Bab III Pembahasan dan Analisis
1.1. Fungsi Pertahanan dan Keamanan
1.1.1 Militer Sebagai Bentuk Kekuasaan Negara
Militer sebagai bentuk kekuatan Negara merupakan bentuk keterlibatan militer dalam hal pertahanan dan keamanan unutk menjaga stabilitas keamanan. Fungsinya juga dapat sebagai alat penguasa melawan musuh Negara, contohnya melalui perang. Militer sebagai bentuk kekuatan Negara, membuktikan bahwa kekuatan Negara terletak pada adanya kekuatan militer di Negara tersebut. Dalam hal ini militer berfungsi sebagai alat yang digunakan oleh penguasa untuk menjaga pertahanan dan keamanan suatu Negara dan juga sebagai bentuk perjuangan politik yang bentuknya dapat berupa peperangan. Tujuan dari adanya peperangan adalah untuk meluaskan wilayah kekuasaan Negara di luar dari wilayah yang dipimpinannya.
Militer sebagai bentuk kekuatan Negara pada masa pemerintahan Soeharto dapat juga dilihat dengan jelas. Sebagai salah satu instansi yang berfungsi untuk menjaga pertahanan dan keamanan Negara, militer pada masa pemerintahan Soeharto mempunyai tugas pokok yang harus diembannya. Salah satunya ialah menjaga stabilitas keamanan Negara dari ancaman G30 September 1965. Ancaman yang bersifat inyternal ini, secara tidak langsung telah membawa militer untuk dapat melakukan perannya secara maksimal.
Gerakan 30 September adalah serangkai ancaman dimana keterlibatan militer sebagai lembaga yang berfungsi untuk menyelamatkan Negara, dibutuhkan untuk pertahanan dan keamanan Negara juga. Selain menjaga keamanan dari ancaman G 30 S, militer juga mempunyai keterlibatan dengan PNI. Hal ini dikarenakan kedekatan PNI terhadap Presiden Soekarno.
Para pengikut PNI diperklirakan mendapat dukungan besar dari mantan PKI yang telah menjadi partai terlarang. Oleh karena itu, bagi kalangan militer terutama TNI AD serta sekutu-sekutunya, menentang keras adanya PNI bahkan meminta pemerintah untuk melarangnya.
Dibentuknya badan keamanan sepeti Kopkamtib yang bertujuan untuk kontiunitas melegitimasikan pembangunan dan Bakostranas yang bertujuan untuk menjaga stabilitas nasional dan memelihara ketertiban suatu keamanan nasional untuk jalannya pembangunan ekonomi merupakan salah satu bukti fungsi militer sebagai kekuatan Negara pada masa pemerintahan Soeharto.
TNI adalah alat Negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tugas pokok menegakkan kedaulatan Negara, keutuhan wilayah NKRI berdasarakan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman serta gangguan atas keutuhan bangsa dan Negara. TNI juga berkewajiban melakukan penyelenggaraan tugas keamanan serta tugas keamanan seperti yang diatur dalam undang-undang juga aktif dalam tugas pemeliharaaan perdamaian dunia dibawah PBB.
1.1.2 Pendekatan Keamanan yang Menonjol.
Untuk mencapai stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, Orde Baru menerjemahkan lebih lanjut lagi pendekatan keamanan dengan memberikan tanggung jawab tersebut kepada ABRI. Tanggung jawab tersebut menjadikan ABRI bertindak “ agresif” terhadap semua yang dianggapnya membahayakan stabilitas, dan stabilitas sendiri dipandang sebagai sesuatu yang statis, padahal dinamika masyarakat menghendaki stabilitas yang dinamis. ABRI merasa paling bertanggung jawab atas semua persoalan bangsa dan Negara, hanya karena mau
mengejar sasaran yang dibebankan oleh pimpinan Orde Baru. Agus Widjojo,182
seorang perwira tinggi militer, menyatakan :
Pendekatan keamanan telah mendorong terbangunnya persepsi diri TNI, yang menempatkan TNI dalam posisi sentral dan menjadi penjuru atas keputusan yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara, baik disebabkan oleh kondisi objektif maupun karena kondisi subjektif format politik masa lalu.
Tindakan ABRI dengan pendekatan keamanan yang berlebihan ini menimbulkan suasanan menakutkan. Pemerintah membatasi kebebasan asasi, seperti kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan menyatakan pendapat dan sebagainya.Selain itu pemerintah juga membentuk badan-badan ekstrakonstitusional, seperti Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), yang diberi wewenang darurat yang sangat luar biasa untuk mengatur langkah-langkah demi menciptakan stabilitas, atau badan Penelitian Khusus (Litsus) di pusat maupun didaerah. Indira Samego
182 Agus Widjojo,”The Role of Military in the Development of Civil State”. Seminar Permias,27 Mei California: t.pt Dalam Dr.Abdoel Fattah,”Demiliterisasi Tentara”. Yogyakarta
menyatakan183 “ Dari segi empiris, pendekatan stabilitas memang melahirkan
sebuah masyarakat yang tertib, namun situasinya otoriter dan represif. Dengan demikian, kemungkinan munculnya partisipasi politik dari masyarakat secara keseluruhan semakin menjauh.”
Dengan kondisi seperti ini masyarakat menjadi putus asa dalam persoalan politik, serta menerima apa saja yang dikatakan oleh penguasa. Kebijakan umum hanya diputuskan oleh sekelompok elite, tidak melibatkan rakyat banyak, namun dalam tahap pelaksanaan kebijakan, rakyat harus taat. Pendekatan keamanan telah menjadi alsana untuk membenarkan kewenangan pemerintah dalam meresepsi masyarakat, sementara dibatasi hak dan kebebasannya. Pemerintah bisa beroperasi secara bebas dengan dukungan militer. Keamanan memang tercipta, demikian juga stabilitas, namun tidak memiliki landasan yang kuat, karena kondisi itu diciptakan dengan paksaan, tekanan, dan penciptaan rasa takut, bukab atas kesadaran dan keilkasan. Karena itu tidak mengherankan jika Romulo R. Simbolon menyatakan184 :
ABRI yang disebut sebagai tualng punggung Negara yang bertugas menciptakan rasa aman masyarakat, dalam banyak kasus justru dianggap sebagai penyebab ketidakmampuan atau dianggap memusuhi rakyat. ABRI kesulitan membedakan apakah dirinya benar-benar nenjalankan fungsinya dalam konteks pertahanan keamanan dan ketertiban ataukah sebenaranya hanya diperalat oleh kelompok tertentu, sebagai tukang pukulnya.
Karena ABRI berperan sangat besar dalam keamanan, maka pendekatan keamanan menepatkan ABRI dalam posisi sentral dan menjadi ujung tombak dalam memutuskan hal-hal menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara.
183 Indira Samego” Politik Massa Mengambang, hal.316 Jakarta Pustaka Cidesindo.1998. Ibid hal.,160.
184 Romulo R Simbolon “Ancaman Disintegrasi Bangsa” Jakarta Pustaka Sinar Harapan.1999.hal,109. ibid.,hal.,161.
Akibatnya, rakyat tidak senang kepada ABRI, sementara ABRI menyimpang dari jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional yang propesiaonal.