Daftar Riwayat Hidup
Nama : Marisa Perucana Sinambela
Tempat, tanggal lahir : Balige, 27 Februari 1993
Alamat : Jl. Berdikari 52, Padang Bulan, Medan
Riwayat pendidikan : 1. SD Negeri No. 173524 Balige (1998-2004) 2. SMP Negeri 1 Soposurung Balige (2004-2007) 3. SMA Negeri 2 Soposurung Balige (2007-2010) 4. Fakultas Kedokteran USU (2010 - sekarang) Riwayat Organisasi : 1. Anggota OSIS SMA Negeri 2 Balige (2009-2010)
2. SCOPH PEMA FK USU (2011-2012)
193 86-34-90 22 P PNS Derajat 1
194 26-66-29 60 L PNS Derajat 2
195 52-46-19 44 P Pensiunan Derajat 2
196 37-24-97 73 L Wiraswasta Derajat 2
197 68-81-76 45 P Pensiunan Derajat 1
198 86-30-22 44 L PNS Derajat 2
199 42-22-86 64 L Wiraswasta Derajat 2
200 80-24-87 42 P Pensiunan Derajat 2
201 29-96-29 70 P Petani Derajat 2
202 86-55-56 64 P Petani Derajat 1
203 82-72-40 50 L Pensiunan Derajat 4
204 38-79-09 50 P PNS Derajat 2
205 80-26-11 68 P PNS Derajat 2
206 83-75-71 49 P Pensiunan Derajat 1
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Opthalomology., 2005. Basic and Clinical Science Course.
External Disease and Cornea.Section 8.Ed:USA. p: 344 & 405-408.
Bagian SMF Ilmu Penyakit Mata., 2006. PedomanDiagnosis dan Terapi, Edisi III.
Surabaya: Airlangga.
Gondhowiardjo D, Tjahjono., 2006. Pterigium. Panduan Manajemen Klinis Perdami.
Jakarta: CV. Ondo.
Donald,T.H.Tan., Sao-Bing L.E.E., Jessica Marie A.B.A.N.O., 2005. Clinical
Opthalmology-An Asian Persective. Singapore: Elsevier.
Fisher, Jerome P., 2013. Pterygium. Available from:
April 2013].
Gazzard ,G ., et al ., 2002. Pterygium in Indonesia: prevalence, severity and risk
factors.British Journal Opthalmology. Available from : http://bjo.bmj.com/content/86/12/1341.full.pdf+
html?sid=325c775d-e2e4-465c-bd08-d1bdb49ca37c.
Holland, Edward J., Mannis,Mark. J., 2002. Ocular Surface Disease-Management
Surgical Management. New York: Springer Verlag.
Ilyas, S., Yulianti, S.R., 2011. Mata Merah dengan Penglihatan Normal: Ilmu
Penyakit Mata. Edisi ke-4. Jakarta: FKUI.
Imelda, Eva. 2010. Prevalensi Pterygium di RSUP.H.Adam Malik Medan Tahun
2010,Universitas Sumatera Utara. Available
from:http://digilib.usu.ac.id/buku/98933/Prevalensi-pterygium-di RSUP.H.
Adam-Malik-Medan-tahun-2009.html.
James Bruce., Chew Chris., Bron Anthony., 2006. Lecture Notes: Oftalmology.
Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
[Accessed 25 Maret 2013].
Kanski,Jack J., 2003. Clinical Opthalmology-A Systematic Approach.5th
Khurana, A. K., 2007. Community Ophthalmology in Compherensive Ophthmology,
Fourth Edition, chapter 20, New Delhi, New Age International Limited
Published Publisher, p : 443-457.
ed.USA
:Butterwoth Heinemann,p : 82.
Laszuarni, 2009. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat, Departemen Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.
Availabe from : repository.usu.ac.id/bitstream/.../6395/.../10E00178.
Liang, Qing et al. 2010. Epidemiology of pterygium in aged rural population of
China.Available from:
[Accessed 23 April 2013].
Maheshawari S., 2003. Indian Journal of Ophthalmology. Effect of Pterygium Excision on Pterygium Induced Astigmatisma. Available from: htpp://www.ijo.in/text.asp?2003/51/2/187/14703.
Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. 2010. Ilmu Penyakit Mata: Untuk
Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, Edisi Ke-2. Jakarta: Sagung
Seto.
[Accesed 10 Mei 2013].
Salomon S,A. 2006. British of Opthalmology. Pterygium. Available from
http://www.pterygium. htm//
Stephen, Waller G, Antony, Adams P. 2004. Pterigium, Duane’s Clinical
Ophthalmology, Chapter 35.
[Accessed 26 April 2013].
Vaughan ,Asbury., 2009.Oftalmologi Umum.Edisi ke -17. Jakarta:EGC.
Viso E, Gude F, Rodriguez-Ares MT. 2011. Prevalence of Pinguecula and Pterygium
in a general population in Spain. PubMed related articles. Available from:
http://www. ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc3178324.
Wlodarczyk, John et al. 2001. Clinical and Experimental Ophthalmology. Pterygium
in Australia: a cost of illness study. Available from:
[Accesed 20 Mei
2013].
Zaki A, Emerah S, Ramzy M, Labib H. 2011. Management of Recurrent Pterygia.
Journal of American Science 2011 2011; 7(1):230-234]. (ISSN: 1545-1003).
