• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Rehabilitasi Paru Terhadap MVV dan VEP1 Terhadap Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Rehabilitasi Paru Terhadap MVV dan VEP1 Terhadap Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PENGARUH REHABILITASI PARU TERHADAP MVV DAN VEP1

PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

OLEH

FATMA HANI LUBIS

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT PARU DAN

KEDOKTERAN RESPIRASI FK USU – RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN

(2)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Paru dalam Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Pada Departemen Pulmonologi Dan Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

FATMA HANI LUBIS

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT PARU DAN

KEDOKTERAN RESPIRASI FK USU – RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN

2013

(3)

TESIS PENELITIAN

PPDS MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

UTARA / RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

Judul Penelitian : Pengaruh Rehabilitasi Paru Terhadap MVV dan VEP1

Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Terhadap Pasien

Adam Malik Medan

Nama Peneliti : Fatma Hani Lubis

Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Program Studi : Program Magister Kedokteran Klinik dan Dokter Spesialis

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

Jangka Waktu : 3 (tiga) bulan dari bulan Oktober-Desember 2013

Biaya Penelitian : Rp. 33.600.000,-

Lokasi Penelitian : RSUP Haji Adam Malik Medan dan RS Siti Hajar Medan

Pembimbing : dr. P.S. Pandia, M.Ked(Paru),SpP(K)

DR.dr.Amira P.T.MKed(Paru), SpP

Prof.dr.Sorimuda Sarumpaet,MPH

(4)

IDENTITAS

Nama : dr. Fatma Hani Lubis

Tempat/Tgl/Lahir : Kabanjahe, 11 Desember 1983

Agama : Islam

Pekerjaan : Dokter umum di RS Sultan Sulaiman Serdang Bedagai

Alamat : Jl. Kawat 1 Lingkungan XV No. 117 Medan

KELUARGA

Bapak : Alm. H. Fachruddin Lubis, SH

Ibu : Dra. Hj. Rebekka Girsang

Suami : dr. Edwin Hafis

Anak : 1. Fakhirah Syifa

2. M. Farid Khairi

PENDIDIKAN

1. SD Negeri 060844 Ijazah 1994

2. SMP Negeri 7 Medan Ijazah 1997

3. SMA Negeri 2 Medan Ijazah 2000

4. FK Universitas Sumatera Utara Ijazah 2006

PEKERJAAN

1. Dokter Peserta PPDS Ilmu Penyakit Paru 2010

PERKUMPULAN PROFESI

(5)

1. Anggota IDI kota Medan 2006- sekarang

2. Anggota muda PDPI cabang Sumatera Utara 2010 – sekarang

PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH

1. Laporan Kasus dengan topik Timoma pada KONAS XI PDPI, Bukit Tinggi 2011 2. Peserta pada beberapa kegiatan ilmiah Paru

TUGAS

Selama mengikuti pendidikan dokter spesialis Ilmu Penyakit Paru FK- USU telah membawakan :

(6)

PERNYATAAN

PENGARUH REHABILITASI PARU TERHADAP MVV DAN VEP1 TERHADAP PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI

ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

dr. Fatma Hani Lubis

(7)

Telah diuji pada

Tanggal : 30 Oktober 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Penguji I : Prof. dr. Luhur Soeroso, Sp.P(K)

Penguji II : Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P(K)

Penguji III : dr. Hilaluddin Sembiring, Sp.P(K), DTM&H

Penguji IV : dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K)

(8)

ABSTRAK

PENGARUH REHABILITASI PARU TERHADAP MVV DAN VEP1 TERHADAP PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI

ADAM MALIK MEDAN

Fatma Hani Lubis

DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

, Amira P Tarigan, P.S.Pandia

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati, yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dan biasanya bersifat progresif, berhubungan dengan respons inflamasi kronis pada saluran napas dan paru-paru akibat partikel maupun gas berbahaya. Merokok adalah faktor lingkungan yang berhubungan erat dengan kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Pada pasien PPOK, perlu dilakukan pemeriksaan faal paru dan pengukuran kekuatan otot napas. Pemeriksaan MVV direkomendasikan sebagai tes yang lebih spesifik untuk mengukur kelemahan otot pernapasan, sifat mekanik paru-paru dan dada. MVV adalah jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan pada periode tertentu selama pernapasan yang cepat dan kuat. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh program rehabilitasi paru pada penderita PPOK terhadap nilai MVV dan VEP1

METODE

sebelum dan setelah rehabilitasi.

Penelitian ini merupakann suatu uji klinis dengan desain pretest dan post test yang dilakukan di Poli Rawat Jalan RSUP. H. Adam Malik Jl. Bunga Lau No.17 Medan dan rehabilitasi dilakukan di RS Siti Hajar Jl. Letjend. Jamin Ginting Medan yang dilaksanakan selama kurun waktu 12 minggu dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Desember 2013 sebanyak 14 sampel yang terdiri dari 14 pasien PPOK stabil. Dilakukan spirometri dengan manuver MVV dan FVC serta rehabilitasi paru pada semua sampel.

HASIL

Dalam penelitian ini, nilai VEP1 tidak mengalami peningkatan tetapi nilai MVV mengalami peningkatan meskipun itu tidak signifikan secara statistik. Rerata nilai MVV sebelum rehabilitasi 37,379 (SD 17,1296) dan setelah rehabilitasi 38,229 (SD 16,5461). Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna diantara MVV sebelum dan setelah rehabilitasi paru (p=0,052). Rerata nilai VEP1 sebelum

rehabilitasi 45,93 (SD 21,334) dan setelah rehabilitasi 45,21 (SD 19,510). Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna diantara FEV1

KEY WORDS

sebelum dan setelah rehabilitasi paru (p=0,000).

Penyakit Paru Obstruksi Kronik, VEP1, MVV

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur dan terima kasih penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebab berkat rahmat dan kasih karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tulisan akhir ini yang berjudul “Pengaruh Rehabilitasi Paru Terhadap MVV dan VEP1

Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp P (K) sebagai Ketua Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan Ilmu Pengetahuan, arahan, petunjuk serta nasehat dalam cara berpikir, bersikap dan berprilaku yang baik selama masa pendidikan, yang mana hal tersebut sangat berguna di masa yang akan datang.

Terhadap Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Stabil di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan “. Tulisan ini merupakan persyaratan dalam penyelesaian pendidikan keahlian di Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak baik dari guru-guru yang penulis hormati, teman sejawat asisten Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU, paramedis dan non medis serta dorongan dari pihak keluarga. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Prof. dr. H. Tamsil Syafiuddin, Sp P(K) sebagai koordinator penelitian ilmiah di Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan dan Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) cabang Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan, bimbingan, pengarahan dan masukan dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan tulisan ini.

(10)

dr. P.S. Pandia, Mked(Paru), Sp P(K) sebagai salah satu pembimbing dalam tesis ini maupun sebagai Sekretaris Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan penulis bantuan, masukan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.

Dr.dr.Amira P.T.MKed(Paru),SpP sebagai pembimbing akademik penulis, yang telah banyak memberikan bantuan, masukan, arahan dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini dan juga sebagai Ketua Program Studi Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan, dorongan dan nasehat yang sangat berguna selama penulis menjalani masa pendidikan.

dr. Noni N Soeroso, Mked(Paru), Sp.P sebagai Sekretaris Program Studi Departemen Pulmonolgi & Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/ SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan, yang dengan penuh kesabaran memberi bimbingan, bantuan tehnis, masukan, dan dorongan dalam penyempurnaan penelitian bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Prof.dr.Sorimuda Sarumpaet,MPHsebagai pembimbing statistik yang telah banyak membantu dan membuka wawasan penulis dalam bidang statistik dan dengan penuh kesabaran memberi bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

Penghargaan dan rasa terimakasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada yang terhormat Dr. H. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, Sp P(K), Dr. H. Pandiaman Pandia, Mked(Paru), Sp P(K), Dr Parluhutan Siagian,Mked(Paru) Sp P, Dr Bintang YM Sinaga, Mked(Paru) Sp.P, Dr. Setia Putra Tarigan Sp P, dr. Netty Y Damanik Sp P, dr. Syamsul Bihar, M.Ked(Paru), Sp.P yang telah banyak memberikan bantuan, masukan dan pengarahan selama menjalani pendidikan.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran USU Medan, Direktur RSUP H Adam Malik Medan, Bagian Patologi Klinik RSUP H Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis dalam melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini.

(11)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta Program Studi Pendidikan Spesialisasi Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi, pegawai tata usaha, perawat/petugas poliklinik, ruang rawat inap, instalasi perawatan intensif, instalasi gawat darurat RSUP H Adam Malik atas bantuan dan kerja sama yang baik selama menjalani masa pendidikan.

