• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan pemukiman transmigrasi pada dasarnya adalah pembangunan perdesaan dan pembangunan masyarakat desa. Oleh karenanya dalam memahami perkembangan permukiman transmigrasi diperlukan pemahaman mengenai pembangunan perdesaan dan masyarakat desa.

Eksistensi dan variasi desa dapat dilihat dari sisi historis, kultural, geografis termasuk unsur dan status desa. Desa secara leksikal berasal dari bahasa Sanskrit yaitu Desi yang artinya tanah asal atau tanah kelahiran. Di Inggris di mana tempat tinggal bersama di sebut dengan “parish” di Belanda disebut

“waterschap” di Amerika Serikat disebut “borough”. Demikian pula di Indonesia terdapat beraneka nama untuk kelompok atau kumpulan rumah-rumah misalnya Kampung dan Desa (sebutan di Jawa-Barat), Gampong (Aceh),

Huta atau Kuta (Tapanuli), Marga (Sumatera Selatan), Negorij (Maluku),

Nagari (Minangkabau), Wanua (Minahasa), Gaukay (Makasar), Banua (Kalimantan Barat) dan lain sebagainya.

Soetardjo (1984) mengemukakan bahwa: Desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Desa terjadi hanya dari satu tempat kediaman masyarakat saja, ataupun terjadi dari satu induk desa dan beberapa tempat kediaman sebagian dari masyarakat hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri, kesatuan-kesatuan mana dinamakan pedukuhan, ampean, kampung, cantilanbeserta tanah pertanian, tanah perikanan darat (empang, tambak dan sebagainya) tanah hutan dan belukar.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, desa atau yang disebut dengan nama lain tentang Desa disebutkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perdesaan didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam

dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Hayami dan Kikuchi (1987) mengartikan desa sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi hasil keputusan keluarga secara bersama. Pengertian ini lebih mengacu pada cara hidup masyarakat desa secara keseluruhan.

Pemahaman lebih lanjut tentang unsur-unsur desa dijelaskan oleh Bintarto (1983) sebagai berikut: 1) daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak beserta penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan geografi setempat, 2) penduduk, adalah hal yang meliputi jumlah, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat, 3) tata kehidupan, dalam hal ini pola atau tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa. Jadi menyangkut seluk-beluk kehidupan masyarakat desa (rural society).Unsur-unsur desa merupakan sesuatu yang penting sehingga tidaklah berlebihan jika desa telah diberi predikat sebagai sendi negara. Sedangkan Ndraha (1984) mengemukakan bahwa unsur-unsur desa merupakan komponen pembentuk desa sebagai satuan ketatanegaraan dan komponen-komponen tersebut meliputi wilayah desa, penduduk atau masyarakat desa dan pemerintahan desa.

Pandangan di atas menunjukkan bahwa unsur-unsur desa merupakan perekat utama dalam memposisikan desa sebagai hasil perpaduan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya. Koestoer et al. (1995) mengemukakan bahwa hasil perpaduan itu ialah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi. Kecirian fisik ditandai oleh pemukiman yang tidak padat, sarana transportasi yang langka, penggunaan lahan persawahan dan kecirian lain berupa unsur-unsur sosial pembentuk desa yaitu penduduk dan tata kehidupan. Dalam kerangka itu, Ndraha (1984) mengungkapkan bahwa memahami desa secara komprehensif dapat dilakukan melalui wilayah, aspek yuridis, sosio- kultural dan aspek kegotong-royongan. Kesemua aspek tersebut banyak mewarnai substansi dan eksistensi desa.

Unsur-unsur desa merupakan elemen utama pembentuk desa. Perpaduan unsur-unsur tersebut yang pada akhirnya membentuk suatu karakteristik tersendiri yang membedakan desa secara umum dengan kota, dan secara khusus membedakan antara desa yang satu dengan lainnya. Unsur-unsur desa tersebut terbentuk dari berbagai unsur yang mewarnai kehidupan desa, seperti unsur sosial, fisiografi, ekonomi, politik dan budaya yang saling berinteraksi.

Terkait dengan pembangunan desa, berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Secara tradisional, Mosher (1974) mendefinisikan pembangunan perdesaan sebagai pembangunan usahatani atau pembangunan pertanian. Menurut Hansen (1981) pembangunan perdesaan merupakan upaya meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Senada dengan hal tersebut, Collier et al. (1996) mengartikan pembangunan perdesaan sebagai perubahan orientasi dari pertanian produksi ke bisnis seluas-luasnya.

