• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Konsentrasi Starter dan Penambahan Inulin dalam Pembuatan Yogurt Susu Kambing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Konsentrasi Starter dan Penambahan Inulin dalam Pembuatan Yogurt Susu Kambing"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

ii

ABSTRACT

RICO JUNI ARTANTO. Influence of Concentration of Starter and Addition of Inulin in Producing Goat’s Milk Yoghurt. Under direction of HADRI LATIF.

The aim of this research was to figure out influence of concentration of starter and inulin on time of producing, texture, and aroma of yoghurt made of goat’s milk. This study was conducted from April until December 2010 at the Laboratory of Veterinary Public Health, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University.This research was designed by factorial complete random design with two treatments, i.e., addition of starter and inulin. Treatments of starter and inulin in series consisted of 3 levels (2 %, 3 %, and 4 %) and 6 levels (0, 0.5, 1, 1.5, 2, and 2.5 mg/l) respectively. The results showed that different concentration of starter influenced time of producing goat’s milk yoghurt (p<0.05), meanwhile different addition of inulin did not influence the time of producing yoghurt (p>0.05). Yoghurt starter with 3% and 4% concentration require faster time in producing yoghurt. Texture and aroma of goat’s milk yoghurt were influenced by time of producing and both treatments (p<0.05). Combination of starter and inulin had given best organoleptic result in treatment of 3% of starter and 0,5 mg/l of inulin on the 4th hour (LP8) and in treatment of 3% of starter and 1 mg/l of inulin on the 5th hour (LP9).

(2)

iii

RINGKASAN

RICO JUNI ARTANTO. Pengaruh Konsentrasi Starter dan Penambahan Inulin dalam Pembuatan Yogurt Susu Kambing. Dibimbing oleh HADRI LATIF.

Tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan konsumsi susu negar-negara ASEAN, seperti Malaysia serta di negara-negara maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Keadaan ini didukung dengan produksi susu di Indonesia yang masih rendah. Kondisi ini memungkinkan akan terus seperti ini jika tidak ada gerakan atau inovasi dalam usaha meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya mengkonsumsi susu.

Susu kambing merupakan salah satu alternatif minuman kesehatan selain susu sapi. Susu kambing memiliki beberapa perbedaan karakteristik dari susu sapi, yaitu warnanya lebih putih, globula lemak susunya lebih kecil sehingga lemak susu kambing lebih mudah dicerna, dan dapat diminum oleh orang yang alergi terhadap susu sapi, menderita intoleransi laktosa, atau untuk orang-orang yang mengalami berbagai gangguan pencernaan (Blakely dan Blade 1991). Susu kambing mempunyai aroma khas kambing. Hal ini yang dapat mengurangi daya tarik konsumen dalam mengonsumsi susu kambing. Salah satu cara untuk meningkatkan konsumsi susu kambing adalah dengan melakukan fermentasi dengan menggunakan bakteri atau yang biasa disebut yogurt.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi starter dan inulin terhadap waktu pembuatan, tekstur, dan aroma yogurt susu kambing. Penelitian ini dirancang dengan metode rancangan acak lengkap faktorial dengan dua perlakuan yaitu penambahan starter dan penambahan inulin. Perlakuan starter dan inulin secara berurutan terdiri dari 3 dan 6 level, yaitu konsentrasi 2, 3, dan 4% untuk perlakuan starter dan penambahan 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0, dan 2.5 mg/l untuk perlakuan inulin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi starter berpengaruh terhadap waktu pembuatan yogurt susu kambing (p<0.05), sedangkan perbedaan konsentrasi inulin tidak berpengaruh terhadap waktu pembuatan yogurt susu kambing (p>0.05). Adapun tekstur dan aroma yogurt susu kambing dipengaruhi oleh waktu dan kedua perlakuan (p<0.05). Hasil kombinasi starter dan inulin yang memberikan hasil uji organoleptik (tekstur dan aroma) terbaik didapatkan pada perlakuan 3% starter dan 0.5 mg/l inulin pada jam ke-4 (LP8) dan perlakuan 3% starter dan 1 mg/l inulin pada jam ke-5 (LP9).

(3)

PENGARUH KONSENTRASI STARTER DAN

PENAMBAHAN INULIN DALAM PEMBUATAN

YOGURT SUSU KAMBING

RICO JUNI ARTANTO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

i

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi dengan Judul “Pengaruh Konsentrasi Starter dan Penambahan Inulin dalam Pembuatan Yogurt Susu Kambing” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi.

Bogor, Agustus 2012

Rico Juni Artanto

(5)

ii

ABSTRACT

RICO JUNI ARTANTO. Influence of Concentration of Starter and Addition of Inulin in Producing Goat’s Milk Yoghurt. Under direction of HADRI LATIF.

The aim of this research was to figure out influence of concentration of starter and inulin on time of producing, texture, and aroma of yoghurt made of goat’s milk. This study was conducted from April until December 2010 at the Laboratory of Veterinary Public Health, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University.This research was designed by factorial complete random design with two treatments, i.e., addition of starter and inulin. Treatments of starter and inulin in series consisted of 3 levels (2 %, 3 %, and 4 %) and 6 levels (0, 0.5, 1, 1.5, 2, and 2.5 mg/l) respectively. The results showed that different concentration of starter influenced time of producing goat’s milk yoghurt (p<0.05), meanwhile different addition of inulin did not influence the time of producing yoghurt (p>0.05). Yoghurt starter with 3% and 4% concentration require faster time in producing yoghurt. Texture and aroma of goat’s milk yoghurt were influenced by time of producing and both treatments (p<0.05). Combination of starter and inulin had given best organoleptic result in treatment of 3% of starter and 0,5 mg/l of inulin on the 4th hour (LP8) and in treatment of 3% of starter and 1 mg/l of inulin on the 5th hour (LP9).

(6)

iii

RINGKASAN

RICO JUNI ARTANTO. Pengaruh Konsentrasi Starter dan Penambahan Inulin dalam Pembuatan Yogurt Susu Kambing. Dibimbing oleh HADRI LATIF.

Tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan konsumsi susu negar-negara ASEAN, seperti Malaysia serta di negara-negara maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Keadaan ini didukung dengan produksi susu di Indonesia yang masih rendah. Kondisi ini memungkinkan akan terus seperti ini jika tidak ada gerakan atau inovasi dalam usaha meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya mengkonsumsi susu.

Susu kambing merupakan salah satu alternatif minuman kesehatan selain susu sapi. Susu kambing memiliki beberapa perbedaan karakteristik dari susu sapi, yaitu warnanya lebih putih, globula lemak susunya lebih kecil sehingga lemak susu kambing lebih mudah dicerna, dan dapat diminum oleh orang yang alergi terhadap susu sapi, menderita intoleransi laktosa, atau untuk orang-orang yang mengalami berbagai gangguan pencernaan (Blakely dan Blade 1991). Susu kambing mempunyai aroma khas kambing. Hal ini yang dapat mengurangi daya tarik konsumen dalam mengonsumsi susu kambing. Salah satu cara untuk meningkatkan konsumsi susu kambing adalah dengan melakukan fermentasi dengan menggunakan bakteri atau yang biasa disebut yogurt.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi starter dan inulin terhadap waktu pembuatan, tekstur, dan aroma yogurt susu kambing. Penelitian ini dirancang dengan metode rancangan acak lengkap faktorial dengan dua perlakuan yaitu penambahan starter dan penambahan inulin. Perlakuan starter dan inulin secara berurutan terdiri dari 3 dan 6 level, yaitu konsentrasi 2, 3, dan 4% untuk perlakuan starter dan penambahan 0, 0.5, 1.0, 1.5, 2.0, dan 2.5 mg/l untuk perlakuan inulin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi starter berpengaruh terhadap waktu pembuatan yogurt susu kambing (p<0.05), sedangkan perbedaan konsentrasi inulin tidak berpengaruh terhadap waktu pembuatan yogurt susu kambing (p>0.05). Adapun tekstur dan aroma yogurt susu kambing dipengaruhi oleh waktu dan kedua perlakuan (p<0.05). Hasil kombinasi starter dan inulin yang memberikan hasil uji organoleptik (tekstur dan aroma) terbaik didapatkan pada perlakuan 3% starter dan 0.5 mg/l inulin pada jam ke-4 (LP8) dan perlakuan 3% starter dan 1 mg/l inulin pada jam ke-5 (LP9).