Available from
BAB 3
KERANGKA KONSEPDAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1
Kerangka Konsep Penelitian
3.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat ukur Cara
-Kel 5 :
Observasi Nominal PNS,
wiraswasta,
oleh pasien berdasarkan
pengklasifikasian
derajat pterigium
Rekam
medis
Observasi Interval -Derajat 1
-Derajat 2
-Derajat 3
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini
menggambarkan proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun
2012.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Penyakit Mata RSUD Dr. Pirngadi
Medan. Tempat penelitian ini dipilih karena RSUD Dr. Pirngadi Medan
merupakan RS rujukan dari berbagai sarana pelayanan kesehatan sehingga cukup
representatif untuk diajukan sebagai sumber data epidemiologi penyakit
khususnya di provinsi Sumatera Utara.
4.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan September hingga Oktober
2013.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah semua pasien yang
menderita pterigium di poliklinik penyakit mata RSUD Dr. Pirngadi Medan pada
tahun 2012.
Sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling,dimana seluruh
populasi digunakan berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dalam
penelitian.
Kriteria inklusi :
- Semua penderita pterigium pada salah satu atau kedua mata.
- Usia penderita > 20 tahun.
Kriteria ekslusi :
- Penderita pterigium disertai kelainan menyerupai
pterigium(pinguekula,pseudopterigium).
4.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
data sekunder yang diperoleh dari data rekam medis poliklinik penyakit mata di
RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.
4.5. Metode Pengolahan dan Analisa Data
Semua data yang telah dikumpulkan,dicatat dan kemudian diolah dengan
menggunakan program Statistic Package for Social Science (SPSS) versi 17.0,
sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui proporsi pterigium di RSUD
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. HASIL PENELITIAN
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di bagian rekam medis RSUD Dr.Pirngadi Medan.
RSUD Dr. Pirngadi Medan merupakan suatu unit pelayanan kesehatan milik
pemerintah Kota Medan yang berada di Jalan Prof. H.M Yamin SH No.47 Medan
Sumatera Utara. Rumah sakit ini didirikan pada tahun 1928 oleh pemerintah
Hindia Belanda dan selesai pada tahun 1930 dengan nama Rumah Sakit Kota.
RSUD Dr. Pirngadi Medan merupakan rumah sakit kelas B sesuai dengan
akreditasi Dep.Kes RI No. 00.06.3.5.738. tanggal 9 Februari 2007 dan juga
merupakan Rumah Sakit Pendidikan berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan
RI No. 433/Menkes/SK/IV/2007 yang mempunyai komitmen menciptakan
pelayanan yang excellent kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan.
5.1.2. Karakteristik Data Rekam Medis
Dari data rekam medis, didapatkan jumlah pasien yang mengalami
pterigium pada tahun 2012 adalah sebanyak 207 orang, dan jumlah seluruh pasien
yang melakukan kunjungan berobat ke RSUD Dr. Pirngadi Medan yang
mengalami penyakit mata selama periode tahun 2012 sebanyak 11.923 orang.
Dari 207 pasien pterigium, penelitian ini mengklasifikasikan pasien
berdasarkan beberapa variabel yang dapat diamati yakni distribusi frekuensi
pterigium berdasarkan usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan derajat pterigium
Tabel 5.1. Karakteristik Data Rekam Medis
Usia Laki-laki (N) Perempuan(N)
2. Berdasarkan Jenis Kelamin Pekerja Lepas 4(1,9)
Supir 4(1,9)
4. Berdasarkan Derajat Pterigium
Pterigium adalah penyakit mata yang dikarakteristikkan dengan lesi pada
limbus kornea. Lesi stem cell pada limbus kornea dapat menginduksi
konjungtivitis, trachoma dan radiasi ultraviolet mungkin berkontribusi pada
terjadinya pterigium. Radiasi UV diduga merupakan faktor yang berperan pada
patogenesis pterigium. Penelitian-penelitian case-control dan cross-sectional
sebelumnya berusaha untuk meneliti hubungan antara paparan sinar ultraviolet
dengan pterigium. Radiasi UV diduga menginduksi perubahan sel di limbus
medial kornea dan mengakibatkan peningkatan signifikan produksi interleukin
(IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF), dan metalloproteinase (Liang, 2010).
Penelitian setengah abad terakhir telah secara konsisten menunjukkan
bahwa negara-negara di dekat khatulistiwa memiliki angka kejadian pterigium
yang lebih tinggi ( Holland & Mannis, 2002). Dari penelitian Tan,dkk, didapati
prevalensi pterigium yang tinggi pada area tropis, daerah lintang rendah, dan
intensitas cahaya matahari yang tinggi. Indonesia, yang secara geografis dekat
dengan garis ekuator bahkan ada beberapa wilayah yang dilewati garis ekuator,
merupakan daerah tropis dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi, maka
angka kejadian pterigium di Indonesia termasuk Medan cukup tinggi
dibandingkan dengan wilayah lainnya yang tidak berada di dekat garis
Proporsi adalah perbandingan suatu kejadian tertentu dibandingkan dengan
jumlah semua populasi yang diteliti pada suatu tempat. Proporsi pterigium di
RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2012 adalah jumlah seluruh populasi pterigium
dibandingkan dengan jumlah seluruh populasi yang mengalami penyakit mata di
RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.
Jumlah seluruh pasien yang mengalami pterigium ada sebanyak 207 orang,
sedangkan jumlah seluruh pasien yang mengalami kelainan mata adalah sebanyak
11.953 orang, sehingga
proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2012
jumlah seluruh pasien pterigium
jumlah seluruh pasien dengan penyakit mata
207
11.923
= 1, 74 %.
