• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Kulit Buah Rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) terhadap Tikus yang Diinduksi Karagenan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Kulit Buah Rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) terhadap Tikus yang Diinduksi Karagenan"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL KULIT

BUAH ROTAN (

Daemonorops draco

(Willd.) Blume)

TERHADAP TIKUS YANG DIINDUKSI KARAGENAN

SKRIPSI

OLEH:

FRISKA RANI SARAH

NIM 101501051

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL KULIT

BUAH ROTAN (

Daemonorops draco

(Willd.) Blume)

TERHADAP TIKUS YANG DIINDUKSI KARAGENAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

FRISKA RANI SARAH

NIM 101501051

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL KULIT

BUAH ROTAN (

Daemonorops draco

(Willd.) Blume)

TERHADAP TIKUS YANG DIINDUKSI KARAGENAN

OLEH:

FRISKA RANI SARAH

NIM 101501051

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 29 November 2014

Medan, Desember 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002

Pembimbing I,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002

Pembimbing II,

Marianne, S.Si., M.Si., Apt. NIP 198005202005012006

Panitia Penguji,

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195301011983031004

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt. NIP 197802152008122001

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan YME atas segala limpahan

berkat, rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian

dan penyusunan skripsi ini.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar

Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul

Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Kulit Buah Rotan (Daemonorops draco

(Willd.) Blume) terhadap Tikus yang Diinduksi Karagenan.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio

Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Medan, yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan

pendidikan. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., dan Ibu Marianne,

S.Si., M.Si., Apt., yang telah membimbing dan memberikan petunjuk serta

saran - saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Bapak Prof. Dr. Urip

Harahap, Apt., Ibu Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt., dan Ibu Aminah

Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan

kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak

dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama

perkuliahan dan Ibu T. Ismanelly Hanum, S.Si., M.Si., Apt., selaku penasehat

akademik yang selalu memberikan bimbingan, perhatian dan motivasi kepada

penulis selama masa perkuliahan. Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., selaku kepala

(5)

dan Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., selaku kepala Laboratorium Farmakognosi

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan

fasilitas untuk penulis sehingga dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada

terhingga kepada Ayahanda Parsaoran Purba dan Ibunda Diana Tambunan, S.Pd.,

yang telah memberikan cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai dengan apapun,

pengorbanan baik materi maupun motivasi beserta doa yang tulus yang tidak pernah

berhenti. Abangku Raymon Fanal dan adikku Febrina Yosephine serta seluruh

keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan semangat. Sahabat-sahabat

terbaikku serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

banyak membantu hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih

jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis

menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis

berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2014 Penulis,

(6)

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH ROTAN (Daemonorops draco (Willd.) Blume) TERHADAP TIKUS YANG

DIINDUKSI KARAGENAN ABSTRAK

Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiiflamasi nonsteroid (AINS). Obat golongan ini dapat menimbulkan efek samping apabila dikonsumsi dalam jangka panjang. Penggunaan obat ini dapat meningkatkan insiden terjadinya perdarahan dan perforasi pada saluran pencernaan bagian atas. Indonesia memiliki potensi sumber daya rotan tertinggi didunia, salah satunya dari genus Daemonorops. Genus Daemonorops ini memiliki getah yang disebut

dragon’s blood, yang terdapat pada permukaan kulit buahnya dan memiliki efek terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antiinflamasi pemberian ekstrak etanol kulit buah rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) terhadap tikus jantan yang diinduksi karagenan 1% dan membandingkannya dengan obat yang beredar di pasaran.

Penelitian ini meliputi karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pengujian pada hewan dengan pengukuran perubahan volume kaki tikus yang diinduksi karagenan 1% dengan alat pletismometer air raksa setiap 30 menit selama 360 menit. Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan, yaitu kelompok I diberikan CMC 0,5% (1% berat badan), kelompok II diberikan natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb, kelompok III diberikan ekstrak etanol kulit buah rotan (EEKBR) dosis 100 mg/kg bb, kelompok IV diberikan dosis EEKBR dosis 200 mg/kg bb, dan kelompok V diberikan EEKBR dosis 400 mg/kg bb. Dari data hasil penelitian, dihitung persen radang dan persen inhibisi radang. Data dianalisis dengan uji Kruskal Wallis, dilanjutkan dengan uji Mann Whitney untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan antar kelompok.

Dari hasil penelitian, EEKBR dosis 100 mg/kg bb, EEKBR dosis 200 mg/kg bb dan EEKBR dosis 400 mg/kg bb memiliki efek sebagai antiinflamasi terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan 1% secara subplantar. EEKBR dosis 400 mg/kg bb memiliki efek inhibisi radang rata-rata yang paling besar dibandingkan EEKBR dosis 200 mg/kg bb dan dosis 100 mg/kg bb. Hasil uji statistik Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara EEKBR dosis 400 mg/kg bb dengan natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb pada tingkat kepercayaan 95%.

(7)

EVALUATION ANTIINFLAMMATORY EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF RATTAN FRUIT’S LEATHER (Daemonorops draco (Willd.)

Blume) IN RAT CARRAGEENAN-INDUCED ABSTRACT

Sodium diclofenac is a nonsteroidal antiinflammatory agents (NSAIDs). These kind of drugs can cause side effects if it consumed in long term. The use of these drugs may increase the incidence of bleeding and perforation of the upper gastrointestinal tract. Indonesia has the highest potential of rattan resources in the world, one of them was genus Daemonorops. Daemonorops’ genus has resin called dragon's blood, which found on the surface of the leather and it has therapeutic uses. This study aimed to determine the anti-inflammatory effects of ethanol extract of rattan fruit’s leather (Daemonorops draco (Willd.) Blume) againts carrageenan-induced male rats 1% and compare it to all drugs that has spread in market.

This research includes the characterization of simplex, phytochemical screening, animal testing and measuring the volume changes of rat’s paw induced carrageenan 1% using mercury pletismometer every 30 minutes until 360 minutes. This research uses 5 treatment groups, group I was given CMC 0.5% (1% body weight), group II was given diclofenac sodium dose of 4.5 mg/kg bw, group III was given the ethanol extract of rattan fruit’s leather (EEKBR) dose of 100 mg/kg bw, group IV EEKBR dose of 200 mg/kg bw, and group V EEKBR dose of 400 mg/kg bw. From the result of the research, percent of inhibition of inflammation and inflammation was calculated. Datas were analyzed with the Kruskal-Wallis test, followed by Mann Whitney test for the presence or absence the significant differences from each group.

From the research, EEKBR dose of 100 mg/kg bw, EEKBR dose of 200 mg/kg bw and EEKBR dose of 400 mg/kg bw has an antiinflammatory effect. EEKBR dose of 400 mg/kg bw has the highest effect of inhibiting inflammation compared to EEKBR dose of 200 mg/kg bw and 100 mg/kg bw. Results of Mann-Whitney statistical test showed that there was no significant difference between EEKBR dose of 400 mg/kg bw with diclofenac sodium dose of 4.5 mg/kg bw at 95% confidence level.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Kerangka Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Uraian Tumbuhan ... 7

2.1.1 Sistematika Tumbuhan ... 7

2.1.2 Nama lain ... 8

2.1.3 Sifat tumbuhan ... 8

(9)

