• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di Provinsi Jambi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya serta kebijakan ke depan (kajian di Provinsi Jambi)"

Copied!
351
0
0

Teks penuh

(1)

SERTA KEBIJAKAN KE DEPAN

(Kajian di Provinsi Jambi)

JUNAIDI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Interaksi dengan Wilayah Sekitarnya serta Kebijakan Ke Depan (Kajian di Provinsi Jambi) adalah karya saya dengan arah komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini

Bogor, Juli 2012

Junaidi

(3)

long enough. During the implementation, transmigration program have shown varying degree of success, in turn becomes one of the flagship program to develop nation self-reliance. In autonomy era, transmigration still becomes a development model, but there has been a decline in migrant placement. This study aimed to: (1) develop measurement and analyze development stadia of the ex-transmigration villages in Jambi Province, (2) analyze factors that influence the development of ex-transmigration villages in Jambi Province, (3) analyze the socio-economic conditions of ex-transmigration villages population in Jambi Province, and (4) analyze the linkages and factors that affecting ex-transmigration villages linkage to surrounding area in the province of Jambi. The study was conducted in ex-transmigration villages in Jambi Province. Factor, cluster and discriminate analysis used to measure villages develop stadia. Ordinal logic regression model used to analyze the factors that affect village development stadia. Interaction between ex-transmigration village and surrounding area was approached by population movement and binary logic regression model used to analyze resident’s trip to work and shopping. The study found three variables to measure village’s development stadia namely the percentage of permanent housing (welfare indicator), the ratio of agricultural industry to population (non-agricultural indicator) and the percentage of (non-agricultural area ((non-agricultural activity indicator). Concurrent with village’s development stadia, non-agricultural and agriculture activities also increase. Increasing village’s development stadia was indicated by growing of non-agricultural activities from the fulfillment of primary needs towards secondary/tertiary needs of the population. Development of ex-transmigration villages is determined by various factors including the distance of residential to activity centers, particularly road infrastructure, major transmigration commodities, transmigration characteristics, duration of migrant’s placement, as well as macroeconomic performance of the regency. The study also found low interaction between ex-transmigration with non transmigration villages. The low interaction is caused by : 1) underdeveloped of various facilities and production activities in the sorrounding villages that has functionally linkages with ex-transmigration villages ; 2) relative far distance and non existing reliable transportation infrastructure that link the ex-transmigration village with the surrounding villages; 3) weak efforts of social capital development at the community level. Working trip models show that individuals who work outside the village tend to be younger, better educated, family’s member, differ by region of origin and village stadia. Family shopping trip model show that family with high shopping proportion to outside the village is family with younger wife, have better education, older children, higher children income and higher family income per capita

(4)

Sekitarnya serta Kebijakan Ke Depan (Kajian di Provinsi Jambi). Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, SLAMET SUTOMO dan BAMBANG JUANDA.

Pelaksanaan transmigrasi sebagai salah satu program kependudukan di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Dalam pelaksanaannya, program transmigrasi telah menunjukkan berbagai keberhasilan, sehingga transmigrasi selama beberapa dekade menjadi salah satu program “unggulan” dalam membangun kemandirian bangsa melalui pengembangan potensi sumberdaya wilayah. Transmigrasi juga dapat menjadi contoh khas dan strategi pengembangan wilayah “original” Indonesia dan sumber pembelajaran berharga dalam pengembangan wilayah.

Di era otonomi telah terjadi penurunan penempatan transmigran. Selain masalah-masalah keterbatasan lahan, lemahnya kelembagaan penyelenggaraan transmigrasi era otonomi di daerah serta rendahnya inisiatif daerah dalam membangun transmigrasi, penurunan ini lebih disebabkan oleh berbagai faktor: Pertama, adanya berbagai stigma negatif dalam pelaksanaan transmigrasi. Kedua, program transmigrasi memang telah berhasil membangun desa-desa baru, namun sebagian diantaranya belum sepenuhnya mencapai tingkat perkembangan secara optimal yang mampu menopang pengembangan wilayah dan bahkan sebagian diantaranya direlokasi karena kondisinya dinilai tidak layak untuk berkembang. Ketiga, pembangunan transmigrasi juga dipandang bersifat eksklusif sehingga kurang adanya keterkaitan secara fungsional dengan lingkungan sekitarnya. Ini menyebabkan desa-desa transmigrasi yang berhasil cenderung tumbuh menjadi kawasan enclave yang berhasil meningkatkan kesejahteraan transmigran, namun kontribusi pada pengembangan wilayah sekitarnya relatif rendah.

Bertolak dari hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengembangkan pengukuran dan menganalisis stadia perkembangan desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi; (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi; (3) Menganalisis kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi; (4) Menganalisis keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keterkaitan desa-desa eks transmigrasi terhadap wilayah sekitarnya di Propinsi Jambi

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jambi. Unit analisis terdiri dari tiga tingkatan, yaitu individu, rumah tangga dan desa. Individu adalah anggota rumah tangga. Rumah tangga adalah rumah tangga yang berada di desa sampel. Desa adalah desa eks transmigrasi yaitu unit permukiman transmigrasi yang telah menjadi desa definitif.

Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan pada rumah tangga sampel, menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara terstruktur. Data sekunder yang digunakan bersumber dari PODES 2008, PPLS 2008, Sensus Ekonomi 2006, Provinsi dalam Angka, Kabupaten dalam Angka dan Kecamatan dalam Angka, dan instansi/ lembaga terkait lainnya.

(5)

Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja desa eks transmigrasi digunakan model regresi ordinal logit. Peubah tak bebas (dependent variable) adalah pengkategorian stadia desa eks transmigrasi. Peubah bebas (independent variable) terdiri dari peubah-peubah yang berasal dari model penyelenggaraan transmigrasi (khususnya dalam kelompok seleksi lokasi, komoditas tanaman utama dan seleksi calon transmigrasi) dan peubah-peubah wilayah kabupaten penempatan.

Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi penduduk dilakukan survai pada enam desa terpilih. Masing-masing satu desa stadia perkembangan tertinggi dan terendah untuk pola transmigrasi tanaman pangan, perkebunan karet dan perkebunan sawit. Selanjutnya analisis interaksi wilayah didekati melalui perjalanan penduduk di desa sampel untuk berbagai aktivitas sosial ekonomi. Secara lebih khusus, dilakukan pemodelan pergerakan perjalanan penduduk untuk bekerja dan belanja dengan menggunakan model binary logit.

Hasil penelitian menemukan bahwa perkembangan desa-desa eks transmigrasi dapat ditentukan berdasarkan kesejahteraan penduduk, aktivitas non-pertanian dan aktivitas non-pertanian. Ketiga indikator tersebut pada dasarnya tidak hanya bermanfaat untuk desa-desa eks transmigrasi, tetapi juga dapat digunakan untuk menentukan tahapan perkembangan desa secara umum.

Berkembangnya industri di perdesaan merupakan faktor penting untuk menjamin keberlangsungan kesejahteraan masyarakat. Industri perdesaan akan meningkatkan permintaan dan harga jual produk pertanian, serta meningkatkan produktivitas pertanian melalui penyerapan kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian. Berkembangnya industri perdesaan juga menumbuhan berbagai aktivitas perdagangan dan jasa lainnya sebagai aktivitas pendukungnya.

Bersamaan dengan perkembangan desa, juga terjadi pergeseran dalam pola aktivitas non-pertanian. Jenis-jenis usaha industri, perdagangan dan jasa berkembang dari pemenuhan untuk kebutuhan-kebutuhan primer ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier penduduk.

