• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Umum Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Karakteristik Umum Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK UMUM

PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK EKSASERBASI AKUT DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2009

Oleh: CANDLY 070100140

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KARAKTERISTIK UMUM

PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK EKSASERBASI AKUT DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2009

KARYA TULIS ILMIAH

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh: CANDLY 070100140

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Karakteristik Umum Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

Nama : CANDLY NIM : 070100140

Pembimbing Penguji I

(dr. Amira Permatasari Tarigan, Sp.P) (dr. Yahwardiah Siregar, PhD) NIP : 19691107 1999903 2 002 NIP : 131 459 296

Penguji II

(dr. Evo Elidar Harahap, Sp.Rad) NIP : 19630927 199010 2 002

Medan, 29 November 2010 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(4)

ABSTRAK

Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia. Data Badan Kesehatan Dunia melaporkan bahwa pada tahun 2002 PPOK menempati urutan kelima sebagai penyebab utama kematian di dunia dan diperkirakan pada tahun 2030 akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia. Proporsi pasien bronkitis, emfisema, dan PPOK di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 adalah sebesar 19,82% dari seluruh pasien yang dirawat inap di bagian paru.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain retrospektif yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik umum pasien PPOK eksaserbasi akut yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009. Populasi dan sampel penelitian adalah data pasien PPOK eksaserbasi akut yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 sebanyak 88 data (total sampling).

Proporsi tertinggi pasien PPOK eksaserbasi akut yaitu pada usia lebih dari 60 tahun dengan proporsi laki-laki 50,0% dan perempuan 10,2%, dengan sex ratio 4:1, suku batak 61,4%, agama kristen protestan 55,0%, tingkat pendidikan tamat SLTA 40,0%, pekerjaan petani 31,8%, berstatus kawin 99,0%, bukan biaya sendiri 84,1%, riwayat merokok 77,0%, derajat indeks Brinkman sedang 37,5%, gejala sesak napas 98,9%, derajat keparahan penyakit sangat berat 56,5%, tipe eksaserbasi III 43,0%, jenis pengobatan antibiotik 93,2%. Rerata lama rawatan pasien adalah 7,4 hari.

Kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan agar menjaga kelengkapan data rekam medis karena pada penelitian ini banyak terdapat data pemeriksaan spirometri yang hilang maupun dibawa pulang oleh pihak pasien.

(5)

ABSTRACT

Chronic obstructive pulmonary disease is the leading cause of morbidity and mortality in the world. World Health Organization reported that in 2002 COPD was the fifth leading causes of death worldwide and it had been estimated in 2030 would be the third. The proportion of patients hospitalized with bronchitis, emphysema, and COPD are 19.82% of all hospitalized patient in pulmonary department of RSUP H. Adam Malik Medan in 2009.

This study was descriptive retrospective design to identify the characteristics of patients with acute exacerbation of COPD who were hospitalized in RSUP H. Adam Malik Medan in 2009. The population and sample were 88 data of patients who had been hospitalized in RSUP H. Adam Malik Medan in 2009 (total sampling).

The highest proportion of the patient with acute exacerbation of COPD was at age older than 60 years old that counts for male 50.0% and female 10.2%, with sex ratio 4:1, ethnic Batak 61.4%, protestant christianity 55.0%, senior high school 40.0%, farmer 31.8%, marital status 99.0%, cost with insurance 84.1%, smoking history 77.0%, moderate Brinkman index 37.5%, asphyxia 98.9%, very severe grade of COPD 56.5%, type III exacerbation 43.0%, therapy by antibiotic 93.2%. The average of length of stay was 7.4 days

For RSUP H. Adam Malik Medan might be improve in maintaining the completeness of medical records because in this research there were data of spirometri that either loss or was taken home by the patients.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sebagai sarjana kedokteran program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Karya tulis ilmiah ini berjudul Karakteristik Umum Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Dalam penyelesaian penulisian karya tulis ilmiah ini, penulis telah menerima banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu dr. Amira Permatasari Tarigan, Sp.P selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada penulis, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Bapak dr. Almaycano Ginting, M.Kes selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa pendidikan. 5. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan

serta sarana untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

6. Seluruh pegawai dan staf bagian rekam medis RSUP H. Adam Malik yang telah membantu dalam pengumpulan data karya tulis ilmiah ini.

(7)

8. Terima kasih ditujukan kepada saudara-saudara penulis, kedua abang yang selalu memberikan dukungan, doa, kasih sayang dan keceriaan dalam hidupku. 9. Terima kasih kepada seluruh teman-teman stambuk 2007 atas dukungan dan

bantuannya.

Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materil yang diberikan kepada penulis selama ini, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga tuhan membalas dengan pahala yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan segala saran dan kritik yang sifatnya membangun untuk penyempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

Medan, November 2010 Penulis

Candly 070100140

(8)

DAFTAR ISI

2.7. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut... 13

(9)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL.... 17

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 17

3.2. Definisi Operasional... 18

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 23

4.1. Rancangan Penelitian ... 23

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

4.2.1. Lokasi Penelitian ... 23

4.2.2. Waktu Penelitian ... 23

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 23

4.3.1. Populasi Penelitian ... 23

5.1.2. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Waktu ... 25

5.1.3. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Sosiodemografi ... 26

5.1.4. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Sumber Pembiayaan ... 28

5.1.5. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Status Merokok ... 29

5.1.6. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Gejala Klinis ... 30

5.1.7. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Derajat Keparahan Penyakit ... 30

5.1.8. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Tipe Eksaserbasi ... 31

5.1.9. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Jenis Pengobatan ... 31

5.1.10. Rerata Lama Rawatan Pasien PPOK Eksaserbasi Akut ... 32

5.1.11. Jenis Kelamin berdasarkan Riwayat Merokok ... 32

(10)

5.1.13. Rerata Lama Rawatan berdasarkan Sumber

Pembiayaan ... 33

5.1.14. Rerata Lama Rawatan berdasarkan Tipe Eksaserbasi ... 34

5.2 Pembahasan ... 34

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

6.1. Kesimpulan ... 39

6.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41 LAMPIRAN

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)………

10

Tabel2.2 Klasifikasi PPOK Berdasarkan Gejala Klinis dan Pemeriksaan Spirometri……….

11

Tabel 2.3 Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik…………...

12

Tabel 5.1 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Bulan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009………...

25

Tabel 5.2 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin …...……….

