• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Efikasi Diri Terhadap Tindakan Perawatan Kaki pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Efikasi Diri Terhadap Tindakan Perawatan Kaki pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUP Haji Adam Malik Medan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit atau

gangguan metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik

pada DM berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan

kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan

pembuluh darah (PERKENI, 2011 dan ADA, 2014).

DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan

kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Glukosa secara normal

bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah dan glukosa dibentuk di hati dari

makanan yang dikonsumsi. Insulin, merupakan suatu hormon yang diproduksi

oleh pankreas, mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur

produksi dan penyimpanannya (Smeltzer dan Bare, 2010).

Sedangkan menurut WHO (2015) dikatakan bahwa DM merupakan

penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak mampu memproduksi insulin

yang cukup, atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang

dihasilkannya secara efektif. Lanywati (2011) juga menjelaskan bahwa penyakit

DM, kencing manis atau penyakit gula, merupakan suatu penyakit yang

disebabkan oleh adanya gangguan menahun terutama pada sistem metabolisme

karbohidrat, lemak, dan juga protein dalam tubuh.

Kesimpulannya, DM merupakan gangguan metabolisme karbohidrat,

protein, dan lemak yang ditandai dengan karakteristik hiperglikemia,

makroangiopati, mikroangiopati, dan neuropati. Hiperglikemia terjadi karena

(2)

2.1.2. Klasifikasi dan Etiologi

DM dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori klinis, yaitu: DM tipe

1, DM tipe 2, DM tipe tertentu, dan DM gestasional (ADA, 2014 ; Smeltzer dan

Bare, 2010).

a. DM tipe 1

DM tipe 1 atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus),

dapat terjadi disebabkan karena adanya kerusakan sel-β, biasanya

menyebabkan kekurangan insulin absolut yang disebabkan oleh proses

autoimun atau idiopatik. Umumnya penyakit ini berkembang ke arah

ketoasidosis diabetik yang menyebabkan kematian. DM tipe 1 terjadi

sebanyak 5-10% dari semua DM. DM tipe 1 dicirikan dengan onset yang

akut dan biasanya terjadi pada usia ฀30 tahun (ADA, 2014 ; Smeltzer dan

Bare, 2010).

b. DM tipe 2

DM tipe 2 atau NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes

Mellitus), dapat terjadi karena kerusakan progresif sekretorik insulin akibat

resistensi insulin. DM tipe 2 juga merupakan salah satu gangguan

metabolik dengan kondisi insulin yang diproduksi oleh tubuh tidak cukup

jumlahnya akan tetapi reseptor insulin di jaringan tidak berespon terhadap

insulin tersebut. DM tipe 2 mengenai 90-95% pasien dengan DM.

Insidensi terjadi lebih umum pada usia ฀30 tahun, obesitas, herediter, dan

faktor lingkungan. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi

komplikasi (ADA, 2014 ; Smeltzer dan Bare, 2010).

c. DM tipe tertentu

DM tipe ini dapat terjadi karena penyebab lain, misalnya, defek

genetik pada fungsi sel-β, defek genetik pada kerja insulin, penyakit

eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik dan pankreatitis), penyakit

metabolik endokrin, infeksi, sindrom genetik lain dan karena disebabkan

oleh obat atau kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah

(3)

d. DM gestasional

DM ini merupakan DM yang didiagnosis selama masa kehamilan,

dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan.

Terjadi pada 2-5% semua wanita hamil tetapi hilang saat melahirkan

(ADA, 2014 ; Smeltzer dan Bare, 2010).

