• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK PENDIDIKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLITIK PENDIDIKAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

International Conference on Education

“Poverty, Technology, and Policy:

Threats and Opportunities of Character Education”

The Sahid Rich Jogja Hotel

Saturday, May 9, 2015

(2)

Proceedings:

International Conference on Education

Faculty of Education University of Technology Yogyakarta, 2015

POLITIK PENDIDIKAN:

faktor termasuk ketimpangan akses terhadap fasilitas pendidikan. Hak memperoleh pendidikan yang layak telah digariskan dalam konstitusi sehingga harus diwujudkan dengan skema-skema yang menguntungkan. Ketertinggalan bangsa yang ditandai oleh rendahnya daya saing semestinya tidak terjadi apabila pengelolaan pendidikan dilakukan dengan menyeluruh dan mengedepankan kepentingan bangsa. Fasilitas pendidikan telah berdiri kokoh hingga pelosok, namun kurang dimanfaatkan untuk mencetak anak bangsa yang unggul dan memiliki daya saing yang tinggi. Kebijakan pendidikan harus mengarah pada pemenuhan hak dasar pendidikan bangsa, tidak meluluh pencapaian target yang dapat diukur dengan angka-angka semata. Pemerataan pendidikan tidak hanya terpaku pada bagaimana memberikan pendidikan kepada seluruh elemen bangsa, tetapi juga harus memperhatikan tingakt aksesibilitas bagi semua lapisan sehingga pendidikan menjadi milik seluruh anak ba ngsa.

Kata Kunci: Pendidikan, Akses, Ketimpangan

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan sebuah media untuk membangun peradaban (Nelly, 2015: 21), bangsa yang maju (Hasse J, 2014: 36). Oleh Karen itu, pendidikan mutlak dilakukan dan dinikmati oleh seluruh elemen bangsa, tanpa ada diskriminasi. Hal ini merupakan amanat konstitusi yang wajib dipenuhi oleh penyelenggara negara. Pemenuhan hak atas pendidikan menjadi pekerjaan yang sangat

“mulia” sekaligus “berat” karena menyangkut banyak hal seperti komitmen untuk maju bersama,

komitmen membangun bangsa, dan komitmen melakukan pemerataan, serta komitmen untuk bersaing dan unggul dari bangsa-bangsa lain. Hak atas pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan tidak hanya terkait dengan bagaimana mengenyam pendidikan sebaik-mungkin bagi siapa saja, tetapi juga menyangkut bagaimana menyediakan layanan pendidikan yang proporsional dan terjangkau bagi seluruh anak bangsa di seluruh penjuru negeri.

Landasan yuridis pelaksanaan pendidikan Indonesia sangat tegas. Dalam UUD 1945

sangat jelas digariskan bahwa “mencerdaskan kehidupan bangsa” harus tegakkan. Mencerdaskan berarti mengubah diri dan wajah bangsa ke arah yang lebih cerah melalui berbagai cara seperti pemberian pengetahuan melalui keberadaan lembaga-lembaga pendidikan. Secara khusus, pada

pasal 28 C ayat (1) ditetapkan bahwa “setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi

kesejahteraan umat manusia”. Hak mutlak ini kemudian dipertegas lagi pada Pasal 31 ayat (1)

bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Selanjutnya, menjadi kewajiban

negara untuk memfasilitasi keterpenuhan pendidikan tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 ayat (2), bahwa “setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib

membiayainya”.

Dalam Undang-Undang No 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan

(3)

Proceedings:

International Conference on Education

Faculty of Education University of Technology Yogyakarta, 2015

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara”. UU

ini menyiratkan penyediaan “media” pendidikan bagi seluruh bangsa yang disertai dengan tujuan

dan fungsi yang jelas. Pendidikan itu sendiri, sebagaimana yang ditegaskan dalam UU ini, adalah

“mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa…”.