26

Tabel 5.3 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Sosiodemografi……….

27

Tabel 5.4 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Sumber Pembiayaan..………

28

Tabel 5.5 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Status Merokok ………

29

Tabel 5.6 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Derajat Indeks Brinkman ……….

29

Tabel 5.7 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Gejala Klinis ………

30

Tabel 5.8 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Derajat Keparahan Penyakit …..………..

30

Tabel 5.9 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Tipe Eksaserbasi ..………

(12)

Tabel 5.10 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Jenis Pengobatan .………

31

Tabel 5.11 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Riwayat Merokok ..………..

32

Tabel5.12 Distribusi Proporsi Riwayat Merokok Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Tingkat Pendidikan……...

33

Tabel5.13 Rerata Lama Rawatan Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Sumber Pembiayaan ………

33

Tabel5.14 Rerata Lama Rawatan Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Tipe Eksaserbasi ...………

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Judul Halaman

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut ………

(14)

DAFTAR SINGKATAN

APE Arus Puncak Ekspirasi Askes Asuransi Kesehatan

CO2 Carbon Dioxide

COV coeficient of variation

D.I. Daerah Istimewa

Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Dkk dan kawan-kawan

Dr Dokter

EKG Elektrokardiografi

FEV1 Forced Expiratory Volume in one second

FVC Forced Vital Capacity

GOLD Global initiative for chronic Obstructive Lung Disease

ICU Intensive care unit

Jamkesmas Jaminan Kesehatan Masyarakat KVP kapasitas vital paksa

Menkes Menteri Kesehatan

PaCO2 partial pressure carbon dioxide

PaO2 partial pressure oxygen

PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

PL Penyehatan Lingkungan

PNS Pegawai Negeri Sipil

(15)

SD Sekolah Dasar

SD Standar Deviasi

SK Surat Keputusan

SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga SLTA Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SLTP Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SPSS Statistical Product and Service Solutions

Susenas Survei Sosial Ekonomi Nasional TNI Tentara Nasional Indonesia

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Riwayat Hidup Lampiran 2 Ethical clearance

Lampiran 3 Surat Izin Penelitian Lampiran 4 Master Data

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2002 PPOK menempati urutan kelima sebagai penyebab utama kematian di dunia dan diperkirakan pada tahun 2030 akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia. Menurut perkiraan WHO, terdapat 80 juta orang menderita PPOK derajat sedang-berat. Lebih dari 3 juta meninggal karena PPOK pada tahun 2005, sekitar 5% dari jumlah semua kematian secara global.

Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat kematian kelima di Indonesia. Prevalensi bronkitis kronik dan PPOK berdasarkan SKRT tahun 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Menurut SKRT tahun 2001, penyakit saluran napas menduduki peringkat ketiga penyebab kematian utama di Indonesia setelah sistem sirkulasi, infeksi, dan parasit. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 Rumah Sakit Propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).

(18)

dan bertambahnya gejala sesak napas (Setiyanto, 2008). Eksaserbasi pada pasien PPOK harus dapat dicegah dan ditangani secara maksimal karena dapat menurunkan fungsi paru dan kualitas hidup pasien.

Nishimura dkk. (2009) meneliti efek eksaserbasi pada status kesehatan pasien PPOK. Status kesehatan diukur dengan Chronic Respiratory Disease Questionnaire (CRQ) dan St. George's Respiratory Questionnaire (SGRQ). Eksaserbasi akut akan menurunkan status kesehatan pasien PPOK. Untuk memperkecil timbulnya gangguan status kesehatan maka pasien PPOK harus mencegah eksaserbasi ulangan dan mengurangi frekuensi eksaserbasi. Llor dkk. (2008) juga mendapatkan hasil bahwa eksaserbasi pada pasien PPOK akan mempengaruhi kualitas hidup dalam 2 tahun ke depan. Pengukuran kualitas hidup juga menggunakan St. George's Respiratory

Questionnaire (SGRQ).

Walaupun pasien PPOK banyak yang berobat jalan dan masih dapat beraktivitas, namun terdapat kecenderungan pasien akan mengalami eksaserbasi ulangan. Hal ini tergantung dari derajat penyakit dan faktor-faktor risiko eksaserbasi. Almagro dkk. (2006) meneliti faktor-faktor risiko dalam eksaserbasi sehingga menyebabkan pasien PPOK dirawat inap kembali dalam jangka waktu 1 tahun. Prediktor terbaik yang ditemukan adalah kombinasi kualitas hidup yang diukur dengan St. George's

Respiratory Questionnaire, adanya riwayat pasien PPOK dirawat inap pada tahun

(19)

Angka mortalitas yang tinggi pada PPOK eksaserbasi akut merupakan masalah yang sedang dihadapi di berbagai Negara, termasuk Indonesia. Kebanyakan pasien PPOK mempunyai prognosis yang buruk karena menurunnya fungsi fisiologis tubuh. Groenewegen dkk. (2003) menjelaskan bahwa pasien yang dirawat inap karena PPOK eksaserbasi akut mempunyai prognosis yang jelek. Faktor-faktor yang diidentifikasi berhubungan dengan tingginya angka mortalitas adalah pemakaian kortikosteroid oral jangka panjang, PaCO2 yang tinggi, dan usia pasien yang tua. Akhir-akhir ini penyakit ini semakin menarik dibicarakan karena prevalensi dan angka mortalitasnya yang terus meningkat (Riyanto, 2006). Karakteristik umum PPOK eksaserbasi akut penting untuk diketahui dalam hal pertimbangan diagnosis, pengobatan, prognosis, dan kualitas hidup pasien.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien PPOK eksaserbasi akut di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran karakteristik umum pasien PPOK eksaserbasi akut yang dirawat inap di Ruang Rindu A3 Paru RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui gambaran distribusi proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan sosiodemografi (usia, jenis kelamin, suku, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan status perkawinan)

2. Mengetahui gambaran distribusi proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan status pembiayaan

(20)

4. Mengetahui gambaran distribusi proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan gejala klinis

5. Mengetahui gambaran distribusi proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan derajat keparahan penyakit

6. Mengetahui gambaran distribusi proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan tipe eksaserbasi

7. Mengetahui gambaran distribusi proporsi jenis pengobatan yang diberikan pada pasien PPOK eksaserbasi akut

8. Mengetahui gambaran rerata lama rawatan pasien PPOK eksaserbasi akut 1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi atau masukan kepada pihak Rumah Sakit dalam upaya peningkatan pelayanan pasien PPOK eksaserbasi akut

2. Memberikan informasi kepada dokter dan tenaga kesehatan lainya mengenai gambaran pasien PPOK eksaserbasi akut

3. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peneliti di bidang penelitian dan mengasah daya analisa peneliti

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).