Proporsi pterigium cukup sulit untuk dibandingkan pada berbagai
penelitian karena variasi dari prevalensi pterigium yang diamati pada karakteristik
populasi yang berbeda, daerah yang berbeda area kedekatannya dengan garis
ekuator, juga ketinggian daratannya. Paula et al melaporkan prevalensi pterigium
18,4% di daerah Brazil dan Lu et al melaporkan 17,9 % pada populasi Mongolia
di daerah dengan ketinggian 3450 m, sangat kontras dengan prevalensi di
Australia 2,8 % dan di China 2,9 % area yang secara geografis diduga tinggi
prevalensi pterigium karena lokasinya yang sangat dekat dengan garis
khatulistiwa (E.Viso, 2010).
x 100 %
x 100 % =
5.2.2. Distribusi Frekuensi Pterigium Berdasarkan Usia
Pterigium yang merupakan penyakit akibat pertumbuhan jaringan
fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju
kornea pada daerah intrapalpebra adalah penyakit mata yang bersifat degeneratif,
sehingga prevalensi penyakit ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia
(Ilyas, 2011).
Dalam penelitian ini didapatkan insidensi pterigium meningkat seiring
dengan peningkatan usia. Dari tabel 5.1., pasien yang paling banyak mengalami
pterigium adalah pasien berusia > 60 tahun yakni 70 orang ( 33,8 %) , sedangkan
pasien pterigium yang berusia 41-50 tahun adalah sebanyak 51 orang ( 24,6 %),
sama dengan frekuensi pada usia 51-60 tahun, dan pasien pterigium yang berusia
31-40 tahun ada sebanyak 27 orang (13,0 %), sedangkan pasien pterigium dengan
frekuensi paling sedikit adalah pasien yang berusia 21-30 tahun yakni 8 orang
(3,9%).
Dari banyak penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan
prevalensi pterigium meningkat seiring dengan peningkatan usia. Menurut Li Liu
et al (2013), dalam penelitiannya dengan systematic review dan meta analysis
yang didapatkan dari 20 laporan penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko
untuk pterigium, didapati peningkatan prevalensi pterigium dengan peningkatan
usia khususnya setelah umur 40 tahun ke atas. Menurut Fisher (2013) dalam
penelitian yang dilakukannya, juga didapatkan hasil yang sama dengan
penelitian-penelitian sebelumnya bahwa pasien pterigium meningkat seiring dengan
peningkatan usia. Penelitian lain yang dilakukan di Riau, Sumatera, menunjukkan
peningkatan prevalensi dari 2,9% pada usia 21-29 tahun ke 17,3 % pada populasi
5.1.3.3.Distribusi Frekuensi Pterigium Berdasarkan Jenis Kelamin
Dari tabel 5.1., distribusi frekuensi pterigium berdasarkan jenis kelamin
didapati bahwa pasien yang berjenis kelamin perempuan memiliki proporsi yang
lebih tinggi yakni 153 orang (73,9%) dibandingkan dengan pasien berjenis
kelamin laki-laki yang berjumlah 54 orang (26,1%). Kebanyakan
penelitian-penelitian sebelumnya memang menemukan bahwa prevalensi pterigium lebih
tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Hal ini dikaitkan dengan gaya
hidup yang berbeda antara kedua jenis kelamin. Laki-laki diduga melakukan
aktivitas di luar ruangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan,
sehingga meningkatkan risiko terhadap paparan sinar ultraviolet. Penelitian yang
dilakukan di daerah rural Beijing, didapati bahwa prevalensi pterigium lebih
tinggi pada laki-laki yakni 5,13 % dibandingkan dengan perempuan 3,17 % (
Liang et al, 2010). Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lu
et al pada tahun 2002, prevalensi pterigium lebih tinggi pada perempuan
dibandingkan dengan laki-laki. Hal berbeda didapatkan dari penelitian yang
dilakukan di Riau, didapati jumlah yang hampir sama antara laki-laki dan
perempuan yakni 612 pasien laki-laki dan 598 psien perempuan (Gazzard et al,
2002).
Pterigium yang merupakan penyakit degeneratif adalah penyakit
multifaktorial, namun etiologi pastinya sampai sekarang tidak diketahui dengan
jelas (American Academy of Opthalmology, 2005). Banyak penelitian telah
berusaha mengkorelasikan epidemiologi dan fitur geografis dari prevalensi
pterigium dengan berbagai faktor risiko. Hasilnya adalah faktor risiko untuk
perkembangan pterigium didominasi oleh lingkungan alam, seperti matahari dan
dan radiasi ultraviolet dan iritasi kronik dari partikel-partikel udara (Holland &
Mannis, 2002).
Faktor risiko untuk terjadinya pterigium dapat dikaitkan dengan jenis
lainnya, seperti tempat penelitian terhadap populasi, gaya hidup, paparan terhadap
sinar ultraviolet, dan hal-hal yang lain. (Holland & Mannis, 2002).
Dalam penelitian tentang apakah perbedaan jenis kelamin berpengaruh
terhadap prevalensi pterigium sebenarnya tidak pasti ( Lei Liu et all, 2013).
5.1.3.4. Distribusi Frekuensi Penderita Pterigium Berdasarkan Jenis Pekerjaan
Tabel 5.1., menunjukkan distribusi pasien berdasarkan jenis pekerjaannya.
