• Tidak ada hasil yang ditemukan

Soeharto Dan Mliter : Suatu Study Analisis Militer sebagai Penopang Utama Kekuasaan Soeharto Selama Berkuasa (Orde Baru)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Soeharto Dan Mliter : Suatu Study Analisis Militer sebagai Penopang Utama Kekuasaan Soeharto Selama Berkuasa (Orde Baru)"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

SOEHARTO DAN MLITER

Suatu Study Analisis Militer sebagai Penopang Utama Kekuasaan Soeharto Selama Berkuasa (Orde Baru)

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Mendapat Gelar Sarjana Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

D I S U S U N OLEH :

JUMPA T’S

040906021

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAKSI

JUDUL : SOEHARTO DAN MLITER

Suatu Study Analisis Militer sebagai Penopang Utama Kekuasaan Soeharto Selama Berkuasa (Orde Baru).

NAMA : JUMPA T’S

NIM : 040906021

DEPARTEMEN : Ilmu Politik

FAKULTAS : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Penelitian ini berisiskan tentang kekuatan Soeharto selama jadi pemimpin rezim Orde Baru dan bagaimana Soeharto dapat mengelola ABRI dalam pentas politik Indonesia. Dari situ mungkin muncul pertanyaan mengapa Soeharto dapat mempertahankan kekuasaannya atau berkuasa selama 32 tahun. Secara menyeluruh terungkap bahwa faktor utama yang menjadikan perhatian utama Soeharto selama berkuasa lebih dari tiga dekade, yaitu menguasai pusat-pusat kekuasaan (mesin-mesin politiknya), antara lain awalnya institusi ABRI, lembaga-lembaga politik penting (DPR/MPR) melalui Golkar pada pemilu 1971 dan selanjutnya. Kemudian secara bertahap menempatkan orang-orangnya di birokrasi, kemudian melalui ABRI, Birokrasi dan Golkar Soeharto mengontrol kekuasaannya keseluruh penjuru tanah air. Kehadihan ABRI dalam pentas perpolitikan Indonesia pada saat rezim Orde Baru berkuasa telah menjadikan suatu kekuatan politik yang sangat handal dan dapat diandalkan untuk dapat terus berkuasa. Berangkat dari kehadiran ABRI dalam peta politik Indonesia telah mengangkat dan menjadikan Soeharto penguasa tunggal. Hubungan ABRI dan Soeharto tak dapat kita pungkiri kenapa Soeharto memakai ABRI sebagai kekuatan politiknya yaitu karena beliau berasal dari ABRI, dan untuk menjaga kekuasaannya agar tetap awet Soeharto menempatkan ABRI pada posisi-posisi yang strategis dan melalui Golkar Soeharto mengubah ABRI menjadi kekuatan politik dan dari situlah ABRI berubah jadi kekuatan politik yang sangat besar. Dwifungsi ABRI yang semula diungkapkan A.H Nasution telah diselewengkan Soeharto dalam arti kedudukan ABRI dan arti yang semula diungkapkan oleh Jend.A.H.Nasuiton. berangkat dari dwifungsi ABRI Soeharto berhasil merubah kedudukan dan fungsi ABRI sebagai Kekutan Pertahanan Keamanan dan fungsi Sosial Politik. Dan menjinakakan ABRI sebagai penopang utama kekuasaan Soeharto.

(3)

KATA PENGANTAR

Perjalan bangsa Indonesia tidak terlepas dari sejarah hidup Soeharto dalam

sejarah Indonesia dan pertanyaan yang begitu mendasar Mengapa Soeharto dapat

berkuasa begitu lama selama 32 tahun? Apakah memang selama 32 tahun

Soeharto selalu dipilih rakyat melalui para wakilnya di MPR dan itu mulai dari

pemilu tahun 1971. mungkin ada yang bertanya dalam diri kita mengapa demikian

dan kenapa terjadi? Setelah kita membuka berbagai litertur dan tulisan dan saksi

sejarah yang masih hidup sudah jelas kita temui jawaban yang berbeda dengan

apa yang ditulis Soeharto dalam hidup dan selama menjadi penguasa Orde Baru.

Dimana saat itu kita tidak mengetahui bagaimana kehidupan politik bangsa ini

namun setelah kita berkaca dan paska meledaknya gerakan reformasi ‘98’ kita

kemabli menguak semuannya itu.

Kehadiran Soeharto dipentas politik Indonesia dimana pada saat itu dia

sangatlah kuat dan tidak tergoyahkan itu bias kita lihat dari pendukungnya yaitu

Militer dan birokrasi, pengerahan militer masuk kedalam dunia perpolitik

Indonesia menjadikan sosok Soeharto seorang penguasa yang otoriter dalam

menjalankan pemerintahannya (Orde Baru). Birokrasi yang dikuasainya melalui

peran militer yaitu Dwifungsi ABRI sangatlah melanggengkan perjalanan

pemerintahannya sehingga dapat meguasai sebuah Negara (Indonesia)

Disamping itu tampilnya Soeharto dan TNI serta dominannya peran

mereka di kancah politik Indonesia adalah “hukum alam” yang seolah-olah harus

diterima eksistensinya. Tabir kebusukan dan penyalah gunaan kekuasaan yang

dilakukan Soeharto dan rezim pemerintahannya mulai terungkap setelah Indonesia

(4)

Ucapan Terimakasih

Seiring dengan selesainya tugas akhir penulis itu tidak terlepas dari berbagai

dorongan dan dukungan baik moral maupun materil yang diberikan kepada

penulis dan melalui lembaran ini penulis ingin mengantarkan rasa terimakasih

yang terdalam bagi , Dosen, abang dan kakak senior ataupu yang bukan senior

penulis di kampus dan kawan-kawan, para sahabat yang memberi dukungan baik

secara langsung atau tidak langsung. Sehingga skripsi ini dapat diselasaikan tepat

pada waktunya.

1. Kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyinari dan memberikan

segala berkat yang berkelimpahan, yang tidak terhitung kepada penulis.

2. Kepada orang tua penulis Ayahanda St.W.Sitopu dan Ibunda

S.Br.Purba yang selalu memberikan dorongan nasihat kepada penulis

sehingga dapat mengerjakan dan menjalankan dengan baik, makasih “Pa,

Ma”. Anakmu dah selesai dalam study S1 di FISIP-USU.

3. Kepada Prof DR M.Arirf Nasution selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Kepada Staf-staf Dekanat dan seluruh Dosen FISIP-USU terkhusus yang

pernah mengajar penulis dalam ruangan.

5. Kapada Pak’ Heri Kusmanto selaku Ketua Departemen Ilmu Politik.

6. Kepada Pak Antonius Dosen pembimbing penulis yang selalu memberikan

masukkan dan kritikan dan mengayomi sehingga penulis mersakan

langsung arti seorang pembimbing buat penulis dalam penyelesaian skripsi

(5)

membukankan pikiran dan pandangan penulis tentang berbagai hal

terutama dalam kejadian dan fenomena yang terjadi dalam Negara ini

7. Kepada Ibu Evi Novida yang selalu memberikan masukan dan nasehat dan

jalan terbaik buat penulis terutama dalam proses penulisan skdipsi ini.

8. Kepada Pak Zakaria Thaher selaku dosen penguji penulis.

9. Buat Pak Warjio Dosen yang dekat dengan mahasiswa dan B’ Indra Dosen

yang paling gaul dan gayanya selalu seperti mahasiswa, Bu Rosmeri

Dosen wali penulis selama kuliah yang selalu memandang dari kerapian

dan Pak.Toni Sitomorang Dosen yang paling liberal dan disegani

mahasiswa. Pak Zakaria Thaher Dosen yang selalu mendukung dan

semangat. Bu Irma yang selalu mempertanyakan tentang kejelasan dan

perkembangan skripsi penulis dan yang tidak suka pada yang acak-acakan

yang selalu menanamkan kerapian kepada setiap mahasiswa.

10.Buat B’ Rusdi yang selalu setia dalam pengurusan administrasi terutama

dalam proses pengurusan sidang dan K’ Uci yang cakep yang selalu setia

menanti setiap mahasiswa yang hendak berurusan dengan kajur dan

mahasiswa yang bermasalah.

11.Buat Abanganda Rimon Ambah Sari.S.SP yang telah menjadi asisten

diperkebunan, dukungan doa dan masukan yang selalu diberikan kepada

penulis walaupun sedang sibuk selalu sempat buat menelepon dan

membimbing dan mengarahkan bagaimana menghadapi skripsi, dan

Adinda penulis yang seperjuangan di Kota Medan dan di USU Jack yang

selalu menyakinkan dan memberi semangat kepada penulis sehingga

(6)

kami yang Bungsu “Dedeng” sampai kapan namanya dedeng sebenarnya

namamukan “Forando” makasih yang selalu menelepon dan menanyakan

tentang kejelasan skripsi dan masa depan penulis. Terimakasih buat

semuanya yang selalu mengingatkan penulis untuk berkumpul lagi di

rumah kita di Pematang Raya dan buat K’ Juni Marito calon Ipar kami

yang selalu kirim sms buat penulis agar tetap semangat dan jangan putus

asa., thanks ya k’.

12.Buat seorang yang selalu hadir dalam suka dan duka penulis yang selalu

tidak pernah patah semangat walaupun sering penulis tidak mendengarkan

masukan dan nasehatnya “Elsum Rodearni P” yang sering penulis

panggil dengan sebutan “inang”, makasih ya nang cepat-cepat wisuda dan

selalu semangat biar cepat nyusul ab ok nang.

