PERUBAHAN SISTEM DAN POLA PERTANIAN RAKYAT DI DESA SUKATENDEL KABUPATEN KARO (1965-2005)
SKRIPSI DIKERJAKAN
O L E H
OKTA SELVIA SINUHAJI NIM 070706029
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lembar Persetujuan Skripsi
PERUBAHAN SISTEM DAN POLA PERTANIAN RAKYAT DI DESA SUKATENDEL KABUPATEN KARO (1965-2005)
Yang diajukan oleh
Nama : Okta Selvia Sinuhaji
NIM : 070706029
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:
Pembimbing
Drs. Wara Sinuhaji M.Hum Tanggal:
NIP. 195707161985031003
Ketua Departemen Ilmu Sejarah
Drs. Edi Sumarno M.Hum Tanggal:
NIP. 196409221989031001
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
PERUBAHAN SISTEM DAN POLA PERTANIAN RAKYAT DI DESA SUKATENDEL KABUPATEN KARO (1965-2005)
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O
L E H
Okta Selvia Sinuhaji Nim 070706029
Pembimbing
Drs. Wara Sinuhaji M.Hum NIP. 195707161985031003
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Ilmu Budaya Dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Lembar Persetujuan Ketua Departemen
Disetujui Oleh
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
Medan
Departemen Ilmu Sejarah
Ketua Departemen Ilmu Sejarah
Drs. Edi Sumarno M.Hum
NIP. 196409221989031001
Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan & Panitia Ujian
Diterima oleh:
Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Ilmu Budaya
Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
Pada:
Hari:
Tanggal:
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Dekan
Dr. Syahron Lubis M.A
NIP. 19511013197603100
Panitia Ujian
No. Nama Tanda Tangan
1. Drs. Edi Sumarno M.Hum (___________)
2. Dra. Nurhabsyah M.Si (___________)
3. Drs. Wara Sinuhaji M.Hum (___________)
4. Dra. Ratna M.S (___________)
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai
sumber segala hikmat yang telah melimpahkan berkat dan karunia-Nya sejak awal
hingga akhir perkuliahan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi
ini merupakan salah satu syarat kelulusan akademik Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul, Perubahan Sistem
dan Pola Pertanian Rakyat Di Desa Sukatendel Kabupaten Karo (1965 – 2005),
dimana isi serta materi skripsi didasarkan pada studi lapangan dan literatur yang
mendukung dengan menganalisa informasi yang diperoleh dari wawancara kepada
sejumlah petani di Desa Sukatendel.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada
semua pihak yang sudah membantu, serta memberikan berbagai kritik dan saran
selama penulisan skripsi ini berlangsung;
- Kepada kedua orang tua tercinta, M. Sinuhaji dan N. br Perangin-angin, yang
telah memberi banyak dukungan moril dan materil kepada penulis selama
penelitian. Demikian juga kepada saudara-saudariku, Indra Jaya Sinuhaji, S.T,
Mulyani br Sinuhaji S.P, Juniawan Sebayang, S.P dan Aurelia.
- Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. Syahron Lubis M.A, beserta seluruh
staffnya.
- Bapak Drs. Edi Sumarno, M. Hum dan Ibu Dra. Nurhabsyah M.Si, selaku
- Bapak Drs. Wara Sinuhaji, M. Hum, selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, serta membimbing penulis hingga skripsi ini selesai.
- Seluruh Civitas Akademika di jajaran Fakultas Ilmu Budaya, khususnya staf
pengajar dan staf administrasi Jurusan Ilmu Sejarah.
- Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karo, Naomi Sinuhaji yang telah memberi
izin kepada penulis guna ‘meminjam’ data di bagian arsip.
- Kepala Desa Sukatendel, Bapak Ngapul Surbakti, yang turut serta telah
membantu penulis selama penelitian.
- Seluruh warga Desa Sukatendel, terkhusus Nande Mara br. Perangin-angin
selaku informan kunci; dan kepada para petani yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk diwawancarai selama penelitian berlangsung.
Terima kasih kepada KOSMAS Community (Marina Putri Sebayang S.Farm,
Elisa Hari Septi Simanjuntak, S.S, Imelia Anita Listari Lubis, Jamin Kembaren
A.Md, Enda Ginting; dan kamar no.8)
Penulis berterima kasih kepada teman-teman stambuk 2007 Ilmu Sejarah;
Intan Purnama Sari Rumahorbo, Yudika Situmorang atas kebersamaan dan dukungan
yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini; dan kepada Antonius Lambok Ginting,
Fasrah Aka Sihaloho, Henry Imanuel Sitanggang, Okky Zulindra, Sarifah Aini,
Sukma Iwan, Sulistia Fitriani Panggabean; demikian juga kepada Meisia Mutiara
Manurung dan Siti, yang telah menjadi partner di dalam seminar proposal dan meja
ABSTRAK
Adapun skripsi ini merupakan tulisan dari serangkaian hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sukatendel Kabupaten Karo. Penelitian yang dilakukan menyangkut masalah perubahan sistem dan pola pertanian petani yang telah berlangsung dalam kurun waktu empat puluh tahun. Perubahan sistem yang dulunya bersifat subsisten menjadi sistem agribisnis telah membawa dampak yang cukup berarti bagi kehidupan para petani. Selain itu, sistem yang telah berubah ini ikut mempengaruhi pola bertani yang masih bersifat klasik.
Desa Sukatendel terletak di Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, berjarak 101 km dari Medan. Dengan lokasinya yang terletak 7 km dari gunung berapi Sinabung, tanah di desa ini sangat cocok untuk dipergunakan sebagai lahan pertanian. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penduduk desa, sehingga hampir semua penduduknya bermatapencarian sebagai petani. Lahan yang terletak di dekat aliran air irigasi dijadikan sebagai sawah dan lahan yang letaknya mendekati hutan dipergunakan sebagai ladang.
Pada awalnya petani masih mengandalkan sistem subsisten, di mana mereka mengusahakan lahan hanya untuk keperluan pangan semata. Mereka menanam padi untuk konsumsi keluarga, sedangkan kalau ada hasil yang dijual, tidak dimaksudkan untuk mencapai keuntungan komersil. Seiring dengan berjalannya waktu, sistem subsisten perlahan-lahan ditinggalkan dan petani mulai mengenal sistem agribisnis. Petani mulai menjual hasil panen ke pasar untuk mendapatkan keuntungan. Di sinilah mulai terjadi perubahan sistem pertanian tersebut. Perubahan ini mulai terlihat di saat para petani mulai mengusahakan tanaman keras, yang mempunyai nilai jual tinggi di pasaran. Dengan demikian petani telah mengenal sistem pasar dan berpeluang untuk mengatur sendiri usaha taninya.
Salah satu hal yang menjadi fokus utama ialah adanya pergantian jenis tanaman yang diusahakan oleh petani. Para petani tampak giat mengganti jenis tanaman satu ke tanaman yang lain selama empat puluh tahun, tanpa adanya bantuan yang berarti dari pihak manapun. Petani mengusahakan tanaman keras pertama yakni jeruk keling pada tahun 1947. Memasuki tahun 1960, petani juga mulai menanam cengkih. Jeruk keling yang terserang penyakit kemudian diganti menjadi vanili pada tahun 1980. Petani yang merasa kecewa karena ketidakpraktisan vanili memutuskan untuk menggantinya lagi dengan jeruk padang yang sukses ditanam hingga tahun 2000. Sebagian petani sawah kemudian ‘mengubah’ sawahnya menjadi lahan kering dan menanam tembakau di atasnya pada tahun 1997 hingga 2005. Petani jeruk
padang akhirnya beralih menanam kakao, di saat jeruk padang mereka mulai
terserang penyakit.
DAFTAR ISI
UCAPAN TERIMA KASIH ………..……… i
ABSTRAK ………....…. iii
DAFTAR ISI ………. iv
DAFTAR TABEL ………..…...… vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……….……… 1
1.2 Rumusan Masalah ………..…….. 4
1.3 Tujuan dan Manfaat ……… 5
1.4 Tinjauan Pustaka ……….………. 7
1.5 Metode Penelitian ………...………. 9
BAB II IDENTIFIKASI DESA 2.1 Latar Belakang Historis ………...…….. 12
2.2 Kondisi Alam dan Geografis ………...……….. 18
2.3 Komposisi Penduduk ………... 24
2.4 Struktur Sosial Budaya ……….. 27
BAB III KRONOLOGIS PERKEMBANGAN USAHA TANI 3.1 Kondisi Pertanian Sebelum Tahun 1965 ………... 33
3.2 Jeruk Keling & Cengkih; Era Kesuksesan Petani …………..……… 41
3.4 Jeruk Padang; Komoditas Bernilai Jual Tinggi ………….………… 47
3.5 Tembakau; Si Daun Emas ………...….. 49
3.6 Kakao: Si Uang Cokelat ……… 52
BAB IV FAKTOR PENDUKUNG PERKEMBANGAN USAHA TANI 4.1 Pertanian Subsistensi dan Peralihannya Menjadi Pertanian Komersial ………...……...…………...… 56
4.2 Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani ……….….………… 59
4.3 Faktor-Faktor Produksi Pertanian ………..…………..….. 62
4.4 Dampak Peralihan Sistem Pertanian ……….………. 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ………..…….. 72
5.2 Saran ………..……… 73
DAFTAR PUSTAKA ………...………..…. 74
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Klasifikasi Tanah dan Fungsinya
Tabel 2 Komposisi Jumlah Penduduk
Tabel 3 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 1996
Tabel 4 Komposisi Penduduk Menurut Agama Tahun 1996
Tabel 5 Komposisi Penduduk Menurut Usia Tahun 1996
Tabel 6 Rincian Luas Lahan Pada 1947-1977
Tabel 7 Rincian Luas Lahan Pada 1984-1988
ABSTRAK
Adapun skripsi ini merupakan tulisan dari serangkaian hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sukatendel Kabupaten Karo. Penelitian yang dilakukan menyangkut masalah perubahan sistem dan pola pertanian petani yang telah berlangsung dalam kurun waktu empat puluh tahun. Perubahan sistem yang dulunya bersifat subsisten menjadi sistem agribisnis telah membawa dampak yang cukup berarti bagi kehidupan para petani. Selain itu, sistem yang telah berubah ini ikut mempengaruhi pola bertani yang masih bersifat klasik.