(7)

iv

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

v

PENGARUH KONSENTRASI STARTER DAN

PENAMBAHAN INULIN DALAM PEMBUATAN

YOGURT SUSU KAMBING

RICO JUNI ARTANTO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

vi

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pengaruh Konsentrasi Starter dan Penambahan Inulin dalam Pembuatan Yogurt Susu Kambing

Nama : Rico Juni Artanto

NIM : B04063247

Disetujui

Dr. drh. Hadri Latif, M.Si Ketua

Diketahui

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(10)

vii

PRAKATA

Segala Puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Konsentrasi Starter dan Penambahan Inulin dalam Pembuatan Yogurt Susu Kambing”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Dengan segala keikhlasan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1 Dr. Drh. Hadri Latif, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak

memberikan bimbingan, arahan, dan masukan, beliau adalah sumber inspirasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,

2 Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini,

3 Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si, drh. Agus Wijaya, M.Sc, Ph.D, drh. M. Fakhrudin, Ph.D, PAVet sebagai dosen penilai sekaligus memberikan masukan dan arahan dalam penulisan skripsi,

4 Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penulisan skripsi,

5 Pak Tedi dan Pak Hendra yang telah memberikan bantuannya dan menemani penulis selama menyelesaikan penelitian,

6 Keluargaku tercinta, Ibunda Aris Latifah (Semoga Allah memberikan kesembuhan), Almarhumah nenek yang luar biasa, Om, tante, budhe dan keluarga Tuban yang telah memberikan dorongan baik berupa doa, motivasi dan materi yang tak terhingga kepada penulis. Kalian adalah hal terbaik dalam hidupku,

7 Keluarga Besar BEM KM Kabinet Generasi Inspirasi yang benar-benar menginspirasi penulis dan senantiasa memberikan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini,

(11)

viii 9 Sahabat serta adik-adik Beastudi Etos dan Bidikmisi IPB atas semangatnya

yang terus berkobar dan selalu bersama dengan penulis,

10 Sahabat-sahabatku FKH 43 Aesculapius atas persahabatan, motivasi, dan bantuan yang diberikan selama penulis mengerjakan penelitian dan penulisan skripsi ini,

11 Boby dan Sheila yang semangat memberikan bantuan dalam menyelesaikan penelitian,

12 Warga Wisma Riski, Pakdhe, Rizki, Danang, Mursyid, Dian, Uut, Romi, Fahri dan Galuh atas dukungan dan motivasi selama ini,

13 Teman-teman IPMRT yang selalu ada untuk penulis,

14 Semua pihak yang terlibat dalam pengerjaan penelitian dan penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pihak yang memerlukan. Amin.

Bogor, Agustus 2012

(12)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban, 6 Juni 1987. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Alm. Bapak Abadak Suyono dan Ibu Aris Latifah. Pendidikan formal dimulai dari TK Bina Putera pada tahun ajaran 1993-1994 dilanjutkan dengan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Sukolilo II pada tahun 1994-2000. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri I Tuban sampai tahun 2003. Setelah lulus SLTP, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri I Tuban dan lulus tahun 2006.

(13)

x

3.3.1 Pengujian Fisik dan Kimia Susu Kambing ... 15

3.3.2 Pembuatan Starter Induk ... 15

3.5 Tahap Perlakuan ... 15

3.5.1 Pembuatan Yogurt dan Penambahan Inulin ... 15

3.5.2 Pengujian Sampel ... 16

(14)

xi

IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 17

4.1 Karakteristik Sifat Fisik dan Kimia Susu Kambing Segar ... 17

4.2 Derajat Asam Yogurt Susu Kambing ... 18

4.3 Uji Organoleptik ... 22

4.3.1 Tekstur... 22

4.3.2 Aroma ... 23

4.3.3 Kombinasi Tekstur dan Aroma ... 25

V SIMPULAN DAN SARAN ... 26

(15)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perbandingan antara komposisi nutrisi susu kambing dan susu api

(untuk setiap 100 gram) ... 5

2. Perbandingan komposisi asam lemak ASI, susu sapi, dan susu kambing ... 6

3. Rancangan penelitian pembuatan yogurt susu kambing ... 14

4. Hasil pengujian fisik dan kimiawi susu kambing segar ... 17

5. Nilai derajat Dornic (oD) tiap jam yogurt susu kambing pada jam ke-1 sampai ke-6 ... 19

6. Rataan hasil organoleptik variabel tekstur ... 23

7. Rataan hasil organoleptik variabel aroma ... 24

(16)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Struktur kimia inulin ... 10 2. Perubahan derajat Dornic (oD) yogurt susu kambing pada

starter 2% ... 20 3. Perubahan derajat Dornic (oD) yogurt susu kambing pada

starter 3% ... 20 4. Perubahan derajat Dornic (oD) yogurt susu kambing pada

(17)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Alir proses produksi yogurt ... 33

2. Tahapan pengujian sifat fisik dan kimiawi yogurt susu kambing ... 34

3. Hasil Uji Friedman tekstur dan aroma ... 36

4. Hasil Uji Friedman tekstur dan aroma ... 39

5. Hasil perangkingan uji Friedman tekstur dan aroma ... 41

(18)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia mencapai 10.47 liter per kapita per tahun. Konsumsi susu tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun 2009 yang baru mencapai 7.7 liter per kapita per tahun. Namun peningkatan konsumsi susu itu masih jauh tertinggal dibandingkan dengan konsumsi susu negara-negara ASEAN, seperti Malaysia serta di negara-negara maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Di lain pihak saat ini tingkat konsumsi susu segar masyarakat Malaysia mencapai 27 liter per kapita per tahun, Jepang 37 liter per kapita per tahun, Amerika Serikat 83.9 liter per kapita per tahun, dan Belanda 120 liter per kapita per tahun (Ekawati 2008). Keadaan ini didukung dengan produksi susu di Indonesia yang masih rendah. Data dari Departemen Pertanian menyebutkan total produksi susu dalam negeri mencapai 350 ribu ton per tahun. Jumlah ini masih di bawah jumlah impor susu dalam negeri, yaitu sebanyak 1.5 juta ton per tahun (Ekawati 2008). Kondisi ini memungkinkan akan terus seperti ini jika tidak ada gerakan atau inovasi dalam usaha meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya mengonsumsi susu.

(19)

kambing memiliki lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan lemak pada susu sapi. Susu kambing memiliki lemak dan protein yang lebih mudah dicerna karena lemaknya mengandungi lebih banyak asam lemak berantai pendek (Moeljanto dan Wiryanta 2002).

Susu kambing mempunyai aroma khas kambing. Hal ini yang dapat mengurangi daya tarik konsumen dalam mengonsumsi susu kambing. Salah satu cara untuk meningkatkan konsumsi susu kambing adalah dengan melakukan fermentasi dengan menggunakan bakteri atau yang biasa disebut yogurt. Yogurt merupakan salah satu produk olahan susu dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme. Tujuan dari fermentasi ini adalah memperpanjang umur simpan, penganekaragaman produk, meningkatkan nilai gizi dan daya cerna, dan menghasilkan karakteristik rasa, aroma, dan tekstur yang diinginkan, serta menguntungkan bagi kesehatan. Untuk menjamin dihasilkannya produk yang baik dan seragam perlu penyediaan kultur yang sesuai (Pelczar dan Chan 1988).

(20)

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi starter dan inulin terhadap waktu pembuatan, tekstur, dan aroma yogurt susu kambing.

1.3 Hipotesis Penelitian

(21)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Susu Kambing

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 3141 No.1 Tahun 2011 (BSN 2011), susu segar adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapatkan perlakuan apapun kecuali pendinginan. Menurut Winarno (1993) susu segar adalah cairan yang berwarna putih yang disekresikan oleh kelenjar mammae pada hewan mamalia betina yang berguna untuk bahan makanan dan sumber gizi bagi anaknya (Winarno 1993).

Susu kambing adalah susu yang diperoleh dengan jalan pemerahan seekor kambing perah yang hasilnya berupa susu segar murni tanpa dicampur, dikurangi, atau ditambah sesuatu. Susu kambing murni rasanya enak, sedikit manis, berlemak dan kandungan gizi yang lebih unggul dibandingkan dengan susu sapi (Sarwono 2004). Di Australia susu kambing menjadi salah satu alternatif karena kemampuannya dapat menggantikan Air Susu Ibu (ASI). Keistimewaan lain yang dimiliki oleh susu kambing adalah kandungan protein serta lemak yang lebih mudah dicerna daripada susu sapi.

Berbeda dengan susu sapi, susu kambing tidak mengandung aglutinin. Akibatnya globula lemak susu kambing tidak mengalami klusterisasi sehingga lebih mudah dicerna. Susu kambing mengandung kadar laktosa yang lebih rendah (4.5%) jika dibandingkan dengan susu sapi (4.7%). Kondisi ini sangat baik bagi orang yang mengalami intoleransi laktosa (Setiawan dan Tanius 2002).

Susu kambing memiliki komposisi nutrisi yang khas sehingga pada beberapa kasus dapat digunakan sebagai susu pengganti susu sapi pada bayi-bayi yang mengalami Hypo-Allergenic Infant Food. Dalam memahami mengapa susu kambing dapat digunakan sebagai susu pengganti, pada Tabel 1 disajikan perbandingan nilai nutrisi susu kambing dibandingkan dengan susu sapi (Setiawan dan Tanius 2002).