13.Buat teman seperjuangan di kampus khususnya angkatan 04 yang dikenal

dengan baik, baik buat persatuan dan pengetahuan yang selalu menonjol di

kampus, terutama kita senasib” risky yang setia, josua yang baik, roy

gunawan yang ceria dan Mario yang selalu melihat segala sesuatu dari sudut pandang negatif dan heri aprilando temanku yang selalu berfilsat bersama penulis ” buat rimbun, arizona yang tidak pernah bermodal

dalam bergaul, Daniel setian abmu duluan wisuda y,, rahmat bimbim

ameliatul, fuad, fera, irna, mburaq spesialis moderator seminar proposal

dermawan zebua, mas Fredy teman di LSM dan buat kawan-kawan yang

telah dahulu wisuda oi kita ketemu lagi di laur kampus dan teman-teman

(7)

14.Buat kawan – kawan seperjuangan di IMAS-USU korum,sekum bendum

propidi (ucok) dan adik-adik anggota yang lain “cahriady,roma(lingha)

yang selalu setia dan teman bertengkar penulis selama bersama di

IMAS-USU, dapot, lae jusian jasedi panogolan yang hormat dan adinda ronal,

cristy satu jurusan tetap semangat ya raih semua pikiranmu buat bekal

hidup nanti. Dan kawan yang tidak disebutkan namanya penulis minta

maaf. Dan senior IMAS-USU.

15.Teman seperjuangan di kost atau gubuk revolusi kita “ sekjen IKAHIMSI

(nando) yang baik dan selalu minta petunjuk dari penulis, novel yang kuat

barus yang lucu dan teman-teman yang lain ok frend…///??

16.Buat kawan-kawan di organisasi dan partai thanks semuanya tapi jangan

lupa buat penulis karna penulis masih banyak kekurangan dalam menapaki

hidup ini.

17.Dan buat yeni kandidat pendeta jangan lupa ya ma ab doanya ampuh

(8)

DAFTAR ISI

Bab I ... 1

1. Latar Belakang Masalah ... 1

2. Rumusan Masalah... 18

3. Batasan Masalah ... 19

4. Tujuan Penelitian ... 19

5. Manfaat Penelitian ... 19

6. Kerangka Pemikiran... 20

6.1. Dwifungsi ABRI ... 20

6.1.1. Dwifungsi ABRI ... 20

6.1.2. Dwifungsi ABRI sebagai Konsep Sosial Politik... 23

6.1.3. Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru... 25

6.2. Kekuatan Politik... 28

6.2.1. Defenisi Kekuatan Politik ... 28

6.2.2. Militer sebagai Kekuatan Politik... 30

6.2.3. Peran Militer dalam Keamanan dan Politik ... 36

7. Metode Penelitian... 39

7.1. Jenis Penelitian... 39

7.2. Tehnik Pengumpulan Data... 40

7.3. Analisis Data ... 40

7.4. Sistematika Penulisan ... 41

Bab II Rezim Orde Baru ... 42

(9)

2 Konfigurasi Politik Orde Baru ... 46

3 Sietem Politik... 47

3.1 Periode Transisi 1965-1970 ... 51

3.1.1.Manuver Politik PKI ... 51

3.1.2 Peran Angkatan Darat ... 53

3.1.3 Supersemar Sebagai Titik Tolak ... 55

31.4 Peran Politik DPR ... 57

3.2 Periode 1970-1997 ... 59

3.2.1 Format Politik Orde Baru... 59

3.2.2 Lembaga Kepresidenan yang Kuat ... 62

3.2.3 Militer sebagai Kekuatan Politik yang Dominanan ... 65

3.2.4 Birokrat yang Kuat... 71

3.2.5 Pembangunan Ekonomi sebagai Prioritas... 73

3.2.6 Stabilitas Politik ... 77

3.2.7 Terbentuknya Hegemony Party Sistem... 80

Bab III Pembahasan dan Analisis ... 89

1.Lahir Dwifungsi ABRI... 89

1.1. Fungsi Pertahanan dan Keamanan ... 92

1.1.1 Militer sebagai Bentuk Kekuasaan Negara ... 92

1.1.2 Pendekatan Keamanan yang Menonjol... 94

1.2 Fungsi Sosial ... 96

1.2.1 Sebagai Faktor Integrasi... 96

(10)

1.3 Fungsi Politik... 100

1.3.1 Politik Sentralisasi di Tangan Eksekutif ... 100

1.3.2 Militer Sebagai Wujud Fisik Kekuasaan Negara ... 105

1.3.3 Militer Sebagai Instrumen Penguasa... 106

1.3.4 Otoritas Birokrasi yang Berlebihan... 108

2 Kekuatan Poltik... 109

2.1 ABRI Sebagai Wakil Golongan Karya Sekaligus Wakil Rakyat 111 2.2 Peran ABRI dalam Golkar ... 113

2.3 Sentralisasi Kekuasaan dan Pengerahan Birokrasi ... 117

2.4 Organisasi Pembinaan ABRI sebagai Kekuatan Politik ... 119

2.5 Peran Militer dalam Pemerintahan Soeharto... 123

Bab IV Kesimpilan dan Saran ... 135

Kesimpulan ... 135

Saran ... 137

(11)

ABSTRAKSI

JUDUL : SOEHARTO DAN MLITER

Suatu Study Analisis Militer sebagai Penopang Utama Kekuasaan Soeharto Selama Berkuasa (Orde Baru).

NAMA : JUMPA T’S

NIM : 040906021

DEPARTEMEN : Ilmu Politik

FAKULTAS : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Penelitian ini berisiskan tentang kekuatan Soeharto selama jadi pemimpin rezim Orde Baru dan bagaimana Soeharto dapat mengelola ABRI dalam pentas politik Indonesia. Dari situ mungkin muncul pertanyaan mengapa Soeharto dapat mempertahankan kekuasaannya atau berkuasa selama 32 tahun. Secara menyeluruh terungkap bahwa faktor utama yang menjadikan perhatian utama Soeharto selama berkuasa lebih dari tiga dekade, yaitu menguasai pusat-pusat kekuasaan (mesin-mesin politiknya), antara lain awalnya institusi ABRI, lembaga-lembaga politik penting (DPR/MPR) melalui Golkar pada pemilu 1971 dan selanjutnya. Kemudian secara bertahap menempatkan orang-orangnya di birokrasi, kemudian melalui ABRI, Birokrasi dan Golkar Soeharto mengontrol kekuasaannya keseluruh penjuru tanah air. Kehadihan ABRI dalam pentas perpolitikan Indonesia pada saat rezim Orde Baru berkuasa telah menjadikan suatu kekuatan politik yang sangat handal dan dapat diandalkan untuk dapat terus berkuasa. Berangkat dari kehadiran ABRI dalam peta politik Indonesia telah mengangkat dan menjadikan Soeharto penguasa tunggal. Hubungan ABRI dan Soeharto tak dapat kita pungkiri kenapa Soeharto memakai ABRI sebagai kekuatan politiknya yaitu karena beliau berasal dari ABRI, dan untuk menjaga kekuasaannya agar tetap awet Soeharto menempatkan ABRI pada posisi-posisi yang strategis dan melalui Golkar Soeharto mengubah ABRI menjadi kekuatan politik dan dari situlah ABRI berubah jadi kekuatan politik yang sangat besar. Dwifungsi ABRI yang semula diungkapkan A.H Nasution telah diselewengkan Soeharto dalam arti kedudukan ABRI dan arti yang semula diungkapkan oleh Jend.A.H.Nasuiton. berangkat dari dwifungsi ABRI Soeharto berhasil merubah kedudukan dan fungsi ABRI sebagai Kekutan Pertahanan Keamanan dan fungsi Sosial Politik. Dan menjinakakan ABRI sebagai penopang utama kekuasaan Soeharto.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Drama terbesar dan paling tragis dalam sejarah Indonesia tentulah drama

kehidupan Soeharto. Setelah tiga dekade berkuasa, ditakuti, disembah bagai dewa,

kini Soeharto paling terhujat di Indonesia. Sebagai pemimpin bangsa dan negara

Republik Indonesia, Pak Harto menjadi pusat perhatian dan sorotan, tidak saja

dari semua warga Republik ini, tetapi oleh para pakar dan pemerhati politik dari

manca negara. Rezim Orde Baru yang ia bangun selama berkuasa, banyak

memunculkan kontroversi. Ada yang memuji kepemimpinan beliau sebagai

“Bapak Pembangunan” dan lainnya namun banyak juga yang mengutuk dengan

“Gantung Soeharto”. Bahkan ketika beliau sakit sampai akhirnya meninggal pada

tanggal 28 Januari 2008 pada usia 86 tahun, ia masih menjadi bahan perbincangan

yang menimbulkan banyak kontroversi.

Sudah menjadi pengetahuan umum, militer di Indonesia yang menjelma

dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-kini Tentara Nasional

Indonesia (TNI) plus Polisi Republik Indonesia (Polri) adalah satu komponen

negara yang memiliki nilai politis dan strategis tersendiri. Meskipun senantiasa

menampilkan citra solid dan independen, namun bukan rahasia lagi dalam tubuh

lembaga militer tersebut hubungan di antara berbagai kelompok kepentingan di

dalamnya tidak selalu berjalan harmonis.

Satu-satunya momentum yang tercipta bagi Indonesia terjadi pada tahun

1965, ketika kudeta militer menurunkan Soekarno. Namun kesempatan itu tidak

(13)

memberikan ruang kepada sipil untuk mengkonsruksikan perubahan kedemokrasi.