Dengan rasa hormat dan terima kasih yang tiada terbalas penulis sampaikan kepada Ayahanda H. Fachruddin Lubis, SH dan Ibunda Dra. Hj. Rebekka Girsang tercinta yang telah membesarkan, mendidik dan memberi dorongan semangat serta doa kepada penulis hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini. Demikian juga kepada Suamiku tercinta dr. Edwin Hafis serta anak-anak tersayang Fakhirah Syifa dan M. Farid Khairi yang selalu setia dalam suka dan duka, penuh pengertian, kesabaran dan pengorbanannya kepada penulis selama menjalani pendidikan. Tiada kata yang dapat diucapkan selain ungkapan rasa terima kasih dan penghargaan atas segala kesetiaan maupun dukungan kalian selama ini.

Akhirnya pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, kekhilafan dan kesalahan yang pernah diperbuat selama ini. Semoga ilmu, keterampilan dan pembinaan kepribadian yang penulis dapatkan selama ini dapat bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa dan mendapat restu dari Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, Oktober 2013

Penulis

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI………... i

DAFTAR TABEL...ii

DAFTAR GAMBAR...iii

DAFTAR GRAFIK...iv

DAFTAR ISTILAH ...v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang………..……….. 1

1.2. PerumusanMasalah……….………….. 6

1.3. Hipotesis………..…. 6

1.4. Tujuan Penelitian……….. 6

1.5. Manfaat Penelitian……… 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik 2.1.1. Definisi……….………. 8

2.1.2.Faktor Resiko……….. 8

2.1.3. Patogenesis, Patologi dan Patofisiologi……….………... 12

2.1.4. Diagnosis……… 13

2.1.5. Klasifikasi……….……… 14

2.2. Maximal Voluntary Ventilation 2.2.1. Otot Pernapasan………. 14

2.2.2. Mekanisme Ventilasi pada Penderita PPOK………. 20

(13)

2.2.3. Tes Fungsi Paru………..………... 21

2.2.4. Maximal Voluntary Ventilation (MVV)……….... 22

2.3. Rehabilitasi Paru………. 26

Kerangka Konsep Teoritis……… 33

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian……… 34

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian………. 34

3.3. Populasi dan Subjek Penlitian………. 34

3.4. Besar Sampel……….. 35

3.5. Cara Pengambilan Sampel………..…...36

3.6. Kerangka Penelitian………. 37

3.7. Cara Kerja Penelitian……….. 38

3.8. Definisi Operasional………... 43

3.9. Pengolahan Data ……… 45

3.10. Analisa Data. ………. 45

3.11. Jadwal Kegiatan……….. 46

3.12. Perkiraan Biaya Penelitian……….. 47

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian ……… 48

4.2. Karakteristik Penderita ………...48

4.3. Pembahasan Penelitian………...52

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………56

DAFTAR PUSTAKA……… 57

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK……… 13

Tabel 2. Klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK……… 14

Tabel 3. Otot-otot inspirasi dan ekspirasi……….. 17

Tabel 4. Nilai rata-rata pengukuran laju aliran dinamik pada pria dan wanita dewasa usia 20-30 tahun……… 21

Tabel 5. Nilai referensi untuk tes MVV………. 26

Tabel 6. Kategori Kelemahan Ventilasi………. 26

Tabel 7. Model sesi latihan……….….31

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bentuk diafragma pada subjek normal dan pasien dengan PPOK………… 16

Gambar 2. Otot-otot yang digunakan saat inhalasi dan ekshalasi……… 19

Gambar 3. Grafik MVV yang dapat diterima………. 24

Gambar 4. MVV pada kelainan obstruksi………. 24

Gambar 5a. Pursed lip breathing……….. 29

(16)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Prevalensi obstruksi saluran napas oleh karena merokok pada orang dewasa yang berumur >17 tahun di Amerika……… 9

(17)

DAFTAR ISTILAH

PPOK = Penyakit Paru Obstruktif Kronik

WHO = World Health Organization

ATP = Adenosin Tri Phosphat

Pi

P

max = Pressure Inspiration Maximal

e

MVV = Maximal Voluntary Ventilation

max = Pressure Expiration Maximal

FEV1 = Forced Expiration Volume 1 second

RSUP = Rumah Sakit Umum Pusat

VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa detik pertama

KVP = Kapasitas Volume Paksa

PEEP = Positive End Expiration Pressure

VC = Vital Capacity

FEF25-75%

vital paksa

= Forced Expiratory Flow antara 25% dan 75% dari kapasitas

PEFR = Peak Expiratory Flow Rate

MBC = Maximum Breathing Capacity

BTPS = Body Temperature and Pressure Saturated

ERV = End Residual Volume

(18)

GOLD = Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga

(19)

ABSTRAK

PENGARUH REHABILITASI PARU TERHADAP MVV DAN VEP1 TERHADAP PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK STABIL DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI

ADAM MALIK MEDAN

Fatma Hani Lubis

DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

, Amira P Tarigan, P.S.Pandia

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati, yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dan biasanya bersifat progresif, berhubungan dengan respons inflamasi kronis pada saluran napas dan paru-paru akibat partikel maupun gas berbahaya. Merokok adalah faktor lingkungan yang berhubungan erat dengan kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Pada pasien PPOK, perlu dilakukan pemeriksaan faal paru dan pengukuran kekuatan otot napas. Pemeriksaan MVV direkomendasikan sebagai tes yang lebih spesifik untuk mengukur kelemahan otot pernapasan, sifat mekanik paru-paru dan dada. MVV adalah jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan pada periode tertentu selama pernapasan yang cepat dan kuat. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh program rehabilitasi paru pada penderita PPOK terhadap nilai MVV dan VEP1

METODE

sebelum dan setelah rehabilitasi.

Penelitian ini merupakann suatu uji klinis dengan desain pretest dan post test yang dilakukan di Poli Rawat Jalan RSUP. H. Adam Malik Jl. Bunga Lau No.17 Medan dan rehabilitasi dilakukan di RS Siti Hajar Jl. Letjend. Jamin Ginting Medan yang dilaksanakan selama kurun waktu 12 minggu dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Desember 2013 sebanyak 14 sampel yang terdiri dari 14 pasien PPOK stabil. Dilakukan spirometri dengan manuver MVV dan FVC serta rehabilitasi paru pada semua sampel.

HASIL

Dalam penelitian ini, nilai VEP1 tidak mengalami peningkatan tetapi nilai MVV mengalami peningkatan meskipun itu tidak signifikan secara statistik. Rerata nilai MVV sebelum rehabilitasi 37,379 (SD 17,1296) dan setelah rehabilitasi 38,229 (SD 16,5461). Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna diantara MVV sebelum dan setelah rehabilitasi paru (p=0,052). Rerata nilai VEP1 sebelum

rehabilitasi 45,93 (SD 21,334) dan setelah rehabilitasi 45,21 (SD 19,510). Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna diantara FEV1

KEY WORDS

sebelum dan setelah rehabilitasi paru (p=0,000).

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (non-communicable disease). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.

Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.

1

1

Saat ini PPOK merupakan penyebab kematian

ke-empat di dunia, dan akan meningkat menjadi penyebab ke-3 pada tahun 2020 di seluruh dunia.2 PPOK

adalah penyebab angka kesakitan kronik dan kematian yang sering di dunia.3 Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).1 Prevalensi, mortalitas dan morbiditas terkait langsung dengan prevalensi merokok dan pada beberapa negara dengan polusi udara akibat pembakaran kayu dan dan

bahan-bahan biomasa lain.

Metabolisme aktivitas diafragma pada pasien dengan PPOK lebih rendah daripada subjek normal. Selain terjadi penurunan tingkat ATP (Adenosin Tri Phosphat) otot-otot pernapasan (dimana ATP diperlukan untuk kontraksi otot), bersamaan dengan itu terjadi hiperkapnia, hipoksemia, kekurangan elektrolit dan mineral serta infeksi yang mungkin memberikan kontribusi pada kelemahan otot pada

2

(21)

pasien dengan PPOK berat. Penilaian klinis tentang fungsi global otot pernapasan sering dilakukan dengan mengukur tekanan inspirasi dan ekspirasi maksimum (Pimax, Pemax).

PPOK merupakan penyakit multi sistem organ. Ada berbagai penelitian yang membuktikan bahwa otot skeletal tidak berfungsi secara normal, sehingga mempengaruhi intoleransi terhadap latihan. Maka rehabilitasi paru dilakukan sebagai strategi untuk memperbaiki fungsi otot skeletal. Rehabilitasi paru telah dilakukan oleh beberapa standar pengobatan untuk pasien yang mengalami ketidakmampuan kronik oleh karena penyakit paru mereka.

4

5

Program rehabilitasi pernapasan biasanya terdiri dari berbagai macam intervensi multidisiplin yang terdiri dari latihan fisik, dukungan psikososial, intervensi nutrisi dan edukasi. Namun komponen yang paling efektif dari program ini adalah latihan fisik dan dukungan psikososial.

Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa program rehabilitasi paru bermanfaat pada pasien-pasien PPOK untuk memperbaiki kapasitas latihan, kekuatan otot, gejala dan kualitas hidup. Dimana diketahui bahwa pasien dengan PPOK secara signifikan kurang aktif dalam kegiatan sehari-hari daripada orang sehat yang lebih tua.

6

Skumlien dkk (2007) meneliti tentang rehabilitasi paru yang dilakukan secara intensif selama 4 minggu pada pasien-pasien PPOK dimana setelah rehabilitasi paru, pasien yang menjadi partisipan mengalami perbaikan kekuatan otot pernapasan. Perubahan ini signifikan berbeda dari grup yang tidak dilakukan rehabilitasi paru.

7

8

Troosters dkk (2000) menemukan bahwa rehabilitasi paru yang dilakukan selama 6 bulan pada pasien PPOK memiliki perbaikan yang signifikan terhadap tes berjalan 6 menit, performa latihan maksimal, kekuatan otot pernapasan dan kualitas hidup dalam jangka pendek dan jangka panjang.9 Miyahara dkk (2000) menemukan bahwa dari program rehabilitasi yang dilakukan selama 6 minggu terdapat perubahan nilai Maximal Voluntary Ventilation (MVV), perbaikan kapasitas latihan, pengurangan sesak napas dan perbaikan kualitas hidup pada penderita PPOK.

Penilaian objektif yang sudah lama dilakukan untuk menilai kapasitas ventilasi dari subjek adalah pengukuran kapasitas vital secara sederhana. Disini, pengukuran volume statik sering menghasilkan hasil yang tidak sempurna dan kesalahan penilaian fungsi ventilasi (Gilson dan Hugh-Jones, 1949). Untuk mendeteksi kapasitas ventilasi dari subjek secara individual dari hari ke hari, maka penting untuk

(22)

mengukur kapasitas ventilasi maksimum.11 Sejak digunakan oleh F-Hermannsen (1933), pengukuran kapasitas pernapasan maksimum (M.B.C.) yang sekarang disebut MVV telah digunakan secara luas, dan sekarang secara umum diterima sebagai indeks tunggal terbaik dari kapasitas ventilasi maksimum (Gray, Barnum Matheson, dan Spies, 1950).

Pada pasien PPOK, perlu dilakukan pemeriksaan faal paru dan pengukuran kekuatan otot napas. Pemeriksaan MVV direkomendasikan sebagai tes yang lebih spesifik untuk mengukur kelemahan otot pernapasan, sifat mekanik paru-paru dan dada.

12

13

Tes ini dapat menjelaskan semua faktor-faktor mekanik pernapasan dan menjadi pelengkap informasi jika ada kelainan pada peningkatan pada resistensi saluran napas, pengurangan daya kembang paru dan kekuatan otot pernapasan. Selain itu tes ini merupakan sarana yang berkorelasi dengan sesak napas subjektif dan juga membantu dalam mengevaluasi toleransi terhadap latihan (cadangan pernapasan) dan sebagai nilai prognostik untuk evaluasi sebelum dan setelah operasi yang menggambarkan pengukuran dari kelemahan otot pernapasan. Selain itu nilai MVV yang didapat dihubungkan dengan kehilangan koordinasi dari otot-otot pernapasan, penyakit muskuloskeletal pada dinding dada, penyakit-penyakit neurologi, penyakit-penyakit kronis, seperti PPOK, penyakit restriktif tipe ringan dan sedang. MVV sangat penting untuk menunjukkan toleransi terhadap latihan, pernapasan, dan pada akhirnya menunjukkan cadangan kebugaran fisik.

MVV

14

berguna dalam kondisi dimana kapasitas ventilasi mungkin terganggu oleh mekanisme yang berbeda dari yang mempengaruhi VEP1.15 MVV tidak hanya mencerminkan adanya ventilasi yang baik

tetapi juga kemampuan otot pernapasan untuk mencapai kontraksi yang dibutuhkan. Ferrari K dkk (1997), melakukan penelitian tentang hubungan antara fungsi otot pernapasan dengan sesak napas saat aktivitas pada penderita PPOK, dimana salah satu penilaiannya dengan pemeriksaan MVV. Hasilnya, beban pada otot inspirasi mengakibatkan peningkatan usaha napas yang mana mempengaruhi sensasi sesak napas.

MVV berhubungan dengan sesak napas kronik pada saat aktivitas karena pemeriksaan ini mencerminkan besarnya beban mekanik intrinsik dan kendala mekanik ekspansi volume tidal.16

Sejak awal, MVV telah digunakan secara luas, mungkin karena peralatan yang digunakan relatif minimal. Meskipun MVV sering digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru, banyak kegunaan lain yang telah disarankan. Beberapa peneliti menganggap pemeriksaan ini menjadi suatu tes yang baik untuk

(23)

mengevaluasi fungsi paru, termasuk aspek motivasi, kekuatan otot, ketahanan, dan fungsi saluran napas. Menurut penelitian Harber P,dkk (1985), jika nilai MVV jauh lebih rendah dibandingkan VEP1, hal ini

mungkin karena kelemahan otot dengan adanya penurunan daya tahan tubuh. Penurunan nilai MVV yang tidak sebanding terhadap VEP1 menunjukkan kemungkinan adanya obstruksi jalan napas bagian atas.

Carter R dkk (1987), meneliti tentang prediksi MVV dan VE

17

max berdasarkan pemeriksaan VEP1

pada pasien-pasien PPOK yang dilakukan uji latihan, dimana hasilnya menunjukkan ada korelasi antara VEP1 dengan pengukuran MVV dan VEmax.18 Rasio antara MVV dan VEP1 direkomendasikan sebagai

indikator untuk menilai usaha subjek dalam melakukan manuver spirometri untuk menilai gangguan fungsi paru. Banyak penulis telah menyarankan bahwa rasio MVV dan VEP1 (MVV: VEP1) dapat

digunakan untuk menilai usaha pasien. Karena banyak hasil tes spirometri dipengaruhi oleh usaha subjek yang adekuat, maka penting untuk menilai kemampuan pasien.

Penelitian tentang penilaian kekuatan otot pernapasan dan MVV pada penderita PPOK masih sedikit dan di Indonesia belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai perbandingan kekuatan otot pernapasan sebelum dan sesudah rehabilitasi paru dengan pengukuran MVV dan VEP

17

1.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dibuat suatu rumusan masalah apakah ada peningkatan kekuatan otot-otot pernapasan setelah mengikuti Program Rehabilitasi Paru yang dinilai dengan pemeriksaan Maximal Voluntary Ventilation pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

1.3. Hipotesis

Rehabilitasi paru dapat meningkatkan nilai MVV dan VEP1

1.4.Tujuan Penelitan

pada penderita PPOK stabil.

1.4.1. Tujuan Umum

(24)

1.4.2. Tujuan Khusus

1.4.2.1. Untuk melihat karakteristik demografi penderita PPOK 1.4.2.2. Untuk melihat distribusi penderita PPOK berdasarkan VEP1

sebelum dan setelah rehabilitasi

dan MVV

1.4.2.3. Untuk menilai distribusi PPOK berdasarkan derajat obstruksi sebelum dan setelah rehabilitasi

1.4.2.4. Untuk menilai pengaruh program rehabilitasi paru pada penderita PPOK terhadap nilai VEP1

1.4.2.5. Untuk menilai pengaruh program rehabilitasi paru pada penderita PPOK terhadap nilai MVV

sebelum dan setelah rehabilitasi

sebelum dan setelah rehabilitasi

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Pemeriksaan MVV ini dapat menilai status kesehatan dan kebugaran jasmani penderita PPOK setelah mengikuti program rehabilitasi paru.

1.5.2. Pemeriksaan MVV dapat dilakukan dengan teknik yang benar karena selama ini masih jarang dilakukan.

1.5.3. Memberi masukan agar dilakukan pemeriksaan MVV pada pasien-pasien PPOK untuk menilai kekuatan otot pernapasan.

1.5.4. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengevaluasi toleransi rehabilitasi paru pada penderita PPOK.

1.5.5. Pemeriksaan MVV ini dapat menjadi pemeriksaan yang rutin untuk pasien PPOK dan pasien yang akan menjalani operasi.

1.5.6. Penelitian ini dapat menjadi pedoman untuk dikembangkannya program rehabilitasi paru baik di RSUP H. Adam Malik maupun di RS Siti Hajar Medan.

1.5.7. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak RSUP.H. Adam Malik Medan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan melalui program rehabilitasi paru

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik

2.1.1. Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang menetap, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi kronik pada saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya/beracun. Eksaserbasi dan faktor komorbid mempengaruhi keparahan penyakit secara individual.