(22)

sedangkan susu kambing komposisinya adalah 19% alfa S-1 kasein, 21% alfa S-2 kasein dan 60% beta kasein. Kasein susu kambing memiliki kandungan glisin (terutama metionin), arginin serta kandungan sulfur yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan susu sapi.

Tabel 1 Perbandingan antara Komposisi Nutrisi Susu Kambing dan Susu Sapi (untuk setiap 100 gram) (Setiawan dan Tanius 2002)

Komposisi Kimia Susu Sapi Susu Kambing

Protein (g) 3.3 3.6

Susu kambing memiliki curd tension yang lebih rendah dibandingkan dengan susu sapi perah Frisian Hollstein dan Jersey. Hal ini diduga sebagai penyebab mengapa daya cerna susu kambing lebih baik jika dibandingkan dengan susu sapi (Maheswari dan Ronny 2008).

(23)

Tabel 2 Perbandingan Komposisi Asam Lemak ASI, Susu Sapi, dan Susu

Susu kambing memiliki kandungan asam kaproat, kaprilat, kapriat, dan laurat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan susu sapi, sedangkan kandungan asam palmitat dan stearat susu kambing lebih rendah daripada susu sapi (Maheswari dan Ronny 2008).

Kandungan abu susu kambing berkisar antara 0.7 – 0.85%. Susu kambing memiliki kandungan sodium (Na) yang lebih rendah, akan tetapi kandungan potasium (K) dan klorin (Cl) lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi. Kandungan zat besi (Fe) susu kambing bervariasi bergantung pada cara pemeliharaan dan pakan kambing. Konsentrasi trace element susu kambing pada umumnya hampir sama dengan susu sapi kecuali kandungan kobaltnya. Kandungan vitamin susu kambing hampir sama dengan susu sapi, kecuali vitamin B6, asam folat dan vitamin B12 yang lebih rendah jika dibandingkan dengan susu sapi (Fehr dan Sauvant 1980).

2.2 Probiotik

(24)

mikroorganisme hidup yang mempunyai pengaruh menguntungkan bagi induk semangnya melalui keseimbangan mikroorganisme usus. Hoover (2000) menyatakan bahwa bakteri yang terdapat dalam produk probiotik dapat meningkatkan kesehatan manusia, oleh karena itu produk probiotik digolongkan sebagai makanan kesehatan (healthy food) dan makanan fungsional (functional food). Menurut Fuller (1989) probiotik dapat diperoleh dengan cara mengonsumsi produk olahan susu fermentasi yang mengandung bakteri dari kelompok Lactobacilli dan Bifidobacterium. Jenis bakteri asam laktat yang biasa digunakan sebagai probiotik adalah Lactobacillus acidophilus, L. rhamnosus, L reuteri, L. casei, Bifidobacterium brevis, dan B. infantis (Fooks et al. 1999).

Beberapa kriteria yang harus diperhatikan untuk menentukan strain mikroba probiotik, yaitu: (1) mampu melakukan aktivitas dalam memfermentasikan susu dalam waktu yang relatif cepat, (2) mampu menggandakan diri, (3) tahan dalam suasana asam sehingga mampu hidup dan bertahan dalam saluran pencernaan, (4) menghasilkan produk akhir yang dapat diterima konsumen, dan (5) memiliki stabilitas yang tinggi selama fermentasi, penyimpanan, dan distribusi (Hoier 1992).

Lactobacillus acidophilus merupakan bakteri berbentuk batang, termasuk dalam famili Lactobaciliceae, genus Lactobacillus. Bakteri ini termasuk dalam golongan bakteri Gram positif, tidak dapat membentuk spora, tidak tumbuh pada suhu 10 oC melainkan dapat tumbuh pada suhu 40 oC dan non termodurik. Bakteri

L. acidophilus bersifat homofermentatif (Rahman et al. 1992). Bakteri ini juga mampu memfermentasi amigdalin, selobiosa, laktosa, salisin, dan sukrosa akan tetapi tidak mampu memfermentasi manitol, serta amonia tidak dihasilkan dari arginin (Robinson 1981). Kerja dari L. acidophilus adalah meningkatkan mikroflora usus karena dapat hidup di saluran pencernaan (Nakazawa dan Hosono 1992). Selain itu, bakteri ini mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam saluran pencernaan, dapat mengendalikan kadar serum kolesterol, meningkatkan kemampuan cerna laktosa serta mengurangi risiko sakit perut dan diare (Gilliland 1989).

(25)

asam laktat, bakteri ini tidak termasuk dalam famili Lactobacillaceae.

Bifidobacterium merupakan bakteri Gram positif, anaerobik, non motil, non spora, tidak dapat tumbuh di bawah pH 4.5 dan di atas 8.0 serta memiliki suhu optimal 37 – 41 oC (Holt et al. 1994).

2.3 Prebiotik

Prebiotik menurut Gibson dan Fuller (1998) merupakan bahan pangan tidak terdigesti yang memberikan efek kesehatan bagi tubuh dengan cara memacu pertumbuhan probiotik dalam usus besar. Fooks et al. (1999) menyatakan bahwa penambahan prebiotik pada dasarnya dimaksudkan untuk membantu bakteri probiotik dengan cara meningkatkan viabilitas atau kemampuan hidup dalam sistem pencernaan. Peraturan FAO (2007) juga menegaskan bahwa prebiotik bukan merupakan organisme ataupun obat, dapat dikarakterisasi secara kimia, dan aman (foodgrade).

Sumber prebiotik secara alami diperoleh dari Air Susu Ibu (ASI), yaitu dalam bentuk oligosakarida N-acetyl glucosamine dalam kolostrum. Prebiotik ini hanya tercerna kurang dari 5% di usus serta dapat mendukung pertumbuhan probiotik Bifidobacterium. Prebiotik dapat diperoleh dari sumber tanaman, seperti bawang, asparagus, pisang, Cicorium intybus, tanaman Artichoke, dan beberapa oligosakarida pada kedelai (Surono 2004). Prebiotik dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu ekstrasi langsung polisakarida alami dari tumbuhan, hidrolisis polisakarida alami, atau sintesis enzimatik dengan enzim hidrolase atau glikosil transferase yang mengatalisis reaksi transglikosilasi hingga terbentuk oligosakarida sintetik dari mono serta disakarida (Grizard dan Barthomeuf 1999).

(26)

Probiotik khususnya Bifidobacterium secara selektif akan memfermentasi fruktan dibandingkan sumber karbohidrat lain, seperti pati, fruktosa, dan pectin. Beberapa prebiotik khususnya fruktan, seperti inulin dan fruktooligosakarida (FOS) diketahui mampu mengubah komposisi mikroflora dalam pencernaan ke arah dominasi Bifidobacterium dan hal ini sering disebut efek bifidogenik (Fooks

et al. 1999). Sementara asupan inulin terbukti dapat mempengaruhi secara signifikan aktivitas probiotik dalam pertumbuhan dan performa pengasaman (Oliviera et al. 2009).

Asupan konsumsi prebiotik dari konsumsi harian tidak dapat memenuhi jumlah kebutuhan prebiotik yang berkhasiat menekan infeksi penyakit, sehingga konsumsi tambahan prebiotik menjadi penting untuk dilakukan (Daud 2005). Adapun manfaat prebiotik, antara lain: (1) menghambat bakteri patogen melalui mekanisme langsung atau tidak langsung dengan memblok sisi reseptor pelekatan patogen pada mukosa usus dan secara tidak langsung dengan mendukung pertumbuhan probiotik (Rastall et al. 2005); (2) mencegah kanker usus; (3) meningkatkan penyerapan kalsium (Ouwehand et al. 1999); (4) menurunkan kolesterol dengan memicu pertumbuhan probiotik atau BAL yang memproduksi enzim atau pengikatan kolesterol oleh membran (Surono 2004); (5) meningkatkan imunitas dengan meningkatkan pertumbuhan probiotik yang berinteraksi dengan sistem imun (Tzianabos 2000). Prebiotik digunakan luas untuk menambahkan kadar serat pangan dalam produk susu, sereal, kue kering, yogurt, serta salad (Karyadi 2003).

2.4 Inulin

(27)

Prebiotik jenis inulin tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan seperti α-amilase ataupun enzim penghidrolisis lainnya, yaitu sukrase, maltase, dan isomaltase, baik pada pH rendah maupun tinggi (Oku et al. 1984). Oleh karena itu, inulin akan sampai ke usus dengan utuh sehingga dapat difermentasi oleh probiotik.

Inulin merupakan fruktan dengan ikatan β (2-1) antar monomer pada poli atau oligomernya. Terdapat unit glukosa pada ujungnya dengan ikatan α (1-2) dengan monomer fruktosa, sehingga membentuk sukrosa (Niness 1999). Roberfroid (1999) menyatakan hal yang sama bahwa fruktan tipe inulin memiliki komposisi β-D-fruktofuranosa yang saling terhubung dengan ikatan β (2-1), dengan monomer pertama dari rantainya adalah residu β-D-glukopiranosil atau β-D-fruktopiranosil. Oleh karena itu inulin mampu digunakan sebagai pengganti gula.