Landasan yuridis di atas memberikan gambaran yang komprehensif mengenai proses atau penyelenggaraan serta hak dan kwajiban bagi warga dan negara dalam pelaksanaan pendidikan. Warga Negara berhak memperoleh pendidikan yang layak, sementara negara berkewajiban menyediakan dan membiayai jalannya pendidikan. Di tengah gencarnya upaya penegakan konstitusi tersebut seiring dengan kewajiban mengalokasikan anggaran APBN sebanyak 20 % untuk sektor pendidikan, di berbagai tempat masih ditemukan bagaimana warga negara kesulitan memperoleh hak dasarnya (pendidikan). Hal ini disebabkan oleh bukan pada ketidak-tersediaan sarana pendidikan seperti bangunan sekolah, tetapi lebih disebabkan oleh minimnya akses untuk sampai pada pemenuhan kebutuhan atas pendidikan baginya. Masih ditemukan di beberapa pojok negeri ini bagaimana sekelompok anak sekolah harus menempuh puluhan kilometer untuk sampai ke sekolah. Bahkan, mereka harus menyeberangi sungai untuk menggapai sekolah demi impian untuk meraih dan mengubah nasib.

Bagi kebanyakan orang, pendidikan merupakan salah satu cara mengubah nasib dengan pengeluaran (uang) yang relatif ringan dan risiko yang rendah. Akan tetapi, pengetahuan kebanyakan orang juga tidak merata mengenai bagaimana memperoleh pendidikan yang layak. Bagi Friedmen (1991) faktor sturktural-lah yang menjadikan hal tersebut terjadi di mana fasilitas pendidikan telah didirikan oleh negara, namun warganya tidak mampu menikmatinya dengan baik karena jarak, ketersediaan informasi, dan berbagai kendala struktural lainnya. Tulisan ini menitik- beratkan kajian pada persoalan struktual tadi, artinya mutu pendidikan terbelakang bukan karena fasilitas yang kurang memadai, tetapi diakibatkan oleh akses yang tidak merata terhadap pendidikan itu sendiri.

METODE

Tulisan ini dibangun berdasarkan pengamatan penulis terhadap akses pendidikan bagi sekelompok anak di beberapa daerah terpencil di Indonesia seperti di Papua, Sulawesi Selatan dan Jawa. Pengamatan ini dilakukan selama kurun waktu 2011-2014 ketika penulis melakukan berbagai

kegiatan di beberapa daerah tersebut. Di Papua misalnya, yang selama ini dianggap „terbelakang‟

dari pendidikan selamanya tidak tepat karena fasilitas pendidikan di daerah ini sudah ada meskipun belum selengkap di Jawa. Hanya saja, kesadaran masyarakat menjadi persoalan sendiri di sini, di samping kondisi goegrafis yang kurang mendukung untuk mencapai fasilitas pendidikan yang ada.

Di Sulawesi Selatan juga demikian, meskipun fasilitas seperti sekolah sudah ada, tetapi lokasinya masih terisolasi seperti tidak-adanya jembatan penghubung anak-anak untuk ke sekolah sehingga membutuhkan semangat dan keberanian ekstra. Bahkan di Jawa (DIY) masih ditemukan hal yang hampir sama. Pada sebuah pemukiamn di wilayah pegunungan Menoreh misalnya, anak- anak sekolah harus berangkat lebih awal ke sekolah karena jarak tempuh yang sulit. Mereka harus menuruni dan mendaki gunung dengan berjalan kaki. Di Banten juga demikian, anak-anak sekolah harus menghabiskan waktunya di jalan untuk mencapai sekolahnya, bahkan harus menyeberang sungai. Hal ini tentunya sangat tidak efisien bagi anak-anak seusia sekolah untuk memperoleh pendidikan yang maksimal.

Data pengamatan yang diperoleh kemudian dikombinasikan dengan data dokumentasi yang diperoleh dari klipping Koran Harian Kompas pada beberapa edisi yang dipilih berdasarkan persoalan utama kajian ini. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan pendekatan keadilan distributif ala John Rawls (1973) yang melihat bahwa sesuatu tidak bisa diperoleh bukan karena ketiadaan barang, tetapi lebih pada distribusi tidak maksimal. Keadilan tidak hanya menuntut equality, tetapi juga fairness. Setiap orang harus memiliki hak yang sama untuk kebebasan dasar seluas-luasnya dan menguntungkan semua orang (Sholihan, 2014: 41-48). Dalam hal ini, distribusi

(4)

Proceedings:

International Conference on Education

Faculty of Education University of Technology Yogyakarta, 2015

pendidikan (akses) tidak merata. Asumsi ini sejalan dengan pandangan John Friedman (1992) bahwa keterbelakangan pendidikan bukan disebabkan oleh kelafaan fasilitas pendidikan, tetapi diakibatkan oleh akses terhadap fasilitas pendidikan itu sendiri yang tersedia.

