Lampiran 2
LEMBAR PENJELASAN KEPADA RESPONDEN PENELITIAN Saya Eryani Siahaan adalah mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan
program S1 Ilmu Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera
Utara. Saya sedang melakukan penelitian yang berjudul “Pengetahuan dan Efikasi
Diri Pasien DM Tipe 2 tentang Terapi Insulin di Poliklinik RSUP Haji Adam
Malik Medan”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengetahuan
dan efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin. Saya sangat
mengharapkan kesediaan Bapak/Ibu untuk berpartisipasi sebagai responden dalam
penelitian ini.
Dalam penelitian ini, Bapak/Ibu akan diberikan kuesioner yang berisi
pernyataan mengenai pengetahuan dan efikasi diri tentang terapi insulin.
Penelitian ini bersifat sukarela dan tidak memberikan dampak yang merugikan.
Data Bapak/Ibu akan dirahasiakan dan hanya digunakan untuk kepentingan
penelitian.
Jika Bapak/Ibu bersedia, lembar persetujuan menjadi responden penelitian
yang terlampir harap ditandatangani. Lembar persetujuan menjadi responden tidak
bersifat mengikat, sehingga Bapak/Ibu bisa mengundurkan diri dari penelitian ini
selama penelitian berlangsung.
Demikian informasi ini saya sampaikan. Atas bantuan, partisipasi dan
kesediaan waktu Bapak/Ibu dalam penelitian ini, saya mengucapkan terima kasih.
Peneliti
Lampiran 3
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN Judul Penelitian : “Pengetahuan dan Efikasi Diri Pasien DM tipe 2 tentang
Terapi Insulin di Poliklinik RSUP Haji Adam Malik
Medan”
Peneliti : Eryani Siahaan
NIM : 111101069
Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh peneliti pada lembar
penjelasan, saya bersedia untuk berpartisipasi menjadi responden. Saya mengerti
bahwa penelitian ini akan dijamin kerahasiaannya, saya memiliki hak kebebasasan
untuk berhenti, dan semua berkas yang mencantumkan identitas subjek penelitian
hanya digunakan dalam kepentingan penelitian.
Selanjutnya secara sukarela dan tanpa ada unsur paksaan siapapun, dengan
ini saya menyatakan bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Medan ,... 2015
Responden
Lampiran 4
INSTRUMEN PENELITIAN
Pengetahuan dan Efikasi Diri Pasien DM tipe 2 tentang Terapi Insulin di Poliklinik RSUP Haji Adam Malik Medan
Petunjuk:
1.Kuesioner ini terdiri dari tiga bagian yaitu data demografi, kuesioner tentang
pengetahuan dan kuesioner tentang efikasi diri
2. Mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner tersebut sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya
3. Silakan mengisi pada tempat yang sesuai, dengan cara memberi tanda (√ ) pada kotak yang tersedia
4. Semua jawaban Bapak/Ibu adalah BENAR
A. Data Demografi
No.Responden :
Inisial responden :
Usia : tahun
Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan
Lama menderita DM :
B. Kuesioner Pengetahuan
Petunjuk pengisian : Berilah tanda (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan kondisi yang anda alami.
No Pernyataan Benar Salah
1 Pasien DM tipe 2 harus disuntik insulin sepanjang hidupnya
2 Tempat penyuntikan insulin adalah perut, bokong, paha dan lengan
3 Penyuntikan dapat dilakukan pada tempat yang sama terus menerus
4 Penyuntikan berikutnya berjarak 1 inchi dari tempat penyuntikan sebelumnya
5 Pada saat akan berolahraga, insulin tidak dapat diinjeksi pada bagian paha, karena akan mempercepat penyerapan insulin/rendahnya gula darah
6 Penyuntikan pada tempat yang sama terus menerus akan menyebabkan lipohypertropi (penumpukan lemak)
7 Bila disuntikkan terlalu dalam (ke dalam otot) penyerapan insulin akan terjadi lebih cepat
8 Setelah penyuntikan, biarkan jarum tetap berada di kulit selama 10 detik untuk memastikan semua insulin masuk dan tidak ada yang menetes saat jarum ditarik dari kulit 9 Jarum suntik tidak boleh digunakan berulang
10 Sebelum disuntikkan, kulit harus di desinfeksi terlebih dahulu
11 Alkohol yang dipakai sebagai desinfektan harus ditunggu sampai kering sebelum menyuntik
12 Insulin diabsorbsi paling cepat pada bagian perut 13 Insulin sebaiknya disuntikkan secara tegak lurus dengan
kulit / 90 derajat
14 Insulin membantu tubuh menggunakan gula yang berada di dalam darah kita
15 Insulin biasanya diberikan 15-20 menit sebelum makan 16 Jika disimpan pada suhu ruangan, insulin dapat bertahan
selama 30 hari
17 Insulin yang disimpan dalam lemari es harus dikeluarkan selama 20 menit sebelum digunakan
C.Kuesioner Efikasi Diri
Petunjuk pengisisan : Berilah tanda (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan kondisi yang anda alami.
Tidak Yakin (TY) : apabila anda merasa TIDAK YAKIN dengan pernyataan tersebut
Kadang (K) : apabila anda merasa KADANG YAKIN dengan pernyataan tersebut
Yakin (Y) : apabila anda merasa YAKIN dengan pernyataan tersebut
No Pernyataan TY K Y
1 Saya yakin mampu menyuntikkan insulin secara mandiri
2 Saya yakin mampu melakukan injeksi insulin pada bagian perut, paha dan lengan
3 Saya yakin mampu membersihkan tangan dan daerah yang akan disuntik sebelum penyuntikan insulin 4 Saya yakin mampu melakukan rotasi tempat injeksi
insulin untuk menghindari lipohypertropi (penimbunan lemak)
5 Saya yakin mampu menggunakan jarum baru setiap akan melakukan injeksi
6 Saya yakin mampu menyuntikkan insulin pada daerah lengan pada saat akan berolahraga
7 Saya yakin mampu menyuntikkan insulin dengan jumlah yang tepat berdasarkan hasil kadar gula darah 8 Saya yakin mampu menyuntikkan insulin walaupun
saya sedang sibuk
9 Saya yakin mampu menyuntikkan insulin di bagian perut ketika kadar gula darah saya sangat tinggi
10 Saya yakin mampu menyuntikkan insulin dengan jarak 1 inchi dari daerah sebelumnya
11 Saya yakin mampu secara teratur menyuntikkan insulin sesuai jadwal yang ditentukan
Lampiran 13
RIWAYAT HIDUP
Nama : Eryani Siahaan
NIM : 111101069
Tempat, tanggal lahir : Dolok Marlawan, 23 Maret 1994
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jalan Jamin Ginting, Padang Bulan Medan
No HP : 085276543951
Nama Ayah : L Siahaan
Nama Ibu : S Sinaga
Riwayat Pendidikan
1. 1998-1999 : TK Santa Lusia Pematangsiantar
2. 1999-2001 : SD Cinta Rakyat 2 Pematangsiantar
3. 2001-2005 : SDN Plus No. 091473 Tiga Balata
4. 2005-2008 : SMPN1 Pematangsiantar
5. 2008-2011 : SMAN3 Pematangsiantar
Lampiran 14
Taksasi Dana
1. Persiapan proposal
Biaya kertas dan tinta print proposal Rp 150.000,- Fotokopi sumber-sumber tinjauan pustaka Rp 50.000,-
Biaya internet Rp 50.000,-
Perbanyak proposal dan penjilidan Rp 50.000,-
Konsumsi saat sidang proposal Rp 160.000,-
2. Perbaikan proposal
Biaya print kertas Rp 50.000,-
3. Pengumpulan dan pengolahan data
Izin Penelitian Rp 500.000,-
Penggandaan kuesioner Rp 50.000,-
4. Persiapan skripsi
Biaya kertas dan tinta print Rp 150.000,-
Penggandaan skripsi dan penjilidan Rp 50.000,- Konsumsi saat sidang skripsi Rp 250.000,-
Lampiran 15
Frequency Percent Valid Percent
63 2 4.0 4.0 72.0
Frequency Percent Valid Percent
25 1 2.0 2.0 98.0
32 1 2.0 2.0 100.0
Total 50 100.0 100.0
Lama menggunakaan insulin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 48 96.0 96.0 96.0
cukup 2 4.0 4.0 100.0
3. Efikasi diri
efikasidiri
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid baik 47 94.0 94.0 94.0
kurang 3 6.0 6.0 100.0
Daftar Pustaka
American Association of Diabetes Educators. (2011). Insulin njection know-how. Diperoleh tanggal 28 juni 2015 dari www.diabeteseducator.org
American Diabetes Association. (2004). Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes care, Volume 27, Supplement 1.
Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Ariani, Y. (2011). Hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pasien DM tipe 2 dalam konteks asuhan keperawatan di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2011. Tesis, Universitas Indonesia, Depok.
Astuti, N. (2015). Efikasi diri dan manajemen diri pasien DM tipe 2. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Bandura, A. (1994). Self efficacy. In V. S. Ramachaudran (Ed), Encyclopedia of human behavior. 4, 71-81. Encyclopedia of mental health San Diego: Diperoleh tanggal 12 Februari 2011 dari
http://des.emory.edu/mfp/Bandura1994EHB.pdf
Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The exercise of control. New York: W.H. Freeman.
Berzin, R.S. (2015). Insulin facts and fiction. Diperoleh tanggal 30 Juni 2015 dari www.bd.com/us/diabetes/page.aspx?cat=7001&id=7248
Caniago, L. F. (2014). Penentuan sensitivitas insulin dan efektivitas glukosa pada modifikasi minimal model menggunakan algoritma PSO untuk kasus diabetes. Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Conner, M., & Norman, P. (1995). Predicting Health Behaviour: Research and Practice with Social Cognition Models. Buckingham: Open University Press.
Didarloo, A., Shojaeizadeh, D., Gharaaghaji, R., Niknami, S., & Khorami, A. (2014). Psychosocial correlates of dietary behaviour in type 2 diabetic women, using a behaviour change theory. Journal Health Popul Nutr, 32(2):335-341
Down, S., & Fiona, K. (2012). Injection technique in insulin therapy. Diperoleh tanggal 27 September 2014 dari
http://search.proquest.com/docview/1038836287?accountid=50257
Fox, C., & Kilvert, A. (2010). Bersahabat dengan diabetes melitus tipe 1. Jakarta: Penebar Plus.
Gurmu, A. E., & Teni, F. S. (2014). Knowledge, attitude and practice among diabetic patients on insulin therapy towards the disease and their medication at a university hospital in Northwestern Ethiopia: a cross-sectional study. International Journal of Pharma Sciences and Research (IJPSR)
Hanna, H. H. (2006). The influence of self-efficacy and spirituality on self-care behaviours and glycemic control in older African Americans with tipe 2 diabetes. Dissertation, Barry University, United State.
Harahap. (2010). Hubungan pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung tahun 2010. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Hassan, et al. (2013). Factors influencing insulin acceptance among type 2 diabetes mellitus patients in a primary care clinic: a qualitative exploration. Diperoleh tanggal 21 Oktober 2014 dari
http://www.biomedcentral.com/1471-2296/14/164
International Diabetes Federation. (2013). IDF diabetes atlas sixth edition. Diperoleh tanggal 21 Oktober 2014 dari
http://www.idf.org/sites/default/files/EN_6E_Atlas_Full_0.pdf
_______. (2014). IDF diabetes atlas sixth edition. Diperoleh tanggal 20 Desember 2014 dari http://www.idf.org/sites/default/files/EN_6E_Atlas_Full_0.pdf
Ismael, S., & Sastroasmoro, S. (2011). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto.
Kara, M & Alberto, J. (2006). Family support, perceived self-efficacy and self care behavior of Turkish patients with chronic obstructive pulmonary disease.Journal of clinical nursing diunduh tanggal 22 Oktober 2014 dari http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer
Lestari, T.D. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi inisiasi insulin pada pasien DM tipe 2 di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Kudus. Tesis, Universitas Indonesia, Depok.
Manzella, D. (2014). Top 7 Risk factors for type 2 diabetes. Diperoleh tanggal 3 November 2014 dari
http://diabetes.about.com/od/symptomsdiagnosis/tp/riskfactors.htm
Morris, S.Y. (2014). Insulin injection sites:where and how to inject. Diperoleh tanggal 28 Juni 2015 dari
http://www.healthline.com/health/diabetes/insulin-injection
National Diabetic Facts Sheet. (2011). Diperoleh tanggal 21 Oktober 2014 dari http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/pdf/ndfs_2011.pdf
Notoadmojo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
_______. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Pace., Haas., & Stacciarini. (2008). Factors associated with insulin self administration by diabetes mellitus patients in the Family Health Strategy. Diperoleh tanggal 4 Juli 2015 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18545757
Polit, D. F., & Beck, C. T. (2004). Nursing Research: Principle and Methods. 7ed. Philadelpia: Lippincott Williams and Wilkins.
Restu. (2014). Prevalensi anemia pada penderita DM tipe 2 yang rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2012. Karya tulis ilmiah, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Sarkar,U., Fisher, L., & Schillinger, D. (2006). Is Self-Efficacy Associated With Diabetes Self-Management Across Race/Ethnicity and Health Literacy?. Diabetes care, Volume 29, Number 4.
Soegondo, S., Soewondo,P., & Subekti,I. (2007). Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Smeltzer., & Suzanne, C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Vol. 2 Ed. 8. Jakarta: EGC.
Stipanovic, A. R. (2002). The effects of diabetes education on
Sudoyo, A, W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 5). Jakarta Pusat:
InternaPublishing.
Sunaryo. (2004). Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
The Forum for Injection Technique (FIT). (2011). Diabetes care in The UK. The first UK injection technique recommendations 2nd edition. Diperoleh tanggal 15 September 2014 dari
http://www.trend-uk.org/documents/FIT%20Recommendations%20Page%20view.pdf
World Health Organization. (2013). Diabetes. Diperoleh tanggal 23 september 2014 dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/
_______. (2014). About diabetes, types of diabetes, complication. Diperoleh tanggal 29 oktober 2014 dari
http://www.who.int/diabetes/action_online/basics/en/
Widyaningsih., Phitri, H. E. (2013). Hubungan antara pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus dengan kepatuhan diet diabetes
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan dan
efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin di Poliklinik RSUP Haji
Adam Malik Medan.
Skema 3.1. Kerangka konsep penelitian
Pengetahuan
Efikasi diri Pasien DM tipe 2 yang
2. Defnisi Operasional Tabel 3.1. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat ukur Hasil ukur Skala
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang
bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan dan efikasi diri pasien DM tipe 2
tentang terapi insulin di Poliklinik RSUP Haji Adam Malik.
2. Populasi, sampel dan teknik sampling
Populasi penelitian adalah sejumlah besar subyek yang mempunyai
karakteristik tertentu (Ismael & Sastroasmoro, 2011). Populasi dalam penelitian
ini adalah pasien DM tipe 2 yang mendapatkan terapi insulin secara mandiri di
Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan.
Sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang. Teknik sampling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Purposive sampling
adalah teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi
sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel tersebut dapat
mewakili karakteristik populasi.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
a. Responden didiagnosa DM tipe 2
b. Responden menggunakan insulin
c. Responden sudah pernah menggunakan insulin secara mandiri
d. Bersedia menjadi responden
3. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik
tentang pengetahuan dan efikasi diri pada pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin.
