Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh :
AHMAD ZULFAHMI NIM : 105043101292
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh:
AHMAD ZULFAHMI NIM. 105043101292
Di bawah Bimbingan
Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA NIP. 1957 0312 1985 031003
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya pergunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 13 Desember 2010
i
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, segala puji dan syukur penulis hanturkan
kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, serta yang
telah memberikan hidayah dan ‘inayat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis hanturkan kepada Nabi Muhammad
SAW, manusia mulia lagi dimuliakan Rabb-Nya, rasul yang menjadi suri tauladan
bagi seluruh umat, dalam membuka gerbang jalan ilmu pengetahuan. Begitupun juga
semoga seluruh keluarga, sahabat, serta seluruh umat yang mengikuti jejak kebenaran
dan kebaikannya senantiasa tercurahkan keselamatan sampai tiba hari pembalasan
kelak.
Dengan tetesan keringat, basuhan air mata, serta beribu-ribu do’a, akhirnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Realitas Nikah Sirri (Studi Empiris Masyarakat di Wilayah Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat)”. Penulisan skripsi ini guna memenuhi dan melengkapi persayaratan untuk mencapai
gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum,
Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagai hamba yang lemah dan penuh salah, penulis menyadari dan
ii
pelbagai pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik secara moril
maupun materiil. Ucapan terimakasih ini penulis persembahkan kepada yang
terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta para pembantu Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA sebagai ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan Hukum beserta Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag sebagai
Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulllah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA yang telah tulus ikhlas membantu dan
membimbing dengan penuh kesabaran, sehingga penyelesaian skripsi ini berjalan
baik.
4. Seluruh Dosen dan Civitas Akademi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan dan seluruh pegawai Perustakaan di lingkungan Universitas Islam
iii
7. Bapak Drs. H. Abd. Rachman selaku Kepala KUA Kecamatan Kebon Jeruk dan
seluruh staff Kelurahan Kebon Jeruk, yang telah memberikan waktu dan
kesempatan kepada penulis dalam mengadakan penelitian dan memperoleh
informasi.
8. Warga Kebon Jeruk (Ita, Karumi, dan Sari) beserta tokoh masyarakat Kebon
Jeruk (H. Urwah Salim) Dan Amil sekaligus tokoh masyarakat (H. Zarkasih)
yang telah bersedia untuk memberikan informasinya dalam penelitian yang
penulis lakukan.
9. Teman-teman yang telah mensupport penulis dalam menyusun skripsi ini yaitu
Firman, Ibnu, Boy, Hasan, Amarullah Beserta Tim Hadro ISPAM, Fadly dan
Dian Sari yang telah sabar menemani dalam proses penyelesaian skripsi ini.
10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah turut
serta membantu dalam penyusunan skripsi ini dari tahap awal hingga akhir.
Dengan segenap ketulusan dan keikhlasan dari hati yang paling dalam atas
jasa dan bantuan semua pihak, penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT
memberikan balasan pahala yang berlipat dan menjadikannya sebagai amal ibadah
iv
Jakarta, 30 November M Muharram 1431 H
v
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Review Studi... 8
E. Metode Penelitian ... 10
F. Sistematika penulisan... 13
BAB II TINJAUAN TEORITIS... 15
A. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan... 15
B. Pengertian Nikah Sirri ... 28
C. Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Nikah Sirri 1) Nikah Sirri Menurut Hukum Islam ... 29
2) Nikah Sirri Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.... 38
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 44
vi
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 53
A. Profil Informan Masyarakat Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat ... 53
B. Sekilas Tentang Masyarakat Kel. Kebon Jeruk Jakarta Barat Terkait Pernikahan Sirri ... 54
C. Faktor yang menyebabkan pernikahan sirri di Wilayah Kel. Kebon Jeruk Jakarta Barat... 61
D. Akibat Hukum Yang Ditimbulkan Dari Pernikahan Sirri ... 65
E. Analisa Tentang Realitas Nikah Sirri... 67
BAB V PENUTUP ... 70
A. Kesimpulan... 70
B. Saran-saran ... 72
1
A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia adalah mahluk “Zoon Politicon” artinya manusia
selalu bersama manusia lainnya dalam pergaulan hidup dan kemudian
bermasyarakat atau yang biasa disebut adalah makhluk sosial. Hidup bersama
dalam masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa bagi manusia dan hanya
manusia yang memiliki kelainan saja yang ingin hidup mengasingkan diri dari
orang lain. Salah satu bentuk hidup bersama yang terkecil adalah keluarga.
Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang terbentuk karena
perkawinan
Perkawinan merupakan aspek penting dalam ajaran Islam. Di dalam
Al-Qur’an dijumpai tidak kurang dari delapan puluh ayat yang berbicara soal
perkawinan, baik yang memakai kata nikah(berhimpun) maupun yang memakai
kata Zawwaja (berpasangan).1 Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan
kepada manusia bagaimana seharusnya menjalani jalan yang menghantarkan
manusia baik laki-laki maupun perempuan menuju kehidupan yang bahagia
dunia akhirat sesuai dengan ridha Illahi. Karena memang pada dasarnya tujuan
1
daripada perkawinan adalah menciptakan keluarga yangsakinah, mawaddahdan
rahmah.
Allah sangat menganjurkan manusia untuk menikah karena pernikahan
tersebut akan mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia. Di antaranya,
Allah akan melapangkan rizki yang baik dan halal untuk hidup berumah tangga,
sebagaimana firman Allah SWT Q.S Al-Nahl (16): 72.
) .
ﻞ ﺤ ّﻨ ﻟ ا
/
16
…:
72
(
Artinya:“Dan Allah Menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagi mu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rizki dari yang baik-baik”. (QS. Al-Nahl (16): ...72
Proses pernikahan manusia akan menghasilkan regenerasi yang tumbuh
dan berkembang, sehingga dalam kehidupan umat manusia dapat dilestarikan.
Sebaliknya tanpa pernikahan generasi akan berhenti, kehidupan manusia akan
terputus dan duniapun akan berhenti, sepi, dan tidak berarti.2
Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan dinyatakan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan maha
2
esa). pernikahan adalah aqad atau ikatan yang menghalalkan seorang pria dan
wanita hidup bersama sebagai suami isteri”.
Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah “Mitsaqan galizan” (Perjanjian
yang kuat) …… “dan mereka (Istri-istrimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat” (Surah Annisa’ ayat: 21), istilah ini pun digunakan oleh
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada BAB II pasal 2 yang berbunyi“Perkawinan
menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
Mitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan Ibadah”.