Militer malah mengambil alih kepeminpinan sipil dengan menggelar sidang

parlemen (MPRS) tahun 1968 yang memberikan legitimasi kontitusional yuridis

terhadap Jendral Soeharto. Kekuasaan Jendral Soeharto kemudian dikukuhkan

dalam pemilu 1972, dimana Golkar sebagai partai politik bentukan militer dan

gabungan kekaryaan memenangkan pemilu itu.

Ada beberapa yang mendorong militer secara aktif masuk kedalam arena

politik dan memainkan peranan politik. Faktor-faktor ini lebih terletak pada

kehidupan politik atau sistem politik, bukan pada militer dan dikelompokkan

menjadi tiga.1 Yang pertama : adanya ketidak stabilan sistem politik. Keadaan

seperti ini akan menyebabkan terbukanya kesempatan dan peluang yang besar

unutk menggunakan kekerasan didalam kehidupan politik. System politik yang

peka ini pula yang paling sering mengakibatkan timbulnya hal-hal yang

mendiskreditkan pemerintahan sipil. Termasuk didalam hal ini ialah ada tidaknya

pola-pola legitimasi yang secara umum diterima dalam masyarakat yang

menyangkut jalannya lembaga-lembaga sipil dan pemerintahan. Kedua : Yang

bertalian dengan kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfir

kehidupan politik, bahkan untuk memperoleh peranan-peranan politik yang

menetukan. Yang menarik dalam kaitan ini adalah bahwa dalam beberapa hal

dominasi militer di dalam politik justru “diundang” atau dipermudah oleh

golongan sipil. Ini biasanya terjadi sewaktu kepeminpinan sipil mengambil

keputusan untuk memperbesar jumlah personil angkatan bersenjatanya atau

meningkatkan persenjatan militer karena diperlukan untuk menghadapi musuh

(14)

dari luar negeri atau guna mengatasi pergolakan dalam negeri, sekalipun sering

kali ancaman itu berupa dugaan atau bahkan mungkin hanya diada adakan belaka.

Kapasitas militer dalam mempengaruhi kehidupan politik memang bergangtung

pada kecakapan,perlengkapan, dan persenjataan yang dimilikinya sebab ketiganya

disamping jumlah personil yang besar merupakan “ sumber kekuatan politik”.

Walaupun demikian tidak dapat dipastikan adanya hubungan langsung antara

kemampuan berpolitik kaum militer dengan tingkah laku politik mereka, sebab

tingkah laku politik militer lebih banyak ditentukan oleh sikap dan kenyakinan

politik mereka. Ketiga : yang berhubungan dengan political perspectives kaum

militer. Dan paling menonjol diantara beberapa prespectif politik mereka adalah

yang bertalian dengan peranan dan status mereka didalam masyarakat, dan juga

yang berkenaan dengan persepsi mereka terhadap kepeminpinan kaum sipil dan

terhadap sistem politik secara keseluruhan. Dalam satu keadaan dimana

kepeminpinan poltik sipil dianggap oleh merka itu tidak beres, korup, lemah, tidak

mampu melaksanakan tugas-tugas pokok pemerintahan maka dorongan unutk

melakukan intervensi kedalam politik oleh golongan militer akan besar. Demikian

pula bila mana kalangan politisi sipil dianggap akan mengambil tindakan atau

kemungkinan akan mengambil tindakan yang merugikan kepentingan personil

atau kepentingan organisasi militer, maka dorongan untuk melakukan tindakan

politik oleh militer akan lebih besar lagi2.

Dalam Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila, sebagaimana

dikutip Bilveer Singh, disebutkan faktor-faktor yang mendasari konsep dwifungsi

adalah :

(15)

1. Kegagalan para politisi sipil memaksa ABRI untuk memainkan peren

sosial politik lebih besar.

2. Peran ABRI tetap menentukan karena merupakan kekuatan satu-satunya

yang dapat menjamin bahwa pancasila tetap menjadi idiologi nasional.

3. ABRI dipandang sebagai penyelamat nasional satu-satunya mengingat

banyaknya krisis negara yang telah dialami 3 .

Persepsi militer adalah kegagalan pemerintahan sipil (orde lama) dikarenakan tiga

faktor yakni instabilitas politik pasca pemilu 1955, terjadinya pelbagai

pemberontakan didaerah serta terjadinya kriris ekonomi yang melanda Indonesia

(mengalami inflasi 1000% lebih). Dengan persepsi kegagalan pemerintahan orde

lama, militer Indonesia ingin menempatkan dirinya sebagai motor pembangunan

sebagaimana penilaian lembaga militer di Amerika Latin yang berhasil

meninggikan investasi asing, menyebabkan sebutan militer sebagai motor

pembangunan, argumentasi didasarkan beberapa hal :

1. Militer dilihat sebagai bentengan pertahanan melawan ketidakstabilan dan

persebaran komunisme di negara-negara berkembang.

2. Militer merupakan institusi yang terorganisir paling baik dalam negara

(profesionalisme)

3. Militer dianggap sebagai institusi berorientasi rasional dan teknologi

4. Militer pun dianggap memiliki orientasi pembangunan bertata nilai

modern.

(16)

5. Militer berperan sebagai pemimpin dalam proses politik sebuah bangsa

yang mampu menghindari berbagai ekses partisipasi yang menjurus pada

instabilitas.

6. Anggota militer dipandang berpendidikan, dengan pengetahuan teknis,

kepakaran, dan pengetahuan organisatoris.

7. Militer dipandang sebagai institusi paling efisien dalam memberikan solusi

permasalahan, karena pada keadaan darurat bisa menggunakan kekerasan

Terakhir, fungsi mililter yang ” mempersatukan ” dalam mengatasi konflik etnis,

dipuji sebagai personifikasi bangsa.

Naiknya Soeharto banyak kalangan menilai merupakan buah dari kudeta

militer, bukan dari mandat SUPERSEMAR. Sejarah penyerahan estapet

pemerintahan dari tangan Soekarno ketangan Soeharto masih menyimpan banyak

misteri. Dominasi militer dalam pemerintahan orde baru, harus dilihat pula

sebagai upaya Soeharto mempertahankan kekuasaanya. Pandangan ini sangat

relevan ketika Soeharto secara pribadi tampil dominan didalam tubuh Golkar

sebagai ketua dewan pembina ataupun mendorong militer untuk mendominasi

struktur Golkar agar memastikan Golkar dapat keluar sebagai pemenang sehingga

bisa melanggengkan kekuasaan Soeharto. Keinginan Soeharto melanggengkan

kekuasaan bertemu dengan ketaatan dan hasrat kekuasaan para perwira militer,

apa yang dilakukan militer disatu sisi memperlihatkan bentuk ketaatan terhadap

otoritas politik untuk memberikannya peran yang dominan dalam perpolitikan,

namun, ketaatan yang ada diliputi pula hasrat kekuasaan yang kuat. Tentunya

(17)

kalangan sipil. Kondisi militer seperti ini menjadi kecenderungan global.

Banyaknya purnawirawan ataupun perwira militer yang pensiun dini (alih satus)

sebagai persyaratan maju dalam Pilpres ataupun pemilihan kepala daerah

menunjukkan hasrat tersebut.

Pergantian rezim pemerintahan di Indonesia, serta tidak langsung telah

membawa gambaran tentang pentingnya suatu pemerintahan di suatu negara.

Kesalahan pemerintahan yang sangat buruk terhadap perkembangan dan juga

proses perubahan bangsa. Perebutan kekuasaan yang selalu ditandai dengan

proses-proses politik dan sosial yang sangat menyentuh kehidupan masyarakat,

telah membawa suatu pelajaran yang sanat berharga betapa kekuasaan tetap

menjadi faktor utama yang ingin diraih. Tujuannnya adalah hanya untuk

mendapatkan dan juga mempertahankan kekuasaan. Dalam hal ini proses politik

masih merupakan corong yang lebar unutk mendukung dan memberikan jalan

yang seluas-luasnya untuk proses perolehan dan mempertahankan kekuasaan

tersebut.

Pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun,telah menjadi

pelajaran dan sejarah baru pada bangsa indonesia, untuk lebih memperhatikan

betapa kekuasaan adalah faktor utama untuk mencapai pemerintahan yang absolut

dan militerristik. Pada masa pemerintahan Soeharto terdapat banyak anggapan

yang menyatakan bahwa pemerintahlah yang paling benar dan tidak bisa untuk

dikritik. Dan bagi mereka yang mencoba unutk mengkritiknya dan juga

memberikan alternative yang lebih baik terhadap kekuasaan yang akan dianggap

(18)

oleh sebab itu harus dimusuhi dan ditindas dan dianggap sebagai penghianat

negara dan ditangkap dan dipenjara.

Pemerintahan Orde Baru dibawah kendali Soeharto menempatkan militer

pada tempat spesial baik atas dasar ikatan psikologis ataupun keyakinan atas

militer sebagai motor pembangunan dan penilaian atas ketidakmampuan

pemerintahan sipil. Salah satu keistimewaan yang diberikan kepada militer adalah

menempatkanya pada posisi strategis pemerintahan, legislatif ataupun posisi

strategis Golkar.

Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan sepertiga jabatan

gubernur dijabat oleh militer Pada tingkat bupati dan walikota, 56% adalah

militer, direktur jenderal 70%, dan sekretaris menteri 84% diduduki oleh militer.