2.1.5 Kegunaan tumbuhan ... 8

2.2 Simplisia dan Ekstrak ... 9

2.3 Inflamasi (Radang) ... 11

2.3.1 Mediator inflamasi ... 11

2.3.2 Gejala-gejala terjadinya respon inflamasi ... 12

2.3.3 Mekanisme terjadinya inflamasi ... 14

2.4 Obat Antiinflamasi ... 16

2.4.1 Obat antiinflamasi golongan steroida ... 16

2.4.2 Obat antiinflamasi golongan non steroida ... 16

2.4.2.1 Natrium diklofenak ... 17

2.5 Karagenan ... 18

2.6 Pengujian Efek Antiinflamasi Akut ... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Alat dan Bahan ... 21

3.1.1 Alat-alat ... 21

3.1.2 Bahan-bahan ... 21

3.2 Penyiapan Sampel ... 22

3.2.1 Pengambilan bahan ... 22

3.2.2 Identifikasi bahan ... 22

3.2.3 Pembuatan simplisia ... 22

3.3 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ... 22

3.3.1 Pemeriksaan makroskopik ... 22

3.3.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 23

(10)

a. Penjenuhan toluen ... 23

b. Penetapan kadar air simplisia ... 23

3.3.4 Penetapan adar sari larut air ... 24

3.3.5 Penetapan kadar sari larut etanol ... 24

3.3.6 Penetapan kadar abu total ... 24

3.3.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 25

3.3.8 Skrining fitokimia simplisia ... 25

a. Pemeriksaan alkaloida ... 25

b. Pemeriksaan flavonoida ... 25

c. Pemeriksaan tanin ... 26

d. Pemeriksaan glikosida ... 26

e. Pemeriksaan saponin ... 27

f. Pemeriksaan steroida/triterpenoida ... 27

3.4 Pembuatan Ekstrak Etanol Kulit Buah Rotan ... 27

3.5 Skrining Fitokimia Ekstrak ... 28

a. Pemeriksaan alkaloida ... 28

b. Pemeriksaan flavonoida ... 28

c. Pemeriksaan tanin ... 29

d. Pemeriksaan glikosida ... 29

e. Pemeriksaan saponin ... 30

f. Pemeriksaan steroida/triterpenoida ... 30

3.6 Penyiapan Bahan Uji, Kontrol dan Obat Pembanding ... 30

3.6.1 Pembuatan suspensi CMS 0,5% ... 31

(11)

3.6.3 Pemeriksaan suspensi ekstrak etanol kulit buah rotan 31

3.7 Penyiapan Induktor Radang ... 31

3.8 Penyiapan Hewan Percobaan ... 31

3.9 Prosedur Pengujian Efek Antiinflamasi ... 32

3.10 Perhitungan persen Radang ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 35

4.2 Hasil Karakterisasi Bahan Tumbuhan dan Simplisia ... 35

4.2.1 Pemeriksaan makroskopik ... 35

4.2.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 35

4.2.3 Pemeriksaan karakteristik serbuk simpilisia ... 35

4.3 Skrining Fitokimia ... 36

4.4 hasil Pengujian Antiinflamasi ... 37

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

5.1 Kesimpulan ... 44

5.2 Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Serbuk Simplisia ... 36

4.2 Hasil Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Kulit Buah Rotan ... 37

4.3 Perbandingan Ada Tidaknya Perbedaan Bermakna Antara Kelompok

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka Pikir Penelitian ... 5

2.1 Mekanisme Terjadinya Inflamasi ... 15

2.2 Rumus Natrium Diklofenak ... 17

2.3 Grafik Persen Radang Rata-Rata Telapak Kaki Kiri Tikus Tiap Waktu

Pengamatan ... 38

2.4 Grafik Persen Inhibisi Radang Rata-Rata telapak Kaki Kiri Tikus Tiap

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Persetujuan Komite Etik Penelitian Hewan ... 48

2. Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 49

3. Gambar karakteristik Tumbuhan ... 50

4. Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Serbuk Simplisia ... 52

5. Perhitungan Hasil Kaarakterisasi Simplisia ... 53

6. Bagan Kerja Penelitian ... 57

7. Gambar Alat ... 58

8. Gambar Hewan Percobaan ... 59

9. Contoh Perhitungan Dosis ... 60

10. Contoh Perhitungan Persen Radang dan Persen Inhibisi Radang ... 61

11. Tabel Konversi Dosis ... 62

12. Data Volume Kaki Tikus, Persen Radang dan Inhibisi Radang Rata-Rata ... 63

(15)

UJI EFEK ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH ROTAN (Daemonorops draco (Willd.) Blume) TERHADAP TIKUS YANG

DIINDUKSI KARAGENAN ABSTRAK

Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiiflamasi nonsteroid (AINS). Obat golongan ini dapat menimbulkan efek samping apabila dikonsumsi dalam jangka panjang. Penggunaan obat ini dapat meningkatkan insiden terjadinya perdarahan dan perforasi pada saluran pencernaan bagian atas. Indonesia memiliki potensi sumber daya rotan tertinggi didunia, salah satunya dari genus Daemonorops. Genus Daemonorops ini memiliki getah yang disebut

dragon’s blood, yang terdapat pada permukaan kulit buahnya dan memiliki efek terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antiinflamasi pemberian ekstrak etanol kulit buah rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) terhadap tikus jantan yang diinduksi karagenan 1% dan membandingkannya dengan obat yang beredar di pasaran.

Penelitian ini meliputi karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pengujian pada hewan dengan pengukuran perubahan volume kaki tikus yang diinduksi karagenan 1% dengan alat pletismometer air raksa setiap 30 menit selama 360 menit. Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan, yaitu kelompok I diberikan CMC 0,5% (1% berat badan), kelompok II diberikan natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb, kelompok III diberikan ekstrak etanol kulit buah rotan (EEKBR) dosis 100 mg/kg bb, kelompok IV diberikan dosis EEKBR dosis 200 mg/kg bb, dan kelompok V diberikan EEKBR dosis 400 mg/kg bb. Dari data hasil penelitian, dihitung persen radang dan persen inhibisi radang. Data dianalisis dengan uji Kruskal Wallis, dilanjutkan dengan uji Mann Whitney untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan antar kelompok.

Dari hasil penelitian, EEKBR dosis 100 mg/kg bb, EEKBR dosis 200 mg/kg bb dan EEKBR dosis 400 mg/kg bb memiliki efek sebagai antiinflamasi terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan 1% secara subplantar. EEKBR dosis 400 mg/kg bb memiliki efek inhibisi radang rata-rata yang paling besar dibandingkan EEKBR dosis 200 mg/kg bb dan dosis 100 mg/kg bb. Hasil uji statistik Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara EEKBR dosis 400 mg/kg bb dengan natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb pada tingkat kepercayaan 95%.

(16)

EVALUATION ANTIINFLAMMATORY EFFECT OF ETHANOL EXTRACT OF RATTAN FRUIT’S LEATHER (Daemonorops draco (Willd.)

Blume) IN RAT CARRAGEENAN-INDUCED ABSTRACT

Sodium diclofenac is a nonsteroidal antiinflammatory agents (NSAIDs). These kind of drugs can cause side effects if it consumed in long term. The use of these drugs may increase the incidence of bleeding and perforation of the upper gastrointestinal tract. Indonesia has the highest potential of rattan resources in the world, one of them was genus Daemonorops. Daemonorops’ genus has resin called dragon's blood, which found on the surface of the leather and it has therapeutic uses. This study aimed to determine the anti-inflammatory effects of ethanol extract of rattan fruit’s leather (Daemonorops draco (Willd.) Blume) againts carrageenan-induced male rats 1% and compare it to all drugs that has spread in market.

This research includes the characterization of simplex, phytochemical screening, animal testing and measuring the volume changes of rat’s paw induced carrageenan 1% using mercury pletismometer every 30 minutes until 360 minutes. This research uses 5 treatment groups, group I was given CMC 0.5% (1% body weight), group II was given diclofenac sodium dose of 4.5 mg/kg bw, group III was given the ethanol extract of rattan fruit’s leather (EEKBR) dose of 100 mg/kg bw, group IV EEKBR dose of 200 mg/kg bw, and group V EEKBR dose of 400 mg/kg bw. From the result of the research, percent of inhibition of inflammation and inflammation was calculated. Datas were analyzed with the Kruskal-Wallis test, followed by Mann Whitney test for the presence or absence the significant differences from each group.