Klasifikasi Etiologis DM (ADA, 2014) :

I. Diabetes Melitus Tipe 1

(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut): (1) Melalui

proses imunologik, (2) Idiopatik

II. Diabetes Melitus Tipe 2 : (Bervariasi mulai terutama yang predominan resistensi

insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi

insulin bersama resistensi insulin)

III. Diabetes Melitus Tipe Lain

A. Defek Genetik fungsi sel Beta :

- Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3)

- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)

- Kromosom 20, HNF-4α (dahulu MODY 1)

- Kromosom 13, insulin Promoter factor-1 (IPF-1, dahulu MODY 4)

- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6)

- DNA Mitochondria, dan lainnya

B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism,

sindrom Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya

C. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, fibrosis

kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro, kalkulus, dan lainnya

D. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromotositoma,

hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya

E. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,

hormon tiroid, diazoxid, agonis β edrenergic, tiazid, dilatin, interferon alfa

F. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya

G. Imunologi (jarang) : Sindrom “Stiff-man”, antibody anti reseptor insulin

H. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner,

Sindrom Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, Chorea Hutington, Porfiria,

(4)

2.1.3. Faktor Risiko

Menurut PERKENI (2011), faktor risiko DM tipe 2 terdiri dari faktor

risiko yang tidak bisa dimodifikasi, yang bisa dimodifikasi dan faktor lain yang

terkait dengan risiko DM tipe 2.

a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi yaitu:

i. Ras dan etnik

ii. Riwayat keluarga dengan DM

iii. Umur (risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring

dengan meningkatnya umur, umur ฀45 tahun harus dilakukan

pemeriksaan DM)

iv. Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi ฀4000 gram

atau riwayat pernah menderita gestasional

v. Riwayat lahir dengan berat badan rendah kurang dari 2,5 kg (bayi yang

lahir dengan berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi

dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal)

b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu:

i. Berat badan lebih (IMT ฀23 kg/m²)

ii. Kurangnya aktivitas fisik

iii. Hipertensi (฀140/90 mmHg)

iv. Dislipidemia (HDL ฀35 mg/dL dan atau trigliserida ฀250 mg/dL)

v. Diet yang tidak sehat (unhealthy diet), diet dengan tinggi gula dan

rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes atau

intoleransi glukosa dan DM tipe 2

c. Faktor lain yang terkait dengan risiko DM tipe 2 yaitu:

i. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain

yang terkait dengan resistensi insulin

ii. Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu

(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya

iii. Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke,

penyakit jantung koroner (PJK), atau Peripheral Arterial Diseases (PAD)

(5)

2.1.4. Patofisiologi

DM tipe 2 merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik

utama adalah terjadinya hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya

belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang sangat penting

dalam munculnya DM tipe 2. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan

faktor-faktor lingkungan seperti gaya hidup, obesitas, rendahnya aktivitas fisik, diet, dan

tingginya kadar asam lemak bebas (ADA, 2014 ; Smeltzer dan Bare, 2010).

Mekanisme terjadinya DM tipe 2 umumnya disebabkan karena resistensi

insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan

reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan

reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa

didalam sel. Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi

intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi

pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan

mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terjadi peningkatan jumlah

insulin yang disekresikan (ADA, 2014 ; Smeltzer dan Bare, 2010).

Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat

sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada

tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel β tidak

mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa

akan meningkat dan terjadi DM tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin

yang merupakan ciri khas DM tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan

jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan

keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM

tipe 2. Meskipun demikian, DM tipe 2 yang tidak terkontrol akan menimbulkan

masalah akut lainnya seperti sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non-Ketotik

(HHNK) (Smeltzer dan Bare, 2010).

Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama

bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika

gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti: kelelahan,

(6)

vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi). Salah satu

konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit DM selama bertahun-tahun adalah

terjadinya komplikasi DM jangka panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati

perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis

ditegakkan (Smeltzer dan Bare, 2010).

2.1.5. Gejala Klinis

Pada awalnya, penderita sering kali tidak menyadari bahwa dirinya

menghidap DM, bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Namun, harus

dicurigai adanya DM jika seseorang mengalami gejala dan tanda-tanda DM.

Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu gejala akut dan

gejala kronik (PERKENI, 2011) :

a. Gejala akut penyakit DM

Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap penderita, bahkan

mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu.

Permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli) yaitu

banyak makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi), dan banyak kencing

(poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan timbul

gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang atau

berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu),

mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual

(PERKENI, 2011).

b. Gejala kronik penyakit DM

Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah

kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal

di kulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering ganti

kacamata, gatal di sekitar kemaluan terutama pada wanita, gigi mudah

goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun, dan para ibu hamil

sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau

(7)

2.1.6. Diagnosis

Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa

darah. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan

glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan glukosa darah plasma vena.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM tipe 2. Kecurigaan

adanya DM tipe 2 perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM tipe 2

seperti berikut:

 Keluhan klasik DM tipe 2 berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

 Keluhan lain dapat berupa: badan lemah, kesemutan, gatal, mata kabur,

dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita

(PERKENI, 2011).

Diagnosis DM tipe 2 dapat ditegakkan melalui:

 Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) sudah cukup untuk menegakkan

diagnosis DM tipe 2.

 Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan adanya keluhan klasik. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori

tambahan sedikitnya 8 jam.

 Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO

≥200mg/dL (11,1 mmol/L). Meskipun TTGO dengan beban 75g glukosa

lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma

puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO

sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang

dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

 Tes hemoglobin-glikosilat/ HbA1C. Terdiagnosis DM tipe 2 jika nilai

HbA1C ≥6,5%. Tes ini harus dilakukan di laboratorium yang

menggunakan metode yang bersertifikat NGSP (National

Glycohemoglobin Standardization Program) dan standar untuk uji DCCT

(8)

Gambar 2.1 : Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa.

Sumber : PERKENI, 2011.

2.1.7. Penatalaksanaan

Pengelolaan dan pencegahan penyakit DM tipe 2 dimulai dengan

pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu).

Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi

farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.

Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung

kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, seperti

ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya

ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Menurut PERKENI (2011),

(9)

pada 4 pilar penatalaksanaan yaitu: edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani,

dan intervensi farmakologis (PERKENI, 2011).

a. Edukasi

DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah

terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang DM tipe 2

memerlukan partisipasi aktif dari pasien, keluarga dan masyarakat. Tim

kesehatan mendampingi pasien dalam melakukan perubahan perilaku

sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan

edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Edukasi

merupakan aspek yang sangat penting dalam mengelola DM. Tujuan dari

edukasi DM adalah mendukung usaha pasien penyandang DM untuk

mengerti perjalanan penyakitnya dan pengelolaannya serta perubahan

perilaku atau kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Pengetahuan atau

edukasi tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala

hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.

Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah

mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2011).

Antara edukasi yang diberikan kepada pasien adalah:

 Makan makanan sehat dan bersih.

 Melakukan kegiatan jasmani secara betul dan teratur.

 Menggunakan obat DM dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman dan teratur.

 Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan

data yang ada.

 Melakukan perawatan kaki secara berkala dan teratur.  Mengelola DM dengan tepat.

 Dapat mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan yang ada.

b. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan salah satu bagian dari

penatalaksanaan DM tipe 2 secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah

(10)

petugas kesehatan yang lain, serta pasien dan keluarganya. Setiap

penyandang DM tipe 2 sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan

kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan

pada penyandang DM tipe 2 hampir sama dengan anjuran makan untuk

masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan

kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang

DM tipe 2 perlu ditekankan tentang pentingnya keteraturan makan dalam

hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang

menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Komposisi

makanan yang dianjurkan terdiri dari: karbohidrat yang dianjurkan sebesar

45-65% total asupan energi, asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25%

kebutuhan kalori, protein dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi,

anjuran asupan natrium tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7

gram (1 sendok teh garam dapur), anjuran konsumsi serat adalah ±25

gr/hari, dan pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman

(Accepted Daily Intake/ADI). Kebutuhan kalori disesuaikan dengan

pertumbuhan, status gizi, umur, jenis kelamin, aktivitas fisik dan kegiatan

jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal

(PERKENI, 2011).

c. Latihan Jasmani

Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur adalah 3-4

kali seminggu selama kurang lebih 30 menit. Kegiatan sehari-hari seperti

berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun, harus tetap

dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat

menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga

akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan

berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda

santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan

dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk penderita yang relatif

(11)

mendapat komplikasi DM tipe 2, maka intensitas latihan jasmani dapat

dikurangi. Penderita dianjurkan untuk menghindari kebiasaan hidup yang

kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011).