Page | 128

HASIL

Ada dua hal utama yang akan disajikan dalam tulisan ini. Pertama, pemerataan akses pendidikan, dan kedua, menyangkut kesiapan SDM bangsa menghadapi persaingan global. Persoalan pertama sangat terkait erat komitmen negara untuk mengelola pendidikan secara komprehensif, tidak parsial. Ketersediaan pelayanan yang menyeluruh masih sebatas wacana ketika melihat relaitas di dunia pendidikan khususnya perguruan tinggi. Persoalan kedua erat hubungannya dengan metode mencetak SDM yang unggul dan kompetitif. Hal ini juga tidak bisa lepas dari persoalan pertama tadi sehingga dibutuhkan bentuk pengelolaan pendidikan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pendidikan untuk semua kalangan tanpa pembedaan yang didasarkan pada klaim dalam bentuk apapun.

Kebijakan mengenai pendidikan sebenarnya sudah di „jalan yang benar‟, tetapi belum didukung oleh komitmen yang mengarah pada pengelolaan pendidikan beradasarkan asas pemerataan. Hal ini dapat dijumpai pada komitmen penganggaran yang dengan tegas menetapkan anggaran yang lebih besar dari periode sebelumnya. Hanya saja, masih terdapat pula

kecenderungan pendidikan menganut sistem „prioritas geografis‟ di mana Jawa menjadi basis

pembangunan sekaligus ukuran bagi keberhasilan pengelolaan. Bahkan, standar yang digunakan bagi calon mahasiswa agar dapat menuntut ilmu pada perguruan tinggi terkemuka seragam sehingga menyulitkan bagi calon mahasiswa yang sebelumnya tidak memiliki faslitas pendukung yang lebih baik. Pada pelaksanaan UAN, misalnya, yang mulai menggunakan komputer (Computer Based Test), bukan lagi Paper Based Test. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah semua siswa bisa mengaplikasikan metode tersebut? Demikian pula, syarat skor TOEFL yang ditentukan oleh beberapa perguruan tinggi ternama (di Jawa). Hal ini pun menjadi momok karena tidak semua orang memiliki basis bahasa Inggris yang cukup untuk memperoleh skor TOEFL seperti yang disyaratkan. Jangankan kemampuan berbahasa Inggris, berbahasa Indonesia saja masih lemah sehingga syarat ini sering menjadi kendala untuk menuntut ilmu pada perguruan tinggi terkemuka dengan jaminan mutu yang dapat dipertanggung-jawabkan.

Pertanyaan di atas muncul dilandasi oleh kenyataan bahwa kemampuan dan fasilitas siswa (dari aspek geografis) sangat beragam. Belum lagi persoalan keterpenuhan listrik pada masing-masing wliayah yang timpang. Bagaimana dengan daerah-daerah di pedalaman yang tidak memiliki jaringan internet? Hal ini terkait dengan ketersediaan jaringan internet di mana sebanyak 135 kabupaten/kota belum memiliki akses (Kompas, 14 April 2015: 12). Inilah salah satu contoh riil ketimpangan akses di dalam negeri. Ketimpangan juag terjadi antara Perguruan Tinggi (PT) di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Pada penilaian mutu eksternal BAN PT pada 2014 misalnya, sebanyak 164 PT dari total 4.274 yang terakreditasi institusinya, hanya 2 (dua) PT yang memperoleh akreditasi A di luar Pulau Jawa. Demikian pula di tingkat Program Studi (Prodi), hanya 223 prodi yang mendapat nilai A di luar Pulau Jawa, sementara sebanyak 1.478 prodi yang berhasil meraih akreditasi A di Pulau Jawa. Pada persaingan pendidikan tinggi juga terjadi hal demikian, khususnya jika dibandingkan dengan publikasi Perguruan Tinggi (PT) dalam negeri dengan PT luar negeri. Publikasi ilmiah PT di Indonesia hanya sekitar 14.000 yang terindeks Scopus dari total 10 PT, sementara publikasi di Malaysia (UKM) mampu menembus angka 18.000 publikasi ilmiah (Kompas, 25 April 2015).