Perkembangan desa-desa eks transmigrasi ini ditentukan oleh jarak ke pusat kegiatan, sarana-prasarana (terutama sarana jalan), komoditas utama transmigrasi, karakteristik transmigran (dari proses seleksi transmigran), lamanya penempatan transmigran, serta faktor-faktor makro wilayah kabupaten.

Desa-desa yang relatif jauh dari pusat kegiatan kabupaten serta memiliki kualitas jalan kurang memadai cenderung berkembang lebih lambat. Ini menunjukkan lokasi transmigrasi dengan keterkaitan yang kuat pada pusat kegiatan (digambarkan oleh jarak relatif dekat) dan memiliki tingkat kemudahan (aksesibilitas) tinggi menuju lokasi desa akan memiliki peluang lebih besar mencapai stadia perkembangan tinggi.

Komoditi tanaman utama desa juga menunjukkan pengaruh terhadap perkembangan desa. Desa komoditi tanaman pangan cenderung memiliki perkembangan lambat dibandingkan tanaman perkebunan.

(6)

dibandingkan daerah-daerah lainnya. Desa-desa eks transmigrasi dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah cenderung memiliki perkembangan yang lebih baik.

Selanjutnya, perkembangan wilayah kabupaten penempatan juga menjadi faktor penentu perkembangan desa eks transmigrasi. Semakin banyak perusahaan/usaha di kabupaten lokasi penempatan desa eks transmigrasi semakin meningkatkan peluang desa mencapai perkembangan lebih baik. Keberadaan perusahaan/usaha di suatu daerah terkait dengan peluang usaha dan bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk.

Pada tingkat individu/keluarga pencapaian kesejahteraan yang lebih baik pada transmigran dipengaruhi oleh budaya (etos) kerja, pendidikan dan kemampuan mempertahankan kepemilikan lahan.

Hasil penelitian juga menemukan rendahnya interaksi desa-desa eks transmigrasi dengan desa non-transmigrasi. Rendahnya interaksi disebabkan tidak terbangunnya berbagai fasilitas dan tidak tumbuhnya aktivitas produksi di desa-desa sekitar permukiman transmigrasi yang terkait secara fungsional (dalam bentuk supply-demand) dengan desa-desa transmigrasi. Di sisi lain, relatif jauhnya jarak permukiman transmigrasi dan tidak terbangunnya sistem transportasi yang menghubungkan desa transmigrasi dengan desa sekitarnya menjadi faktor yang menghambat terjadinya interaksi.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Mengutip hanya untk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

SERTA KEBIJAKAN KE DEPAN

(Kajian di Provinsi Jambi)

JUNAIDI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof.Dr.Ir Hermanto Siregar, M.Ec Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan,M.Sc.Agr

(10)

rnqele{rcl

l

eloEEuy

.

I900L0z9tH:

Iplurmf :

(rgtuuf rsurnord rp

u€lfry)

uedeq s;X uu>letrqa) pues u,{tuulqeg qufu1116 uuEuep r$l?roluJ uep rse"6nusuerJ s>lg eseq-?seq uuEuuqweryed :

961

"puun1

Euuqurug'rI'rCI Jord

.{m

up"sepred uep qe,(ey16 ueunEtrequred rrsuuucuoJed

ntull

IpqS

unford

unle)

I^IIN 3ru?N eloEEuy

W

@

IEV'oS'IN'tlufs

I

uuelrusucsed rlulo{es

$W;:""

s{tW"WJsF

;\) tHfurBqt-aFiK&J h' --,

?^'"Wlea#.;l$

ffi

(11)

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan ini adalah mengenai perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya di Provinsi Jambi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, Bapak Dr.Slamet Sutomo,SE,MS dan Bapak Prof.Dr.Ir.Bambang Juanda,MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan masukan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para peneliti pada Litbang Ketransmigrasian Kemenakertrans di Jakarta, Kepala dan Staf Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jambi, Kepala Desa Mekar Sari, Lurah Bandar Jaya, Kepala Desa Bukit Mas, Kepala Desa Rasau, Kepala Desa Sungkai dan Kepala Desa Rimbo Mulyo yang banyak menfasilitasi penelitian ini selama di Jambi.

Teramat penting, ucapan terima kasih penulis tujukan kepada orang tua (Ayahanda Syafril dan Ibunda Rismaniar), mertua (Ayahanda Hapiun Nasution dan Ibunda Sri Sutari), isteri tercinta Hardiani, SE, M.Si serta anak-anak tersayang Arwatrisi Ediani, Ikraduya Edian dan Annora Haj Adillah atas semua doa, dukungan, kasih sayang dan pengorbanan yang diberikan.

Akhir kata, meskipun jauh dari kesempurnaan, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak terkait.

Bogor, Juli 2012

(12)

dari pasangan Syafril dan Rismaniar. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1993, penulis diterima di Program Studi Kependudukan Program Pascasarjana UGM dan menamatkannya pada tahun 1996. Kesempatan melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Jambi sejak tahun 1993. Bidang pengajaran yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Teori Ekonomi Kependudukan dan Ekonomi Sumberdaya Manusia, Matematika Ekonomi dan Statistik.

Pada Tahun 1996, penulis menikah dengan Hardiani, SE,M.Si dan telah dikaruniai tiga orang anak: Arwatrisi Ediani, Ikraduya Edian dan Annora Haj Adillah.

(13)
(14)
(15)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

1.5 Kebaruan Penelitian ... 11

II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Pengembangan Wilayah ... 13

2.2 Interaksi antar Wilayah ... 27

2.3 Indikator Pembangunan/Perkembangan Daerah/Wilayah ... 30

2.4 Pembangunan Perdesaan dan Masyarakat Desa ... 37

2.5 Indikator Perkembangan Desa ... 48

2.6 Sejarah Transmigrasi di Indonesia ... 56

2.7 Konsep Pembangunan Transmigrasi ... 65

2.8 Pemukiman Kembali di Negara-Negara Lain... 72

2.9 Teori-Teori yang Mendasari Pembangunan Transmigrasi ... 79

2.10 Indikator Pengembangan Kawasan Transmigrasi ... 96

2.11 Penelitian-Penelitian Sebelumnya... 103

III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 113

3.1 Kerangka Pemikiran ... 113

3.2 Hipotesis ... 118

IV METODE PENELITIAN ... 123

4.1 Lokasi Penelitian ... 123

4.2 Unit Analisis ... 123

4.3 Jenis Data dan Instrumen Pengumpulan ... 123

4.4 Alat Analisis ... 124

V GAMBARAN UMUM TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI ... 141

5.1 Sejarah dan Perkembangan Transmigrasi di Provinsi Jambi... 141

5.2. Transmigrasi Berdasarkan Daerah Asal dan Daerah Penempatan ... 146

5.3. Pola Transmigrasi di Provinsi Jambi... 151

VI. KINERJA DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI ... 157

(16)

xiv

6.2 Penyusunan Indikator Stadia Perkembangan Desa Eks

Transmigrasi... 169

6.3. Analisis Diskriminan Stadia Desa ... 180

6.4. Profil Desa Berdasarkan Stadianya ... 183

6.5 Determinan Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi ... 196

VII. KONDISI SOSIAL EKONOMI PENDUDUK DAN KETERKAITAN DESA EKS TRANSMIGRASI DGN WILAYAH SEKITARNYA... 207

7.1 Gambaran Umum Desa Sampel Penelitian ... 207

7.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk ... 218

7.3 Perjalanan Penduduk di Desa-Desa Eks Transmigrasi ... 234

VIII. STADIA PERKEMBANGAN DESA DAN POLA PENGEMBANGAN KAWASAN TRANSMIGRASI KE DEPAN ... 267

8.1. Model Baru Stadia Perkembangan Desa: Pengembangan atas Hipotesis Rustiadi... 267

8.2 Menuju Pola Pengembangan Kawasan Transmigrasi ke Depan ... 270

IX. KESIMPULAN DAN SARAN... 277

9.1 Kesimpulan ... 277

9.3 Saran Penelitian Lanjutan ... 281

DAFTAR PUSTAKA ... 283

(17)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perkembangan penempatan transmigran di Indonesia ... 3