Gambar 1 Struktur Kimia Inulin.

(28)

dengan tujuan untuk memperkaya kandungan serat, serta berperan sebagai prebiotik (Franck dan Leenher 2005).

2.5 Yogurt

Yogurt merupakan salah satu produk susu fermentasi yang paling dikenal masyarakat. Yogurt merupakan produk paling penting di Irak, Syiria, maupun Turki. Sebutan yogurt berasal dari bahasa Turki “jugurt” yang berarti asam (Rahman et al. 1992). Yogurt menurut SNI2981 Tahun 2009 adalah produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan/atau tanpa penambahan bahan pangan lain dikehendaki yaitu 0.85 – 0.95% dan pada pH 4.0 – 4.5. Produk didinginkan segera sampai 5 oC untuk selanjutnya dikemas (Oberman 1985). Streptococcus thermophilus dan L. bulgaricus mengubah gula susu (laktosa) menjadi asam laktat sehingga mengakibatkan konsistensi susu cair menjadi yogurt (Water 2003).

Tahap pemanasan pada pembuatan yogurt merupakan salah satu tahap terpenting. Menurut Early (1998) pemanasan bertujuan untuk membunuh mikroorganisme vegetatif penghasil racun pada makanan, membunuh atau mengurangi mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan makanan sehingga mencapai level yang dapat diterima, denaturasi protein whey yang bertujuan untuk mengubah tekstur pada akhir produk.

(29)

Yogurt umumnya dibuat dengan dua jenis kultur bakteri asam laktat (BAL) yaitu L. bulgaricus dan S. thermophilus. Kedua jenis bakteri asam laktat ini merupakan kultur yang diutamakan oleh standar United States Food and Drug Administration (USFDA) untuk produk yogurt di Amerika Serikat (Water 2003).

Yogurt merupakan minuman kesehatan yang baik untuk diet/dietetic purpose dan pengobatan/therapeutic purpose (Tamime dan Robinson 1999). Yogurt baik dikonsumsi oleh penderita intoleransi laktosa karena memiliki kadar laktosa yang lebih rendah yaitu 2 – 3% dibanding dengan susu segar sebesar 4,8% (Robinson 2002).

2.6 Starter

Starter merupakan salah satu komposisi terpenting dalam pembuatan yogurt. Beberapa aspek penting yang harus diperhatikan pada starter, yaitu bebas dari kontaminasi, pertumbuhan yang cepat, menghasilkan flavor yang khas, tekstur dan bentuk yang bagus, tahan terhadap bakteriofage dan juga tahan terhadap antibiotika. Penyiapan starter harus dilakukan pada kondisi aseptik untuk menghindari kontaminasi oleh kapang, khamir, bakteri koliform dan infeksi bakteriofage. Untuk memperolah yogurt dengan aroma dan tekstur yang bagus diperlukan perbandingan kultur starter yang harus disesuaikan antara jumlah

L. bulgaricus dan S. thermophilus (Rahman et al. 1992).

Lactobacillus bulgaricus dan S. thermophilus jika dibiakkan secara bersama maka akan memproduksi asam lebih banyak jika dibandingkankan dibiakkan secara terpisah. Kedua bakteri ini merupakan bakteri asam laktat homofermentatif yang terutama memfermentasi laktosa menjadi asam laktat. Lactobacilli terlebih dahulu tumbuh dominan dan menghasilkan asam amino glisin dan histidin. Asam amino ini akan merangsang pertumbuhan dari Streptococci (Tamime dan Robinson 1999).

2.6.1 Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus

(30)

sekitar 90% asam laktat, dengan cara mengubah heksosa menjadi asam laktat melalui jalur Embden-Meyerhof menjadi glukosa dan 2-Triofosfat (Batt dan Patel 2000). Bakteri L. bulgaricus termasuk jenis bakteri termofilik karena hidup secara normal pada suhu 45oC. Selain menghasilkan asam laktat, L. bulgaricus juga menghasilkan asetaldehid, aseton, asetoin, dan diasetil dalam jumlah yang cukup rendah sekaligus mampu membebaskan asam amino valin, histidin, dan glisin yang diperlukan oleh S. thermophilus. Dalam bentuk koloni bakteri ini mampu bertahan hidup pada kondisi asam dengan pH 5.5.

2.6.2 Streptococcus thermophilus subsp. salivarus

Streptococcus thermophilus subsp. salivarus merupakan bakteri Gram positif. Bakteri ini memiliki sifat metabolisme yang serupa dengan bakteri Gram negatif, yaitu memiliki kemampuan hidup diberbagai habitat dan memiliki perbedaan pada sifat fisiologinya (Batt dan Patel 2000). Streptococcus thermophilus bukan merupakan bakteri pembentuk spora, bersifat katalase negatif dan hidup secara anaerobik fakultatif. Suhu optimal bakteri ini adalah 42 – 45 oC.

(31)

III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Desember 2010. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah wadah plastik,

aluminium foil, buret, gelas piala, tabung reaksi, pH meter, butirometer, laktodensimeter, sendok, inkubator, dan neraca analitis. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu kambing Etawa, inulin, starter yogurt susu kambing, fenolftalein (pp 1%), alkohol 70%, aquades, dan larutan titrasi.

3.3 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan pada penelitian adalah rancangan acak lengkap faktorial dua perlakuan, yaitu konsentrasi starter dan konsentrasi inulin (Tabel 3).

(32)

Masing-masing perlakuan terdiri atas 3 dan 6 level, yaitu level penambahan starter dengan konsentrasi 2, 3, dan 4% dan penambahan inulin 0, 0.5, 1, 1.5, 2, 2.5 mg/l. Setiap jam seluruh perlakuan diuji nilai derajat asam dan organoleptiknya (tekstur dan aroma). Pengujian dilakukan sebanyak 6 kali pengujian, dengan selang satu jam.

3.4 Tahap Persiapan

3.4.1 Pengujian Fisik dan Kimia Susu Kambing

Sebelum diproduksi menjadi yogurt, susu kambing ettawa yang diperoleh dari Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor diuji terlebih dahulu untuk mengetahui kualitasnya. Pengujian yang dilakukan terdiri dari uji alkohol, berat jenis susu, derajat asam, kadar lemak, serta pH. Tahap pengujian terdapat pada Lampiran 2.

3.4.2 Pembuatan Starter Induk

Starter induk dibuat dengan menggunakan 500 ml susu kambing yang telah diuji kualitasnya. Susu kambing yang digunakan pada pembuatan starter induk disterilkan dengan cara sterilisasi basah menggunakan autoklaf, kemudian ditambahkan kultur bakteri sebanyak 2%. Bakteri yang digunakan adalah kombinasi Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus termophilus dengan perbandingan 1 : 1.

3.5 Tahap Perlakuan

3.5.1 Pembuatan Yogurt dan Penambahan Inulin

(33)

Pemanasan ini berfungsi untuk meningkatkan total solid susu yang berguna bagi pembentukan tekstur (Tamime dan Robinson 1999).

Susu yang telah dipanaskan kemudian didinginkan hingga mencapai suhu 42 oC. Setelah dingin, susu dimasukkan ke dalam gelas ukur yang telah diberikan tanda dan telah terbagi menjadi delapan belas (18) perlakuan, yang masing-masing berisi 1.1 liter. Selanjutnya delapan belas gelas yang sudah berisi susu segera ditambahkan starter dan inulin dengan konsentrasi sebagaimana pada rancangan percobaan. Kemudian diinkubasi pada suhu 42 oC.

3.5.2 Pengujian Sampel

Setiap satu jam yogurt dikeluarkan dari inkubator untuk dilakukan pengujian dengan uji derajat asam, pH, dan uji organoleptik. Pengujian dilakukan tiap jamnya selama 6 jam. Pada uji organoleptik, variabel yang diamati adalah tekstur dan aroma. Jenis uji organoleptik yang digunakan adalah uji afektif. Panelis dalam penelitian ini adalah mahasiswa dan laboran yang merupakan panelis semi terlatih. Jumlah penelis pada penelitian ini sebanyak 5 orang. Panelis melakukan organoleptik dengan mencoba level perlakuan di tiap jamnya dan memberikan kode angka yang sudah diberikan dengan kisaran 0 – 5 dengan interpretasi mulai dari sangat tidak enak hingga sangat enak.

