• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 323

STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN

BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN

LAMPUNG

Nanang Herdiana1 dan Teten R. Saefuloh1 1Balai Penelitian Kehutanan Palembang

Emai: nanang_herdiana@yahoo.co.id

ABSTRAK

Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (WAR) di Provinsi Lampung merupakan kawasan konservasi yang menerapkan agroforestry sejak tahun 2000. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya rehabilitasi dan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar.Dalam perkembangannya, adanya larangan penebangan/penjualan kayu dari kawasan, maka masyarakat mulai mengembangkan jenis tanaman penghasil HHBK, baik getah maupun buah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi yang terbentuk pada kebunyang dikelola oleh masyarakat di Tahura WAR. Pengambilan data dilaksanakan mulai bulan Juli – Agustus 2015 pada kebun masyarakat di empat lokasi (Sumber Agung, Kebagusan, Bogorejo dan Batu Menyan). Pengukuran vegetasi menggunakan Metode Garis Berpetak pada 5 plot yang dibangun pada masing-masing lokasi.Parameter vegetasi yang dianalisis meliputi: Indek Nilai Penting, Indeks Keragaman Jenis dan Indeks Kesamaan .Hasil Hasil penelitian menunjukan bahwa jenis dominan yang ditunjukkan oleh nilai INP tertinggi pada masing-masing lokasi relatif beragam. Di Sumber Agung, pada tingkat semai didominasi oleh karet dan kopi (54,78 % dan 53, 91 %), tingkat tiang dan pohon juga jenis karet (110,94 % dan 107,08%). Tegakan di Kebagusan, pada tingkat tiang dan pohon didominasi oleh jenis karet (55,22%, 88,01% dan 78,61%), sedangkan tingkat pancang didominasi oleh coklat (101,85%). Karet juga mendominasi di Bogorejo pada tingkat tiang dan pohon (142,73% dan 89,20%), sedangkan pada tingkat semai dan pancang didominasi oleh kopi dan coklat (43,42% dan 114,47%). Vegetasi dominan untuk tingkat semai dan pohon di Batu Menyan adalah duku (71,24% dan 109,59%), jenis karet hanya mendominasi pada tingkat tiang (64,81%) dan coklat mendominasi pada tingkat pancang (111,47%). Keragaman jenis pada keempat lokasi tersebut termasuk rendah dengan nilai indeks keragaman berkisar antara 0,51 - 0,87. Komunitas yang paling mirip adalah Kebagusan dengan Bangun Rejo dengan indeks kesamaan sebesar 66,17%, sedangkan komunitas Batu Menyan relatif lebih berbeda dengan ketiga lokasi lainnya, baik dengan Sumber Agung (34,45%), Bogorejo (35,67%) maupun Kebagusanm (35,77%).

Kata kunci: agroforestri, Indeks Keragaman Jenis, Indeks Kesamaan, Indeks Nilai Penting, jenis tanaman

I. PENDAHULUAN

Salah satu permasalahan yang muncul akibat peningkatan jumlah penduduk adalah kebutuhan lahan untuk pemenuhan pangan. Kondisi tersebut memaksa masyarakat memanfaatkan areal di sekitar tempat tinggalnya, termasuk areal yang merupakan kawasan hutan, seperti yang terjadi di Tahuran Wan Abdul Rahman (WAR) di Provinsi Lampung yang merupakan kawasan konservasi dan telah dimulai sejak tahun 1959.Sebagai upaya rehabilitasi kawasan dan peningkatan perekonomian masyarakat sekitar, pengelola Tahura WAR menerapkan sistem agroforestri sejak tahun 2000. Solusi ini menjadi salah satu jalan keluar atas permasalahan yang timbul akibat pemanfaatan lahan yang tidak tepat dan sekaligus mengatasi masalah pangan (Hairiah et al., 2003). Upaya tersebut relatif berhasil, terlihat dari semakin baiknya kualitas tutupan di kawasan Tahura dan memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi.

Dalam perkembangannya, adanya larangan penebangan/penjualan kayu dari kawasan mendorong masyarakat untuk mengembangkan jenis tanaman penghasil HHBK, baik getah maupun buah.Sampai saat ini, praktek agroforestri tersebut telah dilakukan oleh sejumlah petani pada beberapa lokasi yang menyebar dengan luasan yang bervariasi. Kondisi tersebut akan berimplikasi

(2)

324 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

terhadap perbedaan komposisi jenis, struktur dan populasi vegetasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi yang terbentuk pada tegakan agroforestri (kebun Campuran) yang dikelola masyarakat pada empat lokasi di Tahura Wan Abdul Rahman (WAR).

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada tegakan agroforestri yang dikelola oleh masyarakat pada empat lokasi di Tahura Wan Abdul Rahman (WAR). Tahura WAR terletak di Propinsi Lampung dengan luas 22.244 Ha dan ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 742/Kpts-II/92 tanggal 21 Juli 1992. Secara administrasi pemerintahan terletak di Kecamatan Tanjung Karang Barat, Kedodong, Gedong Tataan dan Padang Cermin Kota Madya Bandar Lampung, sedangkan pengelolaannya di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam II Tanjung Karang. Tahura WAR memiliki topografi bergelombang ringan sampai berat dan sebagian datar. Menurut klasifikasi iklim Schmid dan Ferguson, Tahura WAR Rachman termasuk tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 2.422 mm per tahun. Suhu udara berkisar antara 24°C-26°C (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2009).

Objek penelitian adalah tanaman pola agroforestri yang dikelola secara individual oleh petani pada empat lokasi yaitu: Sumber Agung, Kebagusan, Bogorejo dan Batu Menyan. Pada masing-masing lokasi dibangun plot pengamatan seluas 0,04 ha yang diulang sebanyak 5 kali, sehingga secara keseluruhan dibangun 20 plot pengamatan. Pengukuran vegetasi menggunakan Metode Garis Berpetak (nested sampling) yang mengacu pada Indriyanto (2006). Pengambilan data berlangsung mulai dari bulan Juli – Agustur 2015.

Untuk mengetahui struktur dan komposiai tegakan dilakukan analisis terhadap data vegetasi. Parameter yang dihitung meliputi:

 Indeks Nilai Penting (INP). Perhitungan INP dilakukan dengan mengacu pada rumus yang dikemukakan oleh Kusmana (1997).

 Indeks Keragaman Jenis. Menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Wienner (1949) dalam Ludwig dan Reynolds (1988).

 Indeks Kesamaan. Menggunakan Indeks Kesamaan (SI) menurut Mueller dan Ellenberg (1974). III.HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis tanaman yang dikembangkan dalam praktek agroforestri oleh masyararakat padaempatlokasidi Tahura Wan Abdul Rahman cukup beragam. Berdasarkan pengamatan dan pengukuran lapangan (Tabel 1), jenis vegetasi penyusun agroforestri antara lain: Sumber Agung sebanyak 21 jenis, Kebagusan sebanyak 20 jenis, Bogorejo sebanyak 16 jenis dan Batu Menyan sebanyak 22 jenis.Dari berbagai jenis vegetasi tersebut, jika dikelompokan berdasarkan komoditas atau nilai manfaat yang dihasilkan, maka jenis tanaman yang dikembangkan oleh masyarakat dapat dikelompokan menjadi: tanaman penghasil buah (kopi, coklat, kemiri, duku, durian, nangka, mangga, jambu, rambutan, alpukat, pala dan lainnya), tanaman penghasil kayu (jati, mahoni, cempaka, duren), tanaman penghasil getah (karet), tanaman pakan ternak (kaliandra, kemlandingan) dan tanaman penaung (gamal, dadap).

(3)

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 325

Tabel 1. Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi penyusun agroforestri pada 4 lokasi di Tahura Wan Abdul RahmanTahun 2015.

No Jenis Sumber Agung (%) Kebagusan (%) Bogorejo (%) Batu Menyan (%)

Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon

1 Alpukat 4,27 9,89 9,49 17,00 7,75 21,63 53,72 2 Aren 12,26 11,09 3 Cengkeh 7,99 41,15 8,61 50,67 47,04 32,49 22,42 4,04 4 Cempaka 16,645 5 Coklat 3,72 92,68 60,16 11,54 101,85 104,000 18,89 114,47 56,630 21,08 111,39 6 Dadap 6,19 8,75 8,47 12,45 7 Duku 71,24 44,98 50,84 109,59 8 Duren 12,26 22,46 33,86 52,32 8,12 21,29 8,56 65,70 16,76 14,29 16,864 33,66 3,72 56,38 19,09 9 Gamal 11,56 11,80 10 Jambu Air 9,42 13,56 11 Jati 16,85 12 Jengkol 4,87 3,41 19,94 9,28 18,63 34,16 13 Jeruk 4,66 14 Kaliandra 3,77 15 Karet 54,78 75,17 110,94 107,08 55,22 91,36 88,07 78,61 23,26 45,68 142,728 69,20 13,26 38,52 64,81 16 Kayu Afrika 4,93 17 Kelapa 7,44 5,37 24,09 4,34 22,51 18,36 18 Kemiri 3,49 85,68 4,49 17,67 9,02 43,68 19 Kemlandingan 7,57 8,75 20 Kopi 53,91 8,55 6,78 71,92 16,44 6,05 43,42 79,53 9,38 49,76 9,02 21 Mangga 3,41 6,63 3,72 10,29 22 Melinjo 4,99 36,82 98,45 3,59 6,28 9,72 13,49 47,305 26,81 4,11 4,91 9,73 52,28 23 Nangka 10,41 6,96 8,87 9,31 5,15 15,79 24 Pala 14,18 10,75 13,88 25 Petai 3,72 4,81 8,97 3,59 11,09 9,46 5,41 6,85 23,483 17,34 3,72 14,82 26 Pinang 17,41 19,15 21,413

(4)

326 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

No Jenis Sumber Agung (%) Kebagusan (%) Bogorejo (%) Batu Menyan (%)

Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon Semai Pancang Tiang Pohon