2 Keterkaitan utama dalam pembangunan spasial ... 28

3 Tipologi keterkaitan perkotaan - perdesaan ... 29

4 Indikator pembangunan berkelanjutan ... 32

5 Indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/pendekatan pengelompokannya ... 36

6 Pendekatan pembangunan perdesaan berdasarkan tingkat perkembangan kebutuhan individu dan keperluan kebersamaan sebagai suatu komunitas .... 44

7 Data indikator primer pembangunan daerah tertinggal... 52

8 Pergeseran definisi, tujuan dan jenis transmigrasi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ... 63

9 Perbandingan konsep pembangunan transmigrasi sebelum dan setelah otonomi daerah ... 65

10 Komparasi tujuan program pemukiman kembali pada tujuh negara ... 74

11 Indikator tingkat perkembangan permukiman transmigrasi dan kesejahteraan transmigran ... 98

12 Goalpost untuk indikator indeks pembangunan transmigrasi ... 100

13 Kategori indeks pembangunan transmigrasi ... 101

14 Indikator perkembangan fungsi perkotaan menuju terwujudnya kota terpadu mandiri ... 102

15 Rincian jenis data yang digunakan sebagai indikator tingkat perkembangan desa eks transmigrasi ... 127

16 Kaitan tujuan, alat analisis, unit analisis, peubah dan sumber data ... 139

17 Perkembangan penempatan transmigran di Provinsi Jambi dari periode Pra Pelita sampai dengan tahun 2011 ... 143

18 UPT binaan Provinsi Jambi tahun 2011 ... 144

19 Perkembangan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) di Provinsi Jambi tahun 1990/1991 - 2009 ... 146

20 Sebaran transmigran di Provinsi Jambi berdasarkan daerah asal dan kabupaten penempatan (kepala keluarga) tahun 2009 ... 147

(18)

xvi

22 Sebaran TPS di Provinsi Jambi berdasarkan kelompok masyarakat dan

kabupaten penempatan tahun 2009 (Jiwa) ... 150

23 Pola transmigrasi berdasarkan jumlah UPT, jumlah KK dan jiwa penempatan di Provinsi Jambi tahun 2009 ... 151

24 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) berdasarkan pola dan daerah penempatannya di Provinsi Jambi tahun 2009 ... 151

25 Perbandingan indikator kinerja kesehatan desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 ... 159

26 Persentase kepemilikan fasilitas pendidikan pada desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 ... 161

27 Perbandingan persentase perumahan permanen desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 ... 162

28 Perbandingan persentase rumah tangga miskin desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 ... 164

29 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 ... 165

30 Perbandingan indikator aktivitas pertanian desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 ... 167

31 Perbandingan persentase lahan pertanian non-sawah desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non transmigrasi tahun 2008 ... 167

32 Indikator aktivitas pertanian di desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006 ... 168

33 Skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah dalam indikator kinerja desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ... 170

34 Hasil perhitungan skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah transformasi ... 171

35 KMO and Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi... 173

36 Pengukuran MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi .... 173

37 Pengukuran ulang MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi... 174

38 Pengujian ulang KMO dan Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ... 174

39 Analisis communalities peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ... 176

40 Total variance explained peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ... 176

(19)

xvii

42 Matriks struktur peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ... 178

43 Pembobotan indikator stadia desa eks transmigrasi ... 179

44 Distribusi desa eks transmigrasi menurut stadianya di Provinsi Jambi ... 179

45 Distribusi stadia desa eks transmigrasi berdasarkan kabupaten ... 180

46 Prosedur stepwise dalam pembentukan fungsi diskriminan ... 181

47 Proses pemasukan peubah dilihat dari angka Wilk’s Lambda ... 182

48 Canonical discriminant function coefficients ... 182

49 Hasil klasifikasi analisis diskriminan stadia desa ... 182

50 Profil stadia desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ... 184

51 Unit, jenis usaha serta rata-rata tenaga kerja industri pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ... 188

52 Persentase industri pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ... 189

53 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja industri non-pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi... 191

54 Persentase industri non-pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ... 191

55 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha perdagangan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi... 193

56 Persentase usaha perdagangan menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ... 193

57 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha jasa lainnya pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ... 195

58 Persentase usaha jasa lainnya menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ... 196

59 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan aksesibilitas dan lama penempatan ... 197

60 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan jenis permukaan jalan ... 197

61 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan komoditi tanaman utama dan stadia desa ... 199

62 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan dominasi daerah asal dan stadia desa... 200

63 Model fitting information stadia desa-desa eks transmigrasi ... 202

64 Estimasi parameter model determinan stadia desa eks transmigrasi ... 203

(20)

xviii

66 Persentase kepala keluarga menurut daerah asal pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 219 67 Persentase kepala keluarga menurut status ketransmigrasian pada desa

eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 220 68 Persentase kepala keluarga menurut kelompok umur pada desa eks

transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 221 69 Persentase kepala keluarga menurut tingkat pendidikan pada desa eks

transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 222 70 Persentase kepala keluarga menurut lapangan pekerjaan utama pada desa

eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 223 71 Persentase kepala keluarga menurut kepemilikan pekerjaan sampingan

pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 224 72 Persentase kepala keluarga menurut kelompok jam kerja pada desa eks

transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 224 73 Struktur anggota keluarga pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi,

Tahun 2011 ... 226 74 Persentase anggota keluarga menurut kegiatan utama pada desa eks

transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 226 75 Persentase keluarga menurut status kepemilikan rumah pada desa eks

transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 227 76 Persentase keluarga menurut kondisi rumah pada desa eks transmigrasi

di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 228 77 Persentase keluarga menurut kepemilikan lahan pertanian pada desa eks

transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 229 78 Persentase keluarga menurut luas lahan saat ini dibandingkan kondisi

awal penempatan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 230 79 Persentase keluarga menurut jenis tanaman lahan pertanian pada desa

eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 231 80 Pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun

2011 ... 233 81 Karakteristik pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi

Jambi, Tahun 2011 ... 234 82 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Mekar Sari,

Tahun 2011 ... 236 83 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Kelurahan Bandar Jaya,

(21)

xix 84 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Bukit Mas, Tahun

2011 ... 243

85 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rasau, 2011... 247

86 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Sungkai, Tahun 2011 ... 250

87 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rimbo Mulyo, Tahun 2011 ... 253

88 Persentase perjalanan penduduk menurut lokasi tujuan perjalanan pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ... 255