3.6 Analisis Data

(34)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Karakteristik Sifat Fisik dan Kimiawi Susu Kambing Segar

Analisis sifat fisik dan kimiawi susu kambing segar sebagai bahan baku untuk pembuatan yogurt pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan uji alkohol, berat jenis, derajat asam, kadar lemak, dan pH. Hasil pengujian fisik dan kimiawi susu kambing segar disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil pengujian fisik dan kimiawi susu kambing segar

No Pengujian Hasil

1 Uji Alkohol negatif (-)

2 Berat jenis 1.026

3 Derajat Asam 25oD

4 Kadar Lemak 3.5%

5 pH 6.39

Hasil uji alkohol pada susu kambing menunjukkan hasil negatif. Hal ini sesuai dengan parameter hasil uji menurut Thailand Commodity and Food Standards (TCFS) (2008). Hasil ini menunjukkan bahwa protein susu mengalami koagulasi. Daya dehidrasi yang kuat dari alkohol pekat akan menarik mantel air sehingga molekul-molekul protein susu akan saling mengikat (Sudarwanto 2008).

Berat jenis susu kambing yang diperoleh dalam penelitian adalah 1.026. Nilai ini masih berada dalam kisaran standar berat jenis susu kambing, yaitu 1.026 – 1.042 (Le Mens 1991). Berat jenis susu merupakan salah satu parameter yang menunjukkan mutu susu secara fisik. Uji berat jenis dilakukan dengan menggunakan alat laktodensimeter. Apabila susu encer, maka berat jenis susu menjadi rendah atau di bawah standar. Berat jenis susu sangat dipengaruhi oleh berat jenis dari komponen penyusun susu, seperti protein, laktosa, dan mineral (Eckles et al. 1979).

(35)

kambing sampel sebesar 25 oD. Derajat asam susu kambing tercatat normal karena masuk pada kisaran 22 – 25 oD (Fadela et al 2009).

Nilai pH normal susu kambing antara 6.44 – 6.88 (Loewensten 1982). Hasil pengujian susu kambing pada penelitian ini didapatkan hasil pH sebesar 6.39. Menurut TCFS (2008) standar pH susu kambing antara 6.5 – 6.8. Jika pH susu menyimpang dari angka normal, berarti terdapat bahan-bahan yang dapat menyebabkan pH menyimpang (misalnya asam laktat) yang dihasilkan oleh aktivitas mikrobia atau enzim (Widodo 2003). Selain itu terdapatnya kolostrum dapat menyebabkan pH lebih rendah pada susu (Saleh 2004).

Kadar lemak pada sampel sesuai dengan standar. Kadar lemak dalam susu sebesar 3.5% dengan standar minimal menurut TCFS (2008), yaitu 3.25 – 3.5%. 4.2 Derajat Asam Yogurt Susu Kambing

Derajat asam pada yogurt sebagai salah satu parameter untuk menilai kualitas yogurt. Keasaman yogurt ini diperoleh dari aktivitas bakteri asam laktat dalam memfermentasi gula menjadi asam laktat. Produk asam laktat inilah yang nantinya akan menghambat pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan karena pertumbuhannya secara cepat. Asam laktat mempengaruhi rasa asam, warna, kestabilan terhadap mikroba, dan kualitas selama penyimpanan. Penurunan keasaman juga ditandai dengan kecenderungan penurunan persentase lemak, padatan total, padatan non lemak, kasein, dan laktosa (Widodo 2003). Penurunan komposisi inilah yang menyebabkan tingginya derajat asam yogurt daripada susu.

(36)

Tabel 5 Nilai derajat Dornic (oD) tiap jam yogurt susu kambing pada jam ke-1 sampai ke-6

Level Perlakuan

Derajat Dornic (Jam Pengukuran)

1 2 3 4 5 6

LP1 22 30 37 75 121 152

LP2 30 29 37 90 126 209

LP3 24 32 37 79 154 179

LP4 24 32 35 75 139 189

LP5 26 28 34 76 115 182

LP6 23 28 38 74 129 143

LP7 26 36 49 96 134 145

LP8 31 41 64 103 142 158

LP9 25 44 71 90 122 153

LP10 31 41 57 112 130 131

LP11 28 39 58 95 161 163

LP12 28 39 55 97 134 168

LP13 40 42 61 115 141 150

LP14 34 44 68 116 148 152

LP15 34 43 65 93 140 154

LP16 46 39 60 107 129 145

LP17 34 41 58 98 139 147

LP18 31 45 79 99 155 148

(37)

0

Gambar 2 Perubahan derajat Dornic yogurt susu kambing pada starter 2%.

0

(38)

0

Gambar 4 Perubahan derajat Dornic yogurt susu kambing pada starter 4%.

Menurut Buckle et al. (1987), nilai derajat Dornic yogurt yang dikehendaki umumnya berada pada kisaran 85 – 95 oD. Derajat Dornic yogurt yang telah diberi perlakuan dengan starter 2% dan inulin (0 – 2.5 mg) mencapai nilai tersebut antara jam ke-4 dan ke-5. Perlakuan dengan starter 3% dan 4% (dengan variasi inulin 0 – 2.5 mg) mencapai nilai derajat Dornic yang dikehendaki (85 – 95 oD) antara jam ke-3 dan jam ke-4. Hasil ini menunjukkan bahwa konsentrasi starter mempengaruhi laju perubahan derajat asam yogurt. Yogurt dengan starter 3% dan 4% membutuhkan waktu yang lebih cepat dalam membuat yogurt. Menurut Oberman (1985) kisaran waktu normal pembuatan yogurt adalah 4-5 jam.

Salah satu faktor yang menentukan kualitas yogurt adalah sifat asam dari asam laktat serta substansi aroma yang dihasilkan oleh Lactobacilli (Effendi 2001). Wibowo (1989) mengemukakan bahwa S. thermophilus dan L. bulgaricus

(39)

4.3Uji Organoleptik

Uji organoleptik atau yang dikenal dengan penilaian sensori merupakan penilaian dengan menggunakan indera manusia untuk menilai suatu produk yang terdiri dari berbagai macam jenis uji organoleptik, misalnya uji pembeda, uji deskripsi, uji penerimaan (afektif). Setiap jenis uji memiliki kegunaan yang berbeda tergantung dengan tujuan yang akan dicapai. Uji organoleptik sering digunakan sebagai metode dalam penelitian dan pengembangan produk pangan (Soekarto 1985).

Pengujian organoleptik pada penelitian ini menggunakan panelis semi terlatih sebanyak 5 orang. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap variabel tekstur dan aroma. Pengujian secara organoleptik bertujuan untuk menilai kualitas yogurt yang dihasilkan berdasarkan penerimaan konsumen (afektif). Hasil dari uji ini adalah nilai Level of Acceptance (LOA). Nilai LOA dapat digunakan untuk menentukan apakah produk tersebut sudah dapat diterima atau ditolak (Lucia dan Romlah 2004).

4.3.1 Tekstur

Tekstur merupakan salah satu nilai yang penting dalam pengujian kualitas yogurt. Tekstur yogurt yang baik adalah lembut dan semi padat. Tekstur yogurt yang kasar dapat disebabkan oleh terganggunya fermentasi. Berdasarkan hasil uji Friedman tekstur terhadap perlakuan didapatkan hasil interpretasi bahwa tekstur dipengaruhi oleh waktu dan perlakuan (p<0.05).

(40)

Tabel 6 Rataan hasil organoleptik variabel tekstur perangkingan semua perlakuan dan waktu untuk semua yogurt. Hasil uji Friedman yang sudah dirangkingkan disajikan pada Lampiran 5.

Berdasarkan uji Friedman untuk tekstur dihasilkan level perlakuan yang memperoleh nilai terbesar, yaitu LP3 jam ke-4, LP5 jam ke-5, LP8 jam ke-4, dan LP9 pada jam ke-5. Hal ini menunjukkan bahwa LP3 jam ke-4, LP5 jam ke-5, LP8 jam ke-4, dan LP9 pada jam ke-5 merupakan kombinasi waktu dan perlakuan yang menghasilkan tekstur terbaik menurut panelis.

4.3.2 Aroma

(41)

Salah satu faktor yang menentukan kualitas yogurt adalah sifat asam dari asam laktat serta substansi aroma yang dihasilkan oleh Lactobacilli (Effendi 2001). Wibowo (1989) mengemukakan bahwa S. thermophilus dan L. bulgaricus

memecah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Glukosa dikonversi menjadi asam piruvat, asam laktat dan sejumlah kecil asam asetat serta CO2. Beberapa strain memproduksi bahan dasar pembentuk aroma. Asetaldehid yang merupakan komponen flavor utama dalam yogurt diproduksi dalam jumlah yang cukup oleh aktivitas simbiosis antara S. thermophilus dan L. bulgaricus. Hasil uji organoleptik pada yogurt susu kambing pada penelitian ini disajikan pada Tabel 7.

perangkingan semua perlakuan dan waktu untuk semua yogurt. Hasil uji Friedman yang sudah dirangking disajikan pada Lampiran 5.