Untuk menciptakan ikatan yangmitsaqan galizan seperti yang dimaksud di
atas selain harus memenuhi memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) nya yakni
pencatatan pada tiap-tiap perkawinan dengan tujuan untuk menjalin ketertiban
dan kepastian hukum. Namun dalam prakteknya, tak dapat dipungkiri bahwa
sampai sekarang masih sering terjadi pernikahan-pernikahan yang bermasalah
biasanya masalah tersebut cacat atau kekurangan rukun-rukun dan syarat-syarat
perkawinan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh hukum islam dan hukum
Positif. salah satu pernikahan yang bermasalah itu adalah apa yang dikenal
dengan pernikahan Sirri atau nikah dibawah tangan. Biasanya sesuatu yang
sengaja disembunyikan mengandung atau menyimpan masalah, masalah itu
mungkin ada pada diri orang melakukan perkawinan. Mungkin pula pada
Dalam menegakkan supremasi hukum perlu kiranya membangun image
(pandangan) yang positif terhadap efektifitas hukum itu sendiri. Untuk itulah
perwujudan hukum yang baik sangat tergantung pada tiga pilar hukum, yaitu:
1) Aparat Hukum
2) Peraturan Hukum Yang Jelas
3) Kesadaran Hukum masyarakat3
Dilihat dari tiga pilar di atas, penulis tertarik untuk meneliti kesadaran
hukum dari salah satu aspeknya. Emile Durkheim mengemukakan dalam buku
Law In Society, yaitu situasi dimana norma sosial dasar yang memberikan sistem
yang berbeda dengan kebiasaan yang terdahulu, atau dimana mereka bukannya
tidak mengerti dengan jelas terhadap peraturan atau norma-norma yang ada.4
Di Indonesia perkawinan yang tidak bermasalah adalah perkawinan yang
dilakukan menurut perundang-undangan yang berlaku. Bagi orang islam
perkawinan yang tidak bermasalah itu adalah perkawinan yang diselenggarakan
menurut hukum islam seperti yang disebutkan dalam pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta dicatat menurut ayat (2) pada
pasal yang sama. Sesuai dengan sunah Rasulullah SAW diumumkan melalui
walimah supaya diketahui orang banyak. Pernikahan yang diatas ketentuan
3
Bustanul Arifin,Kompilasi fiqih dalam Bahasa Undang-undang, (Bandung, CV. Diponegoro, 1985), h. 28.
4
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kebiasaan tersebut diatas dapat
dikategorikan sebagai pernikahan rahasia yang menyimpan masalah. Masalah ini
tidak juga akan berimbas pada status pernikahan itu sendiri.
Nikah sirri adalah pernikahan yang sah menurut agama tetapi “cacat”
menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia karena pernikahannya tidak
dicatatkan oleh (Pegawai Pencatat Nikah) PPN secara resmi. Oleh karena itu
Pemerintah memberikan solusi bagi Umat Islam yang telah melakukan
pernikahannya tanpa atau belum dicatatkan secara resmi untuk segera
melegitmasi pernikahannya dengan yang disebut dengan itsbat nikah.
Akan tetapi di Indonesia pada masa sekarang ini sedang ramai
diperbincangkan tentang nikah sirri setelah pemerintah mengeluarkan
peraturan-peraturan baru tentang masalah nikah sirri, karena dalam Peraturan-peraturan-peraturan
baru tersebut ditegaskan bahwa bagi siapa saja yang melakukan nikah sirri baik
yang menikahkan maupun yang di nikahkan akan mendapatkan sanksi pidana.
Oleh karena itu peraturan-peraturan baru itu membuat para pelaku nikah
sirri merasa terdesak dan dirugikan dengan adanya peraturan-peraturan baru
tersebut sehingga mereka menolak dengan berbagai macam alasan yang
membenarkan perbuatan mereka.
Kemudian seiring dikeluarkannnya peraturan-peraturan baru oleh
Pemerintah tentang nikah sirri banyak sekali pro dan kontra di dalam
masyarakat, karena bagi kelompok yang tidak setuju dengan praktik nikah sirri
sebaliknya bagi kelompok yang melakukan nikah sirri sangat tidak setuju dengan
peraturan-peraturan baru tersebut.
Berdasarkan kenyataan itulah, mendorong penulis untuk membahas dan mencari
kejelasan mengenai “REALITAS NIKAH SIRRI (Studi Empiris Pada Masyarakat
Kel. Kebon Jeruk Jak-Bar)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Karena luasnya masalah pembahasan mengenai nikah sirri maka pada
pembahasan skripsi ini penulis membatasi hanya menyangkut realitas nikah
sirri yang terjadi pada masyarakat di wilayah kelurahan kebon Jeruk Jakarta
Barat. Adapun masyarakat yang penulis batasi dalam penelitian ini adalah
khusus pada warga masyarakat yang melakukan nikah sirri, Amil, tokoh
masyarakat dan kepala KUA.
2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah pokok yang akan diteliti dan diuraikan
dalam skripsi ini adalah:
1) Bagaimana pandangan masyarakat di wilayah kelurahan Kebon Jeruk
Jakarta Barat terhadap pernikahan sirri?
2) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat di wilayah kelurahan
3) Apa akibat Hukum yang timbul dari nikah sirri di wilayah Kelurahan
Kebon Jeruk Jakarta Barat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini yaitu
a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat di wilayah Kel.
Kebon Jeruk Jakarta Barat.
b. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat di
wilayah kelurahan Kebon jeruk Jakarta Barat melakukan nikah sirri.
c. Untuk mengetahui apa akibat hukum yang timbul dari nikah sirri di
wilayah Kel. Kebon Jeruk Jakarta Barat.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi Masyarakat
Memberikan serta menambah wawasan tentang nikah sirri bagi masyarakat
Kel. Kebon Jeruk Jakarta Barat.
b. Bagi Penulis
Menambah wawasan tentang Pengembangan dan pengaktualisasian dalam
c. Bagi Pihak Lain
Dapat digunakan sebagai informasi dan sumber ilmu serta memberikan
gambaran tentang praktik nikah sirri yang terjadi pada masyarakat
Kelurahan Kebon Jeruk.
D. Studi Review Terdahulu
Penulis melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan
judul proposal, diantaranya adalah sebagai berikut:
No
Nama penulis / judul / Tahun
Substansi Keterangan
1
Siti Jubaedah, Praktek Nikah Sirri ditinjau dari Hukum Islam dan UU No.1 Th 1974 (Studi Kasus Desa Lengkong Karya), 2006. Fakultas
Syari’ah dan Hukum.
Berisikan bahwasanya nikah sirri tidak mempunyai kekuatan hukum, bila ditinjau dari UU No.1 Th 1974. Tetapi mempunyai keabsahan menurut hukum Islam.
Praktek nikah sirri dilihat dari hukum Islam dan UU No.1 Th 1974, serta perbandingannya.
2
Syarif Hidayatullah, Hukum Pengulangan Nikah Sirri, Perspektik Hukum Islam dan
Skripsi ini menjelaskan pengulangan Nikah Sirri yang oleh masyarakat Kedoya menurut hukum
[image:17.612.115.534.56.707.2]Hukum Positif. (studi Kasus masyarakat Kedoya Kebon Jeruk Jak-Bar), 2006. Fakultas
Syari’ah dan Hukum.
Islam dan hukum positif. dan Hukum Positif.
3
Hafizh, Perkawinan di Bawah Tangan dan Pengaruh Terhadap Sengketa Pengadilan Agama Jak-Bar, 2005.
Fakultas Syari’ah dan Hukum.