From the research, EEKBR dose of 100 mg/kg bw, EEKBR dose of 200 mg/kg bw and EEKBR dose of 400 mg/kg bw has an antiinflammatory effect. EEKBR dose of 400 mg/kg bw has the highest effect of inhibiting inflammation compared to EEKBR dose of 200 mg/kg bw and 100 mg/kg bw. Results of Mann-Whitney statistical test showed that there was no significant difference between EEKBR dose of 400 mg/kg bw with diclofenac sodium dose of 4.5 mg/kg bw at 95% confidence level.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tumbuhan merupakan keanekaragaman hayati yang selalu ada di sekitar

kita, baik itu yang tumbuh secara liar maupun yang sengaja dibudidayakan. Sejak

zaman dahulu, tumbuhan sudah digunakan sebagai tanaman obat, walaupun

penggunaannya disebarkan secara turun-temurun maupun dari mulut ke mulut

(Widyawati, 2011).

Dewasa ini, didukung dengan penelitian ilmiah, tumbuhan secara

fungsional tidak lagi dipandang sebagai bahan konsumsi maupun penghias saja,

tetapi juga sebagai tanaman obat yang multifungsi. Mengingat biaya pengobatan

yang tidak terjangkau oleh semua orang, pengobatan alamiah dengan tanaman

obat tradisional dipandang sebagai alternatif yang terjangkau dan kembali ke alam.

Bahkan fungsinya sebagai tanaman obat sudah dikomersialkan sebagai lahan

penghasilan yang sangat menguntungkan (Widyawati, 2011).

Indonesia memiliki potensi sumber daya rotan tertinggi di dunia. Dari 530

jenis rotan dunia, lebih kurang 316 jenis terdapat di berbagai wilayah hutan

Indonesia. Di wilayah hutan Sumatera terdapat 132 jenis, Jawa 29 jenis,

Kalimantan 138 jenis, Sulawesi 86 jenis, Maluku dan Papua 47 jenis (Kemenhut,

2013).

Keanekaragaman jenis rotan yang tercatat, terangkum ke dalam 13 genus.

Genus Daemonorops memiliki jumlah jenis terbanyak kedua setelah genus

(18)

2005). Genus Daemonorops (lebih dikenal jernang) yang menghasilkan getah,

berjumlah 12 jenis. Jenis Jernang yang menghasilkan getah terbanyak dan bernilai

ekonomis tinggi adalah Daemonorops draco (Willd.) Blume (Purwanto, dkk.,

2005). Potensi rotan jernang di Indonesia tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Di

Sumatera, rotan jernang dijumpai di Provinsi Aceh, Riau, dan Jambi. Sedangkan

di Kalimantan, terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan

Selatan (Kemenhut, 2013).

Jernang adalah resin yang merupakan hasil sekresi buah rotan jernang.

Resin tersebut menempel dan menutupi bagian luar buah rotan, dimana untuk

mendapatkannya diperlukan proses ekstraksi. Musim berburu jernang dilakukan

pada bulan September sampai dengan Desember (Elvidayanty dan Erwin, 2006).

Buah rotan jernang yang sudah tua berwarna cokelat kemerahan. Buah yang

menghasilkan banyak jernang adalah buah yang tua namun belum terlalu masak.

Secara umum, antara satu sampai dua bulan sebelum buah masak potensi jernang

yang terbentuk sangat optimal. Apabila buah yang dipetik sudah masak, maka

jernang yang terkandung dalam buah rotan terlah berkurang karena dapat mencair

dengan sendirinya dan membusuk (Matangaran, 2012).

Jernang cukup dikenal sebagai obat tradisional dan digunakan untuk

pengobatan haemostatik, antidiare, antiulcer, antimikroba, antivirus, antitumor,

antioksidan, dan antiinflamasi (Gupta, 2008). Kegunaan jernang di Indonesia

adalah sebagai bahan pewarna cat dan obat-obatan, misalnya mengobati luka

akibat gatal-gatal dan juga sebagai ramuan yang dioleskan di kening ibu-ibu yang

(19)

melaporkan bahwa ekstrak etanol dari jernang Daemonorops draco iniketika diuji

efek antiinflamasinya secara in vitro, menunjukkan hasil yang positif.

Inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk

menghilangkan penyebab awal kerusakan sel serta membuang sel dan jaringan

nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal. Inflamasi melakukan tugas

pertahanannya dengan megencerkan, menghancurkan, atau menetralkan agen

berbahaya (misalnya, mikroba atau toksin). Tanda-tanda terjadinya inflamasi

adalah panas (kalor), merah (rubor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor) dan

hilangnya fungsi (functio laesa) akibat adanya perluasan mediator dan kerusakan

yang diperantarai leukosit (Robbins, dkk., 2007).

Salah satu obat untuk inflamasi adalah natrium diklofenak. Natrium

diklofenak merupakan obat golongan antiiflamasi nonsteroid (AINS). Obat

golongan ini dapat menimbulkan efek samping apabila dikonsumsi dalam jangka

panjang. Penggunaan obat ini dapat meningkatkan insiden terjadinya perdarahan

dan perforasi pada saluran pencernaan bagian atas (Christianie, dkk., 2008).

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menguji efek antiinflamasi ekstrak

etanol kulit buah rotan terhadap tikus jantan yang diberikan secara oral, untuk

mengetahui pada dosis berapa ekstrak yang terbaik dan membandingkannya

(20)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada

penelitian ini adalah:

a. apakah ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek sebagai antiinflamasi

terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan

karagenan?

b. apakah ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek antiinflamasi yang sama

dengan natrium diklofenak?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka hipotesisnya adalah:

a. ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek antiinflamasi terhadap radang

buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan.

b. ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek antiinflamasi yang sama dengan

natrium diklofenak.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. efek antiinflamasi ekstrak etanol kulit buah rotan terhadap radang buatan pada

telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan.

(21)

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan memberikan informasi tentang kulit buah rotan

yang berkhasiat sebagai antiinflamasi, sehingga ke depan tanaman ini dapat

dikembangkan sebagai sediaan fitofarmaka dengan efek samping yang relatif kecil

dibanding obat antiinflamasi dari bahan kimia sintesis.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap tikus putih jantan. Varibel bebas terdiri dari

serbuk simplisia kulit buah rotan, CMC 0,5%, natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg

bb, serta ekstrak etanol kulit buah rotan dengan variasi dosis 100 mg/kg bb, 200

mg/kg bb, dan 400 mg/kg bb. Variabel terikat meliputi karakteristik simplisia,

skrining fitokimia simplisia dan ekstrak, serta volume telapak kaki tikus yang

terinduksi karagenan 1%. Terdapat beberapa parameter dalam penelitian ini yaitu

makroskopik, mikroskopik, kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol,

kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, alkaloid, flavonoid, tanin

triterpen/steroid, glikosida, serta untuk pengujian antiinflamasi parameternya

adalah persen radang rata-rata dan persen inhibisi radang rata-rata yang dapat

(22)

Adapun kerangka pikir penelitian ini:

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Karakteristik tidak larut dalam asam

Ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 100 mg/kg bb

Ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 200 mg/kg bb

Ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 400 mg/kg bb

CMC 0,5% (kontrol negatif)

Natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb (kontrol positif)

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Rotan merupakan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Dari 530 jenis rotan di

dunia, sebanyak 316 jenis terdapat di hutan Indonesia. Di wilayah hutan Sumatera

terdapat 132 jenis, Jawa 29 jenis, Kalimantan 138 jenis, Sulawesi 86 jenis,

Maluku dan Papua 47 jenis. Rotan (Daemonorops sp) biasanya tumbuh dengan

membentuk rumpun, memanjat hingga ketinggian 30 meter tergantung. Batang

rotan penghasil jernang langsing, berdiameter 2 - 3 cm dipenuhi duri-duri kecil

dan tajam. Daun rotan berwarna hijau terdiri dari helaian anak daun yang tersusun

berpasang-pasangan, permukaan bawah daun sedikit cekung. Rotan penghasil

jernang mulai berbuah pada usia 2 tahun, akan tetapi baru menghasilkan getah

jernang setelah berumur 5 tahun. Buah rotan ini pada umumnya yaitu bulat

kecil-kecil berkumpul seperti buah salak (Kemenhut, 2013).