Vatikiotis menyatakan, ” More importantly, the military dominated the affairs of

every cabinet departement.” Sementara itu data yang diperoleh Jenkins pada tahun

1980, jumlah anggota ABRI yang berada di luar organisasi militer sebagai

berikut: di pemerintahan pusat, menteri dan pimpinan lembaga tinggi negara 47%,

sekretaris jenderal 73,6%, inspektur jenderal 29,5%, direktur jenderal 70,9%,

sekretaris menteri dan wakil menteri 84%. Dipimpinan daerah, gubernur 70,3%,

dan bupati 56,6%. Diperwakilan luar negeri, duta besar 44,4% dan konsul 34,3%.

Menurut data Harold Crouch, pada tahun 1968, jumlah Gubernur yang berasal

dari militer sebanyak 17 Gubernur (71 % ). Sesudah pemilihan umum tahun 1971,

dari 26 propinsi hanya menyisakan 4 (15 %) posisi Gubernur untuk orang sipil.

Sedangkan pada tingkat kabupaten pada tahun 1969 jumlah Bupati dan Walikota

(19)

dua pertiga. Sampai dengan tahun 1998, sebanyak 4000 anggota militer

menduduki posisi jabatan sipil. Pada tahun 1966 dari 27 anggota kabinet yang

diangkat 44% menteri merupakan anggota ABRI, 6 erasal dari TNI AD dan 6

menteri lainnya berasal dari panglima-panglima angkatan lain. Pada tahun 1968

komposisi anggota ABRI yang duduk dikabinet berubah atau turun menjadi 23

orang. Keterlibatan militer dalam birokrasi lokal selain melalui jabatan Bupati dan

Gubernur adalah keterlibatan pimpinan militer melalui Muspida dan Muspika

yang berfungsi mengendalikan kehidupan masyarakat daerah terutama dalam

kegiatan-kegiatan politik seperti mobilisasi rakyat untuk pembangunan dan untuk

Pemilihan Umum.

Kondisi yang sangat memprihatinkan ini juga ditambah lagi dengan tidak

adanya kebebasan press dan proses politik yang demokratis. Manipulasi dalam

bidang politik dijalankan oleh suatu rezim yang absolut dan cenderung

militeristik. Untuk mendapat dan mempertahankan kekuasaannya, soeharto

menggunakan beberapa instrumen yang sangat berpengaruh terhadap kondisi

pertahanan dan keamanan negara. Isntrumen kekuasaan yang digunakan oleh

Soeharto mencakup beberapa oknum salah satunya adalah militer4. Berkaitan

dengan hal tersebut juga terdapat istilah yang dinamakan dengan arsitek Soeharto.

Arsitek Soeharto adalah orang yang terlibat langsung dalam usaha merangkai

kekuasaan soeharto menjadi sebuah bentuk yang cita-citakan5. Peranan militer

yang terlibat dalam situasi politik adalah merupakan suatu kenyataan dalam

pemerintahannya yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan dominasi militer sebagai

(20)

salah satu kekuatan politik negara dapat menjangkau melebihi dan peran dan

fungsi militer yang sebenarnya.

Peniadaan peran sosial-politik militer setidaknya didasari oleh dua

pertimbangan, pertama , ada kekhawatiran bahwa peran sosial-politik ABRI akan

mengurangi profesionalisme ABRI sehingga memperlemah daya tempur mereka

dalam menghapi ancaman keamanan konvensional. Kedua, peran sosial-politik

ABRI dinilai menghambat proses demokratisasi. Organisasi militer yang sangat

hierarkis dan disiplin yang sangat ketat akan mempersulit partisipasi massa yang

menuntut adanya kebebasan menyatakan pendapat dan kemampuan bertindak

secara otonom

Dampak dominasi militer pada masa orde baru sebagai berikut :

a. munculnya rezim otoriter sebagai penghambat demokratisasi

Banyak kalangan melihat intervensi militer kedalam wilayah politik merupakan

bagian faktor terbesar penyebab pelbagai persoalan bangsa dan faktor pendorong

terciptanya zaman otoriterism. Menurut Abdul Rohim Ghazali, posisi militer pada

masa orde baru mempunyai 4 (empat) dampak . Pertama, peran sosial politik TNI

yang melampaui batas telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi

masyarakat. Kedua, campur tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sektor

kehidupan telah mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa

konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu

jauh di bidang hukum telah mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan

masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum dan peradilan. Akibat keterlibatan

“oknum” TNI/ABRI, banyak kasus hukum yang masih misterius hingga sekarang,

(21)

Syafruddin alias Udin. Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi

dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini. Bahwa banyak unit-unit bisnis

yang melibatkan militer atau “oknum” militer yang biasanya dibungkus dengan

kata “kerja sama” dengan sipil yang berujung pada kebangkrutan di pihak sipil.

Sementara itu, Alfred C. Stepan meniliti bahwa hak-hak istimewa

kelembagaan militer yang tinggi cenderung menyebabkan kemungkinan

terjadinya konflik antara sipil-militer, daripada terciptanya akomodasi sipil.

Begitu juga pengembangan dan penyebaran teknologi militer yang tinggi juga

menyebabkan terbukanya kemungkinan penyalahgunaan kekuatan militer untuk

menghambat proses demokratisasi pemerintahan baru yang sedang berkembang6.

Eep Saefullah Fatah7 menyatakan bahwa demokrasi dan militer adalah sebuah

oxymoron : dua buah kata yang tidak mungkin dipadukan. Oleh karenanya,

keterlibatan militer dalam politik adalah sumber dari segala sumber penyakit

sistem politik dan demokratisasi hanya dapat dijalankan oleh kekuatan sipil

dengan terlebih dahulu membersihkan sistem politik dari intervensi militer.

Sedangkan menurut Ikrar Nusa Bhakti dkk, Keterlibatan militer dalam politik

akan merusak kompetisi politik, mendistorsi kebijakan politik, serta menciptakan

berbagai kerusuhan dan keresahan sosial dalam rangka bargaining politik

keamanan.

Pada masa pemerintahan orde baru, dominasi militer dalam perpolitikan

Indonesia dimana hampir posisi strategis pemerintahan dikuasi oleh militer

6 Alfred C Stepan, Terjemahan dalam Bahasa Indonesia, Militer dan

Demokratisasi,Pengalaman Brazil dan Negara lain,Penerbit Grafiti,Jakarta,1996 hal.100

(22)

membawa dampak bagi kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berpendapat.

Militer melakukan kontrol terhadap media massa ataupun aktivitas politik yang

dilakukan partai politik maupun masyarakat umum. Kontrol militer yang

berlebihan terhadap aktivitas masyarakat menyebabkan terjadinya kekerasan yang

dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Setidaknya ada 6 kasus

kemanusiaan yang terjadi sebagai implikasi pendekatan kekerasan. Dimulai dari

kasus malari (1971), Tanjung Priuk (1984), Talang Sari Lampung (1989), DOM

Aceh (1989-1998), Kudatuli 27 Juli 1996, rentetan kekerasan ditutup dengan

peristiwa penculikan aktivis 1998 dan tragedi trisakti I. Menurut data yang

dimiliki Kontras (komisi orang hilang dan korban tindak kekerasan) kejadian

tersebut menelan korban tidak kurang dari 9085 orang. Menurut Fajrul Falaakh,

suramnya penyelesaian masalah perburuhan dan pertanahan, juga operasi militer

ditimor-timur, Aceh, Lampung, Tanjung Priuk, merupakan bukti-bukti yang selalu

diungkap sebagai keburukan peran non-militer ABRI. Dominasi militer pada

kepemimpinan pemerintahan daerah berimplikasi pula, tidak ada netralitas

birokrasi dan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan sejak 1971-1997. Investasi

militer dalam netralitas birokrasi dan pemilu hanya terbatas pada fungsi kontrol

atau memastikan birokrasi solid untuk mendukung Golkar. Keberadaan militer

didalam DPR/MPR dan Golkar menghilangkan fungsi check dan balance dalam

penyelenggaraan Negara.

b. mempengaruhi profesionalisme militer

(23)

Politik menangani tujuan-tujuan kebijakan negara, kemampuan dalam bidang ini

terdiri dari pengetahuan yang luas mengenai elemen-elemen dan kepentingan

yang mempengaruhi sebuah keputusan dan dalam menjalankan otoritas yang sah

untuk membuat keputusan. Politik berada di luar lingkup kemampuan militer, dan

partisipasi perwira militer di dalam politik merusak profesionalisme mereka,

membatasi kemampuan profesional mereka, memisah-misahkan profesi mereka

sendiri, dan menggantikan nilai-nilai profesional dengan nilai-nilai asing. Perwira

militer harus netral secara politis. ” komandan militer jangan pernah mengizinkan

pandangan militer yang dimilikinya terbungkus oleh asas manfaat politik8 ” .

Bermasalahnya profesionalisme militer tergambar dari kompetensi prajurit

dalam hal pertahanan serta buruknya penerapan sistem pertahanan. Kesibukan

militer dalam mengurusi pemerintahan pada masa orde baru menyebabkan

lemahnya kemampuan militer saat ini dalam melindungi aset ataupun kedaulatan

wilayah pada daerah-daerah perbatasan . Pengembangan sistem dan struktur

militer pada masa orde baru lebih berorientasi pada kepentingan politik sehingga

berimplikasi pada kesiapan tempur strukturnya serta lalai dalam mengembangkan

kekuatan udara dan laut. Pendekatan pengembangan struktur militer pada masa

orde baru lebih menitik tekankan, bagaimana militer mampu mempunyai

mekanisme yang kuat dalam mengawasi aktivitas politik sampai dengan tingkat

pedesaan, oleh karenanya menjadi wajar ketika prajurit militer sebagian besar

tidak memiliki kemampuan tempur dan sistem pertahanan saat ini berada pada

kondisi yang menyedihkan. Hal ini tergambar dari kelambatan MABES TNI

dalam menyiapkan prajuritnya dalam merespon kebijakan darurat militer di Aceh

(24)

yang diputuskan pada pemerintahan Megawati. Pertanyaan apakah militer

Indonesia mampu menangkal serangan atau agresi dari negara lain menjadi sangat

tidak relevan, pertanyaan yang relevan adalah seberapa lama militer Indonesia

saat ini mampu bertahan dari agresi negara lain. Permasalahan sistem pertahanan

tentunya tidak bisa dipisahkan dari masalah anggaran, akan tetapi peranan non

militer yang dominan yang dilakukan ABRI pada masa orde baru menjadi faktor

yang semakin memperparah keadaan.