2.2. Epidemiologi

Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.

Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif.

(22)

2000-2002 menunjukkan bahwa dari 132 penderita yang paling banyak adalah proporsi penderita pada kelompok umur lebih dari 55 tahun sebanyak 121 penderita (91,67%). Menurut penelitian Rahmatika (2009) di RSUD Aceh Tamiang dari bulan Januari sampai Mei 2009, proporsi usia pasien PPOK tertinggi pada kelompok usia 60 tahun (57,6%) dengan proporsi laki-laki 43,2% dan perempuan 14,4%. Proporsi gejala pasien tertinggi adalah batuk berdahak dan sesak napas (100%), disusul nyeri dada (73,4%), mengi (56,8%), demam (31,0%), dan terendah mual sebanyak 11 pasien (8%). Menurut Ilhamd (2000) dalam Parhusip (2008), penderita PPOK menduduki proporsi terbesar yaitu 31,5% dari seluruh penderita penyakit paru yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Januari hingga Desember 1999 dari keseluruhan penyakit paru yang ada.

2.3. Faktor Risiko

Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK (Helmersen, 2002).

(23)

hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok (Suradi, 2009).

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK, kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi (Helmersen, 2002).

2.4. Patogenesis

(24)

gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).

Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (GOLD, 2009).

Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil

Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease,

(25)

2.5. Diagnosis

Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK Klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat penyakit.

2.5.1. Anamnesis

a. Ada faktor risiko

Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat ( >600) (PDPI, 2003).

b. Gejala klinis

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical

(26)

Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC) Skala

Sesak

Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas 1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat

3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit

5 Sesak bila mandi atau berpakaian

2.5.2. Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi (PDPI, 2003).

2.5.3. Pemeriksaan Penunjang

a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.

b. Radiologi (foto toraks)

(27)

meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien (GOLD, 2009).

c. Laboratorium darah rutin d. Analisa gas darah

e. Mikrobiologi sputum (PDPI, 2003)

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi (derajat) PPOK, yaitu (GOLD, 2009):

Tabel 2.2. Klasifikasi PPOK Klasifikasi

Penyakit

Gejala Klinis Spirometri PPOK Ringan -Dengan atau tanpa batuk

-Dengan atau tanpa produksi sputum

-Sesak napas derajat sesak 1 sampai derajat sesak 2

-VEP1 ≥ 80% prediksi (nilai normal spirometri) -VEP1/KVP < 70%

PPOK Sedang -Dengan atau tanpa batuk -Dengan atau tanpa produksi sputum

-Sesak napas derajat 3

-VEP1/KVP < 70% -50% ≤ VEP1 < 80% prediksi

PPOK Berat -Sesak napas derajat sesak 4 dan 5

PPOK Sangat Berat -Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 dengan gagal napas kronik

-Eksaserbasi lebih sering terjadi

-Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan

-VEP1/KVP <70% -VEP1 < 30% prediksi, atau

(28)

2.5.4. Diagnosis Banding

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3 (PDPI, 2003).

Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik

PPOK Asma Bronkial Gagal Jantung Kronik Onset usia > 45 tahun Segala usia Segala usia

Hilang timbul Timbul pada waktu aktivitas

Ronki Kadang-kadang + ++

Mengi Kadang-kadang ++ +

Vesikular Melemah Normal Meningkat Spirometri Obstruksi ++

Restriksi +

Obstruksi ++ Obstruksi + Restriksi ++

Reversibilitas < ++ +

Pencetus Partikel toksik Partikel sensitif Penyakit jantung kongestif

2.6. PPOK Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian akut dalam perjalanan alami penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal sesak napas, batuk, dan/atau sputum yang diluar batas normal dalam variasi hari ke hari (GOLD, 2009).

(29)

aspirasi berulang, serta pada stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi) (PDPI, 2003).

Selain itu, terdapat faktor-faktor risiko yang menyebabkan pasien sering menjalani rawat inap akibat eksaserbasi. Menurut penelitian Kessler dkk. (1999) terdapat faktor prediktif eksaserbasi yang menyebabkan pasien dirawat inap. Faktor risiko yang signifikan adalah Indeks Massa Tubuh yang rendah (IMT<20 kg/m2) dan pada pasien dengan jarak tempuh berjalan enam menit yang terbatas (kurang dari 367 meter). Faktor risiko lainnya adalah adanya gangguan pertukaran gas dan perburukan hemodinamik paru, yaitu PaO2≤65 mmHg, PaCO2>44 mmHg, dan tekanan arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18 mmHg.

Lamanya rawat inap setiap pasien bervariasi. Iglesia dkk. (2002) mendapatkan faktor prediktif pasien dirawat inap lebih dari 3 hari, yaitu rawat inap pada saat akhir minggu, adanya kor pulmonale, dan laju pernapasan yang tinggi.

Gejala eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum meningkat, dan adanya perubahan konsistensi atau warna sputum. Menurut Anthonisen dkk. (1987), eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi berat) apabila memiliki 3 gejala utama, tipe II (eksaserbasi sedang) apabila hanya memiliki 2 gejala utama, dan tipe III (eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20%

baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline (Vestbo, 2006).

2.7. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut

(30)

sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU (PDPI, 2003).

2.7.1. Bronkodilator

Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK adalah

short-acting inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini belum tercapai,

direkomendasikan menambahkan antikolinergik, walaupun bukti ilmiah efektivitas kombinasi ini masih kontroversial. Walaupun penggunaan klinisnya yang luas, peranan metilxantin dalam terapi eksaserbasi masih kontroversial. Sekarang metilxantin (teofilin, aminofilin) dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari penggunaan short-acting

inhaled B2-agonists. Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi penggunaan

long-acting inhaled B2-agonists dengan/tanpa inhalasi glukokortikosteroid

selama eksaserbasi (GOLD, 2009).

Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang tepat, nebulizer dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebulizer yang memakai oksigen sebagai kompresor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan

nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya

palpitasi sebagai efek samping bronkodilator (PDPI, 2003). 2.7.2. Kortikosteroid

(31)

selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.