(42)

LP13 pada jam ke-4 dan LP1, LP3, LP6, LP7, LP9, LP15 pada jam ke-5. Hal ini menunjukkan bahwa LP6, LP8, LP11, LP13 pada jam ke-4 dan LP1, LP3, LP6, LP7, LP9, LP15 pada jam ke-5 merupakan kombinasi waktu dan perlakuan yang menghasilkan aroma paling disukai panelis.

4.3.3 Kombinasi Tekstur dan Aroma

Kualitas produk merupakan satu hal yang konsisten dan efisien untuk diberikan kepada konsumen sesuai dengan apa yang diinginkan dan yang diharapkan (Shelton 1997). Menurut Zeithaml (1988) penilaian suatu produk dipengaruhi oleh beberapa pertimbangan. Kombinasi tekstur dan aroma merupakan penerimaan organoleptik produk yogurt secara umum dari atribut yang diujikan (Hubeis et al. 2010). Hasil perangkingan variabel tekstur dan aroma pada yogurt susu kambing disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Urutan rangking teratas variabel tekstur dan aroma

Tekstur Aroma

Rangking Perlakuan jam Rangking Perlakuan jam

1 LP3 4 1 LP3 5

1 LP8 4 2 LP6 4

1 LP5 5 2 LP8 4

1 LP9 5 2 LP9 5

(43)

V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Perbedaan konsentrasi starter berpengaruh terhadap waktu pembuatan yogurt susu kambing, sedangkan perbedaan konsentrasi inulin tidak berpengaruh terhadap waktu pembuatan yogurt susu kambing. Hasil pengukuran derajat asam (derajat Dornic) menunjukkan bahwa konsentrasi starter mempengaruhi laju perubahan derajat asam yogurt. Yogurt dengan starter 3% dan 4% membutuhkan waktu yang lebih cepat dalam membuat yogurt.

Hasil uji Friedman tekstur dan aroma terhadap perlakuan memperlihatkan bahwa tekstur dan aroma dipengaruhi oleh perlakuan dan waktu pembuatan yogurt susu kambing (p<0.05). Hasil kombinasi rangking tekstur dan aroma yang paling disukai oleh panelis yaitu pada perlakuan LP8 (starter 3%, inulin 0.5 mg/l) pada jam ke-4dan LP9 (starter 3%, inulin 1 mg/l) pada jam ke-5.

5.2 Saran

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Andriani M, Khasanah LU. 2010. Kajian Karakteristik Fisiko Kimia dan Sensori Yogurt dengan Penambahan Ekstrak Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). Ilmu dan Teknologi Pangan. Yogyakarta: Universitas Sebelas Maret. Batt C, Patel P. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. San

Fransisco.

Blakely J, Blade DH. 1991. Ilmu Peternakan. B. Srigandono, penerjemah. Yogyakarta: UGM Pr. Terjemahan dari: The Science of Animal.

Buckle KA, Edwards EA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Purnomo H, Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Food Science.

Cullough S, Fiona W. 2003. Nutritional Evaluation of Goat’s Milk. British Food Journal 105: 239-251.

Daud M. 2005. Performan dan kualitas karkas ayam pedaging yang diberi probiotik dan prebiotik dalam ransum. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Early R. 1998. The Technology of Dairy Products. Edisi ke-2. Blackie Academic & Professional.

Eckles CH, Conb WB, Macy H. 1979. Milk and Milk Product. New York: Mc Grow Hill Book.

Effendi MH. 2001. Perbandingan kualitas yogurt dari susu kambing dengan suhu pemeraman yang berbeda. Media Kedokteran Hewan 17: 144-147. Ekawati A. 2008. Rata-rata Konsumsi Susu Orang Indonesia 2 Tetes Sehari. nutritional manipulation. J Dairy science 63: 1671-1680.

(45)

Fooks LJ, Fuller R, Gibson GR. 1999. Prebiotics, probiotics and human gut microbiology. Probiotica 9 : 2 -7.

Franck A, Leenher LD. 2005. Inulin dalam Polysaccharides and Polyamides In The Food Industry Volume 1. Steinbuchel, A. dan S.K. Rhee (eds.). Wiley VCH, Weinheim.

Fuller R. 1989. Prebiotics in man and animals. J Appl Bacteriol 66:365-378. Fuller R. 1992. Probiotics: The Scientific Basic. Chapman and Hall, London. Gibson GR, Fuller F. 1998. The role of probiotics and prebiotics in the functional

food concept. Dalam: M. J. Sadler and M. Saltmash (Editors). Fuctional Foods, The Consumers, The Products and The Evidence. Br. Nutr. Found. P: 3 – 13.

Gilliland SE. 1989. Acidophilus milk products, a review of potensial benefits to consumers. J. Dairy Sci. 72:2483-2494.

Gilliland SE. 1986. Role of starter culture bacteria in food preservation dalam

Bacterial Starter Cultures for Food. CRC Press, Inc., Florida.

Grizard D, Barthomeuf C. 1999. Non-digestible oligosaccharides used as prebiotiks agents: mode of production and benefical effects on animals and human health. Reprod Nutr dev 39(5-6): 563-88.

Hamidi E, Purna I. 2007. Permasalahan dan Kebijakan Pemerintah di Sektor Perindustrian. [terhubung berkala] http://www.setneg.go.id [5 Mei 2010]. Helferich W, Westholf D. 1980. All About Yogurt. Prentice-Hall, inc.,

Englewood Cliffs, New Jersey.

Hoier E. 1992. Use probiotic starter culture in dairy products. Food Austr 44 (9): 418-420.

Holt JG, Krieg N, Sneath PHA, Staley JT, Williams ST. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Maryland. Williams and Wilkins.

Hoover DG. 2000.Microorganism and their product in the preservation of foods dalam The Microbiological Safety and Quality of Food. Lund B. M., T. C. Braid-Parker, G. W. Gould (eds.). Maryland. Aspen Publisher.

Hubeis M, Kemenady E, Zakaria FR. 2010. Uji Organoleptik Yogurt dari Alat Produksi Yogurt Temuan Musa Hubeis. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Karyadi E. 2003. Prebiotik Memiliki Manfaat yang Sangat Besar. [terhubung

(46)

Lampert LM. 1970. Modern dairy product. New York. Chemical Publishing Co. Inc

Le Mens P. 1991. La leche de cabra. Propriedades físico-químicas, nutricionales y químicas. In: Luquet, F. M. (Coordinador). Leche y productos lacteos. Vaca – oveja – cabra. Volumen 1: La leche. De mama a la lecheria. Editorial Acribia SA, Zaragoza, Espanã 343-360. [terhubung berkala].

http://www.scielo.br [7 Mei 2012].

Loewenstein. 1982. Dairy Goat Milk and Factors Affecting it. Di dalam: Diana G, editor. Dairy Goats. Proceeding of the Thrid International Conference on Goat Production and Disease; Tucson-USA, 10-15 January 1982. Arizona: University of Arizona. hlm 226-236.

Lucia C, Romlah E. 2004. Pengembangan Produk Baru. Bogor. Lokakarya Penilaian Organoleptik.

Mattjik AA, I Made S. 2002. Perancangan percobaan Jilid 1 Edisi kedua. Bogor. IPB Press.

Maheswari RRA, Ronny RN. 2008. Perbandingan Kandungan Nutrisi ASI, Susu Sapi, dan Susu Kambing. [terhubung berkala] www.ipb.ac.id [24 Mei 2010].

Moeljanto RD, Wiryanta BT. 2002. Khasiat dan Manfaat Susu Kambing: Susu Terbaik dari Hewan Ruminansia. Jakarta. Agromedia Pustaka.

Nakazawa Y, Hosono A. 1992. Functions of Fermented Milk Challenges for The Health Science. Elsevier Applied Science, London. New York.

Niness KR. Inulin and Oligofructose: What are they? J Nutr 129: 1402-1406. Oberman H. 1985. Fermented Milk. Wood BJB, editor. Microbiology of

Fermented Food. Volume I. New York: Elsevier Applied Science. Oku T, Tokunaga T, Hosoya N. 1984. Nondigestibility of a New Sweetener,

“Neosugar”. Rat J Nutr 114: 1474-1481.

Oliviera RPS, Perego P, Converti A, Oliviera MN. 2009. Effect of inulin on growth and acidification performance of different probiotic bacteria in co-cultures and mixed culture with Stretococcus thermophilus, J of Food Engineering 91:133-139.

(47)

Pelczar MJ, dan Chan ECS. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi Jilid 2. Terjemahan. Ratna Siri Hadioetomo. Jakarta. Universitas Indonesia Press (UI Press). Rahman A, Fardiaz S, Rahayu WP, Suliantari, Nurwitri CC. 1992. Teknologi

Fermentasi Susu. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.

Rastall RA. 2005. Mini review: modulation of microbial ecology of the human colon by probiotics, prebiotiks, and synbiotics to enhance human health: an overview of enabling science and potential applications. FEMS Microbiology Ecology 52:145-152.