Pada mulanya, militer dibentuk untuk mempertahankan negara pada

berbagai pemerintahan, sudah tentu militer dibentuk di bawah eksekutif yang

panglimanya disederajatkan dengan para menteri kabibet9. Hanya saja beberapa

aparat militer yang cukup Propesional tidak menutup kemungkinan untuk ikut

berpolitik10. Dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan negara dan serta

mempertahankan Pancasila dan undang-undang dasar 1945 dari kemungkinan

perubahannya oleh MPR/DPR RI maka ABRI ikut berpolitik. Hal ini dianggap

sebagai pengabdian mereka kepada bangsa dan negara yang kemudian disebut

dengan Dwi Fungsi ABRI11.

Diangkatnya Jendral Soeharto sebagai presiden tahun 1986 oleh MPRS

membawa militer keposisi yang dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan12.

Peran militer, menempati posisi sentral dalam politik indonesia, khususnya sejak

penggulingan soekarno menuju kepemerintahan soeharto13. Dalam kerangka

9 H.Inu Kencana syafie, Sistem Politik Indonesia, Bandung : Refika Aditama,2002,hal.32 10 Ibid.hal.32

11 Ibid, hal.32

12 Arief Yulianto,Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru Ditengah Pusaran

Demokrasi,Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,2002,hal.248.

13 Arief Budiman, Harapan dan Kecemasan Menatap Arah Reformasi

(25)

inilah ABRI benar-benar mengimplementasikan peran yang lama didambakannya

sebagai peserta didalam dan menjaga negara14. Bagaimanapun sebagai sebuah

lembaga yang tidak dipilih yang tidak sering menjadi kekuatan pemaksa dalam

menentukan masalah sosial politik, militer tetap bertindak gaya penengah, lebih

banyak menindas dibandingkan membantu rakyat dan banyak hal menjadi pelaku

praktek korupsi dan nepotisme,dan pelanggar HAM dan pada puncaknya menjadi

kekuatan penentu dalam urusan politik negeri ini15. Hingga 1998,kecuali

kelompok-kelompok pemberontak didaerah yang jauh dari pusat, tak seorangpun

berani menentang militer(ABRI) secara langsung16.

Dengan bergantinya pemerintahan dan format politik tahun 1998, Tentara

Nasional Indonesia (TNI) dituntut untuk dapat mengabdikan dirinya untuk bangsa

dan negara Indonesia secara optimal sebagaimana dimaksudkan oleh para

founding fathers, TNI telah dan sedang melakukan proses reorientasi postur,

tugas, fungsi, dan perannya dalam kehidupan bangsa dan negara. Banyak pihak

yang telah membahas bahwa selama tiga dekade sejak tahun 1965 bersama-sama

dengan kekuatan politik lainnya, TNI pernah menjalankan peran sebagai

penopang utama bagi sebuah pemerintahan yang sangat sentralistik. Dengan

segala kompleksitas dan konsekuensinya, posisi TNI pada waktu itu menjalankan

peran yang sangat dominan, bukan saja dibidang pertahanan dan keamanan tetapi

juga pada berbagai aspek kehidupan lainnya khususnya dibidang politik, sosial,

ekonomi dan ketatanegaraan.

14 ibid,hal ix

(26)

Sebelum jatuhnya rezim Orde Baru, posisi-posisi penting penyelenggara

negara dari tingkat pusat hingga tingkat desa banyak diduduki oleh para

personel-personil TNI. Kebijakan pemerintah dan politik negara, banyak diwarnai oleh

pendekatan keamanan, dimana TNI sebagai tulang punggung pelaksananya.

Sehingga memunculkan kritik dan sorotan tajam dari berbagai kalangan

masyarakat. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya pergeseran cara pandang

para prajurit TNI yang semula berorientasi pada aspek pertahanan keamanan

menjadi lebih berorientasi pada politik praktis, jabatan-jabatan publik, bahkan

kepentingan bisnis yang tidak selamanya konsisten dengan misi utama tentara

sebagai penjaga kedaulatan negara.

Hal ini dapat dilihat bahwa kenyataan yang ada di Negara Indonesia,

kedudukan sipil belum mampu mempersatukan bangsa ini dan hanya militerlah

yang mampu merebut kemerdekaan dari tangan penjajah pada saat itu. Oleh

karena itu militer menjadi sangat berkuasa atas rakyat sipil dengan konsep “Dwi

Fungsi ABRI” nya yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan Negara dan

sebagai kekuatan sosial politik.

Aspek – aspek utama dari kekududukan ABRI sebagai pejuang adalah :

Pertama, Oleh karena tugas pejuang tidak ada habis-habisnya, maka ABRI

sebagai pejuang tidak mungkin berhenti tetapi harus berjalan terus dan ikut

bertanggung jawab atas kelangsungan hidup masyarakat dan negara yang

berdaasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kedua, Sebagai kelompok rakyat

pejuang bersenjata,bersama sama dengan rakyat pejuang lainnya,ABRI telah

membuktikan dirinya berhasil menegakkan dan membela kemerdekaan bangsa

(27)

bahu-membahu dan bersama-sama kekuatan-kekuatan sosial lainnya dengan semangat

kekeluargaan dan kegotongroyongan untuk mengisi kemerdekaan tersebut

dengan usaha-usaha disegala bidang. Ketiga, Bangsa Indonesia bertekad hendak

membangun kehidupan negara yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD

1945. pembangunan itu mengkehendaki ikut sertanya semua kekuatan yang

mempunyai potensi nyata yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan

kemasyarakatan dan kenegaraan, yaitu kekuatan-kekuatan dalam bidang

sosial-budaya, ekonomi, agama dan lain-lain. Jelaslah turut sertanya ABRI dalam

kegiatan – kegiatan sosial-politik, dalam pemerintahan dan dalam pembangunan,

bukanlah unutk kepentingan ABRI sendiri apalagi unutk membangun suatu

kekuasaan atau pemerintahan militer,melainkan dalam rangka pembinaan

kehidupan yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD1945. Keempat,

dengan demikian semua bidang kehidupan terbuka bagi ABRI dan

kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Proses ikut sertanya adalah menurut prosedur demokratis

sesuai dengan aturan yang berlaku bagi bidang yang bersangkutan. Di Indonesia

sejarah politik militer dapat dibagi menjadi 4 ( empat ) tahap. Tahap Pertama, dari

tahun 1945-1959, dicirikan oleh satu transisi dari “ aksi “ menjadi “ akomodasi “

tahap Kedua, dari tahun 1959-1966, ditandai oleh pergeseran dari ” akomodasi ”

menjadi ” dominasi ” tahap Ketiga, dari tahun 1966-1998, militer membuat

transisi dari ” dominasi ” menjadi ” hegemoni ” dan Tahap Terakhir, setelah

kejatuhan Soeharto di Tahun 1998, hegemoni militer telah ambruk dan militer

masuk ke dalam krisis yang berkepanjangan. Menurut Singh, keterlibatan militer

Indonesia dalam politik bermula dari kemerdekaan. Politik militer diakomodasi

(28)

Soekarno atas dasar dekrit presiden 1959. Di bawah ” Demokrasi Terpimpin ”

militer mendapat beberapa kursi di DPR Gotong Royong dan sepertiga dari

jumlah menteri dalam kebinet kerja adalah anggota militer. Akomodasi politiknya

bergeser menjadi dominasi, ketika Soeharto berkuasa, militer adalah tulang

punggung pemerintahan Orde Baru, dan melalui program Ideologi dan

Budayanya, dominasi berubah menjadi hegemoni. Jatuhnya Soeharto

menyebabkan hegemoni militer mengalami krisis legitimasi.

Militer sangat mendominasi perpolitikan Indonesia pada masa Orde Baru

dengan menempati posisi strategis pemerintahan pusat ataupun daerah. Militer

juga mendominasi struktur Golkar sampai dengan Munaslub 1998 serta mendapat

perlakuan istimewa dalam lembaga legislatif dengan jumlah yang fluktuatif,

militer mendapatkan jatah melalu mekanisme pengangkatan. Kondisi ini

menyebabkan pelbagai dampak, khususnya terkait tersumbatnya peluang

demokrasi atau berbaliknya Indonesia menjadi rezim otoriter serta menurunkan

profesionalisme militer, ini bisa dirasakan sampai saat ini, dimana Indonesia

memiliki kompentensi tempur prajurit yang rendah dan sistim pertahanan yang

lemah. Lemahnya sistim pertahanan menjadi salah satu faktor melemahnya posisi

Indonesia dalam melakukan diplomasi dengan Negara-Negara tetangga. Faktor

penyebab dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia disebabkan 2 faktor

yakni faktor Internal ; hasrat kekuasaan para perwira termasuk di dalam upaya

Soeharto mempertahankan kekuasaan, memperjuangkan kepentingan militer

khususnya terkait dana serta kesalahan memahami konsep stabilitas sebagi

(29)

pemerintahan orde lama.(instabilitas politik, pemberontakan didaerah dan krisis

ekonomi).