Penelitian ini dilakukan bulan September 2014 sampai Juli 2015.
4. Pertimbangan etik
Penelitian ini dapat dilakukan setelah mendapat izin dan memperoleh
ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara. Dalam penelitian ini dilakukan pertimbangan etik,
yaitu: beneficence (bermanfaat), autonomy (peneliti memberikan kebebasan bagi
partisipan untuk menentukan sendiri ikut atau tidak dalam penelitian ini, tidak ada
unsur paksaan atau pengaruh dari peneliti atau siapapun, anonimity (data
partisipan dijaga dengan cara tidak menuliskan nama partisipan pada instrumen,
tetapi hanya menggunakan inisial saja) dan informed consent atau surat
persetujuan menjadi partisipan (Polit & Beck, 2004).
5. Instrumen penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
instrumen yang dibuat sendiri oleh peneliti dalam bentuk kuesioner dengan
berpedoman pada tinjauan pustaka. Bagian pertama adalah data demografi yang
terdiri dari nomor responden, inisial responden, usia, jenis kelamin, lama
menderita DM dan lama mendapatkan terapi insulin.
Bagian kedua adalah kuesioner pengetahuan tentang terapi insulin.
Kuesioner ini terdiri dari 18 pernyataan dengan pilihan jawaban benar dan salah.
Jawaban benar akan diberi nilai 1 dan jawaban salah akan diberi nilai 0. Nilai
Untuk menentukan panjang kelas, digunakan rumus di bawah ini:
Skor tertinggi – skor terendah P =
Banyak kelas 18 - 0
= 3
P = 6
Pengetahuan dikategorikan baik jika skor 12-18, cukup jika skor 6-11 dan kurang
jika skor 0-5.
Bagian ketiga adalah kuesioner efikasi diri tentang terapi insulin.
Kuesioner ini terdiri dari 12 pernyataan. Skor 3 untuk jawaban yakin, 2 untuk
jawaban kadang-kadang dan 1 untuk jawaban tidak yakin. Nilai tertinggi yang
diperoleh adalah 36 dan terendah 12. Berdasarkan rumus didapatkan P = 12.
Efikasi diri dikategorikan baik jika skor 25-36 dan kurang jika skor 12-24.
6. Validitas
Alat ukur dikatakan mempunyai nilai valid jika alat ukur tersebut dapat
dengan tepat mengukur apa yang diukur. Suatu instrumen yang valid memiliki
validitas yang tinggi. Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang
berarti prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data. Uji Validitas
dilakukan oleh Dosen Fakultas Keperawatan USU. Nilai CVI untuk kuesioner
7. Reliabilitas
Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta
diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan. Reliabilitas
menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan
pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan
alat ukur yang sama. Uji reliabilitas ini dilakukan pada 30 pasien DM tipe 2 yang
melakukan injeksi insulin secara mandiri di Poliklinik Endokrin RSUD Dr.
Pirngadi Medan. Untuk menentukan nilai reliabilitas kuesioner pengetahuan
digunakan KR21 dan didapatkan hasil 0,726 dan untuk kuesioner efikasi diri,
menggunakan metode alpha yang dilakukan dengan komputerisasi dengan hasil
0,846.
8. Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data penelitian dilakukan setelah peneliti
mendapatkan surat permohonan izin penelitian dari Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara dan memperoleh ethical clearance dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Selanjutnya peneliti meminta izin ke RSUP Haji Adam Malik Medan, setelah
mendapatkan izin penelitian, maka peneliti mulai mengumpulkan data.
Peneliti menemui responden dan menjelaskan kepada responden tentang
tujuan, manfaat dan cara pengisian kuesioner, kemudian calon responden yang
bersedia diminta untuk menandatangani lembar persetujuan (informed consent)
dan diminta untuk mengisi kuesioner dengan diberikan waktu sekitar 30 menit.
yang tidak dimengerti oleh responden. Setelah responden selesai mengisi
kuesioner, peneliti mengumpulkan kuesioner dan memeriksa jika ada lembar
kuesioner yang tidak lengkap atau pernyataan dalam kuesioner tidak diisi
seluruhnya oleh responden, kemudian data yang tidak lengkap dilengkapi saat itu
juga.
9. Analisa Data
Data yang sudah terkumpul diperiksa kembali untuk memeriksa
kelengkapan data yaitu dengan cara memeriksa isi instrumen. Kemudian peneliti
memberi skor terhadap item-item yang perlu diberi skor yaitu kuesioner
pengetahuan dan efikasi diri dan selanjutnya instrumen tersebut dianalisa oleh
peneliti. Analisa data dilakukan dengan komputerisasi. Analisa data dalam
penelitian ini bersifat deskriptif dan ditampilkan dalam tabel distribusi frekuensi
49 BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas hasil penelitian mengenai pengetahuan dan efikasi diri
pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin di Poliklinik RSUP Haji Adam Malik
Medan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2015 yang melibatkan 50 orang
pasien DM tipe 2 yang menggunakan insulin di Poliklinik Endokrin RSUP Haji
Adam Malik Medan.
1) Hasil penelitian
Hasil penelitian ini mencakup karakteristik demografi pasien, tingkat
pengetahuan dan efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin.
1.1.Data demografi
Pada tabel 5.1. akan ditampilkan hasil penelitian terkait karakteristik demografi
pasien berdasarkkan jenis kelamin.
Tabel 5.1. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin (n=50)
Variabel Frekuensi Persentase (%)
Jenis kelamin
Hasil penelitian pada tabel 5.1. menunjukkan bahwa pasien yang berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 25 orang (50%) dan perempuan 25 orang (50%).
Pada tabel 5.2. terlihat bahwa pasien rata-rata berusia 60 tahun dengan lama
menderita DM rata-rata 10 tahun dan lama menggunakan insulin rata-rata 3 tahun.
1.2.Tingkat pengetahuan pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Poliklinik Endokrin RSUP
Haji Adam Malik Medan, gambaran tingkat pengetahuan pasien DM tipe 2
tentang terapi insulin hampir keseluruhan baik yaitu 48 pasien (96%). Lebih
lengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3. Tingkat pengetahuan pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin di Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan (n=50)
Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
Baik Cukup Kurang
48 2 0
96.0 4.0
0
Hampir setengah pasien menjawab salah pada pernyataan nomor 1 dan 3.
Tabel 5.4. Jumlah dan persentase pasien yang menjawab benar pada tiap item pernyataan pengetahuan (n=50)
No Pernyataan Pasien yang
menjawab benar
Persentase
1 Insulin harus diinjeksi sepanjang hidupnya 32 64% 2 Tempat penyuntikan adalah perut, bokong,
paha dan lengan
41 82%
3 Penyuntikan dapat dilakukan pada tempat yang sama terus menerus
33 66%
4 Penyuntikan berikutnya berjarak 1 inchi 44 88%
5 Insulin tidak dapat diinjeksi pada bagian paha pada saat akan berolahraga
49 98%
6 Penyuntikan pada tempat yang sama terus menerus akan menyebabkan penebalan lemak
50 100%
7 Injeksi yg terlalu dalam penyerapan insulin akan terjadi lebih cepat
50 100%
8 Biarkan jarum selama 10 detik setelah injeksi 50 100% 9 Jarum suntik tidak boleh digunakan berulang 45 90%
10 Kulit harus di desinfeksi terlebih dahulu 45 90%
11 Tunggu sampai kering sebelum melakukan injeksi
44 88%
12 Insulin diabsorbsi paling cepat pada bagian perut
50 100%
13 Insulin disuntikkan secara tegak lurus dengan kulit
50 100%
14 Insulin membantu tubuh menggunakan gula yang berada di dalam darah kita
50 100%
15 Insulin biasanya diinjeksi 15-20 menit sebelum makan
50 100%
16 Insulin dapat bertahan selama 30 hari jika disimpan pada suhu ruangan
50 100%
17 Insulin yang disimpan dalam lemari es harus dikeluarkan selama 20 menit sebelum digunakan
40 80%
18 Insulin cadangan harus disimpan di lemari es 46 92%
1.3.Tingkat efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa hampir keseluruhan pasien
memiliki efikasi diri yang baik yaitu 47 orang (94%). Lebih lengkapnya dapat
Tabel 5.5. Tingkat efikasi diri pasien DM tipe 2 tentang terapi insulin di Poliklinik Endokrin RSUP Haji Adam Malik Medan (n=50)
Efikasi diri Frekuensi Persentase (%)
Baik
Hampir setengah pasien memliliki efikasi diri yang kurang pada
pernyataan nomor 2 dan 5. Untuk lebih rinci dapat dilihat pada tabel 5.6.