Hafsah (2006) menyatakan bahwa tujuan filosofi dari pembangunan perdesaan adalah meningkatkan motivasi masyarakat dalam membangun dan memobilisasi dirinya untuk bekerjasama dalam pencapaian tujuan bersama serta meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan pembangunan, baik dalam aspek fisik, politik maupun ekonomi. Karena itu tujuan praktis dari pembangunan perdesaan ini adalah :

a. Meningkatkan produktivitas ekonomi perdesaan seperti dengan inovasi teknologi (modernisasi pertanian) dan mengintroduksikan perubahan- perubahan sosial dan kelembagaan yang berkaitan dengan pemilikan tanah, organisasi masyarakat (kelompok tani, asosiasi petani dan koperasi), perencanaan pemerintah dan administrasi pemerintah.

b. Meningkatkan kesempatan kerja dan pendistribusian kesejahteraan yang lebih merata.

c. Mengembangkan sistem pelayanan sosial dengan menyediakan sistem pelayanan terpadu yang ekonomis dan efektif serta komprehensif.

d. Meningkatkan kapasitas politik dan administrasi melalui peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya.

Dalam konteks pendekatan pembangunan perdesaan ini, Misra dan Bhooshan (1981) mengidentifikasi beberapa pendekatan dan strategi yang telah

dilaksanakan oleh berbagai negara sedang berkembang dalam mengatasi masalah keterbelakangan perdesaan. Pendekatan dan strategi tersebut adalah: 1) migrasi ke daerah baru; 2) pembangunan pertanian; 3) industrialisasi perdesaan; 4) pendekatan kebutuhan dasar; 5) pembangunan perdesaan terpadu; 6) strategi pusat pertumbuhan dan 7) pendekatan agropolitan.

Selanjutnya menurut Jamal (2009) secara sederhana terdapat tiga kutub pemikiran yang berkembang di Indonesia terkait dengan pendekatan pembangunan perdesaan. Kelompok pertama melihat wilayah perdesaan dan masyarakatnya sebagai sesuatu yang khas dan spesifik, dan dalam menggerakan pembangunan di wilayah perdesaan, pendekatan yang digunakan adalah dengan sedikit mungkin campur tangan pemerintah. Untuk itu perlunya dilakukan trans- formasi kekuasan politik dan penguasaan alat-alat produksi kepada lapisan masya- rakat yang memiliki potensi produksi terbesar, tetapi berada dalam kedudukan yang lemah. Kelompok ini mensyaratkan perlunya dilakukan pengaturan kembali struktur penguasaan atas tanah, sistem hubungan penguasaan, pemilikan, sakap- menyakap sebagai dasar dalam modernisasi perdesaan. Kegiatan industri akan berkembang sebagai akibat surplus dari pertanian, dan kelebihan tenaga kerja dari pertanian secara bertahap akan diserap sektor pengolahan hasil pertanian dan industri.

Selanjutnya, kelompok kedua cenderung melihat desa sebagai sesuatu yang homogen dan perlu digerakkan dengan campur tangan pemerintah yang maksimal. Pemikiran inilah yang melandasi disusunnya berbagai cetak biru pembangunan perdesaan dan ditetapkannya berbagai peraturan perundangan yang menjadikan desa sebagai suatu wilayah yang homogen dan steril dari kegiatan politik praktis, serta menjadi 'alat pemerintah' dalam pembangunan. Kelompok ketiga mencoba menyeimbangkan kekuatan masyarakat perdesaan dan negara dalam menentukan arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat perdesaan. Menurut kelompok ini, sistem cetak biru dalam pembangunan perdesaan akan membuat pembangunan efisien, namun tidak menumbuhkan partisipasi dari masyarakat.