Reddy BS. 1999. Possible mechanism by which pro- and prebiotiks influence colon carcinogenesis and tumor growth. Br J Nutr 128, 11-19.

Robinson RK. 1981. Dairy Microbiology. Vol 2: The Microbiology of Milk Product. New Jersey. Applied Science Publishers.

Robinson RK, Tamime AY, Wsoztek M. 2000. Microbiology of Fermented Milk. Dalam: Robinson, R. K. (Editor). Dairy Microbiology handbook: The Microbiology of Milkand Milk Product. New York. John Wiley and son Inc.

Roberfroid MB. 2000. Prebiotiks and probiotics: are they functional foods? Am J Clin Nutr 71 (6): 1682-7.

Roberfroid MB. 1999. Concept in fuctional foods: the case of inulin and oligofructose. J of Nutr 129: 1398-1401.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. SNI2981:2009. Yogurt. Jakarta.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2011. SNI 3141.1:2011. Definisi Susu Segar. Dewan Standar Nasional. Jakarta

Saleh E. 2004. Dasar pengolahan susu dan hasil ikutan ternak. Fakultas Pertanian USU [terhubung berkala]. http://www.library.usu.ac.id [7 Mei 2011]. Sarwono B. 2003. Beternak Kambing Unggul. Perpustakaan Nasional. Jakarta. Setiawan T, Tanius A. 2002. Beternak Kambing Peranakan Ettawa. Bandung.

Penebar Swadaya.

Shelton K, editor. 1997. In Search of Quality. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil

(48)

Sudarwanto M. 2008. Penuntun Praktikum Higiene Pangan Asal Hewan. Kesehatan Masyarakat Veteriner Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Surono IS. 2004. Probiotik, Susu Fermentasi dan Kesehatan. Jakarta. PT Tri Cipta

Karya.

[TCFS] Thailand Commodity and Food Standards. 2008. TCFS 6006-2008 Standard for goat milk. The Royal Gazette 125:139.

Tamime AY, Robinson RK. 1999. Yogurt: Science and Technology. 2nd Edition. Cambridge: Woodhead Publ.

Tungland B C. 2000. Inulin-A Comprehensive Scientific Review. Duncan Crow WholisticConsultant.[terhubungberkala].http://members.shaw.ca/duncanrevi ew/inulin_review.html.[7 Mei 2011].

Tzianabos AO. 2000. Polysaccharides immunomodulatory as therapeutic agents: structural aspect and biological function. Clin Microbiol Review 523-533. Water JV. 2003. Yogurt and Immunity: The health benefit of fermented milk products that contain lactic acid bacteria. Dalam: E. R. Franworth (Editor). Handbook of Fermented Functional Foods. Florida. CRC Press. Wibowo D. 1989. Bakteri Asam Laktat. Kursus Fermentasi Pangan. Yogyakarta:

PAU UGM.

Widodo. 2003. Bioteknologi Industri Susu. Depok: Lacticia Pr.

Winarno FG. 1993. Pangan dan Gizi. Teknologi dan Konsumen. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Zaharanti A. 2005. Ekstraksi, Karakterisasi, serta Kajian Potensi Prebiotik Inulin dari Umbi Dahlia (Dahlia pinnata). [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

(49)
(50)

Lampiran 1 Alir Proses Produksi Yogurt

Susu kambing

Yogurt starter,inulin

Hasil uji Pasteurisasi 90 oC, 15

menit

Penyesuaian suhu

Pengujian organoleptik oleh

panelis

(51)

Lampiran 2 Tahapan Pengujian Sifat Fisik dan Kimiawi Susu Kambing

1. Uji Alkohol

Susu Kambing + alkohol 70% Hasil uji 2. Uji Berat Jenis

Susu kambing dihomogenkan dimasukkan ke gelas ukur

Baca tera laktodensimeter

Pengulangan pembacaan skala dan suhu

Perhitungan 3. Derajat Asam

NaOH 0,1 N dimasukkan ke pipet buret

Hitung tetesan sekaligus dengan penambahan fenolftalein ke gelas ukur (berisi

susu kambing/yogurt) yang digoyangkan sampai berubah warna

Dimasukkan

laktodensimeter sampai diam, baca skala dan diukur

(52)

Lanjutan

4. Kadar Lemak

Dimasukkan 10 ml H2SO4 10 ml contoh susu kambing

1.0ml amil alkohol ke dalam butirometer

Hasil dibaca 5. pH

Susu kambing atau yogurt dimasukkan ke dalam gelas ukur

Tutup dengan sumbat dan dikocok

memutar angka delapan

Sentrifus selama 3 menit dengan kecepatan 1200

rpm

Butirometer dimasukkan ke dalam penangas

air selama 5 menit

(53)

Lampiran 3 Hasil Uji Friedman Tekstur dan Aroma

Friedman Test: tekstur versus perlakuan blocked by block

(54)

Lanjutan

Friedman Test: aroma versus perlakuan blocked by block

(55)
(56)

Lampiran 4 Hasil Uji Friedman Tekstur dan Aroma

a. Tekstur

Perlakuan pengamatan jam ke-

3 4 5 6

LP1 168 227 208 114

LP2 150 245 112 98.5

LP3 92 298 246 98.5

LP4 129.5 257 246.5 76

LP5 171 254 277 108.5

LP6 61 265.5 221.5 115

LP7 127 171.5 237.5 132

LP8 124 286 265.5 76.5

LP9 176.5 245 298 116.5

LP10 191 216 255.5 110

LP11 139.5 274.5 255.5 95.5 LP12 206 265.5 214.5 98.5 LP13 183.5 249 271.5 95.5 LP14 195 259.5 194.5 81.5

LP15 170.5 280 242 94.5

LP16 89 174.5 216.5 94.5

LP17 103 261 192 90.5

(57)

Lanjutan b. Aroma

Perlakuan Pengamatan jam ke-

3 4 5 6

LP1 222.5 215 272 76.5

LP2 217 195 172 88.5

LP3 173.5 215 299.5 95

LP4 193 224.5 244.5 73

LP5 175.5 234.5 223.5 68

LP6 160 251.5 265 52.5

LP7 203 219 286.5 56

LP8 160.5 283.5 243 68

LP9 218 217 286.5 52.5

LP10 218 216.5 252 40.5

LP11 198.5 276 267 110.5

LP12 256.5 179 151.5 56

LP13 195 251.5 200.5 73

LP14 201 265 237.5 95

LP15 179 242.5 281.5 57.5

LP16 171 173.5 223.5 73

LP17 177 217 179.5 40.5

(58)

Lampiran 5 Hasil Perengkingan Uji Friedman Tekstur

Rangking Perlakuan jam Rangking Perlakuan jam Rangking Perlakuan jam Rangking Perlakuan jam

1 LP3 4 3 LP11 5 7 LP1 3 10 LP6 6

1 LP8 4 4 LP9 4 7 LP5 3 10 LP9 6

1 LP5 5 4 LP3 5 7 LP9 3 10 LP10 6

1 LP9 5 4 LP4 5 7 LP13 3 11 LP3 3

2 LP2 4 4 LP7 5 7 LP15 3 11 LP17 3

2 LP6 4 4 LP15 5 7 LP7 4 11 LP2 6

2 LP11 4 4 LP18 5 7 LP16 4 11 LP3 6

2 LP14 4 5 LP12 3 8 LP2 3 11 LP11 6

2 LP15 4 5 LP1 4 8 LP18 3 11 LP12 6

2 LP13 5 5 LP10 4 9 LP7 3 11 LP13 6

3 LP4 4 5 LP1 5 9 LP11 3 11 LP15 6

3 LP5 4 5 LP6 5 9 LP7 6 11 LP16 6

3 LP12 4 5 LP12 5 9 LP18 6 11 LP17 6

3 LP13 4 5 LP16 5 10 LP4 3 12 LP16 3

3 LP17 4 6 LP10 3 10 LP8 3 12 LP4 6

3 LP18 4 6 LP14 3 10 LP2 5 12 LP8 6

3 LP8 5 6 LP14 5 10 LP1 6 12 LP14 6

(59)

Lanjutan

Hasil Perengkingan Uji Friedman Aroma

Rangking Perlakuan jam Rangking Perlakuan jam Rangking Perlakuan jam Rangking Perlakuan jam