27 Rambutan 3,41 8,99 5,55 16,55

28 Rotan 3,72

29 Salam 3,72

30 Sawo 5,63

31 Sonokeling 25,46 4,40 12,09 40,15 7,98 6,48

(5)

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 327 Hasil analisis Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi penyusun agroforestry (Tabel 1), menunjukkan bahwa secara umum jenis vegetasi dominan penyusun tegakan relatif tidak berbeda. Jenis vegetasi dominan di Sumber Agung untuk tingkat semai adalah karet dan kopi dengan nilai INP masing-masing sebesar 54,78 % dan 53, 91 %. Karet juga mendominasi untuk tingkat tiang dan pohon dengan nilai INP masing-masing sebesar 110,94 % dan 107,08%. Selain itu, jenis melinjo juga turut mendominasi untuk tingkat pohon dengan nilai INP sebesar 98,45%. sedangkan untuk tingkat pancang didominasi oleh jenis coklat dengan nilai INP sebesar 92,68 %. Tegakan di Kebagusan didominasi oleh vegetasi karet, terutama untuk tingkat semai, tiang dan pohon dengan nilai INP masing-masing sebesar 55,22%, 88,01% dan 78,61%. Untuk tingkat pancang didominasi oleh coklat dengan nilai INP sebesar 101,85%. Seperti halnya pada dua lokasi sebelumnya, jenis karet juga mendominasi di Bogorejo pada tingkat tiang dan pohon dengan nilai INP masing-masing sebesar 142,73% dan 89,20%, sedangkan pada tingkat semai dan pancang didominasi oleh kopi dan coklat dengan nilai INP masing-masing sebesar 43,42% dan 114,47%. Vegetasi dominan di Batu Menyan relatif berbeda, jenis duku menjadi vegetasi dominan untuk tingkat semai dan pohon dengan nilai INP masing-masing sebesar 71,24% dan 109,59%, jenis karet hanya mendominasi pada tingkat tiang dengan nilai INP sebesar 64,81% dan coklat mendominasi pada tingkat pancang dengan nilai INP sebesar 111,47%.

Berdasarkan pengamatan dan perhitungan di atas, jenis tanaman penghasil buah dan getah menjadi tanaman paling dominan, sehingga praktek agroforestri yang dilakukan oleh masyarakat di Tahura Wan Abdul Rahman tersebut bisa dikatagorikan sebagai agroforestri Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Pengembangan HHBK tersebut tidak lepas dari aturan atau larangan penebangan untuk pemanfaatan kayu, sehingga masyarakat memilih jenis HHBK. Adanya beberapa jenis tanaman penghasil kayu yang tumbuh di kebun masyarakat, misalnya jati atau cempaka, merupakan tanaman hasil rehabilitasi yang dilakukan oleh pengelola Tahura pada beberapa tahun yang lalu.

Dominansi jenis vegetasi atau tanaman menunjukkan preferensi masyarakat dalam memilih jenis komoditas yang dikembangkan. Secara umum terlihat bahwa pertimbangan kesesuaian tempat tumbu tidak semata-mata menjadi acuan dalam pemilihan jenis, tetapi nilai ekonomi menjadi faktor yang lebih menentukan dalam pemilihan jenis komoditas. Hal tersebut terlihat dari dominasi tanaman perkebunan komersil yang dikembangkan oleh masyarakat di keempat loasi pengamatan, seperti karet, coklat dan kopi.

Berdasarkan Tabel 2, keragaman jenis pada semua tingkat pertumbuhan pada ke empat lokasi termasuk rendah, dengan nilai Indeks Keragaman Jenis Shannon-Wienner (H’) berkisar antara 0,553–0,872. Indeks keanekaragaman menunjukan hubungan antara jumlah spesies dengan jumlah individu yang menyusun suatu komunitas (Heddy, 1994 dalam Wahyudi, Harianto dan Darmawan, 2014). Rendahnya nilai keragaman tersebut disebabkan oleh komposisi tegakan yang disusun oleh sedikit jenis dan didominasi oleh beberapa jenis komersil saja, misalnya karet, kopi atau coklat. Tabel 2. Indeks keragaman jenis penyusun agroforestri pada 4 lokasi di Tahura Wan Abdul

Rahman.Tahun 2015

No Lokasi Tingkat Pertumbuhan

Semai Pancang Tiang Pohon

1 Sumber Agung 0,59 0,70 0,73 0,67

(6)

328 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 No Lokasi Tingkat Pertumbuhan

Semai Pancang Tiang Pohon

3 Bangunrejo 0,83 0,55 0,51 0,58

4 Batu Menyan 0,68 0,66 0,87 0,70

Sumber: Hasil olah data primer (2015)

Tabel 3. Indeks kesamaan vegetasi penyusun agroforestri pada 4 lokasi di Tahura Wan Abdul RahmanTahun 2015.

No Lokasi Sumber Agung

(%) Kebagusan (%) Bangunrejo (%) Batu Menyan (%) 1 Sumber Agung 53,28 45,23 34,45 2 Kebagusan 53,28 66,17 35,77 3 Bangunrejo 45,23- 66,17- 35,67 4 Batu Menyan 34,45 35,77 35,67

Sumber: Hasil olah data primer (2015)

Nilai kesamaan vegetasi penyusun agroforestri di antara keempat lokasi pengamatan bervariasi antara 34,45 – 66,17 % (Tabel 3). Komunitas yang paling mirip adalah Kebagusan dengan Bangun rejo, sedangkan komunitas Batu Menyan relatif lebih berbeda dengan ketiga lokasi lainnya. Pada dasarnya keempat lokasi tersebut relatif memiliki kesamaan pemilihan jenis yang dikembangkan, semuanya menuju tegakan yang lebuh sederhana dengan jenis dominan tanaman komersil perkebunan berupa karet, kopi dan coklat. Tegakan di Bangunrejo dan Kebagusan merupakan tegakan yang paling cepat berkembang dan telah mendekati kondisi perkebunan, sedangkan lokasi lainnya (Sumber Agung dan Batu Menyan) sedang menuju ke arah tersebut, sehingga kesamaan antar lokasi tersebut cukup tinggi.

Untuk mengetahui stratifikasi vegetasi penyusun agroforestri pada keempat lokasi pengukuran dapat dilihat dari struktur vertikal tegakan yang terbangun. Struktur vertikal tersebut terkait erat dengan pengasaan tempat tumbuh yang dipengaruhi oleh besarnya energi dari cahaya matahari, ketersediaan air tanah dan hara mineral bagi pertumbuhan individu terutama tinggi maksimum yang dapat dicapai pohon dan lapisan tajuk di atas permukaan tanah (Muhadiono, 2010). Struktur vertikal yang teramati pada plot pengamatan menunjukkan adanya perbedaan ketinggian pohon. Mills et al. (1993) membagi interval ketinggian pohon pembentuk stratifikasi dibagi menjadi 2 -10 m, 10 – 20 m dan 20 – 30 m. Berdasarkan klasifikasi tersebut, ketinggian pohon yang ditemukan hanya ada 2 tingkat dan tidak dijumpai pohon dengan ketinggian di atas 20 m. Strata atas didominasi oleh karet, jati, cempaka atau tanaman buah-buahan (duren, duku), sedangkan di bagian tengah disusun oleh tanaman coklat atau kopi (tingkat pertumbhan pancang dan tiang). Selain itu, dijumpai juga vegetasi penutup permukaan tanah (strata paling bawah), berupa tanbaman pertanian dan perdu. Pengaturan strata tersebut menunjukkan adanya upaya pembagian pemnafaatan ruang tumbuh dan sumber daya lingkungan setempat (Suryanto, Tohari dan Sabarnurdin, 2005).

(7)

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 329 1. Jenis dominan yang ditunjukkan oleh nilai INP tertinggi pada masing-masing lokasi relatif

beragam. Di Sumber Agung, pada tingkat semai didominasi oleh karet dan kopi (54,78 % dan 53, 91 %), tingkat tiang dan pohon juga jenis karet (110,94 % dan 107,08%). Tegakan di Kebagusan, pada tingkat tiang dan pohon didominasi oleh jenis karet (55,22%, 88,01% dan 78,61%), sedangkan tingkat pancang didominasi oleh coklat (101,85%). Karet juga mendominasi di Bogorejo pada tingkat tiang dan pohon (142,73% dan 89,20%), sedangkan pada tingkat semai dan pancang didominasi oleh kopi dan coklat (43,42% dan 114,47%). Vegetasi dominan untuk tingkat semai dan pohon di Batu Menyan adalah duku (71,24% dan 109,59%), jenis karet hanya mendominasi pada tingkat tiang (64,81%) dan coklat mendominasi pada tingkat pancang (111,47%).

2. Keragaman jenis pada keempat lokasi tersebut termasuk rendah dengan nilai indeks keragaman berkisar antara 0,51 - 0,87.

3. Komunitas yang paling mirip adalah Kebagusan dengan Bangun Rejo dengan indeks kesamaan sebesar 66,17%, sedangkan komunitas Batu Menyan relatif lebih berbeda dengan ketiga lokasi lainnya, baik dengan Sumber Agung (34,45%), Bogorejo (35,67%) maupun Kebagusanm (35,77%).

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2009. Buku Informasi Tahura. Buku. Bandar Lampung. Tidak dipublikasikan.

Hairiah, K., M. A. Sardjono dan M. S. Sabarnurdin. 2003. Pengantar Agroforestri. Indonesia World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. Bogor.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara Jakarta. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ludwig, J. A. and J. F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology, A Prime on Method and Computing. John Willey and sons. New York.

Mills, L. S., Fredrikson R. J., Moorhead B.B. 1993. Characteristics of old growth forests associated with northern spoted owls in Olimpic National Park. Journal of Wildlife Management. Vol. 1, 1993 : 27 – 45.

Mueller, D. dan H. Ellenberg. 1974. Aim and Method of Vegetation Ecology. John Wiley & Sons, New York – Chichester – Brisbane - Toronto.

Muhadiono. 2010. Ekologi vegetasi. Laboratorium Ekologi Fakuktas Kehutanan IPB. Bogor.

