• Tidak ada hasil yang ditemukan

Migrasi adalah bentuk realokasi sumber daya modal manusia. Pada dasarnya, seperti sumber daya fisik, sumber daya modal manusia juga cenderung pindah (dialokasikan) pada daerah yang memberikan imbalan yang relatif tinggi. Migrasi adalah suatu mekanisme penyeimbang yang akan memindah modal manusia dari suatu tempat yang relatif kurang dimanfaatkan ke daerah yang relatif lebih dapat dimanfaatkan (Ananta 1986).

Dalam teori ekonomi dinyatakan bahwa mekanisme pasar merupakan suatu alat yang murah dalam mengalokasikan sumberdaya secara efisien. Mekanisme pasar akan dengan cepat menunjukkan di mana terdapat kelebihan permintaan atau penawaran. Namun demikian, ketika mekanisme pasar gagal berada pada

arah yang benar, maka diperlukan campur tangan pemerintah agar mekanisme pasar memberikan hasil yang diinginkan.

Dalam konteks alokasi sumber daya manusia, ketika migrasi berada pada arah yang tidak sesuai (misalnya pindahnya penduduk dari desa ke kota sedangkan kota sudah memiliki penduduk yang terlalu padat atau pindahnya penduduk dari daerah yang jarang ke daerah yang padat penduduk), maka perlu campur tangan pemerintah untuk membuat migrasi berjalan di arah yang benar. Salah satu bentuk campur tangan tersebut adalah melalui transmigrasi atau yang dikenal secara umum sebagai bentuk pemukiman kembali penduduk.

Pemukiman kembali adalah terjemahan kata resettlement. Settlement berarti

a place where people have come to live and make their homes, especially where few or no people lived before. Sedangkan to resettle adalah to go and live in a new country or area. Kata lain yang berkaitan dengan resettlement di antaranya adalah

relocation, movement, passage, exodus, immigration. Dengan demikian pemukiman kembali didefinisikan sebagai kegiatan memindahkan penduduk dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan menetap (Soegiharto et al. 2005)

Pemukiman kembali atau penyelenggaraan perpindahan penduduk tidak hanya ada di Indonesia. Di Asia di antaranya Malaysia, Srilanka, Filipina, Thailand, Vietnam. Di Amerika Latin di antaranya Peru, Bolivia, Paraguay dan Mexico. Di Afrika di antaranya Ghana, Kenya dan Nigeria. Setiap negara memiliki latar belakang dan sasaran-sasaran yang berbeda, namun pada dasarnya sama yang mencakup kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam, bahkan pemantapan ideologi (Yudohusodo 1997)

Soegiharto dan Saidin (2005) melalui kajian permukiman kembali di beberapa negara menemukan beberapa persamaan dan perbedaan dalam hal tujuan program pemukiman kembali tersebut. Secara ringkas diberikan pada Tabel 10 berikut:

Tabel 10 Komparasi tujuan program pemukiman kembali pada tujuh negara

No Persamaan Negara

1 Demografi (penyebaran penduduk, distribusi penduduk)

Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil

2 Sosial (pengentasan kemiskinan, pengangguran, reformasi agraria)

Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil, Australia 3 Ekonomi (pembangunan daerah,

pengembangan areal pertanian)

Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil

4 Politik (interaksi social budaya, geopolitik, integrasi politik)

Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil, Australia

No Keunikan Program, Negara

1 Mengisi pembangunan pusat – pusat industri, jarak dekat

Self Defence Villages, Thailand 2 Sosial Ekonomi, bukan cuma – cuma

(non charity )

FELDA, Malaysia

3 Lintas etnis, interaksi sosial budaya Zone Ekonomi Baru, Vietnam 4 Pembangunan infrastruktur dan

pemukiman, skala kecil

Namatjira, Australia 5 Ekonomi skala kecil Lembah Majerda, Tunisia 6 Pertahanan keamanan, reformasi agraria Incra Precidencia, Brazil

Sumber: Soegiharto dan Saidin (2005)

Selanjutnya dalam konteks model penyelenggaraannya, juga terdapat beberapa perbedaan dan persamaannya dengan program transmigrasi di Indonesia. Model penyelenggaraan tersebut mencakup seleksi lokasi, seleksi calon pemukim, serta pemilihan komoditas dan pembagian lahan.