Sejak Pelita III berbagai pendekatan pembangunan telah dirancang untuk mempercepat kemajuan desa di antaranya adalah: 1) pendekatan kawasan perdesaan

yang mempunyai komoditas unggulan dalam satuan wilayah ekonomi; 2) mengintervensi desa melalui pengembangan infrastruktur pertanian secara terpadu (penyediaan saprotan, kelembagaan ekonomi, pendampingan); 3) kegiatan membangun kawasan perdesaan menjadi kota-kota pertanian (Wibowo et al. 2006). Terkait dengan pendekatan-pendekatan tersebut beberapa program pembangunan yang telah dilaksanakan di antaranya adalah:

a. Program Bimas dan Inmas, Insus, Supra Insus dan Kredit Usaha Tani (KUT). Merupakan program yang dirancang dalam konteks percepatan pemenuhan kebutuhan pokok (swasembada pangan) sekaligus membangun infrastruktur pertanian sebagai titik awal modernisasi pertanian dan kawasan perdesaan. b. Program Unit Desa Karya Pembangunan (UDKP). Dalam sistem ini,

perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan dilaksanakan di wilayah kecamatan.

c. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Suatu program yang dirancang untuk mengatasi kemiskinan di wilayah perdesaan yang sekaligus sebagai upaya mengembangkan modal sosial melalui kelompok-kelompok usaha sebagai pilar utama kemajuan desa.

d. Program Pengembangan Kawasan Agropolitan. Dalam kerangka mewujudkan keterkaitan desa-kota telah dikembangkan berbagai program dengan mengintroduksi sistem agribisnis dan rancang wilayah perdesaan menjadi pusat kegiatan/kawasan produksi yang bernuansa perkotaan melalui pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) dan Kawasan Agropolitan.

e. Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Merupakan kelanjutan program IDT untuk menanggulangi kemiskinan.

Terlepas dari berbagai pendekatan dan program tersebut, pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan pembangunan yang bersifat multi aspek. Karenanya perlu dianalisis secara lebih terarah serta keterkaitannya dengan berbagai sektor, dan aspek di luar perdesaan (fisik dan non fisik, ekonomi dan non ekonomi, sosbud dan non spasial). Menurut Esman dan Uphoff (1988), terdapat empat jenis pembangunan perdesaan, yakni: 1) yang berbasis pertanian; 2) yang berbasis multisektor; 3) yang berbasis sumber daya alam dan lingkungan; dan 4)

yang berbasiskan pelayanan jasa-jasa sosial berupa kesehatan, pendidikan dan lain-lain.

Mosher (1974) mengemukakan agar desa dapat berkembang menjadi lebih pogresif, harus memiliki beberapa komponen akselerator, yaitu: 1) desa harus mempunyai kota-kota pasar (market town); 2) perlu dibangun jalan-jalan perdesaan untuk memperluas dan menekan biaya serta mempermudah penyaluran informasi dan jasa; 3) di desa harus ada percobaan-percobaan pengujian lokal (local verification trials) untuk memilih cara berusaha yang paling sesuai dengan keadaan setempat; 4) harus ada aparat penyuluhan di mana penduduk dapat belajar tentang teknologi baru dan bagaimana mempergunakan teknologi baru tersebut; dan 5) tersedia fasilitas-fasilitas kredit untuk membiayai produksi dan pemasaran hasil.

Pemikiran Mosher tersebut dikembangkan oleh beberapa pakar di Indonesia dengan memasukkan aspek sosial dan kelembagaan. Soewandi (1976) mengemukakan bahwa untuk tercapainya proses modernisasi perdesaan ada dua hal utama yang perlu diperhatikan yaitu 1) mengembangkan kelembagaan- kelembagaan baru dalam masyarakat desa sebagai pendukung terhadap sistem perekonomian dinamis, yang mampu melibatkan sebanyak-banyaknya warga desa dalam sistem perekonomiannya, 2) mendorong perkembangan sektor-sektor non- pertanian untuk menyerap kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian.

Siagian (1995) mengemukakan untuk mengembangkan masyarakat desa harus dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu 1) memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach); 2) mengembangkan inspirasi dan partisipasi masyarakat (bottom up approach); 3) menggerakkan dan menghidupkan aktivitas ekonomi rakyat (property approach); 4) membangun organisasi dan kelembagaan yang dikelola oleh masyarakat sendiri (participation approach); 5) menyediakan teknologi tepat guna (appropriate approach) serta 6) membangun integrasi desa- kota (rural-urban linkage community development). Sejalan dengan hal tersebut, Sumodiningrat (1996) menyatakan paling tidak harus terdapat tiga aspek yang perlu mendapat perhatian dalam membangun masyarakat perdesaan yaitu 1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang; 2) memperkuat potensi ekonomi atau sumber daya yang dimiliki