Tabel 5.6. Jumlah dan persentase jawaban pasien pada tiap item pernyataan efikasi diri (n=50)
No Pernyataan Yakin Kadang Tidak
yakin 1 Yakin mampu melakukan injeksi secara
mandiri
44(88%) 6 0
2 Yakin mampu melakukan injeksi pada bagian perut, paha dan lengan
32(64%) 18 0
3 Yakin mampu membersihkan tangan dan daerah yang akan disuntik sebelum penyuntikan insulin
37(74%) 9 4
4 Yakin mampu melakukan perpindahan tempat injeksi insulin
42(84%) 6 2
5 Yakin mampu selalu menggunakan jarum baru 29(58%) 17 4 6 Yakin mampu menyuntikkan insulin pada
daerah lengan pada saat akan berolahraga
49(98%) 1 0
7 Yakin mampu menyuntikkan insulin dengan jumlah yang tepat
49(98%) 1 0
8 Yakin mampu menyuntikkan insulin walaupun saya sedang sibuk
44(88%) 6 0
9 Yakin mampu menyuntikkan insulin di bagian perut ketika kadar gula darah saya sangat tinggi
50(100%) 0 0
10 Yakin mampu menyuntikkan insulin dengan jarak 1 inchi dari daerah sebelumnya
43(86%) 5 2
11 Yakin mampu menyuntikkan insulin sesuai jadwal
45(90%) 5 0
12 Yakin mampu memilih lokasi penyuntikan yang bebas dari infeksi, peradangan ataupun luka
2. Pembahasan
2.1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan
perilaku seseorang. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku, ia harus terlebih
dahulu mengetahui apa arti dan manfaat perilaku tersebut bagi dirinya. Perilaku
yang didasari pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada yang tidak didasari
pengetahuan (Notoatmojo, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir hampir semua pasien
memiliki pengetahuan yang baik tentang terapi insulin (96%). Penelitian yang
dilakukan oleh Lubis (2011) menunjukkan bahwa pengetahuan pasien DM tipe 2
tentang insulin adalah mayoritas baik (63,3%) dan mayoritas telah menderita DM
1-10 tahun. Penelitian ini berbeda karena pasien rata-rata telah mengalami DM 10
tahun dan rata-rata menggunakan insulin 3 tahun. Pengetahuan yang baik tentang
terapi insulin berhubungan dengan lamanya seseorang mengalami DM dan
menggunakan insulin (Lafta, Salih & Sadiq, 2011)
Hampir setengah responden (36%) menjawab salah pada pernyataan
pasien DM tipe 2 tidak harus disuntik insulin sepanjang hidupnya. Pasien
menyatakan bahwa mereka tidak mungkin berhenti menggunakan insulin karena
kadar gula darah mereka tetap tinggi jika tidak menggunakan insulin. Penurunan
berat badan dan olahraga akan meningkatkan sensitivitas insulin. Semakin normal
indeks sensitivitas insulin, kemampuan untuk meningkatkan penyerapan glukosa
juga akan lebih baik (Caniago, 2014). Para penderita DM tipe 2 yang
dan olahraga mereka dapat mengurangi jumlah dosis injeksi insulin yang mereka
butuhkan (Berzin, 2015).
Beberapa pasien (18%) tidak mengetahui bahwa insulin juga dapat
diinjeksi pada bagian lengan dan bokong. Hal ini dikarenakan dokter atau perawat
mengajarkan mereka untuk melakukan injeksi di bagian perut atau paha. Sehingga
responden berfikir bahwa mereka hanya dapat melakukan injeksi di bagian perut
dan paha.
Hampir setengah pasien (34%) menjawab salah pada pernyataan insulin
tidak dapat diinjeksi pada tempat yang sama terus-menerus. Mereka selalu
menyuntikkan insulin dibagian perut dan tidak melakukan rotasi tempat
penyuntikan, padahal mereka mengatakan sering merasa sakit ataupun kulit di
bagian perut tersebut terasa keras. Keadaan kulit seperti ini disebut
lipohypertrophy, yang disebabkan oleh terlalu sering melakukan injeksi insulin di
area kulit yang sama (Down & Fiona , 2012).
Beberapa pasien (20%) tidak tahu bahwa insulin yang disimpan di kulkas
harus dikeluarkan dan dibiarkan sekitar 20 menit sampai sama dengan suhu
ruangan. Hal ini penting untuk diketahui karena dapat mempengaruhi kualitas
insulin, proses penyerapan insulin dan dapat menyebabkan nyeri (Soegondo,
Soewondo, & Subekti, 2007).
Berdasarkan pertanyaan lisan dari peneliti tentang terapi insulin, pasien
menyatakan bahwa mereka tidak diberitahukan informasi yang lengkap dan
responden tidak pernah mencari informasi mengenai insulin selain bertanya
perawat memberikan informasi yang berbeda-beda setiap kali mereka bertanya.
Umur responden juga mempengaruhi tingkat pengetahuan yang mereka miliki.
Wawan (dalam Ardita, 2014) menyatakan bahwa semakin tua umur seseorang
maka akan semakin matang perkembangan mentalnya dan juga berpengaruh pada
pengetahuan yang diperolehnya. Akan tetapi semakin menjelang lansia
kemampuan mengingat dan menerima suatu pengetahuan berkurang.
Pengetahuan adalah hal mendasar yang harus dimiliki pasien yang
nantinya akan mempengaruhi mereka untuk merubah cara berfikir mereka,
perilaku kesehatan dan juga mekanisme koping. Semakin sering pasien
mendapatkan edukasi kesehatan tentang terapi insulin, maka akan semakin
meningkat pengetahuan pasien tersebut. Pengetahuan yang baik tentang insulin
akan mempengaruhi pasien dalam manajemen kesehatan mereka (Gurmu & Teni,
2014).
2.2.Efikasi diri
Efikasi diri adalah keyakinan seseorang tentang kemampuannya. Pada
pasien diabetes, efikasi diri akan mempengaruhi kemampuan pasien untuk
memantau, merencanakan dan melakukan tindakan yang akan memberikan
pengaruh yang baik untuk kesehatan mereka (Stipanovic, 2002).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir keseluruhan pasien memiliki
efikasi diri yang baik (94%). Lamanya pasien menderita DM dan menggunakan
insulin mempengaruhi tingkat efikasi yang mereka miliki. Hal ini dikarenakan
Tingkat efikasi diri pasien adalah baik pada hampir semua pernyataan, kecuali
pada beberapa pernyataan.
Beberapa pasien (12%) memiliki efikasi diri yang kurang saat
menyuntikkan insulin secara mandiri. Berdasarkan keterangan pasien, hal ini
terjadi saat pasien sedang mengalami stres ataupun merasa malas.