Disni membahas perkawinan di bawah tangan berdampak pada sengketa pengadilan Agama, diantaranya menuntut hak-hak isteri dan anak ketika perceraian terjadi.
Perkawinan di bawah tangan dapat menimbulkan persengketaan dikarenakan tidak adanyan bukti-bukti akta surat pernikahan yang menguatkan dalam menuntut hak di pengadilan Agama.
4
A. Syaadzali, mahalnya Biaya Pernikahan Sebagai Faktor Pemicu Nikah di Bawah Tangan (studi kasus di KUA Kec. Benda Tangerang),
2006. Fakultas Syari’ah
dan Hukum
Skripsi ini mengulas, dengan mahalnya biaya pernikahan sebagai faktor seseorang melakukan nikah si bawah tangan.
Berbeda dengan skripsi-skripsi terdahulu, skripsi ini lebih berfokus
pada pembahasan mengenai praktek nikah sirri yang terjadi pada masyarakat
dari aspek sosiologisnya, selain itu dalam skripsi ini lebih menonjolkan aspek
empirisnya dibandingkan aspek normatifnya.
Dari perbedaan tersebut, Penulis merasa yakin bahwa skripsi ini tidak
hanya bersifat normatif saja, akan tetapi lebih bersifat empiris. Namun, daripada
itu titik perbedaan yang penulis dapatkan dari karya tulis lain merupakan data
yang akan mendukung konsep pemikiran dari skripsi ini.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam rangka memperoleh data yang akurat dan valid maka diperlukan
metode yang representatif. Dalam hal ini, penulis menggunakan metode
penelitian dengan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan umum yang
menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif. Karena, pendekatan
kualitatif merupakan pendekatan yang berusaha memahami gejala tingkah
laku manusia menurut sudut pandang subjek penelitian, dan memungkinkan
peneliti memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, memfokuskan
pada proses-proses yang terjadi dalam individu, serta lingkungannya sebagai
satu kesatuan. Hal ini penting agar dapat diperoleh gambaran utuh dari
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.5
2. Subyek Penelitian
Subjek atau responden dan narasumber yang dilibatkan dalam penelitian
ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Subyek penelitian adalah warga masyarakat yang mempunyai pengalaman
pribadi terkait dengan praktek nikah sirri.
b. Subyek penelitian bertempat tinggal di wilayah kelurahan Kebon Jeruk
Jakarta Barat.
Jumlah subyek penelitian ini sebanyak 6 orang, hal ini dikarenakan
keterbatasan waktu serta kesulitan peneliti dalam memperoleh kasus dan
informan yang banyak diantara warga masyarakat Kebon Jeruk yang
mempunyai pengalaman pribadi terkait praktek nikah sirri, dan pemilihan
narasumber dalam penelitian ini didasarkan atas tujuan tertentu.
3. Jenis Data dan Sumber Data
Adapun jenis dan sumber data yang digunakan adalah:
a. Data primer diperoleh melalui survey lapangan dan observasi.
b. Data skunder didapat dari studi pustaka yaitu pengumpulan data dengan
cara membaca dan mempelajari bukuliterature dan teori dibangku kuliah
5
serta sumber lainya yang relevan dengan penelitian ini, seperti jurnal yang
terkait dengan penelitian, surat kabar, majalah dan sumber tertulis lainya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Agar di dalam penelitian ini penulis mendapatkan hasil yang sesuai
dengan variable yang akan diteliti, maka teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah:
Wawancara, Penulis menggunakan teknik wawancara untuk
memperoleh informasi yang berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan
data-data tentang Realitas Nikah Sirri Pada Masyarakat Kel. Kebon Jeruk
Jak-Bar.
5. Teknis Analisis Data
Seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara dan kepustakaan
yang diseleksi dan disusun, setelah itu penulis melakukan klasifikasi data,
yaitu usaha menggolong-golongkan data berdasarkan katagori tertentu.
Setelah data-data yang ada diklasifikasi lalu diadakan analisis data, dalam hal
ini data yang dikumpulkan penulis adalah kualitatif, maka teknik analisis data
Data-data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai
kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau
informasi yang biasa disebut editing.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penyusunan penelitian ini ialah berformat kerangka outline
dalam bentuk bab dan sub bab, secara ringkas terurai dalam penjelasan berikut :
BAB I :Pendahuluan
Menerangkan latar belakang masalah, pembatasan-perumusan
masalah, tujuan-manfaat penelitian, studi pendahuluan,
metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II :Tinjauan Teoritis
Menguraikan pengertian dan dasar hukum pernikahan,
pengertian nikah sirri, tinjauan hukum islam dan hukum
positif terhadap nikah sirri.
BAB III :Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Bab ini menerangkan tentang letak geografis Kel. Kebon
Jeruk, kondisi Masyarakat Kel. Kebon Jeruk.
BAB IV :Hasil Penelitian
Dalam bab ini penulis menganalisis tentang profil informan
masyarakat kelurahan kebon jeruk jakarta barat, sekilas
tentang masyarakat kel. kebon jeruk jakarta barat terkait
kebon jeruk jakarta barat, akibat hukum yang ditimbulkan
dari pernikahan sirri, analisa tentang realitas nikah sirri.
BAB V : PENUTUP
Menguraikan tentang kesimpulan dan saran-saran yang
15
A. Pengertian dan Dasar Hukum Nikah
1. Pengertian Hukum
Secara etimologis kata “hukum” berasal dari bahasa Arab yang berarti
“memutuskan” atau “menetapkan” dan “menyelesaikan”. Kata “hukum” dan
kata lain yang berakar pada kata tersebut terdapat dalam 88 tempat dalam
Al-Qur’an, tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut. kata
hukum itu telah menjadi bahasa baku dalam bahasa Indonesia.1
Dalam memberikan arti secara definitive kepada kata “hukum” itu terdapat
beda rumusan yang begitu luas, termasuk dalam konteks siapa pembuat
hukum itu, apakah pembuat hukum (syar’i)nya Allah SWT, ataukah
sekelompok manusia yang disepakati seperti DPR dan lainnya. Meskipun
demikian dalam arti yang sederhana bahwa dalam konteks si pembuat hukum
sekelompok manusia, maka dapat dikatakan bahwa hukum adalah :
“Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan
1
diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat
untuk seluruh anggotanya.”2
Sedang dalam konteks pembuat hukumnya (syar’i) Allah, maka hukum itu
adalah :
Artinya: “Firman Allah Ta’ala yang berhubungan dengan perbuatan orang
mukalaf, yang mengandung tuntutan atau membolehkan memilih atau adanya
(suatu hukum) karena adanya yang lain.”3
2. Pengertian Hukum Islam
Istilah “hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia bagaikan
terjemahan Al-Fiqh Al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari Al-Syari’ah
Al-Islamiyah. Istilah ini dalam wacana ahli hukum barat digunakan nama
Islamic Law. Dalam Al-Qur’an maupun Al’Sunah, istilah hukum Al-Islam
tidak dijumpai. Yang digunakan adalah syari’at yang dalam penjabarannya
kemudian lahir istilah fiqh. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai
pengertian hukum Islam, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian syari’ah
dan fiqh.4
2
Amir Syarifuddin.Ushul Fiqh, (Jakart a: PT Logos Wacana Ilmu, 2000), Hal. 281
3
A. Basiq Djalil,Ilmu Ushul fiqh,(Semarang: Toha Put ra, 1982), Hal. 19
4
A. Pengertian syari’ah
secara etimologis syariah berarti “jalan ketempat pengairan” atau
“tempat lalu air sungai”. 5 menurut para ahli defenisi syari’ah adalah: segala
titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang
mengenai akhlak. Dengan demikian “syari’ah itu adalah nama bagi
hukum-hukum yang bersifat amaliah”.