89 Uji Overall Model Fit untuk model perjalanan bekerja ... 260

90 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan bekerja ... 260

91 Estimasi parameter model perjalanan bekerja ... 261

92 Uji Overall Model Fit untuk perjalanan belanja ... 264

93 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan belanja ... 264

(22)
(23)

xxi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Perkembangan rata-rata penempatan transmigran di Indonesia. ... 4 2 Pilar-pilar pembangunan berkelanjutan. ... 32 3 Konsep pembangunan transmigrasi sebelum otonomi daerah. ... 66 4 Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. ... 69 5 Faktor daerah asal dan daerah tujuan serta penghalang antara dalam

migrasi. ... 80 6 Hipotesis stadia-stadia pengembangan wilayah melalui demand side

strategi untuk kawasan transmigrasi. ... 95 7 Kerangka pemikiran penelitian ... 116 8 Alir rancangan penelitian ... 138 9 Rata-rata penempatan transmigrasi dari Pra-Pelita sampai era otonomi

daerah di Provinsi Jambi. ... 144 10 Sebaran transmigran menurut kabupaten penempatan di Provinsi Jambi

tahun 2009 (persentase KK). ... 147 11 Sebaran transmigran menurut daerah asal di Provinsi Jambi tahun 2009

(persentase KK). ... 148 12 Perbandingan indikator pendidikan desa eks transmigrasi dan desa

non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. ... 161 13 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa eks transmigrasi dan

non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. ... 165 14 Perbandingan indikator aktivitas non-pertanian desa-desa eks

transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006. ... 169 15 Lokasi penelitian Desa Mekar Sari. ... 208 16 Lokasi penelitian Kelurahan Bandar Jaya. ... 210 17 Lokasi penelitian Desa Bukit Mas. ... 212 18 Lokasi penelitian Desa Rasau. ... 214 19 Lokasi penelitian Desa Sungkai... 215 20 Lokasi penelitian Desa Rimbo Mulyo. ... 217 21 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa

Mekar Sari, Tahun 2011. ... 237 22 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa

(24)

xxii

23 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Bukit Mas, Tahun 2011. ... 244 24 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa

Rasau, Tahun 2011. ... 248 25 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa

Sungkai, Tahun 2011... 251 26 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa

Rimbo Mulyo, Tahun 2011. ... 254 27 Model Awal hipotesis stadia perkembangan desa. ... 268 28 Model baru stadia perkembangan desa. ... 270 29 Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. ... 271 30 Konsep baru pembangunan kawasan transmigrasi dengan pendekatan

(25)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

(26)
(27)

Program transmigrasi sebagai salah satu program kependudukan dan pengembangan wilayah di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Dimulai dari zaman pemerintahan Hindia Belanda Tahun 1905 (pada saat itu transmigrasi dikenal dengan istilah kolonisasi). Pada masa pemerintahan Hindia Belanda tersebut (1905–1941), sasaran utamanya selain untuk mengurangi kepadatan penduduk Pulau Jawa, juga untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di daerah-daerah luar Pulau Jawa. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Jepang (1942– 1945), transmigrasi bertujuan untuk memindahkan penduduk secara paksa dari Pulau Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia untuk bekerja paksa bagi keperluan pertahanan Jepang (Keyfitz & Nitisastro 1955, diacu dalam Saleh, 1982).

Setelah kemerdekaan, pada awal orde lama, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1958 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi (perubahannya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 29 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi, tujuan transmigrasi adalah untuk mempertinggi taraf keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat dan memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pada Tahun 1965, dikeluarkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1965 tentang Gerakan Nasional Transmigrasi, yang menyatakan tujuan transmigrasi untuk memperkuat pertahanan dan keamanan revolusi serta meningkatkan kegiatan pembangunan ekonomi terutama produksi pangan.

Pada Orde Baru, tujuan transmigrasi semakin berkembang ke tujuan non-demografis lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tujuan transmigrasi adalah untuk peningkatan taraf hidup, pembangunan daerah, keseimbangan penyebaran penduduk, pembangunan yang merata ke seluruh Indonesia, pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia; kesatuan dan persatuan bangsa serta memperkuat pertahanan dan ketahanan nasional.

(28)

dengan perubahan tata pemerintahan. Penyelenggaraan transmigrasi yang berciri sentralistik, kini dihadapkan pada tantangan penerapan desentralisasi dan otonomi. Otonomi daerah selain menyebabkan pergeseran kewenangan penyelenggaraan transmigrasi, juga mengharuskan pelaksanaan transmigrasi sepenuhnya disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi spesifik daerah.

Dalam mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut, telah dikeluarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, yang diperbaharui melalui Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan tujuan transmigrasi adalah: (1) untuk meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar; (2) meningkatkan pemerataan pembangunan daerah; dan (3) memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam pelaksanaannya, program transmigrasi telah menunjukkan berbagai keberhasilan. Program transmigrasi telah menempatkan sebanyak 2.115.309 kepala keluarga. Penelitian Najiyati et al. (2005, 2006) juga memperlihatkan peningkatan kesejahteraan transmigran dibandingkan daerah asalnya. Dari penciptaan kesempatan kerja, transmigrasi tidak hanya mampu menciptakan kesempatan kerja pada sektor pertanian, tetapi sektor-sektor non pertanian lainnya baik di hulu maupun hilirnya (Puslitbangtrans 2004). Dari sisi pembangunan daerah, kawasan transmigrasi telah berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru yang berperan sebagai pusat produksi pertanian, perkebunan, bahkan pemerintahan. Najiyati et al. (2006) dari penelitiannya terhadap 1.406 Unit Permukiman Transmigrasi menemukan bahwa sebanyak 520 unit atau 37% mampu menjadi sentra produksi pangan sedangkan yang lainnya berkembang menjadi sentra produksi komoditas lain terutama tanaman perkebunan.

(29)

bahwa pembangunan transmigrasi telah menjadi perintis berdirinya beberapa kabupaten/kota dan kecamatan di Indonesia.

Di daerah asal, kontribusi pembangunan transmigrasi juga dirasakan. Selain mengatasi persoalan keterbatasan peluang kerja dan berusaha, program ini telah mendukung pembangunan beberapa infrastruktur strategis seperti Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, Waduk Mrica d i Jawa Tengah, Waduk Saguling di Jawa Barat, dan Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.

Realitas tersebut menunjukkan, transmigrasi dalam kurun waktu cukup lama telah menjadi salah satu program “unggulan” dalam membangun kemandirian bangsa melalui pengembangan potensi sumber daya wilayah terintegrasi dengan penataan persebaran penduduk. Transmigrasi juga dapat menjadi contoh khas dan strategi pengembangan wilayah “original” Indonesia dan menjadi sumber pembelajaran berharga dalam pengembangan potensi wilayah.

Namun demikian, pada era otonomi telah terjadi penurunan penempatan transmigran. Pada akhir Orde baru (Pelita VI) rata-rata penempatan transmigran sebanyak 350.064 KK per tahun, sedangkan pada era otonomi, Tahun 2000– 2004 hanya berhasil ditempatkan sebanyak 87.571 KK per tahun. Penurunan ini berlanjut pada Tahun 2005–2009 menjadi 41.853 KK per tahun dan pada Tahun 2010-2011 menjadi 7.310 KK per tahun (Tabel 1 dan Gambar 1).