2.7.3. Antibiotik

Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada (GOLD, 2009):

a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan volume sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesak b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan

purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut c. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya diberikan kombinasi dengan makrolid, dan bila ringan dapat diberikan tunggal. Antibiotik yang dapat diberikan di Puskesmas yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II: Ampisilin kombinasi Kloramfenikol, Eritromisin, kombinasi Kloramfenikol dengan Kotrimaksasol ditambah dengan Eritromisin sebagai Makrolid (PDPI, 2003). 2.7.4. Terapi Oksigen

(32)

kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).

2.7.5. Ventilasi Mekanik

Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala. Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa Randomized Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang secara konsisten menunjukkan hasil positif dengan angka keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan frekuensi pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat inap (GOLD, 2009).

2.8. Komplikasi

(33)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Pada penelitian ini kerangka konsep mengenai karakteristik pasien PPOK eksaserbasi akut akan diuraikan berdasarkan variabel katagorik dan variabel numerik. Variabel katagorik mencakup jenis kelamin, suku, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, sumber pembiayaan, status merokok, gejala klinis, derajat keparahan penyakit, tipe eksaserbasi, dan jenis pengobatan. Variabel numerik mencakup usia dan lama rawatan.

1. Sosiodemografi: Usia

Jenis Kelamin Suku

Agama

Tingkat Pendidikan Pekerjaan

Status Perkawinan 2. Sumber Pembiayaan 3. Status Merokok 4. Gejala Klinis 5. Derajat Keparahan

Penyakit

6. Tipe Eksaserbasi 7. Jenis Pengobatan 8. Lama Rawatan

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut Penyakit Paru Obstruktif Kronik

(34)

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun terekam tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, diagnosis, segala pelayanan dan tindakan medik yang diberikan kepada pasien dan pengobatan baik yang dirawat inap, rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat (Gondodiputro, 2007).

3.2.2. Karakteristik adalah kualitas atau atribut yang menunjukkan sifat suatu objek atau organisme.

3.2.3. Pasien PPOK eksaserbasi akut adalah pasien yang dinyatakan menderita PPOK eksaserbasi akut berdasarkan hasil diagnosis dokter dan tercatat dalam rekam medis.

3.2.4. Sosiodemografi adalah berasal dari dua kata, yaitu sosial dan demografi. Sosial adalah salah satu komponen variabel nondemografi, seperti pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain, sedangkan demografi adalah suatu ilmu yang mempelajari penduduk di suatu wilayah terutama mengenai jumlah, struktur (usia, jenis kelamin, agama, dan lain-lain), dan proses perubahannya (kelahiran, kematian, perkawinan, dan lain-lain) (Desa, 2008). Dalam penelitian ini, sosiodemografi terdiri dari:

a. Usia adalah lamanya hidup pasien PPOK eksaserbasi akut yang dihitung berdasarkan tahun sejak pasien lahir, sesuai yang tercatat pada rekam medis.

b. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien PPOK eksaserbasi akut sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

1. Laki-laki 2. perempuan

c. Suku adalah etnik pasien PPOK eksaserbasi akut sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

(35)

3. Melayu 4. Aceh 5. Nias

d. Agama adalah kepercayaan yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia yang dianut pasien PPOK eksaserbasi akut sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

1. Islam

2. Kristen protestan 3. Kristen katolik 4. Buddha

5. Hindu

e. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan formal pasien PPOK eksaserbasi akut sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

f. Pekerjaan adalah aktivitas utama pasien PPOK eksaserbasi akut sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

1. Petani 2. Wiraswasta 3. Pegawai Swasta 4. PNS/ TNI/ POLRI

5. Pensiunan PNS/ TNI/ POLRI 6. Ibu Rumah Tangga

(36)

g. Status perkawinan adalah status pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan riwayat pernikahan, sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

1. Kawin 2. Tidak Kawin

3.2.5. Sumber pembiayaan adalah jenis sumber pembiayaan pasien PPOK eksaserbasi akut selama di rawat di rumah sakit sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

1. Biaya Sendiri/umum

2. Asuransi Kesehatan (Askes)

3. Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)

3.2.6. Status merokok adalah riwayat mengenai perilaku merokok pada pasien PPOK eksaserbasi akut sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

1. Bekas Perokok 2. Perokok

3. Bukan Perokok

3.2.7. Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun, sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikatagorikan atas: 1. Derajat ringan : 0-200

2. Derajat sedang: 200-600 3. Derajat berat : > 600

3.2.8. Gejala klinis adalah gejala yang dikeluhkan pasien PPOK eksaserbasi akut selama di rawat di rumah sakit sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

(37)

4. Nyeri Dada 5. Mengi

3.2.9. Derajat keparahan penyakit adalah tingkatan keparahan penyakit berdasarkan nilai pengukuran spirometri, yaitu Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) dan Arus Puncak Ekspirasi (APE) pada pasien PPOK eksaserbasi akut sesuai yang tercatat pada rekam medis, dibagi atas (tabel 2.2):

1. PPOK Ringan

2. PPOK Sedang 3. PPOK Berat

4. PPOK Sangat Berat

3.2.10. Tipe eksaserbasi adalah klasifikasi keparahan eksaserbasi pada pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan 3 gejala utama, yaitu peningkatan sesak, produksi sputum meningkat, dan adanya perubahan konsistensi atau warna sputum (Anthonisen, 1987), sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:

1. Tipe I (eksaserbasi berat): apabila memiliki 3 gejala utama

2. Tipe II (eksaserbasi sedang): apabila hanya memiliki 2 gejala utama

3. Tipe III (eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline

3.2.11. Jenis pengobatan adalah tindakan pengobatan yang diberikan pada pasien PPOK eksaserbasi akut selama dirawat di rumah sakit sesuai yang tercatat pada rekam medis, yang terdiri dari:

1. B2-agonis 2. Antikolinergik 3. Xantin

(38)

3.2.12. Lama rawatan adalah keterangan yang menunjukkan periode atau lamanya perawatan pasien PPOK eksaserbasi akut di rumah sakit dihitung dari tangga l mulai di rawat sampai dengan keluar (baik dengan izin dokter maupun meninggal dunia) berdasarkan pencatatan pada rekam medis.

3.2.13. Cara Ukur

Semua variabel penelitian diukur dengan survei rekam medis. 3.2.14. Alat Ukur

Semua variabel penelitian diukur dengan menggunakan rekam medis. 3.2.15. Hasil Pengukuran

Untuk variabel numerik berupa Rerata dan untuk variabel kategorik berupa Persentase.