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Sistematika tumbuhan rotan adalah sebagai berikut:

Super Divisi : Spermatophyta

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae

Genus : Daemonorops

(24)

2.1.2 Nama lain

Getah dari buah rotan ini memiliki nama lain yaitu:

Nama daerah : Limbayung (Sumatera Barat), Jernang Kuku, Jernang Huar,

Jernang Seronang, Jernang Uhan (Kalimantan), Getih Badak

(Banten) dan Getih Warok (Jawa).

Nama asing : Dragon’s Blood, Kino, Red Benzoin, Sanguis Draconis, Sang

Ragon, atau Ostindisches Drachenblut(Kemenhut, 2013).

2.1.3 Sifat tumbuhan

Daemonorops draco menghasilkan getah jernang yang keras, berwarna

merah, berbentuk amorf, berat jenis berkisar antara 1,18-1,20, titik cair sekitar

120oC, meleleh bila dipanaskan dan mudah terbakar dengan mengeluarkan asap

dan bau yang khas (Waluyo, 2013).

2.1.4 Kandungan kimia tumbuhan

Komponen utama pada jernang adalah resin ester dan dracoresinotanol

(57-82%). Selain itu, resin berwarna merah dan juga mengandung

senyawa-senyawa seperti dracoresene (14%), dracoalban (hingga 2,5%), resin tak larut

(0,3%), residu (18,4%), asam benzoat, asam benzoilasetat, dracohodin, dan

beberapa pigmen terutama nordracorhodin dan nordracorubin (Waluyo, 2013).

2.1.5 Kegunaan tumbuhan

Jernang cukup dikenal sebagai obat tradisional dan digunakan untuk

pengobatan haemostatik, antidiare, antiulcer, antimikroba, antivirus, pengobatan

luka, antitumor, antiinflamasi dan antioksidan. Di samping sebagai pengobatan,

jernang ini juga dapat digunakan untuk bahan baku industri pewarna untuk

(25)

adalah sebagai bahan pewarna cat dan obat-obatan, misalnya mengobati luka

akibat gatal-gatal dan juga sebagai ramuan yang dioleskan di kening ibu-ibu yang

baru melewati proses persalinan (Yetty, dkk., 2013).

2.2 Simplisia dan Ekstrak

Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan dan digunakan

sebagai obat yang tinggi belum mengalami pengolahan apapun (Depkes, 1979).

Ekstrak merupakan sediaan yang dapat berupa kering, kental, dan cair,

dibuat dengan menyari simplisia nabati dan hewani menurut cara yang sesuai,

yaitu maserasi, perkolasi atau penyeduhan dengan air mendidih. Cairan penyari

yang digunakan adalah air, eter atau campuran etanol dan air. Penyarian dilakukan

diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Pembuatan ekstrak dimaksudkan agar

zat berkhasiat yang terdapat di simplisia di dapat dalam bentuk yang mempunyai

kadar yang tinggi (Anief, 2000).

Ekstrak diperoleh dengan ekstraksi, yaitu penarikan zat yang diinginkan

dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Metode ekstraksi dengan menggunakan

pelarut dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu:

a. Cara dingin

i. Maserasi, berasal dari bahasa Latin macerare, yang artinya

“merendam”. Merupakan proses perendaman simplisia dalam pelarut

yang sesuai sampai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga

zat-zat yang mudah larut akan melarut.Maserasi biasanya dilakukan pada

temperatur 15-20oC dalam waktu selama 3 hari (Ansel, 2005).

ii Perkolasi, berasal dari bahasa Latin per yang artinya “melalui” dan

(26)

ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna dan

umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari

tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi, dan tahap perkolasi

sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai

diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

a. Cara Panas

i. Refluks adalah ektraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik. Umunya dilakukan pengulangan proses

pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses

ekstraksi sempurna.

ii. Sokletasi, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi

kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin

balik.

iii. Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu

secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.

iv. Infus, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur

96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).

v. Dekok, adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30 oC) dan

(27)

2.3 Inflamasi (Radang)

Inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk

menghilangkan penyebab awal kerusakan sel serta membuang sel dan jaringan

nekrotik yang disebabkan oleh kerusakan asal. Inflamasi terbagi menjadi dua pola

dasar, yaitu:

a. Inflamasi akut adalah inflamasi yang berlangsung relatif singkat, dari

beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan eksudasi cairan

dan protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang menonjol.

b. Inflamasi kronik berlangsung lebih lama yaitu berhari-hari sampai

bertahun-tahun dan ditandai khas dengan influks limfosit dan makrofag

disertai dengan proliferasi pembuluh darah dan pembentukan jaringan

parut (Robbins, 2007).

2.3.1 Mediator inflamasi

Inflamasi dimulai saat sel mast berdegranulasi dan melepaskan

bahan-bahan kimianya seperti histamin, serotonin dan bahan-bahan kimia lainnya. Histamin

merupakan mediator kimia utama inflamasi, juga dilepaskan oleh basofil dan

trombosit. Akibat pelepasan histamin adalah terjadi vasodilatasi pembuluh darah

sehingga terjadi peningkatan aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler

pada awal inflamasi (Corwin, 2008).

Lalu dilepaskan juga mediator lain yaitu faktor kemotaktik neutrofil dan

eusinofil oleh leukosit, yang dapat menarik sel-sel ke daerah cedera. Selain itu

dilepaskan prostaglandin yang dapat meningkatkan aliran darah ke tempat yang

mengalami inflamasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan merangsang

(28)

kapiler dan meningkatkan adhesi leukosit pada pembuluh kapiler selama cedera

(Corwin, 2008).

Berikut ini adalah mediator-mediator inflamasi beserta efeknya (Robbins, 2007) :

a. Vasodilatasi : prostaglandin dan nitrit oksida

b. Peningkatan permeabilitas vaskular : histamin, serotonin, bradikinin,

leukotrien C4, leukotrien D4, dan leukotrien E4

c. Kemotaksis, aktivasi leukosit : leukotrien B4, kemokin (misalnya:

interleukin 8 [IL-8])

d. Demam : IL-1, IL-6, prostaglandin, faktor nekrosis tumor (TNF)

e. Nyeri: prostaglandin dan bradikinin

f. Kerusakan jaringan: nitrit oksida, enzim lisosom neutrofil dan makrofag

2.3.2 Gejala-gejala terjadinya respon inflamasi

Gejala terjadinya inflamasi akut ada 5, yaitu kemerahan (rubor), panas

(kalor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), dan perubahan fungsi (funtio laesa):

a. Kemerahan ( rubor)

Kemerahan, atau rubor, merupakan hal pertama yang terlihat di daerah

yang mengalami inflamasi akut. Waktu reaksi inflamasi mulai timbul maka arteri

yang mensuplai darah ke daerah tersebut berdilatasi, dengan demikian lebih

banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Pembuluh-pembuluh darah

yang sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang dengan cepat dan terisi

penuh oleh darah. Keadaan ini dinamakan hiperemia dan menyebabkan warna

merah lokal karena inflamasi akut. Timbulnya hiperemia pada permulaan reaksi

inflamasi diatur oleh tubuh melalui pengeluaran mediator, seperti histamin (Price

(29)

b. Panas (kalor)

Panas, atau kalor, terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi

inflamasi akut. Panas merupakan reaksi inflamasi yang khas karena terjadi pada

permukaan tubuh yakni kulit. Daerah inflamasi pada kulit menjadi lebih panas

dari daerah sekitarnya, sebab darah dengan suhu 37oC yang disalurkan tubuh ke

permukaan daerah yang terkena inflamasi lebih banyak disalurkan daripada ke

daerah normal (Price dan Wilson, 1995).

c. Rasa Nyeri (dolor)

Rasa nyeri, atau dolor, adalah reaksi inflamasi yang dapat dihasilkan

dengan berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu dapat

merangsang ujung-ujung saraf, pengeluaran mediator tertentu, misalnya histamin

atau pembengkakan jaringan yang meinflamasi mengakibatkan peningkatan

tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri (Price dan Wilson, 1995).

d. Pembengkakan (tumor)

Gejala yang paling menyolok dari inflamasi akut adalah tumor atau

pembengkakan. Hal ini terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas dinding

kapiler serta pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan yang

cedera. Pada inflamasi, dinding kapiler tersebut menjadi lebih permeabel dan

lebih mudah dilalui oleh leukosit dan protein terutama albumin, yang diikuti oleh

molekul yang lebih besar sehingga plasma jaringan mengandung lebih banyak

protein daripada biasanya, yang kemudian meninggalkan kapiler dan masuk

kedalam jaringan sehingga menyebabkan jaringan menjadi bengkak (Price dan

Wilson, 1995).