Tabel 1 Perkembangan penempatan transmigran di Indonesia

Waktu penempatan UPT/LPT Jumlah

Rata-rata per tahun

KK Jiwa KK Jiwa

Era Kolonisasi (1905 - 1942) 62 60155 232802 1583 6126 Pra Pelita (1950 – 1968) 176 98631 394524 5191 20764 Pelita I (1969/1970-1973/1974) 139 40906 163624 8181 32725 Pelita II (1974/1975-1978/1979) 139 82959 366429 16592 73286 Pelita III (1979/1980-1983/1984) 767 337761 1346890 67552 269378 Pelita IV (1984/1985-1988/1989) 2002 750150 2256255 150030 451251 Pelita V (1989/1990-1993/1994) 750 265259 1175072 53052 235014 Pelita VI (1994/1995-1998/1999) 1109 350064 1400256 70013 280051 Era otonomi daerah

2000 - 2004 246 87571 354272 17514 70854 2005 - 2009 420 41853 161047 8371 32209 2010 - 2011 75 14620 54215 7310 27108

(30)
[image:30.612.108.478.78.305.2]

Gambar 1 Perkembangan rata-rata penempatan transmigran di Indonesia. Sumber: Kemenakertrans (2012).

Selain akibat mulai terbatasnya ketersediaan lahan, lemahnya kelembagaan penyelenggaraan transmigrasi era otonomi di daerah serta rendahnya inisiatif daerah dalam membangun transmigrasi dengan alasan biaya (Anharudin et al. 2008), penurunan kinerja transmigrasi juga disebabkan adanya berbagai stigma negatif yang mengiringi keberhasilan program ini. Di antara stigma negatif tersebut menurut Manuwiyoto (2008) adalah transmigrasi dicap sebagai program sentralistik, pemindahan kemiskinan, deforestasi, jawanisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Fearnside (1997) mengemukakan bahwa transmigrasi telah menjadi penyebab utama dari berkurangnya hutan-hutan di Indonesia dan aktivitas-aktivitas penyelenggaraan transmigrasi juga cenderung berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia. Sehubungan dengan tujuan redistribusi penduduk, Wijst (1985) melalui kajiannya juga mengemukakan transmigrasi selama ini hampir tidak mempengaruhi distribusi penduduk Indonesia dan hanya di daerah penerima tertentu efek transmigrasi cukup signifikan. Selain itu, dia juga meragukan peran transmigrasi yang berorientasi pertanian dapat berdampak pada proses pembangunan daerah.

Terkait dengan stigma negatif ini, Siswono (2003) juga mengemukakan beberapa aspek yang menyebabkan terpuruknya citra program transmigrasi yang menyebabkan penolakan transmigrasi d i beberapa daerah. Di antaranya adalah:

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 Kolonisasi 1905-1942 Pra Pelita 1950-1968 Pelita I 69/70-73/74 Pelita II 74/75-78/79 Pelita III 79/80-83/84 Pelita IV 84/85-88/89 Pelita V 89/90-93/94 Pelita VI 94/95-98/99

2000-2004 2005-2009 2010-2011

(31)

(a) terlalu berpihaknya pemerintah kepada transmigran dalam pemberdayaan dan pembinaan masyarakat d i unit permukiman transmigrasi (UPT) dan kurang memperhatikan penduduk sekitar. Perbedaan ini, mengakibatkan perkembangan UPT relatif lebih cepat ketimbang desa-desa sekitarnya sehingga menimbulkan kecemburuan yang berdampak sangat rentan terhadap konflik; (b) Sistem pemberdayaan dan pembinaan masyarakat transmigrasi dilaksanakan dengan pendekatan sentralistik, mengakibatkan budaya lokal nyaris tidak berkembang, sementara budaya pendatang lebih mendominasi; (c) Proses perencanaan kawasan permukiman transmigrasi kurang dikomunikasikan dengan masyarakat sekitar. Akibatnya, masyarakat sekitar permukiman transmigrasi tidak merasa terlibat, dan karenanya tidak ikut bertanggung jawab atas keberadaannya; (d) Adanya pembangunan permukiman transmigrasi yang eksklusif sehingga dirasakan kurang adanya keterkaitan secara fungsional dengan lingkungan sekitarnya; dan (e) Adanya permukiman transmigrasi yang tidak layak huni, layak usaha, dan layak berkembang dan justru menjadi desa tertinggal. Anharudin et al. (2006) juga mengemukakan, meskipun program transmigrasi telah berhasil membangun desa-desa baru, namun sebagian di antaranya belum sepenuhnya mampu mencapai tingkat perkembangan secara optimal, yang mampu menopang pengembangan wilayah, baik wilayah itu sendiri atau wilayah lain yang sudah ada. Bahkan menurut Haryati et al. (2006) sebagian dari permukiman transmigrasi tersebut direlokasi karena kondisinya dinilai tidak layak berkembang.

(32)

kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat transmigran, pertama kali masuk ke wilayah adalah melalui pintu gerbang di pusat SWP, kemudian didistribusikan ke pusat-pusat yang lebih rendah (SKP) sampai di pusat-pusat SP. Melalui pola ini, wilayah-wilayah sekitar permukiman transmigrasi akan berkembang karena adanya keterkaitan yang saling menguntungkan antara kawasan permukiman dengan wilayah sekitar tersebut.

Namun demikian, menurut Yuniarti et al. (2008), dalam prakteknya hal tersebut tidak selalu berlangsung sesuai dengan konsep yang direncanakan. Ini disebabkan wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi yang diskenariokan sebagai pusat pelayanan proses produksi (penyedia input, jasa keuangan, pengolahan hasil dan pemasaran) tidak dapat berperan sebagaimana yang diharapkan. Faktor penyebabnya adalah tidak tersedianya infrastruktur dan kelembagaan yang memadai untuk mendukung peran sebagai pusat pelayanan pada wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi.

(33)

sekitar permukiman transmigrasi yang belum tersentuh oleh program transmigrasi.

Tidak sejalannya dan adanya keterpisahan pelaksanaan pembangunan wilayah transmigrasi dengan wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi pada dasarnya disebabkan oleh lemahnya koordinasi antarlembaga terkait dalam pelaksanaan ketransmigrasian dengan pengembangan wilayah di daerah. Lemahnya koordinasi ini terlihat baik pada tingkat lembaga di pusat maupun daerah dan juga dalam hal perencanaan, pengalokasian anggaran maupun pelaksanaan pembangunannya.

Fakta-fakta ini merupakan faktor utama yang menjadi dasar menurunnya kinerja transmigrasi sejak era otonomi daerah. Sebagian daerah tidak lagi menempatkan program transmigrasi sebagai kebijakan prioritas disebabkan program transmigrasi hanya berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan transmigran dan cenderung tumbuh sebagai kawasan enclave, dengan kontribusi yang rendah terhadap pengembangan wilayah sekitarnya. Penelitian Anharudin et al. (2008) pada tujuh provinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat, Maluku Utara) menemukan bahwa tiga provinsi sama sekali tidak mencantumkan klausul transmigrasi dalam Rencana Strategis (Renstra) daerahnya. Selain itu, meskipun semua provinsi memiliki dinas yang mengurusi transmigrasi, namun demikian hanya tiga dinas yang memiliki Renstra mengenai transmigrasi. Hal ini menunjukkan transmigrasi masih sangat tergantung ke program pusat, yang diberikan kepada daerah, yang tercermin dalam seberapa anggaran yang dialokasikan kepada daerah tersebut.

Salah satu daerah penempatan transmigrasi di Indonesia adalah Provinsi Jambi. Penempatan transmigran di Provinsi Jambi telah dimulai dari Tahun 1940 dan terus berlanjut sampai saat ini. Berdasarkan data Tahun 2011, transmigran yang telah ditempatkan mencapai 100.260 KK (Kemenakertrans 2012). Jumlah tersebut telah menjadikan Provinsi Jambi sebagai salah satu daerah utama penempatan transmigran.

(34)

pada era otonomi daerah (2000 – 2011), menjadi rata-rata penempatan hanya 682 KK per tahunnya (Kemenakertrans 2012). Penurunan ini juga tidak terlepas dari berbagai permasalahan penyelenggaraan transmigrasi secara nasional sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya.