Suryanto, P., Tohari dan S. Sabarnurdin. 2005. Dinamika sistem berbagi sumberdaya dalam agroforestri: Dasar pertimbangan penyusunan strategi silvikultur. Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 12 No. 2, 2005: 165 – 178.

Wahyudi, A. , Sugeng P., Harianto, dan A. Darmawan. 2014. Keanekaragaman jenis pohon di hutan pendidikan konservasi terpadu Tahura Wan Abdul Rachman. Jurnal Sylva Lestari Vol. 2 No. 3: 1 – 10.

(8)

330 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

PRODUKTIVITAS DAN SISTEM PERAKARAN JELUTUNG RAWA (

Dyera polyphylla

) DI LAHAN

AGROFORESTRI

Dewi Alimah, Junaidah, dan Marinus K. Harun Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru

Email : dewi_alimah@yahoo.com

ABSTRAK

Jelutung rawa (Dyera polyphylla) adalah salah satu jenis tanaman yang potensi untuk dikembangkan di lahan rawa gambut. Informasi sistem perakaran jelutung rawa sangat diperlukan untuk mendukung budidaya jelutung rawa dengan pola agroforestri. Informasi ini dapat dijadikan sebagai referensi untuk menentukan tanaman pertanian yang cocok ditanam secara bersama-sama dengan jelutung rawa. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui produktivitas tegakan jelutung rawa berusia 5 dan 6 tahun dan (2) mengetahui panjang, kedalaman, dan berat kering akar lateral jelutung rawa. Penelitian ini menggunakan metode purpossive sampling. Jumlah plot pengamatan jelutung rawa adalah 10 petak terdiri dari 5 petak umur 5 tahun dan 5 petak umur 6 tahun. Ukuran petak pengamatan adalah 50x15 m dengan jarak tanam jelutung rawa 3x5 m. Parameter yang diamati adalah dimensi pohon jelutung rawa (tinggi dan diameter), panjang akar, kedalaman akar, dan berat kering akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter batang dan tinggi batang jelutung rawa umur 6 tahun pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan secara berturut – turut berkisar antara 6,05 – 9,57 cm dan 4,25 – 9,00 m. Sementara itu, jelutung rawa umur 5 tahun di lokasi yang sama memiliki diameter batang dan tinggi batangberturut – turut berkisar antara 5,01 – 6,69 cm dan 3,93 – 6,22 m. Berat kering akar terbanyak ditemukan pada radius 0,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 15 cm dari permukaan tanah. Berat kering akar jelutung rawa umur 5 dan 6 tahun secara berturut-turut adalah 7,16 g dan 10,15 g. Pada jelutung rawa, baik yang berumur 6 maupun 5 tahun pada radius 1,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 30 cm dari permukaan batang tidak ditemukan adanya perakaran. Hal ini menunjukkan bahwa perakaran jelutung yang ditanam di lahan rawa gambut pada umumnya merupakan perakaran dalam.

Kata kunci : jelutung rawa, gambut, perakaran, produktivitas

I. PENDAHULUAN

Kalimantan Tengah memiliki sekitar 3 juta ha lahan gambut atau sekitar 13,5% dari lahan gambut di seluruh Indonesia. Wilayah ini memiliki permasalahan gambut paling besar bila dibandingkan dengan Sumatera dan Papua sebagai wilayah yang juga memiliki sebaran gambut. Permasalahan utama lahan gambut di Kalimantan Tengah berupa kebakaran hutan, pembalakan liar, dan drainase yang berlebihan. Kebakaran di lahan gambut yang terjadi secara berulang – ulang telah berpengaruh terhadap kegiatan pembangunan dan kesempatan ekonomi di wilayah tersebut (CKPP, 2008). Laju degradasi dan deforestasi hutan dan lahan gambut di Kalimantan saat ini mencapai 1 juta ha/tahun (Miettinen et. al., 2011).Salah satu sistem pengelolaan lahan yang dapat diterapkan untuk kegiatan rehabilitasi lahan gambut yang bersentuhan dengan masyarakat adalah sistem agroforestri. Penerapan sistem ini diharapkan dapat menjembatani kepentingan ekonomi petani lokal dengan kepentingan kelestarian lingkungan lahan gambut (Harun, 2011).

Sistem agroforestri dicirikan dengan keberadaan komponen pohon dan tanaman semusim dalam ruang dan waktu yang sama. Menurut Wijayanto dan Rahmi (2013), pengelolaan sistem agroforestri selalu dihadapkan pada berbagai tantangan seperti tingkat naungan yang cukup tinggi dan kemungkinan terjadinya kompetisi ruang, air, nutrisi, dan kelembaban. Pemilihan jenis tanaman tumpang sari yang sesuai dengan tanaman pokok menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan tersebut. Kesesuaian dapat dilihat dari kondisi fisiologis pohon seperti tajuk dan perakaran yang berpengaruh terhadap pengaturan jarak tanam yang ideal. Selanjutnya, jarak tanam ini berkaitan

(9)

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 331 dengan ketersediaan cahaya yang dapat menembus kanopi tanaman utama dan ketersediaan ruang untuk perakaran.

Di Kalimantan Tengah telah dilakukan pengembangan sistem agroforestri berbasis jelutung rawa (Dyera polyphylla) untuk pemulihan lahan gambut terdegradasi. Penelitian mengenai sistem perakaran jelutung rawa untuk dapat mengetahui jenis tanaman pertanian yang sesuai dengan kondisi perakaran jelutung rawa perlu dilakukan. Menurut Tata et al. (2015), jelutung rawa memiliki akar napas (pneumatofor), dimana akar jenis ini cenderung menjulang di atas tanah sehingga pengusahaannya dalam penerapan agroforestri perlu diperhatikan.Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui produktivitas tegakan jelutung rawa berusia 5 dan 6 tahun dan (2) mengetahui panjang, kedalaman, dan berat kering akar lateral jelutung rawa.

II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, yaitu pada bulan Mei hingga Oktober 2011 di di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. B. Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan jelutung rawa berumur 5 dan 6 tahun dengan jarak tanam 3 × 5 m. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah parang, cangkul, pita ukur, label, dan alat tulis.

C. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkanterdiriatas data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan seperti pengukuran dimensi tanaman pokok, pengukuran persentase penutupan tajuk, pengukuran panjang akar horizontal dan kedalaman akar, pengambilan sampel tanah untuk analisis sifat fisik dan kimia tanah plot penelitian.

Data sekunder yang dibutuhkan adalah data profil lokasi penelitian seperti data letak, luas, pola penggunaanlahan, topografi, jenis tanah, kondisi iklim, dan sejarah pengelolaan lahan. Data sekunder ini diperoleh dari studi literature, wawancara dengan pemilik lahan dan pembekal setempat dan hanya digunakan sebagai data pendukung untuk data primer.

D. Metode Kerja

Penentuan peletakan plot contoh. Tanaman jelutung rawa yang diukur dipilih dengan kriteria pertumbuhan baik dan bebas dari hama dan penyakit . Plot contoh yang digunakan berbentuk persegi sebanyak 10 petak dengan ukuran 50 × 15 m yang terdiri dari 5 petak umur 5 tahun (petak A,B,C,D dan E) dan 5 petak umur 6 tahun (petak F, G, H, I dan J). Dalam setiap plot contoh terdapat 50 batang pohon jelutung. Metode yang digunakan adalah purpossive sampling.

Pengukuran dimensi pohon. Pengukuran dimensi pohon (tinggi, diameter, dan tajuk) dilakukan pada setiap plot contoh. Tinggi pohon diukur dengan menggunakan alat berupa haga hypsometer, diameter pohon diukur dengan menggunakan pita ukur, dan lebar tajuk diukur dengan menggunakan kompas dan pita ukur. Pengukuran tajuk dilakukan dengan mengukur lebar tajuk pada arah Barat Timur (BT) dan lebar tajuk pada arah Utara Selatan (US).

Pengukuran panjang akar dan kedalaman akar. Pengamatan dilakukan pada radius 50 dan 150 cm dari pangkal batang dengan kedalaman 15 dan 30 cm dari permukaan tanah. Apabila pada kedalaman tersebut ditemukan adanya akar dari tanaman pokok, maka pengukuran dihentikan. Namun jika tidak ditemukan adanya akar tanaman pokok, maka pengukuran dilakukan pada setiap jarak 50 cm berikutnya ke arah kanan dan kiri dari penggalian sebelumnya, dengan cara penggalian lagi sampai ditemukan adanya akar tanaman pokok. Sampel akar yang diperoleh dikeringkan hingga mencapai berat kering konstan.

(10)

332 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Analisis data. Data hasil pengukuran dimensi pohon, lebar tajuk dan sistem perakaran dimasukkan ke dalam tabel untuk mempermudah pengolahan dan analisis data. Pengelohan data dilakukan dengan menggunakan microsoft excel. Data yang diperoleh dari hasil lapangan dan ditunjang dengan literatur yang ada dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Dari analisis tersebut diharapkan dapat diketahui tanaman pertanian yang sesuai dengan tegakan jelutung rawa monokultur dan campuran.

III.HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Produktivitas Jelutung Rawa Pada Plot Agroforestri di Kelurahan Kalampangan

Plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan mewakili tipologi lahan gambut dalam yang dikelola oleh masyarakat transmigran. Derajat keasaman (pH) tanah pada lokasi penelitian berada pada kisaran 3,86-5,8 (bagian permukaan), suhu rata-rata tanah 29,20C dan suhu udara rata-rata di siang hari mencapai 340C. Tanah di Kelurahan Kalampangan termasuk jenis glei humus dan organosol dengan struktur tanah topsoil berlapis gambut tebal. Tekstur tanah di Kelurahan Kalampangan termasuk dalam bahan organik gambut belum masak. topografi wilayah datar (kemiringan 0 – 3 %) dan ketinggian tempat 14 – 18 m dpl (Kelurahan Kalampangan, 2010).