Penulis, melalui kesempatan ini tidaklah ingin mengungkapkan ketidak-setujuan mengenai kebijakan tersebut, tetapi ingin menunjukkan betapa akutnya ketimpangan yang terjadi selama ini. Pemerataan pendidikan sebagaimana telah disinggung di bagian awal tulisan ini menjadi mutlak dilakukan dengan berbaagi strategi yang menguntungkan bagi bangsa ini, tidak justru dianggap hanya menguntungkan sebagian orang apalagi wilayah. Setidaknya, dengan

kebijakan seperti itu akan memantik „kecemburuan‟ bagi sekelompok masyarakat yang pada

(5)

Proceedings:

International Conference on Education

Faculty of Education University of Technology Yogyakarta, 2015

perlakukan diskriminatif khususnya bagi (anak) pada wilayah-wilayah yang memang secara geografis jauh dari pusat kekuasaan.

Amanat konstitusi mengenai pendidikan khususnya alokasi anggaran sebesar 20 % dari dana APBN harus tepat guna dan dapat dinikmati oleh seluruh elemen bangsa. Oleh karena itu, pembangunan sarana (fasilitas) pendidikan harus didukung oleh keteresediaan akses yang lebih terbuka. Banyak bangunan sekolah yang ide pembangunannya sangat cerdas, seperti memberikan kesempatan kepada sekelompok anak di pedalaman untuk mengenyam pendidikan. Akan tetapi, ide cerdas tersebut terpatahkan oleh kondisi alam dan masyarakat setempat tidak sesuai. Misalnya, bangunan sekolah berdiri kokoh namun minim murid. Hal ini salah satunya disebabkan oleh ketersediaan tenaga pengajar yang kurang. Di sinilah distribusi guru perlu ditekankan dalam rangka menjawab persoalan tersebut. Akhirnya, pendidikan anak bangsa jalan di tempat sehingga kemiskinan pun semakin menyelimutinya, bahkan terus terproduksi dengan sendirinya.

Persoalan selanjutnya yang sangat terkait dengan ulasan di atas adalah kesiapan SDM menghadapi kompetisi global. Persoalan kesiapan SDM menjadi salah satu persoalan akut yang belum terselesaikan. Rendahnya kualitas SDM Indonesia dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI). Berdasarkan IPM saat ini, Indonesia berada jauh di bawah beberapa negara di Asean khususnya Singapura dan Malaysia serta Thailand (Effendi, 2009), bahkan tidak jauh dari posisi Vietnam yang umurnya masih sangat belia jika dibandingkan dengan Indonesia. Kondisi ini memberikan gambaran lugas kepada bangsa Indonesia mengenai tingkat atau kemampuan bersaing manusianya dengan negara-negara lain yang relatif rendah. Daya saing yang dimiliki sangat rendah sehingga tidak mampu mengimbangi apalagi menyaingi SDM negara-negara lain (Takbir, 2015). Hal ini berpengaruh langsung terhadap kompetisi dalam memperebutkan lapangan pekerjaan yang layak khususnya menghadai era perdagangan bebas ke depan.

Page | 129

Rendahnya indeks pembangunan manusia Indonesia salah satunya diakibatkan oleh ketidak-merataan akses terhadap pendidikan seeperti telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini juga erat kaitannya dengan perubahan kebijakan pada setiap rezim pemerintahan. Ada kecenderungan yang mengarah pada ketidak-percayaan satu rezim pemerintahan terhadap rezim pemerintahan lain khususnya dalam hal kebijakan pendidikan. Tidak aneh kiranya, setiap ada pergantian menteri, berganti pula kebijakannya. Misalnya, dalam pengelolaan pendidikan seperti kurikulum yang berubah-ubah tergantung pada siapa menteri pendidikannya. Padahal, yang harus dibangun adalah sebuah road map pendidikan yang komprehensif termasuk kurikulum yang dibangun berdasarkan kajian mendalam sehingga tidak berganti ketika ada pergantian pejabat.