(30)

e. Perubahan Fungsi (Fungsio Laesa)

Gangguan fungsi, atau functio laesa, merupakan konsekuensi dari suatu

proses inflamasi. Gerakan yang terjadi pada daerah inflamasi, baik yang dilakukan

secara sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit,

pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak

jaringan (Price dan Wilson, 1995).

2.3.3 Mekanisme terjadinya inflamasi

Salah satu faktor penyebab terjadinya inflamasi adalah produk yang

dihasilkan dari metabolisme asam arakhidonat. Asam arakhidonat merupakan

suatu asam lemak tak jenuh ganda dengan 20 atom karbon. Asam arakhidonat

dilepaskan oleh fosfolipid melalui fosfolipase sel yang telah diaktifkan oleh

rangsang mekanik, kimiawi, atau fisik. Proses metabolisme asam arakhidonat

terjadi melalui dua jalur utama, yaitu siklooksigenase dengan menyintesis

prostaglandin juga tromboksan dan lipooksigenase yang menyintesis leukotrien

dan lipoksin.

Jalur utama metabolisme asam arakhidonat, yaitu:

a. Jalur siklooksigenase, produk yang dihasilkan oleh jalur ini adalah

prostaglandin E2 (PGE2), PGD2, prostasiklin (PGI2), dan tromboksan A2

(TXA2). TXA2 adalah pengagregasi trombosit dan vasokonstriktor,

merupakan produk utama prostaglandin dalam trombosit. PGI2 adalah

suatu vasodilator dan inhibitor agregasi trombosit. PGD2 merupakan

metabolit utama jalur siklooksigenase dalam sel mast, bersama dengan

PGE2 menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan pembentukan edema.

(31)

inflamasi, PGE2 membantu menigkatkan sensitivitas nyeri terhadap

berbagai rangsang dan berinteraksi dengan sitokin yang menyebabkan

demam.

b. Jalur lipooksigenase, merupakan enzim yang memetabolisme asam

arakhidonat yang menonjol dalam neutrofil. Enzim ini menghasilkan

leukotrien. Leukotrien pertama yang dihasilkan disebut leukotrien A4

(LTA4) yang selanjutnya akan menjadi LTB4 melalui hidrolisis enzimatik.

LTB4 merupakan agen kemotaksis dan menyebabkan agregasi neutrofil.

LTC4 dan metabolit berikutnya, LTD4 dan LTE4 menyebabkan

vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular.

Kemudian lipoksin A4 (LXA4) yang menyebabkan vasodilatasi dan

menghambat kemotaksis neutrofil (Robbins, 2007).

Mekanisme terjadinya inflamasi dapat dilihat pada Gambar 2.1.

(32)

2.4 Obat Antiinflamasi

Obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan

atau mengurangi peradangan. Berdasarkan mekanisme kerjanya obat antiinflamasi

terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah golongan obat

antiinflamasi steroid. Obat antiinflamasi yang kedua yaitu golongan obat

antiinflamasi nonsteroid (AINS)

2.4.1 Obat antiinflamasi golongan steroida

Obat antiinflamasi golongan steroida bekerja menghambat sintesis

prostaglandin dengan cara menghambat enzim fosfolipase, sehingga fosfolipid

yang berada pada membran sel tidak dapat diubah menjadi asam arakidonat.

Akibatnya prostaglandin tidak akan terbentuk dan efek inflamasi tidak ada.

Contoh obat antiinflamasi steroid adalah deksametason, betametason dan

hidrokortison (Tan, dan Rahardja, 2007).

2.4.2 Obat antiinflamasi golongan non steroida

Obat antiinflamasi golongan nonsteroida digunakan untuk pengobatan

nyeri, rheumatoid arthritis, osteoarthritis, dan lainnya. Semua obat antiinflamasi

nonsteroid mempunyai efek klinis yaitu dengan menghambat sintesis

prostaglandin. Prostaglandin menyebabkan terjadinya inflamasi. Prostaglandin

juga ikut mengatur temperatur tubuh, rasa nyeri, agregasi platelet dan efek lainnya.

Waktu paruhnya hanya hitungan menit. Jadi, ketika enzim pembuat prostaglandin

dihambat, maka tidak terjadi pengeluaran prostaglandin. Enzim pembuat

prostaglandin adalah siklooksigenase. Dua isoform siklooksigenase (COX) telah

(33)

lambung. COX-2 terdapat di otak dan ginjal, juga dapat menyebabkan inflamasi.

COX-1, terdapat di platelet (Stringer, 2001).

Obat antiinflamasi nonsteroid awal, memiliki cara kerja dengan

menghambat semua isoform COX. Kemudian, obat antiinflamasi nonsteroid yang

spesifik menghambat COX-2 mulai ada. Obat spesifik penghambat COX-2 dapat

mengobati inflamasi tanpa merusak saluran pencernaan dan mengubah fungsi

platelet. Contoh dari obat ini adalah rofecoxib dan celecoxib (Stringer, 2001).

Secara kimiawi, penggolongan obat antiinflamasi nonsteroida ini dibagi dalam

beberapa kelompok, yaitu (Tan, dan Rahardja, 2007) :

a. Salisilat: asetosal, benorilat dan diflunisal

b. Asetat: natrium diklofenak, indometasin dan sulindac

c. Propionat: ibuprofen, ketoprofen, flurbiprofen, naproksen, dan tiaprofenat

d. Oxicam: piroxicam, tenoxicam, dan meloxicam

e. Pirazolon: oksifenilbutazon, dan azapropazon

f. Lainnya: mefenaminat, nabumeton, benzidamin dan bufexamac

2.4.2.1 Natrium diklofenak

Rumus bangun natrium diklofenak dapat dilihat pada Gambar 2.2.

(34)

Rumus molekul : C14H10Cl2NNaO2

Nama kimia : asam benzeneasetat, 2-[(2,6-diklorofenil)amino]

monosodium

Berat molekul : 318,13

Pemerian : serbuk kristal putih atau sedikit kuning, agak higroskopis

Kelarutan : Sedikit larut dalam air, mudah larut dalam metanol, larut

dalam etanol (96 persen), dan sedikit larut dalan aseton

(British Pharmacopoeia, 2009).

Diklofenak adalah suatu turunan asam fenilasetat yang relatif tidak selektif

sebagai penghambat siklooksigenase. Obat ini memiliki waktu paruh singkat yaitu

1-3 jam. Efek samping yang lazim dari obat ini ialah, mual, gastritis, eritema kulit

dan sakit kepala. Pemakaian obat ini harus hati-hati terhadap pasien tukak

lambung. Pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang dewasa

100-150 mg sehari terbagi dalam 2-3 dosis (Wilmana, 2009).