Desa Sukatendel terletak di Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, berjarak 101 km dari Medan. Dengan lokasinya yang terletak 7 km dari gunung berapi Sinabung, tanah di desa ini sangat cocok untuk dipergunakan sebagai lahan pertanian. Kondisi ini dimanfaatkan oleh penduduk desa, sehingga hampir semua penduduknya bermatapencarian sebagai petani. Lahan yang terletak di dekat aliran air irigasi dijadikan sebagai sawah dan lahan yang letaknya mendekati hutan dipergunakan sebagai ladang.
Pada awalnya petani masih mengandalkan sistem subsisten, di mana mereka mengusahakan lahan hanya untuk keperluan pangan semata. Mereka menanam padi untuk konsumsi keluarga, sedangkan kalau ada hasil yang dijual, tidak dimaksudkan untuk mencapai keuntungan komersil. Seiring dengan berjalannya waktu, sistem subsisten perlahan-lahan ditinggalkan dan petani mulai mengenal sistem agribisnis. Petani mulai menjual hasil panen ke pasar untuk mendapatkan keuntungan. Di sinilah mulai terjadi perubahan sistem pertanian tersebut. Perubahan ini mulai terlihat di saat para petani mulai mengusahakan tanaman keras, yang mempunyai nilai jual tinggi di pasaran. Dengan demikian petani telah mengenal sistem pasar dan berpeluang untuk mengatur sendiri usaha taninya.
Salah satu hal yang menjadi fokus utama ialah adanya pergantian jenis tanaman yang diusahakan oleh petani. Para petani tampak giat mengganti jenis tanaman satu ke tanaman yang lain selama empat puluh tahun, tanpa adanya bantuan yang berarti dari pihak manapun. Petani mengusahakan tanaman keras pertama yakni jeruk keling pada tahun 1947. Memasuki tahun 1960, petani juga mulai menanam cengkih. Jeruk keling yang terserang penyakit kemudian diganti menjadi vanili pada tahun 1980. Petani yang merasa kecewa karena ketidakpraktisan vanili memutuskan untuk menggantinya lagi dengan jeruk padang yang sukses ditanam hingga tahun 2000. Sebagian petani sawah kemudian ‘mengubah’ sawahnya menjadi lahan kering dan menanam tembakau di atasnya pada tahun 1997 hingga 2005. Petani jeruk
padang akhirnya beralih menanam kakao, di saat jeruk padang mereka mulai
terserang penyakit.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia senantiasa menyesuaikan diri
dengan kondisi geografis tempat tinggal mereka. Kondisi inilah yang menyebabkan
mengapa sebagian besar masyarakat di pedesaan, terutama yang tinggal di dataran
tinggi umumnya bermatapencarian sebagai petani. Adapun jenis tanaman yang
ditanam oleh para petani tergantung pada kesesuaiannya dengan iklim wilayah
tersebut.
Sejarah pertanian telah mencatat bahwa sistem dan pola pertanian masyarakat
petani pada awalnya adalah pertanian yang bersifat subsisten, dimana tanaman yang
ditanam hanya sekedar dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.1 Sistem
seperti ini juga terjadi di wilayah dataran tinggi Karo. Mereka menanam berbagai
jenis biji-bijian, antara lain padi, jagung ataupun sayur-sayuran. Maka bentuk
pertanian tersebut bersifat individual, cakupannya hanya dalam keluarga. Sistem ini
kemudian berubah dan berkembang dimana para petani mulai memanfaatkan lahan
pertaniannya guna memperoleh uang, sehingga sistem subsistensial perlahan-lahan
mulai ditinggalkan. Walaupun demikian, di satu sisi petani yang telah berhasil
senantiasa berkeinginan untuk memberi bantuan kepada kerabat mereka yang masih
bertani dengan sistem subsistensial tersebut.2
Dengan kondisi geografis yang dikelilingi oleh pegunungan dengan
ketinggian 140 s/d 1400 m di atas permukaan laut, dataran tinggi sangat
memungkinkan untuk usaha pertanian tanaman holtikultura. Sejak zaman kolonial
Tanah Karo dikenal sebagai penghasil buah-buahan dan sayur-sayuran yang bahkan
diekspor ke luar negeri.3
Adapun Desa Sukatendel merupakan desa yang terletak di dekat kaki Gunung
Sinabung dengan luas wilayah 6,16 km2
dan berjarak 25 km dari ibukota Kabupaten
Karo, Kabanjahe.4 Terdapat sebuah pembaharuan di kalangan petani, dimana selama
kurun waktu empat puluh tahun mereka ’gemar’ melakukan pergantian jenis tanaman
yang berorientasi pasar. Di sini terlihat bahwa ada sebuah sistem baru yang
dijalankan petani di dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sistem ini
berdampak terhadap pola dan sistem bercocok-tanam petani, dan dampak yang lebih
jauh lagi ialah petani telah mempunyai keterkaitan langsung dengan pasar.
Keterkaitan ini membuat pedesaan telah berubah mencapai tingkat komersialisasi
sedemikian rupa, sehingga lebih terlibat dalam percaturan ekonomi yang lebih luas di
luar wilayahnya atau disebut cenderung mengarah ke sistem kapitalisme.
2 Wara Sinuhaji, Aktivitas Ekonomi & Entrepreneurship Masyarakat Karo Pasca Revolusi,
Medan: USU Press, 2004, hal. 116.
3 Adapun cikal bakal mengapa di wilayah ini menjadi pusat penghasil sayur dan buah tidak
terlepas dari pengaruh Belanda yang membuka sarana jalan raya yang membelah Bukit Barisan dan saat itu juga untuk pertama kalinya berhasil mengembangbiakkan tanaman kentang di kaki bukit Gundaling, Berastagi.
Perubahan sistem pertanian didasari dengan pergantian jenis tanaman yang
ditanam. Di Desa Sukatendel, terjadi pergantian yang melibatkan berbagai macam
jenis tanaman keras. Tanaman keras yang menjadi pilihan petani ialah tanaman yang
bernilai jual tinggi di pasaran (high value commodity), yang mulai dilakukan petani
pada tahun 1965, seperti jeruk, cengkih, vanili, kakao, hingga tembakau.
Dengan adanya perubahan ini petani berhadapan dengan beberapa resiko
yaitu; pertama, karena tanaman keras merupakan tanaman yang bebas diusahakan dan
diperdagangkan tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhubungan
langsung dengan pasar, akibatnya mereka sangat rentan terhadap fluktuasi harga yang
juga dipengaruhi oleh beberapa aktor mulai dari pembeli biasa hingga tengkulak.
Kedua, pertanian juga sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan musim.
Untuk mengahadapi berbagai resiko tersebut, rumah tangga petani akan
mengelola struktur nafkah sehingga mampu meminimalkan resiko, tergantung kepada
sumber daya yang dimiliki. Dalam upaya memperjuangkan kehidupan ekonomi
akibat berbagai resiko tersebut, rumah tangga petani biasanya akan melakukan
berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan sosial mereka dalam upaya berjuang
untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup.
Menjadi pertanyaan tersendiri bagi penulis, mengapa petani Desa Sukatendel
mampu menopang kehidupan ekonomi mereka di saat usaha tani mereka terus
mengalami pergantian jenis tanaman selama berpuluh-puluh tahun. Hal semacam ini
tentunya tidak memakan waktu dan biaya yang sedikit, namun selama empat puluh
berarti. Demikian juga hal yang sama akan terus mereka alami ke masa yang akan
datang.
Untuk itulah penulis berniat mengangkat fenomena ini menjadi topik
penulisan skripsi dengan judul Perubahan Sistem Dan Pola Pertanian Rakyat di Desa
Sukatendel Kabupaten Karo (1965 - 2005). Tahun 1965 merupakan awal masa
dimana petani mulai melakukan pergantian jenis tanaman yang berorientasi pasar.
Tahun 2005 sebagai batasan skop temporal menunjukkan adanya dampak dan
pengaruh perubahan sistem dan pola pertanian tersebut terhadap kehidupan sosial
ekonomi para petani selama kurun waktu empat puluh tahun.