oleh masyarakat (pendidikan, modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar) serta 3) pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan ekonomi rakyat. Selanjutnya Prabowo (1995) mengemukakan bahwa diperlukan adanya diversifikasi usaha perdesaan yang selain mampu mendorong produksi pertanian tradisional, juga mampu memacu pertumbuhan kegiatan ekonomi rakyat perdesaan yang dapat menjadi landasan bagi pertumbuhan yang berkesinambungan dan pemerataan. Murdoch (2000) juga mengemukakan bahwa dalam pembangunan masyarakat desa, selain perlu membangun keterkaitan vertikal juga perlu membangun keterkaitan horisontal dengan memperkuat produksi lokal yang bermanfaat bagi ekonomi perdesaan secara keseluruhan dengan mengintegrasikannya ke dalam perekonomian yang lebih luas. Dalam hal ini, pembangunan masyarakat desa bukan hanya sektor pertanian (produksi) tetapi juga sektor pertanian yang berkaitan dengan ekonomi daerah perkotaan.

Sebagai suatu proses untuk meningkatkan keberdayaan dalam meraih masa depan yang lebih baik, pembangunan meliputi upaya untuk memperbaiki keberdayaan masyarakat. Prinsip pemberdayaan masyarakat adalah menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam seluruh rangkaian pembangunan. Pemberdayaan masyarakat sebagai subjek untuk mengenali permasalahan dan ikut dalam perencanaan program akan menghasilkan kemandirian yang tinggi (Sajogyo 1982).

Menurut Surjadi (1995), pembangunan masyarakat desa adalah sebagai suatu proses di mana anggota-anggota masyarakat desa pertama-tama mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan mengerjakan bersama untuk memenuhi keinginan mereka tersebut. Pembangunan masyarakat desa pada dasarnya adalah bertujuan untuk mencapai suatu keadaan pertumbuhan dan peningkatan jangka panjang dan sifat peningkatan akan lebih bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga masyarakat, yaitu pola yang dapat mempengaruhi perkembangan aspek mental, fisik, intelegensia (kecerdasan) dan kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Dalam perspektif tersebut, (Horton dan Hunt 1982) mengemukakan pembangunan masyarakat perdesaan diartikan sebagai pembangunan masyarakat tradisional menjadi manusia modern.

Terkait dengan pendekatan dalam pembangunan masyarakat desa ini, Jamal (2009) mengemukakan seharusnya pendekatan yang digunakan tergantung pada homogenitas kebutuhan individu serta ragam keperluan bagi kebersamaan masyarakat desa dalam pembangunan itu sendiri. Pada tataran ini, pendekatan komando didefinisikan sebagai pendekatan instruktif, di mana inisiatif pemerintah sangat dominan dan masyarakat berperan sebagai pihak yang dige- rakkan. Pendekatan semipartisipatif merupakan pendekatan yang memadukan inisiatif masyarakat dan campur tangan pemerintah, sedangkan pendekatan partisipatif lebih mengedepankan inisiatif masyarakat dan meminimalkan campur tangan pemerintah. Pendekatan-pendekatan tersebut diberikan pada Tabel 6. Tabel 6 Pendekatan pembangunan perdesaan berdasarkan tingkat perkembangan

kebutuhan individu dan keperluan kebersamaan sebagai suatu komunitas

Keperluan kebersamaan

Tingkat perkembangan kebutuhan Individu

Homogen Mulai

heterogen

Sangat heterogen Kebersamaan masyarakat untuk

mendukung inisiatif pemerintah

Kebersamaan masyarakat sebagai partner pemerintah dalam pembangunan

Kebersamaan masyarakat sebagai penggerak utama pembangunan perdesaan Pendekatan komando Pendekatan komando Pendekatan semi partisipatif Pendekatan komando Pendekatan semi partisipatif Pendekatan semi partisipatif Pendekatan semi partisipatif Pendekatan partisipatif Pendekatan partisipatif Sumber: Jamal (2009)

Dari berbagai perspektif pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa pembangunan desa dan masyarakat perdesaan tidak hanya semata-mata pada produksi atau usaha taninya saja. Pertanian harus dikembangkan dalam konteks pengembangan agribisnis secara utuh yang melibatkan berbagai infrastruktur penunjang, sistem ekonomi, sosial dan kelembagaan serta memiliki keterkaitan secara sektoral maupun regional.