Menurut ADA (2012), ada beberapa pedoman umum untuk melakukan

latihan jasmani pada pasien DM tipe 2 yaitu:

 Gunakan alas kaki yang tepat, dan bila perlu alat pelindung kaki lainnya.

 Hindari latihan dalam udara yang sangat panas atau dingin.  Periksa kaki setelah melakukan latihan.

 Hindari latihan pada saat pengendalian metabolik buruk. d. Intervensi farmakologis

Intervensi farmakologis merupakan salah satu bagian penatalaksanaan DM

tipe 2 yang sangat penting. Intervensi farmakologis ditambahkan jika

sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani (gaya hidup sehat). Obat-obatan yang digunakan untuk

penderita DM tipe 2 adalah obat hipoglikemik oral (OHO), suntikan, dan

terapi kombinasi (PERKENI, 2011).

i. Obat hipoglikemik oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan :

- Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan

glinid

- Peningkat sensitivitas terhadap insulin : metformin dan

tiazolidindion

- Penghambat glukoneogenesis (metformin)

- Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa

- DPP-IV inhibitor

Cara pemberian OHO:

- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap

sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis

optimal.

(12)

- Repaglinid, Nateglinid : sesaat sebelum makan.

- Metformin : sebelum/ pada saat/ sesudah makan.

- Penghambat glukosidase (Acarbose) : bersama makan suapan

pertama.

- Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

- DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum

makan.

ii. Suntikan

- Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan :

 Penurunan berat badan yang cepat atau drastis  Hiperglikemia berat yang disertai ketosis  Ketoasidosis diabetik

 Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik  Hiperglikemia dengan asidosis laktat

 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)  Kehamilan dengan DM atau DM gestasional yang tidak

terkendali dengan perencanaan makan

 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat  Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Efek samping terapi insulin :

 Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya

hipoglikemia.

 Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap

insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi

insulin.

- Agonis GLP-1/incretin mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan

(13)

bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak

menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang

biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun

sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat

badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat

penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses

glukoneogenesis. Obat itu digunakan pada seekor binatang untuk

percobaan dan obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta

pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini

antara lain adalah rasa sebah dan muntah.

iii. Terapi kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis

rendah, dan kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan

respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet

dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian

OHO tunggal atau kombinasi OHO. Terapi dengan OHO

kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang

mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa

darah belum tercapai, dapat diberikan kombinasi tiga OHO dari

kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.

Kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah

kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau

insulin kerja panjang). Dengan pendekatan terapi tersebut pada

umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik. Bila

dengan cara seperti diatas kadar glukosa darah sepanjang hari

masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan lalu diberikan terapi

(14)

2.1.8. Komplikasi

Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada pasien DM tipe 2 akan

menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe 2 terbagi dua

berdasarkan lama terjadinya yaitu: komplikasi akut dan komplikasi kronik

(Smeltzer dan Bare, 2010 ; PERKENI, 2011).

a. Komplikasi akut

Terdapat 3 komplikasi akut pada pasien DM tipe 2 yaitu : Ketoasidosis

diabetik (KAD), Hiperosmolar non ketotik (HNK), dan hipoglikemia

(PERKENI, 2011).

i. Ketoasidosis diabetik (KAD)

KAD merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan

peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),

disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+)

kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi

peningkatan anion gap (PERKENI, 2011).

ii. Hiperosmolar non ketotik (HNK)

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi

(600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma

sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap

normal atau sedikit meningkat (PERKENI, 2011).

iii. Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah ฀60

mg/dL. Pasien DM yang tidak sadarkan diri harus dipikirkan

mengalami keadaan hipoglikemia. Gejala hipoglikemia terdiri dari

berdebar-debar, banyak keringat, gementar, rasa lapar, pusing, gelisah,

dan kesadaran menurun sampai koma (PERKENI, 2011) .

b. Komplikasi kronik

Komplikasi jangka panjang menjadi lebih umum terjadi pada pasien DM

saat ini sejalan dengan penderita DM yang bertahan hidup lebih lama.

Penyakit DM yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama akan

(15)

jangka panjang terdiri dari komplikasi makrovaskular, komplikasi

mikrovaskular, dan neuropati (Smeltzer dan Bare, 2010 ; PERKENI,

2011).

i. Komplikasi makrovaskular

Komplikasi makrovaskular pada DM terjadi akibat aterosklerosis dan

pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan

plak ateroma. Makroangiopati tidak spesifik pada DM namun dapat

timbul lebih cepat, lebih sering terjadi dan lebih serius. Berbagai studi

epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit

kardiovaskular dan penderita DM meningkat 4-5 kali dibandingkan

orang normal. Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada

hubungan dengan kontrol kadar gula darah yang baik. Tetapi telah

terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu

faktor resiko mortalitas kardiovaskular dimana peninggian kadar

insulin dapat menyebabkan terjadinya risiko kardiovaskular menjadi

semakin tinggi. Kadar insulin puasa >15 mU/mL akan meningkatkan

risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Makroangiopati,

mengenai pembuluh darah besar antara lain adalah pembuluh darah

jantung atau penyakit jantung koroner, pembuluh darah otak atau

stroke, dan penyakit pembuluh darah. Hiperinsulinemia juga dikenal

sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam

timbulnya komplikasi makrovaskular (Permana, 2009).

ii. Komplikasi mikrovaskular

Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penyumbatan pada pembuluh

darah kecil khususnya kapiler yang terdiri dari retinopati diabetik dan

nefropati diabetik. Retinopati diabetik dibagi dalam 2 kelompok, yaitu

retinopati non proliferatif dan retinopati proliferatif. Retinopati non

proliferatif merupakan stadium awal dengan ditandai adanya

mikroaneurisma, sedangkan retinopati proliferatif, ditandai dengan

adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya

(16)

ginjal akibat kebocoran selaput penyaring darah. Nefropati diabetik

ditandai dengan adanya proteinuria persisten (>0,5 gr/24 jam), terdapat

retinopati dan hipertensi. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM

mengakibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga

molekul-molekul besar seperti protein dapat masuk ke dalam kemih

(albuminuria). Akibat dari nefropati diabetik tersebut dapat

menyebabkan kegagalan ginjal progresif dan upaya preventif pada

nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah

(Permana, 2009).

iii. Neuropati

Diabetes neuropati adalah kerusakan saraf sebagai komplikasi serius

akibat DM. Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah

neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal dan biasanya

mengenai kaki terlebih dahulu, lalu ke bagian tangan. Neuropati

berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang

sering dirasakan adalah kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan

lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan,

pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya

polineuropati distal. Apabila ditemukan adanya polineuropati distal,

perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi.

Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan

edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki

(PERKENI, 2011).

2.2. Perawatan Kaki

Perawatan kaki menjadi bagian dari pencegahan komplikasi kronik dari

kaki. Antara komponen dari perawatan kaki yang dianjurkan bagi penderita DM

tipe 2 adalah (NDEP, 2014 dan Indian Health Diabetes Best Practice, 2011) :

1. Memeriksa kondisi kaki setiap hari dengan cara:

(17)

b. Kenali kondisi telapak dan punggung kaki dari tanda-tanda seperti:

kering dan pecah-pecah, lepuh, luka, kemerahan, teraba hangat dan

bengkak saat diraba.

c. Kenali adanya bentuk kuku yang tumbuh kearah dalam (ingrown

toenails), kapalan dan kalus.

d. Gunakan cermin jika tidak dapat melihat bagian telapak kaki.

e. Jika terdapat tanda-tanda diatas, pasien harus segera ke tenaga

kesehatan khusus untuk mendapat perawatan kaki lebih awal.

2. Menjaga kebersihan kaki setiap hari dengan cara:

a. Membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan menggunakan air

suam.

b. Cek suhu air sebelum digunakan untuk mencuci kaki dengan

menggunakan siku jari tangan untuk dicelupkan ke dalam air.

c. Merendamkan kaki dengan air hangat di dalam Waskom selama 2-3

menit.

d. Bersihkan dengan menggunakan sabun lembut sampai ke sela-sela jari

kaki sambil dipijit dengan lembut.

e. Jika kuku kaki kotor, sikat kuku kaki dengan menggunakan sikat kuku

dan sabun.

f. Membilas kaki dengan menggunakan air hangat.

g. Mengeringkan kaki dengan menggunakan kain bersih yang lembut

sampai ke sela jari kaki.

h. Saat memakai pelembab, usahakan tidak menggosok tetapi dianjurkan

dengan cara memijat pada telapak kaki.

3. Menggunting kuku yang baik dan benar dengan cara:

a. Menggunting kuku kaki minimal 1 minggu 1 kali.

b. Menggunting kuku dengan hati-hati, jangan sampai melukai kulit.

c. Menggunting kuku lebih mudah dilakukan sesudah mandi, sewaktu

kuku lembut.

d. Jangan menggunakan pisau cukur atau pisau biasa karena dapat

(18)

e. Gunakan gunting kuku yang dikhususkan untuk memotong kuku.

f. Gunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki

secara lurus.

g. Jangan gunakan cat kuku.

h. Kuku kaki yang menusuk daging dan kapalan, hendaklah diobati oleh

dokter.

4. Penggunaan dan pemilihan alas kaki yang tepat dengan cara:

a. Melindungi kaki anda dengan selalu menggunakan alas kaki baik di

dalam maupun di luar ruangan.

b. Alas kaki yang baik adalah sepatu karena dapat melindungi kaki secara

penuh.

c. Alas kaki harus terbuat dari bahan yang lembut untuk kaki, dan tidak

keras.

d. Pilih sepatu dengan ukuran yang sesuai dan ujung tertutup.

e. Jangan memaksakan kaki menggunakan sepatu yang tidak sesuai

dengan ukuran kaki (kebesaran/kekecilan).

f. Memeriksa bagian dalam sepatu sebelum digunakan.

g. Bagi wanita, jangan gunakan sepatu dengan hak yang terlalu tinggi

karena dapat membebani tumit kaki.

h. Jika anda menggunakan sepatu baru, maka harus dipakai secara

berangsur-angsur dan hati-hati.

i. Jari kaki harus masuk semua kedalam sepatu, tidak ada yang menekuk.

j. Dianjurkan memakai kaos kaki terutama jika kaki terasa dingin.

k. Memakai kaos kaki yang bersih dan mengganti setiap hari.

l. Kaos kaki terbuat dari bahan wol atau katun. Jangan memakai kaos

kaki yang terbuat dari bahan sintesis, karena bahan ini menyebabkan

kaki berkeringat.

5. Pencegahan cedera pada kaki:

a. Selalu memakai alas kaki yang lembut baik di dalam ruangan maupun

di luar ruangan.

(19)

c. Selalu mengecek suhu air ketika ingin menggunakan, caranya dengan

menggunakan siku jari.

d. Hindari merokok untuk pencegahan kurangnya sirkulasi darah ke kaki.

e. Hindari menekuk kaki dan melipat kaki terlalu lama.

f. Hindari berdiri dalam satu posisi kaki untuk waktu yang lama.

g. Melakukan senam kaki secara rutin.

h. Memeriksakan diri secara rutin ke dokter dan memeriksa kaki setiap

kontrol walaupun ulkus kaki diabetik sudah sembuh.

6. Pengelolaan cedera awal pada kaki:

a. Jika ada lecet, tutup luka atau lecet tersebut dengan kain kasa kering

setelah diberikan antiseptic (povidon iodine) di area cedera.

b. Segera mencari tim kesehatan khusus yang menangani kesehatan kaki

diabetes jika luka tidak sembuh.

2.3. Efikasi Diri (Self Efficacy) 2.3.1. Definisi Efikasi Diri

Konsep efikasi diri telah dikembangkan oleh Albert Bandura sebagai teori

sosial kognitif pada tahun 1977. Bandura (1994) menjelaskan bahwa efikasi diri

adalah keyakinan seseorang tentang kemampuan mereka untuk mencapai suatu

tingkat kinerja yang mempengaruhi setiap peristiwa dalam hidupnya. Efikasi diri

merupakan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk mengelola

penyakit kronis secara mandiri, karena menentukan seseorang apakah akan

memulai atau tidak untuk melakukan perawatan dirinya (Holman dan Lorig, 1992;

Nyunt et al., 2010).

Bandura (1982 dalam Kott, 2008) menegaskan bahwa seseorang yang

memiliki efikasi diri yang kuat akan menetapkan tujuan yang tinggi dan

berpegang teguh pada tujuannya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki efikasi diri

yang lemah akan berkomitmen lemah pada tujuannya. Efikasi diri mendorong

proses kontrol diri untuk mempertahankan prilaku yang dibutuhkan dalam

(20)

Efikasi diri adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya mampu meraih

hasil yang diinginkan, seperti penguasaan suatu keterampilan baru atau mencapai

suatu tujuan (Wade, 2008).

Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi

diri (self-efficacy) merupakan suatu keyakinan individu akan kemampuan dirinya

untuk melakukan tugas-tugas perawatan diri dan berusaha untuk mencapai

tujuannya dengan baik. Secara khusus, efikasi diri pada pasien DM dalam

pendekatan intervensi keperawatan difokuskan pada keyakinan pasien akan

kemampuannya untuk mengelola, merencanakan, memodifikasi perilaku sehingga

memiliki kualitas hidup yang baik.

2.3.2. Sumber Efikasi Diri

Bandura (1994) menyatakan bahwa efikasi diri dapat diperoleh, dipelajari,

dan dikembangkan dari empat sumber informasi. Sumber-sumber efikasi diri

tersebut adalah:

a. Mastery experiences (Pengalaman keberhasilan).

Sumber informasi ini memberikan pengaruh besar pada efikasi diri

individu karena didasarkan pada pengalaman-pengalaman pribadi individu

secara nyata yang berupa keberhasilan dan kegagalan. Pengalaman

keberhasilan akan menaikkan efikasi diri individu, sedangkan pengalaman

kegagalan akan menurunkannya. Pengalaman keberhasilan individu ini

meningkatkan ketekunan dan kegigihan dalam berusaha mengatasi

kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan.

b. Vicarious experiences (Pengalaman orang lain).

Yaitu mengamati prilaku dan pengalaman orang lain sebagai proses

belajar individu. Melalui model ini efikasi diri individu dapat meningkat,

terutama jika ia merasa memiliki kemampuan yang setara atau bahkan

merasa lebih baik dari pada orang yang menjadi subyek belajarnya. Ia

akan mempunyai kecenderungan merasa mampu melakukan hal yang

sama. Meningkatnya efikasi diri individu ini dapat meningkatkan motivasi

(21)

c. Social persuasion (Persuasi sosial).

Persuasi sosial dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak

atau berperilaku. Dengan persuasi sosial, individu mendapat sugesti bahwa

ia mampu mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapi. Seseorang

yang senantiasa diberikan keyakinan dengan dorongan untuk sukses, maka

akan menunjukkan perilaku untuk mencapai kesuksesan tersebut dan

sebaliknya seseorang dapat menjadi gagal karena pengaruh atau sugesti

buruk dari lingkungannya.

d. Physiological and emosional state (Kondisi fisik dan emosional).

Yaitu situasi yang menekan kondisi emosional. Ketegangan fisik

dalam situasi yang menekan dipandang individu sebagai suatu tanda

ketidakmampuan karena hal itu dapat melemahkan perfomansi kerja

individu. Karena itu, efikasi diri tinggi biasanya ditandai oleh rendahnya

tingkat stres dan kecemasan. Sebaliknya, efikasi diri yang rendah ditandai

oleh tingkat stres dan kecemasan yang tinggi.

2.3.3. Dimensi Efikasi Diri

Menurut Bandura (1997), efikasi diri terdiri dari 3 dimensi, yaitu:

a. Magnitude (tingkat kesulitan tugas)

Dimensi ini berfokus pada tingkat kesulitan yang dihadapi oleh

seseorang terkait dengan usaha yang dilakukan. Dimensi ini berimplikasi

pada pemilihan perilaku yang akan dicoba individu berdasarkan ekspektasi

efikasi pada tingkat kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan

tugas tertentu yang ia persepsikan dapat dilaksanakannya dan ia akan

menghindari situasi dan perilaku yang ia persepsikan di luar batas

kemampuannya.

b. Generality (generalitas)

Generalitas berkaitan dengan luas cakupan tingkah laku diyakini

oleh individu mampu dilaksanakan. Keyakinan individu terhadap

(22)

baik yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu maupun pada

serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi.

c. Strength (kekuatan keyakinan)

Aspek yang berkaitan dengan kekuatan keyakinan individu atas

kemampuannya. Penghargaan yang kuat dan mantap pada individu akan

mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan walaupun

mungkin belum memiliki pengalaman-pengalaman yang menunjang.

Sebaliknya, pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan kemampuan diri

akan mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak

menunjang. Dimensi ini berkaitan langsung dengan tingkat dimensi, yaitu

semakin tinggi tingkat kesulitan tugas, semakin lemah keyakinan yang

dirasakan untuk menyelesaikannya.

2.3.4. Efikasi Diri Pada DM

Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah jembatan antara mengetahui

apa yang harus dilakukan dan benar-benar melakukannya. Selain itu, efikasi diri

juga menjadi dasar untuk meningkatkan efektivitas pendidikan DM karena

berfokus pada perubahan perilaku (Van der Bijil dan Shortridge-Baggett, 2014;

Wu, 2007). Efikasi diri merupakan keyakinan individu tentang kemampuan

pribadi terhadap kinerja perilaku. Dalam hal manajemen diri DM, efikasi diri

adalah keyakinan pasien terhadap kemampuannya untuk melakukan berbagai

perilaku manajemen diri DM (Al-Khawaldeh et al., 2012). Efikasi diri adalah

prediktor kuat terhadap perilaku manajemen diri DM, seseorang yang hidup

dengan DM yang memiliki tingkat efikasi diri yang lebih tinggi akan

berpartisipasi dalam perilaku pengelolaan diri DM yang lebih baik (Hunt et al.,

2012).

2.3.5. Pengukuran Efikasi Diri Pada DM Tipe 2

The Diabetes Management Self-Efficacy Scale for type 2 DM (DMSES)

Dutch/English Version untuk pasien DM tipe 2 merupakan pengukuran efikasi diri

(23)

dalam Kott, 2008). Skala ini juga telah dikembangkan dalam versi

Australia/Inggris oleh McDowell et al. (2005), dan dalam versi Inggris oleh Sturt

et al, (2010). DMSES didesain untuk mengukur efikasi diri pasien DM tipe 2.

Instrumen ini khusus untuk pasien DM tipe 2, pernyataan mudah dimengerti

Gambar

Gambar 2.1 : Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi   glukosa.

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya, Pemberi Kuasa dengan ini memberikan dan menjamin segala perkataan Penerima Kuasa sebagai perkataan Pemberi Kuasa yang benar dan sah secara hukum dalam bertindak,

The Laboratory for Photogrammetry & Laser Scanning of the HafenCity University Hamburg has developed a VM for the museum of Old-Segeberg town house (Alt-Segeberger Bürgerhaus)

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-2/W3, 2017 3D Virtual Reconstruction and Visualization of

It presents a 3D- Reflection-Pre-Filter Approach to identify specular reflective and transparent objects in point clouds of a multi-echo laser scanner.. Furthermore, it filters

Tanpa mencantumkan NPWP, dividen tunai yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Badan Dalam Negeri tersebut dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 30% (tiga puluh persen). Bagi

The flight missions were set up to determine the return-to-home (RTH) landing precision and the power consumption of the UAV at different wind speeds.. The landing precision

PENGGUNAAN LINGKUNGAN SEKOLAH SEBAGAI MEDIA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES DAN KETERAMPILAN MENULIS SISWA PADA PEMBELAJARAN TEMATIK DI KELAS RENDAH

Vintage 2010 United Overseas Bank (UOB) was founded in 1935 and SGX listed in 1970. UOB Global Capital and UOB Venture Management are asset management subsidiaries