Pasien yang paling banyak mengalami pterigium adalah pasien yang bekerja
sebagai PNS yakni sebanyak 68 orang (32,9 %),sementara pasien pterigium
yang bekerja sebagai pensiunan 48 orang (23,2 %), wiraswasta 34 orang (16,4
%), petani 12 orang (5,8%), pedagang 11 orang (5,3 %), ibu rumah tangga 26
orang ( 12,6 %), dan yang paling sedikit adalah pasien yang bekerja sebagai
pekerja lepas yaitu sebanyak 4 orang (1,9%), dan supir 4 orang (1,9 %). Dari
penelitian Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2007 di seluruh pelosok di provinsi
yang terdapat Indonesia, prevalensi pterigium tertinggi didapati pada petani
yakni 9,6 %, sementara pasien pterigium yang bekerja sebagai PNS 5,5%,
pasien tidak bekerja 7,8%, ibu rumah tangga 5,2 %, pedagang 5,3 %, nelayan
8,3 % dan buruh 6,9 %.
Penelitian – penelitian sebelumnya menyatakan bahwa faktor risiko utama
untuk pterigium adalah paparan terhadap sinar ultraviolet ( Donald, Sao-Bing&
Jessica , 2005).Terdapat asosiasi epidemiologi antara aktivitas di luar ruangan
dengan prevalensi pterigium. Frekuensi dan durasi aktivitas di luar ruangan
berpengaruh terhadap risiko terkena paparaan radiasi sinar ultraviolet. Semakin
sering dan semakin lama terpapar dengan sinar ultraviolet akan meningkatkan
risiko untuk mengalami pterigium (Li Liu et al, 2013).
Salah satu faktor yang mempengaruhi frekuensi dan durasi terhadap
aktivitas di luar ruangan adalah faktor jenis pekerjaan ( profesi) seseorang, dan
bukan faktor satu-satunya. Hal lain seperti mengendarai sepeda motor, berlibur ke
yang mempengaruhi paparan terhadap sinar matahari mempengaruhi prevalensi
pterigium ( Maheshawari, 2003).
Hasil dalam penelitian ini dipengaruhi beberapa hal, penelitian ini
dilakukan di satu tempat saja, penelitian ini juga dilakukan di RS sehingga
kemungkinan ada hubungan antara data yang diperoleh terhadap bagaimana
kesadaaran pasien penderita pterigium untuk datang berobat ke rumah sakit, dan
jenis-jenis pekerjaan dan atau ladang pekerjaan yang tersedia di kota Medan ( 93
% pasien bertempat tinggal di kota Medan).
5.1.3.5.Distribusi frekuensi penderita pterigium berdasarkan derajat
pterigium.
Pterigium adalah penyakit mata yang dapat dibagi dalam 4 derajat (derajat
1, derajat 2, derajat 3, derajat 4).
Berdasarkan tabel 5.1., distribusi frekuensi berdasarkan derajat pterigium
yang dialami pasien, pasien yang paling banyak adalah pasien yang mengalami
pterigium derajat dua yaitu sebanyak 148 orang ( 71,5 %), pterigium derajat 1
sebanyak 20 orang (9,7 %), derajat 3 sebanyak 28 orang (13,5%), dan sedikit
adalah pasien dengan pterigium derajat 4 sebanyak 11 orang (5,3 %). Penelitian
yang dilakukan di Riau dari 166 penderita pterigium didapati 89 orang pasien
dengan derajat 1, 42 orang dengan derajat dua, dan sebanyak 35 orang dengan
derajat 3, dan tidak ada pasien mengalami pterigium derajat 4 (Gazzard et al,
2002). Penelitian oleh Hasnawati tahun 2009 di daerah Langkat Kabupaten
Tapanuli Selatan, didapati dari total populasi 512 pasien yang menggalami
pterigium, ada 46,3 % pasien pterigium derajat 1, derajat 2 sebanyak 32,0 %,
derajat 3 sebanyak 18,7%, dan yang mengalami derajat 4 sebanyak 3,0 %.
Penelitian Liang dkk pada tahun 2010 di Beijing, China didapati 26,9 % pasien
derajat 1, 20,9 % derajat 2, yang tertinggi adalah pasien derajat 3 yakni sebanyak
Pterigium derajat 3 dan 4, biasanya didapatkan pada penduduk yang
tinggal di dekat pantai yang rata- rata mata pencahariannya sebagai nelayan Hal
ini mungkin dipengaruhi frekuensi dan lamanya pekerjaan tersebut mengharuskan
aktivitas di luar ruangan sehingga mendapatkan paparan sinar ultraviolet yang
tinggi, juga dipengaruhi faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi keinginan
pasien untuk berobat ke rumah sakit atau puskemas ketika pterigium masih dalam
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
1. Proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012 adalah 1,74 %.
2. Distribusi frekuensi pterigium berdasarkan usia, didapati pasien pterigium meningkat jumlahnya seiring dengan peningkatan usia. Pasien pterigium yang terbanyak adalah pasien yang berusia di atas 60 tahun (33,8%).
3. Distribusi frekuensi pterigium berdasarkan jenis kelamin, didapati pasien berjenis kelamin perempuan memiliki frekuensi pterigium yang lebih tinggi (73,9%) dibandingkan dengan pasien laki-laki (26,1%).
4. Distribusi frekuensi pterigium berdasarkan jenis pekerjaan, didapati pasien yang bekerja sebagai PNS memiliki frekuensi yang paling tinggi (32,9%), dan yang paling sedikit adalah pasien yang bekerja sebagai pekerja lepas dan supir ( 1,9%).
