64Ibid

.

65

(38)

yang diajukannya dan mencari undang-undang (hukum objektif) untuk diterapkan pada peristiwa tersebut.66

Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Dengan teori ini para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini memiliki dampak hukum publik karena proses perkara ini dapat disertai sanksi pidana.

4) Teori hukum publik

67

Dengan teori ini hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak yang harus dibuktikan hanyalah hal-hal yang positif. Dengan paparan berbagai teori/sistem hukum beban pembuktian tersebut, maka dalam praktik peradilan pembebanan pembuktian akan dirasakan adil dan tepat jika yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit dirugikan.

5) Teori hukum acara

68

2. Teori/sistem hukum pembuktian menurut hukum acara pidana

Tujuan Hukum Acara Pidana adalah mencari kelemahan materiil dan untuk mencapai tujuan tersebut perlu dipahami adanya beberapa teori/sistem pembuktian. Hakim di Indonesia berperan untuk menilai alat-alat bukti yang diajukan dengan keyakinan sendiri. Kewenangan hakim untuk menilai kekuatan

66Ibid

.

67

Ibid.

68Ibid

(39)

alat-alat bukti didasari dengan dapat ditelusuri melalui pemahaman atau 4 (empat) klasifikasi teori/sistem pembuktian di bawah ini:69

a. Conviction in time (pembuktian berdasar keyakinan hakim melulu)

Sistem ini yang menentukan kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan penilaian keyakinan hakim. Kelemahan sistem ini adalah dasar keyakinan hakim tanpa dukungan alat bukti yang cukup. Ada kecenderungan hakim untuk menerapkan keyakinannya membebaskan terdakwa dari dakwaan tindak pidana walaupun kesalahannya telah terbukti.70

Sistem ini menerapkan keyakinan hakim dengan pembatasan adanya alasan-alasan yang jelas. Alasan-alasan itu harus dapat diterima akal sehat dan bersifat yuridis.

b. Conviction raisoning (keyakinan hakim atas alasan-alasan yang logis)

71

Sistem ini menentukan pembuktian itu hanya didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan dengan alat-alat bukti yang disebut undang-undang, maka keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi. Sistem ini sudah tidak dianut lagi dalam praktik peradilan karena dibanyak hal keyakinan hakim yang jujur dan berpengalaman adalah sesuai dengan public opinion.

c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie)

72

69Ibid

., hlm. 81.

70Ibid

.

71Ibid

, hlm.82.

72Ibid

(40)

d. Pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijke) Sistem ini dianut dalam KUHAP dan berdasar Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa pembuktian harus didasarkan ketentuan undang-undang, yakni alat bukti sah yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP disertai keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Dengan penerapan sistem ini, pemidanaan itu telah berdasarkan pada sistem pembuktian ganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dasar keyakinan hakim bersumber pada peraturan undang-undangan.73

1. Definisi alat bukti elektronik

Berdasarkan pemaparan tentang teori/sistem hukum pembuktian di atas dapat diketahui bahwa baik dalam perkara perrdata maupun perkara pidana hakim dalam memberikan penilaian atau putusan dapat menggunakan teori/sistem hukum pembuktian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau menggunakan penilaian atau keyakinan hakim sendiri berdasarkan pemikiran yang arif dan bijaksana.

C. Klasifikasi Bukti Elektronik

Alat bukti elektronik dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia terbagi atas dua jenis, yaitu informasi elektronik dan dokumen elektronik. Informasi dan dokumen elektronik ini tidak hanya terbatas pada informasi yang tersimpan dalam medium yang diperuntukkan untuk itu, tetapi juga mencakup transkrip atau hasil

73Ibid

(41)

cetaknya.74

Informasi dan/atau transaksi elektronik maupun hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, sekaligus merupakan perluasan dari jenis-jenis alat bukti yang diatur dalam perundang-undangan sebelumnya diatur secara tegas dalam Pasal 5 UU ITE.