2.1.2. Faktor resiko

3

2.1.2.1. Kebiasaan merokok

Merokok merupakan faktor resiko terpenting dalam perkembangan PPOK, merokok juga dihubungkan dengan peningkatan resiko kematian. Sekitar setengah dari perokok memiliki kelainan obstruksi saluran napas dan 10-20% berkembang secara signifikan menjadi PPOK.19

(26)

Untuk menghitung jumlah rokok yang dikonsumsi seseorang selama hidupnya digunakan indeks Brinkman. Indeks Brinkman yaitu jumlah rokok yang dihisap per hari x lamanya merokok dalam tahun.20

Perokok Ringan: 0-199

Berdasarkan indeks Brinkman ini dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:

Perokok Sedang: 200-600 Perokok Berat : >600 2.1.2.2.Bertambahnya usia

Hampir semua penelitian menyebutkan bahwa angka kejadian PPOK lebih besar terjadi pada usia lanjut. Gejala PPOK jarang muncul pada usia muda, umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun. Hal ini disebabkan oleh karena paparan gas, zat-zat berbahaya dan asap yang berlangsung terus-menerus umumnya memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menimbulkan gejala. PPOK juga dapat terjadi pada usia muda dan kejadian PPOK di usia muda lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik.

2.1.2.3. Polusi lingkungan

21

Polusi udara mempengaruhi perkembangan fungsi paru dan menjadi faktor resiko untuk terjadinya PPOK. Suatu studi potong lintang mengemukakan bahwa konsentrasi yang lebih tinggi pada polusi udara atmosfer dihubungkan dengan peningkatan batuk, produksi dahak, sesak napas dan berkurangnya fungsi ventilasi. Polusi udara di dalam ruangan yang berasal dari asap (digunakan untuk memasak) menjadi faktor resiko untuk PPOK, sebagian besar pada perempuan.

2.1.2.4. Pekerjaan

19

Paparan yang lama dan terus-menerus terhadap debu dan bahan-bahan kimia dapat menyebabkan PPOK, tidak tergantung dari riwayat merokok, meskipun merokok tampaknya meningkatkan efek paparan tersebut untuk meningkatkan risiko terkena PPOK. Kira-kira 20% kasus yang didiagnosa dengan PPOK berhubungan dengan pekerjaan. Pekerja tambang yang bekerja di lingkungan yang berdebu akan lebih mudah terkena PPOK. 19

(27)

2.1.2.5. Jenis Kelamin

Peranan jenis kelamin dalam terjadinya PPOK masih belum begitu jelas, namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa prevalensi terjadinya PPOK dan kematian akibat PPOK lebih besar pada pria dibandingkan dengan wanita, hal ini salah satunya disebabkan oleh karena lebih banyaknya jumlah perokok pada laki-laki dibandingkan dengan wanita.

2.1.2.6. Status sosial ekonomi

22,23

Sosial ekonomi sebagai faktor resiko terjadinya PPOK belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang berhubungan dengan status sosial ekonomi kemungkinan dapat menjelaskan hal ini. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan massa otot dan kekuatan serabut otot.

2.1.2.7. Infeksi bronkus yang berulang

23

Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa.

2.1.2.8. Faktor genetik yaitu defisiensi alfa 1 antitripsin

23

(28)

2.1.3. Patogenesis, Patologi dan Patofisiologi

2.1.3.1. Patogenesis PPOK

Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respons inflamasi normal akibat iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme untuk amplifikasi ini belum diketahui, kemungkinan disebabkan faktor genetik. Pada pasien PPOK yang tidak mempunyai riwayat merokok, penyebab respons inflamasi yang terjadi belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis PPOK. Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang melibatkan neutrofil, makrofag dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi dan berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan parenkim paru-paru.

2.1.3.2. Patologi PPOK

3,23

Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran napas proksimal, saluran napas perifer, parenkim dan vaskular paru. Perubahan patologis akibat inflamasi terjadi karena peningkatan sel inflamasi di berbagai bagian paru yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural akibat cedera dan perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural saluran napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit walaupun sudah berhenti merokok.

2.1.3.3. Patofisiologi PPOK

23

Merokok adalah penyebab utama pada PPOK. Rokok dihubungkan dengan agen berbahaya yang melukai epitel saluran napas dan sebagai pemicu inflamasi yang spesifik pada saluran napas dan terjadinya perubahan struktur. Idealnya sekali agen ini masuk, proses perbaikan segera terjadi dan saluran napas kembali pada fungsi dan struktur yang normal. Pada umumnya, proses perbaikan yang tidak adekuat berperan pada terjadinya inflamasi saluran napas yang kronik. Inflamasi bronkus yang tidak mengalami perbaikan menimbulkan perubahan sistemik dan lama kelamaan menjadi degradasi bronkus dan paru.

(29)

Fenomena lain yang mengawali inflamasi saluran napas yang persisten adalah peningkatan stres oksidatif dan ketidakseimbangan protease-antiprotease. Obstruksi saluran napas pada PPOK adalah karena adanya perubahan pada saluran napas kecil dan parenkim paru.

2.1.4. Diagnosis

24

Tabel 1. Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK

Gejala

23

Keterangan

Sesak Progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya waktu) Bertambah berat dengan aktivitas

Persisten (menetap sepanjang hari)

Pasien mengeluh berupa, “Perlu usaha untuk bernapas”

Berat, suka bernapas, terengah-engah Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak Batuk kronik

berdahak

Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan PPOK

Riwayat terpajan faktor resiko

Asap rokok Debu

Bahan kimia di tempat kerja dan asap dapur

Spirometri dibutuhkan untuk menentukan diagnosis, nilai VEP1/KVP <0,70 post bronkodilator

mengkonfirmasi adanya hambatan aliran udara persisten. 3

2.1.5. Klasifikasi

Tabel 2. Klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK (berdasarkan VEP1 post

(30)

2.2. Maximal Voluntary Ventilation

2.2.1. Otot pernapasan

Dasar mekanika pernapasan dari rongga dada adalah inspirasi dan ekspirasi yang digerakkan oleh otot-otot pernapasan. Ketika dada membesar karena aksi otot-otot inspirasi, maka kedua paru mengembang mengikuti gerakan dinding dada. Dengan mengembangnya dada, udara masuk melalui

Ada empat set otot yang mengontrol sistem pernapasan. 26 saluran pernapasan ke alveoli.25

a. Diafragma

Diafragma adalah otot inspirasi yang penting. Diafragma terbagi atas dua otot (kosta dan krural) yang terpisah yang disatukan oleh tendon sentral. Diafragma krural menaik dari vertebra lumbal ke-tiga pertama. Diafragma kostal menaik dari permukaan yang lebih dalam dengan batas atas dari iga ke-enam dan sternum. Nervus frenikus mensarafi diafragma, dengan serabut kosta dipersarafi dari segmen spinal servikal ke-tiga dan ke-empat dan serabut krural dari iga ke-lima dan ke-enam. Pada orang normal, bagian bawah dari iga menutupi bagian atas abdomen pada saat kapasitas fungsional respirasi (FRC). Pada daerah ini, diafragma mendorong berlawanan dengan iga yang bawah (zona aposisi). Kontraksi diafragma seperti piston bergerak ke atas dan ke bawah dari diafragma. Selanjutnya kontraksi diafragma mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal, yang mana tekanan ini mendorong iga ke arah atas dan ke luar.27

Pada pasien dengan hiperinflasi, posisi diafragma lebih ke bawah dan tidak memiliki zona aposisi. Ketika zona aposisi hilang, kontraksi diafragma menjadi berkurang dan dapat menyebabkan pergerakan paradoksal ke dalam iga bawah selama inhalasi (Tanda Hoover) dan pergerakan seperti piston berkurang pada kubah diafragma. Selain itu diafragma menjadi lebih memendek, dimana secara mekanik hal ini tidak menguntungkan karena kemampuan otot untuk menghasilkan tenaga/kekuatan dilemahkan oleh pemendekan diafragma. 27

(31)

Gambar 1. A. Pada manusia normal, bagian bawah dari diafragma terletak berlawanan dengan bagian bawah iga (zona aposisi), sebagaimana yang ditunjukkan oleh tanda panah. Kontraksi diafragma akan menarik kubah diafragma ke bawah dan mendorong iga bawah ke atas dan ke luar (karena peningkatan tekanan abdominal). B. Pada pasien dengan PPOK dan hiperinflasi, zona aposisi menghilang, yang ditunjukkan oleh tanda panah. Kontraksi diafragma menyebabkan pergerakan iga bawah ke dalam.27

b. Otot interkostal

(32)

c. Otot perut

Otot perut tersusun oleh empat lapisan otot yang berbeda. Di ventral, otot terletak di antara kartilago kosta bawah, sternum, pubis dan rektus abdominis. Otot ini ditutup di dalam sebuah kantongan yang dibentuk oleh aponeurosis dari 3 otot. Di lateral, otot oblik terletak miring ke bawah dan ke depan diantara iga ke-delapan, puncak iliak, ligamen inguinal, linea alba medial, oblik eksternal. Permukaan dalam otot ini terletak melewati oblik internal.28