5. Distribusi frekuensi pterigium berdasarkan derajat pterigum, didapati pasien pterigium derajat 2 memiliki frekuensi yang paling tinggi (71,5%), dan yang paling sedikit adalah pasien pterigium derajat 4 (5,3%).
6.2 SARAN
1. Bagi pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti RSUD Dr. Pirngadi Medan, disarankan untuk meningkatkan kualitas pencatatan rekam medis, rekam medis sebaiknya lebih lengkap dalam melampirkan data-data pasien agar pihak peneliti selanjutnya dapat menggunakan data rekam medis secara optimal.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KERANGKA TEORI
2.1.1. Definisi dan Morfologi Pterigium
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif (Ilyas, 2011). Pterigium merupakan pertumbuhan
yang berbentuk segitiga yang terdiri dari epitel konjungtiva bulbi dan hipertropi
jaringan ikat subkonjungtiva yang letaknya di medial dan lateral pada fissura
palpebra dan menginvasi kornea(Donald,Sao-Bing&Jessica,2005). Gambarannya
seperti sayap klasik (sesuai dengan asal katanya dari bahasa Yunani pteron) yang
artinya sayap kecil (Holland & Mannis, 2002).
Pterigium dapat digolongkan sebagai pterigium primer atau pterigium
berulang, Lesi berulang biasanya merupakan lesi yang lebih agresif, yang secara
cepat terjadi beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah eksisi dari pterigium
primer(Donald, Sao-Bing&Jessica2005).
Pterigium primer umumnya berasal dari konjungtiva yang merupakan
perambahan berbentuk segitigadari jaringan konjungtiva bulbi menuju kornea dan
telah diyakini bahwa pterigium merupakan gangguan kronik dengan distribusi
geografis yang berbeda dan hubungannya dengan paparan sinar matahari (Holland
& Mannis, 2002).
2.1.2. Faktor Risiko
Banyak penelitian telah berusaha mengkorelasikan epidemiologi dan fitur
geografis dari prevalensi pterigium dengan berbagai faktor risiko pterigium. Dari
penelitian didapati bahwa faktor risiko untuk perkembangan pterigium didominasi
dari partikel-partikel udara.Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya
keterlibatan faktor herediter (Holland & Mannis, 2002).
1. Radiasi ultraviolet
Faktor risiko utama untuk perkembangan pterigium adalah paparan
terhadap sinar ultraviolet (UV). Penipisan lapisan ozon pada dekade terakhir ini,
memiliki efek pada peningkatan radiasi ultraviolet dan berikutnya memiliki efek
pada peningkatan insidensi penyakit yang berhubungan dengan sinar matahari
seperti pterigium, katarak dan keratopathy(Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
Cahaya matahari yang diabsorbsi oleh kornea dan konjungtiva memicu
kerusakan sel yang selanjutnya berproliferasi. Percobaan yang dilakukan pada
tikus telah menunjukkan bahwa radiasi ultraviolet menyebabkan hiperplasia sel
dan degenerasi membran Bowman (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
Albedo merupakan istilah unuk mencerminkan radiasi cahaya matahari
yang bertanggung jawab untuk sebagian besar cahaya yang melewati permukaan
kornea dan faktor utama yang menentukan terpaparnya UVB pada mata. Coroneo
telah menunjukkan efek albedo pada mata, yaitu bahwa sinar ultraviolet dari sisi
temporal difokuskan pada limbus nasalis tepat sebagai lokasi pterigium(Holland
& Mannis, 2002).
Tinggi rendahnya sinar matahari yang jatuh pada mata dipengaruhi oleh
faktor lokal dan faktor eksternal. Kelengkungan kornea, kedalaman bilik
anteriordan penonjolan okular merupakan faktor lokal, sementara faktor eksternal
meliputi lintang, medan reflektif seperti permukaan datar horizontal, paparan
terhadap pasir, serpihan beton, hamparan salju, waktu di luar ruangan,penggunaan
2. Faktor genetik
Beberapa kasus dilaporkan bahwa ada sekelompok anggota keluarga
mengalami pterigium. Dari penelitian case control menunjukkan apabila terdapat
riwayat keluarga dengan pterigium, maka kemungkinan pterigium akan
diturunkan secara autosomal dominan (Donald, Sao-Bing&Jessica,2005).
Walaupunpada kasus, faktor risiko utama yakni radiasi ultraviolet tidak bisa
dipisahkan. Disamping itu, onkogen p53 diduga sebagai marker yang mungkin
berperan dalam pterigium(Holland & Mannis, 2002).
3. Faktor Risiko Lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini mendukung teori baru patogenesis pterigium. Selain
itu, debu,kelembaban yang rendah,dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu,dry eye dan virus papiloma juga diduga dapat menyebabkan pterigium.
Wong juga menunjukkan adanya faktor angiogenesis pterigium dan penggunaan
farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi(Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
2.1.3. Patogenesis
Konjungtiva merupakan organ yang secara selektif
memberikanperlindungan atas bagian dalam sistem mata terhadap dunia luar.
Konjungtiva dalam tugasnya sebagai pelindung sering kali terpapar pada berbagai
jenis perusak, seperti kuman, debu, alergen, aerosol, gas toksik, dan berbagai jenis
radiasi (Wlodarczyk et al, 2001).