Produktivitas jelutung rawa di plot agroforestri diketahui dengan melakukan pengukuran dimensi pohon yang meliputi pengukuran diameter dan tinggi pohon. Produktivitas jelutung rawa umur 6 dan 5 tahun pada plot agroforestri di Desa Kalampangan disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1. Rata – rata diameter batang dan tinggi batang jelutung rawa umur 6 tahun pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan

0 2 4 6 8 10 A B C D E 7,5 8,79 6,24 9,57 6,05 Di am et er po h o n ( cm ) Petak 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E 4,85 5,64 4,49 9 4,25 T in ggi ( m ) Petak

(11)

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 333 Gambar 2. Rata – rata diameter batang dan tinggi batang jelutung rawa umur 5 tahun pada plot

agroforestri di Kelurahan Kalampangan

Gambar 3. Rata – rata lebar tajuk jelutung rawa umur 5 dan 6 tahun pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan

Gambar 1 menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter batang dan tinggi batang jelutung rawa umur 6 tahun pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan secara berturut – turut berkisar antara 6,05 – 9,57 cm dan 4,25 – 9,00 m. Rerata pertumbuhan diameter batang dan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 6 tahun terendah terdapat pada Petak E secara berturut – turut sebesar 6,05 cm dan 4,25 m. Rerata pertumbuhan diameter batang dan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 6 tahun tertinggi terdapat pada Petak D secara berturut – turut sebesar 9,57 cm dan 9 m.

Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa pertumbuhan diameter batang dan tinggi batang jelutung rawa umur 5 tahun pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan secara berturut – turut berkisar antara 5,01 – 6,69 cm dan 3,93 – 6,22 m. Rerata pertumbuhan diameter batang tanaman jelutung rawa umur 5 tahun terendah terdapat pada Petak J sebesar 5,01 cm sementara rerata pertumbuhan tinggi batang terendah terdapat pada Petak L sebesar 3,93 m. Rerata pertumbuhan diameter batang dan tinggi batang tanaman jelutung rawa umur 5 tahun tertinggi terdapat pada Petak I secara berturut – turut sebesar 6,69 cm dan 6,22 m.

Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa tajuk jelutung rawa umur 6 tahun terlebar dapat dilihat pada Petak D, dimana lebar tajuk baik itu arah Utara (U) – Selatan (S) maupun arah Barat (B) – Timur

0 1 2 3 4 5 6 7 H I J K L 6,3 6,69 5,01 5,53 5,87 Di am at er ( cm ) Petak 0 1 2 3 4 5 6 7 H I J K L 5,27 6,22 4,19 5 3,93 T in ggi ( m ) Petak 1,45 2,54 1,47 2,77 1,85 1,20 1,20 1,20 2,58 1,28 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 A B C D E L eb ar T aj uk (m ) Petak

Jelutung Rawa Umur 6 Tahun

Lebar tajuk arah US Lebar tajuk arah BT

1,77 1,93 1,15 1,35 1,43 1,64 1,82 1,07 1,20 1,23 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 H I J K L Le b ar T aj uk (m ) Petak

Jelutung Rawa Umur 5 Tahun

(12)

334 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

(T) nilai rata-rata lebih dari 2,5 m. Sementara itu, lebar tajuk jelutung rawa umur 6 tahun pada petak lainnya berkisar antara 1,20 – 2,54 m. Pada jelutung rawa umur 5 tahun, tajuk terlebar dijumpai pada Petak I (1,82 – 1,93) sedangkan lebar tajuk jelutung rawa umur 5 tahun pada petak lainnya berkisar antara 1,07 – 1,77 m.

Pada petak-petak pengamatan, dibawah tegakan jelutung rawa ada yang ditanami dengan tanaman semusim dan ada yang tidak ditanami. Tanaman semusim yang ditanam antara lain : kacang panjang, cabe, daun bawang, sawi, dan jagung yang ditanam secara sistem jalur dan bergantian. Pertumbuhan tanaman jelutung rawa pada petak yang ditanami dengan tanaman semusim dengan tanpa ditanami adalah beragam. Namun secara umum dapat disebutkan bahwa penanaman tanaman semusim pada plot agroforestri tidak banyak berpengaruh terhadap produktivitas tanaman jelutung rawa.

B. Panjang, Kedalaman,dan Berat Kering Perakaran secara Lateral

Pada penelitian ini pengamatan mengenai sistem perakaran jelutung rawa didekati dengan besarnya nilai berat kering akar pada radius dan kedalaman tertentu. Menurut Suryanto dkk (2005), berat kering akar menggambarkan laju pertumbuhan dan perkembangan sistem perakaran. Sementara itu, penentuan radius digunakan sebagai penanda dari luas permukaan akar. Menurut O’Toole dan Chang (1979), luas permukaan akar digunakan sebagai indikator kemampuan sistem perakaran dalam menyerap air dan hara dan perkembangan sistem perakaran. Hasil pengamatan panjang dan kedalaman perakaran horisontal serta berat kering akar tanaman jelutung rawa pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Panjang dan Kedalaman Perakaran serta Berat Kering Akar Jelutung Rawa Pada Plot Agroforestri di Kelurahan Kalampangan

Umur Tanaman (Tahun)

Kode Sampel Berat Kering Akar

(gr)

Keterangan

6

A15 10,15 Plot jelutung rawa tidak dikombinasi dengan tanaman pertanian A30 3,16 B15 3,94 B30 0 5

A15 7,16 Plot jelutung rawa

dikombinasi dengan tanaman pertanian A30 0,84 B15 0,91 B30 0 Keterangan :

A15 = radius 0,5m daripangkalbatang, kedalaman 15 cm daripermukaantanah A30 = radius 0,5m daripangkalbatang, kedalaman 30 cm daripermukaantanah B15 = radius 1,5m daripangkalbatang, kedalaman 15 cm daripermukaantanah B30 = radius 1,5m daripangkalbatang, kedalaman 30 cm daripermukaantanah

Pada Tabel 1 diketahui bahwa kedalaman perakaran horisontal pohon jelutung rawa pada umur 5 dan 6 tahun sudah dapat dijumpai pada kedalaman 15 cm dari permukaan tanah. Panjang perakaran secara horisontal pada pohon jelutung rawa sudah ditemukan pada radius 0,5 – 1,5 m dari pangkal batang. Pada jelutung rawa baik yang berumur 6 maupun 5 tahun, berat kering akar terbanyak ditemukan pada radius 0,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 15 cm dari permukaan tanah secara berturut – turut sebesar 10,15 g dan 7,16 g. Pada radius yang sama dengan kedalaman 30 cm dari permukaan tanah, berat akar mengalami penurunan jumlah dan kembali naik beratnya pada radius 1,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 15 cm dari permukaan tanah, yaitu 3,94 g untuk jelutung rawa umur 6 tahun dan 0,91 g untuk jelutung rawa umur 5 tahun. Pada jelutung rawa, baik yang berumur 6 maupun 5 tahun, terutama pada radius 1,5 m dari pangkal

(13)

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 335 batang dengan kedalaman 30 cm dari permukaan batang tidak ditemukan adanya perakaran. Hal ini menunjukkan bahwa perakaran jelutung yang ditanam di lahan rawa gambut pada umumnya merupakan perakaran dalam. Hal ini sebagai akibat dari miskinnya kandungan unsure hara pada tanah gambut sehingga tanaman jelutung beradaptasi dengan cara membentuk perakaran dalam guna mencari unsure hara yang dibutuhkannya yang jauh dari permukaan tanah.

Pada Tabel 1 juga diketahui bahwa perakaran jelutung rawa umur 6 tahun cenderung memiliki berat kering akar lebih banyak daripada jelutung rawa umur 5 tahun. Salah satu faktor penyebabnya adalah umur. Semakin tua umur tanaman, sistem perakaran lebih lebar dan dalam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perakaran jelutung rawa umur 6 tahun cenderung lebih panjang bila dibandingkan dengan perakaran pada jelutung rawa umur 5 tahun. Namun, pengamatan pada jelutung rawa umur 5 tahun diketahui bahwa pada radius 0,5 – 1,5 m dari pangkal batang dekat permukaan tanah terdapat banyak rambut-rambut akar meskipun tidak panjang. Keberadaan rambut-rambut akar ini menunjukkan adanya respon perakaran terhadap adanya tanaman semusim dan pemupukan yang diberikan pada tanaman semusim. Petak umur 5 tahun pada saat pengamatan masih aktif ditanami dengan tanaman semusim. Dengan adanya pemupukan, merangsang sistem perakaran jelutung rawa untuk mengambil unsur hara yang diberikan pada tanaman pertanian (pemupukan).

Pada tahun ke-6 terjadi penurunan produktivitas lahan untuk tanaman pertanian. Selain karena adanya penurunan kualitas lahan agroforestri pasca penanaman tanaman semusim, penurunan produktivitas juga disebabkan oleh sistem perakaran tanaman jelutung rawa. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan petani diperoleh informasi bahwa pada umur 6 tahun perakaran jelutung rawa berada pada radius sekitar 1 -1,5 m dari pangkal batang namun belum muncul ke permukaan tanah. Pada tahun ke-6 ini, sebagian lahan pertanian mereka yang digunakan untuk menanam jelutung rawa tidak bisa lagi ditanami dengan tanaman semusim secara maksimal karena perakaran tanaman jelutung yang mulai mengganggu pertumbuhan tanaman semusim. Hal inilah yang menyebabkan petani berinisiatif memberi jarak +1 m antara tanaman pertanian dan tanaman jelutung rawa pada awal penanaman. Menurut Murniati (2010), jelutung rawa umur 12 tahun mempunyai perakaran yang menjalin dan muncul di atas permukaan tanah. Berkurangnya luasan lahan pertanian yang dikelola menurunkan produktivitas lahan sebesar 20%. Pengurangan produktifitas lahan ini mulai terjadi pada tahun ke-4. Pada tahun pertama sampai dengan ke tiga, penamanan tanaman semusim dan tanaman berkayu masih dilakukan secara bersama-sama pada 1 unit lahan.