Walaupun pada mulanya syari’ah itu diartikan “agama” sebagaimana
yang disinggung dalam surah al-Syura: 13 diatas, namun kemudian
dikhususkan penggunanya untuk hukum amaliah. Pengkhususan ini
dimaksudkan karena agama pada dasarnya adalah satu dan berlaku universal,
sedangkan syari’ah berlaku untuk masing-masing umat yang berbeda dengan
umat sebelumnya. Dengan demikian syari’ah lebih khusus dari agama.6
B. pengertian fiqh
kata “Fiqh” secara etimologis berarti “paham yang mendalam.” Bila
“paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh
berarti faham yang menyampaikan ilmu zhahir pada ilmu batin, karena itulah
5
A. Basiq Djalil,Ilmu Ushul fiqh,(Semarang: Toha Put ra, 1982), Hal. 20
6
Al-Tarmizi menyebutkan, “Fiqh tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya
sampai kepada kedalamannya.7
Secara defenitif, fiqh berarti “Ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang
bersifat amaliah yang digali dan ditentukan dalil-dalil yang tafsili.8
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa, syari’ahlah adalah
segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang
mengenai akhlaq. Dengan kata lain syari’ah itu adalah nama bagi
hukum yang bersifat amaliah. Sedangkan fiqih ialah ilmu tentang
hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliah yang digali ditemukan dalil-dalil yang
tafsili.
Untuk lebih memperjelas dapat kita angkat beberapa pokok perbedaan antara
syari’at dengan fiqih, yakni:
Syari’at berpendapat dalam al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Kalau kita
berbicara tentang syari’at yang dimaksud adalh Firman Allah atau Sunnah
rasul. Fiqih terdapat dalam kitab-kitab fiqh, kalau berbicara tentang fiqih,
maka yang dimaksud adalah pemahaman manusia, dalam hal ini adalah
ahli hukum Islam (Mujtahid) yang memenuhi syarat-syarat berijtihad.
7
A. Basiq Djalil,Ilmu Ushul fiqh,(Semarang: Toha Put ra, 1982), Hal. 22
8
Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup lebih luas dari
fiqh. Sedangkan fiqh bersifat instrumental, lingkupnya terbatas pada apa
yang biasanya disebut perbuatan hukum.
Syari’at adalah ciptaan Tuhan dan Rasulnya, karena itu berlaku abadi.
Sedangkan fiqh adalah karya manusia yang dapat berubah dari masa ke
masa atau sesuai zamannya.
Syari’at hanya satu, dan fiqh beragam (lebih dari satu), sesuai jumlah
aliran hukum yang disebut mazhab.
Syari’at menunjukkan kesatuan dalam islam. Sedangkan fiqh
menunjukkan keragamannya, sesuai dengan jumlah aliran-aliran hukum
atau mazhab-mazhab yang terdapat dalam Islam.
Dari penjelasan di atas, menggambarkan kepada kita bahwa syari’at
dan fiqh hubungannya sangat erat sekali, bias dibedakan tapi tidak dapat
dipisahkan, karena fiqh adalah hasil dari pemahaman dari syari’at, sedangkan
syari’at adalah landasan pemahaman fiqh. Dan untuk memahaminya harus
melalui ilmu fiqh.
Kalau ibarat hukum islam yang kategori syari’at disebutkan Islamic
Indonesia namanya hanya satu yakni hukum islam. Tidak ada istilah Indonesia
yang membedakannya.9
Istilah “ahkam” bentuk jamak dari “hukum”. Adapun arti “al-hukmu”
adalah: menetapkan suatu hal atau perkara. Ahkamul khamsah artinya
ketentuan atau lima ketetapan. Pada dasarnya “ahkamul khamsah” erat
kaitannya dengan perbuatan manusia. Menurut Syari’at Islam perbuatan
manusia dapat dihukumkan kepada ketetapan yang lima (ahkamul khamsah).
Menurut imam syafi’I susunan kaidah buruk baik itu ada lima, yaitu yang
terkenal dengan istilah “al-khamsah” (lima golongan hukum). Seluruh
perbuatan manusia dapat dimasukkan dalam satu golongan hukum yang lima
tersebut dan hukum itu adalah:
1. fardh (diharuskan) atau wajib (mesti dikerjakan, ia mendapatkan pahala,
sebaliknya bila ditinggalkan ia berdosa atau dikenakan hukuman. Contoh,
shalat 5 kali dalam sehari, puasa di bulan ramadhan dan sebagainya.
2. sunnah (sudah menjadi adat), mustahab (disukai) atau mandub (dianjurkan)
dengan ketentuan kalau perintah sunnah itu dikerjakan, ia dapat pahala;
sebaliknya jika tidak dikerjakan tidak berdosa. Contoh shalat hari raya,
member sedekah dan sebagainya.
9
3. Mubah ja’iz, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Kalau ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa, kalau dikerjakanpun
tidak berpahala dan tidak berdosa. Contoh, melakukan gerak badan di pagi
hari.
4. makruh (tercela) dengan ketentuan kalau perintah larangan dihentikan
mendapat pujian, sebaliknya jika dilanggar hanya dicela tidak sampai
dihukum. Contoh masuk rumah orang dengan tidak mengucapkan salam.
5. haram, yaitu larangan keras dengan pengertian kalau dikerjakan kita
berdosa atau dikenakan hukuman dan jika ditinggalkan kita mendapat
pahala. Contoh mencuri, menipu dan sebagainya.