Informasi elektronik dalam Pasal 1 angka (1) UU ITE didefinisikan sebagai berikut:

“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

Sementara itu, dalam Pasal 1 Angka (4) UU ITE, dokumen elektronik didefinisikan sebagai berikut :

“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

75

Hakim Mohammed Chawki dari Computer Research Center

mengklasifikasikan bukti elektronik menjadi tiga kategori, sebagai berikut :

2. Klasifikasi alat bukti elektronik

76

74

M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2013), hlm. 101.

75

Ibid., hlm. 102.

76

(42)

a. Real evidence

Real evidence atau physical evidence ialah bukti dari objek-objek nyata/berwujud yang dapat dilihat dan disentuh. Real evidence juga merupakan bukti langsung berupa rekaman otomatis yang dihasilkan oleh komputer itu sendiri dengan menjalankan software dan receipt dari informasi yang diperoleh dari alat (device) yang lain, contohnya computer log files. Edmon Makarim mengemukakan bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah dan yang berdiri sendiri (real evidence), tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu rekaman/salinan data (data recording) berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram) sedemikian rupa sehingga hasil

print out suatu data dapat diterima dalam pembuktian suatu kasus.77

Testamentary evidence juga dikenal dengan istilah hearsay evidence

dimana keterangan dari saksi maupun expert witness yaitu keterangan dari seorang ahli dapat diberikan selama persidangan, berdasarkan pengalaman dan pengamatan individu. Peranan dari keterangan ahli sesuai dengan KUHAP, bahwa keterangan ahli dinilai sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian jika keterangan yang diberikan tentang sesuatu hal berdasarkan keahlian khusus dalam bidang yang dimilikinya dan yang berupa keterangan “menurut pengetahuannya” secara murni. Perkembangan ilmu teknologi sedikit banyak membawa dampak terhadap kualitas metode kejahatan, memaksa kita untuk mengimbanginya dengan kualitas dan metode pembuktian yang b. Testamentary evidence

77Ibid

(43)

memerlukan pengetahuan dan keahlian. Kedudukan seorang ahli dalam memperjelas tindak pidana yang terjadi serta menerangkan atau menjelaskan bukti elektronik sangat penting dalam memutus perkara kejahatan dunia maya.78

Pengertian dari circumstantial evidence ini adalah merupakan bukti terperinci yang diperoleh berdasarkan ucapan atau pengamatan dari kejadian yang sebenarnya yang mendorong untuk mendukung suatu kesimpulan, tetapi bukan untuk membuktikannya. Circumstantial evidence atau derived evidence

ini merupakan kombinasi dari real evidence dan hearsay evidence. c. Circumstantial evidence

79

Dari ketiga jenis alat bukti elektronik di atas yang berhubungan dengan skripsi ini adalah jenis alat bukti real evidence. Alat bukti real evidence

digolongkan dalam beberapa jenis, yaitu:80 a. Surat elektronik (e-mail)

Surat elektronik merupakan dokumen elektronik yang pada umumnya berisi tentang percakapan, penawaran, pemberitahuan, dan bentuk komunikasi tertulis lainnya.81

b. Pesan singkat (short message service)

Pesan singkat merupakan pesan atau testimoni dengan sejumlah karakter yang pendek dan dapat berisi segala hal yang mungkin ada dalam dunia percakapan antarindividu.82

78Ibid

.,hlm. 33.

79Ibid

.