Untuk memperoleh hasil maksimal dari penanaman pola agroforestri berbasis jelutung rawa, penanaman yang dilakukan harus dengan bergiliran. Masyarakat di Kelurahan Kalampangan sendiri telah melakukan pola penanaman pergiliran tanaman pertanian dan secara tumpang sari. Setiap jenis tanaman mempunyai umur panen yang berbeda-beda sehingga dalam 1 tahun frekuensi penanaman setiap jenis tanaman berbeda-beda. Dalam 1 unit lahan, petani mengelola berbagai jenis tanaman pertanian yang mempunyai umur panen berbeda-beda mulai dari umur panen + 20 hari sampai dengan + 6 bulan dengan masa bera 1- 2 minggu. Tujuan pola tanam tersebut adalah petani bisa mendapatkan hasil panen setiap bulan. Jenis tanaman yang ditanam dalam unit lahan bisa berubah dalam 1 periode penanaman. Selain dipengaruhi oleh permintaan konsumen, pola tanam seperti ini juga bertujuan agar tanaman tidak rentan terhadap serangan hama dan penyakit, mempertahankan produktivitas tanaman pertanian, dan mempertahankan kesuburan tanah. Pada tahun pertama sampai dengan tahun ke-6 petani bisa menanam tanaman semusim seperti : cabe, daun bawang, sawi, dan jagung. Namun pada umur selanjutnya, perlu introduksi jenis lain yang tahan terhadap naungan dan memiliki sistem perakaran yang dalam sehingga tidak tergangu dengan sistem perakaran jelutung rawa yang semakin membesar.

(14)

336 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 IV.KESIMPULAN

1. Produktivitas tanaman jelutung rawa umur 6 tahun pada plot agroforestri di Kelurahan Kalampangan berkisar antara 6,05 – 9,57 cm untuk diamater batang dan 4,25 – 9,00 m untuk tinggi batang. Sementara itu, jelutung rawa umur 5 tahun di lokasi yang sama memiliki diameter batang dan tinggi batang berturut – turut berkisar antara 5,01 – 6,69 cm dan 3,93 – 6,22 m. 2. Pada jelutung rawa, baik yang berumur 6 maupun 5 tahun, berat kering akar terbanyak

ditemukan pada radius 0,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 15 cm dari permukaan tanah secara berturut – turut sebesar 10,15 g dan 7,16 g. Pada radius yang sama dengan kedalaman 30 cm dari permukaan tanah, berat akar mengalami penurunan jumlah dan kembali naik beratnya pada radius 1,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 15 cm dari permukaan tanah, yaitu 3,94 g untuk jelutung rawa umur 6 tahun dan 0,91 g untuk jelutung rawa umur 5 tahun. Pada jelutung rawa, baik yang berumur 6 maupun 5 tahun, terutama pada radius 1,5 m dari pangkal batang dengan kedalaman 30 cm dari permukaan batang tidak ditemukan adanya perakaran.

3. Jenis tanaman semusim yang bisa ditanam di bawah tegakan jelutung rawa sampai dengan tahun ke-6 antara lain : cabe, daun bawang, sawi, dan jagung

DAFTAR PUSTAKA

Harun, M. K. 2011. Analisis Pengembangan Jelutung dengan Sistem Agroforestri untuk Memulihkan Lahan Gambut Terdegradasi di Provinsi Kalimantan Tengah. Tesis. Institute Pertanian Bogor. Bogor.

Konsorsium Central Kalimantan Peatlands Project (CKPP). 2008. Tanya dan Jawab Seputar Gambut di Asia Tenggara, Khususnya di Indonesia. Palangkaraya.

Miettinen, J., J. Wang, A. Hooijer, and S. Liew. 2011. Peatland Conversion and degradation processes in insular southeast asia : a case study in jambi, indonesia. Land degradation and Development 24 : 334 – 341.

Murniati. 2010. Arsitektur pohon, Distribusi Perakaran, dan Pendugaan Biomassa Pohon Dalam Sistem Agroforestri. Jurnal penelitian Hutan dan Konservasi Alam,VII(2) : 103-117.

O’toole, J.C., dan T.T. Chang. 1979. Drought Resistance in Cereal: Rice a Case Study. John Willey and Sons. New York. USA.

Suryanto, P., Tohari, dan M.S. Sabarnurdin. 2005. Dinamika Sistem Berbagi Sumberdaya (Resouces Sharing) Dalam Agroforestri: Dasar Pertimbangan Penyusunan Strategi Silvikultur. JurnalIlmu Pertanian Vol. 12(2) : 165 – 178.

Tata, H.L., Bastomi, M. Sofiyuddin, E. Mulyoutami, A. Perdana, dan janudianto. 2015. Jelutung Rawa : Teknik Budidaya dan Prospek Ekonominya. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.

(15)

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 337

STATUS PRAKTEK PERLADANGAN BERPINDAH MASYARAKAT ADAT SAAT INI DI WILAYAH

PEGUNUNGAN MERATUS LOK SADO KALIMANTAN SELATAN

Dian Lazuardi

Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru E-mail : admin@foreibanjarbaru.or.id

ABSTRAK

Wilayah Loksado berada di bagian hulu DAS Amandit pegunungan Meratus Kalimantan Selatan. Selain kondisi alam yang masih menyisakan ekosistem hutan alam tropika primer, juga sebagai wilayah bermukimnya kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus. Wilayah ini terus dikembangkan menjadi suatu tempat tujuan wisata alam, wisata budaya dan penghasil jasa lingkungan di dalam kerangka pengelolaan KPHL Model Hulu Sungai Selatan. Mengingat sampai saat ini praktek perladangan berpindah masih tetap berjalan di dalam kehidupan masyarakat adat setempat,kekhawatiran masyarakat luas terhadap ancaman kelestarian ekosistem di wilayah tersebut semakin menguat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tentang sejauhmana perubahan-perubahan pola perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat adat sampai saat ini dan faktor-faktor yang mendasarinya. Penelitian bersifat qualitatif melalui observsi lapangan dan wawancara mendalam dengan beberapa pemilik lahan dan ketua adat di beberapa kampung adat. Pembangunan infrastruktur daerah, terutama jaringan transportasi, pasar dan tempat-tempat wisata sangat mempengaruhi keputusan para pemilik lahan dalam hal pemilihan dan pengalokaasian jenis komoditi yang akan ditanam di lahan miliknya. Semakin tinggi aksesibilitas dan jarak terhadap pusat pemasaran dan objek wisata, pertimbangan nilai ekonomi (pasar) dari komoditi yang dikembangkan menjadi semakin dominan. Perubahan ini secara bertahap telah mengarahkan para pemilik lahan untuk memperpendek umur siklus perladangan, meningkatkan intensifikasi pengelolaan, dan menambah keragaman jenis komoditinya. Perubahan-perubahan tersebut dapat dijadikan sebagai suatu dasar pertimbangan yang sangat berharga bagi para pengambil keputusan dalam merancang suatu model pembangunan dan pengembangan yang selaras dengan prinsip-prinsip kelestarian ekologis, ekonomi dan eksistensi budaya masyarakat adat setempat.

Kata kunci : perladangan berpindah, masyarakat adat, degradasi lahan, deforestasi.

I. PENDAHULUAN

Pertanian ladang (swidden agriculture), perladangan berpindah, perladangan bergilir, perladangan gilir balik – merupakan sejumlah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem penggunaan lahan yang melibatkan ‘fase tanam atau fase produksi’ dan ‘masa bera”. Fase tanam adalah fase dimana terjadi pembukaan areal hutan melalui penebangan, pembaharan dan pembesihan, kemudian penanaman tanaman pangan untuk periode 1-2 tahun. Setelah fase tanam tersebut, kemudian berlanjut dengan fase pemberaan. Pada masa bera dalam sistem berhuma atau berladang, tumbuhan pionir berkayu dibiarkan tumbuh secara alami hingga membentuk kembali vegetasi hutan (sekunder), yang siap dibuka kembali untuk tanaman baru (Mulyoutami et al., 2009). Bentuk perladangan seperti ini merupakan bentuk perladangan yang paling dikenal oleh masyarakat luas sampai saat ini. Oleh karena itu, munculnya stigma bahwa perladangan berpindah merupakan salah satu penyebab terjadinya deforestasi, dan degaradasi lahan, menjadi sangat rasional. Realitasnya, stigma tersebut tidak seluruhnya benar, karena sistem berladang berpindah tidak hanya seperti yang dikemukakan di atas, tetapi terdiri ratusan bahkan ribuan bentuk. Hampir semua sistem pertanian di Asia saat ini berasal dari sistem perladangan. Perubahan yang terjadi telah menyebabkan pola dasar dari sistem perladangan menjadi sulit dikenali. Proses perubahan ini terus berjalan sesuai dengan ragam faktor penggeraknya (Fox et al., 2000).

(16)

338 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

Perladangan bagi masyarakat adat dayak Loksado, merupakan salah satu subsistem dari sistem pengelolaan lahan yang diusahakannya. Secara tradisional, berladang merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan yang ditujukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari (subsisten), dimana jenis tanamannya hanya berupa tanaman semusim seperti padi, dan sayur-sayuran, dan tidak untuk dijual. Sedangkan bentuk penggunaan lahan lainnya adalah kebun yang berfungsi sebagai sumber matapencaharian utama, terdiri dari kebun-kebun karet, kayu manis, kemiri, bambu dan kebun campuran. Sejak dibangunnya jaringan transportasi antara kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan kabupaten Kotabaru selama dekade yang lalu, tingkat aksesibilitas wilayah menjadi semakin tinggi, maka pertimbangan nilai ekonomi (pasar) dari masyarakat adat terhadap komoditi yang dikembangkan menjadi semakin dominan, dengan kata lain terjadi perubahan orientasi dari subsisten ke komersial, terutama di daerah yang dekat dengan jaringan jalan raya. Perubahan tercermin dari peningkatan keragaman komoditi ladang, intensifikasi pengelolaan dan perpendekan masa bera (Asysyifa, 2012). Perubahan ini diperkuat oleh Fitria et al. (2012) dan Hardiyanti et al. (2006), bahwa selama dua dekade tersebut telah terjadi pengurangan signifikan dari tutupan hutan alam primer, penambahan areal perladangan, kebun kayu dan pemukiman.