Melihat realitas dunia pendidikan (khususnya pendidikan tinggi), ada tren perubahan arah pendidikan sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Ada semacam deviasi antara ketentuan konstitusi dengan pelaksanaannya. Akibat pengaruh globalisasi yang ditunggangi oleh pasar, perubahan terjadi khususnya pada proses penyelenggaraan di mana pendidikan tidak lagi sepenuhnya dipandang sebagai upaya mencerdaskan bangsa atau proses pemerdekaan manusia, tetapi mulai bergeser menuju komodikasi pendidikan (Effendi, 2009:141) sehingga terjadi ketidak- singkronan antara kebutuhan masyarakat dengan lulusan perguruan tinggi yang memicu lahirnya penganguran-pengangguran (sarjana) baru. Hal ini menunjukkan lemahnya manajemen pengelolaan pendidikan di Indonesia.

Menurunnya tingkat relevansi pendidikan Indonesia sebenarnya telah terjadi sejak lama. Beeby, seorang penelitian asal Australia, menunjukkan hal tersebut. Pada tahun 1970 menurutnya, Indonesia setingkat dengan Malaysia, tetapi saat ini justru berada hanya satu tingkat di atas Laos, Myanmar, dan Kamboja. Artinya, jauh di bawah Kamboja yang sudah melejit (terutama untuk pendidikan dasar) (Effendi, 2009). Saat ini, yang bisa dilakukan adalah menyesuaikan antara kebutuhan pasar dengan tingkat kompetensi lulusan. Ini pun sebenarnya bukan hal baru. System

(6)

Proceedings:

International Conference on Education

Faculty of Education University of Technology Yogyakarta, 2015

SIMPULAN

Page | 130

Pengelolaan pendidikan yang didukung oleh ketersediaan anggaran yang cukup besar ternyata belum mampu menuntaskan persoalan-persoalan yang ada di tengah masyarakat. Pangkal persoalannya bukan hanya pada ketersediaan fasilitas, tetapi lebih pada aksesibilitas warga terhadap fasilitas pendidikan yang ada. Komitmen negara untuk mencerdaskan bangsa melalui penyediaan fasilitas pendidikan tidak berbanding lurus dengan realitas di lapangan. Jarak tempuh

antara pemukiman dan sekolah menjadi titik „lemah‟ upaya pencerdasan tersebut sehingga tidak

berjalan secara maksimal. Demikian pula, keterbatasan informasi mengenai pentingnya pendidikan perlu ditingkatkan agar warga negara benar-benar memiliki kesadaran untuk memperoleh hak pendidikan yang lebih layak.

Alokasi anggaran yang besar tidak serta-merta melahirkan kebijakan yang memihak bagi seluruh anak bangsa dalam menikmati pendidikan. Selain jarak dan akses informasi yang kurang, biaya pendidikan yang tinggi juga semakin menambah runyam warga miskin untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Biaya pendidikan yang tinggi minat melanjutkan pendidikan semakin rendah. Hal ini pun kemudian berdampak pada tingkat daya saing SDM yang juga rendah. Oleh karena itu, negara harus mengaktualisasikan kebijakan pendidikan dengan tetap mengedepankan azas pemerataan bukan kesama-rataan sehingga dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, pendidikan akan dapat dinikmati oleh siapa saja tanpa ada pembedaan.

Sinergitas semua pihak dalam pengelolaan pendidikan harus dikedepankan dalam rangka mengatasi berbagai persoalan bangsa yang semakin menumpuk. Kebutuhan dunia kerja harus singkron dengan lulusan perguruan tinggi. Perguruan tinggi pun tidak lagi hanya mencetak lulusan tanpa mempertimbangkan kebutuhan pasar dengan tetap menegakkan kaidah akademik. Pembukaan akses terhadap pendidikan yang lebih luas setidaknya akan mampu mengurai ketidak- merataan pendidikan selama ini dan keadilan dapat dinikmati oleh semua elemen bangsa. Ke depan, kualitas SDM harus memiliki daya saing (unggul dan kompetitif) sehingga mampu merebut pasar dan tidak menjadi pelengkap dunia kerja yang semakin kompleks.

REFERENSI

Effendi, Sofian. 2009.”Reposisi Pendidikan Nasional”, dalam A. Ferry T Indratno (ed.), Negara Minus Nurani: Esai-esai Kritis Kebijakan Publik. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Friedman, John. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge:

Blackwell.