Pendekatan kritis dalam penelitian ini diperlukan untuk membuka dan
menerangi situasi krisis yang berlangsung dalam kehidupan petani di Desa
Sukatendel. Krisis terjadi ketika petani mengalami persoalan baik dari alam, dalam
masyarakat dan oleh iptek. Satu hal yang khas adalah bahwa yang dilakukan oleh
para petani yang bercocok-tanam itu adalah berusaha menghindari kegagalan yang
akan menghancurkan kehidupannya dan bukan berusaha memperoleh keuntungan
besar dengan mengambil resiko.5
1.2 Rumusan Masalah
Adapun pokok permasalahan yang ingin diungkapkan dalam tulisan ini ialah
mengenai perubahan sistem dan pola pertanian rakyat di Desa Sukatendel selama
kurun waktu 1965-2005. Mengapa mereka masih dapat mempertahankan usaha tani
5 James C. Scott, Moral Ekonomi Petani Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara,
mereka di tengah-tengah krisis adalah akibat konversi jenis tanaman yang rutin
mereka lakukan. Dalam kasus ini petani tentunya mengalami kerugian dan mereka
membutuhkan modal yang lebih untuk membeli bibit tanaman jenis baru dan
mengelolanya, namun fakta menunjukkan bahwa selama empat puluh tahun terdapat
perkembangan sosial ekonomi yang positif bagi para petani di desa tersebut.
Maka untuk itu rumusan masalah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi dan sistem pertanian masyarakat Desa Sukatendel
sebelum tahun 1965?
2. Mengapa terjadi perubahan sistem dan pola pertanian di desa tersebut?
3. Apakah faktor pendukungnya, dan bagaimana dampak perubahan sistem dan
pola pertanian bagi petani?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai dalam
penelitian.. Untuk itulah adanya penelitian dilakukan guna menjawab permasalahan
yang dirumuskan.
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi kondisi pertanian masyarakat Desa Sukatendel sebelum
tahun 1965.
2. Menganalisis mengapa terjadi perubahan sistem dan pola pertanian di desa
3. Untuk mengetahui faktor apa saja yang berperan dalam perkembangan usaha
tani dan sejauh mana dampak perubahan sistem dan pola pertanian bagi
kehidupan petani.
Penelitian ini diharapkan mampu mengeksplorasi dinamika sistem nafkah
rumah tangga petani yang bersifat dinamis, khas dan kompleks, sehingga
dapat berkontribusi kepada:
1. Masyarakat Desa Sukatendel khususnya dan masyarakat Karo umumnya
dapat memperoleh informasi tentang perkembangan pertanian di Desa
Sukatendel.
2. Pengambil kebijakan, diharapkan agar pemerintah Kabupaten Karo lebih
dapat memperhatikan kondisi petani, terlebih petani yang jauh dari pusat
pemerintahan daerah seperti petani di Desa Sukatendel.
3. Dunia akademik, diharapkan dapat menyumbangkan referensi baru dalam
khasanah penelitian tentang perubahan sistem dan pola pertanian, spesifik
1.4 Tinjuan Pustaka
Dalam suatu penelitian, tinjauan pustaka diperlukan untuk mendukung
permasalahan yang diungkapkan, dan sebagai acuan untuk menghasilkan teori. Maka
untuk itulah, penulis menggunakan beberapa buku yang mendukung seperti
Pengantar Ekonomi Pertanian oleh Mubyarto, Petani: Suatu Tinjauan Antropologis
oleh Eric. R Wolf, dan The Transition From Subsistence To Commercial Family
Farming In North Sumatra, sebuah tesis doktor yang ditulis oleh D. H. Penny.
Mubyarto dalam bukunya Pengantar Ekonomi Pertanian menjelaskan
beberapa faktor yang mempengaruhi kehidupan petani di beberapa wilayah di
Indonesia. Buku ini tidak menjabarkan kondisi pertanian masyarakat pedesaan di
Indonesia, melainkan ekonomi produksi, permintaan penawaran dan tata niaga, dan
pembangunan pertanian dan penelitian. Persoalan-persoalan ekonomi pertanian
mencakup jarak waktu yang lebar antara pengeluaran dan penerimaan pendapatan
petani, pembiayaan pertanian, tekanan penduduk dan pertanian serta pertanian
subsisten.6 Buku ini dapat dijadikan salah satu acuan penulisan tentang konsep
ekonomi berbasis pertanian di wilayah pedesaan. Dari buku ini juga dapat dilihat
persoalan-persoalan ekonomi pertanian yang mempunyai kesamaan dengan objek
penelitian ini seperti masalah pembiayaan yang bukan hanya dialami petani di Pulau
Jawa, yang menjadi objek kajian Mubyarto, melainkan juga di desa yang menjadi
objek penelitian ini. Adapun kaitan antara buku ini dengan topik penelitian ini adalah,
dengan adanya deskripsi tentang prinsip-prinsip ekonomi dalam usahatani, serta
persoalan-persoalan ekonomi pertanian diharapkan mampu membantu penulis dalam
mengembangkan ide penulisan tentang pertanian di Desa Sukatendel.
Wolf berpendapat bahwa masyarakat industri dibangun di atas puing-puing
masyarakat petani pedesaan, dan ia lebih mementingkan bahasan tentang kaum tani
yang merupakan produk hasil evolusi masyarakat manusia.7 Ia juga mencoba
memperlihatkan bahwa dunia petani bukanlah dunia tanpa bentuk (amorphous),
melainkan satu dunia yang teratur, yang mempunyai bentuk-bentuk organisasi yang
khas. Pendekatan yang dipergunakannya ialah pendekatan antropologis, yang
menganalisa berbagai sisi kehidupan petani di berbagai tempat di dunia. Dengan
adanya informasi tentang aspek ekonomi dan sosial kaum tani, diharapkan dapat
membantu pengembangan tulisan tentang kaum tani di Desa Sukatendel.
The Transition From Subsistence To Commercial Family Farming In North Sumatra merupakan sebuah tesis yang didasari atas penelitian D. H Penny di
Sumatera Utara pada tahun 1962. Beliau meneliti delapan wilayah di Sumatera Utara,
salah satunya ialah Desa Tiganderket. Desa Tiganderket berjarak dua kilometer dari
Desa Sukatendel sehingga sepertinya tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara
kehidupan sosial di dua desa tersebut, mengingat pada masa penelitian ini
berlangsung, Desa Tiganderket merupakan sentra pasar di Kecamatan Payung. D. H
Penny menitikberatkan penelitiannya pada fenomena peralihan subsistence-minded
dengan economic-minded yang terdapat di delapan wilayah penelitiannya.8 Ia
mencatat bahwa dari kedelapan tempat tersebut, petani di desa Tiganderket lah yang
paling berpotensi sebagai petani dengan mental wirausaha. Dengan adanya informasi
tambahan dari penelitian beliau, kiranya dapat memberi masukan tersendiri di dalam
penulisan skripsi ini.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah guna mengumpulkan data dengan
tujuan dan kegunaan tertentu.9 Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu
proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari peninggalan masa
lampau.10 Adapun tahap-tahap yang dipergunakan ialah heuristik, kritik sumber,
interpretasi, dan historiografi.
Tahap pertama adalah heuristik, merupakan tahap pencarian sumber-sumber
yang berhubungan dengan penelitian ini. Ada dua teknik yang digunakan yakni studi
kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Studi kepustakaan
dilakukan dengan mengumpulkan sumber tertulis yang bersifat primer ataupun
skunder yang berupa laporan, arsip dan buku-buku yang berkaitan dengan objek yang
dikaji. Sumber ini diperoleh dari Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi
Medan, perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Badan Pusat Statistik Kabupaten
Karo, dan kantor kepala Desa Sukatendel.
Sumber lisan juga ikut dipergunakan, yakni dengan teknik wawancara.
Wawancara dilakukan dengan orang-orang yang dapat memberi keterangan tentang
penelitian ini. Adapun sumber informan yakni masyarakat Desa Sukatendel
9 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Logos, 1999, hal.25. 10 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (terj, Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI-Press, 1985,
khususnya para petani serta kepala Desa Sukatendel. Dalam melakukan wawancara,
penulis akan mempersiapkan topik wawancara sebagai pedoman atau petunjuk
wawancara.
Adapun pedoman wawancara ialah sebagai berikut:
- Apa penyebab sehingga petani subsisten beralih menjadi petani komersil?
- Bagaimana petani beradaptasi dengan sistem pertanian yang baru tersebut?
- Mengapa petani cenderung memilih jenis tanaman keras?
- Apakah kendala petani di dalam mengembangkan usaha taninya?
- Bagaimanakah pola pertanian mereka setelah diterapkannya sistem yang baru
tersebut?
- Seperti apakah langkah-langkah petani dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan
buruk yang bisa saja muncul?
- Bagaimana cara-cara petani di dalam membudidayakan tanaman?
- Bagaimana sistem tenaga kerja, permodalan dan pemasaran mereka?
- Apakah faktor kebudayaan turut serta mempengaruhi perkembangan usaha tani?
- Bagaimakah dampak peralihan sistem pertanian tersebut terhadap kehidupan petani?