3. Pengertian Nikah
Nikah ialah akad yang menghalalkan kedua belah pihak (suami dan
istri) menikmati pihak satunya, pernikahan sangat penting dalam kehidupan
manusia, karena hanyan dengan pernikahan pergaulan hidup manusia baik
secara individu maupun kelompok menjadi terhormat dan halal. Hal ini sesuai
dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat diantara
makhluk-makhluk tuhan yang lain. Dengan melaksanakan pernikahan,
manusia diharapkan dapat memperoleh keturunan yang dapat melanjutkan
Pernikahan atau perkawinan mempunyai nilai-nilai kemanusiaan,
untuk memenuhi naluri hidup umat manusia, juga untuk melangsungkan
kehidupan dengan jenisnya, mewujudkan ketentraman hidup, dan
menumbuhkan serta memupukkan rasa kasih sayang dalam hidup
bermasyarakat. Perkawinan dapat saja berlangsung tanpa adanya kebutuhan
biologis semata, kemungkinan hidup bersama antara seorang laki-laki dan
perempuan, dilakukan tanpa berhubungan suami isteri. Hal ini biasa terjadi
karena kekuatan untuk melakukan hubungan badan tidak selalu ada pada
seseorang dan tidak merupakan syarat untuk bersama. Ini terbukti dan
kenyataan bahwa diperbolehkan suatu perkawinan antara dua orang yang
sudah lanjut usia, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan“ In extreme”
yaitu pada waktu salah satu pihak sudah hampir meninggal dunia.10
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut
arti majazi atau arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal
hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang
wanita.11
Menurut Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, “perkawinan adalah akad antara
calon suami dengan calon isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang
10
Wirjono projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung, Sumur Bandung, 1981). H. 7
11
diatur syari’at”.12 Menurut Sayuti Thalib, SH Berpendapat “Perkawinan itu
ialah perjanijan suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan
perempuan”.13 M. Idris Ramulyo, SH, berpendapat “Perkawinan menurut
Islam adalah suatu perjanjian suci yabg kuat dan kokoh untuk hidup bersama
secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk
keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram,
bahagia dan kekal.14 Wirjono Projodikoro, SH, berpendapat bahwa hidup
bersama sangat penting dalam masyarakat dan mempunyai akibat yang
penting pula. Oleh karena itu diperlukan suatu peraturan untuk hidup bersama
antara seorang laki-laki dengan perempuan yang memenuhi syarat-syarat
dalam peraturan tersebut.15
Prof. Subekti, SH juga menyatakan bahwa perkawinan adalah
pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama. Kitab Undang-undang hukum perdata sendiri tidak
memberikan definisi secara jelas tentang perkawinan. Hanya dalam pasal 26
kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa Undang-undang
12
Mahmud Yunus,Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta, PT. Hidakarya Agung, 1996), cet-15, h. 1
13
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (berlaku bagi umat Islam), (Jakarta, UI Press, 1974), Cet-1, h. 47
14
M. Idris Ramulyo,Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam,(Ja karta, Ind. Hill Co, 1985), Cet-4, h. 147
15
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan saja. Hal ini
berarti bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam kitab Undang-undang
Hukum Perdata dan syarat serta peraturan agama dikesampingkan.16
Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir, perkawinan dalam agama
Islam disebut “Nikah” yaitu melakukan akad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar suka
rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan
hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan
cara yang diridhoi Allah SWT.17
Kebanyakan Ulama Fiqh mendefinisikan nikah sedikit berbeda,
walaupun lebih banyak kemiripan:18
-ِﻣ
ِﻔِﺔ
:
ِﻔ
ِﻣ
ِﺔ
Artinya:“Sebagian Ulama Hanafiyah : nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang
secara sadar (sengaja)”.
-ِﻣ
ِﺐ
ِﻠ
ِﻜِﺔ
:
ﻰ
ِﺔ
ﱡﺬ
ِﺑ
ِﻣٍﺔ
16Subekti.Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta, PT. Intermasa, 1980), Cet-XV, h. 23 17
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam,(Yogyakarta, UI Press, 2000), Cet-9, h.10 18
Artinya:“Sebagian mazhab Malikiyah : nikah adalah sebuah ungkapan atau
bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksud untuk meraih
kenikmatan (seksual) semata”.
-ِﻋ
ِﻓ ﺎ
ِﻌِﺔ
:
ِﺑ
ِﻣ
ٍﺊِﺑ
ِﻆ
ٍﺞ
ﺎ
Artinya: “Menurut ulama Syafi’iyah : nikah dirumuskan dengan akad yang menjamin kepemilikan untuk bersetubuh dengan menggunakan
lafal “Inkah” atau “Tazwij” atau yang semakna dengan keduanya”.
-ِﻋ
ِﺑ ﺎ
ِﺔ
:
ِﺑ
ِﻆ
ٍﺞ ﻳ
ﻰ
ِﺔ
ِﻻ
ِﺘ
Artinya: “Ulama Hanabilah : nikah adalah akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata “Inkah” atau “Tazwij” guna mendapatkan kesenangan”.
Dari beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa nikah adalah akad antara pria dan wanita yang diikat melalui suatu
perjanjian suci, kuat dan kokoh untuk salin memiliki dan bersenang-senang
dan menghalalkan pergaulan suami isteri dalam rangka membentuk keluarga
atau rumah tangga, dengan menggunakan kata-kata menikahkan atau dengan
kata lain yang semakna dengan kata tersebut.
Dengan melakukan perkawinan, seseorang muslim berarti telah
mengikuti dan menghormati sunnah Rasul-nya, dan dengan perkawinan pula
maka membuat terang keturunan, sehingga tidak aka nada orang-orang yang
melahirkan rasa kasih sayang sesame anggota keluarga dan menjauhkan
perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama.
Islam memandang perkawinan sebagai fase pertama keluarga, karena
keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang dapat memberikan
manfaat bagi kehidupan sesama jenisnya untuk melakukan kebaikan dan
melarang kemunkaran, meninggikan derajat manusia dan mewujudkan fungsi
manusia sebagai khalifah dimuka bumi berdasarkan Ayat-ayat al- Quran :
ð
.
)
م و ّﺮ ﻟ ا
/
30
:
21
(
Artinya :“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia Menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. QS. Al- Ruum (30): 21
1. Dasar-dasar Hukum Nikah
Dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan nikah adalah:
.
)
ء ﺎ ﺴ ّﻨ ﻟ ا
/
4
:
3
(
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
QS. An-Nisa (3): 3
b. Surat An-Nur Ayat 32
.)
ر ﻮ ّﻨ ﻟ ا
/
24
:
32
(
Artinya :“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba-hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas
)
(
19
Artinya :“Hai pemuda-pemuda, barang siapa diantara kamu yng mampu serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak halal dilihatnya dan akan memeliharanya dari godaan-godaan syahwat dan barang siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah berpuasa, karena dengan
puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang”.
(H.R. Al- Bukhari).
Dari ayat dan hadist diatas, dapat penulis simpulkan di sini antara lain :
1. Nikah merupakan suatu perintah agama.
2. Nikah dihukumkan wajib bagi orang yang mampu lahir bathin.
3. Nikah untuk menjaga dirinya dari perbuatan yang dilarang Allah SWT.
B. Pengertian Nikah Sirri
Nikah sirri berasal dari kata sirriyyun yang berarti secara rahasia atau
secara sembunyi-sembunyi. Jadi perkawinan sirri adalah perkawinan yang
dilaksanakan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, itu dimaksudkan bahwa
perkawinan itu dilakukan semata-mata untuk menghindari berlakunya hukum
negara yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam prakteknya perkawinan sirri ini adalah suatu perkawinan yang
dilakukan oleh orang-orang Islam di Indonesia, yang memenuhi baik
rukun-19
rukun maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan
pada Pegawai Pencatat Nikah seperti yang diatur dan ditentukan oleh
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.20
Menurut A. Zuhdi, nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan diluar
pengetahuan petugas resmi (PPN/Kepala KUA), karenanya pernikahan itu tidak
tercatat di Kantor Urusan Agama, sehingga suami istri tersebut tidak mempunyai
surat nikah yang sah21.