Konjungtiva yang selalu berhubungan dengan dunia luar adalah
konjungtiva bulbi.Adanya kontak denganUV,debu,kekeringan mengakibatkan
penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi ke kornea. Pterigium biasanya
Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal lalu ke
pungtum lakrimalis dan dialirkan ke meatus nasi inferior. Disamping kontak
langsung, nasal konjungtiva juga secara tidak langsung mendapat sinar UV akibat
pantulan dari hidung sehingga bagian nasal lebih sering terkena daripada temporal
pterigium (Zaki, 2011).
Menurut American Academy of Oplthalmology (2005), hingga saat ini
etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas.Tetapi penyakit ini lebih sering
pada orang yang tinggal di daerah yang panas.Oleh karena itu gambaran yang
paling dapat diterima tentang hal ini adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah
kering,inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya.
Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear
filmmenimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. .
Ultraviolet adalah mutagen untuktumor supresor gene p53pada limbal
basal stem cell.Tanpa apoptosis, transforming growth factor-betadiproduksi
dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel
bermigrasi dan membentuk angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi
kolagendan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Pada jaringan
subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik, proliferasi jaringan vaskular di bawah
epitelyang selanjutnya menembus dan merusak kornea. Kerusakan pada kornea
terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular,
yang sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis
dan kadang terjadi displasia (Khurana, 2007).
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva
ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan
pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat
sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra (Viso,
Gude & Rodriguez-Ares, 2011).
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan
phenotype, pertumbuhanlebih baik pada media mengandung serum dengan
konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan
fibroblast pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan.Pada fibroblast pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase,
dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan
luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan mengapa pterigium cenderung terus
bertumbuh, invasi ke stroma kornea, dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi
(Zaki, 2011).
2.1.4. Patofisiologi
Pterigium ini biasanya bilateral karena kedua mata mempunyai
kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan
kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal
kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior (Ilyas,
2011).
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih
banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena disamping
kontak langsung,bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultraviolet secara
tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal
konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian
temporal (Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata, 2007).
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotikkolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epitel. Histopatologi
bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat
untukjaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya karena
jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase (Fisher, 2013).
Histologi pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi
subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan pada pewarnaan
hematoksin dan eosin. Berbentuk seperti ulat atau degenerasi elastotik dengan
penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi.
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovaskular sangat khas. Epitel
diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan
displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet (Fisher, 2013).
Gambar 2.1 Histologi Pterigium dengan Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin
(Zaki, 2011)
2.1.5. Gejala Klinis
Pada fase awal, pterigiumtidak memberikan keluhan atau hanya
menimbulkan keluhan mata merah, iritatif, dan keluhan kosmetik (Ilyas, 2011). Pterigium memperlihatkan
gambaran yang sama seperti
pingekula. Bedanya, pada
pterigium lapisan Bowman
dirusak. Destruksi lapisan
Bowman (panah 1) oleh
jaringan fibrovaskular
menghasilkan sebuah luka di
kornea. Terdapat juga formasi
pannus (panah 2) dan inflamasi
Gangguan terjadi ketika pterigiummencapai daerah pupil atau menyebabkan
astigmatisma karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi
diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata (Stephen & Antony,
2004).
Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah.
Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterigium
yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun
pterigium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat tetapi
jarang simetris.Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus
sehingga menutupi sumbu penglihatan yang menyebabkan penglihatan kabur
(Zaki, 2011).
Secara klinis pterigiummuncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada
konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya
pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi
dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium(stoker's
line)(Kanski, 2003).
Pterigiumdibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head) dan cap.
Bagian segitiga yang meninggi pada pterigiumdengan dasarnya ke arah kantus
disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut
cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas
pinggir pterigium(Khurana, 2007).
A = Cap
B = Whitish
C = Badan
Gambar 2.2 Tiga Bagian Pterigium
(Gondhowiardjo,2006)
Pembagianpterigiumberdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe,
yaitu progresif dan regresif (Fisher,2013).
- Regresifpterigium: tipis, atrofi, sedikit pembuluh darah. Akhirnya membentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.
Menurut Fisher(2013), jika dari tampilan klinisnya, pterigium bisa
dibedakan menjadi dua kategori umum, yaitu:
1. Pasien dengan proliferasi minimal dan tampilan atrofik.
Pterigium pada grup ini tambah lebih datar dan tumbuh.lambat. Memiliki
insidensi kekambuhan yang lebih rendah setelah dieksisi.
2. Pasien dengan riwayat pertumbuhan cepat dan komponen fibrovaskular
yang meninggi secara signifikan.
Pterigium pada grup ini tumbuh lebih cepat dan memiliki tingkat
kekambuhan yang tinggi setelah dieksisi.
Sementara itu, menurut Kanski (2007), pembagian lain pterigiumyaitu:
1. Tipe I: meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi
dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering
asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan
pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Type II: menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Type III: mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi
yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis
subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan
Tipe I Tipe II Tipe III
Gambar 2.3 Tipe Pterigium
(James,Chew&Bron,2006)
Menurut Donald, Sao-Bing&Jessica (2005), berdasarkan terlihatnya
pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan slit lamp,
pterigium dibagi menjadi 3 yaitu:
1. T1 (atrofi) :pembuluh darah episklera jelas terlihat
2. T2 (intermediet) :pembuluh darah episklera sebagian terlihat
3. T3 (fleshy, opaque) :pembuluh darah tidak jelas terlihat
Dari beberapa jenis pembagian pterigium, yang lebih umum digunakan
adalah pembagian berdasarkan derajat pterigium. Pterigium juga dapat dibagi
menjadi 4 ( Fisher, 2013).
