UNTUK MENJAMIN KETERSEDIAAN SUMBERDAYA AIR
DI DAS KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
La Baco S.
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi tentang “Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
La Baco S.
ASTRACT
La Baco S. A262030041. Analysis of Land Use Alternatives to Ensure Water Resource Availability in Konaweha Watershed, Southeast Sulawesi Province, under the supervision of Naik Sinukaban, Yanuar Jarwadi Purwanto, Bunasor Sanim and Suria Darma Tarigan.
Phenomena of depleting of water resources and increasing water demand have been occurring in Konaweha watershed. Combine with other degraded conditions, Konaweha watershed have been categorized as priority watershed in Southeast Sulawesi Province. Land use change is the main factor to influence water balance that indicated by the increasing maximum discharge in rainy seasons and decreasing minimum discharge in dry seasons. The objective of this research were (1) to evaluate the effects of land use changes on water resources of Konaweha watershed; (2) to evaluate the availability of water resources to meet water demand as well as minimum proportion of forest cover in the watershed to ensure sustainable water resources in Konaweha watershed, (3) to evaluate the proportion of maintenance cost that should be shared by each district to maintain sustainable water resources; and (4) to formulate land use alternatives and management policy of Konaweha watershed. This research was conducted in Konaweha watershed for 10 months from June 2009 to March 2010. The result of this research showed that forest, swamp, plantation and bush area tended to decline exponentially year by year due to population growth. The decline of forest area have significantly decreased minimum discharge of Konaweha River in dry seasons and increased maximum discharge in rainy seasons. These condition have caused a significant deficit of water resources in dry seasons starting from period of 2006 to 2030 eventhough there was no deficit of annual water resources. To ensure sustainability of water resources in Konaweha watershed, regression analysis showed that the minimum proportion of forest cover in Konaweha watershed should be keept in place about 32.5 to 37.5 % of the total watershed area. Economic value of water analysis showed that Kendari District should share about 37 %, Konawe District 28 %, South Konawe District 14 % and Kolaka District 21 % of the total maintenance cost for ensuring good hydrological function of the watershed. Forest economic value including flora and fauna, carbon stock, option value, bequest value and existence value reaches 15 million rupiah per hectare. Simulation of proper multiple regression showed the composition of dominant land use in Konaweha watershed of 40 % forest, 46 % plantation, 5 % mix garden and 4 % bush will be the best land use alternative for ensuring sustainable water resources in Konaweha watershed.
RINGKASAN
La Baco S. A262030041. Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara dibawah bimbingan Naik Sinukaban, Yanuar Jarwadi Purwanto, Bunasor Sanim dan Suria Darma Tarigan.
Fenomena yang akhir-akhir ini terkait dengan eksistensi sumberdaya air adalah penurunan ketersediaan air, sementara kebutuhan air meningkat terus dari waktu ke waktu yang merupakan konsekuensi logis dari pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi. Fenomena tersebut juga terjadi di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara. Salah satu penyebab penurunan ketersediaan air di DAS Konaweha adalah perubahan penggunaan lahan khususnya hutan yang cenderung mengalami penurunan luas dari waktu ke waktu. Salah satu akibat dari hal tersebut adalah peningkatan debit maksimum dan penurunan debit minimum Sungai Konaweha. Jika penurunan debit minimum terus berlangsung maka suatu ketika akan terjadi defisit air pada musim kemarau. DAS Konaweha memegang peranan penting karena fungsinya yang sangat vital khususnya sebagai sumber air bagi Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka.
Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengkaji perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap sumberdaya air di DAS Konaweha; (2) mengkaji ketersediaan dan kebutuhan air serta proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha; (3) mengkaji proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air bagi kabupaten/kota untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air; dan (4) mengkaji kebijakan penggunaan lahan alternatif yang dapat menjamin ketersediaan air jangka panjang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 1991-2010 terjadi penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu, diikuti dengan peningkatan luas penggunaan lahan lainnya. Diperkirakan luas hutan rata-rata periode 2026-2030 adalah 32 %, sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing 48 %, 6 % dan 4 %. Luas hutan periode 2046-2050 adalah 22 %, sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing 52 %, 7 % dan 5 %. Selama periode tersebut telah terjadi peningkatan koefisien aliran permukaan dari 31,4 % menjadi 45,6 % dan terjadi penurunan debit minimum dari 40 m3/detik menjadi 24 m3/detik, sedangkan debit maksimum meningkat dari 246 m3/detik menjadi 284 m3/detik.
Ketersediaan air yang didasarkan pada perubahan penggunaan lahan menunjukkan penurunan dari 37,6 m3/detik pada periode 2011-2015 menjadi 23,0 m3/detik pada periode 2031-2035 dan 14,7 m3/detik pada periode 2046-2050. Sementara itu distribusi bulanan kebutuhan air sektor domestik (3,8 %), industri (4,7 %) dan irigasi (91,5 %) mengalami peningkatan yakni 24 m3/detik pada periode 2011-2015 meningkat menjadi 29 m3/detik pada periode 2031-2035 dan 33 m3/detik periode 2046-2050. Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk menjamin ketersediaan air di DAS Konaweha adalah 32,5-37,5 % dari luas DAS Konaweha Hulu.
Proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS yang menjadi tanggung jawab Kota Kendari adalah 37 %, sedangkan Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan masing-masing 28 %, 21 % dan 14 % dari total nilai ekonomi air DAS Konaweha. Pada tahun 2050 Kota Kendari harus membayar sebesar 6,97 milyar rupiah, sedangkan Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan masing-masing 5,51 milyar rupiah, 4,32 milyar rupiah dan 2,80 milyar rupiah untuk memelihara fungsi DAS Konaweha dalam menjaga tata air. Sumber-sumber pendanaan yang bisa digunakan kabupaten/kota adalah dana alokasi khusus (DAK), dana masyarakat melalui penarikan pajak air bagi pengguna dan dana pembayaran jasa lingkungan (payment of environmetal services) bagi daerah hilir. Nilai ekonomi hasil hutan non kayu di DAS Konaweha adalah sekitar 15 juta rupiah per hektar dimana sekitar 90 % diperoleh dari nilai ekonomi penyerapan karbon, sedangkan sisanya dari nilai ekonomi rotan (flora) dan madu (fauna), nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan. Tiga dari lima skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha yakni skenario 2 (35 % hutan, 51 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar), skenario 3 (kondisi eksisting tahun 2011) dan skenario 5 (40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar) layak diterapkan di DAS Konaweha umumnya dan DAS Konaweha Hulu pada khususnya, sedangkan skenario 1 dan skenario 4 tidak layak untuk diterapkan. Kebijakan yang berkaitan dengan penatagunaan lahan di DAS Konaweha saat ini adalah RTRW masing-masing kabupaten/kota yang didasarkan pada batas administrasi. Jika kebijakan tersebut berjalan terus, maka pada tahun 2050 akan terjadi defisit air 14,5 m3/detik atau 37,6 juta m3 dan kemungkinan besar akan terjadi konflik kepentingan antar daerah khususnya berkaitan dengan alokasi sumberdaya air. Komposisi 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar merupakan penggunaan lahan alternatif terbaik untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha.
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
DI DAS KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
La Baco S.
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara
Nama Mahasiswa : La Baco S.
Nomor Pokok : A262030041
Program Studi : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Menyetujui :
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS. Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc. Anggota Anggota
Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi DAS Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Penguji Luar Komisi
Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S. (Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor).
2. Dr. Ir. Nora Herdiana Pandjaitan, DEA. (Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor).
Ujian Terbuka:
1. Dr. Ir. Harry Santoso (Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan Republik Indonesia).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karuniaNya sehingga penulisan disertasi ini dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
Penyusunan disertasi ini merupakan satu kesatuan proses yang diawali dari
konsultasi, penyusunan proposal penelitian, penelitian dan penyusunan draf
disertasi. Keseluruhan proses tersebut tidak mungkin dapat terlaksana tanpa
arahan, fasilitasi, bantuan, masukan, saran maupun kritik dari komisi pembimbing.
Penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Komisi
Pembimbing yang terdiri dari: Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc selaku
Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS; Bapak
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim,M.Sc; dan Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc
masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selama ini dengan
segala upaya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
Ucapkan terima kasih penulis sampaikan kepada penguji luar komisi ujian
pada ujian tertutup yakni: Bapak Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S dan Ibu
Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Dr. Ir. Harry Santoso (Direktur Jenderal Pengelolaan DAS dan Perhutanan
Sosial Kementrerian Kehutanan Republik Indonesia) dan Bapak Prof. Dr. Ir. Asep
Sapei, M.S masing-masing bertindak sebagai penguji luar komisi pada ujian
terbuka.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas
Haluoleo Kendari; Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S., Dekan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo; Bapak Dr. Ir. H. Taane La Ola, M.P., yang telah memberikan bantuan moril maupun materil kepada penulis selama masa studi
hingga saat ini.
Penulis mengucaplkan terima kasih banyak kepada Pemerintah Daerah
Provinsi Sulawesi Tenggara yang memberikan dukungan data dan informasi
Tenggara; Bapak H. Nur Alam, SE, Walikota Kendari; Bapak Ir. H. Asrun,
M.Eng, Bupati Konawe; Bapak Dr. H. Lukman Abunawas, M.Si, Bupati Konawe
Selatan; Bapak Drs. H. Imran, M.Si., dan Bupati Kolaka; Bapak Dr. H. Buhari
Matta, M.Si.
Ucapan terima kasih khusus penulis sampaikan kepada Kepala Badan
Pengelolaan DAS Sampara Provinsi Sulawesi Tenggara bersama staf yang
membantu menyediakan peta-peta, pengecekan lapangan dan bantuan lainnya.
Disertasi ini saya dedikasikan untuk seluruh keluarga khususnya istri
tercinta ”Hj. Andi Sri Rahyuni, SP.” dan anak-anak tersayang yakni ”Tasya Audrya Wulandari (almarhumah), ”Athalia Neva Belinda” dan ”Callista Adira Putri” atas dorongan dan motivasi yang diberikan selama ini hingga penulis dapat
menyelesaikan studi S3 di Institut Pertanian Bogor.
Akhirnya penulis menyadari bahwa disertasi ini hanyalah karya dari
manusia biasa sehingga akan jauh dari kata “sempurna”, oleh karena itu saran dan
masukan dari berbagai pihak sangat diharapkan guna menyempurnakan disertasi
ini.
Semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi para pihak yang
berkepentingan khususnya bagi penulis, Amien ...!
Bogor, Januari 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lambale Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi
Tenggara pada tahun 1963 sebagai anak kedua dari 5 bersaudara pasangan Sudia
(almarhum) dengan Mahania. Pendidikan S1 diselesaikan tahun 1987 pada Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Tahun 1997
penulis menyelesaikan studi S2 pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Institut Pertanian Bogor. Tahun 2003 penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Institut Pertanian Bogor dengan sumber dana BPPS Dikti.
Sejak tahun 1989 maka penulis menjadi staf pengajar pada Fakultas Pertanian
Universitas Haluoleo Kendari. Disamping itu sejak tahun 1998 sampai sekarang,
penulis menjadi peneliti pada Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas
Haluoleo Kendari.
Karya ilmiah yang berjudul “Valuasi Ekonomi Hutan di DAS Konaweha Hulu
Provinsi Sulawesi Tenggara” akan diterbitkan pada jurnal ilmiah Agriplus untuk
volume 21 (2) Mei tahun 2011 dan “Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara” akan diterbitkan pada Jurnal Ilmiah Sains Tanah Volume 8 Nomor 2 Edisi Juli 2011.
Kedua karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari penelitian disertasi yang
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI ii
ABSTRACT iii
Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian 8
TINJAUAN PUSTAKA
Air dan Permasalahannya 11
Faktor-faktor Penyebab dan Dampak Perubahan Penggunaan Lahan 15
Fungsi Hutan Dalam Menjaga Tata Air 20
Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam 23
Manfaat Ekonomi Sumberdaya Hutan 29
Kebutuhan Air 32
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian 37
Bahan dan Peralatan 38
Penetapan Lokasi Penelitian Intensif 38
Teknik Penentuan Populasi dan Sampel 39
KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA
Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha 71
Iklim 71
Topografi dan Kelerengan 72
Geologi dan Geomorfologi 73
Tanah 74
Penggunaan Lahan 75
Kependudukan 76
Lembaga Perekonomian 78
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan 79
Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Kondisi Hidrologi 90
Analisis Ketersediaan Air 102
Analisis Kebutuhan Air 108
Proporsi Luas Hutan Minimal untuk Memenuhi Kebutuhan Air 123
Valuasi Ekonomi Air dan Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS 127
Alternatif Penggunaan Lahan di DAS Konaweha 134
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 159
Saran 160
DAFTAR PUSTAKA 161
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1 Penggunaan Air Total dan Rata-rata Tahunan beberapa
Negara di Dunia Tahun 1996-2002 12
2 Proporsi Penggunaan Air Rata-rata Sektor Domestik, Industri dan Pertanian beberapa Negara di Dunia Tahun
1996-2002 13
3 Data Penggunaan Air Austin, Texas Tahun 1970-1985 33
4 Jumlah dan Penyebaran Wilayah Administrasi Pengambilan
Sampel di DAS Konaweha Tahun 2009 42
5 Distribusi dan Jumlah Informan Penerima Manfaat Hasil
Hutan Non Kayu di DAS Konaweha Tahun 2009 44
6 Jenis dan Sumber serta Metode Pengumpulan Data di DAS
Konaweha 45
7 Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Kelas Kemiringan 72
8 Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Geomorfologi/Bentuk
Lahan 73
9 Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Jenis Tanah 74
10 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu
Konaweha Hulu Periode 1991-2010 84
16 Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Luas Hutan Rata-rata
di DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 88
17 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan terhadap Koefisien Aliran Permukaan, Debit Maksimum dan Debit Minimum DAS Konaweha Hulu
Periode 1991-2010 92
18 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan terhadap Koefisien Aliran Permukaan Musim
Hujan DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 94
19 Proyeksi Kebutuhan Air Domestik Periode 2011-2050 di
DAS Kon 110
20 Proyeksi Kebutuhan Air Industri Periode 2011-2050 di DAS
21 Proyeksi Kebutuhan Air Irigasi Periode 2011-2050 di DAS
Konaweha 117
22 Proyeksi Kebutuhan Air Menggelontor Periode 2011-2050 di
DAS Konaweha 119
23 Proyeksi Kebutuhan Air Total Periode 2011-2050 di DAS
Konaweha 120
24 Proyeksi Kebutuhan Air Total Musim Kemarau Periode
2011-2050 di DAS Konaweha 123
25 Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Air di DAS Konaweha
Periode 2011-2050 125
26 Nilai Ekonomi Air berdasarkan Sektor di DAS Konaweha
Periode 2011-2050 128
27 Proyeksi Nilai Ekonomi Air di DAS Konaweha Menurut
Wilayah Periode 2011-2050 130
28 Total Nilai Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu di DAS
Konaweha Tahun 2009 135
29 Manfaat Ekonomi Nilai Pilihan Keanekaragaman Hayati dan
Habitat di DAS Konaweha Tahun 2009 139
30 Manfaat Ekonomi Nilai Warisan Flora Fauna dan Habitat
Satwa di DAS Konaweha Tahun 2009 141
31 Manfaat Ekonomi Nilai Keberadaan Habitat dan Flora Fauna
Dilindungi di DAS Konaweha Tahun 2009 142
32 Rasio Ketersediaan dan Kebutuhan Air berbagai Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
Tahun 2050 147
33 Biaya Pemeliharaan Fungsi Hutan Skenario Penggunaan
Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 148
34 Nilai R/C Skenario Penggunaan Lahan Alternatif DAS
Konaweha Hulu 150
35 Analisis Penerimaan Para Pihak terhadap Skenario
Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 151
36 Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif di DAS
Konaweha Hulu Tahun 2050 152
37 Analisis Perbandingan antara Kebijakan Tata Guna Lahan Eksisting dengan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1 Kerangka Berpikir Analisis Penggunaan Lahan Alternatif untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS
Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara 7
2 Perubahan Luas Hutan Alam Tropis Benua Amerika, Afrika
serta Asia dan Oceania. 17
3 Klaisifikasi Nilai Lingkungan dan Hubungannya dengan
Metode Valuasi. 26
4 Peta Lokasi Penelitian Intensif DAS Konaweha Hulu Tahun
2009 37
5 Desain Jalur Analisis Vegetasi di DAS Konaweha Hulu Tahun
2009 39
6 Kerangka Penarikan Sampel Penelitian (Sampling Frame) di
DAS Konaweha Tahun 2009 41
7 Grafik Rata-Rata Curah Hujan Bulanan di DAS Konaweha 71
8 Peta DAS Konaweha berdasarkan Kemiringan Lereng 73
9 Peta Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Jenis Tanah 74
10 Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 2008 75
11 Pola Penurunan Luas Hutan di DAS Konaweha Hulu Periode
Lima Tahunan (1991-2010) 80
12 Pola Peningkatan Luas Perkebunan di DAS Konaweha Hulu
Periode Lima Tahunan (1991-2010) 81
13 Pola Peningkatan Luas Kebun Campuran di DAS Konaweha
Hulu Periode Lima Tahunan (1991-2010) 82
14 Pola Peningkatan Luas Semak Belukar di DAS Konaweha
Hulu Periode Lima Tahunan (1991-2010) 83
15 Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Periode Lima
Tahunan (2011-2050) 85
16 Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Luas Hutan di DAS
Konaweha Hulu Periode 1991-2010 87
17 Debit Harian Rata-rata, Debit Harian Maksimum dan Debit
Harian Minimum Sungai Konaweha Tahun 2007-2009 90
18 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap
Koefisien Aliran Permukaan (C) di DAS Konaweha Hulu 95
19 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap
Debit Maksimum (Qmax) Sungai Konaweha 96
20 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap
21 Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Koefisien Aliran
Permukaan DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 99
22 Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Debit Minimum
(Qmin) Sungai Konaweha Periode 1991-2010 100
23 Hidrograf Aliran Sungai Konaweha berdasarkan Rata-rata
Aritmetik dan Peluang 80 % Tahun 1993-2009 104
24 Distribusi Ketersediaan Air dan Curah Hujan Bulanan di DAS
Konaweha Tahun 1993-2009 105
25 Proyeksi Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha Periode
Lima Tahunan (2011-2050) 107
26 Pola Pertumbuhan Penduduk di DAS Konaweha Tahun
2000-2009 109
27 Pola Pertumbuhan Industri Kecil di DAS Konaweha Tahun
2000-2009 112
28 Pola Pertumbuhan Industri Sedang/Besar di DAS Konaweha
Tahun 2000-2009 113
29 Pola Pertumbuhan Luas Sawah di DAS Konaweha Tahun
2000-2009 116
30 Kurva Ketersediaan dan Kebutuhan Air Periode 2011-2050 di
DAS Konaweha 126
31 Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Kabupaten/Kota di DAS Konaweha (10 % Nilai Manfaat Ekonomi Air Kabupaten
/Kota) Periode 2046-2050 133
32 Peta Skenario 1 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS
Konaweha Hulu 144
33 Peta Skenario 2 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS
Konaweha Hulu 144
34 Peta Skenario 3 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS
Konaweha Hulu 145
35 Peta Skenario 4 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS
Konaweha Hulu 145
36 Peta Skenario 5 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman
1 Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1991 171
2 Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1999 171
3 Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 2011 172
4 Proporsi Luas Masing-masing Jenis Penggunaan Lahan di DAS
Konaweha Hulu Tahun 1991-2011 172
5 Analisis Keragaman (Anova) Pengaruh Waktu terhadap
Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu 173
6 Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak
Belukar di DAS Konaweha Hulu Tahun 2011-2050 173
7a Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2007 174
7b Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2008 175
7c Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2009 176
7d Debit Harian Rata-rata, Debit Harian Maksimum dan Debit
Harian Minimum Sungai Konaweha 2007-2009 177
8 Curah Hujan Rata-rata Bulanan DAS Konaweha Tahun
1999-2009 177
9 Debit Bulanan Rata-rata, Maksimum dan Minimum Sungai
Konaweha Tahun 1993-2009 177
10 Koefisien Aliran Permukaan, Debit Maksimum dan Debit
Minimum DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 178
11 Analisis Regresi dan Keragaman Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Kondisi Hidrologi DAS Konaweha
Hulu 178
12 Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Pendekatan Rata-rata
Aritmetik (m3/detik) 179
13 Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Peluang 80 %
(m3/detik) 179
14 Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha Periode 2011-2050 179 15a Contoh Hasil Tabulasi Kebutuhan Air Penduduk Kelas Sosial
Tinggi di Kota Kendari 180
15b Jumlah Penduduk menurut Kelas Sosial di DAS Konaweha
Tahun 2000-2009 181
15c Kebutuhan Air Domestik DAS Konaweha Tahun 2010-2050
(juta m3) 181
15d Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Domestik DAS Konaweha
Tahun 2010-2050 (juta m3) 182
16a Jumlah Industri Kecil dan Industri Sedang/Besar di DAS
Konaweha Tahun 2000-2009 183
16b Hasil Tabulasi Kebutuhan Air Industri Sedang/Besar di DAS
Konaweha 183
16c Kebutuhan Air Industri DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta
m3) 184
16c Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Industri DAS Konaweha
Tahun 2010-2050 (juta m3) 185
17a Tabulasi Hasil Perhitungan Penggunaan dan Kebutuhan Air
Irigasi Rata-rata di Kabupaten Kolaka (m3/hektar/tahun) 186
17c Proyeksi Kebutuhan Air Irigasi DAS Konaweha Tahun
2010-2050 (juta m3) 187
17d Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Irigasi DAS Konaweha
Tahun 2010-2050 (juta m3) 188
18a Proyeksi Kebutuhan Air Menggelontor di Sungai Konaweha
Tahun 2010-2050 189
18b Distribusi Bulanan Kebutuhan Air yang Menggelontor di Sungai
Tahun 2010-2050 di DAS Konaweha 190
19a Proyeksi Kebutuhan Air Total di DAS Konaweha Tahun
2010-2050 191
19b Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Total DAS Konaweha Tahun
2010-2050 (juta m3) 192
19c Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Total DAS Konaweha Tahun
2010-2050 (m3/detik) 193
20 Nilai Ekonomi Air Masing-masing Sektor di DAS Konaweha
Tahun 2010-2050 194
21 Nilai Ekonomi Air Kabupaten/Kota di DAS Konaweha Tahun
2010-2050 195
22 Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Masing-masing
Kabupaten/Kota di DAS Konaweha Tahun 2010-2050 196
23 Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Kabupaten/Kota di DAS
Konaweha Tahun 2010-2050 197
24a Hasil Perhitungan Nilai Ekonomi Rotan di DAS Konaweha
Tahun 2009 198
24b Produktivitas Rata-rata Pengumpul/Pengolah Rotan di DAS
Konaweha Tahun 2009 198
25a Nilai Ekonomi Madu di DAS Konaweha Tahun 2009 199
25b Nilai Produktivitas dan Penerimaan Madu di DAS Konaweha
Tahun 2009 200
26a Contoh Analisis Vegetasi Semai untuk Plot 10 di DAS
Konaweha Tahun 2009 200
26b Potensi Karbon Rata-rata Semai, Pancang, Tiang dan Pohon di
DAS Konaweha Tahun 2009 201
27 Analisis WTP Nilai Pilihan Responden di DAS Konaweha
30 Hubungan Proporsi Tutupan Masing-masing Jenis Penggunaan
Lahan dengan Debit Minimum DAS Konaweha Hulu 205
31 Proporsi Luas Masing-masing Skenario Penggunaan Lahan
Fenomena yang akhir-akhir ini terkait dengan eksistensi sumberdaya air
adalah penurunan ketersediaan air sementara kebutuhan air meningkat terus dari
waktu ke waktu yang merupakan konsekuensi logis dari pertambahan jumlah
penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi.