Dan secara spesifik ada tiga pertanyaan penting yang harus kita ketahui

kita bahas. Pertama, Mengapa Presiden Soeharto tidak membangun TNI/ABRI,

birokrasi, institusi politik DPR dan MPR yang kredibel dan independent, untuk

mengakhiri penyimpangan politik yang dilakukan Soekarno pada pertengahan

1960-an? Kedua, Mengapa Presiden Soeharto hanya mengkonsentrasikan

pengaruh kekuasaannya sendiri untuk mempunyai kontrol yang kuat atas ABRI /

TNI, Birokrasi dan Golkar? Ketiga, Mengapa kuatnya lembaga kepresidenan yang

dibangun Soeharto (Dimana Soeharto langsung memberikan komando dan

mendominasi ABRI, Birokrasi, dan Golkar) tidak mampu mengantisipasi secara

efektif krisis finansial yang amat parah yang dialami Indonesia pada era

1997-1999?

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Soeharto mampu mengelola militer dan kebijakan -

kebijakan yang di jalankan sehingga menjadi penopang

kekukuasaan selama 32 tahun atau selama Orde Baru berkuasa?

2. Bagaimana hubungan Soeharto dan ABRI selama berkuasanya

rezim Orde Baru?

3. Bagaimana kedudukan atau keterlibatan militer di pemerintahan

(30)

3. Batasan Masalah.

Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas maka penulis

memberikan ruang lingkup penelitian yaitu:

1. Peneliti mengkaji tentang militer sebagai penopang utama selama Soeharto

berkuasa, Sterutama dalam mendapatkan dan mempertahankan

kekuasaannya.

2. Peneliti menitik beratkan pada Gaya dan Cara yang dipakai Soeharto

sehingga Militer bisa tunduk dan terus mendukung Soeharto selama

berkuasa.

3. Peneliti juga megkaji kedudukan atau keterlibatan militer di pemerintahan

selama rezim Orde Baru.

4. Tujuan Penelitian.

Adapu tujuan pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Bagaimana Soeharto dapat memodifikasi dan

memberikan ruang pada militer selama berkuasa melalui

kebijakan-kebijakan Soeharto.

2. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis instrumen yang

digunakan Soeharto dalam menjalankan roda pemerintahan Orde Baru.

3. untuk mengetahui seberapa besar peluang militer dalam pentas politk

Indonesia selama Soeharto berkuasa.

5. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini bermanfaat bagi penulis, yaitu memperluas dan

memperdalam pemahaman penulis dalam bidang yang lebih terspelialisasi,

(31)

penelitian ini penulis dibiasakan unutk lebih banyak membaca dan

memahami serta lebih kritis terhadap sebuah bacaan maupun karya tulis

yang ada.

2. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pendukung dalam

pengembangan dari pada teori-teori politik yang telah ada seperti, Sistem

Politik Indonesia, Pemikiran Politik Indonesia, Pembangunan dan

Perubahan Politik Indonesia , dan Analisa Kekuatan Politik,

Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia dan teori-teori politik yang berhubungan

dengan bidang penelitian ini.

3. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sarana unutk memberi

kritikan yang positif terhadap profesionalisme Militer, Departemen

Pertahanan Indonesia dalam menjalankan tugas-tugas dan tanggung jawab

dalam kinerjanya.

6. Kerangka Pemikiran 6.1 Dwifungsi ABRI

6.1.1 Sejarah Dwifungsi ABRI

Latar belakang sejarah sebagai langkah yang mengawali timbulnya

dwifungsi ABRI adalah diawali dari konsep Jalan Tengah Nasution yang bersifat

perorangan itu diubah oleh Jendral Soerharto sejak ia memegang kendali

pemerintahan. Soeharto merumuskan dwifungsi menurut Kharis Suhud, istilah

Dwifungsi untuk pertama kali digunakan oleh Jendral Ahmad Yani ketika ia

(32)

tengah yang dirumuskan oleh Nasution17. Perumusan dan implemenasti dwifungsi

ABRI selama pemerintahan Soeharto ialah menjadi TNI-ABRI secara

organisatoris unutk menduduki jabatan-jabatan strategis dilingkungan

pemerintahan.

Dwifungsi ABRI merupakan sebuah system yang telah diselewengkan

oleh Soeharto dari doktrin awal Nasution. Pandangan besar yang lain yang

mewakili oposisi terhadap doktrin Dwifungsi ini adalah Dwifungsi ABRI secara

murni memang hanya untuk memastikan legitimasi kepentingan penguasa

terhadap ekonomi politik tentara dari sturktur nasional sampai yang terrendah,

sehingga sewaktu legitimasi tersebut dicabut, berbagai respon pun dari

bagian-bagian tentara ikut mempengaruhi politik dan keamanan Negara.

TNI adalah suatu alat pertahanan Negara sebenarnya telah mempunyai

konsep yang baik dalam perannya sehingga stabilitas politik dan keamanan

didalam negeri, yaitu Dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI merupakan konsep

dasar TNI yang dalam menjalankan peran social politik mereka di Negara ini.

Adapun latar belakang lain tentang lahirnya konsep Dwifungsi ABRI harus kita

lihat kembali. Doktrin Hankamrata yang masih digunakan sekarang masih sangat

berhubungan dengan Dwifungsi ABRI.

Dwifungsi ABRI yang kita ketahui oleh masyarakat diluar TNI adalah

sebagai sebuah bentuk militerisme, campur tangan militer dalam permasalah

politik, campur tangan militer dalam permasalahan-permasalah Negara lainnya

yang penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dwifungsi ABRI

dilihat sebagai sebuah intervensi militer dan legitimasi militer untuk melakukan

(33)

tindak kekerasan terhadap rakyat. Dwifungsi berarti masuknya militer dalam

posisi / jabatan penting dan mengurangi jatah sipil.

Selain itu dalam kenyataanya kekuatan politik sipil yang lemah

dihadapkan pada kondisi stagnasi yang dilahirkan oleh sistem demokrasi

parlementer, mudah bagi militer untuk mengambil posisi strategis dalam

panggung politik pada waktu itu. Dalam pemerintahan Soeharto militer Indonesia

memainkan peran politiknya secara luar biasa. Dari hal tersebuat dapat ditarik

kesimpulan bahwa :

1. Kondisi masyarakat dalam pemerintahan Soeharto belum berubah,

sehingga belum memberi perhatian.

2. Peran sosial politik ABRI dapat berkiprah leluasa karena budaya politik

yang tidak mampu membangun sistem kontrol politik yang efektif. Hal ini

memungkinkan berkembangnya konsepsi Dwifungsi ABRI sehingga

melebihi proporsi sebagaimana tahap kelahirannya.

Seperti yang diuraikan diatas, ABRI lahir dalam kancah revolusi sejak

semula melaksanakan fungsi sosial politik18. Pengakuan yuridis dari bangsa

Indonesia tentang fungsi sosial politik ABRI terlihat sejak berlakunya

Undang-undang No.80 tahun 195819. Dengan berlakunya kembali UUD45, maka

Dwifungsi ABRI, khususnya fungsi sosial politik mempunyai landasan

kontitusional20. Landasan kontitusional dari dwifungsi ABRI tersebut kemudian

disahkan lebih mantap dengan ketapan MPRS/MPR21. Setelah MPR hasil pemilu

18 Soebijiono DwiFungsi ABRI.Yoyakarta ; Gajah Mada University Press 1992.hal 46. 19 Pada tahun 1958 dibentuk Dewan Perancang Nasional dengan dasar UU No.8 Tahun 1958 tangga28 Oktober 1958. dalam Dapernas itu duduk pula wakil ABRI bersama dengan wakil-wakil golongan fungsional lainnya. Ibid.hal.47

(34)

1971, maka fungsi ABRI sebagai kekuatan sosial selalu dicantumkan dalam TAP

MPR22. Dalam setiap TAP MPR tentangGBHN Bab IV tentang pola umum pelita

(Pembangunan Lima Tahun) dan sejak TAP MPR No.IV/1981 tentang GBHN

dalam Bab II dinyatakan bahwa sebagai salah satu modal dasar pembangunan

nasional yang dimiliki rakyat dan bangsa Indonesia adalah ABRI sebagai

kekuatan pertahanan dan kekuatan sosial yang tumbuh dari rakyat dan bersama

rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan Negara. Selain itu Dwifungsi ABRI

pun dilegalkan dengan adanya UU No.20/1982 tentang pokok-pokok Hankam

Negara yang kemudian disempurnakan dengan UU No.I/1989 dan UU No.2/1988

tentang pokok-pokok keprajuritan23. Campur tangan ABRI berdasarkan doktrin

tersebut menjadaikan bias mendominasi pola pengelolaan di Indonesia. Konsep

Dwifungsi ABRI dimanfaatkan kepeminpinan ABRI sendiri serta selalu

mengedepankan aspek kuntitas dan mengabaikan aspek kualitas.24

6.1.2 Dwifungsi ABRI sebagai Konsep Sosial Politik.

Dwifungsi ABRI merupakan konsep politik yang menempatkan ABRI

baik sebagai kekuatan Hankam maupun kekuatan social politik dalam supra

maupun infra struktur politik sekaligus25. Dari penjabaran konsepsi mengenai

fungsi sosial politik ABRI, dapat disimpulkan bahwa peranan ABRI dalam

konsep Negara pada dasaranya adalah 26: Pertama, Ikut sertanya ABRI dalam

penentuan haluan Negara serta pengendalian politik dan strategi nasional. Kedua,

22 Ibid,hal 48

23 Syarwan Hamid,Kepeminpinan ABRI dalam Prespektif Sejarah,Yogyakarta: Gajah Mada Press 1998.hal 134-135.

24 Arief Budiman Op.cit.,hal175 25 Soebijono Op.Cit.,hal 1

(35)

Sebagai pelopor, dinamisator dan stabilisator dalam memelihara dan

memantapkan stabilitas nasional disemua bidang. Ketiga, Ikut sertanya dalam

pembangunan nasional terutama dalam menyehatkan demokrasi pancasila dan

memperbaiki pertumbuhan ekonomi, meratakan pembangunan unutk mewujudkan

keadailan social.