1. Derajat 1
Jika pterigiumbelum melewati limbus, hanya terbatas pada limbus
kornea.
2. Derajat 2
Jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea. Pterigium belum mencapai pupil.
Sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupilmata
dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3–
4mm)
4. Derajat 4
Pertumbuhan pterigiummelewati pupil sehingga
Pterigium derajat 1 Pterigium derajat 2
Pterigium derajat 3 Pterigium derajat 4
Gambar 2.4 Derajat Ptrerigium
(Ghondhowiardjo,2006)
2.1.6. Diagnosis
2.1.6.1. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak
merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan
berupa gangguan penglihatan. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal
atau alasan kosmetik.Pada kasus berat dapat terjadi diplopia, biasanya penderita
mengeluhkan adanya sesuatu tumbuh di kornea dan kuatir akan adanya
keganasan(Ilyas, 2011).
2.1.6.2. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi, pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskular dan datar (Zaki,
2011).
2.1.6.3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
pterigiumadalah topografi kornea, yang untuk menilai seberapa besar komplikasi
berupa astigmatisma irregular yang disebabkan oleh pterigium (Fisher, 2013).
2.1.7. Diagnosis Banding
Secara klinis pterigium sering didiagnosis banding dengan kelainan mata
yaitu pinguekula dan pseudopterigium (Perhimpuan Dokter Spesialis Mata
Indonesia, 2010).
Pinguekula adalah kelainan mata yang terdapat pada kunjungtiva bulbi,
pada bagian nasal maupun temporal, di daerah celah kelopak mata (James, Chew,
Bron, 2006). Pinguekula terlihat sebagai penonjolan berwarna putih kuning
keabu-abuan, berupa hipertrofi yaitu penebalan selaput lendir. Bentuknya kecil,
meninggi dan kadang–kadang mengalami inflamasi. Secara histopatologik pada
puncak penonjolan ini terdapat degenerasi hialin. Pinguekula tidak menimbulkan
keluhan, kecuali apabila menunjukkan peradangan sebagai akibat iritasi. Dalam
keadaan iritasi, maka dapat disertai seperti ada benda asing (Perhimpuan Dokter
Spesialis Mata Indonesia, 2010).
Menurut Vaughan (2000), prevalensi insiden meningkat dengan
meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan
angka kejadian sama pada laki–laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet
bukan merupakan faktor risiko penyebab pinguekula.
Pseudopterigium mirip dengan pterigium, dimana jaringan parut
fibrovaskular timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea (Laszuarni, 2009).
Dapat terjadi dalam proses penyembuhan suatu ulkus kornea atau kerusakan
permukaan kornea, konjungtiva menutupi luka kornea tersebut, sehingga terlihat
pseudopterigium. Pseudopterigium merupakan kelainan terdapatnya perlengketan
konjungtiva dengan kornea yang cacat (Ilyas, 2011).
Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah:
- puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedangkan
pseudopterigium tidak.
- pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea
sedangkan pterigium tidak.
Selain kedua hal di atas kadang-kadang dapat dibedakan dengan melihat
pembuluh darah konjungtiva yang lebih menonjol pada pterigium daripada
pseudopterigium. Pada pseudopterigium pembuluh darah konjungtiva sesuai
dengan konjungtiva bulbi normal. Pada pseudopterigium dapat dimasukkan sonde
di bawahnya, sedangkan pada pterigium tidak. Pterigium bersifat progresif
sedangkan pseudopterigium tidak. Pseudopterigium tidak memerlukan
pengobatan, serta pembedahan kecuali sangat menganggun visus, atau alasan
kosmetik (Perhimpuan Dokter Spesialis Mata Indonesia, 2010).
C
Gambar 2.5 Diagnosa Banding Pterigium (Ilyas, 2011)
Diagnosis banding pterigium sangat luas. Massa pada limbus seperti
papilloma, squamous sel karsinoma, melanoma konjungtiva dan pagetoid atau sebaceous karsinoma. Lesi yang jarang seperti kista epitel, pyogenic granuloma, keratoacanthoma, adenoma, fibroma, fibrochondroma, fibrous histiocytoma, angioma, lyphaangioma, Kaposi sarcoma, alveolar endothelioma, neurolommoma, maligna schwanoma, mycosis fungioides, juvenile xantthagranuloma, leukemia, episclera osseous christoma, ectopic lacrimal tissue, lipoma, amyloid, blue nevus, nevus dan limbal dermoid. Namun lesi
tersebut mudah dibedakan dengan pterigium (Stephen & Antony, 2004).
2.1.8. Penatalaksanaan
2.1.8.1. Konservatif
Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7
hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada
penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea
(Ilyas, 2011).
2.1.8.2. Bedah
Pada pterigium derajat 3 dan 4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium, bagian konjungtiva bekas Keterangan:
A : Pseudopterigium
B : Pinguekula
pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari
konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan
utama pengangkatan pterigium adalah memberikan hasil yang baik secara
kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan
yang rendah.
Penggunaan mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium
yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat
(Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata, 2007).
2.1.8.3.Indikasi Operasi
- Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus.
- Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil.
- Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatisma.
- Kosmetik, terutama untuk penderita wanita (Bag. SMF Ilmu Penyakit
Mata, 2007).