H. masjfuk Zuhdi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nikah sirri
adalah nikah yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan syari’at islam saja
namun karena terbentur PP no. 10 / 1983 (tentang izin perkawinan dan perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil) jo. PP No. 45 / 1990, pernikahan tersebut dilakukan
secara diam-diam, dan dirahasiakan untuk menghindari hukuman disiplin.
Dilihat dari kata-katanya, sirri itu berarti sembunyi-sembunyi atau tidak
terbuka. Jadi nikah sirri bisa bararti nikah sesuai dengan ketentuan Agama, tetapi
tidak dicatat didalam pencatatan administrasi pemerintah (KUA dan lain-lain) ,
atau nikah sesuai dengan ketentuan agama islam dan dicatat oleh pencatat nikah,
tetapi tidak dipublikasikan dalam bentuk walimah.
C. Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Positif Terhadap Nikah Sirri
20
Ramulya Idris,Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari UU No. 1 Tahun 1947, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), h. 239
21
1. Nikah Sirri Menurut Hukum Islam
Dalam Hukum Islam Nikah Sirri bukan masalah baru, sebab dalam kitab
Al- Muwatha karya Imam Malik telah mencatat, bahwa istilah nikah sirri
berasal dari ucapan Umar Ibnu al- Khattab r.a :
ِﻪ
ﱠﻻ
،
:
ِّﺮ
ِﺠ
ِﻓِﻪ
22
Artinya :“Bahwasanya Umar dihadapkan kepadanya seorang laki-laki yang menikah tanpa saksi, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lalu Umar berkata : ini nikah sirri, aku tidak membolehkannya, seandainya kamu melakukannya pasti aku
rajam”
Pengertian nikah sirri dalam persepsi Umar tersebut adalah bahwa
syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap
meskipun sudah ada yang datang, maka nikah semacam ini memakai kriteria
Umar dapat dipandang sebagai nikah sirri.23
Dilihat dari keterangan nikah sirri tersebut dapat ditarik suatu pengertian
bahwa nikah sirri itu bersangkut-paut dengan kedudukan saksi dan
syarat-syarat pada saksi itu sendiri.
Mengenai saksi ini Para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Syafi’I dan
Maliki) telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat dalam pernikahan,
22
Abi Abdillah Malik bin Anas Al-Asbahi, Muwatha Imam Malik, (Kairo : Maktabah Al-Islamiyah, 1967), juz 2. H. 179
23
bahkan Syafi’I berpendapat bahwa saksi sebagai rukun nikah, dan tidak sah
pernikahan tanpa dihadiri saksi. Berdasarkan dalil :
ِﻠ
ِﻦ
ِﻟ ﺎ
ٍﺪ
ِﻌ
ِﻦ
ِﺮ
ٍﺮ
ِﺪ
ِﻦ
ِﻦ
ِﻢ
ِﻌ
ِﺪ
ِﻦ
ٍﺮ
ﺎ
:
ﺎ
ِﻟ
ِّﻲ
ِﺷٍﺪ
24Artinya :“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan wali yang cakap”.
Menurut Jumhur Ulama, pernikahan yang tidak dihadiri saksi-saksi
tidak sah. Jika ketika ijab qabul tidak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun
diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain, pernikahannya tidak sah.25
Beberapa syarat yang harus ada pada seseorang yang menjadi saksi
adalah : berakal sehat, dewasa, dan mendengar omongan kedua belah pihak
yang berakad, serta memahami bahwa ucapan-ucapannya itu maksudnya
adalah ijab qabul pernikahan. Bila para saksi itu buta, maka hendaklah
merekabisa mendengarkan suaranya dan mengenal betul suara tersebut adalah
suaranya kedua orang yang berakad.
Jika yang menjadi saksi itu anak-anak, atau orang gila, atau orang yang
sedang mabuk, maka nikahnya tidak sah, sebab mereka dipandang tidak ada.26
24
Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i,Al-Umm, juz 5, h. 19 25
Sayid Sabiq,Sabiq, Sayyid,Fikih Sunnah 6,(Bandung, PT Alma’arif, 1973), cet . 1,h. 87 26
Ibnu Qudamah membedakan antara saksi dan pengumuman.
Menurutnya saksi termasuk rukun nikah yang harus ada (wajib) ketika
melakukan akad nikah, sedangkan pengumuman adalah hal lain diluar akad
nikah, yang hukumnya hanya sunah.
Fungsi saksi dalam pernikahan oleh Ibnu qadamah disebut lebih rinci,
yakni ada dua : pertama ; untuk menghindari adanya tuduhan zina, dan kedua ;
untuk menghindari adanya fitnah, sebab dengan adanya saksi akan
menyebarluaskan berita tentang sudah terjadinya pernikahan antar pasangan.
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i sependapat bahwa nikah sirri (rahasia)
tidak boleh.27 Kemudian mereka berselisih pendapat apabila terdapat dua
orang saksi dan keduanya diamanati untuk merasahasiakan pernikahan,
apakah hal ini dianggap nikah sirri atau tidak?
Imam Abu Hanifah dan Imam syafi’i berpendapat bahwa hal itu bukan
nikah sirri. Imam Malik berpendapat bahwa yang demikian itu adalah nikah
sirri dan dibatalkan.28
Perbedaan pendapat ini disebabkan, apakah kedudukan saksi dalam
pernikahan merupakan hukum syara’ , ataukah dengan saksi itu dimaksudkan
untuk menutup jalan perselisihan dan pengingakaran?
27
Ibnu Rusd,Bidayatul Mujtahid, Penerjemah M.A Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, (Semarang : CV. Asy-syifa’), cet. Ke-1, 1990, h. 383
28
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’,
maka mereka mengatakan bahwa saksi menjadi salah satu syarat sahnya
pernikahan. Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kedudukan saksi
adalah untuk menguatkan pernikahan, maka mereka menganggap saksi
sebagai syarat kelengkapan.
Jumhur ulama mengatakan jika para saksi dipesan oleh pihak yang
mengadakan aqad nikah agar merahasiakan dan tidak memberitahukannya
kepada orang ramai, maka pernikahannya tetap sah, namun Imam Malik
memandang pernikahan tersebut batal.29
Alasan yang digunakan Jumhur Ulama adalah30 :
a) Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda :
ِﻦ
ﱠﻠ
ِﻪ
ﱠﻠ
:
ِﺘ
ِﻜ
ِﺑ
ِﺮ
ِّﻴٍﺔ
) .
(
Artinya :“Pelacur yaitu perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya
tanpa saksi”.
b) Dari Aisyah, Rasulullah bersabda :
29
Sayid Sabiq., h. 79 30
ﱠﻠ
ﻰ
ِﻪ
ﱠﻠ
.
)
(
31
Artinya : “A’isyah r.a meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda “Tidak
sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil”.
c) Dari Abu Zubair Al- Makkiy, Umar bin Khattab menerima pengaduan
adanya pernikahan yang disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan, lalu jawabnya : ini kawin gelap, dan aku tidak
membenarkannya, dan andaikan saat itu aku hadir tentu akan kurajam.