Beberapa pasien (36%) menyatakan kadang yakin mampu menyuntikkan
insulin pada bagian perut, paha dan lengan. Kebanyakan pasien lebih nyaman
menyuntikkan insulin di perut. Hal ini dikarenakan perut adalah area yang mudah
digapai oleh pasien dan juga insulin diserap lebih cepat pada area perut karena
lapisan lemak pada area perut lebih tebal dibanding area kulit lainnya (Morris,
2014).
Beberapa pasien (26%) memiliki efikasi diri yang kurang saat
membersihkan tangan dan kulit sebelum melakukan injeksi. Membersihkan
tangan dan kulit perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi.
Membersihkan kulit menggunakan alkohol tidak diharuskan selama kulit dalam
keadaan bersih (AADE, 2011).
Sebanyak 16% pasien kadang yakin mampu melakukan rotasi
(perpindahan) tempat injeksi insulin. Sama halnya dengan pernyataan nomor 10,
sebanyak 14% pasien kadang yakin mampu untuk melakukan injeksi selanjutnya
dengan jarak 1 inchi. Melakukan perpindahan tempat injeksi penting dilakukan
karena akan mengurangi risiko terjadinya inflamasi ataupun lipohypertrophy
(penebalan lemak) dan juga mengurangi terjadinya nyeri saat melakukan injeksi
Hampir setengah pasien (42%) memiliki efikasi diri yang kurang untuk
mengganti jarum setiap kali menyuntikkan insulin. Hal ini dikarenakan mereka
malas mengganti jarum tersebut, walaupun sebenarnya mereka sudah tahu dan
juga sering merasa sakit saat melakukan injeksi. Menggunakan jarum secara
berulang dapat menyebabkan nyeri saat melakukan injeksi, timbulnya luka akibat
jarum yang tumpul dan kurang akuratnya dosis insulin yang diinjeksikan (AADE,
2011).
Sebanyak 12% pasien kadang yakin mampu menyuntikkan insulin
walaupun mereka sedang sibuk. Pasien mengatakan bahwa mereka bingung
bagaimana caranya untuk membawa insulin saat mereka melakukan aktivitas di
luar rumah atau melakukan perjalanan ke luar kota. Mereka juga malu jika dilihat
oleh teman-teman di tempat mereka bekerja.
Beberapa pasien (10%) menyatakan kadang yakin melakukan injeksi
sesuai jadwal. Melakukan injeksi sesuai jadwal harus dapat dilakukan oleh pasien
untuk mempertahankan kontrol terhadap glukosa darah mereka. Hal ini
dikarenakan terjadi defisiensi sekresi insulin ataupun resistensi insulin sehingga
tubuh tidak mampu untuk menghantarkan glukosa dari darah ke dalam sel tubuh.
Insulin harus diinjeksi secara teratur karena insulin dapat membantu mencapai
kadar glukosa darah normal dan akan membuat pasien merasa lebih baik dan lebih
bertenaga.
Beberapa penelitian kesehatan mengukur tingkat efikasi diri seseorang
untuk mengkaji pengaruhnya terhadap perubahan perilaku kesehatan. Fuchs &
yang tinggi akan mempengaruhi seseorang secara psikologis untuk mengatasi
stres yang dirasakan dan juga meningkatkan motivasi seseorang untuk berubah.
Perkembangan efikasi diri dalam diri seseorang akan terus berlanjut dan
dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lalu, pengalaman orang lain, persuasi
verbal dan keadaan psikologis. Seseorang yang sedang sakit mungkin memiliki
pandangan negatif mengenai keadaan mereka saat itu. Oleh karena itu, efikasi diri
yang tinggi diperlukan untuk merubah pola pemikiran mereka dan akhirnya akan
merubah perilaku mereka.
Efikasi diri yang tinggi diperlukan oleh pasien karena dengan efikasi diri
yang tinggi individu akan memperlihatkan usaha, perbuatan dan ketekunan yang
lebih baik dibandingkan dengan individu yang efikasi dirinya rendah. Pasien
dengan efikasi diri yang tinggi akan lebih mampu mengatur menajemen
kesehatannya sehingga keadaan mereka bisa lebih baik (Sarkar, Fisher &
49 BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan
bahwa:
1) Dari 50 pasien, jumlah pasien laki-laki dan perempuan sama yaitu
masing-masing 25 orang, pasien rata-rata berusia 60 tahun dengan lama menderita
DM rata-rata 10 tahun tahun dan lama menggunakan insulin rata-rata 3 tahun.
2) Sebanyak 48 (96%) pasien memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang
terapi insulin.
3) Sebanyak 47 (94%) pasien memiliki tingkat efikasi diri yang baik tentang
terapi insulin.
2. Saran
2.1.Bagi pelayanan keperawatan
Pengetahuan dan efikasi diri adalah hal yang penting untuk perubahan
perilaku pasien, oleh karena itu perawat diharapkan mampu membantu pasien
meningkatkan pengetahuan dan efikasi diri dengan cara memberikan
pendidikan kesehatan tentang terapi insulin.
2.2.Bagi pendidikan keperawatan
Perlu memasukkan materi efikasi diri dalam materi pembelajaran agar
pemberian asuhan keperawatan pada pasien DM khususnya, dan pasien
2.3.Bagi penelitian keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan tambahan untuk penelitian
selanjutnya yang berhubungan dengan pengetahuan dan efikasi diri pasien
DM tipe 2 tentang terapi insulin. Dan diharapkan pada penelitian selanjutnya
untuk menambah jumlah responden sehingga hasil penelitian bisa lebih
6
memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin
dengan baik (WHO, 2013). DM merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi,
Simadibrata, & Setiati, 2009). DM adalah suatu kumpulan gejala yang timbul
pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar
glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
(Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2007).
1.2. Faktor Risiko DM
Faktor resiko DM tipe 2 (Manzella, 2014) :
a. Obesitas
IMT ≥25 kg/m
Lingkar perut pada laki-laki ≥90 cm dan pada wanita ≥80 cm
b. Kurang olahraga
Sel otot memiliki reseptor insulin yang lebih banyak daripada sel lemak,
oleh karena itu resisten terhadap insulin dapat dikurangi dengan berolahraga
c. Kebiasaan makan yang tidak sehat
Tidak sehat maksudnya adalah makanan yang banyak mengandung lemak
d. Riwayat keluarga dengan DM
e. Usia
Semakin tua, semakin beresiko mendapat DM tipe 2. Ahli pengetahuan
berpendapat bahwa pankreas, tidak dapat menghasilkan insulin dengan efisien
seperti saat kita muda. Begitu juga dengan sel manusia, akan semakin resisten
terhadap insulin.
f. Hipertensi ( TD ≥140/90 mmHg)
g. Riwayat diabetes gestasional, yaitu melahirkan bayi dengan BB ≥4 kg
1.3. Kriteria Diagnosis DM
PERKENI (2006 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, &
Setiati, 2009) membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar
berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM (poliuria, polifagia, polidipsia dan
berat badan menurun drastis tanpa sebab yang jelas) dan gejala tidak khas DM
(lemas, kesemutan, luka yang susah sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi
ereksi pada pria dan pruritus vulva pada wanita). Apabila ditemukan gejala
khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup,
namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan 2 kali
pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis juga dapat ditegakkan melalui
cara:
1) Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
2) Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3) Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam
air.
1.4. Tipe DM
Menurut ADA (2004), DM diklasifikasikan menjadi 4 yaitu:
a. DM Tipe 1
Terjadi ketika sistem imun tubuh merusak sel beta pankreas,
satu-satunya sel di dalam tubuh yang mengatur glukosa darah. Tipe ini hanya
5-10% dari keseluruhan jumlah penderita DM dan biasanya menyerang
anak-anak dan remaja atau pada usia kurang dari 30 tahun. Untuk bertahan hidup,
pasien DM tipe 1 harus diberikan insulin.
b. DM Tipe 2
Terdiri dari 90-95% dari semua jenis DM. Biasanya terjadi pada orang
dewasa. DM tipe 2 berhubungan dengan usia yang lebih tua, obesitas, aktivitas
fisik yang kurang, riwayat keluarga dengan diabetes, riwayat diabetes
kehamilan.
c. Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang terjadi pada wanita hamil
yang sebelumnya tidak mengidap diabetes. Tipe ini biasa terjadi diantara
Meskipun diabetes tipe ini sering membaik setelah persalinan, sekitar 50%
penderita DM tipe ini tidak akan kembali ke status nondiabetes seperti sebelum
hamil.
d. DM tipe lain
Terjadi sekitar 1-5% dari total jumlah kasus diabetes akibat kondisi
genetik, pembedahan, pengobatan, infeksi, penyakit pankreas, atau penyakit
lainnya.
1.5. Penatalaksanaan DM
Empat pilar utama pengelolaan DM adalah perencanaan makan, latihan
jasmani, pengelolaan farmakologis dan penyuluhan (Soegondo, Soewondo, &
Subekti, 2007).
1.5.1. Perencanaan makan
Beberapa manfaat yang telah terbukti adalah menurunkan berat
badan, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan
kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas
reseptor insulin dan memperbaiki sistem koagulasi darah.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan
kecukupan gizi baik yaitu karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, lemak
20-25%.
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,
stres akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan
Makanan dibagi menjadi 3 porsi besar, yaitu makan pagi (20%),
siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi (makanan ringan, 10-15%) di
antaranya. Jumlah kandungan kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak
dari sumber asam lemak tidak jenuh dan menghindari asam lemak jenuh.
Jumlah kandungan serat kurang lebih 25 g/hari, diutamakan serat
larut, garam secukupnya. Pasien DM dengan tekanan darah yang normal
masih diperbolehkan mengonsumsi garam seperti orang sehat, kecuali bila
mengalami hipertensi, harus mengurangi konsumsi garam. Pemanis buatan
dapat dipakai secukupnya. Gula sebagai bumbu masakan tetap diizinkan.
Pada keadaan kadar glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk
mengonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5% kalori.
1.5.2. Latihan Jasmani
Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi adalah:
1) Frekuensi : 3-5 kali perminggu secara teratur
2) Intensitas : ringan dan sedang (60-70% Maximum Heart Rate)
3) Durasi : 30-60 menit
4) Jenis : latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan
kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang dan
bersepeda.
Untuk melakukan latihan jasmani, perlu diperhatikan hal-hal sebagai
a) Pemanasan (warm-up)
Kegiatan ini dilakukan sebelum memasuki latihan inti, dengan
tujuan untuk mempersiapkan berbagai sistem tubuh seperti menaikkan
suhu tubuh, meningkatkan denyut nadi hingga mendekati intensitas
latihan. Pemanasan juga perlu untuk menghindari cedera. Pemanasan
cukup dilakukan selama 5-10 menit.
b) Latihan inti
Pada tahap ini, diusahakan denyut nadi mencapai Target Heart
Rate (THR), agar mendapatkan manfaat latihan. Bila THR tak tercapai,
maka diabetisi tak akan mendapat manfaat latihan. Sedang bila lebih dari
THR, mungkin malah bisa mendapatkan resiko yang tidak diinginkan.
c) Pendinginan (cooling-down)
Setelah selesai melakukan latihan jasmani, sebaiknya dilakukan
pendinginan. Tujuannya adalah untuk mencegah penimbunan asam laktat
yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada otot setelah melakukan latihan
jasmani atau pusing akibat masih terkumpulnya darah pada otot yang
masih aktif. Bila latihan berupa jogging, maka pendinginan sebaiknya
dilakukan dengan tetap berjalan beberapa menit. Bila bersepeda, tetap
mengayuh sepeda, tetapi tanpa beban. Pendinginan dilakukan selama
kurang lebih 5-10 menit, hingga denyut jantung mendekati denyut nadi
d) Peregangan (streching)
Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk melemaskan dan
melenturkan otot-otot yang masih teregang dan menjadikan lebih elastis.
Tahapan ini lebih bermanfaat terutama bagi mereka yang berusia lanjut
(Setiati, Simadibrata, Alwi, Setiyohadi, & Sudoyo, 2009).
1.5.3. Pengelolaan farmakologis
Obat Hipoglikemik oral
Pemicu sekresi insulin:
1) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu tentu saja hanya
dapat bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk
mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada DM tipe 1.
Mekanisme kerja obat golongan sulfonilurea adalah menstimulasi
pelepasan insulin yang tersimpan (stored insulin), menurunkan ambang
sekresi insulin dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat
rangsangan glukosa.
Pada pemakaian jangka lama, efektivitas obat ini dapat berkurang.
Biasanya langkah lebih lanjut yang dikerjakan untuk mencapai
pengendalian kadar glukosa yang baik adalah dengan obat kombinasi
2) Glinid
Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama
dengan sulfonilurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu : Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derifat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan
cepat setelah pemberian secara oral dan dieksresi secara cepat melalui hati.
Penambah sensitivitas terhadap insulin:
1) Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin.
Fenformin dan Buformin tidak dipakai lagi karena efek samping asidosis
laktat. Setelah diberikan secara oral, metformin mencapai kadar puncak
dalam darah setelah 2 jam dan dieksresi lewat urin dalam keadaan utuh
dengan waktu paruh 2-5 jam.
Metformin menurunkan kadar glukosa darah tetapi tidak
menyebabkan penurunan sampai dibawah normal. Karena itu tidak disebut
sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik.
2) Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat baru yang mempunyai efek
farmakologis meningkatkan sensitivitas insulin. Golongan obat ini bekerja
meningkatkan glukosa disposal pada sel dan mengurangi produksi glukosa
hati. Golongan obat baru ini diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada
mengatasi berbagai manifestasi resistensi insulin tanpa menyebabkan
hipoglikemi dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel beta pankreas.
3) Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa di dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan
penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemi postprandial. Obat ini
bekerja di lumen usus dan tidak menyebakan hipoglikemi dan juga tidak
berpengaruh pada kadar insulin (Subekti, Soewondo, & Soegondo, 2007).
1.5.4. Penyuluhan
Penyuluhan untuk rencana pengelolaan sangat penting untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Edukasi diabetes adalah pendidikan
dan pelatihan mengenai pengetahuan dan ketrampilan bagi pasien diabetes
yang bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan
pemahaman pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai
keadaan sehat optimal dan penyesuaian keadaan psikologis serta kualitas
hidup yang lebih baik.
Topik yang akan dibicarakan adalah pengetahuan dasar diabetes,
pemantauan mandiri, sebab-sebab tingginya kadar glukosa darah, obat
hipoglikemik oral, perencanaan makanan, pemeliharaan kaki, kegiatan
jasmani, pengaturan saat sedang sakit dan komplikasi.
1.6. Komplikasi DM
Komplikasi diabetes terbagi dua yaitu komplikasi yaitu mikrovaskular
a. Komplikasi mikrovaskuler
1) Retinopati Diabetes
Retinopati diabetes adalah komplikasi mikrovaskuler yang sering
dijumpai. Hal ini disebabkan oleh rusaknya pembuluh darah kecil di lapisan
mata, retina, yang menyebabkan kehilangan penglihatan, termasuk kebutaan.
Biasanya pasien akan mengeluh penglihatan kabur.
2) Nephropati (penyakit ginjal)
Komplikasi ini disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah kecil di
ginjal. Ini dapat menyebabkan gagal ginjal dan dapat menyebabkan kematian.
Di negara berkembang, nephropati merupakan penyebab terjadinya dialisis dan
transplantasi ginjal.
3) Neuropati
Diabetes menyebabkan kerusakan saraf akibat hiperglikemi dan
menurunnya aliran darah ke saraf karena kerusakan pembuluh darah kecil.
Gejalanya beragam tergantung pada saraf mana yang dipengaruhi, misalnya,
kematian rasa pada ekstremitas, nyeri pada ekstremitas dan impoten.
b. Komplikasi makrovaskuler
Hiperglikemi merusak pembuluh darah melalui proses yang disebut
“atherosclerosis” atau penyumbatan pada arteri. Hal ini dapat menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke otot jantung (menyebabkan serangan jantung),
berkurangnya aliran darah ke otak (menyebabkan stroke) atau ke ekstremitas
2. Terapi insulin
Pada pasien DM tipe 1, tubuh kehilangan kemampuan untuk memproduksi
insulin sehingga insulin eksogenous harus diberikan. Pada DM tipe 2, insulin
mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar
glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya.
Disamping itu, sebagian pasien DM tipe 2 yang biasanya mengendalikan kadar
glukosa darah dengan diet atau dengan diet dan obat oral kadang membutuhkan
insulin secara temporer selama mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan
atau beberapa kejadian stres lainnya.
2.1.Pemberian suntikan
Insulin diberikan secara subkutan 15-20 menit sebelum makan. Tempat
penyuntikan insulin adalah pada bagian abdomen, bokong, paha (permukaan
anterior) dan lengan (permukaan posterior). Insulin paling cepat diabsorpsi di
perut, kemudian lengan, paha dan bokong. Area injeksi harus terlebih dahulu
dibersihkan dan juga perlu dihindari bagian-bagian yang terdapat edema,
inflamasi, infeksi dan lipohipertrofi (penumpukan lemak akibat penyuntikan
pada daerah yang sama secara berulang-ulang).
Untuk meningkatkan konsistensi absorpsi insulin, pasien harus
diberitahukan untuk menggunakan semua tempat penyuntikan yang ada dalam
satu daerah daripada melakukan rotasi berpindah-pindah secara acak. Pasien
tidak boleh melakukan injeksi di tempat yang sama lebih dari satu kali dalam
Jika pasien berencana untuk latihan, preparat insulin tidak boleh
disuntikkan di daerah tungkai yang akan digunakan untuk latihan tersebut
karena insulin akan diserap lebih cepat dan mungkin akan mengakibatkan
hipoglikemi dan dianjurkan untuk tidak me-massage area penyuntikan
sebelum atau sesudah penyuntikan. Jarum harus tetap berada di dalam kulit
selama ±10 detik, untuk memastikan semua insulin masuk dan tidak ada yang
menetes saat jarum ditarik keluar dari kulit.
Berdasarkan The Forum for Injection Technique (FIT) tahun 2011,
ukuran jarum yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 8 mm. Untuk ukuran
jarum 4,5,6 mm diinjeksi dengan sudut 90 derajat pada orang dewasa dan
untuk pasien yang menggunakan jarum ukuran 8 mm, harus dipastikan untuk
menjepit kulit untuk menghindari jarum masuk ke bagian otot.
Penyandang DM sebaiknya diajarkan mengikuti tata cara penyuntikan
insulin, termasuk penggunaan teknik yang konsisten, dosis yang akurat, dan
rotasi lokasi penyuntikan. Kebanyakan individu mampu mencubit lipatan kulit
dan menyuntikkan pada sudut 90 derajat. Individu kurus atau anak-anak
kadang-kadang memerlukan cubitan kulit dan menyuntikan pada sudut 45
derajat untuk menghindari penyuntikan secara intra muskular. Bila
disuntikkan secara intra muskular maka penyerapan akan terjadi lebih cepat
dan masa kerja akan lebih singkat. Kegiatan jasmani yang dilakukan segera
setelah penyuntikan akan mempercepat onset kerja dan juga mempersingkat
Untuk mengurangi terjadinya iritasi lokal pada daerah penyuntikan
yang sering terjadi bila insulin dingin disuntikkan, pasien dianjurkan untuk
menguling-gulingkan alat suntik di antara telapak tangan atau menempatkan
botol insulin pada suhu kamar.
Beberapa cara untuk mengurangi nyeri saat injeksi insulin:
a. Lakukan penyuntikan insulin pada suhu ruangan
b. Gunakan jarum dengan ukuran terpendek dan diameter terkecil
c. Gunakan jarum baru setiap melakukan penyuntikan
d. Tusukkan jarum dengan cepat ke dalam kulit
e. Masukkan insulin secara perlahan sampai benar-benar habis
f. Desinfeksi kulit yang akan diinjeksi
g. Tunggulah sampai alkohol sebagai desinfektan kering sebelum menyuntik
2.2. Kerja insulin
a. Short-acting insulin
Awitan kerja human insulin reguler adalah hingga 1 jam, puncak
nya 2 hingga 3 jam, durasi kerjanya 4 hingga 6 jam. Insulin reguler terlihat
jernih dan biasanya diberikan 20 hingga 30 menit sebelum makan. Nama lain
untuk insulin reguler adalah crystalline zinc insulin (CZI). Insulin reguler
dapat diberikan secara tunggal atau dikombinasikan dengan insulin yang
kerjanya lebih lama.
b. Intermediate-acting insulin
Nama lainnya adalah NPH insulin (neutral protamine hagedorn)
Awitan kerja human insulin ini adalah 3 hingga 4 jam, puncaknya 4
hingga 12 jam, durasi kerjanya 16 hingga 20 jam.
Kedua insulin intermediate-acting tersebut memiliki kesamaan dalam
perjalanan waktu kerjanya dan tampak berwarna putih serta menyerupai susu.
Jika NPH atau lente digunakan secara tunggal, maka pemberian preparat ini
setengah jam sebelum makan bukanlah faktor yang menentukan. Meskipun
demikian, pasien yang menggunakan NPH atau insulin Lente harus makan di
sekitar waktu awitan dan puncak kerja preparat insulin ini.
c. Long-acting insulin
Ultralente insulin (UL)
Insulin long-acting kadang-kadang disebut sebagai insulin “tanpa
puncak kerja” karena preparat ini cenderung memiliki kerja yang panjang,
perlahan dan bertahan. Awitan kerja long-acting human insulin adalah 6
hingga 8 jam, puncak 12 hingga 16 jam, durasi 20 hingga 30 jam.
Secara umum, insulin short-acting diharapkan mampu berfungsi
sebagai pengganti makanan segera setelah disuntikkan, intermediate-aacting
insulin diharapkan dapat berfungsi sebagai cadangan makanan berikutnya dan
long-acting insulin memberikan kadar insulin yang relatif konstan serta
mengendalikan terutama kadar glukosa puasa.
Konsentrasi insulin yang paling sering digunakan di Amerika Serikat
adalah U-100. Ini berarti terdapat 100 unit insulin per 1 sentimeter kubik. Jadi,
sebuah spuit menyimpan 50 unit insulin U-100, maka spuit ini merupakan
spuit ½ ml U-100 (Suzanne & Smeltzer, 2001).
2.3.Penyimpanan insulin
Insulin harus disimpan sesuai dengan anjuran pabrik. Insulin
cadangan harus disimpan di lemari es pada temperatur 2 derajat sampai 8
derajat celcius. Insulin dapat disimpan pada suhu kamar dengan penyejuk
15-20 derajat celcius bila seluruh isi vial akan digunakan dalam 1 bulan. Saat
akan menggunakan insulin yang disimpan di lamari pendingin, diamkan
insulin sampai berada pada temperatur ruangan.
Penelitian menunjukkan bahwa insulin yang disimpan pada suhu
kamar yang lebih dari 30 derajat celcius akan lebih cepat kehilangan
kekuatannya. Pasien dianjurkan untuk memberi tanggal pada vial ketika
pertama kali dipakai dan sesudah satu bulan bila masih tersisa sebaiknya
tidak digunakan lagi. Masa kadaluwarsa menunjukkan tanggal terakhir
dimana vial insulin yang tak terbuka sebaiknya digunakan apabila disimpan
sesuai dengan anjuran perusahaan farmasi. (Soegondo, Soewondo, &
Subekti, 2007).
3. Pengetahuan
3.1. Definisi pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi melalui proses sensoris
khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan
domain yang paling penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt
(Sunaryo, 2004). Keraf dan Dua (2001 dalam Gultom, 2012) menyatakan
bahwa pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan
pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya termasuk
manusia dan kehidupannya.
Faktor pengetahuan mempunyai pengaruh sebagai dorongan awal
bagi seseorang dalam berperilaku dan kebanyakan orang yang berperilaku
baik sudah mempunyai pengetahuan yang baik dan perilaku yang tidak
didasari pengetahuan tidak akan bertahan lama.
Notoadmojo (2007) menyatakan tahapan yang terjadi pada manusia
sebelum berperilaku baru berdasarkan pengetahuan adalah:
a. Awarness (kesadaran)
Orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui objek (stimulus) terlebih
dahulu.
b. Interest
Yaitu saat seseorang sudah mulai tertarik dengan stimulus.
c. Evaluation
Yaitu menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d. Trial
Yaitu seseorang sudah mulai mencoba perilaku baru.
e. Adoption
Subjek telah berperilaku baru sesuai pengetahuan, kesadaran dan sikapnya
3.2. Tingkatan pengetahuan dalam domain kognitif
Notoadmojo (2007) menyatakan pengetahuan dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu hal yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Tingkatan “tahu” merupakan
yang paling rendah.
2) Memahami (comprehension)
Memahami artinya mampu menjelaskan dan menginterpretasikan
dengan benar tentang objek yang diketahui. Seseorang yang telah paham
tentang suatu objek harus dapat menjelaskan, memberi contoh dan
menyimpulkan.
3) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai menggunakan atau mempraktikkan materi
yang telah dipelajari pada kondisi yang sebenarnya. Aplikasi di sini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang nyata.
4) Analisa (Analysis)
Analisa adalah kemampusan untuk menjabarkan objek atau materi ke
dalam komponen-komponen tetapi masih dalam satu struktur organisasi dan
5) Sintesa (Synthesis)
Kemampuan dalam meletakkan atau bagian-bagian dalam suatu
bentuk keseluruhan yang sama.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap
suatu objek.
3.3. Cara Memperoleh Pengetahuan
1) Cara Tradisional atau nonilmiah
a. Cara coba salah ( Trial and error)
Pada waktu seseorang menghadapi persoalan, upaya
pemecahannya adalah dengan cara coba-coba. Bila tidak berhasil, maka
dicoba cara lain. Begitu selanjutnya. Pengalaman yang diperoleh melalui
metode ini adalah membantu perkembangan mandiri manusia ke arah yang
lebih sempurna.
b. Secara kebetulan
Terjadi secara tidak sengaja atau tidak direncanakan oleh orang yang
bersangkutan.
c. Cara kekuasaan atau otoritas
Pengetahuan diperoleh turun-temurun dari pemegang otoritas, yakni
orang yang mempunyai wibawa atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas
pemerintah, otoritas pemimpin agama maupun ahli ilmu pengetahuan atau
d. Berdasarkan pengalaman pribadi
Mengingat kembali pengalaman pribadi saat menyelesaikan masalah
di masa lalu. Bila cara yang digunakan pada masa itu berhasil untuk
mengatasi masalah, maka akan digunakan cara yang sama untuk mengatasi
masalah lain. Bila gagal, ia tidak akan mengulanginya dan mencari cara lain
sampai berhasil.
e. Cara akal sehat
Akal sehat kadang dapat menemukan kebenaran. Misalnya agar
anaknya disiplin dan patuh, orangtua akan menjewer atau menghukum
anaknya. Cara itu sampai saat ini berkembang menjadi teori atau kebenaran,
bahwa hukuman adalah salah satu metode bagi pendidikan anak.
f. Kebenaran melalui wahyu
Ajaran agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan
melalui para nabi. Kebenaran ini harus diterima dan dipercayai oleh pengikut
agama yang bersangkutan terlepas apakah itu rasional atau tidak.
g. Kebenaran secara intuitif
Kebenaran secara intuitif diterima manusia dengan mengandalkan
suara hati atau bisikan hati saja sehingga sulit untuk dipercaya.
h. Melalui jalan pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan manusia, cara berfikir
manusia pun ikut berkembang. Manusia sudah mampu menggunakan
penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dalam hal ini, manusia
disimpulkan. Metode ini terbagi menjadi induksi dan deduksi. Induksi adalah
penarikan kesimpulan dari pernyataan khusus ke
pernyataan-pernyataan yang bersifat umum. Sedangkan deduksi adalah adalah
pembuatan kesimpulan dari pernyataan umum ke pernyataan khusus.
2. Cara ilmiah
Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan sudah lebih
sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian (research
methodology) yang mula-mula dikembangkan oleh Francis Bacon
(1561-1626). Francis mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala alam
atau kemasyarakatan. Kemudian hasil pengamatan tersebut dikumpulkan dan
diklasifikasikan dan akhirnya diambil kesimpulan umum. Kemudian metode
ini dilanjutkan oleh Deobold van Dallen yang mengatakan bahwa untuk
memperoleh kesimpulan dilakukan dengan observasi langsung, dan membuat
pencatatan-pencatatan terhadap semua fakta berhubungan dengan objek yang
diamatinya kemudian dijadikan dasar untuk membuat kesimpulan atau
generalisasi. Kemudian Newton Galileo mengadakan penggabungan proses
berfikir deduktif induktif verivikatif dan akhirnya lahir suatu cara melakukan
penelitian, yang sekarang ini dikenal dengan metode penelitian ilmiah
(scientific research method).
4. Efikasi Diri
4.1. Definisi efikasi diri
Efikasi diri adalah persepsi diri sendiri mengenai seberapa baik
keyakinan bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan
yang diharapkan (Alwisol, 2009). Bandura (1986a dalam Hanna, 2006)
menyatakan bahwa efikasi diri adalah bukan mengenai seseorang mempunyai
ketrampilan, tapi mengenai pendapat seseorang bahwa mereka yakin mereka
dapat melakukannya dengan ketrampilan yang mereka punya. Seseorang
dengan efikasi diri yang tinggi percaya bahwa dia dapat mengerjakan suatu
tindakan sesuai dengan tuntutan situasi. Peterson (2004 dalam Rini, 2011)
tentang teori sosial kognitif menjelaskan bahwa efikasi diri adalah keyakinan
seseorang tentang keyakinannya dalam mengatur dan melaksanakan suatu
tindakan yang hendak dicapai. Keyakinan efikasi diri akan menentukan
seberapa banyak usaha yang dikeluarkan seseeorang dalam berperilaku, berapa
lama mereka akan bertahan menghadapi rintangan.
4.2. Sumber-sumber efikasi diri
1) Pengalaman Performansi (performance accomplishment)
Adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa lalu. Sebagai sumber,
performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat
pengaruhnya. Prestasi masa lalu yang bagus meningkatkan efikasi diri,
sedangkan kegagalan akan menurunkan efikasi. Mencapai keberhasilan akan
memberi dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung proses
pencapaiannya:
a. Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat efikasi semakin tinggi
b. Kerja sendiri lebih meningkatkan efikasi diri dibanding kerja kelompok,