ABRI dengan Dwifungsinya yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan

keamanan maupun sebagai kekuatan social politik bergerak bersamaan dalam 2

lingkungan politik yaitu dalam pemerintah (supra) dan dalam masyarakat27.

Dwifungsi ABRI sebagai konsep sosial politik dapat dilihat dalam kehidupan

politik RI28. Pergolakan-pergolakan yang terjadi terutama dibidang politik,

ekonomi, telah memaksa ABRI dan kekuatan lain yaitu golongan fungsional

untuk berperan aktif, kelahiran fungsi sosial ABRI melekat bersamaan dengan

kelahiran ABRI sendiri yang telah lahir dari zaman revolusi, walaupun belum

dalam bentuk seperti sekarang29. Implementasi dari konsep Dwifungsi ABRI

dapat dilihat dalam ABRI dan kegiatan politik pada masa pemerintahan Soeharto.

Sebagai konsep sosial politik ABRI juga terlibat dalam lembaga legislative dan

juga pada Birokrasi pemerintahan, bahkan mereka juga ikut berperan aktif dalam

pemilu dan juga sebagaio kenderaan politik pemerintahan soeharto dengan masuk

kedalam Golongan Karya.

Peran ABRI di MPR dimasa pemerintahan Soeharto, hubungan antara

ABRI dan Presiden sendiri amatlah kolutif. Adapun kebijakan yang dikeluarkan

oleh pemerintahan Soeharto akan disambut baik oleh TNI. Bahkan bila perlu akan

dilakukan berbagai cara, akibatnya Soeharto dapat bertahan dalam kekuasannya.

(36)

Semasa pemerintahan Soeharto MPR dijadikan sumber legitimasi kelanggengan

pemerintahan Soeharto. Hal ini yang terlihat pada masa pemerintahan Soekarno,

ketika MPR digunakan unutk memperkukuh ideology manipol usdek dan

menyatakan presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Selama

pemerintahan Soeharto, salah satu hal yang paling sering dikritik adalah

kemudahan mempengaruhi MPR melalui anggota-anggotanya baik yang diangkat

maupun dipilih melalui pemilu dengan mekanisme yang menguntungkan

penguasa30.

Sidang umum MPR pada tahun 1983 menertibkan TAP MPR

No.II/MPR/1983 tentang pemilu yang antara lain menetapkan bahwa31 Pertama:

Jumlah anggota MPR/DPR dan DPRD disesuaikan dengan jumlah penduduk dan

perkembangan daerah. Kedua : Anggota DPR dan DPRD terdiri atas anggota

kekuatan social politik peserta pemilu dan golkar. Berdasarkan ketentuan UU

tentang susunan dan kedudukan MPR,DPR dan DPRD yang berlaku sekarang

(kemudian diubah dengan UUD No 2/1985), keterlibatan ABRI secara langsung

dalam politik paling nyata, dimana ABRI tidak hanya mempengaruhi tetapi juga

menduduki, adalah melalui penunjukan perwira militer aktif menjadi anggota

legislative ditingkat nasional dan regional.

6.1.3. Dwifungsi ABRI pada Masa Orde Baru.

Sejarah kekuasaan Orde Baru adalah sejarah neo-fasisme (militer) yaitu

suatu pemerintahan yang dibangun dengan cara mengandalkan elitisme,

irrasionalisme, nasionalisme dan korporatisme. Ciri-ciri dari pemerintahan

30 www,transparasi.or.id

31 Mabes ABRI abad XXI: Redefenisi,Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI dalam

(37)

fasisme (militer) ini adalah mengandalkan kekuatan militer untuk menghancurkan

organisasi-organisasi massa (kekutan sipil) dan menghilangkan semua gerakan

militan.

Peranan militer sangat dominan dan tidak dapat terlepas dari

keterlibatannya dalam bidang politik. Sebagai alat untuk mendapatkan dan

mempertahankan kekuasaannya, militer mempunyai pengaruh yang sangat besar

bagi pertahanan dan juga keamanan Negara. Militer dalam hal ini adalah ABRI

(Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Adanya peranan ABRI dalam bidang

politik Soeharto, menggabungkan Angkatan Kepolisian dan Tentara Nasional

(TNI). Pasal 10 UUD 1945 mengatakan bahwa : presiden memegang kekuasaan

tertinggi atas Angkatan Darat, Laut,dan Udara ternyata ikut memanipulasi rezim

Soeharto juga membangun opini masyarakat tentang sejarah ABRI, seakan-akan

pada masa lalu ABRI, khususnya pihak TNI (Militer) sudah ikut menentukan

nasib Negara secara politik32.

Dalam prakteknya, peranan ABRI telah mengjangkau seluruh kehidupan

masyarakat. Adanya kondisi inilah yang kemudian mengukuhkan adanya doktrin

Dwi Fungsi ABRI.

Sri Bintang Pamungkas mendefenisikan Dwi Fungsi ABRI yaitu peranan

ABRI yang tidak hanya terbatas dalam bidang pertahanan (peranan militer)dan

keamanan (peranan kepolisian) saja, tetapi dalam bidang sosial dan politik, atau

lebih umum lagi berperan banyak diluar bidang pertahanan dan keamanan itu

sendiri33.

(38)

Penonjolan Dwi Fungsi ABRI dalam pemerintahan Soeharto, secara tidak

langsung telah membawa pada sikap eksklusifisme peran ABRI di lingkungan

masyarakat dan politik penyelenggaraan negara34. Implementasi Dwi Fungsi

ABRI seperti yang telah dipaparkan diatas menjadi sebuah faktor pendorong

terjadinya militerisme. Tujuannya ialah untuk memcapai pembangunan dan

menjalankan kekuasaan Negara.

Banyak alasan mengapa militer melibatkan diri dalam percaturan politik

terutama pada masa pemerintahan Soeharto. Contohnya adalah alasan historis,

obsesi pada stabilitas dan kepentingan instusi mereka35. Ada alasan yang bersifat

subyektif dan dapat diperinci lebih lanjut menjadi beberapa unsur, terutama

sejarah perjuangan dan doktrin keamanan. Di Indonesia peruwujudan peran

militer dalam politik telah melewati suatu perjalanan panjang dengan derajat

keterlibatan yang pasang surut. Militer sebagai suatu institusi yang kuat dan

kemudian menguasai srtuktur politik36.

Selama berlangsungnya rezim yang otoriter tidak banyak yang dapat

dilakukan oleh rakyat sipil, karena militer sebagai penguasa yang siap menelan

rakyat sipil ketika mereka melawan terhadap penguasa. Setelah bangsa Indonesia

dipimpin oleh pemimpin dari militer selama 32 tahun, pada akhirnya

menumbuhkan dan menciptakan watak-watak atau jiwa militeristik dalam setiap

ruang gerak sosial masyarakat dan struktur sosial.

34 Ibid ,hal 146

35 Maruto MD&Anwari WMK, Reformasi Politik & Kekuatan Masyarakat, Jakarata : LP3ES,2002,hal.65.

(39)

Telah kita ketahui bersama bahwa ada 3 peran militer pada masa Orde

Baru yang berakibat bagi kehidupan demokrasi. Ketiga peran itu antara lain

adalah :

1. Militer menempati jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubernur, bupati

dll. Dengan banyaknya anggota militer yang menduduki jabatan atau

posisi di parlemen akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat.

2. Militer menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil.

Misalnya pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Hal ini dapat diartikan bahwa sebagai salah satu upaya mengendalikan

kekuatan intelektual (sipil) melalui sebuah lembaga. Tentu saja pengertian

ini sangat bertentangan dengan hakekat cendekiawan yang berpikiran

bebas dan kreatif tetapi diikat dalam suatu wadah yang bersifat ideologis.

3. Militer melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat. Selama ini

militer telah kehilangan kewibawaannya dimata masyarakat yang

disebabkan oleh kejanggalan penanganan pada berbagai kasus.

6.2. Kekuatan politik

6.2.1. Defenisi Kekuatan Politik

Kekuatan politik adalah segala sesuatu yang berperan dan pengaruh

didalam dunia politik. Kekuatan politik dapat juga dikatakan sebagai segala

sesuatu yang terlibat secara aktif dalam kekuatan politik tertentu. Kekuatan politik

terbagi menjadi dua, kekuatan politik yang terorganisir dan yang tidak

(40)

maupun yang berideologi atau persepsi sama kemudian saling mempengaruhi dan

berinteraksi satu sama lain, sehingga menghasilkan suatu keputusan bersama.