Pembangunan transmigrasi masih memiliki potensi dan peluang untuk mendorong pengembangan wilayah di Provinsi Jambi. Kepadatan penduduknya masih relatif rendah. Data tahun 2010 menunjukkan sebesar 64 jiwa per km2, yaitu kurang dari separuh tingkat kepadatan penduduk Indonesia secara keseluruhan yang sebesar 126 jiwa/km2 (menempati urutan ke 12 kepadatan penduduk terendah dari 33 provinsi di Indonesia) (BPS 2010). Meskipun secara umum tidak terdapat lahan dalam hamparan yang relatif luas untuk mengembangkan permukiman transmigrasi seperti pola periode Orde Lama atau awal/pertengahan periode Orde Baru, tetapi masih memungkinkan pembangunan transmigrasi yang dilaksanakan secara tersebar pada lahan-lahan yang belum termanfaatkan atau pada wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk yang masih sangat rendah.

Dari sisi peluang usaha, Provinsi Jambi juga memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan terutama di bidang pertanian khususnya tanaman bahan makanan dan perkebunan. Hal ini terlihat dari fakta kontribusi sektor pertanian yang mencapai 30,46 persen dari total PDRB, dan kontribusi dari subsektor tanaman bahan makanan serta perkebunan mencapai 83,03 persen dari total PDRB sektor pertanian.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian terkait dengan pengembangan transmigrasi di daerah ini. Hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengetahuan ini dapat dipergunakan sebagai referensi pembangunan perdesaan secara umum dan mengembangkan kebijakan penyelenggaraan transmigrasi dalam kerangka percepatan pembangunan daerah melalui pengembangan desa-desa.

1.2 Perumusan Masalah

(35)

permukiman transmigrasi yang tidak berkembang secara baik sehingga menjadi beban pembangunan di daerah dan di sisi lain terdapat permukiman transmigrasi yang berkembang ternyata menjadi daerah-daerah enclave yang kurang berdampak pada pengembangan wilayah sekitarnya.

Dalam konteks transmigrasi sebagai program yang bertujuan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan daerah dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, pemukiman transmigrasi selain diharapkan berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan, juga diharapkan dapat memberikan dampak pada pengembangan wilayah di sekitarnya. Jika permukiman transmigrasi yang telah berkembang tidak memiliki keterkaitan dengan perkembangan wilayah sekitarnya, maka akan mengakibatkan terjadi perbedaan tingkat kesejahteraan dalam masyarakat. Ketidakmerataan ini dapat dengan mudah menimbulkan rasa ketidakpuasan antar wilayah serta membuka peluang munculnya ketidakstabilan politik daerah. Jika terjadi ketidakstabilan politik akan sangat merugikan daerah dalam jangka menengah dan panjang.

Selain itu, berbagai fenomena empirik menunjukkan ketidakmerataan pembangunan yang berkepanjangan akhirnya akan menimbulkan efek yang kontra-produktif terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan demi peningkatan pertumbuhan itu sendiri. Di negara-negara maju dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, keberlanjutan pertumbuhan dapat terjaga oleh tingkat kemajuan yang merata. Secara sistemik, tingkat kemajuan dari suatu sistem tidak lepas dari keberadaan komponen yang paling lemah. Ini berarti tingkat kemajuan daerah juga akan sangat ditentukan oleh kondisi wilayah tertinggal yang ada.

(36)

Hasil-hasil kajian tersebut hanya terbatas menggambarkan keragaan pembangunan transmigrasi pada masa pembinaan dan tidak terdapat pembelajaran apa yang terjadi setelah proses pembinaan. Hal ini berimplikasi pada kesulitan dalam menilai keberhasilan pembangunan transmigrasi dalam konteks keterkaitannya dengan pengembangan wilayah sekitarnya dan kontribusinya terhadap pembangunan daerah. Selain itu, juga terdapat kehilangan informasi yang berharga berupa pengalaman membangun desa-desa transmigrasi yang dapat diterapkan dalam pembangunan desa-desa secara umum di Indonesia.

Pemahaman terhadap perkembangan pemukiman transmigrasi khususnya setelah masa pembinaan (desa-desa eks transmigrasi), faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta keterkaitan desa-desa eks transmigrasi tersebut terhadap pengembangan wilayah sekitarnya tentunya akan dapat menjadi dasar penting dalam merancang pengembangan program transmigrasi sehingga dapat menjadi program yang berkontribusi positif pengembangan wilayah perdesaan dan pembangunan daerah di era otonomi. Pemahaman ini juga tentu dapat menjadi pembelajaran yang berharga yang secara umum dapat diterapkan dalam pembangunan perdesaan di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perkembangan desa-desa eks transmigrasi (pemukiman transmigrasi setelah masa pembinaan) di Provinsi Jambi ?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perkembangan desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ?

3. Bagaimanakah kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks pemukiman transmigrasi di Provinsi Jambi ?

4. Bagaimanakah keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keterkaitan antara desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah-wilayah sekitarnya di Provinsi Jambi?

1.3 Tujuan Penelitian

(37)

1. Mengembangkan pengukuran dan menganalisis stadia perkembangan desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

3. Menganalisis kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi

4. Menganalisis keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keterkaitan desa-desa eks transmigrasi terhadap wilayah sekitarnya di Propinsi Jambi

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:

1. Pembelajaran dari perkembangan permukiman transmigrasi ini dapat dijadikan dasar untuk pembangunan perdesaan secara umum dan pengembangan kebijakan penyelenggaraan transmigrasi yang sesuai dengan tuntutan era otonomi daerah dan kebutuhan pengembangan wilayah perdesaan dan pembangunan daerah

2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya terutama yang terkait dengan pengembangan ketransmigrasian sebagai program pengembangan wilayah perdesaan dan pembangunan daerah.

1.5 Kebaruan Penelitian

(38)

pernah digunakan selama ini umumnya hanya melihat pada aspek kesejahteraan baik kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya tanpa melihat perubahan-perubahan aktivitas ekonomi yang terjadi bersamaan dengan perkembangan desa. Hal ini disebabkan cara pandang yang melihat desa hanya sebagai tempat pertanian. Dalam penelitian ini perkembangan desa tidak hanya dilihat dari peningkatan kesejahteraan semata, tetapi juga melihat perkembangan desa yang bergerak dari tahapan desa pertanian menjadi daerah perkotaan (urbanisasi atau industrialisasi perkotaan). Oleh karenanya selain melihat perkembangan kesejahteraan juga melihat perkembangan berbagai aktivitas pertanian dan non-pertanian yang ada di desa. Ketiga, penelitian ini mencoba mengungkap aspek interaksi (keterkaitan) desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah sekitarnya dalam rangka memberikan konsep pengembangan keterkaitan desa transmigrasi dengan wilayah sekitarnya.

(39)

2.1.1 Pengertian dan Klasifikasi Wilayah

Sampai saat ini belum terdapat kesepakatan di antara para pakar ekonomi, pembangunan, geografi maupun bidang lainnya mengenai terminologi wilayah (region) (Alkadri 2001). Keragaman dalam mendefinisikan konsep “wilayah” terjadi karena perbedaan dalam permasalahan-permasalahan wilayah ataupun tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang dihadapi.