2.5 Karagenan

Iritan yang digunakan untuk pengujian efek inflamasi beragam jenisnya,

salah satunya adalah karagenan. Karagenan merupakan suatu polisakarida hasil

ekstrak rumput laut dari famili Euchema, Chondrus, dan Gigartina. Bentuknya

berupa serbuk berwarna putih hingga kuning kecoklatan, ada yang berbentuk

butiran kasar hingga serbuk halus, tidak berbau, serta memberi rasa berlendir di

lidah. Berdasarkan kandungan sulfat dan potensi pembentukan gelnya, karagenan

dapat menjadi tiga jenis, yaitu lamda karagenan, iota karagenan, dan kappa

(35)

Karagenan berperan dalam pembentukan udem pada model inflamasi akut.

Karagenan dipilih karena dapat melepaskan mediator inflamasi, yaitu

prostaglandin setelah disuntikkan ke hewan uji. Oleh karena itu, karagenan dapat

digunakan sebagai iritan dalam metode uji yang bertujuan untuk mencari

obat-obat antiinflamasi, tepatnya yang bekerja dengan menghambat sintesis

prostaglandin (Winter, 1961). Penggunaan karagenan sebagai penginduksi

memiliki beberapa keuntungan, antara lain: tidak meninggalkan bekas, tidak

menimbulkan kerusakan jaringan dan memberikan respon yng lebih peka terhadap

obat antiinflamasi dibanding senyawa iritan lainnya (Siswanto dan Nurulita, 2005).

2.6 Pengujian Efek Antiinflamasi Akut

Beberapa metode yang dapat digunakan untuk model inflamasi akut

(Suralkar, 2008), adalah:

a. Induksi Karagenan

Induksi udem dilakukan pada kaki hewan uji. Dalam hal ini disuntikkan

suspensi karagenan secara subplantar. Obat uji diberikan secara oral. Volume

udem kaki diukur dengan alat pletismometer. Aktivitas inflamasi obat uji

ditunjukkan oleh kemampuan obat uji mengurangi udem yang diinduksi pada

telapak kaki hewan uji.

b. Induksi Histamin

Metode yang digunakan hampir sama dengan metode induksi karagenan,

hanya saja penginduksi yang digunakan adalah larutan histamin 1%.

(36)

Metode ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas inhibisi obat terhadap

peningkatan permeabilitas vaskular yang diinduksi oleh asam asetat secara

intraperitoneal. Sejumlah pewarna (Evan’s Blue 10%) disuntikkan secara

intravena. Aktivitas inhibisi obat uji terhadap peningkatan permeabilitas vaskular

ditunjukkan dengan kemampuan obat uji dalam mengurangi konsentrasi pewarna

yang menempel dalam ruang abdomen yang disuntikkan sesaat setelah induksi

asam asetat.

d. Induksi Xylene pada udem daun telinga

Hewan uji diberikan obat, kemudian diinduksi xylene dengan mikropipet

pada kedua permukaan daun telinga kanannya. Telinga kiri digunakan sebagai

kontrol. Terdapat dua parameter yang diukur dalam metode ini, yaitu ketebalan

dan bobot dari daun telinga hewan uji. Ketebalan daun telinga hewan uji yang

telah diinduksi diukur dengan menggunakan jangka sorong digital, lalu

dibandingkan dengan telinga kiri. Jika menggunakan parameter bobot daun

telinga, maka daun telinga hewan uji dipotong dan ditimbang. Kemudian

dibandingkan beratnya dengan telinga kiri.

e. Induksi Asam Arakhidonat pada udem daun telinga

Metode yang digunakan hampir sama dengan metode induksi xylene, hanya

saja penginduksi yang digunakan adalah asam arakhidonat yang diberikan secara

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan tahapan

penelitian yaitu identifikasi tumbuhan, pengumpulan dan pengolahan tumbuhan,

pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak secara perkolasi,

skrining fitokimia ekstrak dan pengujian efek antiinflamasi secara oral terhadap

tikus jantan menggunakan alat pletismometer air raksa. Data dianalisis dengan

menggunakan program SPSS.

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah alat-alat gelas

laboratorium, alumunium foil, blender (Miyako), lemari pengering, mortir dan

stamfer, neraca analitik (Boeco), neraca hewan (GW-1500), oral sonde, penangas

air (Griffin), pletismometer air raksa, rotary evaporator (Heidolph WB-2000),

spuit, mikroskop, desikator, oven, tanur.

3.1.2 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kulit buah rotan

(Daemonorops draco (Willd.) Blume) serta bahan kimia berupa bahan kimia yang

digunakan, asam asetat anhidrat, asam klorida, asam sulfat pekat, besi (III) klorida,

etanol 96% (hasil destilasi), n-heksan, natrium diklofenak, isopropanol, karagenan,

karboksi metil seluluosa (CMC), kloroform, serbuk magnesium, timbal (II) asetat,

serbuk seng, pereaksi Meyer, pereaksi Bouchardat, pereaksi Dragendorff, metanol,

(38)

3.2 Penyiapan Sampel

Penyiapan sampel meliputi pengambilan bahan, identifikasi bahan dan

pembuatan simplisia.

3.2.1 Pengambilan bahan

Pengambilan bahan dilakukan secara purposif. Bahan diambil dari Desa

Onan Sau, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera

Utara tanpa membandingkan dengan bahan yang sama dari daerah lain. Bahan

yang digunakan adalah kulit buah rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume)

3.2.2 Identifikasi bahan

Identifikasi bahan dilakukan di Herbarium Bogoriense Bidang Botani

Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor.

3.3.3 Pembuatan simplisia

Buah rotan yang telah dikumpulkan, dipisahkan dari daging buah dan

bijinya kemudian dikumpulkan kulitnya dan disebarkan diatas kertas perkamen

hingga airnya meresap lalu ditimbang sebagai berat basah. Kemudian, untuk

mencegah timbulnya jamur, selama pengeringan dikeringkan dalam lemari

pengering pada suhu 40°C - 50°C. Simplisia yang telah kering diblender menjadi

serbuk. Kemudian, serbuk dimasukkan kedalam wadah tertutup dan disimpan

pada suhu kamar

3.3 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

3.3.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk luar dari

(39)

3.3.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia kulit buah

rotan. Serbuk simplisia ditaburkan diatas kaca objek yang telah ditetesi dengan

larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati di bawah

mikroskop.

3.3.3 Penetapan kadar air

a. Penjenuhan toluen

Toluen sebanyak 200 ml dimasukkan ke dalam labu alas bulat, lalu

ditambahkan 2 ml air suling, kemudian alat dipasang dan dilakukan destilasi

selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama ± 30 menit,

kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

b. Penetapan kadar air simplisia

Labu berisi toluen tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah

ditimbang seksama, dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen

mendidih, kecepatan toluen diatur 2 tetes per detik sampai sebagian besar air

terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes per detik.

Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen.

Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, tabung penerima dibiarkan mendingin pada

suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan

ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kadar air

yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen

(40)

3.3.4 Penetapan kadar sari larut air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan, dimaserasi selama 24 jam

dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dilarutkan di dalam 1 L akuades)

dalam labu tersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian

dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan

sampai kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah dipanaskan dan

ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar dalam

persensari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan

(Depkes, 1995).

3.3.5 Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan, dimaserasi selama 24 jam

dalam 100 ml etanol 95% dalam labu tersumbat sambil sesekali dikocok selama 6

jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk

menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai

kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa

dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang

larut dalam etanol 95% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes,

1995).

3.3.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama

dimasukkan ke dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian

diratakan. Krus porselin dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran

(41)

ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang

telah dikeringkan (WHO, 2011).

3.3.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25

ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan,

disaring melalui kertas saring dan dipijar sampai bobot tetap, kemudian

didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung

terhadap bahan yang dikeringkan (WHO, 2011).