Didefinisikan secara lengkap agribisnis adalah kegiatan yang berhubungan dengan penanganan komoditi pertanian dalam arti luas, yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan masukan dan keluaran produksi (agroindustri), pemasaran masukan-keluaran pertanian dan kelembagaan penunjang kegiatan. Yang dimaksud dengan berhubungan adalah kegiatan usaha

yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian (Downey & Steven 1987; Saragih 2010).

Mata rantai kegiatan tersebut dapat dipilah menjadi empat subsistem yaitu: 1) subsistem produksi (on-farm); 2) subsistem pengolahan (agroindustri hulu dan hilir) (off-farm); 3) subsistem pemasaran/perdagangan (off-fram); dan 4) subsistem lembaga penunjang (off-farm). Keempat subsistem ini mempunyai kaitan yang erat, sehingga gangguan pada salah satu subsistem atau kegiatan akan berpengaruh terhadap subsistem atau kelancaran kegiatan dalam bisnis.

Subsistem usahatani atau produksi adalah penggerak utama agribisnis. Jika subsistem produksi (usahatani) dikembangkan atau dimodernisasi, maka akan timbul kaitan ke belakang (backward linkages) berupa peningkatan kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Kaitan kebelakang ini mengundang pelaku lainnya (perorangan atau perusahaan) untuk menangani pemasaran/perdagangan input produksi (usahatani). Keberhasilan dalam menangani pemasaran/perdagangan input produksi ini, akan sangat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga penunjang agribisnis, seperti angkutan, ketersediaan lembaga kredit dan peraturan-peraturan yang berlaku.

Produk pertanian tergantung pada musim, menyita banyak ruangan untuk menyimpannya dan tidak tahan lama. Oleh karenanya perlu diolah menjadi produk yang dapat disimpan. Pengolahan produk disebabkan juga oleh permintaan konsumen yang semakin menuntut persyaratan kualitas dan diversifikasi produksi olahan bila pendapatan mereka meningkat. Jadi modernisasi sektor produksi (usahatani) akan menimbulkan kaitan ke depan dalam bentuk industri pertanian.

Berpijak dari pemahaman bahwa pembangunan perdesaan dilakukan melalui pengembangan sistem agribisnis, maka dapat digeneralisir faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan sistem agribisnis sekaligus sebagai faktor yang mempengaruhi pembangunan perdesaan dan masyarakat desa berikut:

Kelembagaan

Secara definisi, Uphoff (1992) dan Fowler (1992) mengartikan kelembagaan sebagai “a complex of norm and behavior that persist overtime by serving some socially valued purpose”. Makna kelembagaan lebih mengandung aspek “isi”,

tidak hanya pada “bentuk luar” atau fisiknya (Lauer 1982, diacu dalam Pranadji 2002).

Peningkatan produktivitas ekonomi perdesaan terutama bidang pertanian memerlukan kelembagaan yang mengakar di tingkat masyarakat (Pranoto 2005). Dalam konteks yang berbeda, Saptana et al. (2004) mengemukakan penyebab utama rapuhnya perekonomian rakyat di perdesaan, adalah rapuhnya kelembagaan yang mendukungnya. Beberapa persoalan utama yang dihadapi kelembagaan ekonomi tradisional di perdesaan adalah kemampuan yang lemah dalam menggalang jaringan kerja sama dengan kelembagaan modern, rendahnya kapasitas internal untuk dapat bersaing di bidang ekonomi, dan menghadapi tekanan dari luar (di bidang gaya hidup, ekonomi, politik, social dignity dan budaya kota dan manca negara).

Kelembagaan lokal dapat dirinci dalam enam kategori, yaitu: administrasi lokal, pemerintah lokal, organisasi-organisasi yang beranggotakan komunitas setempat, organisasi kerja sama usaha, organisasi-organisasi pelayanan, dan bisnis swasta (Uphoff 1986). Senada dengan hal tersebut, Saptana et al. (2004) mengemukakan dalam kehidupan masyarakat perdesaan, terdapat tiga lembaga penopang, yaitu kelembagaan komunitas lokal (communal institutions) atau tradisional, kelembagaan pasar (private sector) karena keterbukaan dengan ekonomi luar, dan kelembagaan sistem politik atau sistem pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector).