Sebagai suatu sistem, Hilhorst (1971) mengidentifikasikan wilayah sebagai subsistem dari suatu sistem yang lebih besar. Dalam konteks geografi, secara ringkas Blair (1991) mendefinisikan wilayah sebagai bagian dari suatu area. Selanjutnya, Nugroho dan Dahuri (2004) mendefinisikan wilayah sebagai suatu area geografis yang memiliki ciri tertentu dan merupakan media lokasi berinteraksi. Sedangkan, Budiharsono (2001) mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal dalam dimensi ruang dan merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama. Terminologi wilayah sangat longgar, dan batasannya sangat tergantung pada tujuan analisis. Batasan suatu wilayah bisa hanya meliputi satu desa, suatu kecamatan, suatu kabupaten atau wilayah ekonomi yang melewati batas negara.

Selanjutnya, Rustiadi et al. (2009) mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu di mana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumber daya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumber daya lainnya dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

(40)

secara geometris maupun similarity”. Oleh karena itu, pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah penggambaran (delineation) unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.

Di Indonesia, perbedaan mendefinisikan wilayah terlihat dalam penggunaan terminologi kawasan dan daerah. Pengertian kawasan umumnya mempunyai batasan dan sistem berdasarkan aspek fungsional, sedangkan pengertian daerah umumnya mempunyai batasan atau sistem berdasarkan aspek administratif. Aspek fungsional dan administratif dari wilayah ini juga dijelaskan dalam Undang-Undanga Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mendefinisikan wilayah sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

Selanjutnya, sebagaimana halnya perbedaan dalam mendefinisikan wilayah, juga terdapat berbagai perbedaan dalam mengklasifikasikan wilayah. Johnston (1976), diacu dalam Rustiadi et al. (2009) membagi wilayah atas (1) wilayah formal, yaitu tempat-tempat yang memiliki kesamaan-kesamaan karakteristik; dan (2) wilayah fungsional atau nodal, yang merupakan konsep wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan antarkomponen atau lokasi/tempat. Dalam konteks yang sama, Harmantyo (2007) mengemukakan bahwa wilayah formal sebagai wilayah obyektif yaitu wilayah sebagai tujuan, dan wilayah fungsional sebagai wilayah subjektif yaitu wilayah sebagai sarana untuk mencapai tujuan.

Haruo (2000) mengemukakan terdapat dua tipe dasar dalam pendeskripsian wilayah. Tipe pertama, biasanya digunakan oleh ahli geografi dan perencana wilayah, membagi wilayah secara saintifik melalui penggunaan sekumpulan kriteria yang terukur, misalnya atas dasar kandungan sumber daya mineral, aktivitas pertanian yang utama, kecenderungan kejadian bencana alam, dan lainnya. Tipe kedua, pembagian wilayah berdasarkan unit administrasi untuk tujuan perencanaan pembangunan.

(41)

homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Wilayah homogen didefinisikan berdasarkan basis kesamaan internal (Blair 1991), yaitu wilayah yang memiliki karakteristik serupa atau seragam. Keseragaman ciri tersebut dapat ditinjau dari berbagai aspek seperti sumber daya alam (iklim dan sumber mineral), sosial (agama, suku, dan budaya), dan ekonomi (mata pencaharian). Wilayah heterogen (nodal region), yaitu wilayah yang saling berhubungan secara fungsional disebabkan faktor heterogenitas (perbedaan komponen). Tiap komponen mempunyai peran tersendiri terhadap pembangunan daerah. Hal ini tercermin dalam perilaku para pelaku ekonomi yang saling tergantung terhadap yang lain.

Wilayah nodal adalah satu tipe penting dari wilayah fungsional. Wilayah nodal terutama didasarkan atas suatu sistem hierarkis dari hubungan perdagangan. Hubungan tersebut umumnya berlangsung antara wilayah pusat (core) dan wilayah pinggiran (periphery atau hinterland). Wilayah perencanaan (planning region), yaitu wilayah yang berada dalam kesatuan kebijakan atau administrasi. Wilayah ini selalu dikaitkan dengan pemerintah dalam rangka pengelolaan organisasi kepemerintahan dan umum digunakan untuk menyatakan kesatuan administratif seperti desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan propinsi. Wilayah perencanaan atau wilayah administratif dibentuk untuk tujuan manajerial atau organisasional. Johnston (1976) diacu dalam Rustiadi (2009) membedakan wilayah atas wilayah formal dan fungsional. Wilayah formal adalah tempat-tempat yang memiliki kesamaan-kesamaan karakteristik, sedangkan wilayah fungsional adalah konsep wilayah yang menekankan kesamaan keterkaitan antar komponen atau lokasi/tempat.

(42)

tertentu yang dicirikan oleh perkembangan sejarahnya. Perencanaan ini disebut perencanaan wilayah teritorial atau perencanaan wilayah formal; (2) pendekatan fungsional, yaitu suatu perencanaan wilayah yang memperhitungkan lokasi berbagai kegiatan ekonomi dan pengaturan secara ruang dari sistem perkotaan mengenai berbagai pusat dan jaringan. Perencanaan semacam ini disebut perencanaan wilayah fungsional.

Badan Kordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional (BKTRN) melakukan pembabakan wilayah-wilayah di Indonesia berdasarkan fungsi-fungsi tertentu yang disebut “area” atau kawasan di antaranya

 Kawasan Andalan, seperti Kawasan Andalan Tolitoli (Sulawesi Tengah), Kawasan Andalan Tatapan Buma (Kalimantan Timur), Kawasan Andalan Pasaman (Sumatera Barat), Kapet Biak (Papua), dan Kapet Natuna (Riau).

 Kawasan Cepat Tumbuh, seperti Kawasan Industri Cilegon (Banten), Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, bekasi, Depok (Jabodetabek), Kawasan Pantai Utara di sepanjang wilayah DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, Kawasan Denpasar dan sekitarnya, Kawasan gresik, bangkalan, Kertosono, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan (Gerbangkertosusila).

 Kawasan Potensial tumbuh, serperti kawasan industri Lhouksemawe, Kawasan Medan, Binjai, Deli Serdang dan sekitarnya termasuk kerangka segitiga pertumbuhan Indonesia, Malaysia, Thailand (IMT-GT), Kawasan Batam, Sabang, Bintan, Sumatera Barat, dan sekitarnya yang termasuk pada kerangka segitiga pertumbuhan. Indonesia, Malaysia, Singapura (IMS-GT), kawasan Pulau Natuna, Kawasan Nunukan, Kawasan Bitung, dan Kawasan Timika.

 Kawasan Kritis Lingkungan, seperti Kerinci Seblat, Kawasan danau Toba dan sekitarnya, Kawasan Taman Nasional Berbak, Kawasan Bogor, Puncak, Cianjur (Bopuncur), Kawasan Riam Kiwa, Kawasan Timika dan kawasan kritis lingkungan lainnya.

 Kawasan Perbatasan, seperti Kalimantan-Serawak, Papua-Papua Nugini, dan

Sangihe Talaud-Filipina.

(43)

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengemukakan pengertian kawasan adalah wilayah yang mempunyai fungsi utama lindung dan budi daya. Dalam UU tersebut kawasan dibagi sebagai berikut:

 Kawasan Lindung: wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

 Kawasan budidaya: wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

 Kawasan perdesaan: wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

 Kawasan agropolitan: kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.

 Kawasan perkotaan: wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

 Kawasan metropolitan: kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 jiwa.

(44)

 Kawasan strategis nasional: wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan

karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.

 Kawasan strategis provinsi: wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.

 Kawasan strategis kabupaten/kota: wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.

(45)

terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral; (6) Wilayah administratif-politis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu.