Secara geografis, wilayah Lokasado erupakan wilayah pegunungan yang berada di bagian hulu dan menjadi awal dari aliran salah satu sungai besar di Kalimantan Selatan yaitu Sungai Amandit. Kehawatiran masyarakat luas terhadap kemungkinan hilangnya hutan alam primer yang masih tersisa, dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktifitas pengelolaan lahan masyarakat setempat saat ini menjadi semakin tinggi. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tentang sejauhmana perubahan pola perladangan dan pertanian secara umum yang dilakukan masyarakat adat Lokasado sesuai dengan tingkat aksesibilitas wilayahnya.

II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Loksado, kabupaten Hulu Sungai Selatan, perovinsi Kalimantan Selatan. Secara geografis letak antara 115°14'16,2" - 115°35'56,4" BT dan 2°42'30,5" - 2°55'31,3" LS. Kecamatan loksado terletak di bagian Timur Kabupeten Hulu Sungai Selatan atau tepat pada pegunungan meratus. Sebelah Utara berbatasan dengan kabupaten Hulu Sungai Tengah, sebelah Selatan dengan kabupaten Tapin, sebelah Timur dengan kabupaten Tanah Bumbu dan kabupaten Banjar. Wilayah kecamatan Loksado termasuk daerah pegunungan dengan ketinggian 200-1650 meter dari permukaan laut, tingkat kelerengan antara 25% sampai lebih dari 40%. Loksado adalah salah satu kecamatan dari 10 kecamatan yang ada di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kandangan), berjarak 39 km dari kota Kandangan atau 174 km dari kota di Banjarmasin. Aksesibilitas wilayah ini sudah semakin terbuka sejak pemerintah provinsi pada tahun 1993 mulai membangun jaringan jalan yang menghubungkan secara langsung kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kota Kandangan) dengan kabupaten Kotabaru. Memiliki luas wilayah 228 Km2 yang terbagi menjadi 13 desa, di setiap desa terdiri dari beberapa kampung adat ( Balai ), dan masing-masing Balai dihuni oleh 15-25 keluarga (umbun). Balai-balai yang masih ada terdapat di Loksado saat ini adalah 43 Balai, yang pada 5 tahun sebelumnya terdapat 45 Balai. Setiap balai diketuai oleh seorang Pengulu (Kepalai balai adat). Setiap pengulu berada di bawah pimpinan satu ketua adat yang disebut Demang.

Peneltian ini dilakukan di beberapa Balai Adat yang berada di dalam dan atau berbatasan dengan kawasan Kesatuan Pemangkuan Hutan Lindung Model Hulu Sungai Selatan. Pemilihan Balai adat didasarkan pada : (1) jarak dari pusat kota kecamatan Loksado, (2) jarak dari jalan raya, (3) tipe jalan akses dan (4) keberadaan para pedagang pemgumpul yang datang dari luar Balai. Balai-Balai Adat yang dipilih adalah : Balai Adat Kedayang, Sungai Binti, Haratai, Tenginau, Tumingki, Bidukun dan Padang Malino. Berdasarakan ke-empat kriteria tersebut, tingkat aksesibitas balai dikelompokan sebagai berikut:

(17)

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 339 A. Tinggi : wilayah adat dengan jarak 0-4 km ke jalan raya, jalan mampu dimasuki kendaraan roda 4,

dan adanya para pedagang pemgumpul memasuki wilayah. Balai adat yang masuk kelompok ini adalah Balai Bidukun dan Balai Padang

B. Sedang : Wilayah dengan jarak 0-4 km dari Pasar atau jalan raya, jalan akses hanya mampu dimasuki kendaraan roda dua, dan adanya para pedangang pengumpul memasuki wilayah. Balai yang masuk kelompok ini adalah Haratai, Tumingki, dan Tenginau,

C. Rendah : Wilayah dengan jarak > 4 km dari pasar atau jalan raya, jalan hanya mampu dimasuki kendaraan roda dua secara terbatas, dan tidak ada pedagang pengumpul memasuki wilayahnya. Balai yang masuk kelompok ini adalah Kedayang, dan Sungai Binti.

B. Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan para responden. Sebagai responden utama adalah masing-masing kepala balai adat (Pengulu) dan 2 orang anggotanya pada setiap balai adat. Wawancara juga dilakukan kepada para pegurus masyarakat adat yaitu Ketua Adat (Damang), Wakil Damang, dan sekeretaris Damang, serta ketua Damang Provinsi. Wawancara meliputi beberapa aspek-aspek yang menyangkut pola pengelolaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat adat yang meliputi : pola berladang dan berkebun, pilihan dan tujuan komoditi yang dikembangkannya. Hasil wawancara di setiap balai adat, selanjutnya divalidasi kembali melalui diskusi dengan seluruh jajaran masyarakat adat dalam satu forum diskusi.

C. Analisis Data

Data dianalisis secara deskriptif naratif, yang diarahkan pada hubungan antara tingkat aksesibilitas wilayah balai adat dengan keragaman komoditi pertanian yang dikembangkan dan pola perladangannya. Dengan asumsi bahwa sistem pertanian (pola tanam, jenis dan fungsi komoditi) yang dilakukan masyarakat adat setempat pada awalnya adalah sama, maka keragaman yang terjadi pada setiap balai adat dianggap sebagai pengaruh dari faktor aksesibilitas lahan.

III.HASIL DAN PEMBAHASAN

Bentuk penggunaan lahan di seluruh wilayah adat Loksado yang dikelola oleh setiap anggota masyarakat adat, secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga bentuk penutupan lahan, yaitu: ladang, kebun, dan hutan sekunder (jurungan). Setiap anggota masyarakat memiliki ketiga bentuk lahan tersebut, dalam luasan dan proporsi yang berbeda-beda, sebagai hasil warisan para pendahuluanya. Jurungan merupakan lahan semak-belukar atau hutan sekunder sebagai lahan yang diberakan (abandoned) setelah perladangan dan diperuntukan untuk berladang kembali. Ladang adalah lahan terbuka yang ditanami oleh jenis-jenis tanaman pangan terutama padi dan tanaman semusim lainnya, berfungsi sebagai sumber penghasil bahan pangan, terutama padi. Secara tradisi dan sudah menjadi kewajiban adat bahwa menanam padi harus dilakukan setiap tahun, untuk tetap menjamin tersedianya bahan pangan, walau persediaan padi hasil berladang tahun-tahun sebelumnya masih tersedia. Padi yang dikonsumsi pada tahun berjalan, umumnya merupakan hasil panen 3-5 tahun sebelumnya. Kebun merupakan lahan yang ditumbuhi tanaman tahunan, seperti karet, kayu manis, kemiri, dan kebun campuran. Hasil dari kebun ini sebagai sumber matapencaharian utama. Oleh karena itu, masyarakat adat Loksado sebenarnya bukan petani perladangan berpindah, tetapi sebagai petani tanaman industri dan holtikultur, terutama terutama karet, kayu manis dan kemiri. Dari segi praktek pengelolaan lahan, masyarakat adat Loksado tersebut menerapkan model pengelolaan lahan manfaat ganda (multiple use land management), dimana setiap satu jenis manfaat diusahakan secara terpisah dan membentuk suatu mosaik tipe penggunaan lahan.

A. Perladangan

Tahapan dalam kegiatan berladang dikenal dengan 6 M yaitu menebas, menebang, membakar, menanam, merumput dan memanen. Khusus untuk kegiatan membakar lahan

(18)

340 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

(manyalukut), harus selalu dilakukan secara gotong royong dari semua anggota kampung adat. Setiap tahapan kegiatan tersebut tidak lepas dari ritual adat Kaharingan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Masyarakat Dayak memiliki hukum adat atau aturan-aturan adat yang pantang dilanggar terkait dengan perladangan. Kegiatan berladang dilakukan pada lahan jurungan. Jika tidak akan dijadikan kebun, maka berladang hanya 1 tahun. Jika jurungan ini akan dijadikan kebun, maka masa berladang berlangsung selam 2-3 tahun, hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pemeliharaan tanaman muda komoditi kebun. Pembukaan kembali lahan jurungan untuk pembuatan ladang, menurut aturan adat sedikitnya harus berumur 8 tahun atau lebih. Saat ini, umur jurungan yang dijadikan ladang sebagaian besar antara 6 -8 tahun, terutama di lokasi balai adat beraksesibilitas tinggi dan sedang. Kondisi ini menunjukan sudah terjadi adanya penurunan masa bera.

Keragaman jenis dan fungsi komoditi yang ditanam pada ladang saat ini sudah terjadi perbedaan yang jelas diantara setiap kampung adat sesuai dengan tingkat aksesibilitasnya. Semakin tinggi aksesibilitas kampung adat maka akan semakin tinggi keragaman jenis komoditi yang ditanam, begitupun mengenai fungsi peruntukannya, semakin tinggi tingkat aksesibilitas maka fungsi ekonomi (mata pencaharian) semakin kuat. Misalnya, komoditi beras yang selama ini hanya untuk kebutuhan pangan sehari-hari, di kampung adat dengan aksesibilitas sedang sampai tinggi, beras sudah menjadi komoditi komersial. Kejadian serupa juga terjadi pada komoditi sayur-sayuran. Jumlah jenis komoditi yang ditanam pada ladang petani juga semakin beragam pada kampung yang tingkat aksesibilitasnya tinggi (Tabel 1). Fakta ini menguatkan bahwa telah terjadi pula perubahan mindset terhadap fungsi ladang. Ladang tidak hanya berfungsi sebagai sumber pangan untuk konsumsi sendiri, tetapi sudah berkembang menjadi bagian dari sumber matapencahriannya. B. Pengelolaan Kebun

Jenis utama komoditi perkebunan yang dikembangkan secara tradisi oleh semua anggota masyarakat adat adalah sama, yaitu: Karet, Kayu Manis, Kemiri dan Bambu, Dari segi fungsi jenis komoditi kebun yang ditanam masyarakat di seluruh wilayah adat relatif sama, semuanya ditujukan sebagai mata pencaharian utama. Pada wilayah aksesibilitas rendah tanaman buah-buahan hanya untuk dikonsumsi sendiri, tetapi mulai wilayah dengan aksesibiliitas sedang dan tinggi sudah berkembang menjadi komoditi komersial. Pada wilayah dengan aksesibilitas tinggi, keragaman jenis komoditi komersial sudah berkembang seperti dengan adanya beragam jenis tanaman seperti pisang, sawit, dan jenis penghasil kayu seperti jabon dan sengon. Pengaruh aksesibilitas sangat terlihat jelas dengan betambahnya keragaman jenis yang ditanam, dan perubahan-perubahan jenis komoditi kebun pada proses peremajaan kembali kebun.

