• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Rezim Orde Baru

3.2 Periode 1970-1997

3.2.3 Militer sebagai Kekuatan Politik yang Dominanan

Peran militer dalam panggung politik Indonesia mempunyai sejarah yang panjang. Sejak awal, militer bukanlah institusi yang pasif. Militer menyediakan tangga alternatif untuk meraih sukses hingga periode pertama 1957 sampai 1958 bagi orang-orang yang mula-mula tidak memberi pada mereka tempat diantara elit sosial politik dalam republik yang baru.

102 Ibid.,hal 157.

Menurut Crouch, militer Indonesia mendapatkan orientasi politik dan kepentingan-kepentingan politiknya tatkala revolusi melawan Belanda. Dan masa revolusi tahun 1945-1949, militer terlibat dalam perjuangan kemerdekaan pada saat mana tindakan politik dan militer saling menjalin dan tidak terpisahkan.104

Namun, acapkali peran militer dimaknai sebagai tindakan “ damai “ yang dipicu oleh kegagalan politisi sipil dalam menata politik nasional. Padahal setelah prolamasi kemerdekaan, militer berupaya membentuk dirinya sebagai organisasi

yang solid.105 Dominasi militer dalam politik Indonesia di perkukuh sejak

Soeharto mengambil alih kekuasaan pada tahun 1966 dan menjadi Presiden pada tahun 1968. Selama periode awal Orde Baru, Soeharto banyak menempatkan peranan-paranan militer di dalam kabinetnya juga dalam institusi politik serta ekonomi yang strategis. Posisi-posisi kunci dalam kabinet sepanjang kekuasaannya, seperti Menteri Seketaris Negara, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan Keamanan senantiasa dipegang oleh para perwira Militer.106

Domionasi militer ini terus dipertahankan rezim Orde Baru melalui resepsi dan kontrol politik yang ketat. Dominasi militer dalam politik akan sulit dipertahankan tanpa di topang basis ekonomi yang kuat. Dimana basis ekonomi di

104 Budi Irawanto : Flim Ideology, dan Militer;Hegomoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta :Media Pressindo, 1999 hal.42

105 Di Negara modern lazimnya organisasi militer dibentuk oleh pemerintah untuk memberi keunutngan dan keunggulan bagi organisasi politik sipil. Di Indonesia, karna berbagai situasi politik pada 1945, menurut Muhaimin, pemerintah hanya dapat dikatakan melegalisasi atau mengesahkan organisasi angkatan perangnya saja. Angkatan perang Indonesia pada garis besarnya membentuk dirinya sendiri. Mengatur dirinya sendiri dengan semacamnya yang kesemuanya justru dilakukan semampunya dan serba apa adanya. Kelahiran militer yang khas ini, telah memperkuat kenyainan sejak awal bahwa ia bukan hanya sebagai “alat mati” pemerintah, tetapi terlibat aktif dengan persoalan-persoalan diluar militer. Sedangkan menurut Salim Said relasi sipil militer yang terbentuk dipengaruhi oleh keterlibatan militer dalam politik sejak kelahirannya dan lemahnya institusi sipil. Bagi Said, karateristik yang unik dari angkatan bersenjta Indonesia adalah : ia membentuk dirinya sendiri. Artinya, ia dibentuk bukan oleh pemerintah atau partai politik bahkan ia mengorganisir dirinya dari kekacauaan tentara yang dilatih Jepang setelah penyerangan Jepang dan proklamasi kemerdekaan, ketika pemerintah enggan menganggkat tentara.

bangun melalui strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan yang tinggi. Naiknya harga minyak (Oil Boom) pada decade 1970-an memberi keunutngan yang besar pada elit militer dan sekutu bisnisnya.107

Dalam bahasa yang lain, Richard tanter menyatakan orde Baru dibawah Presiden Soeharto telah menghasilkan 3 proses politik yang terpisah, secara bersama-sama menhasilkan pola-pola yang distingktif dan terlembaga dari control terhadap mastarakat Indonesia. Militerisasi, pengawasan politik domestik yang komprehensif dan temporer tetapi dengan terror yang konstan dari Negara.108 Satu

rumusan ideologis penting lainnya yang menegaskan totalitas organik Negara ialah gagasan mengenai wawasan nusantara – kesatuan kepulauan dari Negara Indonesia. Sistem Negara Orde Baru telah melembagakan suatu proses kompleks negoisasi antara tiga arus utama, yaitu, Totalitariannisme Politik,