2.8.1 Seleksi Lokasi

Pada umumnya, pemilihan wilayah didasarkan pada tujuan untuk mengurangi kepadatan penduduk. Namun terdapat variasi dalam hal pembagian wilayah-wilayah padat penduduk sebagai target daerah asal, dengan cakupan mulai dari provinsi hingga kecamatan. Terdapat juga pembagian wilayah berdasarkan pembagian wilayah bagian selatan dan utara, dataran tinggi dan dataran rendah, serta lainnya.

Di Vietnam, pemindahan penduduk dilaksanakan dari Utara ke Selatan, dari kota ke desa, dan dari dataran rendah ke dataran tinggi, serta dari provinsi padat penduduk ke provinsi jarang penduduk. Di Malaysia, sasaran untuk pemerataan pendapatan antarwilayah lebih penting daripada pemerataan distribusi penduduk. Wilayah yang dipilih untuk menerima pemukim terdapat di enam negeri bagian,

tiga di antaranya adalah pada negeri bagian dengan pendapatan rendah yang terdapat di pantai timur (Kelantan, Pahang, dan Trengganu). Demikian pula dengan wilayah yang berada di bagian utara Kedah, yang merupakan wilayah berpenduduk jarang dibandingkan dengan negeri bagian yang ada di bagian barat semenanjung. Di negara-negara Amerika Latin, pada umumnya pemindahan penduduk merupakan pemukiman kembali penduduk dari wilayah dataran tinggi ke dataran rendah tropis, kecuali Peru di mana area gurun dipilih sebagai wilayah untuk kolonisasi pertanian.

2.8.2 Seleksi Calon Pemukim

Faktor-faktor umum yang menjadi perhatian dalam seleksi calon pemukim, adalah latar belakang pemukim, keterampilan, dan keuletan, yang diimplikasikan dalam kriteria pemilihan seperti umur, latar belakang keluarga, pengalaman di bidang pertanian, dan motivasi mengikuti program. Secara garis besar, kriteria seleksi ini dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, kriteria seleksi yang diaplikasikan pada kelompok penduduk yang paling tidak beruntung, misalnya penduduk miskin. Kedua, kriteria seleksi yang ditujukan pada sumber daya manusia yang lebih berkualitas dan memiliki inisiatif. Kedua cara seleksi ini menunjukan orientasi dari program yang dilaksanakan, apakah dalam kerangka tujuan sosial atau tujuan ekonomi.

Seleksi Untuk Tujuan Sosial

Di beberapa negara, tujuan sosial mendominasi penyelengaraan program pemukiman kembali. Skema pemukiman kembali di negara-negara ASEAN pada umumnya memberi peluang kepada penduduk yang berusia lebih tua dibandingkan usia migran spontan. Dalam hal pendidikan, peserta program pemukiman kembali memiliki tingkat pendidikan yang sama dengan penduduk dari daerah asal dibandingkan dengan tingkat pendidikan kaum migran spontan. Peserta transmigrasi di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang paling rendah dibandingkan dengan mereka yang mengikuti program serupa di negara-negara ASEAN lainnya.

Di Thailand dan Malaysia, yang tidak mengutamakan tujuan demografis, sebagian besar pemukiman kembali bersifat intraprovinsi. Dengan sistim ini, kesamaan latar belakang dapat mengurangi potensi konflik antara pemukim baru

dengan penduduk setempat. Sebaliknya, di masa lalu pemukiman intra-propinsi jarang ditemui di Indonesia dan Philipina, karena dari tujuan demografis merupakan tujuan utama program pemukiman kembali di ke dua negara tersebut.