Tabel 1. Beberapa jenis komoditi utama hasil pertanian dan tujuan pemanfaatannya di setiap tingkat aksesibilitas balai adat.

KOMODITI Kedayang S.Binti Haratai Tenginau Tumingki Bidukun Padang

Ladang 1 . Padi K K K K, E K, E K, E K, E 2. Ketan K K K K K E, K E, K 3. Jagung - - - - - E, K E, K 4. Lombok - - E, K E, K E, K E, K E, K 5. K. tanah - - K , E K, E K, E E, K E, K 6. Sayur2-an K K K , E K, E K, E E, K E, K Kebun 1. Karet E E E E E E E 2.Kayu Manis E E E E E E E 3. Kemiri E E E E E E E

(19)

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 341 4. Buah2-an K K K, E K, E K, E K, E K, E 5. Pisang - - - E E 6. Sawit - - - E E 7. Sengon - - - E,K 8. Jabon - - - E,K

K = konsumsi sendiri (subsisten), E= ekonomi (sumber matapencaharian)

Pada lahan peremajaan komoditi kebun, kegiatan berladang dilakukan pada periode 1-3 tahun, kecuali pada peremajaan kebun kayu manis. Peremajaan tidak selalu dengan jenis yang sama, tetapi banyak terjadi perubahan jenis komoditi, saat ini umumnya terjadi perubahan karet menjadi kayu manis dan kemiri serta jenis pohon penghasil buah lainnya. Pertimbangan utama perubahan tersebut sebagai akibat dari harga komoditi karet yang rendah, dan pertimbangan kecepatan untuk mendapatkan hasil panen. Jenis karet lokal mulai menghasilkan setelah berumur 8 tahun, sedangkan kemiri dan kayu manis sudah bisa dipanen muai umur 4 dan 6 tahun. Pertimbangan lain dari peremajaan kebun karet tua menjdi komoditi lain didasarkan pada pengalaman masyarakat setempat bahwa, pertumbuhan karet tidak akan tumbuh baik jika lahan sebelumnya adalah karet tua, sehingga harus dirubah dulu ke jenis lain. Khusus untuk kayu manis, peremajaan dilakukan secara langsung pada titik-titik tanaman dimana pohon dipanen, karena pola pemanenan kayu manis di Loksado lebih mengarah kepada sistem pemanenan tebang pilih, walau pada awalnya kebun kayu manis dibangun dalam satu waktu tanam (satu umur). Oleh karena itu, kebun-kebun kayu manis banyak dijumpai dalam bentuk tegakan tak seumur (uneven aged stands). Pola perubahan komoditi kebun seperti di atas, umum terjadi di wilayah balai adat dengan tingkat aksesibilitas rendah dan sedang (kelompok B dan C), dimana dari segi jenis komoditi, di wilayah adat tersebut tidak terjadi perubahan jumlah jenis komoditi yang dikembangkannya. Perubahan yang terlihat jelas terjadi di wilayah balai adat dengan tingkat aksesibilitas tinggi (Kelompok A). Lahan-lahan yang sebelumnya berupa kebun karet tua dan kebun campuran sudah banyak dirubah dengan beberapa komoditi baru seperti pisang dan sawit, serta jenis-jenis komoditi kehutanan seperti Sengon dan Jabon.

C. Pembahasan

Perubahan-perubahan praktek pengelolaan lahan (berladang dan berkebun) yang terlihat jelas hanya sampai pada wilayah adat dengan tingkat aksesibilitas sedang dan tinggi, baik dalam aspek orientasi tujuan pengelolaan maupun dalam keragaman komoditinya. Pada wilayah kampung adat dengan tingkat aksesibilitas rendah, perubahan hanya terjadi pada komoditi kebun yang memiliki nilai jual lebih tinggi dan daur panen yang lebih capat, walaupun bukan komoditi baru. Jarak, topografi dan kualitas jalan angkutan menjadi faktor penghambat utama baik bagi para petani maupun bagi para pedagang pengumpul dalam melakukan transaksi hasil komoditi pertanianya. Kondisi ini berimplikasi pada kesulitan masyarakat setempat dalam meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan meningkatnya kebutuhan hidup. Temuan di lapangan menunjukan bahwa dalam kurun waktu lima tahun terahir, sudah terjadi pengosongan dua balai adat, dimana mereka telah pindah ke daerah-daerah baru yang berdekatan dengan jaringan jalan utama.

Keberadaan jalan memiliki dampak yang sangat jelas, yaitu meningkatkan akses pasar untuk komoditi hasil pertanian daerah yang sebelumnya terpencil. Selain itu, pembangunan jalan juga akan menjadi suatu insentif bagi pembukaan-pembukaan lahan baru, termasuk membuka areal hutan alam yang masih tersedia untuk dikonversi menjadi lahan pertanian dan penggunaan lahan lainnya (Chomitz and Gray, 1996). Fenomena ini pun sudah dan sedang terjadi di lokasi penelitian, sebagaimana yang dilaporkan oleh Fitria et al. (2012) bahwa telah terjadi pengurangan luas tutupan hutan primer yang sangat signifikan selama dua dekade terahir, yaitu dari 10.500 ha (1992) menjadi 2.500 ha (2010) dan meluasnya lahan-lahan hutan sekunder, semak belukar dan perkebunan. Selain itu, perubahan pola pertanian masyarakat adat Loksado sebagai dampak dari keterbukaan wilayah,

(20)

342 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

seperti yang dilaporkan oleh Asysyifa (2012) dan hasil penelitian ini hanya berdampak sampai pada radius sekitar 4 km dari pusat pemasaran dan jalan raya.

Implikasi bagi pengambil keputusan dalam kebijakan pembangunna dan pengembangan wilayah, adalah kebijakan sebaiknya merupakan hasil kompromi antara kepentingan peningkatan perekonomian masyarakat setempat di satu fihak, dengan kepentingan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup di lain fihak. Kebijakan pengalihan model perladangan berpindah ke model pertanian menetap, yang talah sering dilakukan pemerintah, selama ini selalu mengalami kegagalan dan berujung konflik (Fox et al., 2000). Salah satu saran yang dikemukakan oleh Chomitz dan Gray (1996) adalah kebijakan harus lebih memfokuskan pada peningkatan kualitas jaringan jalan dan infrastruktur di wilayah padat penduduk dan aktifitas pasar, daripada membangun jaringan jalan baru ke arah pedalaman yang tingkat kepadatan penduduknya rendah dan mendekati kawasan hutan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa intensifikasi pengelolaan lahan pertanian masyarakat secara bertahap akan terkonsentrasi ke arah pemukiman dan jaringan jalan, karena komoditi tanaman pertanian yang berorientasi ekonomi sangat memerlukan penaganan dan curahan tenaga yang lebih intensif, dan biaya angkutan yang lebih efisien. Hasil penelitian ini dan penelitian sebelumnya menunjukan kecendrungan yang serupa. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan keterbatasan lahan di masa yang akan datang, kebijakan yang tidak membangun jaringan jalan baru ke arah pedalaman mendekati kawasan hutan alam dan hanya memfokuskan pada peningkatan kualitas jalan (roda 4) yang telah ada di sekitar pusat aktifitas masyarakat (pasar), dipandang sebagai suatu kebijakan jangka panjang yang sangat adil dalam mendukung tercapainya peralihan sistem perladangan bergilir/berpindah ke sistem pertanian menetap dan secara bersamaan mendukung peyelamatan keberadaan salah satu ekosistem hutan hujan tropika yang masih tersisa.

IV.KESIMPULAN DAN SARAN

Perubahan-perubahan dalam sistem perladangan dan pengelolaan lahan pertanian secara umum sebagai akibat dari kebadaan jalan transportasi dan pasar hanya terjadi pada kampung-kampung adat dalam radius 4 km. Perubahan yang sangat jelas adalah pergeseran fungsi ladang yang sebelumnya hanya sebagai penghasil bahan pangan untuk konsumsi sendiri, telah berkembang menjadi salah satu sumbermata pencaharian, yang dicirikan dengan semakin beragamnya komoditi tanaman pangan dan holtikultur, selain perubahan komoditi kebun ke komoditi yang dipandang lebih cepat menghasilkan dan lebh tinggi nilai jualnya.

Implikasi bagi para pemangku kebijakan pembangunan daerah adalah dengan lebih memfokuskan pada peningkatan kualitas jaringan jalan yang telah ada di sekitar pusat aktifitas masyarakat daripada membangun jaringan transportasi baru ke arah pedalaman. Kebijakan ini dipandang sebagai kebijakan hasil kompromi antara pembangunan kesejahteraan masyarakat dengan kepentingan konservasi sumberdaya alam dan peningkatan kualitas lingkungan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Asysyifa, 2009. Karakteristik sistem perladangan suku dayak meratus kecamatan loksado kalimantan selatan. Jurnal Hutan Tropis Borneo (25):98-109.

Chomitz K.M., and Gray D. A., 1996. Roads, land use, and deforestation: a spatial model applied to belize. The World Bank Economic Review 3(10): 487–512.