(HR. Malik, dalam kitab Al- Muwatha).
Imam Malik, Ibnu Abi Laila dan Al- Batta menyatakan bahwa saksi
dalam pernikahan tidak wajib, baginya fungsi saksi adalah untuk
mengumumkan, yaitu cukup diumumkan saja sebelum terjadi persenggamaan.
Menurut golongan ini, jika waktu ijab qabul tidak dihadiri para saksi, tetapi
sebelum mereka bercampur sebagai suami istri kemudian dipersaksikan maka
pernikahannya tidak batal (sah). Akan tetapi jika suami istri sudah bercampur
tetapi belum dipersaksikan maka pernikahannya batal, meskipun pada waktu
ijab qabul dihadiri oleh para saksi.32
31
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani,Nayl al-Authar VI, (Misr : Mustafa
I’Babi I’Halabi wa Auladuh, t.t), h. 256 32
Alasan golongan yaitu bahwa jual beli yang didalamnya disebut soal
mempersaksikan ketika berlangsungnya jual beli sebagaimana yang disebut
dalam Al-Qur’an, yakni surat Al- Baqarah : 282, bukan merupakan syarat
yang wajib dipenuhi dalam jual beli. Sedangkan soal pernikahan Allah tidak
menyebut dalam Al- Qur’an adanya syarat mempersaksikan. Karena itu
tentulah lebih baik jika dalam pernikahan ini masalah mempersaksikan tidak
termasuk salah satu syaratnya, tetapi cukuplah diberitahukan dan disiarkan
saja guna memperjelas keturunan.
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Imam Malik tentang seorang laki-lai
tetapi dipesan agar mereka merahasiakannya?
Jawabnya : keduanya harus diceraikan dengan satu talak, tidak boleh
menggaulinya, tetapi istrinya berhak atas maharnya yang telah diterimanya,
sedangkan kedua orang saksinya tidak dihukum.33
Menurut ajaran Islam, nikah tidak boleh secara sembunyi-sembunyi,
tetapi harus dipublikasikan, diwalimahkan, dan disebarluaskan kepada
keluarga dan tetangga. Bahkan beliau menganjurkan agar melaksanakan
walimah walaupun hanya seekor kambing.34
Diriwayatkan dalam sebuah hadist :
33
Sayid Sabiq, h. 187 34
ﺎ
ﺎ
ﺎ
:
ﻰ
ﻰ
ﺎ
ﺎ
ﻲ
ﻰ
.
35Artinya :“Telah meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Abdah, telah
meriwayatkan kepada kami Hammad bin Zaid, telah meriwayatkan kepada kami Tsabit bin Bunani, dari Anas bin Malik, ia berkata : Sesungguhnya Nabi saw melihat
‘Abdurrahman bin Auf membawa benda kekuning-kuningan, lalu nabi bertanya : ada apa gerangan ? kenapa kamu
melakukan ini ?” Lalu ia berkata : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya saya telah menikah dengan seorang perempuan
dengan maskawin sekeping emas” Lalu rasulullah saw bersabda : “Semoga Allah SWT. Memberikan berkah
kepadamu dan adakah walimah walau dengan menyembelih
hewan kambng”. (HR. Ibnu Majah)
Dasar lain yang mengharuskan adanya persyaratan I’lan (aqad
pernikahan harus diumumkan), yaitu hadist Nabi :
ﺎ
ﺎ
ﺎ
:
ﻰ
ﺎ
.
)
(
36Artinya :“Telah kami meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Mani’, telah meriwayatkan kepada kami Husyaim, telah memberitahukan kepada
kami Abu Baljin, dari Muhammad bin Hathib Al-Jumahiy, berkata : Rasulullah saw, bersabda,“Sesungguhnya pembeda antara halal (pernikahan) dan haram (perzinahan) adalah permainan rebana dan nyanyi-nyanyian dalam pernikahan. (HR. At-Tirmizi)
35
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al- Qarwain, Sunan Ibnu Majah, (Beirut : Dar Al-Fikr), Juz 2, h. 559
36
Hadist tersebut dapat diketahui bahwa unsur yang menjadi pembatas
boleh atau tidaknya pernikahan adalah ada atau tidaknya unsure merahasiakan
maka tergolong kelompok pernikahan yang tidak boleh (haram), maka agar
pernikahan tersebut sah harus diumumkan kepada khalayak ramai (i’lan).
Pengumuman tersebut berguna untuk menghindari akan tuduhan orang lain
atau keraguan orang lain.37
Hikmah yang dapat kita peroleh dari publikasi nikah itu adalah agar
terhindar dari fitnah dan buruk sangka orang lain kepada yang bersangkutan,
sekaligus menutup adanya kemungkinan yang besangkutan (khususnya istri)
diminati oleh orang lain.
Dari pembahasan diatas tampak, bahwa pada prinsipnya Imam Syafi’I,
Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal mewajibkan adanya saksi
dalam akad nikah. Hanya saja Imam Malik terlihat lebih menekankan fungsi
saksi, yakni sebagai sarana pengumuman dari pada hanya sekedar hadirnya
pada waktu akad nikah.
Dalam masalah saksi yang dipesan untuk merahasiakan, juga terdapat
perbedaan pendapat : Jumhur Ulama membolehkan pernikahan tersebut,
asalkan saksi itu hadir pada saat ijab dan qabul berlangsung.
37
Akan tetapi, Ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa pernikahan
tersebut batal, karena menurut Maliki fungsi saksi adalah sebagai I’lan yaitu
pengumuman nikah. Karena itu kehadiran saksi pada waktu ijab dan qabul
tidak diwajibkan, tetapi dianjurkan saja. Oleh karena itu, saksi tersebut boleh
hadir ketika ijab dan qabul berlangsung atau sesudahnya, dan sebelum terjadi
ad-dukhul (pergaulan suami istri). Agar pernikahan tidak menimbulkan fitnah
maka sebaiknya diumumkan kepada orang lain.
Akad pernikahan adalah suatu batas dimana hubungan seorang
laki-laki dengan seorang perempuan yang semula haram menjadi halal. Demikian
juga akad pernikahan merupakan ikatan baru yang menambah ikatan-ikatan
dalam masyarakat. karena itu akad pernikahan akan lebih sempurna jika tidak
hanya disaksikan oleh dua orang, melainkan juga oleh masyarakat luas.38
2. Nikah Sirri Menurut Undang-Undang Perkawinan No. Tahun 1974
Undang-undang di Indonesia yang membahas tentang perkawinan
adalah undang-undang No. 1 tahun 1974. Yang merupakan undang-undang
yang bersifat nasional (unifikasi). Artinya ada satu undang-undang yang
berlaku diseluruh Indonesia
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah nikah sirri dan
semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan.
38
Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi pernikahan yang tidak
dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan.
Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 mulai berlaku pada
tanggal 2 Januari 1974, dan pelaksanaanya secara efektif mulai berlaku pada
tanggal 1 oktober 1975 (pasal 67 UUP No. 1 /74 jo pasal 49 PP No. 9 /75).