Seleksi untuk tujuan ekonomi

Hanya sebagian kecil penyelenggaraan pemukiman kembali dengan kriteria seleksinya lebih menekankan tujuan efisiensi ekonomi daripada pertimbangan kemanusiaan dan sosial. Contoh penerapannya pada skema FELDA(Federal Land Development Authority) di Malaysia. Seleksi pemukim diarahkan untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki inisiatif, tidak untuk

charity bagi mereka yang malas.

Dimulai tahun 1961, skema FELDA menerapkan sistem seleksi yang juga memasukan persyaratan sebagai berikut: warga negara, tidak memiliki lahan atau memiliki kurang dari 2 acres (0.8 Ha), umur (18-35 tahun), status kawin, latar belakang pertanian, dan dalam kondisi fisik sehat. Dalam skema FELDA, pemukim harus petani yang baik, dan land settlement harus dibedakan dari penataan daerah kumuh (slum clearence). Sesuai dengan permintaan pemerintah, pensiunan pegawai negeri dapat mengisi jatah 20 persen pada program pemukiman kembali. Untuk pensiunan pegawai negeri, tidak diberlakukan aturan harus memiliki keterampilan bertani.

2.8.3 Pembagian Lahan dan Pemilihan Komoditas

Di Thailand, setiap keluarga kolonis mendapat lahan maksimal 50 rai (8

acre). Di Malaysia, lahan dengan luas 8 hingga 10 acre bagi setiap peneroka merupakan batas minimum untuk tanaman karet, dan 12 acre untuk tanaman kelapa sawit. Di Vietnam, kesuburan tanah menjadi faktor penentu dalam penentuan luas lahan yang dibagikan. Luasan normal adalah 0.5 Ha untuk wilayah dengan lahan yang sangat subur, dan 1 hingga 2 Ha untuk wilayah hutan marjinal. Dalam program transmigrasi di Indonesia setiap transmigran mendapatkan lahan yang luasnya disesuaikan dengan pola usahanya. Luas lahan yang diterima transmigran berkisar antara 0,75 Ha sampai 2,0 Ha.

Dalam prosedur pembebasan tanah, pada tahun 1942 Thailand mengeluarkan keputusan tentang alokasi lahan (the land alocation act) guna meningkatkan distribusi tanah negara kepada petani tuna kisma. Sementara itu,

program pemukiman kembali secara simultan dilaksanakan diantaranya oleh Departemen Sosial (Department of Public Welfare) dalam Kementerian Dalam Negeri (Ministry of the Interior), Departemen Pertanahan (the Department of Lands), Departemen Koperasi (Department of Cooperatives), dan Agricultural Land Reform Office dari Kementerian Pertanian dan Koperasi (Ministry of Agriculture and Cooperatives).

Di Malaysia, konflik kepentingan antara pemerintah pusat dengan pemerintah federal membuat permasalahan land colonization menjadi kompleks. Oleh karena itu, tahun 1959 dibentuk Kementerian Pembangunan Desa (Ministry of Rural Development) untuk melakukan terobosan dalam struktur federal dengan mengambil alih kewenangan Pusat. Tahun 1961-1967, sebagai bagian dari mandat, FELDA diberi kewenangan untuk secara langsung membangun tanah- tanah negara yang secara tradisional merupakan properti para sultan.

Di Indonesia, prosedur pembebasan lahan dilaksanakan di lingkungan institusi pemerintahan yang terkait. Lahan untuk tujuan program transmigrasi ini dimiliki oleh pemerintah, yaitu berupa tanah negara atau lahan bebas. Selanjutnya, banyak variasi ditemui dalam pemilihan komoditi tanaman. Di beberapa negara, tujuan ekonomi pemukiman kembali adalah untuk meningkatkan produksi pangan, sedangkan di negara lain, prioritas utamanya adalah untuk meningkatkan produk tanaman ekspor.