3.2.16. Skala pengukuran

Untuk variabel numerik, yaitu usia berupa skala rasio, sedangkan lama rawatan berupa skala interval. Untuk variabel kategorik, yaitu tingkat pendidikan, derajat keparahan penyakit, dan tipe eksaserbasi berupa skala ordinal, sedangkan jenis kelamin, suku, agama, pekerjaan, status perkawinan, sumber pembiayaan, status merokok, gejala klinis, dan jenis pengobatan berupa skala nominal.

(39)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang akan menggambarkan karakteristik pasien PPOK eksaserbasi akut. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah retrospective study, dimana akan dilakukan pengumpulan data berdasarkan rekam medis.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan, dengan pertimbangan yaitu tersedianya data pasien penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut tahun 2009 dan belum pernah dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009.

4.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dimulai dari pengumpulan data sampai pelaporan hasil penelitian adalah dari bulan Juni 2010 sampai bulan November 2010.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua data pasien PPOK eksaserbasi akut yang dirawat inap di Ruang Rindu A3 Paru RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah data semua pasien PPOK eksaserbasi akut yang di

rawat inap dari bulan Januari 2009 sampai bulan Desember 2009 dengan besar sampel

(40)

4.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan berupa data sekunder yaitu rekam medis pasien PPOK eksaserbasi akut yang dirawat inap dimana hal yang diperlukan dalam menggambarkan karakteristik pasien dicatat dan diuraikan berdasarkan kebutuhan peneliti.

4.5. Metode Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan, dimasukkan ke dalam komputer kemudian dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product

and Service Solutions). Data disajikan dalam bentuk narasi dan tabel distribusi

(41)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1.Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A sesuai SK Menkes No.335/Menkes/SK/VII/1990 dan sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai SK Menkes No.502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, D.I. Aceh, Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di atas tanah seluas ±10 Ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No.17, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara.

5.1.2. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Waktu

Distribusi proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan berdasarkan waktu dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut.

Tabel 5.1 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Bulan di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

(42)

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa jumlah pasien rawat inap terbanyak adalah pada bulan Agustus dan September dengan proporsi masing-masing 15,9%, sedangkan proporsi pasien rawat inap terkecil adalah 1,1% pada bulan Maret.

Proporsi pasien yang dirawat inap di bagian paru adalah 3,6% dari seluruh pasien yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009. Sedangkan proporsi pasien yang dirawat inap dengan diagnosis bronkitis, emfisema, dan PPOK adalah 19,8% dari seluruh pasien yang dirawat inap di bagian paru.

5.1.3. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Sosiodemografi

Distribusi proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan sosiodemografi di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.2 dan 5.3 berikut.

Tabel 5.2 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

No. Usia (Tahun)

Jenis kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan

f % f % f %

1. <50 Tahun 7 8,0 3 3,4 10 11,4

2. 50-60 Tahun 19 21,6 6 6,8 25 28,4

3. >60 Tahun 44 50,0 9 10,2 53 60,2

Jumlah 70 79,6 18 20,4 88 100,0

(43)

Tabel 5.3 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan

(44)

Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi pasien berdasarkan suku adalah suku batak (61,4%) dan berdasarkan agama adalah agama protestan (54,5%). Proporsi tertinggi pasien berdasarkan tingkat pendidikan adalah tamat SLTA (39,8%) dan proporsi terendah adalah tidak tamat SD (1,1%). Proporsi tertinggi pasien berdasarkan pekerjaan adalah petani (31,8%) dan proporsi terendah adalah pekerja lepas, tukang, dan supir dengan proporsi masing-masing 1,1%. Proporsi tertinggi pasien berdasarkan status perkawinan adalah kawin (98,9%).

5.1.4. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Sumber Pembiayaan

Distribusi proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan sumber pembiayaan di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.4 berikut.

Tabel 5.4 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Sumber Pembiayaan

No. Sumber Pembiayaan Jumlah

f %

1. Umum 14 15,9

2. Askes 30 34,1

3. Jamkesmas 44 50,0

Jumlah 88 100,0

(45)

5.1.5. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Status Merokok

Distribusi proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan status merokok dan derajat indeks Brinkman di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.5 dan tabel 5.6 berikut.

Tabel 5.5 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Status Merokok

No. Status Merokok Jumlah

f %

1. Bekas Perokok 31 35,2

2. Perokok 37 42,1

3. Bukan Perokok 20 22,7

Jumlah 88 100,0

Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa mayoritas pasien memiliki riwayat merokok, dengan proporsi perokok adalah 42,1% dan bekas perokok 35,2%. Proporsi pasien bukan perokok adalah 22,7%.

Tabel 5.6 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Derajat Indeks Brinkman

No. Derajat Indeks Brinkman Jumlah

f %

1. Ringan, 1-200 15 17,1

2. Sedang, 200-600 33 37,5

3. Berat , >600 20 22,7

Jumlah 68 77,3

Berdasarkan tabel 5.6 dapat dilihat bahwa proporsi terbanyak derajat indeks Brinkman pasien adalah derajat sedang dengan proporsi sebesar 37,5% dan proporsi terendah adalah derajat ringan sebesar 17,1%.

(46)

5.1.6. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Gejala Klinis

Distribusi proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan gejala klinis di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.7 berikut.

Tabel 5.7 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Gejala Klinis

Berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat bahwa gejala yang paling banyak dikeluhkan pasien adalah sesak napas (98.9%), diikuti batuk berdahak (90,9%), demam (34,1%), nyeri dada (27,3%), dan mengi (21,6%).

5.1.7. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Derajat Keparahan Penyakit

Distribusi proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan derajat keparahan penyakit di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut.

Tabel 5.8 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Derajat Keparahan Penyakit

No. Derajat Keparahan Penyakit Jumlah

f %

(47)

5.1.8. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Tipe Eksaserbasi

Distribusi proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan tipe eksaserbasi di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.9 berikut.

Tabel 5.9 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Tipe Eksaserbasi

No. Tipe Eksaserbasi Jumlah

f %

1. Tipe I 17 19,3

2. Tipe II 33 37,5

3. Tipe III 38 43,2

Jumlah 88 100,0

Berdasarkan tabel 5.9 dapat dilihat bahwa proporsi tipe eksaserbasi pasien terbanyak adalah tipe III (43,2%), diikuti tipe II (37,5%), dan tipe I (19,3%). 5.1.9. Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Jenis Pengobatan

Distribusi proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan jenis pengobatan di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.10 berikut.