Rata-rata ketersediaan air saat ini di atas daratan Indonesia adalah kurang
lebih 15.000 m3/kapita/tahun. Angka tersebut sebenarnya relatif sangat besar
yaitu hampir 25 kali rata-rata ketersediaan air per kapita per tahun dunia yang
besarnya 600 m3/kapita/tahun (Arif, 2003). Walaupun angka ketersediaan air di
Indonesia sangat besar, namun tidak merata baik secara spasial maupun temporal.
Wilayah Indonesia Bagian Barat diberi berkah dengan hujan yang sangat
berlimpah, sedangkan Wilayah Indonesia Bagian Timur mengalami hal yang
sebaliknya. Ketersediaan air tersebut masih belum merata sepanjang tahun,
sehingga di suatu wilayah terjadi kekeringan pada musim kemarau dan banjir
pada musim hujan.
Penurunan ketersediaan air bertolak belakang dengan fenomena
peningkatan kebutuhan air. Tingkat kebutuhan air terbesar di Indonesia
berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi dalam tiga kelompok besar (Dyah,
2000), yakni : kebutuhan domestik, kebutuhan irigasi pertanian dan kebutuhan
industri. Pada tahun 1990 kebutuhan air untuk domestik, irigasi dan industri
berturut-turut adalah : 3,2 x 109 m3/tahun, 74,9 x 109 m3/tahun, dan 0,70 x 109
m3/tahun. Pada tahun 2000 kebutuhan air masing-masing sektor berturut-turut :
3,5 x 109 m3/tahun, 82,4 x 109 m3/tahun, dan 0,79 x 109 m3/tahun (Isnugroho,
2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun
maka kebutuhan air sektor domestik dan irigasi meningkat sekitar 9 %, sedangkan
sektor industri sebesar 11 %.
Penurunan ketersediaan air dan peningkatan kebutuhan air juga terjadi di
kemungkinan disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan akibat eksploitasi
lahan secara terus-menerus sehingga terjadi penurunan kapasitas infiltrasi dan
peningkatan aliran permukaan, akibatnya jumlah air yang hilang ke laut akan
meningkat pula yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketersediaan air.
Perubahan penggunaan lahan diduga mengakibatkan terjadinya penurunan
debit minimum dan peningkatan debit maksimum. Fakta menunjukkan bahwa
pada bulan mei tahun 2000 terjadi banjir dengan debit sekitar 380 m3/detik yang
menyebabkan lebih dari 10.000 hektar sawah di wilayah irigasi Wawotobi
terendam banjir. Pada tahun yang sama dari september sampai nopember terjadi
kekeringan dengan debit minimum rata-rata 10,6 m3/detik yang mengakibatkan
lebih dari 5.000 hektar sawah di wilayah tersebut tidak mendapatkan pasokan air
yang cukup. Pada bulan september tahun 2003 maka debit minimum Sungai
Konaweha adalah 27 m3/detik, pada tahun 2006 dan 2008 maka debit minimum
bulan september menjadi 23 m3/detik dan 20 m3/detik (Sub Dinas PU Pengairan
Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010). Jika kecenderungan penurunan ini berlanjut,
diperkirakan akan terjadi defisit air pada musim kemarau.
Kebijakan pemerintah pusat tentang pembangunan Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) pertambangan yang dipusatkan di Provinsi Papua, Papua Barat dan
Sulawesi Tenggara juga berpotensi memberikan dampak terhadap perubahan
penggunaan lahan. Untuk tujuan tersebut maka Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tenggara mengusulkan perubahan status hutan seluas 310.165 hektar menjadi
areal penggunaan lain (APL) melalui revisi Rencana Umum Tata Ruang Wilayah
(RUTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2010 (Bappeda Provinsi Sulawesi
Tenggara, 2010). Dari luasan tersebut, maka sekitar 10 % berada di DAS
Konaweha. Jika usulan tersebut di atas disetujui, maka dihkawatirkan akan
semakin menurunkan ketersediaan air khususnya distribusi ketersediaan air
bulanan.
Seiring dengan penurunan ketersediaan air, maka kebutuhan air di DAS
Konaweha cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Peningkatan
jumlah industri dan pertambahan luas sawah. Angka pertumbuhan penduduk
rata-rata di DAS Konaweha adalah 1,22 % per tahun, sementara laju pertambahan
industri kecil adalah 0,7 % per tahun dan industri sedang dan besar lebih dari 7 %
per tahun, sedangkan laju pertambahan luas sawah diperkirakan lebih dari 1 %
per tahun.
DAS Konaweha mempunyai fungsi strategis karena merupakan DAS
terbesar di Sulawesi Tenggara dengan luas ± 697.841 hektar dan secara
administrasi meliputi empat daerah otonom yakni Kabupaten Konawe, Konawe
Selatan, Kolaka dan Kota Kendari (BPDAS Sampara, 2009). Salah satu
peranannya yang sangat vital adalah sebagai sumber air bagi pemenuhan
kebutuhan domestik, industri dan irigasi keempat daerah otonom tersebut di atas.
Vitalnya peranan DAS Konaweha tersebut di atas belum didukung oleh
upaya pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air oleh keempat daerah
otonom. Hal ini disebabkan oleh belum jelasnya proporsi pembiayaan yang
harus menjadi tanggung jawab masing-masing wilayah. Alokasi pembiayaan
yang bersumber dari nilai ekonomi hutan dan air belum dapat direalisasikan
karena hingga saat ini belum ada penelitian tentang hal ini. Oleh karena itu perlu
dilakukan suatu kajian tentang valuasi ekonomi hutan dan air serta proporsi biaya
pemeliharaan fungsi DAS yang bersumber dari nilai manfaat ekonomi bagi
masing-masing wilayah di DAS Konaweha.
Selain itu hingga saat ini belum ada kebijakan penggunaan lahan alternatif
di DAS Konaweha, khususnya kebijakan yang berkaitan dengan keberlanjutan
ketersediaan air jangka panjang. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan
konflik kepentingan antar wilayah yang memanfaatkan jasa DAS Konaweha
sebagai sumber air bersih.
Dalam rangka mencari alternatif untuk menyelesaikan berbagai masalah
sebagaimana diuraikan terdahulu, maka diperlukan penelitian komprehensif dan
mendalam. Oleh karena itu, maka penelitian tentang “Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS
Rumusan Masalah
DAS Konaweha yang merupakan DAS terbesar di Sulawesi Tenggara
mempunyai masalah yang cukup kompleks. Masalah tersebut akan semakin
kompleks jika dikaitkan dengan pemanfaatan sumberdaya lahan termasuk hutan
dan air. Beberapa masalah yang mungkin akan terjadi di DAS Konaweha adalah
sebagai berikut:
1. Defisit air; Kecenderungan penurunan debit minimum dan peningkatan debit
maksimum akibat perubahan penggunaan lahan khususnya hutan sangat
berpotensi menyebabkan terjadinya defisit air. Masalah ini akan semakin
besar seiring dengan peningkatan kebutuhan air sektor domestik, industri dan
irigasi di DAS Konaweha.
2. DAS Konaweha yang secara administrasi meliputi Kabupaten Konawe,
Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari memanfaatkan jasa lingkungan
DAS Konaweha sebagai sumber air selama ini belum memberikan kontribusi
memadai terhadap biaya pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air.
Alokasi biaya pemeliharaan fungsi DAS yang bersumber dari manfaat
ekonomi air hingga saat ini belum bisa direalisasikan karena belum adanya
besaran proporsi masing-masing daerah otonom dalam pembiayaan.
3. DAS Konaweha merupakan DAS regional yang secara administrasi terdiri
dari Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari belum
ada regulasi yang mengatur kebijakan penggunaan lahan alternatif yang dapat
menjamin ketersediaan air jangka panjang.