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun
1974, sah tidaknya suatu pernikahan ditentukan oleh hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya itu.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan dan kepercayaanya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam undang-undang ini.39
Dari ketentuan pasal 2 ayat (1) beserta penjelasannya itu Prof.
Hazairin, S.H menafsirkan bahwa dengan demikian hukum yang berlaku
menurut UU No. 1 / 1974 pertama-tama adalah hukum masing-masing agama
dan kepercayaan bagi masing-masing pemeluk-pemeluknya. Jadi bagi orang
39
Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar agamanya
sendiri.40
Pihak yang melangsungkan pernikahan harus tunduk dan telah
memenuhi berbagai ketentuan serta persyaratan yang telah ditentukan oleh
hukum agama dan kepercayaanya masing-masing. Maka dengan sendirinya
perkawinan yang dilaksanakan dengan tidak berdasarkan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu adalah tidak sah.
Dilihat dari segi teori hukum yang menyatakan bahwa perbuatan
hukum adalah tindakan seseorang yang dilakukan berdasarkan suatu ketentuan
hukum sehingga dapat menimbulkan akibat hukum.41 Sebaliknya suau
tindakan yang dilakukan tidak menurut aturan hukum tidak dapat dikatakan
sebagai perbuatan hukum, sekalipun tindakan itu belum tentu melawan hukum
Dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan
dilindungi oleh hukum.
Karena perkawinan merupakan perbuatan hukum yang secara otomatis
melahirkan akibat-akibat hukum serta diperlukan adanya kepastian hukum,
maka pasal 2 ayat (2) menegaskan : “Tiap-tiap pekawinan harus dicatatkan
menurut Undang-undang yang berlaku”.
40
Hazairin, Tinjauan Mengenai UUP No. 1 / 1974,(Jakarta : PT Tinta Mas Indonesia, 1986), .,h. 6
41
Rumusan tersebut menegaskan bahwa dalam memenuhi jaminan
kepastian hukum, perkawinan harus dicatat sesuai dengan Undang-undang
yang berlaku guna memenuhi persyaratan administratif
Dalam Undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaanya
ditetapkan bahwa suatu perkawinan baru dapat dilaksanakan apabila telah
dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Selain ketentuan tersebut diatas perkawinan pun memiliki
syarat-syarat materil maupun formil42 yang harus dilaksanakan oleh warga Negara di
Indoesia yang ingin melaksanakan pernikahan.
Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat yang mengenai diri pribadi
calon mempelai ; sedangkan syarat formil menyangkut formalitas-formalitas
atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum pada saat dilangsungkannya
pernikahan.
a. Syarat-syarat materil, diantaranya :
1) pasal 6 ayat (1) ; harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.
2) pasal 7 ayat (2) ; usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan
wanita sudah mencapai 16 tahun.
3) pasal 9 ; tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.
42
4) pasal 11 UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975 ; mengenai waktu tunggu
bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, yaitu :
a. 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian
b. 3 kali suci atau minimal 90 hari, bila putus karena perceraian dan ia
masih berdatang bulan
c. 90 hari, bila putus karena perceraian, tapi tidak berdatang bulan
Waktu tunggu sampai melahirkan, bila si janda dalam keadaan
hamil
d. Tidak ada waktu tunggu, bila belum pernah terjadi hubungan
kelamin
e. Perhitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap baku suatu
perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena
kematian.
Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut menimbulkan
ketidakwenangan untuk melangsungkan perkawinan dan berakibat
batalnya suatu perkawinan.
b. Syarat-syarat formil meliputi :
1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada
pegawai pencatat perkawinan
3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaanya
masing-masing
4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan
Pengumuman dalam pernikahan wajib dilakukan, baik kepada sahabat
maupun anggota keluarga lainnya. Caranya dapat dilakukan menurut
kehendak yang bersangkutan.43 Dalam hukum positif, pengumuman tentang
pemberitahuan hendak nikah dilakukan oleh pegawai pencatat nikah apabila ia
telah meneliti apakah syarat-syarat pernikahan sudah dipenuhi dan apakah
tidak terdapat halangan pernikahan.44
Dari uraian tersebut, jika mengacu pada hukum islam, pernikahan siri
boleh saja dilakukan jika pernikahannya menghadirkan wali dan saksi
walaupun setelah akad tidak diumumkan kepada masyarakat umum, tetapi
apabila dihubungkan dengan undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974
pernikahan sirri belum memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum
berupa akta nikah, karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
Undang-undang perkawinan diantaranya tidak adanya unsur tatacara
pencatatan nikah.
43
Sayuti Thalib,Hukum Kekeluargaan Indonesia,(Jakarta : Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974), Cet. 1, h. 76
44
44
A. Letak Geografis Wilayah Kebon Jeruk Jakarta Barat
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta nomor : 1746 tahun 1987 tanggal 10 September 1987, luas wilayah
Kelurahan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat adalah : 262,36 Ha, kemudian
dengan adanya Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor : 1815 tahun 1989 tanggal 29 Desember, yang merupakan
perubahan dari Sk. Gubernur KDKI Jakarta nomor : 1746, tentang perubahan
batas wilayah Kelurahan diwilayah Kotamadya Jakarta Selatan, Kotamadya
Jakarta Barat dan Kotamadya Jakarta Utara, maka untuk Kelurahan Kebon Jeruk,
luas wilayah bertambah : 106,78 Ha. Sehingga luas keseluruhan menjadi : 369,15
Ha, dan sekaligus terjadi perubahan-perubahan, batas wilayah Kelurahan Kebon
Jeruk sebagai berikut :
Sebelah Utara : Tol Jakarta Merak, Kel. Kedoya Selt, Kel. Duri Kepa
dan Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat
Sebelah Timur : Jl. Budhi Raya, Kel. Kemanggisan dan Kecamatan
Palmerah Jakarta Barat
Sebelah Selatan : Jl. Anggrek, Jl. H. Domang, Jl. E. Kel. Sukabumi Utara
Sebelah Barat : Kali Pesanggrahan Kel. Serengseng, dan Meruya
Utara Kecamatan Kembangan
Kelurahan Kebon Jeruk memiliki 13 Rw dan 132 Rt, adapun luas tanah di
[image:54.612.107.535.57.461.2]kelurahan Kebon Jeruk terbagi atas:
Tabel 1
Pembagian Luas Tanah: Berdasarkan Status Tanah
No Keterangan Luas
1 Milik Adat 258,81 Ha
2 Girik Partikelir 68,42 Ha
3 Kavling 30,11 Ha
4 Kartu Sewa - Ha
5 Garapan 11,81 Ha
Sumber data: Monografi Kelurahan Kebon Jeruk
B. Kondisi Masyarakat Wilayah Kebon Jeruk Jakarta Barat
Dalam pemerintahan, Kelurahan Kebon Jeruk Jakarta Barat dipimpin oleh
satu orang Lurah yang dibantu oleh beberapa orang staff yang berjumlah 17
Tabel 2
Karyawan Kantor Kelurahan kebon Jeruk m