Kontitusionalisme-Cum Legalisme dan Kemajemukan Budaya.109

Selama lebih dari dua dekade, istilah “ pembangunan” telah menjadi doktirn tetap untuk untuk melegitimasi keberadaan Orde Baru. Seperti telah dikemukan, pemerintahan Orde Baru telah menampilkan militer sebagai pelaku utama dalam pentas perpolitikan di Indonesia, peran militer dalam bidang ekonomi sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Demokrasi Liberal, yaitu sejak lahirnya konsep Dwifungsi ABRI.110

Tampilnya ABRI dalam tugas pembinaan wilayah (masyarakat) dimaksudkan agar roda pemerintahan dan fungsi-fungsi masyarakat berjalan dengan wajar dan baik untuk itulah ABRI melakukan kegiatan-kegiatan non-

107 Ibid.,hal 45.

108 Ibid.,hal 56.

109 Ibid.,hal 56.

110 Arief Budiman, Negara, Kelas,dan Formasi Sosial,(wawancara) dalam majalh keadilan, Fakultas hokum UII. Yogyakarta no 1 Thun XII,1985, hal 39.

tempur yang disebu8t kekaryaan dalam arti luas yang kemudian diperinci sebagai penugasan dibidang-bidang sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya. Bagi nasution yang penting dalam konsep ini sebenarnya bukanlah fungsi non tempurnya, melainkan identitas TNI yang tidak saja mampu mengadikan dirinya dibidang kemiliteran, tetapi bila sewaktu-waktu diperlukan berkesanggupan serta berkemampuan untuk menyumbangkan tenaganya dibidang-bidang kemasyarakatan lainnya agar kehidupan masyarakat tetap terbina dengan baik.111

Berkenaan dengan hal itu Nasution menulis :

“Sebenarnya saya menyesal atas istilah “Dwifungsi “ , yang mula-mula saya pakai dalam rapat polisi di porang, karna bukan fungsinya yang penting tetapi adalah kesanggupannya selaku kekuatan rakyat/tentara pejuang yang idiil serta strukturil berakar dalam rakyat sebagai landasan, selaku kekuatan militer, dan sebagai landasan unutk kesanggupan tugas- tugas non-militer, jika diperlukan.”112

Seperti dikemukakan Arief Budiman, konsep Dwifungsi ini pada kenyataanya telah membukakan pintu bagi ABRI untuk masuk dalam kegiatan ekonomi dan politik. Golongan militer kemudian menjadi pengelolah dari berbagai perusahaan ketika terjadi nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan Belanda dan Amerika pada saat berlangsungnya konfrontasi dengan Malaysia.113

Kecendrungan masuknya militer dalam bidang politik semakin kuat setelah pada tahun-tahun berikutnya mereka harus mengatasi baik ancaman dari luar (Belanda) maupun krisis politik dari dalam yaitu peritiwa penculikan politik 3 Juli 1946 dan

pemberontakan PKI di madiun Tahun 1948.114

111 Rezlan Izhar Jenie, Pemikiran Jendral A.H.Nasution tentang peranan militer dalam politik

di Indonesia, Skripsi FIS UI,1981,hal 72-73.

112 Ibid.,hal 73.

113 Moh,Mahmud, Demoikrasi dan Konstitusidi Indonesia, Jakarta:PT Rineka Cipta, 2000.hal 67.

Meskipun demikian turut sertanya militer secara terbuka dalam lapangan poliik baru dimulai pada tahun 1952 ketika terjadi peristiwa 17 Oktober yang terkenal: pada tanggal 17 Oktober 1952 itu militer secara sangat terbuka

melakukan konfrontasi dengan parlemen,115 dengan mendesak kepala Negara

untuk membubarkan DPRS. Menurut Yahya A. Muhaimin peristiwa 17 Oktober yang kiranya disebut “politico-military Simptom” itu meletus karena kepemimpinan sipil dianggap selfish, tidak bertanggung jawab, tidak efektif, penuh korupsi, dan tidak berhasil memerintah Negara yang baru merdeka ini diamana para perwira militer merasa memegang andil terbesar dalam mencapai