80

M. Natsir Asnawi, Op.Cit., hlm. 103.

81Ibid

(44)

c. Obrolan (chat room communications)

Obrolan atau dalam bahasa yang lebih popular dikenal dengan istilah

chatting saat ini juga telah menjadi trend dalam lalu lintas pergaulan antara individu. Riwayat dan materi dari obrolan akan tersimpan dalam media penyimpan data tertentu pada provider dan dari data tersebut dapat diketahui hal-hal tertentu sebagai sebuah informasi yang bernilai (valuable information).83

d. Fotografi (digital photographs)

Fotografi seringkali mampu merekam kejadian-kejadian tertentu yang tanpa disangka ternyata mengandung makna tertentu. Rekaman dari hasil fotografi dapat diajukan sebagai alat bukti dalam perkara tertentu jika substansi dalam fotografi tersebut memiliki nilai informasi yang berguna bagi pengungkapan pokok permasalahan dalam sengketa yang ditangani. Derivasi lain yang mungkin dapat menjadi alat bukti yang bernilai pembuktian adalah video yang memuat rekaman-rekaman kejadian tertentu yang dapat menceritakan beberapa hal penting berkaitkan dengan pokok permasalahan perkara yang sedang ditangani.84

f. Isi dari situs internet (website content)

Website atau situs internet pada umumnya memuat informasi yang berkaitkan dengan pemilik situs tersebut. Banyak orang yang memanfaatkan

82Ibid

., hlm. 104.

83Ibid

.

84Ibid

(45)

layanan blogging gratis untuk memposting pemikirannya, curahan hati informasi layanan atau produk, beriklan, dan sebagainya. Karenanya, banyak informasi atau data yang dapat diperoleh dari website atau blog tertentu.85

g. Status atau tulisan di media sosial (social media postings)

Tidak sedikit perkara yang para pihaknya mengajukan alat bukti berupa transkrip percakapan atau status lawan di media sosial. Kecenderungan sebagian orang saat ini adalah mempublikasikan isi hati, pikiran, dan perasaannya pada media sosial yang akan dibaca dan diketahui oleh banyak orang. Hal demikian memaksa kita untuk tidak begitu saja mengabaikan alat bukti ini, karena dalam perkembangannya banyak status yang diungkap dalam media sosial tersebut yang bernilai informasi dan mampu memberi petunjuk dalam pemeriksaan suatu perkara.86

h. Data yang tersimpan di komputer dan media elektronik ( computer-generated and stored data)

Data yang tersimpan di komputer atau media elektronik lainnya dapat pula menjadi alat bukti di persidangan. Data-data pada umumnya disimpan dalam perangkat hardisk. Hampir semua jenis data dapat disimpan dalam media penyimpanan tersebut yang pada akhirnya dapat menjadi bukti untuk memperjelas pokok permasalahan dalam suatu kasus.87

85Ibid

.

86Ibid

., hlm. 106.

87Ibid

(46)

D. Ketentuan Alat Bukti Elektronik Menurut Peraturan

Perundang-Undangan di Indonesia

1. Alat bukti elektronik dalam perkara perdata

Hukum pembuktian perdata di Indonesia, secara yuridis formal belum mengakomodasikan dokumen atau informasi elektronik sebagai alat bukti di pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 164 HIR dan 284 Rbg serta Pasal 1886 KUH Pdt. ada lima alat bukti dalam perkara perdata di Indonesia yaitu alat bukti tertulis, alat bukti saksi, alat bukti persangkaaan, alat bukti pengakuan, dan alat bukti sumpah.

Akan tetapi, dalam praktik bisnis, dikenal online trading dan microfilm

sebagai dokumen dan informasi elektronik. Semakin meningkatnya aktivitas elektronik menyebabkan alat pembuktian yang dapat digunakan secara hukum harus juga meliputi informasi atau dokumen elektronik serta keluaran komputer lainnya untuk memudahkan pelaksanaan hukumnya. Selain itu, hasil cetak dari dokumen elektronik tersebut juga harus dapat dijadikan alat bukti sah secara hukum. Karena itu, dalam praktik dikenal dan berkembang apa yang dinamakan bukti elektronik.88

Bukti elektronik dalam hal informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Sistem elektronik menurut Pasal 1 Angka 5 UU ITE, adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik

88

(47)

berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik. Sementara penyelenggaraan sistem elektronik sendiri adalah pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat; sedangkan jaringan sistem elektronik adalah terhubungnya dua sistem elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup atau terbuka. Suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dan dapat ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harusnya dapat menunjukkan bahwa informasi yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang terpercaya.89

Seiring perkembangannya timbul pula bermacam alat bukti dalam hubungan hukum keperdataan di luar yang telah diatur dalam peraturan acara perdata (HIR/RBg) yaitu:90

[image:47.595.111.506.522.615.2]

No

Tabel 1

Alat Bukti Keterangan

1.