Fithria A., Gunawansyah, Badaruddin & Hafizianor., 2012. Perubahan penutupan lahan di sub-sub das amandit . Jurnal Hutan Tropis 13 (2):101-110.

(21)

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 343 Fox j, D. Minh Truong, A. T. Rambo, Ng.P. Tuyen, Le Trong Cuc and S.Leisz, 2000. Shifting Cultivation:

A New Old Paradigm for Managing Tropical Forests. BioScience (2000) 50 (6): 521-528. Hardiyanti F.S., Taufik K., Gandharum L. & Rambo, 2006. Pemantauan kerusakan ingkungan wilayah

Meratus, Kalimantan Selatan dari citra landsat-TM dengan kajian geografis. Jurnal 'PenginderaanJauh 3(1): 50-63.

Mulyoutami, E., van Noordwijk, M., Sakuntaladewi, N. dan Agus, F. 2010. Perubahan Pola Perladangan: Pergeseran persepsi mengenai para peladang di Indonesia. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Offce. 101p.

(22)

344 Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015

KARAKTERISTIK LAHAN GAMBUT DAN POLA AGROFORESTRI DI KELURAHAN

KALAMPANGAN KOTA PALANGKARAYA, KALIMANTAN TENGAH

Daniel Itta, Asysyifa, Trisnu Satriadi Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat

Email : Dhanit_141@yahoo.com

ABSTRAK

Berdasarkan ketebalan lapisan gambutnya, lahan gambut terbagi dalam tiga kategori, yaitu : a) gambut dangkal dengan ketebalan lapisan gambut 50-100 cm, b) gambut tengahan dengan ketebalan lapisan gambut 101-200 cm dan c) gambut dalam dengan ketebalan lapisan gambut > 2 m (Widjaya Adhi et al., 1992 ). Lahan gambut yang dangkal memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian, khususnya untuk tanaman sayuran (Kristijono, 2003). Kendala yang dihadapi dalam budidaya sayuran di lahan gambut dangkal adalah : kandungan Fe dan Al tertukar tinggi, pH tanah mencapai 3.1, kandungan K, Ca dan Mg sangat rendah (Hilman et al., 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik lahan dan pola agroforestri lahan gambut. Metode penelitian adalah metode survei langsung dilapangan dengan pengambilan sampel tanah dengan mempergunakan ring sampel dan ditentukan secara purposive. Sampel tanah yang telah diambil kemudian dianalisis dalam laboratorium tanah. Untuk mengukur sifat kimia tanah dengan menggunakan metode Walkley dan Black. Sifat fisika tanah dianalisis berdasarkan Method of soil Analisis Part 1. Physical and Mineralogical Methods. Penetuan pola agroforestri melalui pendekatan menghitung nilai NPV dan B/C ratio. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan, untuk tanaman jagung,sawi,cabai dan bawang prei ternyata persyaratan temperatur, tekstur, KTK, C, ESP, bahaya erosi, lereng dan batuan dipermukaan masuk dalam golongan sangat sesuai, sedangkan curah hujan, drainase, KB, masuk dalam golongan cukup sesuai dan kedalam gambut, dan pH masuk kategori S3 (sesuai marginal). Kesimpulan hasil analisis kesesuaian lahan maka lahan gambut untuk budidaya tanaman jelutung masuk kategori sesuai (S1) dan untuk tanaman semusim masuk dalam kategori cukup sesuai (S2) dengan faktor pembatas. Pola agroforestri empat kombinasi tanaman yang terbaik adalah jelutung,jagung,sawi dan bawang peri. Keberadaan tanaman di lahan gambut karena adanya keseimbangan alami dimana ada daya dukung dan kesesuaian jenis tanaman, yang disebabkan adanya penambahan input berupa bahan anorganik. Namun konsekuensinya bahwa adanya penambahan input akan mempercepat proses dekomposisi sehingga menyebabkan terbentuknya asam-asam organik seperti CO2, NH4 dan menyebabkan terjadinya subsiden.

Kata kunci : Karakteristik, lahan, gambut, Agroforestri

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Berdasarkan ketebalan lapisan gambutnya, lahan gambut terbagi dalam tiga kategori, yaitu : a) gambut dangkal dengan ketebalan lapisan gambut 50-100 cm, b) gambut tengahan dengan ketebalan lapisan gambut 101-200 cm dan c) gambut dalam dengan ketebalan lapisan gambut > 2 m (Widjaya Adhi et al., 1992 ). Lahan gambut yang dangkal memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian, khususnya untuk tanaman sayuran (Kristijono, 2003).

Kendala yang dihadapi dalam budidaya sayuran di lahan gambut dangkal adalah : kandungan Fe dan Al tertukar tinggi, pH tanah mencapai 3.1, kandungan K, Ca dan Mg sangat rendah (Hilman et al., 2003).

B. Tujuan Penelitian

Mengidentifikasi karakteristik lahan gambut dan menganalisis pola agroforestri yang memberikan nilai manfaat.

(23)

Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015 345 II. METODE PENELITIAN

Data yang diperluhkan berupa data primer data sehunder. Metode pengambilan tanah dengan menggunakan ring sampel. Jumlah sampel sebanyak 6 yang lokasi pengambilannya ditentukan secara purposive pada lokasi penelitian. Sampel tanah yang telah diambil kemudian dianalisis dalam laboratorium tanah dengan menggunakan metode berdasarkan unsur yang akan dianalisis. Data sekunder diperoleh melalui tinjauan pustaka pada instansi Dinas Tansmigrasi, Dinas Pertanian dan Dinas Kehutanan serta Balai Penelitian Hutan Banjarbaru

Data tanah yang terkumpul dianalisis dalam laboratorium. Unsur yang akan dianalisis berupa sifat kimia tanah dan sifat fisika tanah. Untuk mengukur sifat kimia tanah dengan menggunakan metode Walkley dan Black yang dikemukakan oleh Nelson and Sommer. Sifat fisika tanah yang meliputi tekstur tanah dianalisis berdasarkan Method of soil Analisis Part 1. Physical and Mineralogical Methods. Untuk mengukur total nitrogen dengan menggunakan metode Kjehdahl yang dikemukakan oleh Bremer and Malvaney, sedangkan untuk menganalisis Kapasitas Tukar Kation (KTK) dengan Methods of Soil Part 2: Chemical and Microbiological Properties yang dikemukakan oleh Rhoades (1982).

Untuk menentukan pola agroforestri maka dianalisis melalui pendekatan analisis finalsial dengan menghitung NPV dan B/C ratio.

III.HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Lahan Gambut di Kelurahan Kalampangan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran lansung dilapangan serta hasil analisis laboratorium, maka karakteristik lahan gambut eks Transmigrasi di Kelurahan Kalampangan disajikan pada Tabel 1

Tabel 1. Karakteristik Lahan Gambut di Kelurahan Kalampangan Kota Palangka Raya.

N0 Karakteristik Lahan Hasil pengukuran Keterangan

1 Temperatur 24-34 Pengukuran

2 Curah hujan rata-rata (2007-2011) 280.mm Analisis

3 Drainase Baik Pengamatan

4 Tekstur Agak halus Analisis Lab

5 Kedalaman gambut > 200 cm Pengukuran

6 Kematangan gambut Saprik,Hemik Pengamatan

7 KTK liat (cmol) 38,89 Analisis Lab

8 Kejenuhan Basa (%) 21,62 Analisis Lab

9 Ph 5,14 Analisis Lab

10 C organik 16,69 Analisis Lab

11 Salinitas 0 Pengamatan

12 Lereng (%) 0-3 Pengukuran

13 Bahaya erosi Ringan Pengamatan

14 Batuan di permukaan 0 Pengamatan

Sumber : Pengolahan data primer 2012

Berdasarkan Tabel 1, type iklim pada lokasi penelitian termasuk type A menurut Smith dan Ferguson, artinya daerah basah. Lokasi penelitian mempunyai kedalaman gambut lebih dari tiga meter artinya tergolong gambut dalam.

Karakteristik fisik gambut mengandung kadar air tanah berkisar antara 100-1.300% dari berat keringnya (Mutalib et al.,1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan bulk density (BD) menjadi rendah, gambut menjadi

Gambar

Tabel  1.  Panjang  dan  Kedalaman  Perakaran  serta  Berat  Kering  Akar  Jelutung  Rawa  Pada  Plot  Agroforestri di Kelurahan Kalampangan
Tabel 1.  Beberapa jenis komoditi utama hasil pertanian dan tujuan pemanfaatannya di setiap       tingkat aksesibilitas balai adat
Tabel 1. Karakteristik Lahan Gambut  di Kelurahan Kalampangan Kota  Palangka Raya.
Tabel  2.  Jenis  Vegetasi  yang  ditemukan  di  lahan  gambut  di  Kelurahan  Kalampangan  Kota  Palangkaraya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari sifat fisiko kimia tersebut menunjukkan bahwa minyak yang mengandung asam lemak tidak jenuh tinggi memiliki titik leleh, bilangan penyabunan, densitas, viskositas dan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besarnya biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani jamur kuping, mengatasi efisiensi usahatani jamur kuping, menganalisa gross

EMERGENCY/SAFEGUARD MEASURES/ DEVELOPMENTAL

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan keragaman jenis tangkapan nelayan, perbedaan pendapatan nelayan, perbedaan kesempatan kerja dan berusaha nelayan sebelum

Penelitian ini bertujuan: (1) untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran matematika dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dalam upaya

Indo Plastik Semarang juga menunjukkan kategori tinggi yang artinya pimpinan mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi karyawan untuk mencapai tujuan perusahaan

Kegiatan yang harus dipersiapkan pada tahap perencanaan ini adalah merancang segala sesuatu yang berhubungan dengan perencanaan penelitian yang berupa bahan ajar

a) Peninjauan kelayakan pengembangan aplikasi yang akan digunakan, dalam hal ini yaitu penggunaan DSDM. b) Adanya garis besar rencana seperti pada batasan masalah yang