Langkah kedua ialah melakukan kritik sumber. Kritik akan dilakukan
terhadap sumber-sumber yang sudah terkumpul, baik ekstern ataupun intern. Kritik
ekstern ialah kritik yang dilakukan terhadap materi sumber, yang bertujuan untuk
menentukan kredibilitas suatu data, sedangkan kritik intern merupakan kritik
Tahap berikutnya adalah interpretasi. Ini merupakan tahap dimana dilakukan
analisis terhadap fakta-fakta yang sudah diseleksi berdasarkan sumber-sumber yang
diperoleh.
Tahap yang terakhir adalah tahap historiografi yakni tahap pemaparan atau
penulisan sejarah. Dalam tahap ini hasil penelitian beserta rangkaiannya akan
diuraikan dalam bahasa tulisan secara kronologis dan sistematis sehingga diperoleh
BAB II
IDENTIFIKASI DESA
2.1 Latar Belakang Historis
Berbicara mengenai perkembangan sebuah desa tentu saja tidak dapat terlepas
dari latar belakang ataupun sejarah masa lalu desa tersebut. Demikian juga Desa
Sukatendel yang masih mempunyai cerita masa lalunya sendiri. Adapun kisah masa
lalu semacam ini diperoleh melalui cerita lisan dari para orang tua.
Desa ini pada awalnya merupakan sebuah kawasan hutan yang belum dijamah
oleh masyarakat di sekitarnya. Menurut cerita yang diperoleh, sepasang suami-istri
bernama Suka dan Tendel membuka lahan baru di sana untuk dijadikan ladang.11
Mereka membangun barung yaitu sejenis pondok (sapo) sebagai tempat untuk
berteduh. Hal ini kemudian ditiru oleh orang-orang lain yang ikut mendirikan barung
mereka sendiri di tempat tersebut. Maka terbentuklah beberapa barung yang disebut
dengan barung-barung. Mereka akhirnya mulai bertempat tinggal di barung-barung
tersebut. Mereka juga mengikut-sertakan sanak keluarga mereka ke tempat ini.
Sedikit demi sedikit orang dari wilayah lain juga mulai berdatangan dan
lama-kelamaan terbentuklah sebuah komunitas, di mana pada akhirnya mereka
memutuskan untuk membangun sebuah desa. Penduduk di desa yang baru ini
memustuskan untuk memberi nama desa mereka dengan nama pendirinya, Suka dan
11 Sebelumnya, petani masih mengandalkan sistem perladangan berpindah (shifting cultivation), merupakan salah satu corak usaha tani primitif di mana hutan ditebang-bakar kemudian
Tendel. Untuk kesan praktis, kedua nama mereka digabung sehingga menjadi
‘Sukatendel’.12
Sesuai tradisi, pendirian sebuah desa tidak dapat terpisahkan dengan sistem
kekerabatan masyarakat karo, yang dikenal dengan Rakut Si Telu. Dalam pendirian
sebuah desa (kuta), Rakut Si Telu harus ikut mengambil peran. Terdapat tiga
kelompok dalam susunan kemasyarakatan yang berhubungan dengan proses
didirikannya sebuah desa:
1. Pendiri desa (simantek kuta) ialah orang yang berasal dari klan Perangin-angin.
Marga ini mempunyai banyak sub-marga yang tersebar di wilayah Karo Teruh
Deleng. Jika bertemu dengan orang dari desa lain, maka penduduk desa
Sukatendel merasa kesulitan untuk menjelaskan tentang asal marganya.13 Maka
mereka menyebut marga mereka dengan ‘Perangin-angin Sukatendel’, untuk
menegaskan wilayah tempat tinggalnya. Sejak saat itulah penduduk yang
bermarga Perangin-angin disini mulai dikenal dengan Perangin-angin
Sukatendel. Kelompok ini disebut juga dengan bangsa taneh. Untuk mendirikan
desa, Simantek Kuta membawa serta Anak Beru, Senina dan Kalimbubu-nya.
Anak beru yang dibawa pada saat mendirikan desa beserta keturunannya
terus-menerus disebut dengan Anak Beru Singian Rudang. Kalimbubu dan
keturunannya yang dibawa pada saat pendirian desa terus-menerus disebut
Kalimbubu Simajek Lulang. Ketiga kelompok inilah yang mempunyai peranan
12 Wawancara dengan nande Pulungen br. Perangin-angin, Desa Sukatendel, 5 Maret 2011. 13 Dalam perkenalan dengan seseorang yang belum pernah dijumpai, biasanya orang Karo
penting di desa tersebut sebab kelompok ini memegang kendali atas
pemerintahan.
2. Kelompok pendatang, yaitu mereka yang datang ke desa ini karena adanya
faktor pernikahan dengan sanak saudara simantek kuta. Mereka disebut dengan
ginenggem, yang artinya orang yang diayomi. Jika kelompok ini ingin
membuka perladangan baru harus juga memperoleh persetujuan dari simantek
kuta.
3. Kelompok yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan simantek kuta,
disebut rakyat derip, atau rakyat biasa. Kelompok ini diharuskan membayar
sewa tanah serta mengurus ijin untuk membuka perladangan dan melakukan
kerahen, yakni wajib kerja kepada simantek kuta.
Kepengurusan desa dipegang oleh marga simantek kuta dan dibantu oleh anak
beru-nya sehingga tampak seperti sebuah majelis, sehingga mereka berperan dalam
mengambil keputusan atau kebijaksanaan dalam pemerintahan desa. Struktur
pemerintahan tradisional ini mulai berubah, ketika Belanda mulai memasuki wilayah
Karo pada tahun 1904 yang ditandai dengan ditetapkannya wilayah administratif
Onder-afdeling Karolanden.14 Maka Dararan Tinggi Karo dikelompokkan menjadi lima landschaap, yang masing-masing dipimpin oleh seorang zelfbestuur dalam satu
14 Sarjani Tarigan, Lentera Kehidupan Orang Karo Dalam Berbudaya, Kabanjahe: TB. Abdi
Onder-afdeling. Masing-masing landschaap dibagi atas beberapa urung15 yang membawahi beberapa desa.
- Landschaap Suka terbagi atas empat urung:
a. Urung Suka berkedudukan di Desa Suka
b. Urung Sukapiring berkedudukan di Desa Seberaya
c. Urung Ajinembah berkedudukan di Desa Ajinembah
d. Urung Tengging berkedudukan di Desa Tengging
- Landschaap Lingga terbagi atas lima urung:
a. Urung Sepulu Dua Kuta berkedudukan di Kabanjahe
b. Urung Telu Kuru berkedudukan di Desa Lingga
c. Urung Naman berkedudukan di Desa Naman
d. Urung Tiga Pancur berkedudukan di Desa Tiga Pancur
e. Urung Empat Teran berkedudukan di Desa Batu Karang
f. Urung Tiganderket berkedudukan di Desa Tiganderket
- Landschaap Barusjahe terdiri dari dua urung:
a. Urung Si Enem Kuta berkedudukan di Desa Sukanalu
b. Urung Si Pitu Kuta berkedudukan di Desa Barusjahe
15 Kata urung berasal dari bahasa Tamil, ur, berarti kampung. Kata urum, berarti sebuah
- Landschaap Sarinembah terdiri atas empat urung:
a. Urung Sepulu Pitu Kuta berkedudukan di Kabanjehe
b. Urung Perbesi berkedudukan di Desa Simbelang
c. Urung Juhar berkedudukan di Desa Juhar
d. Urung Kutabangun berkedudukan di Desa Kutabangun
- Landschaap Kuta Buluh terbagi atas dua urung:
a. Urung Namohaji berkedudukan di Desa Kutabuluh
b. Urung Liang Melas berkedudukan di Desa Mardinding
Setiap urung dipimpin oleh seorang bapa urung yang membawahi beberapa
desa, di mana desa ini dipimpin juga oleh seorang pengulu (kepala desa). Setiap desa
terbagi atas beberapa kesain yang dipimpin oleh seorang pengulu kesain. Desa
Sukatendel termasuk ke dalam wilayah urung Tiganderket.
Kedatangan Belanda turut membawa beberapa perubahan, salah satunya
adalah dibukanya fasilitas jalan raya yang menghubungkan wilayah Kabanjahe ke
wilayah pedesaan di Karo Teruh Deleng, dan Singalor Lau. Maka penduduk Desa
Sukatendel membuat sebuah jalan kecil yang menghubungkan pusat desa mereka
dengan jalan raya, sehingga untuk mencapai desa ini, harus menempuh jarak sekitar
100 meter dari simpang masuk desa.
Area hutan yang sudah ditebang di sekitar desa dimanfaatkan oleh penduduk
sebagai lahan untuk bertani dan bersawah. Rumah-rumah penduduk juga mulai
desa. Rumah dibangun dalam bentuk rumah tradisional Karo, yakni Rumah Si Empat
Jabu. Rumah ini didirikan berdasarkan arah hilir (kenjahe) dan hulu (kenjulu) sesuai
aliran mata air di desa tersebut.
Pergolakan yang terjadi pada tahun 1947 ikut berpengaruh terhadap situasi
Desa Sukatendel.16 Pada masa ini seluruh penduduk turut serta membakar rumah
mereka dan mengungsi ke wilayah pedalaman hutan, jauh dari desa mereka.17 Di
sanalah mereka bertempat tinggal untuk sementara sembari menunggu situasi aman
kembali. Selama masa pengungsian, mereka hanya dapat mengkonsumsi apa yang
disediakan oleh alam, seperti ubi.