Foto dan hasil rekaman

Dijadikan alat bukti untuk menguji keasliannya dengan menggunakan teknologi tertentu.

89Ibid

.,hlm. 15.

90

(48)

2.

Hasil print-out

dan mesin Faksimili

Dapat dianggap sebagai alat bukti tertulis. Kekuatan pembuktian sebagai alat bukti tertulis terletak keasliannya, sehingga fax tersebut harus sesuai dengan aslinya. Jika aslinya hilang, maka harus disertai dengan keterangan secara sah menyatakan bahwa fax tersebut sesuai dengan aslinya.

3.

Microfilm Digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perdata, dengan catatan micro film itu sebelumnya dijamin otentikasinya yang dapat ditelusuri kembali dan registrasi maupun berita acara.

4

Email/surat elektronik

Surat yang dibuat dan dikomunikasikan dengan menggunakan komputer melalui jaringan internet.

5.

Video

teleconference

Alat bukti ini digunakan dalam pemeriksaan saksi dilakukan dalam praktik peradilan. Saksi tidak dapat hadir, tetapi keterangannya sangat perlu didengar, maka dengan video teleconference pemeriksaan saksi dilakukan tanpa kehadirannya secara fisik di ruang sidang.

6.

Tanda tangan elektronik

(49)

function, kemudian dilakukan perbandingan hash va-lue-nya. sama dan sesuai.

Alat bukti elektronik dalam perkara perdata dapat juga ditinjau dari Pasal 15 Ayat (1) UUDP yang telah meletakkan dasar penting dalam penerimaan informasi atau dokumen elektronik. Dalam Bab III tentang Pengalihan Bentuk Dokumen dan Legalisasi, Pasal 15 Ayat (1) UUDP menegaskan bahwa dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam microfilm91 atau media lainnya dan atau hasil cetakannya merupakan alat bukti yang sah.92

Pengalihan dokumen perusahaan ke dalam bentuk microfilm atau media lainnya tersebut harus memenuhi persyaratan yang secara implisit diatur dalam UUDP. Lebih lanjut, UUDP juga mengatur bahwa apabila dianggap perlu maka dalam hal tertentu dan untuk keperluan tertentu, dapat dilakukan legalisasi terhadap hasil cetak dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam microfilm atau media lainnya.93

Pengaturan tersebut setidaknya memiliki dua kesimpulan yang dapat diambil. Pertama, informasi atau dokumen elektronik harus dilegalisasi. Sebenarnya legalisasi ini merupakan usaha untuk menjaga atau mempertahankan keotentikaan konten dari dokumen perusahaan. Melalui proses ini dokumen

91

Yang dimaksud dengan “microfilm” ialah film yang memuat rekaman bahan tertulis, tercetak dan tergambar dalam ukuran yang sangat kecil. (Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana (Jakarta : Tatanusa, 2012), hlm. 271).

92Ibid. 93Ibid.

(50)

perusahaan dalam bentuk microfilm atau media lainnya tersebut dinyatakan sesuai dengan aslinya sehingga dapat diterima sebagai alat bukti yang sah.94

Kedua, yang dimaksud dengan alat bukti yang sah menurut Pasal 15 Ayat (1) UUDP ialah alat bukti surat, khususnya akta di bawah tangan. Dengan kata lain, isi dalam microfilm atau media lainnya telah dilegalisasi tersebut dapat dijadikan alat bukti surat di pengadilan. Menurut Pasal 1 butir 2, Dokumen Perusahaan adalah data, catatan, dan/atau keterangan yang dibuat dan/atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas kertas, atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar. Berdasarkan ketentuan ini, yang dimaksud dengan Dokumen Perusahaan adalah dokumen dalam bentuk original (paper based) dan dokumen yang telah teralihkan ke dalam microfilm atau media lainnya.95