Di Malaysia, para peneroka (pembuka daerah atau tanah baru) tidak mempunyai pilihan lain untuk komoditi utama. Pemerintah telah menetapkan tanaman karet sebagai komoditi unggulan pada awal penyelenggaraan skema FELDA. Sebagai upaya diversifikasi disediakan lahan seluas 0.8 Ha untuk tanaman buah-buahan, sebagai tambahan dari lahan yang dibagikan dengan luas standar 2,4 Ha untuk tanaman karet. Pada tahun 1961 tanaman kelapa sawit diperkenalkan, dan secara cepat dapat mengungguli area untuk karet.

Di Thailand, setiap lokasi pemukiman kembali memiliki tanaman campuran seperti jagung, padi, kacang-kacangan, nenas, tebu, kelapa dan kapas. Di Vietnam, awalnya penekanan diberikan pada produksi padi dan ubi kayu. Ketika Zone Ekonomi Baru di Vietnam dibuka, penggunaan lahan telah mengalami diversifikasi dengan karet, kopi, teh, kelapa, lada, buah-buahan.

Kegiatan selanjutnya adalah mempersiapkan lokasi pemukiman. Di beberapa negara, pemukim melakukan sendiri seluruh kegiatan penyiapan lahan, sedangkan di negara lainnya kegiatan pembukaan lahan (land clearing) dan pembangunan lahan seluruhnya dilakukan oleh pemerintah. Perbedaan terjadi karena perbedaan ketersediaan dana untuk penyiapan lahan. Variasi juga terjadi dalam kegiatan penyiapan lahan tergantung dari skala dan tujuan program pemukiman kembali.

Pada skema self-help di Thailand para kolonis menanggung bagian yang cukup besar dari biaya pembangunan fisik. Model seperti self-help vilages ini juga ditemui di Vietnam. Di Vietnam, para tentara peserta program bekerja membersihkan lahan. Pada tahap selanjutnya, sekelompok pemuda sukarelawan mempersiapkan lahan dan membangun tempat tinggalnya.

Malaysia, melalui skema FELDA menerapkan capital intensive schemes.

FELDA melaksanakan sendiri kegiatan pembukaan lahan, pembangunan rumah, dan penanaman tanaman. Skema FELDA mengeluarkan biaya yang cukup tinggi untuk lahan yang dikembangkan. Namun cara ini diyakini telah meningkatkan daya tarik skema FELDA, serta mampu menahan para pemukim untuk tinggal menetap disana. Selain itu, FELDA juga menyediakan sarana infrastruktur.

Di Indonesia, terdapat dua tipe skema pemukiman yaitu yang sepenuhnya disubsidi oleh Pemerintah (Transmigrasi Umum) dan yang dibiayai oleh Pemerintah, swasta, dan petani. Skema yang mirip dengan FELDA adalah program transmigrasi pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR-Trans). Pola ini mendapat bantuan pemerintah dalam hal membuka lahan, menyiapkan bibit non tanaman perkebunan, menanam dan memelihara tanaman sampai jangka waktu tertentu. Selanjutnya transmigran (sebagai petani plasma) didatangkan untuk menetap, mengelola kebun dan memanen hasil kebunnya serta membayar kredit, sedangkan pembinaan teknis perkebunan dan pemasaran hasil oleh swasta sebagai perusahaan inti.

Berbeda dengan negara-negara lain, pemerintah Indonesia membersihkan sebagian atau seluruh lahan yang akan diberikan kepada transmigran. Bentuk penyiapan lokasi bervariasi tergantung dari kondisi lokasi dan jenis transmigrasi. Transmigrasi Umum menerima bantuan paling banyak dari pemerintah. Meskipun

termasuk fleksibel dalam hal luasan lahan yang dibagikan dan dalam pengunaan lahan, proporsi penggunaan lahan untuk pertanian subsisten pada transmigrasi masih lebih tinggi dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya.