ABSTRAK
TINDAK TUTUR DALAM FILK KING KARYA ARI SIHASALE DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SATRA INDONESIA DI SMA
OLEH
WENI HANDAYANI
Manusia tidak lepas dari kegiatan berkomunikasi antarsesamanya. Dalam berkomunikasi tentunya penutur memunyai tujuan yang akan dicapai terhadap mitra tuturnya melalui perkataannya. Dalam mencapai tiap-tiap tujuan itu dapat dilakukan dengan menggunakan bermacam cara dalam berujar, mulai dari cara yang langsung maupun cara yang tidak langsung. Kegiatan berkumunikasi ini juga terdapat dalam sebuah film. Film King adalah salah satu film Indonesia buah karya Ari Sihasale yang mengisahkan perjuangan seorang anak bernama Guntur untuk meraih cita-cita menjadi seorang pebulutangkis terkenal. Penulis menggunakan film tersebut karena film King adalah salah satu media pembelajaran yang di dalamnya terdapat berbagai aspek kebahasaan yang dapat dikaji berdasarkan teori, salah satunya tindak tutur. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan tuturan berdasarkan kelangsungan dan keliteralan tuturan yang terkandung dalam dialog film tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh berupa catatan reflektif tuturan berdasarkan kelangsungan dan keliteralan tuturan. Sumber data dalam penelitian ini adalah dialog yang diujakan oleh semua tokoh dalam film King.
Hasil penelitian ini berupa tindak tutur langsung yang terbagi atas tindak tutur langsung literal dan tindak tutur langsung tidak literal. Selanjutnya, ditemukan pula tindak tutur tidak langsung yang terdiri atas tindak tutur tidak langsung literal dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. Pada tindak tutur tidak langsung literal digunakan beberapa modus, yakni modus menyatakan fakta, ancaman, perbandingan, bertanya, dan meyakinkan. Kemudian, modus yang ditemukan pada tindak tutur tidak langsung tidak literal hanya modus “ngelulu”.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padmosari,Kecamatan Natar, Lampung Selatan, pada 29 April 1989.
Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, putri pasangan dari Ibu Sutarmi dan
Bapak Handoko. Penulis mulai mengenyam pendidikan formal pada tahun 1995 di Sekolah
Dasar Negeri 1 Haduyang diselesaikan tahun 2001. Sekolah Menengah Pertama Negeri
Tegineneng diselesaikan tahun 2004. Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Natar diselesaikan pada
tahun 2007.
Tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Lampung, Pada tahun 2010 penulis melakukan praktik pengalaman
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap Alhamdulillah dan rasa
bahagia atas nikmat yang diberikan Allah Subhanawataallah, ku
persembahkan karya kecilku ini untuk Mamak dan Bapak, serta Simbok dan Simbah
tercinta yang senantiasa berdoa dalam setiap sujud dan tahajjudnya demi keberhasilanku,
serta motivasi, pengorbanan, dan kasih sayangnya yang tidak ternilai dengan suatu apapun.
Adik-adikku tercinta Boginah(alm.),Wibi Tri Susilo, dan Selika Egilia yang selalu
memberiku semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk Muhammad Agus Windra,
S.TP., terima kasih atas semua kesabaran dan motivasinya selama ini. Seluruh keluarga
besarku dan almamater tercinta yang telah mendewasakanku
dalam berpikir, bertutur, bertindak dan yang telah banyak
memberikanku berbagai pengalaman
MOTO
(Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih).
(QS. Ibrahim: 7)
Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai
(dari satu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.
(Qs. Alam Nasyrah:5-8)
Paket kesuksesan adalah kegagalan dan kesuksesan hanya ada pada mereka yang mau
mendapatkannya, bukan pada mereka yang hanya berharap saja.
SANWACANA
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Subhanawataala atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”Tindak Tutur Dalam Film
King Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia Di Sekolah
Menengah Atas (SMA) ”. Shalawat teriring salam semoga tetap tercurah kepada seorang penujuk
jalan yang lurus yaitu Muhammad shalallahu alaihi wa salam, semoga keluarga dan sahabat serta
para pengikutnya mendapatkan syafaatnya kelak di hari pembalasan.
Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan pada Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas
Lampung. Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan, bimbingan,dan
dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
tulus kepada
1. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd., selaku pembimbing I yang selama ini telah banyak
membantu, membimbing, mengarahkan, dan memberikan saran kepada penulis dengan
penuh kesabaran dalam penulisan skripsi ini;
2. Eka Sofia Agustina, S.Pd, M.Pd., selaku pembimbing II yang telah banyak membantu,
membimbing dengan cermat, penuh kesabaran, mengarahkan, dan memberi nasihat serta
x
3. Dr. Mulyanto Widodo, M.Pd., selaku penguji yang telah sabar dalam memberikan
nasihat, arahan, dan saran kepada penulis;
4. Dra. Ni Nyoman Wetty S., M.Pd., selaku pembimbing akademik yang telah membimbing
dan mengarahkan penulis sepanjang masa perkuliahan;
5. Drs. Kahfie Nazaruddin, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia;
6. DR. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni;
7. Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Lampung;
8. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
memberi bekal ilmu yang tiada tara kepada penulis dan sangat bermanfaat;
9. Bapak dan Mamak serta Simbok dan Simbah yang selalu memberi semangat, dan doa
yang tiada henti-hentinya kepada penulis;
10.Kedua adik tersayang penulis Wibi dan Seli, terimakasih atas bantuan dan semangat yang
telah kalian berikan;
11.Muhammad Agus Windra, S.T.P., terima kasih atas kesabaran dan dukungannya selama
ini;
12.Keluarga besar Ganesha Operation cabang Lampung (Pak Doni, Pak Agung, Mbak Nita,
Mbak Widia, Mbak Apita, Bu Laila, Dina, Mbak Vitha, dan semuanya) terima kasih atas
dukungan, doa, dan semangat yang tiada hentinya;
13.Sahabat-sahabatku tercinta Visca, Inoy, Aul, Aini, Susan, Rika, dan Novha, terima kasih
14.Sahabat-sahabat seperjuangan penulis angkatan 2007 , Ima Susanti, S.Pd., Putri Markinda
Ramadani, Repi Agustia, S.Pd., Eva Sartika Sari, S.Pd., Eko Hari Anggoro, S.Pd.,
Witono, S.Pd., Devi Mayasari, S.Pd., dan semuanya, terima kasih atas persahabatan, doa,
dukungan serta kebersamaan yang telah teman-teman berikan;
15.Kakak tingkat angkata 2005-2006 serta adik tingkat angkatan ,terima kasih atas
persahabatan serta kebersamaan yang telah kalian berikan;
16.Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat
penuliskan satu per satu.
Semoga Allah Subhanahuwataala selalu memberikan balasan yang lebih besar untuk Bapak, Ibu
,dan rekan-rekan semua. Hanya ucapan terima kasih dan doa yang bisa Penulis berikan. Kritik
dan saran selalu terbuka untuk menjadi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga skripsi
yang sederhana ini bermanfaat bagi kita semua, amin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bandarlampung, Desember 2014
Penulis,
xii
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... xvi
G.Prinsip–Prinsip Percakapan ... 24
e) Maksim Kesepakatan/ Pemufakatan ... 31
f) Maksim Simpati ... 31
H. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA ... 32
III. METODE PENELITIAN ... 36
C. Implikasi dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA ... 54
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Indikator Penelitian ... 38 Tabel 1.2 Kompetensi Dasar dan Indikator Pembelajaran Kelas X ... 58 Tabel 1.3 Analisis dan Klasifikasi Semua Jenis Tindak Tutur pada Dialog Film
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia tidak lepas dari kegiatan berkomunikasi antarsesamanya. Dalam
berkomunikasi tentunya penutur memunyai tujuan yang akan dicapai terhadap mitra
tuturnya melalui perkataannya. Dalam mencapai tiap-tiap tujuan itu dapat dilakukan
dengan menggunakan bermacam cara dalam berujar, mulai dari cara yang langsung
maupun cara yang tidak langsung. Keragaman cara bertutur itu merupakan bagian
dari tindak tutur.
Tindak tutur sebagai wujud peristiwa komunikasi bukanlah peristiwa yang terjadi
dengan sendirinya, melainkan memunyai fungsi, mengandung maksud dan tujuan
tertentu serta dapat menimbulkan pengaruh atau akibat pada mitra tutur. Tarigan
(1990:145) mengemukakan bahwa komunikasi memunyai fungsi yang bersifat
purposif, mengandung maksud dan tujuan tertentu, dan dirancang untuk
menghasilkan efek, pengaruh, akibat pada lingkungan para penyimak dan para
pembicara.
Film adalah gambar–hidup, film memunyai banyak pengertian yang tiap–tiap artinya
dapat dijabarkan secara luas. Film merupakan media komunikasi sosial yang
terbentuk dari penggabungan dua indra, penglihatan dan pendengaran, yang
2
yang terjadi di sekitar lingkungan tempat di mana film itu sendiri tumbuh.
(http://raachaan.multiply.com/links . Jan 18, '14 2:34 AM).
Dalam KBBI (1995:276), film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk
tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat positif (yang akan
dimainkan di bioskop). Dalam dialog sebuah film sering menggunakan bahasa tidak
resmi karena pemeran menyesuaikan konteks dengan situasi tutur.
Untuk menyaingi televisi, film diproduksi dengan layar lebih lebar, waktu putar
lebih lama dan biaya yang lebih besar untuk menghasilkan kualitas yang lebih
baik. Menurut Jack Valenti, kekuatan unik yang dimiliki film, adalah: (1) Sebagai
hasil produki sekelompok orang, yang berpengaruh terhadap hasil film; (2) Film
mempunyai aliran-aliran yang menggambarkan segmentasi dari audiensnya.
Seperti: drama, komedi, horor, fiksi ilmiah, action dan sebagainya.
Film-film Indonesia selama dua dekade ini (1980-an dan 1990-an) terpuruk sangat
dalam. Di awal tahun 2000 tampaknya mulai ada gairah baru dalam industri film
Indonesia. Karya-karya sineas seperti Garin Nugroho, Riri Reza, Rizal Mantovani,
Jose Purnomo, dan beberapa sineas lainnya seperti memberikan semangat baru
pada industri film Indonesia.
Banyak jenis film yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar untuk siswa, salah
satunya adalah film King. Hal ini karena film King tidak berisikan adegan yang
kurang baik untuk anak–anak usia sekolah dilihat dari dialog maupun dari latar
masyarakat dan tidak asing lagi bagi peserta didik ketika dijadikan sebagai media
pembelajaran.
Film King ini merupakan film Indonesia yang dirilis pada tanggal 25 Juni 2009 yang
disutradarai oleh Ari Sihasale dan berdurasi 116 menit 40 detik. Film ini dibintangi
antara lain oleh Rangga Raditya, Lucky Martin, Surya Saputra, Mamiek Prakoso,
Ariyo Wahab, Wulan Guritno, Aa Jimmy, dan Valerie Thomas.
Film King menceritakan tentang kisah perjuangan dan perjalanan panjang seorang
anak bernama Guntur dalam meraih cita-citanya menjadi seorang juara bulutangkis
sejati, seperti idola dia dan ayahnya, Liem Swie King. Ayah Guntur adalah seorang
komentator pertandingan bulutangkis antarkampung yang juga bekerja sebagai
pengumpul bulu angsa, bahan untuk pembuatan shuttlecock. Dia sangat mencintai
bulutangkis dan dia menularkan semangat dan kecintaannya itu pada Guntur
walaupun dia sendiri tidak bisa menjadi seorang juara bulutangkis
Mendengar cerita ayahnya tentang ”King” sang idola, Guntur bertekad untuk dapat
menjadi juara dunia. Dengan segala keterbatasan dan kendala yang ada
dihadapannya, sahabat setianya Raden pun selalu berusaha membantu Guntur
walaupun kadang bantuan Raden tersebut justru seringkali menyusahkannya. Namun,
dengan semangat yang tinggi tanpa mengenal lelah dan pengorbanan berat yang harus
dilakukan, Guntur tak henti–hentinya berjuang untuk mendapatkan beasiswa
bulutangkis dan meraih cita-citanya menjadi juara dunia bulutangkis kebanggaan
4
Film tidak dapat dilepaskan dari peristiwa tutur, baik secara sengaja maupun tidak
sengaja pastilah terdapat berbagai macam tindak tutur. Untuk melakukan aktivitas ini
sekurang-kurangnya ada dua pihak yang dilibatkan, yakni penutur dan mitra tutu dan
seringkali pihak ketiga juga dilibatkan.
Sebenarnya, penelitian tentang tindak tutur telah dilakukan oleh Sri Wahyuni
(2001) dalam skripsinya yang berjudul Jenis Dan Fungsi Tindak Tutur Direktif
Dalam Wacana Kuis. Hasil penelitian ini mengungkapkan tentang jenis, fungsi
dan keselarasan tindak tutur direktif yang digunakan dalam wacana kuis di
televisi. Dalam penelitian ini memaparkan tujuh tindak tutur direktif diantaranya
tindak tutur menyuruh, meminta, memohon, mengajak, menyarankan, mendesak,
dan memberi aba-aba. Peneliti tentang tindak tutur juga dilakukan oleh Wiwik
Widyawati (2006) dalam skripsinya yang berjudul Tindak Tutur Direktif dalam
Wacana Humor Bajaj Bajuri. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa fungsi dan
tuturan direktif dalam wacana Bajaj Bajuri dapat ditemukan sekaligus dalam satu
tuturan. Fungsi tuturan direktif yang ditemukan adalah fungsi direktif meminta,
menyarankan, memaksa, menyuruh, memohon, mengajak, menantang, dan
menagih. Modus tuturan yang ditemukan ada tiga yaitu modus imperatif,
interogatif dan deklaratif
(http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/p/index/assoc/HASHd41f.dir/doc.pdf).
Megaria (2008) dalam skripsinya melakukan penelitian dengan judul Tindak
Tutur Memerintah pada Anak Usia Prasekolah dan Implikasinya dalam
Pembelajaran Bahasa Indonesia di TK. Objek penelitian ialah seorang anak
bahwa tuturan memerintah yang dilakukan sang anak dilakukan dengan dua cara
yakni, tuturan langsung dan tuturan tidak langsung. Tuturan perintah langsung
yang ditemukan terdiri atas perintah biasa, perintah ajakan, perintah larangan,
perintah permintaan. Perintah tidak langsung terdiri atas perintah tidak langsung
dengan modus bertanya, perintah tidak langsung dengan modus menolakan,
perintah tidak langsung dengan modus menyatakan fakta, perintah tidak langsung
dengan modus memuji, dan perintah tidak langsung dengan modus melibatkan
orang ketiga.
Dari deskripsi tersebut ditunjukkan bahwa penelitian mengenai pragmatik khususnya
tindak tutur telah banyak dilakukan, tetapi masih jarang penelitian mengenai tindak
tutur khususnya kelangsungan tuturan maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang
tindak tutur yang mencakup kelangsungan dan kelitelaran tuturan dalam film King.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah yang diteliti dalam penelitian
ini adalah. “Bagaimanakah Tindak Tutur dalam Film King Karya Ari Sihasale dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA?”
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan
tindak tutur dalam Film King karya Ari Sihasale dan Implikasinya Terhadap
6
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan secara
praktis.
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis, yakni
dapat menambah referensi penelitian di bidang kebahasaan, khususnya
pragmatik sehingga penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi para
peneliti selanjutnya dalam pengembangan teori pragmatik yang memusatkan
perhatian pada kajian tindak tutur.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis, yakni
a) menjadi informasi dan masukan khususnya, bagi guru SMA mengenai
tindak tutur;
b) sebagai masukan tentang alternatif media pembelajaran yang kontekstual,
khususnya pada pembelajaran mengenai pemanfaatan media film;
c) membantu siswa meningkatkan minat pada pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia, khusus pada pembelajaran mengenai pemanfaatan
media film.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Subjek pada penelitian ini adalah tuturan yang terdapat pada film King.
2. Objek pada penelitian ini adalah (1) tindak tutur langsung literal, (2) tindak
tutur langsung tidak literal, (3) tindak tutur tidak langsung literal ,dan (4)
II. LANDASAN TEORI
A. Lingkup Pragmatik
Pragmatik secara praktis dapat didefinisikan sebagai studi mengenai tujuan dalam
situasi-situasi tertentu. Pragmatik bersifat komplemen, yang berarti bahwa studi
tentang bahasa dilakukan baik secara terpisah dari sistem formal bahasa maupun dari
sebagian yang melengkapi (Leech, 1993). Semantik dan pragmatik mempunyai
perbedaan tetapi saling melengkapi. Selanjutnya pakar bahasa ini juga menunjukkan
bahwa sesungguhnya ilmu pragmatik berintegrasi dengan tata bahasa melalui
semantik atau ilmu makna. Dalam banyak hal penggambaran relasi-relasi dalam
linguistik memang dapat dibenarkan. Namun, dalam praktik pemakaian bahasa yang
sesungguhnya sering didapati bahwa bagian dari tata bahasa dapat berinteraksi
dengan ilmu pragmatik atau ilmu makna terlebih dahulu.
Rustono (1999:16) menambahkan bahwa perbedaan pragmatik dan semantik dapat
dilakukan atas dasar satuan analisisnya. Satuan analisis pragmatik berupa hasil tindak
tutur. Makna merupakan satuan analisis dari semantik. Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa pragmatik mengabaikan kaidah-kaidah yang terdapat dalam
semantik. Pragmatik lebih fleksibel dalam menangkap maksud dan tujuan penutur.
Definisi pragmatik ini juga dikemukakan Parker sebagai berikut. “Pragmatics is
8
Pragmatik is the study of language is use to communicate (Parker dalam Rahardi
2003:15).
Parker dalam Rahardi (2003:15) menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu
bahasa yang menelaah satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari makna secara
internal, sedangkan pragmatik memelajari makna eksternal, yaitu mempelajari
penggunaan bahasa dalam berkomunikasi.
Dari definisi yang dikemukakan di atas, Parker dengan tegas membedakan antara
studi ilmu bahasa pragmatik dengan studi tata bahasa atau gramatik bahasa. Hal itu
disebutkan bahwa dalam studi gramatik bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks
situasi tuturnya, sedangkan studi tentang pragmatik mutlak harus berkaitan erat
dengan konteks situasi tutur.
Mey menyatakan tentang pragmatik sebagai berikut. Pragmatik is the study of the
conditions of human language uses as these are determined by the context of society
(Mey dalam Rahardi 2003:15). Dari pengertian yang disampaikan di atas mempunyai
arti ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian atau penggunaan bahasa, pada
dasarnya selalu harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan
wahana kebudayaan yang mewadahi dan melatarbelakanginya.
Konteks situasi tutur yang dimaksudkan oleh Mey sebagaimana dikutip oleh Rahardi
(2003), yakni konteks sosial dan konteks sosietal. Konteks sosial adalah konteks
kebahasaan yang timbul sebagai akibat dari munculnya komunikasi dan interaksi
antaranggota masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang sangat tertentu
Makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks sedangkan makna yang
dikaji di dalam semantik berciri bebas konteks. Pragmatik mengkaji bahasa untuk
memahami maksud penuturnya, semantik mempelajarinya untuk memahami makna
sebuah satuan lingual yang notabene tidak perlu disangkutpautkan dengan konteks
situasi tutur.
Dalam keterangan di atas dapat kita ketahui apa yang sebenarnya dimaksud dengan
pragmatik, yaitu penganalisisan studi bahasa dengan pertimbangan-pertimbangan
konteks, di samping memperhatikan sintaksis dan semantiknya, pragmatiknya lebih
dipertimbangkan lagi. Jadi, analisis wacana dengan menggunakan analisis pragmatik
lebih berkena. Secara umum cakupan atau ruang lingkup pragmatik berhubungan
dengan pemakaian bahasa yang seutuh-utuhnya.
B. Peristiwa Tutur
Chaer (1995:62) mengemukakan bahwa peristiwa tutur (speech event) adalah
terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau
lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok
tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
Dell Hymes (1972) mengemukakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi
delapan komponen, yang bila huruf–huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim
SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut adalah,
S (=Setting and scene)
P (=Participants)
E (=Ends : purpose and goal)
A (=Act sequensces)
10
I (=Instrumentalities)
N (=Norms of interaction and interpretation)
G (=Genres)
Setting and scene, di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur
berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi
psikologi pembicaraan. Participants adalah pihak–pihak yang terlibat dalam
pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa, dan pesapa atau pengirim dan
penerima (pesan). Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Act sequence
mengacu pada bentuk dan isi ujaran. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat di
mana suatu pesan disampaikan. Instrumentalities mengacu pada bahasa yang
digunakan. Norm of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan
dalam berinteraksi. Genre mengacu pada jenis penyampaian, seperti narasi, puisi, doa,
dan sebagainya.
C. Aspek–Aspek Situasi Tutur
Rahardi (2003:18) mengemukakan bahwa Ilmu bahasa pragmatik adalah studi ilmu
bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks situasi tuturan yang ada
di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahinya.
Leech (1993) menyatakan bahwa konteks situasi tuturan yang dimaksud merunjuk
pada aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan (background
knowledge) yang muncul dan dimiliki bersama–sama baik oleh si penutur maupun
mitra tutur, serta aspek–aspek nonkebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi,
serta melatarbelakangi hadirnya sebuah pertuturan tertentu. Wijana (1996) dengan
tegas menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut juga konteks
Konteks situasi pertuturan menurut Geoffrey N. Leech sebagaimana dikutip oleh
Wijana (1996) membagi aspek situasi tutur atas lima bagian yaitu: (1) penutur dan
mitra tutur; (2) konteks tuturan; (3) tujuan tuturan; (4) tuturan sebagai bentuk
tindakan atau aktivitas; dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.
Pada aspek situasi tutur yang melibatkan penutur dan mitra tutur Searle (dalam
Rahardi, 2003:19) menyatakan aspek-aspek yang perlu dicermati pada diri penutur
mupun mitra tutur di antaranya adalah jenis kelamin, umur, daerah asal, dan latar
belakang keluarga serta latar belakang social-budaya lainnya yang dimungkinkan
akan menjadi penentu hadirnya makna sebuah pertuturan. Bertutur dengan
memperlihatkan aspek-aspek pelibat tutur yang demikian itu akan menjamin
keberhasilan proses bertutur daripada sama sekali tidak memperhatikannya.
D. Tindak Tutur
Teori tindak tutur pertama kali diungkapkan oleh J.L. Austin (1962). Teori
tersebut kemudian dikembangkan kembali oleh oleh Searle pada tahun 1969.
Menurut Searle, dalam semua komunikasi kebahasaan terdapat tindak tutur. Ia
berpendapat bahwa komunikasi bukan hanya sekedar lambang, kata atau kalimat,
tetapi lebih merupakan hasil dari perilaku tindak tutur. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa tindak tutur merupakan inti dari komunikasi.
Austin (1962) sebagai pencetus dasar teori tindak tutur mengungkapkan bahwa
sebagian tuturan bukanlah pernyataan tentang sesuatu, tetapi merupakan tindakan
(action). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa mengujarkan sesuatu
12
dalam sebuah ujaran selalu memiliki maksud tertentu, maksud inilah yang dapat
menimbulkan pengaruh tertentu terhadap orang lain, seperti halnya mencubit atau
memukul. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Austin mengemukakan teori
tindak tutur yang memiliki pengertian bahwa tindak tutur adalah aktivitas
mengujarkan tuturan dengan maksud tertentu.
Ketika menuturkan sebuah tuturan, seseorang memiliki maksud–maksud tertentu
sehingga tuturan tersebut disebut juga tindak tutur. Berkaitan dengan bermacam–
macam maksud yang dikomunikasikan, Leech (1983) berpendapat bahwa tindak tutur
terikat oleh situasi tutur yang mencakupi (1) penutur dan mitra tutur, (2) konteks
tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tindak tutur sebagai tindakan atau aktifitas dan (5)
tuturan sebagai hasil tindak bertutur. Konsep tersebut berkaitan dengan teori yang
dikemukakan oleh Austin (1962) bahwa tuturan merupakan sebuah tindakan yang
menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah
suatu tindakan bertutur yang memiliki maksud tertentu yang dapat diungkapkan
secara eksplisit maupun implisit. Tindak tutur yang memiliki maksud tertentu tersebut
tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas
pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai
produk tindak tutur.
Pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari–hari yang berupa tindakan bertutur tidak
terbatas jumlahnya karena setiap hari seseorang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan
berkomunikasi sehingga tindakan bertutur selalu digunakan untuk menyampaikan
Sehubungan dengan peristiwa tersebut, Austin (1962) dan Searle (1969)
mengklasifikasikan tuturan–tuturan yang ada dan membaginya menjadi tiga jenis,
yaitu tindak lokusioner (locutionary act), tindak ilokusioner (ilokutionary act), tindak
perlokusioner (perlokutionary act) atau biasa disebut dengan istilah lokusi, ilokusi,
dan perlokusi yang akan dijabarkan sebagai berikut ini.
1. Tindak Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata”,
atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Austin
(1962), menyebutkan bahwa tindak pertuturan lokusi merupakan tindak pertuturan
yang mengandung makna referensial dan kognitif. Sedangkan Searle (1969)
menyebut tindak tutur lokusi ini dengan istilah tindak bahasa preposisi (prepositional
act) karena tindak tutur ini hanya berkaitan dengan makna.
2. Tindak Tutur Ilokusi
Berbeda dengan lokusi, tindak tutur ilokusi merupakan tindak tutur yang
mengandung maksud dan daya tuturan. Tindak tutur ilokusi tidak mudah
diidentifikasi. Hal itu terjadi karena tindak ilokusi itu berkaitan dengan siapa bertutur
kepada siapa, kapan dan di mana tindak tutur dilakukan, pada tindak tutur ilokusi
perlu disertakan konteks tuturan dalam situasi tutur.
Leech (1993) mengidentifikasikan beberapa verba untuk memudahkan menandai
tindak tutur ilokusi, verba itu antara lain melaporkan, mengumumkan, bertanya,
menyarankan, berterimakasih, mengusulkan, mengakui, mengcapkan selamat,
berjanji, mendesak, dan sebagainya. Dengan kata lain tindak tutur ilokusi berarti
14
Tindak ilokusi memunyai beraneka ragam fungsi dalam praktek kehidupan sehari–
hari. Berdasarkan bagaimana hubungannya dengan tujuan social dalam menentukan
dan memelihara serta memertahankan rasa dan sikap hormat, maka fungsi–fungsi
ilokusi dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu kompetitif (bersaing),
konvival (menyenagkan), kolaboratif (bekerjasama), dan konfliktif (bertentangan).
Lebih jelas lagi Searle (dalam Rahardi 2003:72–73 dan Tarigan 1993:47–48 )
membuat klasifikasi dasar tuturan yang membentuk tindak tutur ilokusi menjadi lima
jenis, yaitu asertif , direktif, ekspresif, komisif, deklarasi.
3. Tindak Tutur Perlokusi
Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali memunyai daya pengaruh
(perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya
pengaruh ini dapat secara langsung atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya
(Wijana 1996:19). Tindak tutur perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh
(effect) kepada diri sang mitra tutur. Tindak tutur semacam ini dapat disebut dengan
the act of effect someone (Searle dalam Rahardi 2003:72).
Verba yang termasuk dalam tindak tutur perlokusi, verba tersebut antara lain
mendorong penyimak mempelajari bahwa, meyakinkan, menipu, memperdayakan,
membohongi, menganjurkan, membesarkan hati, menjengkelkan, mengganggu,
mendongkolkan, menakuti (menjadi takut), memikat, menawan, menggelikan hati,
membuat penyimak melakukan;mengilhami, memengaruhi, mengecamkan,
mengalihkan menganggu, membingungkan, membuat penyimak memikirkan tentang;
mengurangi ketegangan, memalukan, mempersukar, menarik perhatian,
4. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung
Dalam sebuah peristiwa percakapan, penutur tidak selalu mengatakan apa yang
dimaksudkan secara langsung. Dengan kata lain, untuk menyampaikan maksud
tertentu, penutur sering menggunakan tindak tutur tidak langsung. Berdasarkan
konteks situasi tindak tutur dibagi menjadi dua, yaitu tindak tutur langsung (direct
speech) dan tindak tutur tidak langsung (indirect speech). Secara formal berdasarkan
modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya
(interrogative), dan kalimat perintah (imperatif). Kalimat berita (deklaratif) digunakan
untuk memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu
dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaaan atau
permohonan (Wijana, 1996: 30).
Apabila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengadakan sesuatu,
kalimat tanya untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak,
memohon, dan sebagainya maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct speech).
Djajasudarma (1994:65) mengemukakan bahwa tindak tutur langsung adalah tindak
tutur yang menunjukkan fungsinya dalam keadaan (tindakan) langsung dan literal
(penutur sesuai dengan kenyataan). Sebagai contoh adalah kalimat-kalimat berikut
ini.
(2) Ambilkan buku saya!
Kalimat ambilkan buku saya! merupakan perintah langsung yang dituturkan penutur
kepada mitra tutur untuk mengambilkan sesuatu berdasarkan isi tuturan penutur,
16
Di samping itu, untuk berbicara secara sopan, perintah dapat diutarakan dengan
kalimat berita atau tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah.
Bila hal ini yang terjadi, terbentuk tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur tidak
langsung adalah tindak tutur yang dinyatakan dengan menggunakan bentuk lain dan
tidak literat. Contohnya sebagai berikut.
(3) a. Ada makanan di almari. b. Di mana sapunya?
Kalimat (3a) bukan hanya menginformasikan ada makanan di almari, tetapi juga
dimaksudkan untuk memerintah lawan tuturnya mengambil makanan yang ada di
almari. Begitu juga dengan kalimat (3b) tuturan tersebut tidak semata-mata berfungsi
untuk menanyakan di mana letak sapu itu, tetapi juga secara tidak langsung
memerintahkan untuk mengambil sapu tersebut.
Kelangsungan dan ketidaklangsungan sebuah tuturan berkaitan dengan dua hal
pokok, yaitu masalah bentuk dan isi tuturan. Masalah bentuk tuturan berkaitan
dengan realisasi maksim cara, yakni berkaitan dengan bagaimana sebuah tuturan
dituturkan untuk mewujudkan suatu ilokusi. Masalah isi tuturan berkaitan dengan
maksud yang terkandung pada ilokusi tersebut. Jika ilokusi mengandung maksud
yang sama dengan ungkapannya, tuturan tersebut adalah tuturan langsung.
Sebaliknya, jika maksud suatu ilokusi berbeda dengan ungkapanya, tuturan tersebut
merupakan tuturan tidak langsung. Kelangsungan dan ketidaklangsungan sebuah
(4) a. Aku minta minum. b. Aku haus sekali.
Kedua kalimat di atas menunjukkan bahwa kalimat (4a) dan kalimat (4b) berbeda dari
segi tuturanya. Akan tetapi, dari segi isinya menunjukkan kesamaan, yaitu melakukan
tindakan meminta (minum). Tuturan (4a) bersifat lebih langsung daripada tuturan
(4b).
5. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal
Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama
dengan makna kata-kata yang menyusunnya, sedangkan tindak tutur tidak literal
(nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau
berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Contoh dapat ditemukan
pada kalimat berikut.
(5) Pianis itu sangat mahir memainkan pianonya.
(6) Permainan pianomu bagus, (tapi lebih baik tak usah bermain biola saja). (7) Suara tipenya keraskan! Aku ingin mencatat dan menghafal lagu itu (8) Tipenya kurang keras. Tolong keraskan lagi. Aku mau mengerjakan tugas.
Kalimat (5) bila diutarakan untuk maksud memuji atau mengagumi kemerduan,
kelihaian, dan kelincahan permainan piano oleh pemain piano yang dibicarakan
merupakan tindak tutur literal, sedangkan kalimat (6) karena penutur memaksudkan
bahwa permainan piano lawan tuturnya tidak bagus dengan mengatakan tak usah
bermain biola saja merupakan tindak tutur tidak literal. Jika penutur benar-benar
menginginkan lawan tutur untuk mengeraskan suara tipenya agar mudah mencatat
dan dapat menghafal lagu itu, tindak tutur 7 adalah tindak tutur literal. Sebaliknya,
Jika penutur sebenarnya menginginkan lawan tutur mematikan suara tipenya , tindak
18
6. Tindak Tutur Langsung Literal
Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur yang
diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud
pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah,
memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya.
Contoh pada kalimat berkut.
(9) Gadis itu sangat cantik. (10) Buka mulutmu!
(11) Jam berapa sekarang?
Tuturan tersebut merupakan tindak tutur langsung literal bila secara berturut-turut
dimaksudkan untuk memberitakan bahwa orang yang dibicarakan sangat cantik,
menyuruh agar lawan tutur membuka mulut dan menanyakan pukul berapa ketika itu.
Maksud memberitakan diutarakan dengan kalimat berita (9), maksud memerintah
(10), dan maksud bertanya dengan kalimat tanya (11).
7. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur
yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud
pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang
dimaksudkan penutur. Dalam tindak tutur ini maksud memerintah diutarakan dengan
kalimat berita atau kalimat tanya. Contoh pada kalimat berikut.
(12) Lantainya kotor. (13) Di mana sapunya?
Kalimat di atas dalam konteks seorang ibu rumah tangga berbicara dengan anak
maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat berita.
Pada tuturan (13) sama dengan maksud yang dikandungnya. Demikian pula dalam
konteks seorang ibu bertutur dengan anaknya pada (13) maksud memerintah untuk
mengambil sapu diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat tanya dan makna
kata-kata yang menyusunnya sama dengan maksud yang dikandungnya. Untuk
memperjelas maksud memerintah (12) dan (13) di atas, perluasannya pada konteks
berikut.
(14) + Lantainya kotor.
- Iya bu, saya akan menyapunya sekarang. (15) + Di mana sapunya?
- Sebentar, saya ambilkan.
8. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah tindak
tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan,
tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan
maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah
dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita. Contoh pada kalimat
berikut.
(16) Tulisanmu bagus, kok.
(17) Kalau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu!
Tindak tutur langsung tidak literal penutur dalam kalimat (16) memaksudkan
bahwa tulisan lawan tuturnya tidak bagus. Sementara kalimat (17) penutur
menyuruh lawan tuturnya yang mungkin dalam hal ini temannya atau adiknya
untuk menutup mulut sewaktu makan agar terlihat sopan. Kalimat tanya tidak
20
9. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act) adalah
tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak
sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Contoh pada kalimat berikut.
(18) Susunan bukumu rapi sekali.
(19) Suara nyanyianmu terlalu pelan, tidak kedengaran.
(20) Apakah dengan suara nyanyianmu yang pelan seperti itu dapat kau dengar sendiri?
Maksud dari kalimat (18) adalah untuk menyuruh seorang anak membereskan
susunan buku-buku yang berantakan dan tidak rapi, seorang ibu atau orang yang
lebih tua dapat saja dengan nada tertentu mengutarakan kalimat (19). Demikian
pula untuk menyuruh seorang teman mengecilkan volume suara nyanyiannya.
Penutur dapat mengutarakan kalimat berita dan kalimat tanya seperti pada contoh
(18) dan (19).
E. Modus Tuturan
Tuturan merupakan kalimat yang diujarkan. Bertutur berarti aktivitas dengan
menggunakan bahasa. Bahasa digunakan untuk mengatakan informasi, meminta
informasi, memerintah, mengajukan permohonan, menjanjikan, berjanji,
menasihati, dan sebagainya. Rustono (1998:9) mengatakan bahwa modus tuturan
adalah tuturan verba yang mengungkapkan suasana psikologis perbuatan menurut
tafsiran penutur atau sikap penutur tentang apa yang dituturkanya. Djajasudarma
(1994:63) membagi tipe kalimat menjadi tiga yaitu kalimat deklaratif, kalimat
interogatif, dan kalimat imperatif. Tiap-tiap tipe kalimat merupakan pertanyaan,
Secara formal, berdasarkan modusnya Wijana (1996:32) membedakan tuturan
menjadi tiga ,yakni tuturan bermodus deklaratif, modus interogatif, dan modus
imperatif.
(1) Modus deklaratif digunakan untuk memberitakan sesuatu (informasi). Secara
konvensional modus deklaratif ditandai dengan tanda titik dan diucapkan
dengan intonasi yang datar.
Misalnya: (27) Ayah pergi ke kantor pagi ini.
Tuturan (27) di atas termasuk ke dalam modus deklaratif karena
isinya memberitakan suatu informasi bahwa ayah pergi ke kantor.
Secara konvensional tuturan (27) ditandai dengan akhiran titik.
(2) Modus interogatif digunakan untuk menanyakan sesuatu. Secara
konvensional modus interogatif ditandai dengan tanda tanya dan disertai
dengan intonasi yang sedikit naik.
Misalnya: (28) Apakah ayah sudah pergi ke kantor pagi ini?
Tuturan (28) termasuk ke dalam modus interogatif karena isinya
menanyakan apakah ayah pergi ke kantor atau tidak. Intonasi yang
digunakan dalam tuturan (28) dapat dituturkan dengan intonasi
sedikit naik dalam konteks bahwa kemarin ayah tidak masuk kantor
karena sakit.
(3) Modus Imperatif digunakan untuk menanyakan perintah, ajakan, permintaan
atau permohonan. Secara konvensional ditandai dengan tanda seru dan
diucapkan dengan intonasi naik.
22
Tuturan (29) termasuk modus imperatif karena isinya ajakan dan
perintah untuk pergi ke kantor. Tuturan (29) di atas ditandai dengan
tanda seru dan intonasi yang naik.
Ciri-ciri modus tuturan adalah (1)kata, (2)intonasi (tanda baca), dan (3)konteks.
Berdasarkan deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa modus tuturan adalah
sebuah cara untuk mengungkapkan suasana psikologis perbuatan yang terkandung
dalam sebuah tuturan menurut tafsiran penutur atau sikap penuturnya. Modus
tuturan ditandai dengan penggunaan tuturan secara konvensial atau
nonkonvensional
(http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/p/index/assoc/HASHd41f.dir/doc.pdf).
F. Fungsi Tindak Tutur
Di dalam kegiatan bertutur tentu ada perihal pokok yang menjadi perhatian
umum. Perihal pokok tersebut agar dipahami orang lain harus dibahasakan, harus
memperhatikan kaidah bahasa dan pemakaiannya. Perihal pokok yang merupakan
pusat perhatian untuk dibicarakan atau dibahasakan adalah topik tutur, sedangkan
tuturan adalah topik tutur yang sudah dibahasakan (Suyono 1990:23).
Tindak tutur merupakan aktivitas. Menuturkan sebuah tuturan dapat dilihat
sebagai melakukan tindakan (act) (Kaswati Purwa 1990). Tindak tutur suatu
tindakan tidak ubahnya sebagai tindakan seperti menendang dan mencium. Hanya
berbeda perannya dalam setiap anggota tubuh. Pada tindakan menendang kaki
yang berperan, sedangkan mencium adalah bagian muka yang berperan.
Tindak tutur tidak akan lepas dari analisis situasi tuturan (speech situation).
tutur di dalam komunikasi ada dua pihak peserta yang penting yaitu penutur dan
mitra tutur, atau pengirim amanat dan penerimanya. Supaya komunikasi ini
berlangsung di antara pihak yang berkomunikasi harus ada kontak berdekatan.
Secara fisik kontak berdekatan belum berarti terciptanya situasi tutur. Penutur
harus mengambil perhatian pihak yang akan dan sedang diajak bicara atau
berkomunikasi. Komunikasi tersebut terdapat fungsi tindak tutur. Fungsi tindak
tutur dari satu bentuk tuturan melebihi satu fungsi. Tuturan tersebut ini merupakan
fungsi tindak tutur.
Fungsi yang dikehendaki oleh penutur dan yang kemudian dipahami oleh mitra tutur
tergantung kepada konteks yang mengacu ke tuturan yang mendahului atau
mengikuti tuturan. Kenyataan bahwa satu bentuk tuturan dapat mempunyai lebih dari
satu fungsi adalah kenyataan di dalam komunikasi bahwa satu fungsi dapat
dinyatakan, dialami, dan diutarakan dalam berbagai bentuk tuturan.
Bahasa dapat dikaji dari segi bentuk dan fungsi. Kajian dari segi bentuk menggunakan
pendekatan formalisme, yaitu pendekatan telaah bahasa yang menekankan bentuk-bentuk
bahasa semata-mata. Sementara itu, kajian dari segi fungsi menggunakan pendekatan
nonformalisme, yaitu pendekatan telaah bahasa yang bertitik tolak dari nosi tindak tutur
(speech act) dan melihat fungsi tindak tutur itu dalam komunikasi bahasa dalam
fenomena sosial (Gunarwan 1992). Menurut Leech (1993:72), penjelasan pragmatik
mampu menjawab “mengapa” dengan jawaban-jawaban dan jauh melampaui
tujuan-tujuan tata bahasa formal. Misalnya jawaban pragmatik atas pertanyaan mengapa tuturan
X digunakan dan bukan tuturan Y, karena tuturan X lebih sesuai dengan fungsi
24
Dalam hal bahasa, teori fungsional adalah teori yang mendefinisikan bahasa sebagai
sebuah bentuk komunikasi dan yang ingin memperlihatkan bagaimana bahasa bekerja
dalam sistem-sistem masyarakat manusia yang lebih besar. Istilah-istilah yang
menandai hadirnya fungsionalisme ialah „maksud‟, „tujuan‟, „sasaran‟, „rencana‟.
Menurut Grice dan Searle dalam Leech (1993) fungsional digunakan jika membahas
ilokusi-ilokusi atau makna dari segi maksud. Selain itu, mereka membicarakan
sifat-sifat bahasa dengan menggunakan istilah fungsi.
http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/HASH01a2/3568d97b.dir/d
oc.pdf (17/4/2010 12:04 PM).
G. Prinsip-Prinsip Percakapan
Prinsip-prinsip percakapan digunakan untuk mengatur supaya percakapan dapat
berjalan dengan lancar. Dalam suatu percakapan, seseorang dituntut untuk menguasai
kaidah-kaidah percakapan sehingga percakapan dapat berjalan dengan lancar. Supaya
percakapan dapat berjalan dengan baik maka pembicara harus menaati dan
memperhatikan prinsip-prinsip yang ada di dalam percakapan. Prinsip yang berlaku
dalam percakapan ialah prinsip kerja sama (cooperative principle) dan prinsip sopan
santun (politness principle).
1. Prinsip Kerja Sama (cooperative principle)
Di dalam komunikasi seseorang akan menghadapi kendala-kendala yang
mengakibatkan komunikasi tidak berlangsung sesuai dengan yang diharapkan. Agar
proses komunikasi dapat berjalan dengan lancar penutur dan mitra tutur harus dapat
saling bekerja sama. Prinsip kerja sama mengatur hak dan kewajiban penutur dan
sedemikian rupa sebagaimana yang diharapkan, berdasarkan tujuan dan arah
percakapan yang sedang diikuti”.
Prinsip kerja sama dituangkan ke dalam empat maksim, yaitu (i) maksim kuantitas
(the maxim of quantity), (ii) maksim kualitas (the maxim of quality), (iii) maksim
relevansi (the maxim of relevance), dan (iv) maksim pelaksanaan (the maxim of
manner). Di bawah ini adalah uraian maksim-maksim tersebut.
a) Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)
Maksim kuantitas menyatakan “berikan informasi dalam jumlah yang tepat” .
Maksim ini terdiri dari dua prinsip, yaitu.
1) Berikan informasi Anda secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh
mitra tutur;
2) Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.
Maksim kuantitas memberikan tekanan pada tidak dianjurkan pembicara untuk
memberikan informasi lebih dari yang diperlukan. Hal ini didasari asumsi bahwa
informasi lebih tersebut hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga. Kelebihan
informasi tersebut dapat juga dianggap sebagai sesuatu yang disengaja untuk
memberikan efek tertentu. Berikut adalah contoh maksim kuantitas.
(24) a. Kambing saya beranak.
b. Kambing saya yang betina beranak.
Ujaran (24a) lebih ringkas dan tidak menyimpang dari nilai kebenaran. Setiap
orang pasti tahu yang beranak pastilah kambing betina, jadi kata betina pada
26
b) Maksim Kualitas (The Maxim of Quality)
Maksim kualitas menyatakan “usahakan agar informasi Anda sesuai dengan
fakta”. Maksim ini terdiri dari dua prinsip, yaitu :
1) jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini bahwa hal itu tidak benar;
2) jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.
Contoh :
(25) a. Silakan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya. b. Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti !
Tuturan (25a) dan (25b) di atas dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di
dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang
berusaha melakukan penyontekan. Tuturan (25b) jelas lebih memungkinkan
terjadinya kerja sama antara penutur dengan mitra tutur. Sementara tuturan (25a)
dikatakan melanggar kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang
sebenarnya tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan oleh seorang Dosen.
Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdapat
seorang dosen yang mempersilakan mahasiswanya melakukan pencontekan pada
saat ujian berlangsung.
c) Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)
Dalam maksim ini, dinyatakan agar terjalin kerja sama antara penutur dan mitra
tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan
tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan
kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja
sama.
(26) Direktur : Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!
Sekretaris : Maaf Bu, Kasihan sekali nenek tua itu.
Dituturkan oleh seorang direktur kepada sekretarisnya pada saat mereka
bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua
yang sudah menunggu lama.
Dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa tuturan sang
sekretaris, yakni “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu” tidak memiliki
relevansi dengan apa yang diperintahkan sang Direktur. Dengan demikian, tuturan
di atas dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam
prinsip kerja sama tidak harus selalu dipenuhi dan dipatuhi dalam pertuturan
sesungguhnya. Hal seperti itu dapat dilakukan, khususnya apabila tuturan tersebut
dimaksudkan untuk mengungkapkan maksud-maksud yang khusus sifatnya.
d) Maksim Pelaksanaan ( The Maxim of Manner)
Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta pertuturan bertutur secara
langsung, jelas dan tidak kabur. Secara lebih jelas maksim ini dapat diuraikan
sebagai berikut :
1) hindari ketidakjelasan atau kekaburan ungkapan;
2) hindari ambiguitas;
3) hindari kata-kata berlebihan yang tidak perlu;
4) harus berbicara dengan teratur.
Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu dapat dikatakan
melanggar prinsip kerja sama ini karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan.
28
(27) Anak : Bu, besok saya akan pulang lagi ke kota. Ibu : Itu sudah saya siapkan di laci meja.
Dari cuplikan di atas, tampak bahwa tuturan yang dituturkan sang anak relatif
kabur maksudnya. Maksud yang sebenarnya dari tuturan si anak itu, bukannya
ingin memberi tahu kepada sang ibu bahwa ia akan segera kembali ke kota,
melainkan lebih dari itu, yakni bahwa ia sebenarnya ingin menanyakan apakah
sang ibu sudah siap dengan sejumlah uang yang sudah diminta sebelumnya.
2. Prinsip Kesantunan (Politness Principle)
Agar proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan dengan baik dan
lancar, mereka haruslah dapat saling bekerja sama. Bekerja sama yang baik di
dalam proses bertutur salah satunya, berprilaku sopan pada pihak lain, tujuannya
supaya terhindar dari kemacetan komunikasi. Leech (1993:120) mengatakan
bahwa prinsip kerja sama berfungsi mengatur apa yang dikatakan oleh peserta
percakapan sehingga tuturan dapat memberikan sumbangan kepada tercapainya
tujuan percakapan, sedangkan prinsip kesantunan menjaga keseimbangan sosial
dan keramahan hubungan dalam sebuah percakapan.
Leech dalam Rahardi (2005:59-66) membagi prinsip kesantunan ke dalam enam
butur maksim berikut (i) maksim kebijaksanaan (tact maxim), (ii) maksim
kedermawanan ( generosity maxim), (iii) maksim penghargaan (approbation
maxim), (iv) maksim kesederhanaan (modesty maxim), (v) maksim permufakatan
(agreement maxim), dan (vi) maksim simpati (sympath maxim). Berikut adalah
a) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Maksim kebijaksanaan mengandung prinsip sebagi berikut:
1) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin;
2) buatlah keuntungan pihak lain sebesar mungkin.
Menurut maksim ini juga, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan bila maksim
kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik. Contohnya :
(28) Tuan rumah : Silakan makan saja dulu, Nak! Tadi semua sudah mendahului Tamu : Wah, saya jadi tidak enak, Bu !
Tuturan di atas dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang
sedang bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah Ibu
tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda. Contoh di
atas tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang dituturkan si Tuan rumah
sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan
semacam itu dapat ditemukan dalam keluarga-keluarga pada masyarakat tutur
desa. Orang-orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datang
secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan kedatangannya terlebih
dahulu.
b) Maksim Kedermawanan ( Generosity Maxim)
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut:
1) buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin;
2) tambahi pengorbanan diri sendiri.
Penggunaan maksim kedermawanan terlihat pada contoh berikut.
(29) Anak kos A : Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok yang kotor.
30
Dari tuturan yang disampaikan si (29A) di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa
ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan
beban bagi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan bantuan
untuk mencucikan pakaian kotornya si (29B).
c) Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut:
1) kurangi cacian pada orang lain;
2) tambahi pujian pada orang lain.
Maksim penghargaan terlihat pada contoh beriku.
(30) Dosen A : Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas
Business English.
Dosen B : Oya, tadi aku mendengar bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam
ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi. Pemberitauan yang disampaikan
dosen A terhadap dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik
bahkan disertai dengan pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu dosen B berperilaku santun
terhadap dosen A.
d) Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati mengandung
prinsip:
1) kurangi pujian pada diri sendiri;
Contohnya adalah sebagai berikut.
(31) a : Nanti Ibu yang memberikan sambutan dalam rapat Dasa Wisma! b : Waduh, nanti grogi aku.
Peserta tutur (31b) bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap
dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam
kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.
e) Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)
Maksim permufakatan sering kali disebut dengan maksim kecocokan, maksim ini
mengandung prinsip
1) kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain;
2) tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina
kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat
kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan
bertutur, tiap–tiap dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun.
Di bawah ini merupakan contoh maksim permufkatan.
(32) Weni : Nanti siang kita makan bersama ya, ka! Eka : Boleh. Saya tunggu di Rumah kayu.
f) Maksim Simpati (Sympath Maxim)
Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut:
1) kurangilah rasa antipati antara diri sendiri dan orang lain sekecil mungkin;
2) perbesar rasa simpati antara diri sendiri dan orang lain.
Tindak tutur yang mengungkapkan simpati misalnya ucapan selamat, ucapan bela
32
Contohnya
(33) a. Selamat atas pernikahanmu.
b. Saya turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu.
Kalimat (33a) dan kalimat (33b) sama-sama memperlihatkan ungkapan simpati.
Kalimat (33a) berupa ungkapan simpati terhadap sebuah pernikahan, dan kalimat
(33b) merupakan ungkapan simpati bela sungkawa.
H. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan
usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1)
menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat
(3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan
undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan
kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
Pembelajaran Bahasa dan Sasta Indonesia merupakan bagian dari pendidikan.
Oleh karena itu, segala aspek pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia harus
diarahkan demi tercapainya tujuan pendidikan tersebut.
Kurikulum 2013 yang saat ini tengah dijalankan di Indonesia adalah sebuah
kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter.
berdiskusi, dan presentasi serta memiliki sopan santun disiplin yang tinggi.
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran
makin kuat dengan dicanangkannya penambahan jam belajar untuk mata Pelajaran
Bahasa Indonesia pada setiap jenjang mulai dari SD, SMP, dan SMA/SMK.
Dengan kata lain, peran bahasa menjadi dominan, yaitu sebagai saluran
mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi kepada peserta
didik. Untuk mengantarkan kandungan materi dari semua sumber kompetensi
dilakukan dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata
pelajaran lain, yakni kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai
konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa
Indonesia. Melalui pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi
inti, sebagai pengikat semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat dengan
mudah direalisasikan. Dengan cara ini pula, pembelajaran Bahasa Indonesia dapat
dibuat menjadi kontekstual.
Pada kurikulum 2013 ada penambahan aspek belajar, yakni kompetensi inti.
Kompetensi inti (KI) merupakan gambaran secara kategorial mengenai
kompetensi yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas,
dan mata pelajaran. Sementara itu, kompetensi dasar masih digunakan dalam
kurikulum ini. Kompetensi dasar digunakan untuk merincikan apa yang harus
dipelajari peserta didik untuk suatu mata pelajaran di kelas tertentu.
Adapun tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut.
34
berlaku, baik secara lisan maupun tulis
2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara;
3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan
kreatif untuk berbagai tujuan;
4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
intelektual, serta kematangan emosional dan sosial;
5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa;
6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakupi komponen
kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi (1)
mendengarkan; (2) berbicara; (3) membaca; dan(4) menulis. Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa keterampilan berbicara merupakan
salah salah satu aspek kemampuan berbahasa yang wajib.
Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakupi komponen
kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi (1)
mendengarkan; (2) berbicara; (3) membaca; dan(4) menulis. Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat ditegaskan bahwa keterampilan berbicara merupakan
salah salah satu aspek kemampuan berbahasa yang wajib dikembangkan di SMA.
keterampilan mendengarkan, membaca, dan menulis. Namun, pada kurikulum
36
III. METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tindak tutur dalam film King dan
implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Dengan demikian,
untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode deskriptif kualitatif. Metode
penelitian deskriptif merupakan suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun
fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas,
karekteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena
yang satu dengan yang lainnya (Sukmadinata, 2006:72). Penelitian deskriptif
diharapkan dapat mendeskripsikan tindak tutur dalam film King dan implikasinya
terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA.
B. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berupa tuturan para tokoh dalam film King yang
dirilis pada tanggal 25 Juni 2009 yang disutradarai oleh Ari Sihasale dan berdurasi
116 menit 40 detik, antara lain, Guntur, Raden, Pak Tejo (Ayah Guntur), Mas
Reno, Mas Untung, Pak Lurah, Bang Fikar, Tukang Balon, Ibu Tetangga, Embah,
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik simak dan
pencatatan. Dikatakan teknik simak karena dilakukan dengan menyimak, yakni
menyimak semua dialog film King yang berdurasi 116 menit 40 detik. teknik
selanjutnya adalah teknik pencatatan, yakni catatan transkip data. Catatan transkip
data dilakukan untuk mencatat tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra
tutur dari setiap pemeran dalam film King. Catatan tersebut, yakni catatan
deskriptif dan reflektif. Catatan deskriptif berupa catatan tentang semua ujaran
dari setiap pemeran dalam film King termasuk konteks yang melatarinya, dan
catatan reflektif adalah interpretasi atau penafsiran peneliti terhadap tuturan yang
disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur.
D. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1. Menyimak dan mencatat semua tuturan yang muncul dalam dialog film King
termasuk mencatat konteks tuturan.
2. Data yang didapat dianalisis dengan menggunakan catatan deskriptif dan
catatan reflektif dan menggunakan analisis heuristis. Analisis heuristis
digunakan apabila ada variasai tindak tutur yang memiliki berbagai
interpretasi makna.
3. Mengidentifikasi tuturan yang di dalamnya terdapat tindak tutur dilihat dari
kelangsungan dan ketidak langsungan, kelitaran dan tidak literal.
4. Mengklasifikasikan data tuturan berdasarkan kelangsungan dan keliteralan
38
5. Berdasarkan hasil identifikasi dan klasifikasi data, dilakukan kegiatan
penarikan simpulan tindak tutur yang paling banyak digunakan berdasarkan
kelangsungan dan keliteralannya.
6. Mendeskripsikan implikasi tindak tutur berdasarkan kelangsungan dan
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan analisis data dari film King yang dirilis pada tanggal 25 Juni 2009 yang
disutradarai oleh Ari Sihasale dan berdurasi 116 menit 40 detik. Tokohnya antara lain,
Guntur, Raden, Pak Tejo (ayah Guntur), Mas Reno, Mas Untung, Pak Lurah, Bang
Fikar, Tukang Balon, Ibu Tetangga, Si Mbah, Micel, Ibunya Micel, dan Pak Herman
(pelatih bulutangkis). Film King karya Ari Sihasale ini menceritakan tentang perjalanan
hidup seorang anak yang bernama Guntur dalam meraih cita-citanya untuk menjadi
pebulutangkis ternama. Perjalanannya tersebut tidak mudah, banyak rintangan dan
cobaan yang dilalui. Cerita dari film ini cukup menarik untuk disimak dan melibatkan
karakter anak dari sebuah desa yang sekarang jarang dijumpai. Dari dialog yang
dijadikan sumber data disimpulkan bahwa tuturan yang digunakan pada dialog
film King bervariasi dalam penggunaan modusnya yang dilihat dari hubungan
kelangsungan tuturan dan kesamaan makna yang digunakan dalam pemilihan
diksi (literal). Data yang terekam pada transkrip data tersebut didapat tuturan
langsung literal(LL) dengan tujuan tuturan memerintah, bertanya, menyatakan
informasi, dan menyatakan larangan. Beberapa tuturan berbentuk tuturan
langsung tidak literal (TLL). Selanjutnya, pada tuturan langsung tidak literal
(TLL) ditemukan beberapa modus yang digunakan, yakni modus menyatakan