Otot-otot abdomen diam selama pernapasan tenang. Biasanya aktivitas tonus ada di dalam otot-otot abdomen ini dengan posisi ke kanan atas. Selama inspirasi, CO2 menginduksi hiperventilasi, latihan dan ekspirasi paksa dan otot-otot ini digunakan.28

Tabel 3. Otot-otot inspirasi dan ekspirasi 29

Otot-otot inspirasi Otot-otot ekspirasi • Skalenus

• Sternokleidomastoideus • Pektoralis mayor

• Trapezius

• Interkostalis eksterna

•Rektus abdominis

•Oblikus abdominal eksternus •Oblikus abdominis internus •Transversus abdominis •Interkostalis internus

2.2.1.1. Otot yang digunakan saat menarik napas (inhalasi)

Inhalasi adalah proses aktif yang melibatkan kontraksi satu atau lebih dari otot-otot ini:

Kontraksi diafragma meningkatkan volume rongga dada dengan menegangkan dan mendatarkannya ke bagian dasar, dan peningkatan ini menarik udara ke dalam paru-paru. Kontraksi diafragma mempengaruhi sekitar 75% dari pergerakan udara dalam pernapasan normal saat istirahat. Otot-otot interkostalis eksternal membantu inhalasi dengan meninggikan tulang rusuk. Tindakan ini memberikan kontribusi sekitar 25% dari volume udara di paru-paru. Otot aksesori, termasuk sternokleidomastoid, serratus anterior, pektoralis minor, dan otot skalenus, dapat membantu otot-otot

(33)

interkostal eksternal untuk mengangkat tulang rusuk. Otot-otot ini meningkatkan kecepatan dan jumlah gerakan tulang rusuk.30

Pada pasien-pasien PPOK, sesak napas merupakan gejala utama yang membatasi latihan. Bertambahnya sesak dihubungkan dengan hiperinflasi dinamik dan restriksi mekanik seperti bertambahnya volume tidal. Hiperinflasi ini menyebabkan pemendekan diafragma sehingga kekuatan otot-otot pernapasan pun menjadi lebih rendah dan menghasilkan tekanan yang lebih kecil selama kontraksi. 6

2.2.1.2.Otot-otot yang digunakan ketika mengeluarkan napas (ekshalasi)

Pernafasan baik pasif atau aktif, tergantung pada tingkat aktivitas pernapasan. Ketika pernafasan aktif, mungkin melibatkan satu atau lebih dari otot-otot berikut:

Otot interkostal internal dan otot torasikus transversus menekan tulang rusuk dan mengurangi lebar dan kedalaman rongga dada. Otot-otot perut, termasuk otot oblik eksternal dan internal, transversus abdominis, dan otot rektus abdominis, dapat membantu otot-otot interkostal internal dalam pernafasan dengan mengkompresi perut dan memaksa diafragma ke atas.30

(34)

Pada pasien dengan PPOK berat, kombinasi overinflasi paru dan kekurangan gizi menyebabkan kelemahan otot, sehingga mengurangi kapasitas pernapasan otot untuk menghasilkan tekanan selama pernapasan tidal. Selain itu, beban terhadap otot pernapasan meningkat karena adanya peningkatan resistensi saluran napas. Overinflasi paru menyebabkan pemendekan dan pendataran dari diafragma. Selama pernapasan tidal pada subjek normal, inspirasi dicapai oleh kontraksi dari diafragma dan ekspirasi secara pasif, dan tergantung pada elastisitas paru-paru dan dinding dada. Akibatnya, pasien dengan PPOK perlu menggunakan otot-otot tulang rusuk mereka dan otot inspirasi aksesori, seperti sternomastoid, bahkan selama pernapasan tenang. Selama latihan, terjadi gerakan paradoksal tulang rusuk. Anehnya, meskipun penyempitan jalan napas memburuk pada saat ekspirasi pada pasien-pasien PPOK, namun otot pernapasan pada saat inspirasi yang paling bermasalah. Pada pasien dengan PPOK, otot-otot pernapasan menunjukkan beberapa kelainan morfologi yang secara teoritis bisa berkontribusi pada kelemahan otot. Meskipun proporsi serat tipe I (kontraksi lambat) dan serat tipe II (kontraksi cepat) adalah sama pada subyek normal dan pada pasien dengan PPOK, namun ada beberapa perubahan, seperti penurunan diameter serat yang berbeda secara individual, variasi ukuran serat dan pemisahan serat.25

2.2.2. Mekanisme Ventilasi pada penderita PPOK

(35)

Pasien-pasien PPOK sangat sulit untuk mengontrol volume akhir ekspirasi. Destruksi dinding alveol dan degradasi jaringan penyambung mengakibatkan daya kembang kedua paru berkurang dan berhubungan dengan hambatan saluran napas, mengakibatkan saluran napas kolaps abnormal ketika tekanan intratoraks melebihi tekanan pada saat pengeluaran napas secara aktif.Untuk mengatasi kelainan ini dan mempertahankan volume paru akhir ekspirasi dengan mengurangi usaha napas dan pasien cenderung memperlama pengeluaran napas. 32

2.2.3. Tes Fungsi Paru

Tes fungsi paru pada umumnya sangat tergantung pada kerjasama dari subjek yang diuji. Dalam beberapa kasus, terutama dalam kasus yang melibatkan kompensasi finansial, tes fungsi paru harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi klinis lengkap, dan dokter yang terlibat harus mengamati hasil tes yang dihasilkan. Namun demikian,kurangnya kerjasama biasanya dapat diidentifikasi berdasarkan gambaran kurva, kapasitas vital (VC) menurun dan tidak menunjukkan kurva yang mulus mencapai nilai maksimum.32

Tabel 4. Nilai Rata-rata Pengukuran Laju Aliran Dinamik pada Pria dan Wanita Dewasa Usia 20-30 tahun29

Pengukuran ukuran Pria Pria Wanitaanita VEP

4,5 L/detik (270 L/menit) 10 L/detik (600 L/menit) 170 L/menit

83%

3,5 L/detik (210 L/menit) 7,5 L/detik (450 L/menit) 110 L/menit

2.2.4. Maximal Voluntary Ventilation (MVV)

(36)

Pengukuran fungsi paru-paru dinamis sebelumnya difokuskan kepada manuver tunggal ekspirasi atau inspirasi maksimal saja. Sebaliknya, pemeriksaan MVV tergantung pada pergerakan udara masuk dan keluar dari paru-paru dengan upaya maksimal terus-menerus sepanjang interval yang telah ditetapkan.

MVV adalah tes sederhana, informatif yang memberikan penilaian secara keseluruhan dari usaha, koordinasi, dan elastisitas dan sifat resistif dari aliran sistem pernapasan. MVV adalah suatu indeks daya tahan otot pernapasan pada saat ekspirasi biasa. MVV adalah jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan pada periode tertentu selama pernapasan yang cepat dan kuat. Nilai MVV berkorelasi dengan kekuatan otot pernapasan dan mungkin bahkan lebih sensitif dari kapasitas vital dalam mendeteksi kelemahan otot pernapasan.33 Pada subjek normal dapat melakukan manuver ini selama 12 detik.34

Rata-rata MVV untuk pria sehat berusia 20 sampai 30 tahun adalah sekitar 170 L/menit, dan untuk wanita usia yang sama adalah sekitar 110 L/menit. MVV menurun sesuai dengan usia dan penyakit paru obstruktif kronis. MVV relatif normal pada penyakit paru restriktif dan MVV menurun sesuai dengan usia.29

Terminologi lama mengenai volume ini adalah Maximum Breathing Capacity (MBC). MVV tergantung dari faktor-faktor fisiologis, termasuk pergerakan pada dinding dada, otot pernapasan dan resistensi paru.35 Beberapa faktor yang mempengaruhi subjek selama pengukuran MVV adalah kekuatan otot, daya kembang paru dan rongga dada dan resistansi saluran napas dan jaringan-jaringan paru. Oleh karena itu, pengukuran MVV berguna untuk mengevaluasi mekanisme pernapasan. Perubahan nilai MVV juga mencerminkan kombinasi dari faktor-faktor ini yang menghalangi diagnosis definitif tanpa studi tambahan dari fungsi paru.36

a. Nilai MVV yang dapat diterima

Setelah membuang 3-5 napas pertama, subjek secara aktif didorong untuk mempertahankan volume dan frekuensi yang sama dengan mengikuti tampilan pada layar komputer yaitu, tingkat akhir ekspirasi tetap relatif konstan. Setidaknya dua dari manuver dapat diterima (dengan tidak lebih dari 10% perbedaan antara mereka), nilai tertinggi dicatat dengan ekstrapolasi 15 detik dengan akumulasi volume selama 1 menit (liter/menit, suhu tubuh, kejenuhan dengan air BTPS).37