Sekitar 5 atau 6 bulan mengungsi, penduduk merasa bahwa situasi telah aman
kembali. Maka penduduk yang mengungsi memutuskan untuk pulang ke wilayah
Desa Sukatendel. Mengingat kondisi desa yang sudah kacau dan berantakan, maka
dilaksanakan sebuah musyawarah. Mereka berdiskusi tentang tata ruang desa yang
akan mereka bangun kembali. Melalui musyawarah tersebut diperoleh kesimpulan,
bahwa setiap kepala keluarga berhak mendapatkan sebidang tanah, untuk dibangun
rumah di atasnya. Luas dan lebar tanah yang diberikan sama untuk masing-masing
kepala keluarga, sehingga tidak terjadi pertengkaran. Masing-masing rumah dibangun
kembali, namun tidak lagi bermodelkan Rumah Si Empat Jabu, melainkan rumah
sederhana dengan model klasik, mirip dengan rumah panggung; fondasi yang terbuat
dari batu dengan disertai tiang kayu penahan lantai (pandak), mempunyai kolong di
bawah rumah, dan mempunyai redan ture (tangga naik ke teras rumah). Antara satu
16 Pergolakan ini tidak terlepas dari masuknya Sekutu dibonceng oleh Belanda (NICA) ke
berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang.
rumah dengan rumah yang lainnya dibuat pemisah berupa jalan setapak yang
memudahkan warga untuk berjalan-jalan di sekitar desa.
Untuk status kepemilikan ladang atau sawah yang ditinggalkan sebelumnya,
hal tersebut tidak menjadi masalah, karena setiap pemilik ladang atau sawah masih
tetap mendapatkan hak atas tanah mereka. Setelah penduduk dapat kembali
membangun desa mereka, maka aktivitas harian mereka juga kembali kepada
keadaan semula, yaitu bertani atau bersawah.
2.2 Kondisi Alam dan Geografis
Desa Sukatendel merupakan salah satu desa dari 25 desa yang berada di
Kecamatan Payung.18 Desa ini berjarak 25 km dari ibukota Kabupaten Karo,
Kabanjahe dan berjarak 101 km dari Medan.19
Luas desa ini 6,16 km2
atau sekitar 4,60% dari luas Kecamatan Payung. Luas
desa tampaknya tidak mengalami perubahan yang signifikan, terkecuali pada tahun
1997. Adapun penyebab perubahan luas ini akan dibahas pada bab selanjutnya.
18 Dalam kurun waktu penelitian ini (1965-2005) Desa Sukatendel masih termasuk ke dalam
Kecamatan Payung. Pada Tahun 2005 Bupati Karo menerbitkan PERDA nomor 04 tahun 2005 tentang pembentukan kecamatan baru dimana salah satu kecamatan yang mengalami pemekaran ialah Kecamatan Payung menjadi 2 kecamatan. Kecamatan Payung (sebagai kecamatan induk pindah ibukota kecamatan dari Tiganderket ke Payung), sedangkan Kecamatan Tiganderket (kecamatan pemekaran) ibukotanya di Tiganderket. Secara resmi Kecamatan Tiganderket telah disahkan oleh Bupati Karo tanggal 29 Desember 2006.
Tabel 1
Klasifikasi Tanah dan Fungsinya
FUNGSI TANAH
LUAS (HA) %
1965 - 1996 1997 1965 - 1996 1997
Tanah Sawah 110 40 17,86 6,49
Tanah Kering 97,5 168 15,83 27,27
Bangunan Pekarangan 7 7 1,14 1,14
Lainnya 401,5 401,5 65,17 65,17
JUMLAH 616 616 100 100
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka
1996 & 1997
Pemukiman terdapat di tengah-tengah desa dengan susunan rapi, dan teratur.
Sawah ataupun ladang yang terdapat di desa ini sebagian besar berada di luar
pemukiman warga. Sawah dan ladang mereka terletak di wilayah perbatasan antar
desa Sukatendel dengan desa-desa lain. Para petani dapat berjalan kaki jika ingin
pergi ke sawah atau ladang mereka, karena jaraknya tidak terlalu jauh dari desa.
Adapun batas wilayah desa dapat dilihat sebagai berikut.20
Utara - Desa Susuk, Desa Kutambaru.
Timur - Desa Tiganderket, Desa Tanjung Merawa.
Selatan - Desa Batukarang.
Barat – Desa Jandimeriah.
Desa ini berada di ketinggian 900 m dari permukaan laut dengan suhu udara sekitar
21°C - 26°C dan curah hujan 1800 mm per tahun.21 Dengan letaknya yang berjarak 7
km dari gunung berapi Sinabung (2451 m), tanah di desa ini tergolong cukup subur,
sehingga penduduk desa memanfaatkannya sebagai lahan untuk bertani dan
bersawah.
Desa Sukatendel juga mempunyai bagian-bagian khusus yang dapat dimanfaatkan
oleh warganya. Bagian-bagian itu meliputi daerah yang luas dan mempunyai
fungsinya masing-masing, seperti uraian berikut:
a) Perumahan warga
Sebelum periode kemerdekaan, penduduk tinggal di sebuah rumah tradisional
yang disebut Rumah Adat. Khusus di wilayah Karo Teruh Deleng, rumah
dihuni oleh empat keluarga, sehingga disebut Rumah Si Empat Jabu. Rumah
itu dihuni oleh simantek kuta (jabu benana kayu), anak beru-nya (ujung
kayu), sembuyak/biak senina simantek kuta (lepar benana kayu) dan kalimbubu simantek kuta (lepar ujung kayu). Namun setelah desa
dibumihanguskan pada tahun 1947, bentuk fisik rumah pun berubah seperti
uraian di atas.
b) Kesain
Kesain merupakan tempat semacam alun-alun yang dipergunakan sebagai
tempat dilaksanakannya sebuah acara adat. Kesain juga berfungsi sebagai
tempat anak-anak untuk bermain-main. Pada zaman dulu, tidak semua warga
21 Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar,
desa dapat mempergunakan kesain ini untuk acara adat mereka. Hanya
mereka yang berasal dari kelompok simantek kuta saja yang dapat
menggunakan kesain ini. Kelompok ginenggem juga dapat mempergunakan
kesain, tapi harus meminta izin dari simantek kuta terlebih dahulu. Aturan ini
mulai dihapuskan setelah Belanda masuk ke Tanah Karo.
c) Jambur
Jambur mempunyai beberapa fungsi:
- Sebagai lumbung, dimana warga desa dapat menyimpan padi.
Masing-masing warga dapat menyimpan padi milik mereka, dan tidak
tergabung begitu saja dengan padi milik orang lain.
- Bagian atas jambur dipergunakan oleh para anak laki-laki yang sudah
remaja (anak perana) untuk tidur.
- Bagian bawah jambur dipergunakan sebagai tempat untuk
bercengkerama antar warga.
- Jambur juga dipergunakan sebagai tempat untuk memasak lauk-pauk
pada saat sebuah acara adat tengah berlangsung.
d) Geriten
Geriten ialah tempat diletakkannya tengkorak para leluhur pendiri desa, atau
seorang keturunannya yang mempunyai prestise dan wibawa yang tinggi.
Pembuatan sebuah geriten kepada seorang yang telah meninggal tidak boleh
sembarangan, melainkan harus dilihat dari sudut moral, kekuasaan atau
kekayaan orang tersebut. Tokoh yang diletakkan di dalam Geriten patut
e) Pendonen
Pendonen ialah kuburan bagi orang-orang yang sudah meninggal. Pendonen
mulai dibuat sejalan dengan pemerintahan Belanda di Tanah Karo, sekitar
tahun 1908. Sebelumnya mayat orang yang sudah meninggal dibakar dan
abunya dihanyutkan ke sungai.22
f) Perjuman
Area di sekitar desa dijadikan perjuman atau perladangan bagi warga
setempat. Ada warga yang menjadikan area tersebut menjadi sawah dengan
mengalirkan air dari parit di tepian jalan, sehingga mereka dapat menanam
padi. Setiap ladang diberi pagar, selain sebagai pembatas, juga untuk
mencegah masuknya hewan peliharaan warga. Di setiap ladang biasanya
dibangun sebuah pondok kecil (sapo) sebagai tempat berteduh, atau
menyimpan berbagai peralatan tani. Di sawah, selain membangun sapo, petani
juga membangun sebuah pantar, yaitu sebuah tempat yang dikhususkan untuk
mengamati burung-burung saat padi sudah menguning. Pantar dibuat lebih
tinggi dari sapo, terbuat dari kayu, tanpa dinding, hanya atap dan lantai
disertai dengan tiang penahan lantai. Dari pinggir sawah dipasang banyak tali
yang dihubungkan ke pantar, sehingga jika sekelompok burung mendekati
sawah, tali tersebut dapat digoyang-goyangkan oleh si penjaga sawah untuk
menakut-nakuti kelompok burung.