Tabel 5.10 Distribusi Proporsi Pasien PPOK Eksaserbasi Akut Berdasarkan Jenis Pengobatan

No. Jenis Pengobatan Jumlah

f %

(48)

5.1.10. Rerata Lama Rawatan Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

Rerata lama rawatan pasien adalah 7,4 hari (SD 5,4) dengan lama rawatan paling lama adalah 29 hari dan lama rawatan paling singkat adalah 1 hari. 5.1.11. Jenis Kelamin berdasarkan Riwayat Merokok

Jenis kelamin berdasarkan riwayat merokok pasien PPOK eksaserbasi akut di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.11 berikut.

Tabel 5.11 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Riwayat Merokok

No. Riwayat Merokok

Jenis kelamin

Jumlah Laki-laki Perempuan

f % f % f %

1. Perokok 63 71,5 5 5,7 68 77,3

2. Bukan Perokok 7 8,0 13 14,8 20 22,7

Jumlah 70 79,5 18 20,5 88 100

Berdasarkan tabel 5.11 dapat dilihat bahwa dari semua pasien dengan riwayat merokok, proporsi pasien laki-laki adalah 71,5% dan proporsi perempuan adalah 5,7%. Dari semua pasien dengan riwayat bukan perokok, proporsi pasien laki-laki adalah 8,0% dan proporsi perempuan adalah 14,8%.

5.1.12. Riwayat Merokok berdasarkan Tingkat Pendidikan

(49)

Tabel 5.12 Distribusi Proporsi Riwayat Merokok Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan

Riwayat Merokok

Jumlah Perokok Bukan Perokok

f % f % f %

Berdasarkan tabel 5.12 dapat dilihat bahwa dari semua pasien dengan tingkat pendidikan tidak tamat SD/tamat SD/tamat SLTP, 38,6% memiliki riwayat merokok dan 14,8% tidak memiliki riwayat merokok. Dari semua pasien dengan tingkat pendidikan tamat SLTA/sarjana, 38,6% memiliki riwayat merokok dan 8,0% tidak memiliki riwayat merokok.

5.1.13. Rerata Lama Rawatan berdasarkan Sumber Pembiayaan

Rerata lama rawatan berdasarkan sumber pembiayaan pasien PPOK eksaserbasi akut di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.13 berikut.

Tabel 5.13 Rerata Lama Rawatan Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Sumber Pembiayaan

No. Sumber Biaya f Rerata SD

1. Umum 14 3,1 2,8

2. Askes 30 7,4 4,3

3. Jamkesmas 44 8,8 6,0

(50)

5.1.14. Rerata Lama Rawatan berdasarkan Tipe Eksaserbasi

Rerata lama rawatan berdasarkan tipe eksaserbasi pasien PPOK eksaserbasi akut di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 5.14 berikut.

Tabel 5.14 Rerata Lama Rawatan Pasien PPOK Eksaserbasi Akut berdasarkan Tipe Eksaserbasi

No. Tipe Eksaserbasi f Rerata SD

1. Tipe I 17 8,0 5,1

2. Tipe II 33 7,6 6,1

3. Tipe III 38 7,0 4,9

Berdasarkan tabel 5.14 dapat dilihat bahwa rerata lama rawatan pasien dengan tipe eksaserbasi I adalah 8,0 hari, rerata lama rawatan pasien dengan tipe eksaserbasi II adalah 7,6 hari, dan rerata lama rawatan pasien dengan tipe eksaserbasi III adalah 7,0 hari.

5.2. Pembahasan

(51)

dengan proporsi laki-laki 43,2% dan perempuan 14,4%. Hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada pasien PPOK eksaserbasi akut yang menjalani rawat inap dari tanggal 1 Januari 2006 – 30 Juni 2006, diperoleh 46 pasien dengan 39 pasien laki-laki (84,8%) dan 7 pasien perempuan (15,2%). Distribusi proporsi usia pasien yaitu usia 31-40 tahun (2,2%), 41-50 tahun (2,2%), 51-60 tahun (10,8%), dan proporsi terbesar berasal dari kelompok umur diatas 61 tahun (84,8%).

Rerata usia pasien adalah 64,1 tahun (SD 10,0). Usia paling muda adalah 40 tahun dan usia paling tua adalah 85 tahun. Hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta mendapatkan rerata usia pasien PPOK eksaserbasi akut adalah 65,9 tahun (SD 9,35). Usia paling muda adalah 40 tahun dan usia paling tua adalah 81 tahun.

Berdasarkan sosiodemografi didapatkan bahwa proporsi tertinggi adalah suku batak (61,4%), agama Kristen protestan (55,0%), dan pendidikan tamat SLTA (40%). Hal ini bukan berarti pada kelompok tersebut lebih berisiko menderita PPOK, melainkan hanya menunjukkan bahwa pasien yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan adalah paling banyak pada kelompok tersebut. Mayoritas pekerjaan pasien adalah sebagai petani (31,8%). Hal ini dapat dikaitkan dengan fungsi rumah sakit tersebut sebagai rumah sakit rujukan yang juga melayani Askes dan Jamkesmas. Selain itu, faktor pekerjaan berhubungan erat dengan alergi dan hipereaktifitas bronkus, dimana pekerja yang bekerja di lingkungan berdebu akan lebih berisiko menderita PPOK. Hasil penelitian Rahmatika (2009) di RSUD Aceh Tamiang mendapatkan bahwa dari 139 pasien proporsi tertinggi pasien PPOK adalah pada tingkat pendidikan SLTA (29,6%) dan petani (30,2%).

(52)

Proporsi pasien yang masih perokok cukup banyak yaitu sebesar 42,0%. Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2006, faktor resiko yang diidentifikasi sebagai penyebab PPOK yaitu kebiasaan merokok yaitu sebanyak 29 pasien (63,0%), dan faktor lain yang tidak diketahui sebanyak 17 pasien (37,0%). Namun, pasien PPOK yang tidak memiliki riwayat merokok juga mempunyai risiko menderita PPOK akibat paparan asap rokok (perokok pasif) dan polusi udara. Menurut Russel (2002) dalam Suradi (2009), kelainan struktur jaringan berkaitan erat dengan respons inflamasi ditimbulkan oleh paparan partikel atau gas beracun, tetapi dinyatakan faktor utama dan paling dominan ialah asap rokok dibanding yang lain. Hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta mendapatkan hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu sebanyak 109 pasien dengan proporsi sebesar 90,8%.