Kekuatan politik sangat berperan didalam sistem politik di Indonesia. Ada

banyak kekuatan politik di Indonesia, namun yang benar-benar berpengaruh dan

menonjol hanya beberapa saja. Kekutan-kekutan politik tersebut adalah TNI atau

ABRI, POLRI, Organisasi Kecendekiaan, Lembaga-lembaga Pendidikan,

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Organisasi Penelitian, kekuatan

politik yang tersebar di daerah-daerah, kelompok kemasyarakatan yang berbasis

pada Agama (NU, Muhammadiyah, dll), Buruh dan Pekerja, Mahasiswa,

Partai-partai politik37, dan masih banyak lagi kekuatan-kekuatan politik lainnya di

Indonesia. Kekuatan politik Indonesia dapat berupa institusi maupun individu.

Semua kekuatan politik yang ada harus dapat dikuasai atau dimonopoli

dengan baik seperti apa yang terjadi pada era Orde Baru pimpinan Soeharto.

Setelah 32 tahun lamanya Soeharto menjabat sebagai Presiden RI, rezimnya

akhirnya runtuh karena ia kehilangan kuasa atas hal-hal penting yang menjadi

penopang pemerintahan pimpinannya. Ketika itu kabinet pemerintahan terpecah

belah, DPR menarik dukungannya bahkan sampai memintanya mengundurkan

diri, pengusaha-pengusaha swasta yang menjadi penopang modal menjadi tidak

tertarik dengan usaha-usaha lokal, bahkan semakin banyak yang menanamkan

modal di Luar Negeri, selain itu militer sedang dihadpakan dengan oleh konflik

internal sehingga menjadi terpecah belah. Karena itulah kekuatan-kekuatan politik

tersebut harus benar-benar diperhatikan dalam membentuk pemerintahan, bukan

(41)

berarti harus dimonopoli namun lebih tepat dikatakan harus diselaraskan agar

dapat membangun pemerintahan menuju keutuhan dan keselarasan.

6.2.2 Militer sebagai Kekuatan Politik Indonesia

Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia (ABRI) merupakan salah satu kekuatan politik Indonesia yang terbesar

dan dapat dikatakan sebagai kekuatan yang berpengaruh besar. Pada awalnya

dibentuk dengan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian

bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah lagi

menjadi Tentara Keamanan Indonesia (TKI), kemudian diubah lagi menjadi

Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga pada bulan November 1958 TNI

akhirnya diubah lagi menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

ABRI terbagi lagi dalam Angkat Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan

Udara (AU), dan Kepolisian. Pada dasarnya, meskipun telah melewati perjalanan

panjang dalam pembentukannya dan beberapa kali melakukan perubahan nama,

kekuatan politik ini dari dulu hingga sekarang bergerak dibidang keamanan dan

pertahanan di Indonesia.

Dalam masa Orde Baru dimana kepeminpinan Soeharto, ABRI berperan

cukup sentral dalam kehidupan sosial-politik. Berdasarkan aturan

perundang-undangan yang ada, ABRI bukan hanya diperbolehkan, melainkan juga “bersama

kekuatan sosial-politik” lainnya diharapkan terlibat dalam kehidupan kenegaraan.

Dengan mengacu pada doktrin dwifungsinya, selain kekuatan pertahanan dan

keamanan (Hamkam), ABRI pun merupakan kekuatan sosial-politik. Dalam UU

(42)

Namun lewat UU No.2/1982 mengenai prajurit ABRI, secara tegas disebutkan

ABRI merupakan “kekuatan politik” juga disamping sebagai kekuatan hankam.

Atas dasar legalitas diatas, dalam tiga masa tiga puluh tahun terakhir ini, ABRI

telah menjadi kekuatan penting dalam kepolitikan Orde Baru. Bersumber pada

aspek legal empiric, ABRI baik secara kelembagaan maupun individual terlibat

dalam berbagai kegiatan. Pertama, Salah satu pilar Orde Baru adalah duduknya

ABRI dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Meski bukan partai politik, kehadiran

ABRI dalam lembaga tersebut diwujudkan melalui pembentukan fraksi tersendiri.

Hal ini menurut penidiri Orde Baru, kehadiran militer dalam lembaga legislative

tersebut dimaksudkan untuk menjadi kekuatan penyeimbang dan bahkan

pencegah bagi niat partai politik unutk melakukan tindakan yang mengancam

jalanya pemerintahan. Sebagai kesatuan stabilitas, ABRI akan selalu berusaha

mencegah keinginan politisi sipil yang berkeinginan melakukan perubahan UUD

serta dasar Negara RI. Kedua, Sebagai stabilisator dan dinamisator pula

kehadiran ABRI dalam politik diwujudkan melalui Golongan Karya. Demi

menjamin terselenggaranya demokrasi di satu pihak dan peningkatan efektifitas

pelaksanaan pembangunan dipihak lain, para konseptor politik Orde Baru

berusaha melahirkan sebuah kekuatan politik yang dominan. Dengan demikian,

perimbangan kekuatan antarpartai harus ditiadakan, karena akan mengganggu

proses pengambilan keputusan yang memihak pembangunan. Oleh karena itulah

ABRI harus berperan didalam lembaga legislative, baik dipusat maupun daerah.

Dengan memberi dukungan pada salah satu kekuatan politik dalam hal ini Golkar,

tujuan pembentukan kekuatan mayoritas dalam lembaga perwakilan rakyat akan

(43)

Orde Baru terutama sekali didukung peran ABRI didalamnya. Ketiga, ABRI pun

hadir bukan hanya dilembaga legislative, juga di ekssekutif. Baik yang sudah

purnawirawan maupun ABRI aktif tidak sedikit yang memperoleh jabatan kunci

dipemerintahan pusat maupun daerah. Pada masa lalu bahkan cukup banyak

perwira ABRI yang ditugaskaryakan menjadi duta besar dihampir semua Negara

penting didunia ini. Keempat, Dalam rangka mendukung ABRI dan kesejahtraan

anggotanya presiden Soeharto pun memberikan banyak kesempatan pada keluarga

ABRI untuk aktif berbisnis. Mulai dari pengelolaan hak pengusahaan hutan

sampai pelayanan angkutan udara, banyak yang menggunakan nama ABRI.

Keterlibatan didalam bisnis ini dimaksudkan untuk lebih mengikat ABRI kedalam

struktur politik yang berlaku saat itu. Meski diakui ABRI merupakan alat Negara

dan idelogi perjuangannyapun “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, karena

mendapatkan manfaat ekonomi dari penguasa politik yang ada, secara tidak

langsung ABRI harus mendukung kebijakan politik penguasa. Kelima, Selain

tugas-tugas kekaryaan dan usaha ekonomi seperti diatas ABRI pun aktif dalam

memerankan fungsi modrenisasi didaerah tertinggal, ABRI masuk desa, dan

lain-lain barulah contoh mutahir dari perbantuan tersebut. Disana peran-peran ABRI

sebagai dinamisator diwujudkan dengan bertugas sebagai guru,penyuluh

masyarakat. Yang pasti karena kadar disiplin dan keseragamannya, banyak

anggota dan kesatuan ABRI yang ditempatkan didaerah terpencil unutk

mendorong proses pembangaunan. Karena petimbangan keamanan, hanya anggota

ABRI-lah yang paling mungkin bertugas didaerah rawan keamanan. Oleh karena

itu begitu lengkapnya keterlibatan ABRI dalam masalah-masalah non-militer, ada

(44)

Dwifungsi sebenarnya bukanlah kekaryaan, karena dalamnya kehadiran TNI pada

masalah sosial-politik, perluasan peran tersebut telah ditafsirkan sebagai

peruwujudan yang sesungguhnya dari dwiporsi

Dahulu Jenderal A.H. Nasution mengemukakan gagasan mengenai

partisipasi ABRI dalam pemerintahan untuk ikut membina Negara tanpa ada

niatan untuk memonopoli seluruh kekuasaan. Gagasan ini bertujuan agar ABRI

dapat lebih menyatu dengan rakyat dan selalu siap membantu rakyat, tidak hanya

mengenai soal keamanan dan pertahanan Negara saja tetapi disetiap permasalahan

yang muncul di masyarakat. Gagasan Jenderal A.H. Nasution ini dikenal sebagai

konsep ‘Jalan Tengah’38.

Pada saat ABRI lahir, ditengah-tengah kekuatan sosial dan politik yang

kurang kuat, kekuatan ARBI sangat diperlukan untuk menutupi cela-cela dalam

mengatasi masalah-masalah yang muncul, agar pemerintahan tetap stabil. Pada era

Orde Baru pimpinan Soeharto lahirlah konsep ‘Dwi- Sifat Dwi-fungsi ABRI

bertujuan sebagai institusi formal yang bergerak dibidang pertahanan dan

keamanan serta dibidang sosial-politik Indonesia. Fungsi ABRI ini kemudian

diperkukuh melalui Undang-Undang. Hal ini tercantum dalam UU No. 16 tahun

1969 tentang Susunan dan Keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD serta

dicantumkannya fungsi ABRI asebagai‘alat negara dan kekuatan sosial’, UU No.

20 / 1982, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Negara, khususnya

pasal 26 dan 28. Kemudian perihal mengenai Dwi-fungsi ABRI ini, diperkukuh

kembali melalui landasan konstitusional dengan mencantumkannya dalam UUD

38 Dr.Indira Samego Bila ABRI Mengkehendaki ; Desakan Kuat Reformasi atas Konsep

Gambar

Tabel 1 Prosentase Perimbangan Kekuatan di DPR RI
Tabel 1. Peran Politik Militer pada Masa Pemerintahan Soeharto.

Referensi

Dokumen terkait