22 Ritual menghanyutkan abu jenazah ke sungai ini merupakan salah satu bukti peninggalan
g) Kerangen
Kerangen (hutan) desa merupakan milik warga desa sepenuhnya, dimana
warga biasa mencari kayu bakar atau balok kayu di sana.
h) Barong
Barong merupakan wilayah di luar perladangan yang dipergunakan oleh
warga sebagai tempat untuk mengembalakan ternaknya. Ternak yang
dipelihara harus mempunyai gembala (permakan) supaya ternak-ternak
tersebut tidak pergi ke luar barong dan merusak tanaman orang lain.
i) Perjalangen
Perjalangen merupakan sebuah wilayah luas yang dikhususkan untuk
hewan-hewan yang tidak digembalakan. Perjalangen ialah milik simantek kuta,
sebagai bagian dari Tanah Kesain. Di sini perladangan tidak diizinkan. Jikalau
ada warga yang ingin membuka perladangan di perjalangen, maka ia harus
mendapat izin dari pengulu (kepala desa), memagar ladangnya dan membayar
sewa tanah kepada pengulu.
j) Tapin
Tapin merupakan sungai yang mengalir di sebuah desa. Setiap desa biasanya
mempunyai sebutan khusus untuk sungai mereka. Tapin di Desa Sukatendel
disebut dengan Lau Bentayan.
k) Buah Uta-uta
Buah Uta-uta ialah tempat dimana warga biasanya melangsungkan upacara
religius. Misalkan jika terjadi musim kemarau yang panjang, maka warga desa
mereka berhasil dan hasil panen memuaskan, warga kembali mengadakan
upacara pemujaan Buah Uta-uta (Mere Buah Uta-uta)
2.3 Komposisi Penduduk
Berdasarkan data yang diperoleh, Desa Sukatendel mencapai tingkat populasi
tertinggi pada tahun 1995, yakni 1379 orang, dengan kepadatan penduduk 224 orang
per km2. Untuk tahun-tahun selanjutnya jumlah penduduk desa bekisar di antara
[image:36.595.113.509.388.499.2]angka 1100-an. Berikut rincian jumlah penduduk beserta kepadatan penduduknya:
Tabel 2
Komposisi Jumlah Penduduk
Keterangan
TAHUN
1995 1999 2003
Jumlah Penduduk 1397 1172 1102
Kepadatan Penduduk per km2 224 190 178
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka
1995.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pertambahan penduduk kerap bertambah
sebelum tahun 1995 dan setelah itu jumlahnya cenderung tidak banyak berubah dari
tahun ke tahun. Adanya penurunan angka ini umumnya disebabkan bertambahnya
jumlah penduduk yang pindah ke kota, dan juga karena putra-putri mereka yang
Mayoritas penduduk desa ialah suku Karo, namun terdapat juga beberapa
etnis suku lain, seperti Jawa dan Toba. Selain itu tampak adanya rasa solidaritas yang
tinggi antar etnis. Meskpiun mayoritas warga desa bermarga Perangin-angin, namun
terdapat juga marga-marga Karo yang lainnya di sini. Hal ini umumnya disebabkan
karena faktor pernikahan.
Mata pencaharian warga umumnya adalah bertani. Ada juga warga yang tidak
mempunyai ladang atau sawah sehingga pekerjaan sehari-hari mereka ialah bekerja di
ladang orang lain (ngemo). Orang yang ngemo ini biasanya akan menawarkan diri
untuk bekerja di ladang atau sawah seseorang. Ia akan memperoleh upah sesuai lama
[image:37.595.186.443.438.549.2]atau jenis pekerjaan yang diberikan si pemilik lahan.
Tabel 3
Komposisi Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan Tahun 1996
Sektor Pekerjaan Jumlah Jiwa
Pertanian 762
PNS/ABRI 18
Lainnya 33
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka
1996
Warga desa mempunyai sifat keterbukaan yang tinggi. Hal ini ditandai dengan
mulai diterimanya agama Kristen dan Islam memasuki tahun 1960. Agama Islam
Meskipun terdapat perbedaan agama antara mereka, namun hal ini tidak menjadi
[image:38.595.206.421.224.306.2]sesuatu hal yang menghalangi interaksi sosial antara mereka.
Tabel 4
Komposisi Penduduk Menurut Agama Tahun 1996
No. Jenis Agama Jumlah/Jiwa
1 Kristen 796
2 Islam 583
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka
1996
Di sini terdapat sebuah masjid dan dua unit bangunan gereja, tempat
penduduk beribadah. Meskipun semua penduduk desa telah menganut agamanya
masing-masing, namun masih ada juga warga yang menganut konsep agama
tradisional.23 Hal ini ditandai dengan masih adanya warga yang melaksanakan
upacara adat seperti Erpangir Ku Lau, atau Ndilo Wari Udan.
Di desa ini terdapat sebuah Sekolah Dasar Negeri dan pada tahun 1997
pemerintah membangun sebuah Sekolah Menengah Pertama dan sebuah Sekolah
Menengah Atas.24 Para orang tua sangat menganjurkan anak-anak mereka untuk
bersekolah, paling tidak sampai tamat Sekolah Menengah Pertama.
23 Kepercayaan kuno masyarakat Karo disebut perbegu, yang meyakini adanya kuasa gaib.
Menurut kepercayaan ini manusia terdiri atas tubuh, roh dan nafas. Perbegu berasal dari kata begu, yang berarti hantu, roh orang yang sudah meninggal. Jika seorang penganut kepercayaan ini meninggal, tubuhnya kembali ke tanah, darahnya kembali ke air, nafasnya kembali ke udara, dan jiwanya menjadi hantu.
24 Sebelum SMP dan SMA ini dibangun, anak-anak SMP dan SMA sebelumnya bersekolah di
Tabel 5
Komposisi Penduduk Menurut Usia Tahun 1996
USIA Yang Bersekolah Tidak Bersekolah
7-12 144 2
13-19 168 9
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo, Kecamatan Payung Dalam Angka
1996
Biasanya sepulang dari sekolah, anak-anak akan membantu orang tua mereka
bekerja. Terkadang mereka diminta untuk berjualan sayur dalam jumlah kecil di
kesain desa, atau sekedar membantu pekerjaan di ladang atau sawah.
2.4 Struktur Sosial Budaya
Karakteristik orang-orang Karo pada umumnya sangat dipengaruhi oleh
lingkungan alam tempat tinggalnya. Walaupun mereka terisolir di pedalaman dataran
tinggi, sebagai sebuah komunitas, di sana juga terbentuk sebuah budaya yang menjadi
patron bagi masyarakat Karo dalam menjalin hubungan dengan sesamanya.25 Seluruh
pola hubungan tersebut tertuang dalam sebuah aturan tidak tertulis yang bersifat
mengatur. Adapun adat istiadat yang berlaku di dataran tinggi Karo berbeda antara
satu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Wilayah peradatan ini dapat
dikategorikan sebagai berikut:
o Karo Kenjulu
Meliputi Kecamatan Kabanjahe, Kecamatan Berastagi, Kecamatan Barusjahe,
Kecamatan Tiga Panah, Kecamatan Merek dan sekitarnya.
o Karo Timur
Meliputi Kecamatan Lubuk Pakam, Kecamatan Bangun Purba, Kecamatan
Galang, Kecamatan Gunung Meriah, Kecamatan Dolok Silau, Kecamatan
Silima Kuta dan sekitarnya.
o Karo Langkat
Meliputi Kecamatan Padang Tualang (Batang Serangan), Kecamatan
Bahorok, Kecamatan Selapian, Kecamatan Kuala, Kecamatan Selesai,
Kecamatan Sungai Bingai, Kota Binjai, Kecamatan Stabat dan sekitarnya.
o Karo Baluren
Meliputi Kecamatan Tanah Pinem, Kecamatan Tiga Lingga, Kecamatan
Gunung Stember, dan sekitarnya di Kabupaten Dairi.
o Karo Dusun
Meliputi Kecamatan Sibolangit, Kecamatan Pancurbatu, Kecamatan
Namorambe, Kecamatan Sunggal, Kecamatan Kutalimbaru, Kecamatan
Kecamatan Hamparan Perak, Kecamatan Tanjung Morawa, Kecamatan
Biru-biru, Deli Tua dan sekitarnya.
o Karo Teruh Deleng
Meliputi Kecamatan Kutabuluh, Kecamatan Payung, Kecamatan Tiganderket,
Kecamatan Lau Baleng, Kecamatan Mardinding dan sekitarnya.
o Karo Singalor Lau
Meliputi Kecamatan Tiga Binanga, Kecamatan Juhar, Kecamatan Munthe dan
sekitarnya.
Dari keterangan tersebut dapat dilihat bahwa Desa Sukatendel termasuk ke
dalam wilayah Karo Teruh Deleng.26 Masyarakat Karo pada umumnya harus
memahami beberapa hak dan kewajiban tiap-tiap orang dalam adat. Demikian juga
halnya di Desa Sukatendel. Salah satu yang utama ialah sangkep nggeluh, yaitu suatu
sistem kekeluargaan pada masyarakat Karo yang secara garis besar terdiri atas senina,
kalimbubu dan anak beru. Adapun pusat dari sangkep nggeluh ini ialah sukut, yakni
pribadi/keluarga/merga tertentu yang diayomi oleh senina, kalimbubu dan anak
beru-nya.