Risiko menderita PPOK akibat merokok dapat diketahui melalui penilaian derajat berat merokok seseorang. Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan makin lama masa waktu menjadi perokok, semakin besar risiko dapat mengalami PPOK (Suradi, 2009). Hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di RS. Persahabatan Jakarta mendapatkan rerata indeks Brinkman pasien sebesar 684,0 dengan indeks Brinkman paling besar 2640. Derajat indeks Brinkman pasien terbanyak adalah derajat berat (40,0%0 diikuti derajat sedang (38,3%) dan derajat ringan (21,7%).

Gejala klinis yang paling banyak dikeluhkan pasien adalah sesak napas dengan sensitivitas terhadap PPOK yaitu sebesar 98,9%, artinya dari 100 pasien PPOK terdapat 99 pasien yang mengalami keluhan sesak napas.

(53)

mendapatkan proporsi pasien terbanyak adalah derajat sedang (61,7%), diikuti derajat berat (29,2%), derajat sangat berat (8,3%) dan paling sedikit derajat ringan (0,8%).

Data pengukuran spirometri menunjukkan hasil rerata pengukuran VEP1 pasien adalah 861,3 ml (SD 629,27). Nilai VEP1 paling rendah adalah 249 ml sedangkan VEP1 paling besar adalah 2910 ml. Rerata pengukuran VEP1 prediksi pasien adalah 33,3% (SD 15,9). Nilai VEP1 prediksi paling rendah adalah 14% sedangkan VEP1 prediksi paling besar adalah 68%. Rerata pengukuran KVPpasien adalah 1107,4 ml (SD 759,3). Nilai KVP paling rendah adalah 460 ml sedangkan KVPpaling besar adalah 3730 ml. Rerata pengukuran KVPprediksi pasien adalah 36,4% (SD 17,3). Nilai KVP prediksi paling rendah adalah 16% sedangkan KVP prediksi paling besar adalah 83%. Hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta mendapatkan hasil pemeriksaan faal paru relatif masih cukup baik. Rerata VEP1 adalah 1114,9 ml (SD 367,34) dan rerata VEP1 prediksi adalah 54,2% (SD 15,6). Rerata KVP adalah 1747,5 ml (SD 602,1) dan rerata KVP prediksi adalah 73,0% (SD 65,64).

Tipe eksaserbasi yang paling banyak adalah tipe III yaitu sebesar 43,0%. Hal ini dapat dimaklumi karena mayoritas pasien PPOK eksaserbasi akut yang datang untuk mencari pengobatan sebagian besar dengan keluhan sesak napas, sehingga tidak semua gejala kriteria eksaserbasi didapatkan pada pasien. Hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta mendapatkan tipe eksaserbasi yang terbanyak ditemukan adalah tipe II (52,5%), diikuti tipe I (29,2%), dan tipe III (18,3%).

(54)

sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesak. Hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2006 mendapatkan bahwa terapi yang diberikan pada pasien PPOK eksaserbasi akut meliputi bronkodilator, antibiotik, kortikosteroid, dan terapi lain seperti mukolitik, serta penekan batuk.

Proporsi perokok lebih banyak pada laki-laki (71,5%) dibandingkan pada perempuan (5,7%). Hasil Susenas tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Prevalensi merokok pada laki-laki dewasa meningkat dari 53,4% pada tahun 1995 menjadi 62,2% pada tahun 2001. Prevalensi merokok pada perempuan menurun dari 1,7% pada tahun 1995 menjadi 1,3% tahun 2001.

Pasien bukan perokok justru lebih banyak pada tingkat pendidikan rendah daripada tingkat pendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap kebiasaan merokok. Menurut Susenas tahun 2001, sebanyak 73% laki-laki tanpa pendidikan formal merupakan perokok, dibandingkan dengan 44,2% pada mereka yang tamat SLTA. Pada tahun 2001, prevalensi tertinggi perokok terjadi pada kelompok tamat SD dan tamat SMA masing-masing sebesar 33,3% dan 33,5%. Kondisi ini berbeda dengan tahun 1995 dimana prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok tidak sekolah/tidak tamat SD (29,3%) dan tamat SD (27,3%).

Lama rawatan pasien yang menggunakan Jamkesmas lebih lama dibandingkan Askes dan biaya sendiri. Hasil penelitian Rahmatika (2009) di RSUD Aceh Tamiang mendapatkan lama rawatan pasien PPOK yang menggunakan biaya sendiri relatif lebih singkat (5,5 hari) dibandingkan Jamkesmas (6,2 hari) dan Askes (7,4 hari).

(55)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

6.1.1. Proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan sosiodemografi diperoleh proporsi tertinggi yaitu pada usia diatas 60 tahun dengan proporsi laki-laki 50,0% dan perempuan 10,2%, dengan sex ratio 4:1, suku batak 61,4%, agama kristen protestan 55,0%, tingkat pendidikan tamat SLTA 40,0%, pekerjaan petani 31,8%, dan berstatus kawin 99,0%. 6.1.2. Proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan sumber pembiayaan

diperoleh proporsi tertinggi pada bukan biaya sendiri 84,1% yaitu Jamkesmas 50,0% dan Askes 34,1%.

6.1.3. Proporsi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan status merokok diperoleh proporsi tertinggi pada riwayat merokok 77,0%, yaitu perokok 42,0% dan bekas perokok 35,0%.

6.1.4. Proporsi tertinggi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan gejala klinis adalah sesak napas dengan sensitivitas 98,9%.

6.1.5. Proporsi tertinggi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan derajat keparahan penyakit adalah derajat sangat berat 56,5%.

6.1.6. Proporsi tertinggi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan tipe eksaserbasi adalah tipe III 43,0%.

6.1.7. Proporsi tertinggi pasien PPOK eksaserbasi akut berdasarkan jenis pengobatan adalah antibiotik 93,2%.

(56)

6.2. Saran

6.2.1. Kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan agar menjaga kelengkapan data rekam medis karena pada penelitian ini banyak terdapat data pemeriksaan spirometri yang hilang maupun dibawa pulang oleh pihak pasien.

6.2.2. Kepada dokter maupun petugas kesehatan lainnya agar mampu memberi pengetahuan dan anjuran bagi pasien yang masih perokok, karena pada penelitian ini didapatkan proporsi perokok masih cukup banyak.