1 LP3 5 4 LP4 5 6 LP7 3 9 LP11 6

2 LP6 4 4 LP8 5 6 LP11 3 10 LP2 6

2 LP8 4 4 LP14 5 6 LP13 3 10 LP3 6

2 LP11 4 5 LP1 3 6 LP14 3 10 LP14 6

2 LP13 4 5 LP2 3 6 LP13 5 11 LP1 6

2 LP1 5 5 LP9 3 7 LP3 3 11 LP4 6

2 LP6 5 5 LP10 3 7 LP5 3 11 LP5 6

2 LP7 5 5 LP1 4 7 LP6 3 11 LP8 6

2 LP9 5 5 LP2 4 7 LP15 3 11 LP13 6

2 LP15 5 5 LP3 4 7 LP16 3 11 LP16 6

3 LP12 3 5 LP4 4 7 LP17 3 12 LP6 6

3 LP14 4 5 LP7 4 7 LP12 4 12 LP7 6

3 LP18 4 5 LP9 4 7 LP16 4 12 LP9 6

3 LP10 5 5 LP10 4 7 LP2 5 12 LP12 6

3 LP11 5 5 LP17 4 7 LP17 5 12 LP15 6

3 LP18 5 5 LP5 5 8 LP8 3 12 LP18 6

4 LP5 4 5 LP16 5 8 LP12 5 13 LP10 6

(60)

Lampiran 6 Hasil dokumentasi penelitian

Inulin sebagai prebiotik Susus kambing Etawa

Pelabelan gelas Penimbangan inulin

(61)

Lanjutan

Pemanasan susu kambing Pemberian starter induk

Pengukuran derajat asam Inkubasi yogurt

(62)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia mencapai 10.47 liter per kapita per tahun. Konsumsi susu tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun 2009 yang baru mencapai 7.7 liter per kapita per tahun. Namun peningkatan konsumsi susu itu masih jauh tertinggal dibandingkan dengan konsumsi susu negara-negara ASEAN, seperti Malaysia serta di negara-negara maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Di lain pihak saat ini tingkat konsumsi susu segar masyarakat Malaysia mencapai 27 liter per kapita per tahun, Jepang 37 liter per kapita per tahun, Amerika Serikat 83.9 liter per kapita per tahun, dan Belanda 120 liter per kapita per tahun (Ekawati 2008). Keadaan ini didukung dengan produksi susu di Indonesia yang masih rendah. Data dari Departemen Pertanian menyebutkan total produksi susu dalam negeri mencapai 350 ribu ton per tahun. Jumlah ini masih di bawah jumlah impor susu dalam negeri, yaitu sebanyak 1.5 juta ton per tahun (Ekawati 2008). Kondisi ini memungkinkan akan terus seperti ini jika tidak ada gerakan atau inovasi dalam usaha meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya mengonsumsi susu.

(63)

kambing memiliki lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan lemak pada susu sapi. Susu kambing memiliki lemak dan protein yang lebih mudah dicerna karena lemaknya mengandungi lebih banyak asam lemak berantai pendek (Moeljanto dan Wiryanta 2002).

Susu kambing mempunyai aroma khas kambing. Hal ini yang dapat mengurangi daya tarik konsumen dalam mengonsumsi susu kambing. Salah satu cara untuk meningkatkan konsumsi susu kambing adalah dengan melakukan fermentasi dengan menggunakan bakteri atau yang biasa disebut yogurt. Yogurt merupakan salah satu produk olahan susu dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme. Tujuan dari fermentasi ini adalah memperpanjang umur simpan, penganekaragaman produk, meningkatkan nilai gizi dan daya cerna, dan menghasilkan karakteristik rasa, aroma, dan tekstur yang diinginkan, serta menguntungkan bagi kesehatan. Untuk menjamin dihasilkannya produk yang baik dan seragam perlu penyediaan kultur yang sesuai (Pelczar dan Chan 1988).

(64)

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi starter dan inulin terhadap waktu pembuatan, tekstur, dan aroma yogurt susu kambing.

1.3 Hipotesis Penelitian

(65)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Susu Kambing

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 3141 No.1 Tahun 2011 (BSN 2011), susu segar adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapatkan perlakuan apapun kecuali pendinginan. Menurut Winarno (1993) susu segar adalah cairan yang berwarna putih yang disekresikan oleh kelenjar mammae pada hewan mamalia betina yang berguna untuk bahan makanan dan sumber gizi bagi anaknya (Winarno 1993).

Susu kambing adalah susu yang diperoleh dengan jalan pemerahan seekor kambing perah yang hasilnya berupa susu segar murni tanpa dicampur, dikurangi, atau ditambah sesuatu. Susu kambing murni rasanya enak, sedikit manis, berlemak dan kandungan gizi yang lebih unggul dibandingkan dengan susu sapi (Sarwono 2004). Di Australia susu kambing menjadi salah satu alternatif karena kemampuannya dapat menggantikan Air Susu Ibu (ASI). Keistimewaan lain yang dimiliki oleh susu kambing adalah kandungan protein serta lemak yang lebih mudah dicerna daripada susu sapi.

Berbeda dengan susu sapi, susu kambing tidak mengandung aglutinin. Akibatnya globula lemak susu kambing tidak mengalami klusterisasi sehingga lebih mudah dicerna. Susu kambing mengandung kadar laktosa yang lebih rendah (4.5%) jika dibandingkan dengan susu sapi (4.7%). Kondisi ini sangat baik bagi orang yang mengalami intoleransi laktosa (Setiawan dan Tanius 2002).

Susu kambing memiliki komposisi nutrisi yang khas sehingga pada beberapa kasus dapat digunakan sebagai susu pengganti susu sapi pada bayi-bayi yang mengalami Hypo-Allergenic Infant Food. Dalam memahami mengapa susu kambing dapat digunakan sebagai susu pengganti, pada Tabel 1 disajikan perbandingan nilai nutrisi susu kambing dibandingkan dengan susu sapi (Setiawan dan Tanius 2002).

(66)

sedangkan susu kambing komposisinya adalah 19% alfa S-1 kasein, 21% alfa S-2 kasein dan 60% beta kasein. Kasein susu kambing memiliki kandungan glisin (terutama metionin), arginin serta kandungan sulfur yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan susu sapi.

Tabel 1 Perbandingan antara Komposisi Nutrisi Susu Kambing dan Susu Sapi (untuk setiap 100 gram) (Setiawan dan Tanius 2002)

Komposisi Kimia Susu Sapi Susu Kambing

Protein (g) 3.3 3.6

Susu kambing memiliki curd tension yang lebih rendah dibandingkan dengan susu sapi perah Frisian Hollstein dan Jersey. Hal ini diduga sebagai penyebab mengapa daya cerna susu kambing lebih baik jika dibandingkan dengan susu sapi (Maheswari dan Ronny 2008).

(67)

Tabel 2 Perbandingan Komposisi Asam Lemak ASI, Susu Sapi, dan Susu

Susu kambing memiliki kandungan asam kaproat, kaprilat, kapriat, dan laurat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan susu sapi, sedangkan kandungan asam palmitat dan stearat susu kambing lebih rendah daripada susu sapi (Maheswari dan Ronny 2008).

Kandungan abu susu kambing berkisar antara 0.7 – 0.85%. Susu kambing memiliki kandungan sodium (Na) yang lebih rendah, akan tetapi kandungan potasium (K) dan klorin (Cl) lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi. Kandungan zat besi (Fe) susu kambing bervariasi bergantung pada cara pemeliharaan dan pakan kambing. Konsentrasi trace element susu kambing pada umumnya hampir sama dengan susu sapi kecuali kandungan kobaltnya. Kandungan vitamin susu kambing hampir sama dengan susu sapi, kecuali vitamin B6, asam folat dan vitamin B12 yang lebih rendah jika dibandingkan dengan susu sapi (Fehr dan Sauvant 1980).

2.2 Probiotik

Gambar

Tabel 2 Perbandingan Komposisi Asam Lemak ASI, Susu Sapi, dan Susu Kambing (Maheswari dan Ronny 2008)
Tabel 2 Perbandingan Komposisi Asam Lemak ASI, Susu Sapi, dan Susu Kambing (Maheswari dan Ronny 2008)

Referensi

Dokumen terkait

Model penelitian yang dilakukan metode Desain Eksperimen Faktorial untuk mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak dan lama perendaman bambu dalam proses pengawetan

Pada Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa dari semua simulasi penjadwalan linier dengan menggunakan buffer yang dianggap mampu mengurangi durasi penyelesaian 50

Bayangan jenis ini terbentuk oleh permukaan geometri yang memancarkan sinar dari setiap titik permukaan yang terlihat kamera ke setiap sumber cahaya untuk kemudian diperiksa

Apabila dikemudian hari terbukti dan atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi apapun dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh kemudahan penggunaan, reputasi vendor dan persepsi risiko pada niat beli online yang dimediasi oleh kepercayaan dapat

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Kecerdasan Intelektual tidak berpengaruh terhadap pertimbangan Tingkat Materialitas Hasil penelitian ini konsisten dengan

Dari penelitian ini maka hasil yang didapat adalah penggunaan media sosial secara langsung berpengaruh namun tidak signifikan, electronic word of mouth (EWOM) secara

Contoh nyatanya dalam suatu sistem proteksi katodik arus tanding (ICCP) yang dipasangkan dengan sistem protective coating mengalirkan arus listrik melebihi kebutuhan untuk