Kerangka Pemikiran
Defisit air yang tercermin dari penurunan debit minimum dan peningkatan
debit maksimum Sungai Konaweha diduga disebabkan oleh perubahan
penggunaan lahan khususnya perubahan luas hutan. Perubahan penggunaan lahan
ini tidak terlepas dari aspek pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan
Perubahan penggunaan lahan khususnya penggunaan lahan hutan menjadi
non hutan akan meningkatkan aliran permukaan dan penurunan kapasitas infiltrasi
tanah sehingga sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan dan terbuang
ke laut. Pada saat yang sama maka jumlah air yang masuk dan tersimpan di
dalam tanah juga berkurang akibat penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga
akan mengurangi jumlah aliran dasar (baseflow). Aliran dasar inilah yang
diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air jangka panjang.
Penurunan kapasitas infiltrasi tanah dan peningkatan aliran permukaan
akan menyebabkan pola distribusi air yang tidak merata, artinya ada waktu-waktu
tertentu terjadi kelebihan air yang tidak termanfaatkan, dan sebaliknya pada waktu
lainnya terjadi kekurangan air. Kelebihan air yang terjadi pada musim hujan
sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pada
musim kemarau sehingga sebagian besar air hujan yang jatuh akan menjadi aliran
permukaan dan hilang ke laut.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut
di atas adalah bagaimana mengoptimalkan jumlah air hujan yang masuk ke dalam
tanah pada musim hujan sehingga tidak hilang ke laut, guna memenuhi kebutuhan
air pada musim kemarau. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
memanfaatkan kelebihan air adalah dengan menyimpan air di dalam tanah melalui
peningkatan kapasitas infiltrasi tanah. Upaya ini diharapkan dapat menyimpan air
hujan yang jatuh pada musim hujan kemudian air tersebut akan mengalir kembali
secara perlahan-lahan melalui aliran dasar pada musim kemarau.
Pada konteks hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan
ketersediaan air, maka penataan pengguaan lahan diharapkan dapat menurunkan
aliran permukaan dan meningkatkan jumlah air hujan yang masuk dan tersimpan
di dalam tanah sehingga akan meningkatkan aliran dasar (baseflow) atau aliran
sungai. Penurunan aliran permukaan ini akan menurunkan debit maksimum
sungai akibat sebagian air hujan tersimpan di dalam tanah dan menjadi aliran
dasar (aliran sungai). Akibatnya distribusi bulanan aliran sungai diharapkan
Perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha yang dikhawatirkan akan
menyebabkan defisit air perlu dikendalikan dan diatur berdasarkan proporsi luas
masing-masing jenis penggunaan lahan yang dapat menjamin ketersediaan air
jangka panjang. Status neraca ketersediaan dan kebutuhan air di DAS Konaweha
merupakan salah satu cara untuk menentukan penggunaan lahan alternatif di DAS
Konaweha.
Kebijakan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha ditentukan
berdasarkan indikator biofisik (debit minimum lebih dari atau sama dengan
kebutuhan air), indikator ekonomi (penerimaan lebih besar dari biaya yang
digunakan) dan indikator sosial (dapat diterima, tidak bertentangan dengan
kebiasaan masyarakat dan dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat dengan
pengetahuan yang mereka miliki).
Kebijakan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha yang
merupakan DAS terbesar di Sulawesi Tenggara mencakup Kabupaten Konawe,
Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari perlu disepakati dan diatur agar tidak
terjadi konflik. Salah satu aspek yang perlu diatur adalah tanggung jawab
pembiayaan untuk pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air berdasarkan
nilai manfaat ekonomi air yang diperoleh masing-masing kabupaten/kota.
Diagram kerangka berpikir penelitian analisis penggunaan lahan alternatif
untuk menjamin ketersediaan sumberdaya air di DAS Konaweha Provinsi
:
Volume Air Hilang ke Laut Meningkat
Curah Hujan
Surplus Defisit
STOP LANJUT
Gambar 1. Kerangka Berpikir Analisis Penggunaan Lahan Alternatif untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian : (1) mengkaji perubahan penggunaan lahan dan
pengaruhnya terhadap sumberdaya air di DAS Konaweha; (2) mengkaji
ketersediaan dan kebutuhan air serta proporsi luas hutan minimal yang harus
dipertahankan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha;
(3) mengkaji proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air
bagi kabupaten/kota untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air; dan (4)
mengkaji kebijakan penggunaan lahan alternatif yang dapat menjamin
Kebaruan (Novelty)
Hasil penelitian yang berjudul “Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi
Sulawesi Tenggara” menemukan kebaruan (novelty) yang sifatnya tidak bertentangan bahkan memperkuat atau menyempurnakan temuan atau teori-teori
yang ada selama ini. Kebaruan tersebut adalah:
1. Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan dalam suatu DAS
ditentukan atas dasar besarnya debit minimum yang dihasilkan untuk
memenuhi kebutuhan air dengan besaran lebih dari atau sama dengan
kebutuhan air.
2. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang secara administrasi mencakup lebih dari
satu daerah otonom dan memanfaatkan air dari DAS tersebut, maka tanggung
jawab masing-masing daerah otonom terhadap pembiayaan pemeliharaan
fungsi DAS dalam menjaga tata air didasarkan pada proporsi nilai ekonomi air
yang dimanfaatkan masing-masing daerah otonom terhadap total nilai
ekonomi air yang digunakan. Hal ini sejalan dengan prinsip PES (payment of
environmental services) yakni siapa saja yang memanfaatkan jasa lingkungan
termasuk air harus membayar jasa tersebut.
Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian
Batasan dan ruang lingkup penelitian Analisis Alternatif Penggunaan Lahan
untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi
Sulawesi Tenggara perlu dirumuskan untuk memberikan arah yang jelas tentang
penelitian. Batasan dan ruang lingkup tersebut adalah sebagai berikut :
1. Lokasi penelitian adalah DAS Konaweha yang berada di Provinsi Sulawesi
Tenggara yang meliputi 3 kabupaten dan 1 kota yakni Kabupaten Konawe,
2. Penelitian aspek kebutuhan air domestik dan kebutuhan air industri dilakukan
di seluruh DAS Konaweha ditambah dengan wilayah di Kota Kendari yang
berada di luar DAS Konaweha namun menggunakan air yang bersumber dari
DAS Konaweha. Penelitian kebutuhan air irigasi dilakukan di dalam DAS
Konaweha yakni di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten
Kolaka.
3. Penelitian aspek ketersediaan air (aspek hidrologi) dilakukan di DAS
Konaweha Hulu yang meliputi kawasan Irigasi Wawotobi sampai ke hulu
DAS Konaweha. Penelitian curah hujan difokuskan pada kajian tentang curah
hujan rata-rata dan distribusi curah hujan bulanan di DAS Konaweha.
4. Penelitian aspek hidrologi difokuskan pada kajian kondisi hidrologi DAS
Konaweha Hulu. Aspek-aspek hidrologi yang dikaji adalah koefisien aliran
permukaan dan debit minimum dalam kaitannya dengan perubahan
penggunaan lahan.
5. Penelitian tentang perubahan penggunaan lahan difokuskan pada perubahan
penggunaan lahan dominan dalam kaitannya dengan pertumbuhan populasi
penduduk di DAS Konaweha.
6. Penelitian neraca ketersediaan dan kebutuhan air didasarkan pada ketersediaan
dan kebutuhan air minimum pada bulan tertentu sedangkan bulan-bulan
lainnya diabaikan dalam analisis.
7. Penelitian tentang nilai ekonomi sumberdaya alam difokuskan pada nilai
ekonomi hasil hutan non kayu, meliputi nilai ekonomi flora dan fauna (rotan
dan madu), penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan, dan nilai
keberadaan. Nilai ekonomi air yang diteliti adalah nilai ekonomi air yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik, industri dan irigasi.
Penelitian tentang nilai ekonomi hasil hutan non kayu dan nilai ekonomi air
dilakukan di seluruh DAS Konaweha.
8. Penelitian aspek sosial difokuskan pada persepsi para pihak yang terkait
9. Penelitian aspek proporsi tanggung jawab pembiayaan masing-masing
kabupaten/kota difokuskan pada nilai ekonomi air yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan sektor domestik, industri dan irigasi.
10. Penentuan penggunaan lahan alternatif didasarkan pada hasil kajian aspek
lingkungan, ekonomi dan sosial.