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Almagro, P., Barreiro, B., Echagüen, A.O., Quintana, S., Carballeira, M.R., Heredia, J.L., et al, 2006. Risk Factors for Hospital Readmission in Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Respiration. S. Karger AG, Basel 73: 311–317. Anthonisen, N.R., Manfreda J., Warren C.P.W., Hersfiled E.S., Harding G.K., and

Nelson N.A., 1987. Antibiotic Therapy in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Ann Intern Med 106: 196-204.

Bahadori, K., and FitzGerald, J.M., 2007. Risk Factors of Hospitalization and Readmission of Patients with COPD Exacerbation – Systematic Review.

International Journal of COPD. Dove Medical Press Limited 2 (3): 241–251.

Cao, Z.Y., Ong, K.C., Eng, P., Tan, W.C., and Ng, T.P., 2006. Frequent Hospital Readmissions for Acute Exacerbation of COPD and Their Associated Factors.

Respirology. Blackwell Publishing Ltd 11: 188–195.

Chojnowski, D., 2003. “GOLD” Standards for Acute Exacerbation in COPD. The

Nurse Practitioner. EBSCO Publishing 28 (5): 26-36.

Dahlan, M.S., 2008. Langkah-Langkah membuat Proposal Penelitian Bidang

Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Sagung Seto.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994. Pedoman Sistem Pencatatan

Rumah Sakit (Rekam medis/Medical Record).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001. Survey Kesehatan Rumah Tangga. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2002. Profil Kesehatan Indonesia 2001.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004. Direktorat Jendral Pemberantasan

(58)

Desa, M.S., 2008. Pengaruh Sosiodemografi dan Karakteristik Pekerjaan Terhadap

Keinginan Pindah Kerja Bidan di Kabupaten Serdang Bedagai. Universitas

Sumatera Utara. Available from:

[Accessed 28 April 2010]

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for

The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary

Disease. Barcelona: Medical Communications Resources. Available

from:

Gondodiputro, S., 2007. Rekam Medis dan Sistem Informasi Kesehatan di Pelayanan

Kesehatan Primer (Puskesmas). Universitas Padjadjaran Bandung. Available

from:

[Accessed 28 March 2010]

Groenewegen, K.H., Schols, A.M.W.J., and Wouters, E.F.M., 2003. Mortality and Mortality-Related Factors After Hospitalization for Acute Exacerbation of COPD.

CHEST. EBSCO Publishing 124 (2): 459-467.

Helmersen, D., Ford, G., Bryan, S., Jone, A., and Little, C., 2002. Risk Factors. In: Bourbeau, J., ed. Comprehensive Management of Chronic Obstructive Pulmonary

Disease. London: BC Decker Inc, 33-44.

Iglesia, F.D.L., Valino, P., Pita, S., Ramos, V., Pellicer, C., Nicolas, R., et al, 2002. Factors Predicting a Hospital Stay of over 3 Days in Patients with Acute Exacerbation of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of Internal

Medicine. Blackwell Science Ltd 251: 500–507.

Ilhamd, Zein U., Keliat E.N., Abidin A., dan Tanjung A., 2000. Gambaran Penyakit

Paru di Ruang Rawat Inap Penyakit dalam RSHAM. Surabaya: Buku abstrak

(59)

Kamangar, N., 2010. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. EMedicine.com.

Available from:

[Accessed 28 March 2010]

Kessler, R., Faller, M., Fourgaut, G., Mennecier, B., and Weitzenblum E., 1999. Predictive Factors of Hospitalization for Acute Exacerbation in a Series of 64 Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. American Journal of

Respiratory and Critical Care Medicine. Am J Respir Crit Care Med 159: 158–

164.

Llor, C., Molina, J., Naberan, K., Cots, J.M., Ros, F., and Miravitlles, M., 2008. Exacerbations Worsen the Quality of Life of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Patients in Primary Healthcare. Journal compilation. Blackwell Publishing Ltd Int J Clin Pract 62 (4): 585–592.

Manik, Crysti, 2004. Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang di

Rawat Inap di RS Haji Medan tahun 2000-2002. Universitas Sumatera Utara.

Nishimura, K., Sato, S., Tsukino, M., Hajiro, T., Ikeda, A., Koyama, H., et al, 2009. Effect of Exacerbations on Health Status in Subjects with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Health and Quality of Life Outcomes. BioMed Central 69 (7). Notoatmodjo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Parhusip, D.H., 2008. Kadar C-Reactive Protein pada Penderita PPOK eksaserbasi

Penelitian Potong Lintang di Departemen / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran USU/ RSUP H Adam Malik / RSUD Dr. Pirngadi Medan Maret

2008 Juni 2008. Universitas Sumatera Utara. Available

from:

[Accessed 28 March 2010]

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik),

Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Available

from:

Gambar

Tabel  2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
Tabel 2.2. Klasifikasi PPOK
Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri  pada PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik PPOK Asma Bronkial Gagal Jantung Kronik
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan halaman web yang berisi mengenai web site negara Jepang dengan menggunakan Frontpage express 2000 sangat memudahkan pekerjaan penulis,karena tidak dituntut untuk

Program dan Jenis Kegiatan Hasil yang diharapkan Waktu Pelaksana an Pelaksa na Sumbe r Dana penyelenggaraan Prakerin 2.3 Pencarian obyek. 2.4   Rapat   pembentukan

Hasil penelitian hubungan pemeriksaan sputum mikroskopis terhadap foto thoraks adalah dari 115 suspek TB paru ada 54 orang (47.0%) dengan hasil positif pada

7,6 Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis seperti hipertensi, diabetes melitus, pertambahan usia, ada riwayat keluarga

Perlakuan yang dapat diberikan dalam penanganan dormansi benih yaitu dengan melakukan baik cara mekanis seperti penipisan kulit dengan diasah maupun digosok,

______ murid dapat mencapai objektif yang ditetapkan dan ______ murid yang tidak mencapai objektif akan diberi bimbingan khas dalam sesi akan datang.

Sedangkan KDOQI 2000 membagi faktor risiko PGK menjadi factor rentan atau faktor yang meningkatkan kecurigaan akan adanya kerusakan ginjal yaitu usia tua dan riwayat

Pedoman Perilaku ini tidak dapat memberikan jawaban secara pasti atas semua problematika pe- rilaku insan perusahaan. Oleh karena itu, setiap in- san perusahaan