2.1.2 Konsep Pengembangan Wilayah

Pembangunan adalah upaya untuk meningkatkan kesempatan warga negara agar dapat melakukan aktivitas sosial ekonomi dan kerokhanian, sehingga mereka mencapai tingkat yang “wajar” menurut nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Nasoetion dan Tadjuddin 1985). Pengembangan adalah memajukan atau memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Kedua istilah ini sering digunakan untuk maksud yang sama.

Pembangunan dan pengembangan itu dapat berupa fisik dan non-fisik. Pembangunan dan pengembangan tersebut dapat mempunyai skala nasional, regional atau lokal. Pembangunan/pengembangan nasional meliputi seluruh negara dengan tekanan perekonomian. Pembangunan/pengembangan lokal meliputi kawasan kecil dengan tekanan pada keadaan fisik. Pembangunan atau pengembangan regional meliputi suatu wilayah dengan tekanan utama pada perekonomian dan tekanan kedua pada keadaan fisik (Jayadinata 1986). Pembangunan wilayah (regional) pada dasarnya adalah pembangunan nasional di suatu region yang disesuaikan dengan kemampuan fisik, sosial dan ekonomi dari region tersebut dengan tetap berpedoman pada peraturan perundangan yang berlaku.

(46)

Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumber daya yang ada dan memberikan kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah (Anwar 2005). Alkadri et al. (2001) menyebutkan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan secara harmonis sumber daya alam, manusia dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri. Hadjisarosa (1982) juga mengemukakan bahwa secara teoritis pertumbuhan wilayah dimungkinkan apabila terjadi pertumbuhan modal yang bertumpu pada pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya modal. Selanjutnya pengembangan kedua sumber daya tersebut akan menimbulkan arus barang sebagai salah satu gejala pertumbuhan ekonomi.

Tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Dari sisi sosial ekonomi, pengembangan wilayah adalah upaya memberikan kesejahteraan kualitas hidup masyarakat. Di sisi lain secara ekologis, pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari campur tangan manusia terhadap lingkungan (Triutomo 1999).

(47)

local based flexible (conditional), transparency (politically accepted), probisnis (layak ekonomi), long term (berkesinambungan), dan holistik.

Menurut Hoover dan Giarratani (1985), diacu dalam Nugroho dan Dahuri (2004), terdapat tiga pilar penting perencanaan pembangunan wilayah yang berkaitan dengan aspek wilayah dan implementasi dalam kebijakan ekonomi.

Pertama, keunggulan komperatif (comparative advantage). Pilar ini berhubungan dengan keadaan sumber daya yang spesifik dan khas, yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antarwilayah, sehingga wilayah tersebut memiliki keunggulan komparatif. Karakter tersebut umumnya berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan dan kelompok usaha sektor primer lain.

Menurut Rustiadi dan Hadi (2004), dengan adanya pemahaman tentang kentungan komparatif (comparative advantage), maka pengembangan suatu wilayah harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan yang secara kuat dapat mendorong pertumbuhan wilayah tersebut. Kedua, aglomerasi (imperfect divisibility) sebagai akibat pemusatan ekonomi secara spasial. Hal ini terjadi karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam bahan baku dan distribusi produk. Ketiga, biaya transport (imperfect mobility of good and service). Pilar ini terkait dengan jarak dan lokasi. Ketiga pilar tersebut selanjutnya akan berimplikasi pada pengambilan keputusan terhadap lokasi kegiatan.

(48)

departemen dari berbagai tingkat administratif; dan (4) dalam suatu departemen sektoral itu sendiri.

Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya berbagai konsep pengembangan wilayah. Berbagai konsep pengembangan wilayah yang pernah diterapkan adalah (Bappenas 2003):

1. Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumber daya, yaitu: (1) pengembangan wilayah berbasis sumber daya; (2) pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan; (3) pengembangan wilayah berbasis efisiensi; dan (4) pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan.

2. Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang, yang membagi wilayah ke dalam: (1) pusat pertumbuhan; (2) integrasi fungsional; dan (3) desentralisasi. Alkadri (2001) mengemukakan bahwa konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam RTRWN. Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja di antara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah mempunyai hierarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumber daya manusia.

3. Konsep pengembangan wilayah terpadu. Konsep ini menekankan kerja sama antarsektor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah tertinggal.

4. Konsep pengembangan wilayah berdasarkan cluster. Konsep ini terfokus pada keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku dalam jaringan kerja produksi sampai jasa pelayanan, dan upaya-upaya inovasi pengembangannya. Cluster

(49)

mengidentifikasi karakteristik cluster wilayah yang berhasil, yaitu adanya spesialisasi, jaringan lokal, akses yang baik pada permodalan, institusi penelitian dan pengembangan dan serta pendidikan, mempunyai tenaga kerja yang berkualitas, melakukan kerja sama yang baik antara perusahaan dan lembaga lainnya, mengikuti perkembangan teknologi, dan adanya tingkat inovasi yang tinggi.

2.1.3 Prinsip-Prinsip Pengembangan Wilayah

Dalam rangka menjawab berbagai tantangan pengaruh globalisasi, pasar bebas dan regionalisasi yang menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika spasial, sosial, dan ekonomi antarnegara, antardaerah (kota/kabupaten), kecamatan hingga perdesaan, perlu dikembangkan prinsip-prinsip pengembangan wilayah. Bappenas (2006) mengemukakan prinsip-prinsip pengembangan wilayah sebagai berikut:

1. Pengembangan wilayah harus berbasis pada sektor unggulan. Prioritas pada sektor unggulan akan mengarahkan sumber daya pada sektor yang diunggulkan melalui pemetaan antara sektor unggulan dengan sektor yang pendukungnya.

2. Pengembangan wilayah dilakukan atas dasar karakteristik daerah yang bersangkutan, baik aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Suatu program hanya dapat tepat dilakukan pada suatu daerah tertentu dan tidak pada daerah dengan karakteristik berbeda lainnya.

3. Pengembangan wilayah harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Pengembangan wilayah tidak dapat didasarkan pada satu sektor saja, atau pengembangan masing-masing sektor tidak dapat dilakukan secara terpisah. 4. Pengembangan wilayah mutlak harus mempunyai keterkaitan ke depan dan

ke belakang secara kuat. Pengembangan kawasan di hinterland harus dikaitkan dengan pengembangan kawasan industri pengolahan di perkotaan, untuk memberikan nilai tambah lebih tinggi pada pertumbuhan perekonomian wilayah.

(50)

dalam mengembangkan kelembagaan ekonomi di daerah, mengembangkan sumber daya manusianya, menciptakan iklim usaha yang dapat menarik.

Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar pengembangan wilayah adalah :

1. Sebagai pusat pertumbuhan. Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran pertumbuhan yang dapat ditimbulkan pada wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional. 2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerja sama pengembangan

antardaerah dan menjadi persyaratan utama keberhasilan pengembangan wilayah.

3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.

4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan.

Dengan demikian, pengembangan suatu wilayah atau kawasan harus didekati berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal dan sekaligus mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor-faktor kunci yang menjadi syarat perkembangan kawasan dari sisi internal adalah pada pola-pola pengembangan : (1) sumber daya m

Gambar

Gambar 1  Perkembangan rata-rata penempatan transmigran di Indonesia.
Tabel 2 Keterkaitan utama dalam pembangunan spasial
Tabel 4 Lanjutan
Tabel 7 Data indikator primer pembangunan daerah tertinggal
+7

Referensi

Dokumen terkait