3.3.8 Skrining fitokimia simplisia

a. Pemeriksaan alkaloida

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditimbang kemudian ditambahkan 1 ml

asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2

menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat digunakan untuk percobaan berikut:

i. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Meyer

ii. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat

iii. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloida dianggap positif jika terjadi endapan paling sedikit dua dari tiga

percobaan diatas (Depkes, 1995).

b. Pemeriksaan flavonoida

Larutan Percobaan:

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml metanol lalu

direfluks selama 10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring, filtrat

(42)

dikocok hati-hati, didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur

40°C, sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring.

Cara percobaan:

i. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan

dalam 1-2 ml etanol 96%, ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan 2 ml asam

klorida 2 N, didiamkan selama satu menit. Ditambahkan 10 ml asam klorida

pekat, jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah yang intensif

menunjukkan adanya flavonoida

ii. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan

dalam 1 ml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 tetes asam

klorida pekat, terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan

adanya flavonoida (Depkes, 1995).

c. Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling, disaring

lalu filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml

larutan lalu ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi warna biru

atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tannin.

d. Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia disari dengan 30 ml campuran etanol

96%-air suling (7 : 3), lalu ditambahkan 10 ml HCl 2 N, direfluks selama 10 menit,

didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan

25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring.

Filtrat disari sebanyak 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran

(43)

anhidrat secukupnya, disaring dan diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50°C,

dilarutkan sisanya dengan 2 ml metanol, kemudian diambil 0,1 ml larutan

percobaan di masukkan kedalam tabung reaksi, diuapkan diatas penangas air.

Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 2 tetes pereaksi molish, ditambahkan hati-hati

2 ml asam sulfat pekat, terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan

menunjukkan adanya ikatan gula (Depkes, 1995).

e. Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan kedalam tabung reaksi dan

ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat

selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-

10 cm. ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2N, bila buih tidak hilang

menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1995).

f. Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama

2 jam. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan 2 tetes asam

asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul warna ungu atau merah

kemudian berubah menjadi biru hijau menunjukkan adanya steroida/triterpenoida

(Harborne, 1987).

3.4 Pembuatan Ekstrak Etanol Kulit Buah Rotan

Pembuatan ekstrak dilakukan secara perkolasi dengan menggunakan

pelarut etanol 96%. Caranya, basahi 400 gram simplisia dengan 200 ml pelarut

etanol 96%, masukkan ke dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam.

(44)

hati-hati, tuangi dengan pelarut etanol 96% sampai cairan mulai menetes dan

diatas simplisia masih terdapat pelarutnya, tutup perkolator, biarkan selama 24

jam. Biarkan cairan menetes dengan kecepatan 1 ml per menit, tambahkan

berulang-ulang pelarut etanol 96% secukupnya sehingga selalu terdapat selapis

pelarut secukupnya diatas simplisia. Kemudian perkolat dipekatkan. Pemekatan

dilakukan dengan alat rotary eveporator pada suhu 40oC sampai diperoleh ekstrak

kental (Depkes RI, 1979).

3.5 Skrining Fitokimia Ekstrak

g. Pemeriksaan alkaloida

Sebanyak 0,5 g ekstrak ditimbang kemudian ditambahkan 1 ml asam

klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit,

didinginkan lalu disaring. Filtrat digunakan untuk percobaan berikut:

i. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Meyer

ii. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat

iii. Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloida dianggap positif jika terjadi endapan paling sedikit dua dari tiga

percobaan diatas (Depkes, 1995).

h. Pemeriksaan flavonoida

Larutan Percobaan:

Sebanyak 0,5 g ekstrak disari dengan 10 ml metanol lalu direfluks selama

10 menit, disaring panas-panas melalui kertas saring, filtrat diencerkan dengan 10

(45)

didiamkan. Lapisan metanol diambil, diuapkan pada temperatur 40°C, sisa

dilarutkan dalam 5 ml etil asetat, disaring.

Cara percobaan:

i. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan

dalam 1-2 ml etanol 96%, ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan 2 ml asam

klorida 2 N, didiamkan selama satu menit. Ditambahkan 10 ml asam klorida

pekat, jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah yang intensif

menunjukkan adanya flavonoida

ii. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisanya dilarutkan

dalam 1 ml etanol 96%, ditambahkan 0,1 g magnesium dan 10 tetes asam

klorida pekat, terjadi warna merah jingga sampai merah ungu menunjukkan

adanya flavonoida (Depkes, 1995).

i. Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g ekstrak disari dengan 10 ml air suling, disaring lalu

filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml

larutan lalu ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi warna biru

atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tannin.

j. Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g ekstrak disari dengan 30 ml campuran etanol 96% - air

suling (7 : 3), lalu ditambahkan 10 ml HCl 2 N, direfluks selama 10 menit,

didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan

25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring.

Filtrat disari sebanyak 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran

(46)

anhidrat secukupnya, disaring dan diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50°C,

dilarutkan sisanya dengan 2 ml metanol, kemudian diambil 0,1 ml larutan

percobaan di masukkan kedalam tabung reaksi, diuapkan diatas penangas air.

Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 2 tetes pereaksi molish, ditambahkan hati-hati

2 ml asam sulfat pekat, terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan

menunjukkan adanya ikatan gula (Depkes, 1995).

k. Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g ekstrak dimasukkan kedalam tabung reaksi dan

ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat

selama 10 detik, timbul busa yang mantap tidak kurang dari 10 menit setinggi 1-

10 cm. ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida 2 N, bila buih tidak hilang

menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1995).

l. Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g ekstrak dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam.

Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan 2 tetes asam asetat

anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat. Timbul warna ungu atau merah kemudian

berubah menjadi biru hijau menunjukkan adanya steroida/triterpenoida (Harborne,

1987).

3.6 Penyiapan Bahan Uji, Kontrol dan Obat Pembanding

Ekstrak etanol kulit buah rotan dengan dosis 100, 200, 400 mg/kg bb

(bahan uji) dan natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb (kontrol positif) dibuat dalam

bentuk suspensi CMC 0,5%. Dan sebagai kontrol negatif yang digunakan adalah

(47)

3.6.1 Pembuatan suspensi CMC 0,5%

Sebanyak 500 mg CMC ditaburkan merata ke dalam lumpang yang telah

berisi air suling panas sebanyak 35 ml. Didiamkan selama 15 menit hingga

diperoleh massa yang transparan, digerus hingga terbentuk gel kemudian

diencerkan dengan sedikit air, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, lalu

ditambahkan air suling sampai garis tanda.

3.6.2 Pembuatan suspensi natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb

Ditimbang sebanyak 4,5 mg serbuk natrium diklofenak kemudian digerus

dengan penambahan suspensi CMC 0,5% sampai homogen, dimasukkan ke dalam

labu ukur 10 ml, dicukupkan sampai garis tanda dengan suspensi CMC 0,5%.

2.6.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, dan 400 mg/kg bb (konsentrasi 3%)

Ditimbang 750 mg ekstrak etanol kulit buah rotan, kemudian digerus

dengan penambahan suspensi CMC 0,5% sampai homogen, dimasukkan ke dalam

labu ukur 25 ml, dicukupkan sampai garis tanda dengan suspensi CMC 0,5%.

3.7 Penyiapan Induktor Radang (karagenan 1%)

Ditimbang sebanyak 100 mg karagenan, lalu dihomogenkan dengan

larutan NaCl 0,9%, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml kemudian

dicukupkan dengan larutan NaCl 0,9% sampai garis tanda.

3.8 Penyiapan Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan sebanyak 25

(48)

Pemilihan tikus sebagai hewan uji berdasarkan sifatnya yang tenang, mudah

ditangani dan tidak terlalu fotofobik. Selain itu, ukuran telapak kaki tikus lebih

mudah diamati dan diukur volume kakinya. Tikus putih cenderung aktif pada

malam hari, sedangkan siang hari digunakan untuk istirahat dan tidur, sehingga

pada siang hari tikus putih lebih mudah ditangani. Sebelum pengujian, hewan

percobaan dipelihara pada kandang yang mempunyai ventilasi yang baik dan

selalu dijaga kebersihannya. Tikus yang sehat ditandai dengan adanya

peningkatan berat badan dan cenderung stabil dari hari ke hari.