Dalam konteks kelembagaan ini, telah dikembangkan pemikiran yang terkenal dengan istilah Induced Innovation Model (Ruttan & Hayami 1984; Hayami dan Kikuchi 1986). Dalam model tersebut dijelaskan adanya keterkaitan antara empat faktor , yaitu: 1) resource endowment, 2) cultural endowment, 3)

technology, dan 4) institutions. Mereka mengatakan bahwa keberhasilan pencapaian pertumbuhan produktivitas secara kontinu merupakan suatu dinamika proses adjustment kepada kekayaan sumber daya alam dan kepada akumulasi sumber daya. Proses tersebut juga melibatkan respon adaptif sebagai bagian dari respon sosial, politik, kelembagaan ekonomi dalam upaya untuk merealisasikan potensi pertumbuhan yang dibuka oleh inovasi teknologi baru. Selain itu, terjadinya perubahan-perubahan kelembagaan dengan mengusahakan bentuk-bentuk

yang baru yang lebih menguntungkan untuk diciptakan pada dasarnya didorong oleh faktor-faktor ekonomi termasuk di dalamnya yang dimiliki masyarakat perdesaan seperti penyediaan dalam teknologi dan sumber daya. Oleh karenanya, mengacu pada hal tersebut maka dalam pengembangan kelembagaan di perdesaan haruslah mempertimbangkan keterkaitan ke empat hal pokok di atas.

Infrastruktur

Pengertian infrastruktur terdiri dari infrastruktur fisik dan jasa layanan yang diperoleh darinya untuk memperbaiki produktivitas ekonomi dan kualitas hidup seperti transportasi, telekomunikasi, kelistrikan, dan irigasi. Infrastruktur memiliki peran yang cukup signifikan dalam perkembangan suatu wilayah. Berbagai studi telah banyak dilakukan untuk membuktikan hubungan kuat antara pembangunan infrastruktur dengan pengembangan wilayah. Peran penting infrastruktur tersebut dalam pengembangan suatu wilayah terutama terletak pada fungsinya sebagai

input dalam proses produksi.

Khususnya infrastruktur jaringan jalan, dalam pembangunan perdesaan dikembangkan keluar dalam fungsinya sebagai penghubung ke pusat kegiatan yang lebih tinggi (forward linkage) untuk keperluan pemasaran maupun akses terhadap sumber daya eksternal serta pemenuhan kebutuhan kawasan. Sedangkan jaringan di dalam kawasan harus dapat memfasilitasi kebutuhan pergerakan antar sub-kawasan untuk kebutuhan pengumpulan dan penyaluran produksi hasil pertanian dan perkebunan yang ada (backward linkage).

Kualitas Sumber daya Manusia

Akselerasi pembangunan desa adalah segala upaya yang dilakukan untuk membuat proses pembangunan di desa lebih cepat, sehingga manfaatnya dapat segera dilaksanakan oleh masyarakat desa tersebut. Percepatan pembangunan tersebut mengandung maksud menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi cepatnya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di desa. Salah satu unsur penting dalam suksesnya suatu pembangunan adalah adanya kualitas sumber daya manusia yang berkompeten. Dalam upaya menumbuhkan kemandirian masyarakat desa dalam pembangunan filosofinya adalah masyarakat desa menjadi subjek pembangunan dan bukan menjadi obyek pembangunan itu sendiri.

Salah satu ukuran kualitas sumber daya manusia adalah tingkat pendidikan. Dalam Human Capital Theory dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan. Dengan semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan maka semakin tinggi tingkat produktivitas. Dengan adanya keterampilan dan pengetahuan yang tinggi maka mendorong tingginya tingkat pendapatan. Hal ini menandakan bahwa kualitas sumber daya manusia memegang peranan penting dalam sukses atau tidaknya suatu pembangunan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia ini dapat dicapai melalui pendidikan dan pelatihan.

Pendidikan selain berfungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, juga berfungsi untuk menyiapkan masyarakat desa dalam menghadapi perubahan yang akan terjadi sebagai konsekuensi dari adanya pembangunan di desa tersebut. Hal ini sangat penting, mengingat adanya pembangunan akan berpotensi atau dapat menyebabkan terjadinya perombakan sosial-kultural dalam masyarakat. Jika masyarakat tidak siap, pembangunan justru dapat menyebabkan terjadinya proses yang tidak terkendali, misalnya meningkatnya budaya konsumtif di masyarakat.