11. Ketersediaan air adalah jumlah air yang berasal dari debit sungai dan tersedia
setiap saat guna memenuhi kebutuhan domestik, industri dan irigasi.
12. Kebutuhan air adalah jumlah air yang dibutuhkan untuk keperluan sektor
domestik, industri dan sektor pertanian (irigasi) serta air yang harus tetap
menggelontor di sungai.
13. Air sungai yang menggelontor adalah air yang harus tetap mengalir agar
fungsi sungai baik fungsi ekologi maupun fungsi ekonomi tetap terjaga.
14. Defisit air adalah suatu keadaan dimana jumlah air tersedia tidak dapat
mencukupi kebutuhan air domestik, industri, irigasi dan air yang harus tetap
Sejalan dengan meningkatnya pembangunan pada berbagai bidang, maka
kebutuhan untuk mendapatkan sumberdaya air juga meningkat, baik kuantitas
maupun kualitas. Sementara itu fasilitas pelayanan prasarana dasar penyediaan
air belum mampu memenuhi peningkatan kebutuhan tersebut. Fauzi (2004)
mengemukakan bahwa seiring dengan bertambahnya penduduk dan eskalasi
pembangunan ekonomi, maka fungsi ekonomi dan sosial air sering terganggu
karena semakin kritisnya suplai air sementara permintaan terus meningkat.
Permasalahan air yang banyak timbul pada umumnya diakibatkan oleh
ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan, kualitas serta cara pandang
masyarakat tentang ketersediaan air (Kodoatie, et al., 2002), antara lain : (1)
permintaan terhadap penyediaan air meningkat, sementara itu ketersediaan air dan
prasaranya semakin terbatas; (2) tingkat pencemaran air dan badan air terus
berlangsung sehingga mencapai keadaan yang memprihatinkan; (3) tingkat
penghayatan kondisi krisis (sense of crisis), rasa memiliki dan partisipasi
masyarakat terhadap pengelolaan air masih relatif rendah; dan (4) tingginya
kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air (catchment area), tingginya erosi,
dan ancaman banjir.
Krisis air akhir-akhir ini telah melanda berbagai negara di dunia termasuk
juga Indonesia. Air yang merupakan kebutuhan esensial berbagai aktivitas
manusia telah menjadi barang langka sejak terjadinya peningkatan aktivitas
manusia dengan pesat. Sementara itu total air bersih yang tersedia di berbagai
negara cenderung menjadi terbatas. Jumlah populasi penduduk dan ketersediaan
air per kapita berbagai negara di dunia menjadi isu yang sangat menarik
(International Water Management Institute, 2006).
Biswas (1997) mengemukakan bahwa Canada dengan jumlah penduduk
29.1 juta pada tahun 1994 mempunyai angka ketersediaan air tertinggi yakni
mempunyai angka ketersediaan air 75,74 ribu m3 per kapita, sedangkan tahun
2050 diperkirakan jumlah penduduknya mencapai 39.9 juta dengan angka
ketersediaan air sebesar 72.70 ribu m3 per kapita. Penduduk Indonesia pada
tahun 1994 yang berjumlah 189.9 juta mempunyai angka ketersediaan air sebesar
13.32 ribu m3 per kapita, tahun 2025 dengan jumlah penduduk 275.6 juta
mempunyai angka ketersediaan air 9.17 ribu m3 per kapita, sedangkan tahun 2050
diperkirakan jumlah penduduknya mencapai 318.8 juta dengan angka
ketersediaan air 7.94 ribu m3 per kapita.
Laporan International Water Management Institute (IWMI, 2006) bahwa
Amerika Serikat, Cina dan India mencapai angka rata-rata penggunaan air
tahunan yakni masing-masing 477.000 km3, 549.760 km3 dan 645.840 km3 dari
tahun 1996-2002 (Tabel 1).
Tabel 1. Penggunaan Air Total dan Rata-rata Tahunan beberapa Negara di Dunia Tahun 1996-2002.
No. Negara Penggunaan
Air (km3)
Penggunaan Per Kapita (m3/Tahun)
Tahun Data
1. USA 477.000 1.686 2000
2. Canada 44.720 1.386 1996
3. Mesir 68.300 923 2000
4. Finlandia 2.330 444 1999
5. Belgia 7.440 714 1998
6. Panama 820 254 2000
7. India 645.840 585 2000
8. China 549.760 415 2000
9. Polandia 11.730 304 2002
10. Afrika Selatan 12.500 264 2000
Sumber : International Water Management Institute (2006).
Tabel 1 menunjukkan bahwa USA menggunakan air 477.000 km3 setiap
tahun, China sebesar 549.760 km3, India sebesar 645.840 km3. Mesir
menggunakan air rata-rata setiap tahun sebesar 68.000 km3, Canada hanya 44.720
km3, sedangkan negara lainnya menggunakan air kurang dari 10 km3 per tahun,
kecuali Polandia dan Afrika Selatan masing-masing 11.730 km3 setiap tahun dan
Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa penggunaan air per kapita per tahun
USA mencapai angka tertinggi dengan nilai 1.686 m3/kapita/tahun, sedangkan
Canada dan Mesir masing-masing sebesar 1.386 m3/kapita/tahun dan 923
m3/kapita/tahun. Angka-angka tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan penggunaan air rata-rata negara-negara lainnya seperti Belgia, India dan
Cina masing-masing sebesar 714 m3/kapita/tahun, 585 m3/kapita/tahun dan 415
m3/kapita/tahun. Sedangkan penggunaan air rata-rata Finlandia, Panama,
Polandia dan Afrika Selatan masing-masing sebesar 444 m3/kapita/tahun, 254
m3/kapita/tahun, 304 m3/kapita/tahun dan 264 m3/kapita/tahun.
Penggunaan air tiga sektor yakni sektor domestik, industri dan pertanian
negara-negara di dunia menunjukkan angka yang cukup bervariasi. Proporsi
penggunaan air masing-masing sektor juga cukup bervariasi tergantung dari
kondisi kependudukan, pertumbuhan industri dan pembangunan sektor pertanian.
Penggunaan air sektor domestik, industri dan pertanian beberapa negara di dunia
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Proporsi Penggunaan Air Rata-rata Sektor Domestik, Industri dan Pertanian beberapa Negara di Dunia Tahun 1996-2002.
No. Negara Penggunaan Air Sektor (%) Tahun Data
Domestik Industri Pertanian
1. USA 13 46 41 2000
2. Canada 20 68 12 1996
3. Mesir 8 6 86 2000
4. Finlandia 14 83 3 1999
5. Belgia 13 85 2 1998
6. Panama 67 5 28 2000
7. India 8 5 87 2000
8. China 7 25 68 2000
9. Polandia 13 79 8 2002
10. Afrika Selatan 31 6 63 2000
Tabel 2 menunjukkan bahwa 13 % penggunaan air di USA tahun 2000
adalah untuk memenuhi kebutuhan domestik, 46 % untuk kebutuhan industri dan
41 % untuk memenuhi kebutuhan sektor pertanian. Sebagian besar penggunaan
air untuk Panama adalah untuk memenuhi kebutuhan domestik yakni 67 %, dan
hanya 28 % untuk kebutuhan pertanian serta 5 % untuk kebutuhan industri.
Sebagian besar (87 %) penggunaan air India adalah untuk memenuhi kebutuhan
sektor pertanian dan hanya 8 % untuk memenuhi kebutuahan domestik dan 5 %
untuk kebutuhan industri.
Penggunaan air harian rumah tangga kota untuk air minum adalah 8 galon
per hari atau sekitar 2,0 % dari total penggunaan rumah tangga. Penggunaan
untuk toilet cukup besar yakni sekitar 96 galon per hari atau sekitar 28,0 % dari
total penggunaan rumah tangga. Penggunaan untuk kebutuhan mandi yaitu 80
galon per hari atau sekitar 23 % dari total penggunaan keluarga (Ward and Elliot,
1995).