Harian Kompas. Jaringan Diperluas: 135 Kabupaten/Kota Belum Terkoneksi Internets. Edisi Selasa, 14 April 2015.

Harian Kompas. Mutu Perguruan Tinggi Tertinggal. Edisi Sabtu, 25 April 2015.

Hasse J. 2014. “Membangun Pendidikan Berkeadaban: Pesantren Sebagai Basis dan Pilar Pembinaan”, dalam Jurnal Jabal Hikmah: Jurnal Studi Kependidikan dan Hukum, Vol. 3 Nomor 1 2014. Jayapura: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Al Fatah Jayapura-Papua.

Nelly. 2015. “Islam dan Pendidikan Global”, dalam Jurnal Jabal Hikmah: Jurnal Studi Kependidikan dan Hukum, Vol. 4 Nomor 1 2015. Jayapura: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Al Fatah Jayapura-Papua.

Qodir, Zuly. 2009. “Pendidikan Berkarakter, Jalan Selamatkan Indonesia”, dalam A. Ferry T

Indratno (ed.), Negara Minus Nurani: Esai-esai Kritis Kebijakan Publik. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Rawls, John. 197. A Theory of Justice. London: Oxford University Press.

(7)

Proceedings:

International Conference on Education

Faculty of Education University of Technology Yogyakarta, 2015

Takbir M, Muhammad. 2015. “Kebijakan Lembaga Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam dalam

Pengembangan Human Kapital Menghadapi AFTA: Studi Kasus pada Kebijakan Jurusan

Akidah Filsafat UIN Alauddin Makassar”, dalam Jurnal Jabal Hikmah Vol. 4 Nomor 1 2015. Jayapura: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Al Fatah Jayapura-Papua. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

PENULIS

Dr. Hasse J., M.A. adalah dosen pada pada Program Studi (S3) Politik Ilsam-Ilmu Politik

Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, menyelesaikan pendidikan doktor pada Centre for Religious and Cross-cultural Studies Sekolah Pascasarjana UGM pada tahun 2012. Selain mengajar di UMY, penulis juga mengajar pada beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta seperti UGM, UNY, dan UTY serta IAINU Kebumen. Selain itu, penulis juga aktif mengisi Workshop dan Pelatihan Metodologi Penelitian (Sosial Keagamaan) pada beberapa perguruang tinggi di Indonesia. Di sela-sela waktu yang ada, penulis juga aktif melakukan penelitian khusunya menyangkut tema Agama dan Politik serta tema-tema Religious Studies lainnya dan hasilnya telah dipublikasikan baik dalam bentuk book chapter maupun jurnal ilmiah.

(8)

F

UN

A

IV

C

ER

U

SI

L

TY

T

O

Y

F T

O

EC

F

HNO

E

L

D

OG

U

Y Y

C

O

A

GY

T

AK

I

A

O

RT

N

Referensi

Dokumen terkait

♥ Winda Dwi Yunita (ginda), yang selalu mensupport saya agar bias menjadi sarjana dan terima kasih telah membantu dalam urusan skripsi saya dalam mengasih saran ♥ Tedo

Pengunaan lahan untuk pengembangan atau pembuatan jalan baru yang merupakan fasilitas layanan umum untuk masyarakat dalam meningkatkan perekonomian dan

Surat permohonan mahasiswa kepada Dekan Fakultas Keguatan dan llmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Palembang untuk pembimbing penulisan

Artinya kompetensi dan disiplin kerja mempunyai keeratan hubungan dengan kinerja karyawan dilihat dari indikator kompetensi seperti pengetahuan, pemahaman, kemampuan,

Pengujian kinerja mesin ini bertujuan untuk mengetahui performa mesin yang paling optimal dari variasi jenis busi standar dan busi platinum dengan memakai bahan

1) Dosen sebagai agen pembelajaran terlebih dahulu merancang kegiatan pembelajaran dengan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yang dijadikan sebagai

Bab ini menguraikan tentang landasan konseptual yang dihasilakn dari analisis terhadap alternatif – alternatif konsep dalam pendekatan perencanaan dan perancangan

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui profil parameter kimia oseanografi pada perairan Pantai Timur Sumatera dengan membagi daerah pantai Timur Sumatera