• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Rumusan Masalah

6.2. Kekuatan Politik

6.2.2. Militer sebagai Kekuatan Politik

Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan salah satu kekuatan politik Indonesia yang terbesar dan dapat dikatakan sebagai kekuatan yang berpengaruh besar. Pada awalnya dibentuk dengan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah lagi menjadi Tentara Keamanan Indonesia (TKI), kemudian diubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga pada bulan November 1958 TNI akhirnya diubah lagi menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI terbagi lagi dalam Angkat Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Kepolisian. Pada dasarnya, meskipun telah melewati perjalanan panjang dalam pembentukannya dan beberapa kali melakukan perubahan nama, kekuatan politik ini dari dulu hingga sekarang bergerak dibidang keamanan dan pertahanan di Indonesia.

Dalam masa Orde Baru dimana kepeminpinan Soeharto, ABRI berperan cukup sentral dalam kehidupan sosial-politik. Berdasarkan aturan perundang- undangan yang ada, ABRI bukan hanya diperbolehkan, melainkan juga “bersama kekuatan sosial-politik” lainnya diharapkan terlibat dalam kehidupan kenegaraan. Dengan mengacu pada doktrin dwifungsinya, selain kekuatan pertahanan dan keamanan (Hamkam), ABRI pun merupakan kekuatan sosial-politik. Dalam UU No.20/1982 tentang Hankam, ABRI baru dinyatakan sebagai “kekuatan sosial”.

Namun lewat UU No.2/1982 mengenai prajurit ABRI, secara tegas disebutkan ABRI merupakan “kekuatan politik” juga disamping sebagai kekuatan hankam. Atas dasar legalitas diatas, dalam tiga masa tiga puluh tahun terakhir ini, ABRI telah menjadi kekuatan penting dalam kepolitikan Orde Baru. Bersumber pada aspek legal empiric, ABRI baik secara kelembagaan maupun individual terlibat dalam berbagai kegiatan. Pertama, Salah satu pilar Orde Baru adalah duduknya ABRI dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Meski bukan partai politik, kehadiran ABRI dalam lembaga tersebut diwujudkan melalui pembentukan fraksi tersendiri. Hal ini menurut penidiri Orde Baru, kehadiran militer dalam lembaga legislative tersebut dimaksudkan untuk menjadi kekuatan penyeimbang dan bahkan pencegah bagi niat partai politik unutk melakukan tindakan yang mengancam jalanya pemerintahan. Sebagai kesatuan stabilitas, ABRI akan selalu berusaha mencegah keinginan politisi sipil yang berkeinginan melakukan perubahan UUD serta dasar Negara RI. Kedua, Sebagai stabilisator dan dinamisator pula kehadiran ABRI dalam politik diwujudkan melalui Golongan Karya. Demi menjamin terselenggaranya demokrasi di satu pihak dan peningkatan efektifitas pelaksanaan pembangunan dipihak lain, para konseptor politik Orde Baru berusaha melahirkan sebuah kekuatan politik yang dominan. Dengan demikian, perimbangan kekuatan antarpartai harus ditiadakan, karena akan mengganggu proses pengambilan keputusan yang memihak pembangunan. Oleh karena itulah ABRI harus berperan didalam lembaga legislative, baik dipusat maupun daerah. Dengan memberi dukungan pada salah satu kekuatan politik dalam hal ini Golkar, tujuan pembentukan kekuatan mayoritas dalam lembaga perwakilan rakyat akan tercapai. Rasanya semua paham bahwa kemenangan Golkar dalam enam pemilu