26 Sebutan Karo Teruh Deleng (di bawah gunung) mengacu pada letak pedesaan yang
Tutor
Dalam melaksanakan upacara adat tertentu seperti pernikahan, upacara
kematian atau memasuki rumah baru, sangkep nggeluh akan diketahui bila sudah
jelas siapa yang menjadi sukut dalam acara tersebut. Misalnya, dalam adat
pernikahan, sukut adalah orang yang menikah beserta orang tuanya. Dalam adat
kematian, sukut adalah istri/suami yang ditinggal beserta anak dari orang yang
meninggal tersebut. Dalam adat memasuki rumah baru, sukut adalah si pemilik
rumah.
Untuk memahami hal tersebut, sebaiknya harus dipahami terlebih dahulu
bagaimana cara orang-orang Karo menarik garis keturunan, baik dari ayah
(patrilineal) dan ibu (matrilineal) dari seseorang, yang disebut dengan tutor.
Adapun cara menarik garis keturunan atau tutor ini meliputi:
1. Marga atau Beru
Marga adalah hal yang paling utama dalam identitas seorang Karo. Untuk
laki-laki, dipakai kata merga yang merupakan nama keluarga, sedangkan untuk
perempuan dipakai kata beru. Dalam setiap perkenalan masyarakat Karo,
biasanya akan ditanyakan marga terlebih dahulu. Merga berasal dari kata
meherga yang berarti mahal.27 Mahal dalam konteks budaya Karo berarti penting.
Marga ini akan diwariskan hanya kepada anak laki-laki dari tiap keluarga.
Terdapat lima marga/beru pada suku karo yakni Ginting, Karo-karo,
Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan.
2. Bere-bere
Bere-bere merupakan nama keluarga yang diwarisi dari beru ibu
seseorang. Misalkan jika seseorang bermarga Ginting dan ibunya beru Tarigan,
maka anaknya bere-bere Tarigan.
3. Binuang
Binuang merupakan nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ayahnya (ibu dari ayah). Misalkan jika seorang anak mempunyai ayah yang
bermarga Sembiring dan ayahnya bere-bere Ginting, maka binuang anak tersebut
ialah Ginting.
4. Kempu
Kempu merupakan nama keluarga yang diwarisi oleh seseorang dari bere-bere ibunya (ibu dari ibu). Misalkan jika seorang anak mempunyai ibu beru
Ginting dan bere-bere Tarigan, maka anak tersebut kempu Tarigan.
5. Kampah
Kampah merupakan nama keluarga yang diwarisi oleh seseorang dari beru
nenek ayahnya (dari pihak ayah). Misalkan jika seorang anak bermarga Tarigan
dan nenek ayahnya (ibu dari ayahnya) beru Sembiring maka anak tersebut
kampah Sembiring.
6. Soler
Soler merupakan nama keluarga yang diwarisi oleh seseorang dari beru
nenek ibunya (dari pihak ibu). Misalkan jika seorang anak bermarga Tarigan dan
Demikianlah terlihat bahwa masyarakat Karo mengambil garis keturunan
baik dari ayah atau ibu. Tutor ini dapat menjadi sebuah faktor yang mempererat
rasa kekeluargaan. Umumnya, dua orang yang berbeda marga tapi mempunyai
kesamaan pada salah satu unsur di atas, sudah dianggap bersaudara.
Rakut Sitelu
Rakut Sitelu mencakup tiga hal: 1. Senina
Yang dimaksud dengan senina ialah orang-orang yang sependapat di dalam
permusyawaratan adat. Se berarti satu, nina artinya kata atau pendapat.
2. Anak Beru
Dalam kehidupan adat, anak beru dikenal sebagai kelompok yang mengambil
istri dari sebuah keluarga (marga).
3. Kalimbubu
Kalimbubu merupakan kelompok pemberi gadis bagi suatu keluarga (merga). Kalimbubu sering diidentikkan dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang terlihat),
karena kedudukannya yang sangat dihormati.
Ketiga hal ini mempunyai cabang masing-masing yang berbeda tugas dan
fungsinya dalam setiap acara adat.28
28 Untuk penjelasan selengkapnya tentang sangkep nggeluh masyarakat Karo, lihat di
BAB III
KRONOLOGIS PERKEMBANGAN USAHA TANI
Perkembangan pertanian di Desa Sukatendel terjadi dalam kurun waktu yang
cukup lama, yakni empat puluh tahun. Perkembangan ini mencakup pergantian jenis
tanaman yang dilakukan oleh para petani. Berbeda jenis lahan yang dikelola, berbeda
pula jenis tanaman yang diusahakan. Perkembangan tersebut tidak dapat dipisahkan
dari sejarah pertanian sebelumnya. Berikut akan dipaparkan sedikit tentang situasi
pertanian sebelum peralihan jenis tanaman dimulai.
3.1 Kondisi Pertanian Sebelum Tahun 1965
Penduduk Desa Sukatendel di dalam segala aspek kehidupannya tidak terlepas
dari aturan adat yang telah membudaya dalam diri mereka. Dalam hal pertanian, baik
di sawah atau ladang, mereka juga menerapkan konsep-konsep adat tersebut.
Pertanian Sawah
Penduduk yang mempunyai sawah menanam padi di sawah
masing-masing. Sebaliknya, bila ada warga yang ingin membuka perladangan atau
persawahan, maka ia harus melakukan ngumbong juma.29 Ngumbong juma ini
wajib melewati proses yang harus dilakukan oleh orang yang ingin membuka
lahan tersebut. Setelah meminta izin dari pengulu, ia akan mengumumkannya
pada orang lain. Untuk itu ia harus mempersiapkan belo bujur, beberapa helai
daun sirih yang bagus diselipkan pada pelepah daun pohon enau (ertek).
Pelepah ini kemudian ditancapkan di lahan yang akan ditanaminya, sebagai
tanda bahwa lahan itu sudah ada yang empunya.
Sesuai tradisi masyarakat Karo, sebelum padi mulai ditanam, biasanya
dilakukan merdang merdem yang merupakan upacara untuk mengawali masa
menanam (merdang). Merdang Merdem dilaksanakan karena menurut
kepercayaan tradisional suku Karo, apabila hal itu tidak dilakukan maka ulat
(bala-bala) akan mengganas, sehingga membahayakan padi yang akan
ditanam. Setelah merdang merdem dilaksanakan maka benih padi sudah dapat
ditanam. Penanaman ini biasanya dilakukan secara serempak oleh semua
petani di semua sawah di desa. Dalam menanam padi, petani akan dibantu
oleh keluarganya masing-masing. Mereka akan mulai bekerja di pagi hari dan
jika matahari sudah terbenam, mereka akan pulang ke rumah masing-masing.
Adapun jenis padi yang ditanam disebut oleh petani sebagai page
sipadang, page mayang atau page sulung.30 Bibit padi diperoleh dari sanak saudara atau dari pemilik sawah yang lain. Padi ditanam pada bulan pertama
atau kedua setiap tahunnya, dan dapat dipanen 6 bulan kemudian. Padi ini
mempunyai kualitas yang sangat bagus, dan rasanya enak. Bila sudah
mencapai umur 4 bulan, tingginya dapat mencapai setinggi orang dewasa,
sehingga jika seorang dewasa masuk ke tengah-tengah sawah yang padinya
sudah tinggi seperti itu, orang tersebut bisa tidak terlihat dari luar. Apabila
disimpan dengan baik, padi dapat bertahan satu setengah hingga dua tahun.
Jika petani ingin menanam padi lagi, tapi persediaan padi mereka masih ada
di lumbung, maka petani biasanya akan menjual padi lama tersebut kepada
warga desa yang menginginkannya.
Memasuki bulan keempat, padi pun mulai menguning. Bulir-bulir padi
yang mulai terbentuk ini pastinya mengundang perhatian burung-burung liar
yang terdapat di alam sekitar desa. Para penduduk menyebutnya dengan perik
mbulan takal, alias burung berkepala putih. Burung ini terbang dan mencari
makan secara berkelompok. Tentu saja padi yang mulai menguning di sawah
menarik perhatian mereka. Untuk itulah, para petani melakukan usaha guna
mengantisipasi serangan burung-burung ini, yakni dengan menjaga sawah
mereka, yang dikenal dengan istilah muro. Menjelang matahari terbit, salah
seorang anggota keluarga petani akan segera berangkat ke sawah untuk
menjaga sawah mereka.31 Ia mengawasi sawah dari atas pantar, yang telah
didesain sedemikian rupa seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Selanjutnya tugas ini akan diserahkan pada anak-anak pada saat mereka sudah
pulang dari sekolah. Anak-anak tidak pulang ke rumah terlebih dahulu, tapi
segera menuju sawah sepulang dari sekolah. Anggota keluarganya yang lain
akan membawakan makan siang bagi si anak tersebut. Muro dilakukan
serempak di setiap sawah, sehingga cukup menyenangkan bagi penjaga sawah
karena dapat saling berkomunikasi, walaupun dengan berteriak, dengan
penjaga sawah yang lain.32
31 Petani berangkat ke sawah saat matahari belum terbit, karena menurut mereka pada saat
pagi-pagi buta seperti itu, kawanan burung pemakan padi masih berada di sarangnya.