dan menegakkan kemerdekaan antara 1945-1950.116

Sejak tahun 1952 militer di Indonesia tampil dipentas politik dengan selalu bergulat sengit melawan kekuatan sipil (terutama melawan PKI yang mendapat perlindungan Soekarno) maka pada tahun 1966, pada saat lahirnya Orde Baru menjadi puncak dan akhirnya pegulatan itu dengan kemenangan militer. Dimana kemenangan itu di peroleh pada tanggal 11 maret 1966 tatkala militer berhasil meraih kekuasaan dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto.117

Pada umumnya diakui bahwa keluarnya Supersemar merupakan peristiwa besar yang telah mengantar tampilnya militer di Indonesia pada kekuasaan bidang eksekutif. Dan pada saat tampil sebagai pemegang kekuasaan politik di tahun 1966 militer sudah mengusai perusahaan-perusahaan Negara. Dan karena itu

115 Daniel Dhakedae,” Pemilihan Umum di Indonesia, saksi pasang Naik dan surut partai

politik’, Dalam Demokrasi dan proses politik.,hal.180-181.

116 Yahya Muhaimin,Op.Cit.,hal 11-12

pulalh militer lama-kelamaan meletakkan dirinya di atas semua kelas yang ada, sehingga tidak ada satu kekuasaan pun yang bisa menghalanginya.

Rezim Orde Baru juga membangun opini masyarakat tentang sejarah ABRI, seakan-akan pada masa lalu ABRI, khususnya pihak TNI (militer) sudah ikut menentukan nasib Negara secara politik. Katanya, tanpa campur tangan pihak militer dalam politi, maka posisi Soekarno-Hatta lemah dimata Barat, khususnya penjajah Belanda. Tentu saja hal tersebut benar, tetapi tidak berarti militer harus ikut campur langsung dalam politik penyelenggara Negara. Disinilah Soeharto membangun system pemerintahan yang militeristis dengan mengikut sertakan ABRI dalam politik penyelenggaraan Negara (Konsep Dwifungsi).118

Di bawah Soeharto dwifungsi ABRI dalam jaman Orde Baru membawa kekuasaan ABRI yang lebih besar dari kesempatan terjadinya peristiwa 1965 itu. Meskipun begitu, konsep dwifungsi ABRI tidak bisa dilepaskan dari masa Soekarno sendiri, yaitu melalui konsep “ Jalan Tengah ABRI “ yang disodorkan oleh Nasution. Dalam konsep itu Jenderal Nasution menjelaskan :

“……bukan sekedar ‘alat sipil ‘seperti di negara-negara barat, juga bukan sebuah ‘ rezim militer ‘ yang mendominasi kekuasaan Negara, melainkan menjadi salah satu dari banyak kekuatan dalam masyarakat…..”119

Peran di luar ke-ABRI-an tersebut di perkuat melalui doktrin Tri Ubaya Cakh (seminar TNI-ADI, April 1965) yang untuk pertama kalinya menegaskan secara eksplisit tentang dwifungsi ABRI, yaitu:

“…..kedudukan TNI-ADI sebagai golongan karya ABRI merupakan suatu kekuatan politik dan kekuatan militer, adalah bagian dari kekuatan progresif revolusioner yang menetapkan sekaligus perannya sebagai alat revolusi, alat demokarasi, serta sebagai alat kekuasaan negara, ikut mengambil bagian dalam menentukan dan melaksanakan haluan negara…..”

Keikutsertaan ABRI dalam bidang politik, secara langsung juga memberi kesempatan kepada institusi dan para anggota ABRI untuk lebih besar dalm “mengatur” konflik yang terjadi di antara kekuatan-kekuatan politik yang ada. Peran tersebut menjadikan ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator Orde Baru, konflik politik hanya bisa “ diatasi “ melalui konsep “ mayoritas tunggal “, yaitu dengan menjadikan Golkar sekaligus wadah politik ABRI (dan pegawai negeri sipil) untuk bisa selalu menang dalam pemilu, serta dengan mendudukan ABRI bersama Golkar mengusai kusi DPR/MPR.120