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana belum mengatur setidaknya secara tegas mengenai alat bukti elektronik yang sah. Akan tetapi, perkembangan peraturan perundang-undangan setelah KUHAP menunjukkan adanya kebutuhan untuk mengatur alat bukti elektronik. Surat Mahakamah Agung kepada Menteri Kehakiman Nomor 39/TU/88/102/Pid tanggal 14 Januari 1988 menyatakan bahwa “microfilm atau microfische dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat, dengan catatan

microfilm tersebut sebelumnya dijamin keotentikasiannya yang dapat ditelusuri 2. Alat bukti elektronik dalam perkara pidana

94Ibid

.

95Ibid

(51)

kembali dari registrasi maupun bentuk acara.” Menurut Fakhriah pengakuan

microfilm dan microfische sebagai alat bukti dalam surat MA tersebut didasarkan kepada analogi dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 71.K/Sip/1974 mengenai fotokopi dapat diterima sebagai alat bukti bila disertai keterangan atau dengan jalan apapun secara sah dapat ditunjukkan bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya. Oleh karena itu, berdasarkan analogi maka hasil print out mesin faksimili,

microfilm, atau microfische juga dapat diterima sebagai alat bukti.96

Sampai saat ini ada beberapa perundang-undangan yang secara parsial telah mengatur eksistensi alat bukti elektronik. Pengaturan alat bukti pada perundang-undangan tersebut menunjukkan keberagaman, tetapi keberagaman tersebut telah diselesaikan dengan dikeluarkannya UU ITE. Pada bagian berikutnya akan ditelaah ketentuan perundang-undangan mengenai peraturan alat bukti elektronik yang dimaksud.97

3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut UUT) mengakui keberadaan alat bukti elektronik.98

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;

Pasal 27 UUT mengatur bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:

96Ibid

., hlm. 270.

97Ibid

.

98Ibid

(52)

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau yang disimpan secara elektronik dengan alat optik99

c. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

atau yang serupa dengan itu; dan

1) tulisan, suara, atau gambar;

2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;

3) huruf, tanda, angka simbol. Atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Jika dihubungkan dengan KUHAP, UUT mengatur alat bukti elektronik sebagai bukti keenam. Alat bukti elektronik menurut undang-undang ini terdiri dari dua jenis, yaitu:100

a. Alat bukti elektronik yang menggunakan alat optik atau

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Faktor- faktor yang mempengaruhi nyeri persalinan yaitu : a) Usia, wanita yang sangat muda dan ibu yang tua mengeluh tingkat nyeri persalinan yang lebih tinggi, b) Paritas

Bab III berisi pembahasan mengenai pemahaman pelatih/dirigen terhadap kepemimpinan koor lingkungan dalam tugas ibadat liturgi mingguan, pemahaman anggota koor Stephanie

McGlynn versus Aveling: A Comparison of Translation Strategies Used in Sapardi Djoko Damono’s Poems.. A

Sljedeća potpoglavlja odnose se na prikaz utjecaja krize na poslovanje odabranih pet kompanija iz djelatnosti zaštite okoliša (Cian d.o.o., Dezinsekcija d.o.o.,

1) Pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah disusun sebelumnya. Pembelajaran dimulai dengan penyampaian tujuan pembelajaran, menggali

Kebenaran penelitian kuantitatif lebih menekankan pada teori yang digunakan (etik),. sehingga kebenaran penelitian mengacu pada ketepatan teori yang

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas akhir yang berjudul “Peningkatan Hasil

Setelah memecahkan kode, anda akan diberikan informasi tentang berapa kupon yang anda dapat dan berapa jumlah jawaban benar dan jawaban salah dari kelompok kode yang