32 Kegiatan muro ini menginspirasi musisi Djaga Depari untuk menciptakan sebuah lagu
Akhirnya setelah lima atau enam bulan, para petani dapat mengakhiri
masa jerih payahnya. Padi yang sudah kuning siap untuk dipanen, yang
disebut dengan istilah rani page (panen padi).33 Padi dipotong dengan
menggunakan ketam (anai-anai), yang dijepit di sela-sela jari tangan, lalu
dengan menggunakan jempol jari seikat kecil (ruhi) batang padi ditarik dan
ditekan sehingga terpotong. Setiap ruhi dikumpulkan sedikit demi sedikit,
sehingga penuh menjadi empat cekal yang disebut dengan satu pungo.
Adapun kumpulan dari sabitan padi tersebut disebut raden.
Selanjutnya dilakukan ngerik, yaitu memisahkan bulir-bulir padi
dengan batangnya. Ngerik dilakukan dengan menggulung batang-batang padi
menggunakan kedua kaki. Bulir-bulir padi yang sudah terpisah dari batangnya
kemudian dikumpulkan, sedangkan sisa batang-batang padi dapat
dimanfaatkan untuk pupuk tanaman.
Bulir-bulir padi dijemur hingga kering, kemudian ditumbuk (tutu),
guna memisahkan kulit padi dengan isinya. Menumbuk padi dilakukan oleh
para anak gadis di tempat khusus yang telah disediakan, biasanya di jambur
desa. Di sana tersedia tempat menumbuk padi untuk umum, sehingga setiap
orang dapat menumbuk padinya di sana (nutu ku lesung). Padi yang sudah
ditumbuk selanjutnya dapat dikonsumsi sebagai beras untuk makanan pokok
keluarga.
33 Menurut kepercayaan tradisional masyarakat Karo, rani page tidak boleh dilakukan di
sembarang hari. Untuk itu petani meminta bantuan pada seseorang yang ahli menentukan hari (guru
Di sawah milik petani masih terdapat beberapa batang padi muda,
yang tidak dipanen sebelumnya. Padi yang masih muda ini kemudian
dipotong dan diirik, lalu direndam (reme) dan keesokan harinya digongseng
(sok). Ketika masih panas, bulir-bulir padi ditumbuk (tutu) sehingga kulitnya
terkelupas, dan beras menjadi pipih. Beras tersebut ditampi sampai bersih dan
siap dikonsumsi dengan gula merah. Kegiatan ini disebut dengan mahpah atau
ngameti.
Adapun penyebab mengapa petani Sukatendel menanam padi pada
awal tahun berkaitan dengan sebuah konflik irigasi yang terjadi antara Desa
Sukatendel dengan Desa Jandimeriah pada tahun 1961.34 Air yang menjadi
sumber utama pengairan sawah ialah aliran air yang mengalir mengkuti rute
berikut:
Desa Selandi - Desa Sukatendel – Desa Jandimeriah - Desa lain di Kecamatan
Tiganderket.
Jadi dapat dikatakan aliran air tersebut termasuk juga kepunyaan
warga Desa Sukatendel. Karena itulah sebelumnya petani dapat menanam
padi sepanjang tahun, namun aliran air yang sampai di Desa Jandimeriah tidak
cukup untuk irigasi sawah mereka. Hal ini membuat petani padi Desa
Jandimeriah merasa kesulitan, karena mereka juga mengandalkan aliran air
tersebut sebagai air irigasi di sawah mereka. Maka setiap malam, beberapa
warga Jandimeriah diam-diam datang ke Desa Sukatendel dan menutup
saluran air itu, supaya air tersebut dapat mengalir sepenuhnya ke Desa
Jandimeriah. Di pagi harinya, petani Sukatendel merasa terkejut mendapati
sawah mereka telah kering, akibat air irigasi yang tidak berjalan semestinya.
Maka mereka membuka kembali aliran air yang sebelumnya telah ditutup oleh
warga Jandimeriah. Hal ini berlangsung terus-menerus selama beberapa
minggu hingga akhirnya konflik ini diselesaikan dengan musyawarah antar
kedua desa. Kesimpulan musyawarah mereka ialah setiap enam bulan sekali
air tersebut akan dipakai secara bergantian oleh petani kedua desa. Jadi setiap
awal tahun, petani Sukatendel mendapat giliran untuk menggunakan irigasi
sawah. Setelah padi mulai matang, maka aliran air dialihkan ke Desa
Jandimeriah. Karena itulah, petani Sukatendel melakukan panen padi di
sekitar pertengahan tahun, sedangkan petani Desa Jandimeriah melakukan
panen padi pada saat akhir tahun.
Setelah petani Sukatendel mengakhiri panen padi, selanjutnya di atas
tanah yang sudah mulai kering tersebut mereka menanam bawang merah dan
cabai.35 Bawang merah dapat dipanen 3 bulan kemudian, dan cabai dapat
dipanen 6 bulan kemudian. Selain untuk konsumsi keluarga, petani
menjualnya ke pasar Tiganderket, dengan demikian, petani dapat memperoleh
uang.36 Jika tahun telah berganti dan air irigasi mengalir kembali di
sawah-sawah Sukatendel, maka petani kembali menanam padi.
35 Petani memilih bawang merah dan cabai ketimbang sayur-sayuran, karena bawang merah
dan cabai bersifat lebih tahan lama daripada sayur, sehingga hasil panen dapat disimpan sembari menunggu dijual ke pasar Tiganderket setiap hari kamis.
36 Kalaupun ada produksi yang dipasarkan tidak dimaksudkan untuk mencapai keuntungan
Pertanian Ladang
Jika petani di sawah menanam padi, lain halnya dengan petani yang
mempunyai lahan kering seperti ladang. Sepulang dari mengungsi petani
mulai mengusahakan tanaman jeruk di ladang masing-masing. Jeruk yang
ditanam ialah jenis Grapefruit (Citrus Paradisi), yang oleh petani disebut
dengan jeruk keling. Jeruk ini merupakan jenis jeruk terbaik yang pernah
ditanam oleh petani Sukatendel. Jika sudah besar, tingginya dapat mencapai
15-18 meter dengan garis tengah batang hampir mencapai setengah meter.
Jeruk akan berbunga dan mulai berbuah sekitar umur delapan tahun. Buah
biasanya akan matang pada bulan September atau Oktober dan dapat
‘bertahan’ di batangnya sampai bulan Mei tahun berikutnya.
Petani memperoleh bibit dari sanak saudara yang telah lebih dahulu
membudidayakan tanaman jeruk ini. Antara satu pohon dengan pohon lainnya
dibuat jarak sekitar sepuluh meter, karena jika mulai tumbuh besar, pohon ini
akan mempunyai dahan yang panjang dan banyak sehingga diperlukan jarak
yang optimal antar pohon.
Pada permulaan tumbuhnya, tidak ada hama yang mengganggu
tanaman petani, dan pupuk juga tidak digunakan. Masalah yang mengganggu
petani hanyalah kumpulan semut yang kerap menghinggapi batang jeruk
mereka. Untuk mengatasinya petani mengutip ranting-ranting pohon
kemudian dikumpulkan di bawah pohon jeruk mereka lalu dibakar. Asap yang
Jika sudah tiba masa panen, maka petani akan bekerja sama mengutip
buah jeruk yang matang bersama-sama dengan anggota keluarganya. Buah
jeruk yang siap panen mempunyai garis tengah sekitar 15 cm, sehingga dapat
dibayangkan bagaimana beratnya satu buah jeruk saja. Karena pohonnya yang
tinggi dan rindang, maka mustahil buah dapat dipetik langsung dari bawah
pohon. Untuk itu petani mempunyai cara tersendiri untuk mengutip hasil
panennya. Di setiap pohon dipasang semacam alat kerek (seperti yang biasa
dipakai oleh tukang bangunan) yang terhubung dari salah satu dahan dengan
tanah di bawahnya. Di dahan tersebut sebuah keranjang kayu diikatkan.
Seseorang akan naik ke atas pohon dan mulai mengutip buah jeruk yang
terjangkau tangan, dan mengumpulkannya di keranjang yang telah disertakan
di alat kerek tadi. Keranjang yang telah penuh akan dikerek ke bawah pohon
dan dikosongkan oleh seorang lain yang telah menunggu di bawah pohon.
Demikian proses tersebut berlanjut dan dilakukan dari pohon ke pohon. Hasil
kutipan tersebut dijual oleh petani ke pasar Tiganderket.
Berikut akan dipaparkan langkah-langkah yang dilakukan petani mulai dari
tahun 1965 yang menjadi cikal bakal peralihan tanaman di desa ini. Yang menjadi
fokus utama di dalam bab ini ialah pergantian tanaman yang ditanam ladang, sebab
hampir keseluruhan jenis tanaman yang diganti ialah jenis tanaman keras yang
memang hanya dapat ditanam di ladang. Petani yang mempunyai sawah tetap
3.2 Jeruk Keling & Cengkih; Era Kesuksesan Petani
Pada bab sebelumnya telah diuraikan bahwa petani mulai menanam jeruk
keling sepulang dari pengungsian, sekitar tahun 1947.37 Walaupun petani dapat menuai keberhasilan panen dengan tidak adanya hambatan, namun bukan berarti
petani dapat bertahan terus dengan kondisi semacam itu. Pertanian sangatlah
tergantung pada