Menurut proyeksi IFPRI (International Food Policy Research Institute),
kebutuhan air Indonesia tahun 2020 untuk keperluan pertanian, industri dan
domestik dibandingkan tahun 1995 meningkat berturut-turut 25 persen, 300
persen dan 400 persen, padahal secara kuantitas volume air yang ada relatif
konstan. Bahkan air yang dapat digunakan (utilizable) cenderung menurun
antara lain akibat pencemaran dan kerusakan biofisik DAS. Salah satu
indikatornya adalah tingginya fluktuasi debit pada musim hujan dan musim
kemarau serta rentannya (susceptible) pasokan air akibat deraan anomali iklim
seperti elnino dan lanina (Suara Merdeka, 2004). Masalah air bukan hanya
masalah penyediaan air bersih untuk konsumsi manusia, melainkan juga
menyangkut berbagai keperluan lain. Air buangan (wastewater) harus didaur
ulang untuk mengurangi pencemaran.
Tingkat kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi
dalam tiga kelompok besar (Dyah, 2000), yakni : kebutuhan domestik, kebutuhan
irigasi pertanian dan kebutuhan industri. Sejalan dengan pertambahan penduduk
Tingkat kebutuhan air terbesar di Indonesia berdasarkan sektor kegiatan
dapat dibagi dalam tiga kelompok besar (Dyah, 2000), yakni : kebutuhan
domestik, kebutuhan irigasi pertanian dan kebutuhan industri. Pada tahun 1990
kebutuhan air untuk domestik, irigasi dan industri berturut-turut adalah : 3,2 x 109
m3/tahun, 74,9 x 109 m3/tahun, dan 0,70 x 109 m3/tahun. Pada tahun 2000
kebutuhan air masing-masing sektor berturut-turut : 3,5 x 109 m3/tahun, 82,4 x
109 m3/tahun, dan 0,79 x 109 m3/tahun (Isnugroho, 2002). Angka-angka tersebut
menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun maka kebutuhan air untuk
sektor domestik dan irigasi meningkat 9 % dan sektor industri sebesar 11 %.
Hasil perbandingan yang dilakukan sejak tahun 1990 hingga tahun 2000
antara ketersediaan dan kebutuhan air menunjukkan bahwa ketersediaan air
khususnya di Pulau Jawa dan Bali telah mengalami tingkat yang kritis. Kondisi
kritis ini juga terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan (Dyah, 2000).
Apabila kondisi tersebut terus berlanjut, maka akan terjadi keterbatasan
pengembangan dan pelaksanaan pembangunan di daerah-daerah tersebut karena
daya dukung sumberdaya air yang telah terlampaui.
Faktor Penyebab dan Dampak Perubahan Penggunaan Lahan
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan
termasuk deforestasi antara lain adalah faktor demografi (kependudukan), sosial
ekonomi dan faktor biofisik. Faktor demografi antara lain meliputi jumlah
penduduk dan pertumbuhan penduduk, struktur penduduk (umur dan jenis
kelamin), dan jumlah kepala keluarga. Faktor sosial ekonomi antara lain meliputi
tingkat pendidikan, tingkat pendapatan keluarga, dan jenis mata pencaharian.
Sedangkan faktor biofisik antara lain jenis tanah dan kemiringan lereng (Mena,
Walsh and Bilsborrow, 2010).
Perubahan penggunaan lahan berhubungan erat dengan peningkatan
kebutuhan barang dan jasa yang membutuhkan lahan. Peningkatan jumlah
penduduk akan menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, sandang dan
secara langsung perubahan penggunaan lahan melalui konversi lahan untuk
perluasan areal pertanian. Peningkatan kebutuhan energi atau bahan bakar seperti
ethanol akan menyebabkan peningkatan luas lahan pertanian (Marshall, et al.,
2011). Lebih lanjut Barbieri (2006) mengemukakan bahwa faktor penting yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan adalah mobilitas penduduk.
Analisis perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan Conversion
of Land Use and its Effects (CLUE-s) model dijelaskan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sangat kompleks, namun demikian
faktor-faktor tersebut secara garis besar terdiri dari faktor kebutuhan lahan (land
demand), perubahan populasi penduduk (changes in population), alokasi lahan
(land allocation) dan perubahan produksi pertanian (changes in yield of
agriculture) (Verburg, et al., 1999; Verburg, et al., 2011). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa analisis perubahan penggunaan lahan dengan model CLUE-s
menggunakan variabel kebutuhan tutupan lahan (land cover demand), kesesuaian
lokasi (location suitability), dan karakteristik konversi lahan (land conversion
characteristics) (Fox, et al., 2011). Pola perubahan penggunaan lahan khususnya
lahan pertanian dipengaruhi oleh faktor ketinggian tempat (elevation), kemiringan
(slope) dan kepadatan penduduk (population density) (Huang, Cai and Peng,
2007). Selanjutnya Wainger, Rayburn dan Price (2007) mengemukakan bahwa
perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh kebutuhan energi khususnya bio
energi yang bersumber dari pertanian. United State Environmental Protection
Agency (USEPA) melaporkan bahwa pertumbuhan penduduk dan pola
penggunaan lahan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan (Environmental
Protection Agency, 2000). Perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh hasil
interaksi yang kompleks antara faktor-faktor manusia dan faktor lingkungan
(Schaldach and Priess, 2008).
Kondisi sumberdaya lahan saat ini berada dalam tekanan yang serius
akibat pertambahan jumlah penduduk dan aktivitas ekonominya. Saat ini paling
angka tersebut menunjukkan kecenderungan yang meningkat terus (UNEP and
FAO, 1999).
Daerah-daerah tropis mengalami kejadian dramatis pada bidang
perubahan penggunaan lahan selama beberapa dekade terakhir akibat
pertumbuhan penduduk yang cepat, perubahan orientasi ekonomi dari subsisten
ke orientasi pasar, instabilitas politik dan konflik sumberdaya bagi para pihak.
Forest Resources Assessment (FRA) dan Food Agricultural Organization (FAO)
memperkirakan bahwa perubahan penggunaan lahan menyebabkan kehilangan
hutan alam tropis di dunia sudah sangat menghawatirkan. FRA memperkirakan
pada era tahun 1990 – 2000 bahwa total hutan alam tropis dunia yang hilang adalah 9 juta hektar, dibandingkan dengan perhitungan FAO bahwa pada kurun
waktu yang sama adalah 11,3 juta hektar dan periode 1990 – 1995 mencapai angka 13 juta hektar. Selanjutnya FRA memperkirakan bahwa pada periode
tahun 2000 hingga sekarang telah terjadi kehilangan hutan alam tropis seluas 14,9
juta hektar dengan laju deforestasi rata-rata sebesar 0.7 % per tahun (Drigo,
2005).
Penyusutan luas hutan tersebut di atas masing-masing untuk Benua
Amerika, Afrika, serta Benua Asia dan Oceania menunjukkan bahwa Benua
Amerika mempunyai tingkat penyusutan luas hutan terbesar baik periode
1990-2000, maupun periode 2000-sekarang sebagaimana disajikan pada Gambar 2.
5.69
Sumber : Diadaptasi dari Drigo (2005).
Gambar 2 menunjukkan bahwa kehilangan hutan alam tropis Benua
Amerika pada periode 1990-2000 adalah 5.69 juta hektar, sedangkan periode
2000-sekarang mencapai 4.69 juta hektar. Benua afrika mengalami kehilangan
hutan tropis sebesar 3.7 juta hektar pada periode 1990-2000, sedangkan pada
periode 2000-sekarang meningkat menjadi 5.43 juta hektar. Kehilangan hutan
alam tropis Benua Asia dan Oceania pada era 1990-2000 adalah 3.51 juta hektar,
sedangkan periode 2000-sekarang menjadi 4.81 juta kehtar.
Asia Tenggara merupakan wilayah yang mempunyai hutan tropis dengan
laju degradasi yang serius sejak waktu lampau, namun percepatan degradasi hutan
tropis di Asia Tenggara baru terjadi pada era 1970an guna memperoleh
pendapatan untuk pembiayaan pembangunan negara. Pada tahun 1980an laju
deforestasi untuk Kamboja adalah sekitar 60.000 hektar per tahun, sedangkan
Indonesia sudah mencapai 600.000 hektar per tahun. Dua puluh tahun kemudian,
maka laju deforestasi Indonesia menjadi tidak terkendali yakni mencapai
1.600.000 hektar per tahun dan tinggal menyisakan kawasan hutan seluas 93 juta
hektar tahun 2000 dibandingkan tahun 1980 dengan luas kawasan hutan 120 juta
hektar (Murdiyarso, 2005).