Orde Baru terutama sekali didukung peran ABRI didalamnya. Ketiga, ABRI pun hadir bukan hanya dilembaga legislative, juga di ekssekutif. Baik yang sudah purnawirawan maupun ABRI aktif tidak sedikit yang memperoleh jabatan kunci dipemerintahan pusat maupun daerah. Pada masa lalu bahkan cukup banyak perwira ABRI yang ditugaskaryakan menjadi duta besar dihampir semua Negara penting didunia ini. Keempat, Dalam rangka mendukung ABRI dan kesejahtraan anggotanya presiden Soeharto pun memberikan banyak kesempatan pada keluarga ABRI untuk aktif berbisnis. Mulai dari pengelolaan hak pengusahaan hutan sampai pelayanan angkutan udara, banyak yang menggunakan nama ABRI. Keterlibatan didalam bisnis ini dimaksudkan untuk lebih mengikat ABRI kedalam struktur politik yang berlaku saat itu. Meski diakui ABRI merupakan alat Negara dan idelogi perjuangannyapun “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, karena mendapatkan manfaat ekonomi dari penguasa politik yang ada, secara tidak langsung ABRI harus mendukung kebijakan politik penguasa. Kelima, Selain tugas-tugas kekaryaan dan usaha ekonomi seperti diatas ABRI pun aktif dalam memerankan fungsi modrenisasi didaerah tertinggal, ABRI masuk desa, dan lain- lain barulah contoh mutahir dari perbantuan tersebut. Disana peran-peran ABRI sebagai dinamisator diwujudkan dengan bertugas sebagai guru,penyuluh masyarakat. Yang pasti karena kadar disiplin dan keseragamannya, banyak anggota dan kesatuan ABRI yang ditempatkan didaerah terpencil unutk mendorong proses pembangaunan. Karena petimbangan keamanan, hanya anggota ABRI-lah yang paling mungkin bertugas didaerah rawan keamanan. Oleh karena itu begitu lengkapnya keterlibatan ABRI dalam masalah-masalah non-militer, ada kecurigaan bahwa ABRI telah menguasai lahan kelompok lain. Meski pengertian

Dwifungsi sebenarnya bukanlah kekaryaan, karena dalamnya kehadiran TNI pada masalah sosial-politik, perluasan peran tersebut telah ditafsirkan sebagai peruwujudan yang sesungguhnya dari dwiporsi

Dahulu Jenderal A.H. Nasution mengemukakan gagasan mengenai partisipasi ABRI dalam pemerintahan untuk ikut membina Negara tanpa ada niatan untuk memonopoli seluruh kekuasaan. Gagasan ini bertujuan agar ABRI dapat lebih menyatu dengan rakyat dan selalu siap membantu rakyat, tidak hanya mengenai soal keamanan dan pertahanan Negara saja tetapi disetiap permasalahan yang muncul di masyarakat. Gagasan Jenderal A.H. Nasution ini dikenal sebagai konsep ‘Jalan Tengah’38.

Pada saat ABRI lahir, ditengah-tengah kekuatan sosial dan politik yang kurang kuat, kekuatan ARBI sangat diperlukan untuk menutupi cela-cela dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul, agar pemerintahan tetap stabil. Pada era Orde Baru pimpinan Soeharto lahirlah konsep ‘Dwi- Sifat Dwi-fungsi ABRI bertujuan sebagai institusi formal yang bergerak dibidang pertahanan dan keamanan serta dibidang sosial-politik Indonesia. Fungsi ABRI ini kemudian diperkukuh melalui Undang-Undang. Hal ini tercantum dalam UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD serta dicantumkannya fungsi ABRI asebagai‘alat negara dan kekuatan sosial’, UU No. 20 / 1982, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Negara, khususnya pasal 26 dan 28. Kemudian perihal mengenai Dwi-fungsi ABRI ini, diperkukuh kembali melalui landasan konstitusional dengan mencantumkannya dalam UUD

38 Dr.Indira Samego Bila ABRI Mengkehendaki ; Desakan Kuat Reformasi atas Konsep

1945. Tercantum dalam pasal 2 ayat (1) mengenai keanggotaan MPR, pasal 21 mengenai hak DPR mengajukan rancangan Undang-Undang, dan pasal 30

mengenai hak dan kewajiban warga Negara dalam usaha membela Negara39

kemudian Tap MPRS No. II / 1960 semakin menambah leluasa ruang gerak ABRI. Sebagai kelanjutan UU tersebut, dikeluarkan pula UU No. 2 tahun 1988 tentang prajurit ABRI. Dalam UU yang sama, pasal 6, disebutkan secara jelas bahwa ABRI mempunyai peran Dwi-fungsi, yaitu sebagai kekuatan pertahanan- keamanan dan sosial-politik.