3.9 Prosedur Pengujian Efek Antiinflamasi

Pengujian aktivitas antiinflamasi menggunakan metode Winter (1961).

Sebelum pengujian, tikus dipuasakan selama 18 jam dengan tetap diberi air

minum. Tikus dikelompokkan ke dalam 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol

negatif (suspensi CMC 0,5%), kelompok bahan uji (tiga dosis suspensi ekstrak

etanol kulit buah rotan), dan kontrol positif (natrium diklofenak).

a. Pada hari pengujian, masing-masing hewan ditimbang dan diberi tanda pada

kaki kirinya, kemudian kaki kiri tikus dimasukkan ke dalam pletismometer

yang berisi cairan sampai cairan tersebut naik sampai garis batas pada kaki kiri

tikus.

b. Kemudian, catat angka pada skala pletismometer sebagai volume awal (Vo)

yaitu volume kaki sebelum diberi obat dan diinduksi dengan larutan karagenan.

c. Masing-masing tikus diberi suspensi bahan uji secara oral sesuai dengan

(49)

d. Lalu 60 menit kemudian, masing-masing telapak kaki tikus disuntik secara

subplantar dengan 0,05 ml larutan karagenan 1%.

e. Setelah 30 menit, dilakukan pengukuran dengan cara mencelupkan kaki kiri

tikus ke dalam pletismometer sampai cairan tersebut naik sampai garis batas

pada kaki kiri tikus.

f. Dicatat angka pada skala pletismometer. Perubahan volume cairan yang terjadi

dicatat sebagai volume telapak kaki tikus pada waktu tertentu (Vt).

Pengukuran dilakukan setiap 30 menit selama 360 menit. Volume radang adalah

selisih volume telapak kaki tikus setelah dan sebelum disuntikkan karagenan.

Pada waktu pengukuran, volume cairan harus sama setiap kali pengukuran, tanda

batas pada kaki tikus harus jelas, kaki tikus harus tercelup sampai batas yang

dibuat.

3.10 Penghitungan Persen Radang

Persen radang dapat dihitung dengan rumus di bawah ini (Mansjoer, 1997):

Persen radang =

Di mana:

Vt = Volume radang setelah waktu t

Vo = Volume awal kaki tikus

Persen inhibisi radang dihitung dengan rumus di bawah ini:

Persen inhibisi radang =

Di mana:

a = Persen radang rata-rata kelompok kontrol

b = Persen radang rata-rata kelompok perlakuan bahan uji atau obat pembanding Vt- Vo x 100

Vo

(50)

Kemudian data persen radang (%) pada masing-masing tikus pada tiap

kelompok perlakuan dianalisis secara statistik dengan uji Kruskal-Wallis untuk

melihat ada atau tidaknya perbedaan antara kelompok perlakuan. Lalu dilakukan

uji Mann-Whitney untuk melihat perbedaan nyata dari setiap perlakuan pada tiap

kelompok.

Bila hasil uji statistik Kruskal Wallis terdapat α < 0,05 menunjukkan

terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Hal ini berarti

semua kelompok perlakuan memiliki perbedaan yang signifikan terhadap radang

pada telapak kaki tikus yang diinduksi karagenan.

Untuk melihat perbedaan yang nyata antar kelompok, dilakukan uji

statistik Mann Whitney dari menit ke-30 sampai menit ke-360. Apabila

signifikansi > 0,05 menunjukkan bahwa antar perlakuan tidak ada perbedaan yang

bermakna dan sebaliknya apabila signifikansi < 0,05 menunjukkan bahwa terdapat

(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan

Hasil identifikasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang

Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, menyebutkan bahwa tanaman yang

digunakan adalah tanaman rotan Daemonorops draco (Willd.) Blume. Hasil

identifikasi tanaman dapat dilihat pada Lampiran 2 halaman 49.

4.2 Hasil karakterisasi Bahan Tumbuhan dan Serbuk Simplisia 4.2.1 Pemeriksaan makroskopik

Hasil pemeriksaan makroskopik dari tumbuhan yaitu kulit buah rotan

berwarna coklat kemerahan dan permukaan kulit bersisik, bentuk kulit bulat

memanjang, panjang 2 - 3 cm, lebarnya 3 cm, dan ujung kulit meruncing.

4.2.2 Pemeriksaan mikroskopik

Hasil pemeriksaan mikroskopik dari serbuk simplisia kulit buah rotan

dijumpai adanya parenkim, sklerenkim, berkas pengangkut dengan penebalan

spiral dan sklereid. Pengamatan serbuk simplisia kulit buah rotan menggunakan

mikroskop dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 52.

4.2.3 Pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia

Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia kulit buah rotan diperoleh

kadar air sebesar 5,66%, kadar sari yang larut dalam air sebesar 5,14%, kadar sari

yang larut dalam etanol sebesar 3,62%, kadar abu total sebesar 5,70% dan kadar

abu yang tidak larut dalam asam sebesar 2,45%. Hasil pemeriksaan karakteristik

(52)

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia.

Hasil penetapan kadar air serbuk simplisia kulit buah rotan menunjukkan

hasil yang lebih kecil dari 10%. Hal ini baik karena kelebihan air dalam simplisia

akan mendorong pertumbuhan mikroba dan jamur. Penetapan kadar sari larut air

untuk mengetahui kadar sari yang larut dalam air. Senyawa-senyawa yang dapat

larut dalam air adalah glikosida, gula, gom, protein, enzim, zat warna, dan asam

organik. Penetapan kadar sari larut etanol untuk mengetahui kadar sari yang larut

dalam pelarut polar. Senyawa-senyawa yang dapat larut dalam etanol adalah

glikosida, antrakinon, steroid terikat, klorofil, dan dalam jumlah sedikit yang larut

yaitu lemak dan saponin (Depkes, 1986). Penetapan kadar abu total untuk

mengetahui kadar zat anorganik yang terdapat pada simplisia, sedangkan

penetapan kadar abu tidak larut asam untuk mengetahui kadar zat anorganik yang

tidak larut dalam asam (Depkes, 1995).

4.3 Skrining fitokimia

Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol kulit buah rotan

dilakukan untuk mendapatkan informasi golongan senyawa metabolit sekunder

yang terdapat didalamnya. Adapun pemeriksaan yang dilakukan terhadap

simplisia dan ekstrak etanol kulit buah rotan adalah pemeriksaan golongan

senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin, dan triterpenoid/steroid.

No Parameter Hasil (%)

1 Kadar air 5,66

2 Kadar sari larut dalam air 5,14

3 Kadar sari larut dalam etanol 3,62

4 Kadar abu total 5,70

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian
Gambar 2.1 Mekanisme terjadinya inflamasi (Robbins, 2007).
Gambar 2.2  Rumus natrium diklofenak (British Pharmacopoeia, 2009).
Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bantuan Keuangan Kepada Desa Atas Pemanfaatan Tanah Kas Desa Untuk Fasilitas Umum yang selanjutnya disebut bantuan keuangan adalah bantuan keuangan dari Pemerintah

PLT pejabat eselon II Kepala Satuan Organisasi Perangkat Daerah dapat diangkat dari Asisten Sekretaris Daerah, Pejabat eselon II lainnya atau Pejabat eselon III di lingkungan

Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah

To the extent permitted by law, Phillip Futures, or persons associated with or connected to Phillip Futures, including but not limited to its officers,

Anda diminta oleh pimpinan untuk membuat surat dalam bahasa Indonesia kepada salah satu relasi perusahaan yaitu PT. Mayora, beralamat di Jl. Raya Serang KM 30 Balaraja -

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah Sesuai dengan permasalahan yang dijabarkan di atas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah: 1) Untuk mengetahui ada

To find an explanation of the various types of the English text of the above, let us look at the following related articles: narrative text, recount text, procedure text,

Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014 1... Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014