Dampak hidrologi perubahan penggunaan lahan dapat berupa jumlah
maupun kualitas air. Selanjutnya dijelaskan bahwa dampak perubahan
penggunaan lahan dalam hubungannya dengan aspek hidrologi (Bonell and
Bruijnzeel, 2005) adalah : (1) erosi meningkat dengan terganggunya hutan; (2)
laju sedimentasi meningkat akibat peningkatan erosi dan perubahan penutupan
tanah; (3) kehilangan unsur hara akibat peningkatan pencucian (leaching); (4)
produksi air (water yield) dalam hal ini ditribusi bulanan menurun seiring dengan
penurunan evapotranspirasi vegetasi; (5) aliran air musiman khususnya aliran
dasar (baseflow) akan menurun seiring dengan penurunan kapasitas infiltrasi
tanah dan peningkatan aliran permukaan; (6) aliran puncak (peakflow) akan
meningkat seiring dengan berkurangnya penutupan tanah; dan (7) pengisian air
dampak perubahan penggunaan lahan terhadap jumlah air meliputi : (1) hasil air
tahunan; (2) aliran air musiman; (3) aliran puncak; dan (4) level air tanah.
Menurut Barbier (1995) kehilangan keanekaragaman hayati memberikan
konsekuensi hilangnya nilai ekonomis potensial dari hutan seperti: produk hutan
non kayu, bahan genetik untuk industri farmasi, bioteknologi, ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta jenis-jenis kayu yang tidak dipasarkan. Pengukuran
keanekaragaman jenis merupakan cara untuk menilai dampak kerusakan
lingkungan.
Deforestasi juga memberikan dampak tidak langsung terhadap jasa
keberadaan hutan untuk turisme dan rekreasi serta pendidikan, juga mempunyai
dampak nyata terhadap kesejahteraan manusia melalui perlindungan DAS,
pengaturan iklim dan penyedia karbon. Dengan demikian deforestasi
menyebabkan hilangnya manfaat dari sumberdaya hutan sehingga menimbulkan
kerugian ekonomi yang seharusnya dapat diperoleh. Kerugian ekonomi yang
hilang dan berdampak pada timbulnya biaya akibat kebakaran hutan dapat
disetarakan dengan istilah biaya kesempatan atau opportunity cost dalam ilmu
ekonomi (Field, 1994; Pearce dan Moran, 1994).
Perubahan penggunaan lahan akan mempengaruhi aktivitas ekonomi baik
langsung maupun tidak langsung. Semakin intensifnya penggunaan lahan dan
pertumbuhan penduduk akan menyebabkan eksploitasi biomassa dan spesies
tertentu sehingga tidak cukup waktu bagi vegetasi tersebut untuk melakukan
regenerasi ketika dieksploitasi kembali, terjadi eksploitasi besar-besaran vegetasi
tertentu, sehingga akan memicu pembangunan infrastruktur lainnya. Selanjutnya
dijelaskan bahwa perubahan fungsi hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan
akan berpengaruh terhadap aspek ekonomi baik di kawasan hulu (upstream)
maupun di kawasan hilir (downstream). Beberapa dampak ekonomi perubahan
penggunaan lahan (Aylward, 2005) di kawasan hulu antara lain : penurunan
produktivitas yang menyebabkan penurunan pendapatan, kehilangan potensi
kayu, kayu bakar dan hasil-hasil non kayu, kehilangan potensi penyerap karbon,
Kerugian ekonomi di kawasan hilir antara lain adalah berkurangnya pasokan air
bersih untuk kebutuhan rumah tangga, penurunan pasokan air untuk pembangkit
tenaga listrik, kehilangan produksi sawah akibat penurunan pasokan air irigasi,
peningkatan biaya yang diperlukan untuk pengolahan air bersih akibat
bahan-bahan pencemar yang terangkut, penurunan potensi wisata, dan peningkatan
biaya untuk mitigasi banjir dan lain-lain.
Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi non hutan, permukiman
dan kawasan industri akan meningkatkan koefisien limpasan, akibatnya banjir
akan meningkat baik besaran maupun frekuensinya. Banjir yang diakibatkan oleh
meningkatnya koefisien limpasan DAS sesungguhnya harus dapat dicegah oleh
manusia. Namun pada kenyataannya banjir yang diakibatkan oleh faktor inilah
yang paling banyak terjadi di Indonesia (Sinukaban, 2008).
Penurunan jumlah aliran permukaan sangat nyata dengan meningkatnya
tingkat penutupan permukaan tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perbandingan besarnya aliran permukaan pada lokasi dengan penutupan dan tanpa
penutupan jerami, maka penurunan besarnya aliran permukaan berkisar antara 10
sampai 85 persen (Sinukaban, 1987 dalam Sinukaban, 2008).
Fungsi Hutan dalam Menjaga Tata Air
Hutan sebagai suatu ekosistem mempunyai fungsi atau manfaat yang
bermacam-macam, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Menurut
Gregory (1972), hutan selain berfungsi sebagai kawasan produksi yang berperan
dalam produksi kayu dan produk hasil hutan non kayu lainnya yang memiliki
fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat, tetapi juga mempunyai fungsi rangkap
sebagai pelindung tanah, air, iklim, dan lain-lain (fungsi hidrologis atau ekologis),
bahkan fungsi yang lain seperti sumber plasma nutfah dan keanekaragaman
hayati.
Hutan merupakan penggunaan lahan paling baik dalam fungsinya sebagai
menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga terjadi peningkatan
aliran permukaan dan percepatan erosi tanah, bahkan dapat menyebabkan
perubahan karakteristik pasokan air. Total hasil air (water yield) yang keluar dari
suatu DAS meningkat, begitu juga dengan perbedaan hasil air antara musim
kemarau dan musim hujan (Purwanto dan Ruijter, 2004; Chandler dan Suyanto,
2004). Dumairy (2002) mengemukakan bahwa tindakan yang harus dilakukan
untuk memperbaiki pasokan air adalah merubah penggunaan lahan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa hutan mempengaruhi infiltrasi dan
kandungan lengas tanah. Secara umum laju infiltrasi di hutan lebih tinggi dari
jenis penggunaan lahan lainnya karena banyaknya pori-pori hayati (biofor) di
dalam tanah. Pori-pori hayati terjadi karena adanya aktivitas fauna tanah, akar
dan kandungan bahan organik yang tinggi. Keberadaan seresah daun dapat
melindungi pori-pori tanah dari penyumbatan, oleh karena itu tanah hutan
mempunyai kemampuan menyimpan air yang tinggi. Jika intensitas hujan di
bawah hutan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, maka kelebihan air yang tidak
terserap oleh tanah akan mengalir sebagai aliran permukaan. Air yang terinfiltrasi
akan meresap ke dalam tanah tergantung pada daya hantar hidrolik vertikal dan
lateral, kelembaban tanah dan kecuraman lereng dengan melalui satu atau lebih
alur untuk menuju ke sungai utama. Hutan memiliki daya tampung dan daya
infiltrasi air yang tinggi, karena itu aliran permukaan jarang terjadi pada lahan
hutan. Tingginya kemampuan infiltrasi tanah hutan, maka air dapat dengan
mudah mencapai sistem air tanah (ground water), sehingga jumlah air yang
ditampung pada “reservoir” air tanah menjadi tinggi. Air ini dilepaskan lagi
secara bertahap sebagai aliran dasar (baseflow) ke sungai (Purwanto dan Ruijter,
2004).
Hutan bersifat seperti busa (sponge), mengisap air dari tanah di musim
hujan dan melepaskannya sedikit-demi sedikit di musim kemarau ketika terjadi
kekurangan air. Menurunnya penutupan hutan akan menyebabkan berkurangya
pasokan air pada musim kemarau sehingga menyebabkan kekurangan air. Oleh