(37)

Grafik MVV penting untuk diperhatikan. Puncaknya tajam dan sama bentuknya ke atas dan ke bawah dalam satu garis lurus (garis-garis putus merah).38

Gambar 3. Grafik MVV yang dapat diterima. Manuver dilakukan minimal selama 12 detik. Bentuk kurva berbentuk seperti tangga tidak dapat diterima.34

(38)

Gambar 4. MVV pada kelainan obstruksi 39

b. Interpretasi MVV

Nilai MVV yang rendah dapat terjadi pada penyakit obstruktif tapi lebih sering terjadi dalam kondisi restriktif. Jika MVV rendah tetapi VEP1

MVV dapat diukur dengan mengalikan VEP

dan KVP normal, berarti usaha pasien yang kurang, gangguan neuromuskuler, atau adanya lesi saluran napas utama harus dipertimbangkan.39

1 x 35. Jika nilai MVV yang diukur sangat berbeda

dengan nilai dari perhitungan ini, maka perbedaan ini disebabkan oleh karena usaha pasien yang kurang. Kelemahan otot dan penyakit pada saluran napas utama juga menyebabkan penurunan MVV di luar proporsinya terhadap VEP1

Saat menginterpretasikan hasil MVV, perlu diingat bahwa tes ini tergantung pada usaha pasien. Penurunan nilai MVV tidak spesifik dan dapat terjadi oleh beberapa hal berikut ini:

. 15

Usaha pasien kurang maksimal atau pengarahan/pembinaan dari operator kurang baik

34

a. Ada obstruksi pada saluran napas (PPOK, asma, lesi pada saluran napas atas) b. Penyakit restriktif dimana kapasitas vital paksanya rendah

c. Kondisi fisik yang lemah (kelemahan secara keseluruhan) d. Kelemahan otot-otot pernapasan

(39)

Pasien seringkali melakukan manuver dimana mereka merasa nyaman. Pola pernapasan yang lembut dan ritmik sulit untuk menghasilkan nilai yang optimal. Nilai prediksi untuk tes MVV ditunjukkan dalam tabel berikut: 35

Tabel 5. Nilai referensi untuk tes MVV yaitu:35

Menurut Borren dan kolega

Laki-laki 3,39 (tinggi badan dalam inchi) – 1,26(umur) -21,4 Menurut Grimby dan Soderholm

Laki-laki Perempuan

79,0(tinggi badan dalam meter) – 1,42(umur) + 76 138 – 0,77(umur)

Nilai MVV akan menurun pada pasien-pasien dengan obstruksi jalan napas, kelemahan otot pernapasan atau koordinasi dan usaha yang lemah dari pasien.35

Perhitungan atau perkiraan untuk tes MVV dapat dibuat dari formula berikut:

MVV yang dihitung = 40 x VEP1 atau 35 x VEP

Tabel 6. Kategori Kelemahan Ventilasi 40

1

2.3. Rehabilitasi Paru

Keterbatasan aktivitas pada penderita PPOK telah diteliti selama 10 tahun

(40)

Banyak program rehabilitasi paru saat ini melibatkan 2-3 sesi per minggu yang direkomendasikan oleh pedoman internasional. Bauman HJ, dkk (2012) meneliti apakah ada hubungan perbaikan kemampuan fisik dan kualitas hidup pada pasien PPOK dengan program rehabilitasi jangka panjang intensitas rendah, sekali seminggu menggunakan sumber daya yang terbatas.42. Dari studi yang dilakukan pada pasien PPOK derajat sedang-berat menunjukkan bahwa fisioterapi dan program rehabilitasi paru jangka panjang dengan intensitas latihan lebih rendah daripada yang direkomendasikan saat ini, dicapai perbaikan klinis yang signifikan dalam hal kemampuan fisik.

Meskipun rehabilitasi pada pasien-pasien PPOK dapat memperbaiki kapasitas latihan dan kualitas hidup, namun protokol standard belum ditetapkan. Untuk memperjelas apakah perbaikan kualitas hidup dan fisiologis dapat dicapai, Miyahara N dkk melakukan program rehabilitasi paru 5 hari per minggu selama 3 minggu dengan mengikutsertakan 18 pasien PPOK ke dalam program rehabilitasi paru. Latihan fisik berupa senam peregangan otot pernapasan dan latihan dengan sepeda ergometer. Tes fungsi paru berupa tes latihan ergometer bertahap, tes berjalan 6 menit dan penilaian kualitas hidup dengan kuesioner respiratori kronik. Ada perbaikan yang signifikan terhadap kualitas hidup dalam hal sesak napas, kelemahan dan kondisi emosional. Pada beberapa studi, durasi program ini lebih dari 6 minggu. 10

Program rehabilitasi paru biasanya terdiri dari intervensi multidisiplin yaitu latihan, dukungan psikososial, intervensi nutrisi, edukasi dan terapi kejuruan. Dari komponen-komponen ini yang paling efektif yang umumnya diterima adalah latihan dan dukungan psikososial. 41

Metode rehabilitasi paru menurut ATS dan ERS 2006 yaitu: 43 2.3.1. Berhenti merokok

Penurunan fungsi paru sesuai dengan umur dan VEP1 menurun 20 ml setiap tahun setelah umur

20 tahun. Pada perokok penurunan VEP1 35-40 ml. Tidak ada pengobatan yang dapat dengan cepat

mengurangi penurunan fungsi paru pada perokok. Hanya berhenti merokok yang dapat mencegah penurunan fungsi paru. 43

(41)

2.3.2. Pembersihan sekret

Batuk dan produksi dahak sering terjadi pada pasien PPOK. Adanya dahak pada saluran napas tidak hanya mengganggu proses ventilasi tetapi juga kapasitas fisik. Oleh karena itu pembersihan saluran napas dari dahak merupakan tahapan yang penting sebelum memulai latihan. Fisioterapi dada membantu pengeluaran dahak dan mencegah efek kelanjutannya seperti sesak napas dan hipoksemia. Batuk yang dikontrol dan pengeluaran napas secara paksa adalah teknik yang berguna. Teknik ini sebaiknya dilakukan setiap pagi 10 menit setelah pemakaian bronkodilator kerja singkat. Drainase postural dilakukan pada pasien-pasien dengan penyakit terlokalisasi. Gravitasi membantu drainase dahak. Kombinasi fisioterapi dada dan drainase postural semakin memperkuat pengeluaran dahak, namun tidak memperbaiki fungsi paru. 43

2.3.3. Teknik pernapasan

Pasien diajarkan untuk bernapas lebih lambat dan lebih dalam untuk mengurangi ruang rugi dan meningkatkan pengeluaran CO2

Pola pernapasan diafragma lain yang dapat mengalihkan perhatian pasien dari distres pernapasan dan mengurangi kecemasan. Jenis pernapasan ini dipraktekkan bila pasien tidak dalam keadaan tertekan. Satu tangan diletakkan pada dada dan tangan yang lain pada perut. Pasien diinstruksikan untuk bernapas dengan pernapasan perut dengan inspirasi dalam dan lambat dan mengikuti pergerakan dinding perut. 43

(42)

Gambar 5a. Pursed lip breathing

Gambar 5b. Pernapasan diafragma: selama inspirasi, diafragma turun ke bawah dan perut bergerak ke arah luar. Pasien mengeluarkan napas melalui hidung dengan perut bergerak ke arah dalam.