Sebagai institusi militer, tidak dapat diingkari bahwa ABRI memegang posisi yang sangat berpengaruh pada zaman Orde Baru. Hal ini dikarenakan, pemerintah mendukung sifat dwi-fungsi ABRI sehingga ABRI bisa lebih leluasa bergerak tidak hanya dibidang hankam tapi juga bidang sosial-politik terutama setelah diperkukuh melalui berbagai Undang-Undang. Peran ABRI dalam bidang hankam tidak perlu dipertanyakan lagi, dapat dilihat dari sejarah dimana ABRI menjadi salah satu faktor pendukunga yang kuat ketika Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya sejak dahulu. Ketika itu namanya memang belum menjadi ABRI, namun tetap merupakan institusi yang sama. Fakta lain bahwa ABRI menjalankan fungsi bidang hankam adalah ketika pemberontakan PKI dan gerakan-gerakan separatis lainnya di daerah-daerah menjadi reda. ABRI juga membantu Indonesia memperkukuh posisinya di dunia Internasional dengan pengiriman Pasukan Garuda ke barbagai negara untuk membantu menyelesaikan konflik-konflik di negara-negara tersebut.

Pada masa Orde Baru, kekuatan ABRI diberbagai bidang dapat dikatakan dominan, bahkan sampai berperan menjadi co-ruler. Undang-undang mengenai dwi-fungsi ABRI memudahkan para anggotanya untuk lebih leluasa bergerak dalam kehidupan sosial-politik baik dalam pemerintahan atau secara formal, maupun di luar pemerintahan atau secara informal. Selain jumlah anggota ABRI yang bergerak dibidang sosial-politik tergolong banyak, efek atau pengaruh yang dihasilkan juga besar bagi pemerintahan dan masyarakat Indonesia. Besar pengaruhnya dapat dilihat dari kemajuan yang dihasilkan dalam pembangunan. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa ABRI ketika itu telah menguasai seluruh aspek-aspek yang ada, baik yang formal maupun informal.

Setelah semuanya berjalan cukup lama, kelamaan sifat Dwi-fungsi ABRI ini menjadi suatu doktrin yang menyebar menjadi sifat multi-fungsiABRI. Semakin lama kegiatan ABRI sebagai institusi militer formal, maupun aktivitas para anggotanya dalam berbagai aspek menjadi semakin meluas. Karena dapat bertindak secara leluasa, apalagi dengan pengukuhuan mengenai sifat Dwi-fungsi dalam Undang-Undang, mulai terlihat tindakan-tindakan penyelewengan terutama dari sisi Birokrasi kepemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya divisi- divisi dalam pemerintahan yang dikuasai ABRI mulai dari yang terendah hingga yang teratas. Selain dari sisi politik, dari sisi militer pun ABRI mulai terlihat semena-mena, padahal tujuan utama yang ingin dipenuhi dengan dibentuknya ABRI itu sendiri adalah untuk menjaga keamanan dan pertahanan Negara. namun yang dirasakan masyrakat justru tindak kekerasan terhadap segala bentuk protes atau demonstrasi yang dilakukan berbagai kalangan, selain itu ABRI sering kali menyelesaikan berbagai konflik dengan kekerasan tanpa melakukan pendekatan

yang lebih halus terlebih dahulu. Kelamaan masyarakat yang menerima perlakuan seperti itu melihat ABRI hanya sebagai alat kekerasan dan kekuasaan, karena ABRI menghalalkan segala cara agar dapat mempertahankan kekuasaannya. ABRI jadi terlihat sebagai rekan penguasa dibanding institusi militer yang bertujuan untuk menjaga keamanan dan pertahanan Negara.

Meskipun demikian, hal ini bukan sepenuhnya menjadi kesalahan ABRI Pemerintah Orde Baru juga telah banyak membuat ABRI berada di posisi terpojok antara menjalankan kewajiban - atau lebih tepatnya membela majikannya - dibanding berdiri sebagai stabilisator atau pun sebagai dinamisator bagi masyarakat.ABRI, seperti kita ketahui, selama 32 tahun ini telah menjadi alat untuk mempertahankan status quo pemerintahan Soeharto lewat cara militernya.

Hal ini lama-kelamaan menjadi sorotan yang cukup tajam di Indonesia.

Konflik ABRI, peran dan kekaryaannya yang diimplementasikan lewat doktrin Dwi-fungsinya telah membawa pro dan kontra di kalangan masyarakat politik, bahkan masyarakat awam sekalipun, yang kemudian mengakibatkan banyaknya demo yang bermaksud untuk menumbangkan peran Dwifungsi ABRI.