2.3.4. Latihan Fisik

Latihan menggantikan serat otot tipe II dengan serat otot tipe I. Latihan membentuk massa dan kekuatan otot. Diketahui bahwa peningkatan kapasitas latihan memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi gejala sesak napas. Latihan juga memiliki keuntungan psikososial dengan penurunan prevalensi depresi.43

2.3.4.1. Jenis-jenis latihan

Ketahanan dan kekuatan otot meningkat pada kelompok yang dilakukan latihan. Oleh karena itu dianjurkan latihan otot gerak atas dan otot gerak bawah. Latihan otot gerak bawah mencakup tread mill, sepeda ergometri dan berjalan di koridor. 43

Pasien-pasien yang baru terkena serangan infark miokard (3 bulan terakhir), angina yang tidak stabil, tekanan darah yang tidak terkontrol, artritis debilitating, gagal jantung kongestif, demensia, penyakit vaskuler perifer dan neurologis tidak disarankan untuk mengikuti rehabilitasi paru. 43

(43)

2.3.4.2. Intensitas dan durasi latihan

Berdasarkan penyebab dari PPOK, faktor komorbid dan pengecilan otot maka dilakukan latihan dengan intensitas mederat-tinggi. Latihan dengan intensitas tinggi mencakup latihan 90-100% dari kapasitas latihan maksimal atau dari denyut nadi. Skala index Borg untuk sesak napas lebih dari 4-6 kali atau adanya laktat darah sebagai indikator intensitas latihan. Sesi latihan untuk pasien rawat jalan minimal 3 sesi per minggu. Minimal program ini diikuti 6-7 minggu. Latihan yang kurang dari 6 minggu memiliki keuntungan yang lebih kecil. 43

Tabel 7. Model sesi latihan. 42

Sesi 1-3 Sesi 4-6 Sesi 7-9 Sesi 10 Fisioterapi 20 menit

Teknik

(44)

Kerangka Konsep Teoritis

Inflamasi saluran napas

Hambatan aliran udara

PPOK

Perubahan metabolisme

otot rangka Perubahan proses oksidatif ke glikolisis Kadar laktat lebih cepat meningkat selama latihan Mudah lelah

Daya elastisitas paru hilang

Hiperinflasi & obstruksi jalan napas kronik Proses ekspirasi terganggu

Air trapping

Diafragma mendatar Penurunan kapasitas fungsional dan

kualitas hidup

Rehabilitasi Paru

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu uji klinis dengan desain pretest dan post test dengan tujuan untuk menilai perubahan nilai Maximal Voluntary Ventilation penderita PPOK sebelum dan setelah mengikuti program rehabilitasi paru.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Poli Rawat Jalan RSUP. H. Adam Malik Jl. Bunga Lau No.17 Medan dan rehabilitasi dilakukan di RS Siti Hajar Jl. Letjend. Jamin Ginting Medan. Rencana penelitian ini akan dilaksanakan selama kurun waktu 12 minggu dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Desember 2013. 3.3. Populasi dan Subjek Penelitian

3.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua penderita PPOK stabil yang dirawat jalan di poli PPOK RSUP. H. Adam Malik Medan

3.3.2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi a. Kriteria inklusi

1. Penderita PPOK rawat jalan derajat ringan sampai dengan berat 2. Kisaran umur 40-75 tahun.

3. Memiliki riwayat merokok yang dinilai berdasarkan Indeks Brinkman Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun:

Perokok Ringan: 0-200 Perokok Sedang: 200-599

Perokok Berat: >600 4. VEP1

5. VEP

lebih dari 30% prediksi

(46)

6. Tidak sedang mengalami eksaserbasi 7. Meneruskan obat-obatan dari poli PPOK

8. Setelah prosedur penelitian dijelaskan kepada penderita, penderita bersedia menandatangani formulir persetujuan setelah penjelasan atau informed consent yang ada.

b. Kriteria Eksklusi :

1. Menderita asma dan penyakit paru lainnya. 2. Menderita kelainan jantung

3. Menderita kor pulmonale 4.

5. Paska operasi

Menderita hemoptisis

dada atau perut 6. Mual atau

3.3.3. Sampel

muntah

Sampel adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak terdapat kriteria eksklusi

3.4. Besar Sampel

Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus : n = { (zα + zβ)s

(x2) }2

Zα : kesalahan alfa adalah resiko membuat kesalahan positif semu : 0,05 dengan “confidence level “ 95% maka Z= 1,960

Zβ : simpangan teknis : 0,2 maka Z = 0,842

S : simpang baku kedua kelompok = 78 (Kennedy, 1953) 12

X : perubahan MVV setelah rehabilitasi paru = 58,11 (Paulin, 2007) 44

(47)

Jumlah sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini : n = { (1,960 + 0,842) 78 }2

( 58,11 ) 2

= 14

Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini = 14 orang

3.5. Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dengan teknik non random sampling yaitu consecutive sampling dimana

semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah

subjek yang diperlukan terpenuhi.

(48)

3.6. Kerangka Penelitian

Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

pemeriksaan VEP1, MVV

dengan spirometer

Perlakuan rehabilitasi 8 minggu Penderita PPOK stabil

Analisa statistik

pemeriksaan VEP1, MVV

dengan spirometer

(49)

3.7. Cara Kerja Penelitian

Peserta yang dipilih untuk mengikuti penelitian ini adalah penderita-penderita yang memenuhi semua kriteria inklusi dan eksklusi. Data awal peserta dicatat berupa nama, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, tinggi badan, berat badan dan riwayat pemakaian obat bronkodilator. Penderita dianamnesa kembali apakah dijumpai batuk berulang dengan atau tanpa dahak, sesak napas dengan atau tanpa napas berbunyi, adanya riwayat merokok dan terpapar oleh asap rokok, debu maupun bahan kimia di tempat kerja. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik apakah dijumpai pernapasan dengan mulut mencucu, bentuk dada seperti tong (Barrel chest), sela iga melebar, ekspirasi memanjang dan mengi. Diamati juga foto toraks dengan gambaran hiperlusen, adanya pelebaran sela iga, corakan bronkovaskuler bertambah dan adanya jantung menggantung. Selanjutnya dilakukan spirometri pada pasien dengan nilai VEP1

Setelah memastikan diagnosa pasien dengan PPOK, maka dilakukan pemeriksaan spirometri dengan manuver MVV.

/KVP 0,70 post bronkodilator.

Cara melakukan pemeriksaan MVV:

a. Jelaskan dan demonstrasikan manuver kepada pasien

b. Pasien posisi duduk dan penjepit hidung sebaiknya digunakan

c. Instruksikan kepada pasien untuk menempatkan mulutnya pada mouthpiece dan kemudian bernapas biasa sedikitnya tiga napas saat istirahat kemudian bernapas ke dalam dan ke luar (inspirasi dan ekspirasi) secara cepat dan sedalam mungkin. Lidah dan gigi harus diposisikan sehingga tidak menghalangi aliran udara.

d.

Teknisi harus antusias melatih subjek untuk melakukan manuver dengan baik, dan mungkin perlu menyarankan subjek untuk bernapas lebih cepat atau lebih lambat untuk mencapai tingkat ideal 90-110 napas/menit, meskipun subyek dengan penyakit tidak selalu mencapai tingkat ini dan volume tidal (VT) selama manuver harus lebih besar dari VT istirahat subjek.

e. Instruksikan pemeriksaan dengan pengawasan selama 15 detik. Periksa apakah hasilnya dapat diterima atau tidak

(50)

f. Biarkan pasien istirahat minimal 5 menit sebelum mengulang manuver berikutnya g. Pasien menjalani program rehabilitasi paru sebagai berikut:

1. Latihan relaksasi

1.1.Latihan pernapasan diafragma 1.2.Pursed lips breathing

1.3.Latihan batuk 2. Latihan pernapasan 3. Terapi fisik dada 4. Latihan fisik

4.1.Endurance exercise

4.2.Resistance training

Lama : 8 minggu (2 bulan)4 tahap

Intensitas : 2 kali seminggu Durasi : 46-51 menit persesi

Waktu : sebaiknya Pagi (09 –11.00 wib ) Jumlah : 4 – 10 orang persesi

Tahap I ( 2 minggu )

Kegiatan Durasi Modaliti

Edukasi dan dukungan psikososial 15 menit -peninjauan ulang terhadap tatalaksana PPOK -informasi nutrisi Pemanasan 5 menit -latihan relaksasi

-latihan pernapasan -peregangan otot

Atas : leher, bahu, siku, lengan atas

dan bawah

(51)

Bawah : lutut dan tumit

Latihan sepeda ergometer 5 menit 15 putaran permenit tanpa hambatan

Latihan berjalan 6 menit pasien berjalan bolak-balik selama 6 menit

Pendinginan 5 menit -latihan pernapasan -peregangan otot Terapi fisik dada 15 menit -clapping

-vibrasi

-postural drainase

Total 51 menit

Tahap II ( 3 minggu )

Kegiatan Durasi Modaliti

Pemanasan 5 menit -latihan relaksasi -latihan pernafasan

-peregangan : atas & bawah (idem) Bersepeda ergometri

Latihan berjalan

10 menit

6 menit

-tanpa hambatan dengan kecepatan sesuai dengan kemampuan pasien - pasien berjalan bolak-balik selama 6 menit

Latihan beban lengan atas 5 menit -dengan 1 kg beban atau botol air mineral 500 ml

Pendinginan 5 menit -latihan pernapasan

(52)

Terapi fisik dada 15 menit -clapping -vibrasi

-postural drainase

Total 46 menit

Tahap III ( 2 Minggu )

Kegiatan Durasi Modaliti

Pemanasan 5 menit -latihan relaksasi -latihan pernapasan -peregangan : atas, bawah Bersepeda ergometri

Latihan berjalan

10 menit

6 menit

-tanpa hambatan sesuai dengan kemampuan pasien

-pasien berjalan bolak-balik selama 6 menit

Latuhan naik turun tangga 10 menit Ukuran standar > 12 langkah per menit

Pendinginan 5 menit -latihan pernapasan diafragma -peregangan : atas dan bawah Terapi fisik dada 15 menit -clapping

-vibrasi

-postural drainase

Total 51 menit

h. Setelah selesai menjalani program rehabilitasi paru, dilakukan pemeriksaan spirometri ulang dan manuver MVV untuk membandingkan hasilnya sebelum dan sesudah rehabilitasi paru.

(53)

Bahan dan alat kerja 1. Spirometri

2. Tensimeter (tipe), stetoskop (Littman)

3. Pulse oksimeter

4. Tabung oksigen

5. Alat nebulizer

6. Bronkodilator β2 agonis inhaler dan nebule, deksametason

7. Formulir data dasar

8. Formulir persetujuan Identifikasi variabel

Variabel bebas : rehabilitasi paru Variabel terikat :

1. VEP1

2. MVV (Maximal Voluntary Ventilation)

(Volume Ekspirasi Paksa detik pertama)

3.8.Definisi Operasional

a. Tinggi badan (TB) : satuan dalam sentimeter (cm) sesuai dengan hasil pengukuran b. Berat badan (BB) : satuan dalam kilogram (kg) sesuai dengan hasil pengukuran c. PPOK ( penyakit paru obstruktif kronik )

Berdasarkan spirometri, dinyatakan obstruksi pada PPOK bila nilai VEP1<80% nilai prediksi dan

VEP1

d. Kriteria PPOK stabil : /KVP<70%

d.1. Tidak dalam kondisi gagal nafas akut pada gagal nafas kronik. d.2. Dahak tidak berwarna atau jernih

d.3. Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK d.4. Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan

(54)

e. Dengan menggunakan alat spirometri di poli PPOK, maka derajat PPOK

terbagi menjadi :

e.1. PPOK Derajat Ringan : VEP1/KVP < 70%, VEP1

disertai keluhan batuk kronik dan produksi sputum. Biasanya penderita ≥ 80% nilai prediksi,

tidak sadar akan kelainan di paru-parunya.

e.2. PPOK Derajat Sedang : VEP1/KVP < 70% ; 50% < VEP1

prediksi, dengan sesak napas yang terjadi saat latihan berat. Biasanya < 80% nilai

penderita mulai mencari pengobatan karena gangguan pernapasan

kronik dan eksaserbasi PPOK.

e.3. PPOK Derajat Berat : VEP1/KVP < 70% ; 30%<VEP1

prediksi, sesak napas bertambah berat, penurunan kapasitas latihan, <50% nilai

dan eksaserbasi yang berulang, sehingga berdampak pada kualitas

hidup penderita.

,50% penderita terganggu dan eksaserbasi dapat

f. VEP1

g. VEP

: Volume ekspirasi paksa persatu detik yaitu volume udara yang dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 1 detik pertama waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal

1

h. MVV adalah jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan pada periode tertentu selama pernapasan yang cepat dan kuat

prediksi adalah volume ekspirasi paksa detik pertama nilai prediksi untuk menentukan ukuran derajat obstruksi dalam persen.

i. Rehabilitasi paru: merupakan sebuah program yang komprehensif untuk rehabilitasi pernafasan pasien meliputi: terapi medis, program berhenti merokok, pendidikan pasien dan keluarga, latihan berupa latihan fisik dan gizi

(55)

3.9. Pengolahan Data

Pengolahan data hasil penelitian ini diformasikan dengan menggunakan langkah - langkah berikut

:

a. Editing : untuk melengkapi kelengkapan, konsistensi dan kesesuaian antara kriteria yang diperlukan

untuk menjawab tujuan penelitian.

b. Coding : untuk mengkuatifikasi data kualitatif atau membedakan aneka karakter. Pemberian kode ini

sangat diperlukan terutama dalam rangka pengolahan data, baik secara manual maupun dengan

menggunakan komputer.

c. Cleaning : pemeriksaan data yang sudah dimasukkan ke dalam program komputer guna menghindari

terjadinya kesalahan pada pemasukan data.

3.10.Analisa Data

3.10.1.Univariat: untuk melihat karakteristik PPOK berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan, suku bangsa, status pernikahan dan pekerjaan sebelum dan setelah rehabilitasi paru dalam bentuk tabel frekuensi distribusi.

3.10.2.Bivariat: untuk melihat bagaimana pengaruh program rehabilitasi paru terhadap fungsi paru dan otot pernapasan, nilai VEP1

t test dependent dan uji Chi square

dan nilai MVV yang dihitung dengan uji perbedaan mean (t test) yang dilanjutkan dengan uji

3.11 Jadwal Kegiatan

No KEGIATAN I II-X X-XI XII

1 Persiapan

2 Pengumpulan Data

3 Pengolahan Data

4 Penyusunan Laporan

(56)

3.12. Perkiraan Biaya Penelitian

a. Pengumpulan kepustakaan Rp.

500.000,-b. Pembuatan proposal Rp.

500.000,-c. Seminar proposal Rp.

4.000.000,-d. Penggandaan proposal Rp.

1.000.000,-e. Biaya penelitian

-Biaya rehabilitasi paru

Rp. 100.000 x 16 pertemuan x 14 orang Rp. 22.400.000,-

- Konsumsi sampel penelitian Rp.

500.000,-f. Pembuatan dan penggandaan laporan Rp.

700.000,-g. Seminar hasil penelitian

Jumlah Rp. 33.600.000,- Rp.

(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini jumlah penderita PPOK yang mengikuti penelitian sebanyak 14 orang yang dibagi menjadi 3 kelompok untuk memudahkan perlakuan program rehabilitasi dimana 2 kelompok pertama terdiri dari 4 orang dan 1 kelompok terakhir terdiri dari 6 orang. sebelum dan setelah rehabilitasi dilakukan pemeriksaan spirometri berupa manuver KVP dan MVV. Hasil penelitian kemudian dianalisa secara statistik dan hasil disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

4.2.KARAKTERISTIK PENDERITA

Karakteristik penderita yang diperlihatkan pada tabel 4.1. s/d 4.8. menunjukkan nilai uji statistik yang tidak terdapat perbedaan bermakna diantara seluruh peserta. Keempat belas subjek penelitian semuanya berjenis kelamin laki-laki.

4.2.1. Umur

Distribusi peserta penelitian menurut umur dapat dilihat pada tabel 4.1. Penderita berumur antara 40 sampai ≥66 tahun. Penderita PPOK yang terbanyak berusia lebih dari 60 tahun (57,2%)

Tabel 4.1. Distribusi penderita PPOK berdasarkan umur

Gambar

Grafik 1. Prevalensi obstruksi saluran napas oleh karena merokok pada orang dewasa yang berumur >17
Gambar 1. A. Pada manusia normal, bagian bawah dari diafragma terletak berlawanan dengan bagian bawah iga (zona aposisi), sebagaimana yang ditunjukkan oleh tanda panah
Gambar 2. Otot-otot yang digunakan saat inhalasi dan ekshalasi 30
Tabel 4. Nilai Rata-rata Pengukuran Laju Aliran Dinamik pada Pria dan Wanita Dewasa Usia 20-30
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menyampaikan informasi, Sekolah TARUNA TERPADU BOGOR masih menggunakan cara yang manual, hal ini yang mendorong penulis untuk melakukan penulisan ilmiah mengenai Pembuatan

Berangkat dari hal-hal di atas, peneliti memutuskan untuk memfokuskan penelitian tindakan kelas dengan judul “Peningkatan Rasa Percaya Diri Siswa Melalui Advocacy

Therefore, we present two relative orientation methods by using corresponding image points only: the first method will use quasi ground control information, which is generated

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang tidak akan direklasifikasi ke laba rugi. Penyesuaian akibat penjabaran laporan keuangan dalam mata

Merely the application of the M4P market system framework (Figure 1) to a typical RAS system, illustrates the usefulness of this framework – but also the importance

Percaya kepada kitab-kitab Allah SWT hukumnya adalah wajib ‘ain atau wajib bagi seluruh warga muslim di seluruh

Penelitian ini bertujuan menganalisa keberadaa~ tari Balanse Madam dar untuk mengungkapkan makna dan fungsi di balilc tarian tersebut dalam kepidupan sosial masyarakat suku

Hikmah iman kepada Malaikat : Bertindak hati-hati dalam berperilaku keseharian, Memiliki kepedulian sosial dalam hidup dengan masyarakat sekitar, Perilaku