2.1.8.4. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,di
buktikan dengan pertumbuhan fibrovaskular di limbus ke kornea. Banyak
teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal
karenatingkat kekambuhan yang bervariasi. Terlepas dari teknik yang digunakan,
Banyak dokter mata lebihmemilih untuk memisahkan ujung pterigium dari
kornea yang mendasarinya.Keuntungantermasuk epithelisasi yang lebih cepat,
jaringan parutyang minimal dan halus dari permukaan kornea (American
Academy of Oplthalmology, 2005).
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, dan memungkinkansklera
untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24% dan 89%, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva
bulbi superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah dieksisi pterigium
tersebut. Komplikasi jarang terjadi dan untuk hasil yang optimal ditekankan
pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva d,
manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft tersebut. Lawrence W.
Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar
untuk eksisi pterigium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah
dengan teknik ini (Holland & Mannis, 2002).
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium.Meskipun
keuntungkan dari penggunaan membranamnion ini belum teridentifikasi,
sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa membran amnion merupakan
faktor penting untuk menghambat peradangan, fibrosis dan epithelialisai(Donald,
Sao-Bing&Jessica, 2005). Membran amnion biasanya ditempatkan di atas sklera,
dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa
studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu
cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral di bawahnya. Lem fibrin
Namun berdasarkan penelitian, tingkat kekambuhan teknik sangat
beragam, diantaranya 2,6% dan 10,7% untuk pterigium primer dan setinggi 37,5%
pterigium berulang (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
4. Simple Closure
Pinggir dari konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya
defek konjungtiva sangat kecil).
5. Sliding Flap
Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk membentuk flap
konjungtiva untuk menutup luka.
6. Rotational Flap
Insisi bentuk U dibuat di sekitar luka untuk membentuk lidah dari
konjungtiva yang diputar untuk menutup luka.
7. Lamellar Keratoplasty
Excimer laser fototerapi keratektomi dan yang terbaru dengan
mengunakan gabungan steroid angiostatik.
2.1.8.5. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, karena itu terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterigium. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan telah berkurang
dengan penambahan terapi ini, tetapi ada komplikasi dari terapi tambahan ini
(Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan
karena kemampuannya untuk menghambat fibroblast. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditemukan .
Ada dua bentuk MMC yang saat ini digunakan,yaitu aplikasi intraoperatif MMC
langsung ke sklera setelah eksisi pterigium, dan penggunaan obat tetes
mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan
penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas (Imelda,
Sehingga, untuk mencegah kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
pemberian:
- Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5
hari,bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6 minggu.
- Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
2.1.9. Komplikasi
Menurut Fisher (2013), komplikasi pterigium antara lain :
- Distrorsi dan penglihatan sentral berkurang
- Mata merah
- Iritasi
- Scar (parut) kronis pada konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum eksisi,scarpada otot rectus medial yang dapat
menyebabkan diplopia
Komplikasi setelah eksisi pterigium adalah:
- Infeksi,reaksi bahan jahitan (benang),diplopia,scar kornea,konjungtiva
graft longgar,dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata,
vitreous hemmorage atau retinal detachment.
- Penggunaan mytomicin C setelah operasi dapat menyebabkan ektasis pada
sklera dan kornea.
Komplikasi jangka panjang setelah operasipterigium, yaitu:
- Penipisan kornea atau sklera dapat terjadi bahkan puluhan tahun setelah
operasi. Penatalaksanaan kasus ini sangat sulit.
- Beberapa kasus ,penggunaan MMC topikal sebagai terapi tambahan dan
setelah operasi pterigium menyebabkan kelainan seperti mencairnya sklera
dan atau kornea
Komplikasi yang paling umum dari pterigium adalah kekambuhan setelah
operasi. Eksisi bedah sederhana memiliki tingkat kekambuhan tinggi sekitar
50-80%. Tingkat kekambuhan telah dikurangi menjadi sekitar 5-15% dengan
penggunaan autografts konjungtiva atau lumbal atau transplantasi membran pada
saat eksisi.
Meskipun jarang,degenerasi ganas jaringan epitel yang melapisi pterigium
dapat terjadi.
2.1.10. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik setelah dieksisi adalah baik (Zaki, 2011). Rasa
tidak nyaman pada hari pertama setelah operasi dapat ditoleransi,kebanyakan
pasien setelah 48 jam setelah operasi dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan
pterigium berulang dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva
autograft atau transplantasi membran amnion. Sebaiknya dilakukan penyinaran
dengan strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila residif maka dapat
Pada beberapa kasus pterigium dapat berkembang menjadi degenerasi ke arah
keganasan jaringan epitel (Salomon,2006).
2.1.11. Pencegahan
Pasien dengan risiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga
mengalami pterigium atau penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah
seperti petani yang banyak kontak dengan debu dan UV disarankan memakai topi
yang memiliki pinggiran, dan menggunakan kacamata sunblock dan mengurangi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mata adalah organ fotosensitif yang kompleks dan berkembang lanjut
yang memungkinkan analisis cermat tentang bentuk, intensitas, dan warna yang
dipantulkan objek. Mata terletak di suatu struktur tengkorak yang melindunginya,
yaitu orbita (Vaughan & Asbury, 2010).
Banyak sekali penyakit yang bisa menyerang mata, walaupun mata
berukuran sangat kecil dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain. Penyakit
pada mata dapat sangat mengganggu penderitanya bahkan dapat menyebabkan
hilangnya penglihatan jika tidak ditangani dengan serius, misalnya katarak,
konjungtivitis, pterigium, dan penyakit mata lainnya (Wijaya, 2012).
Pterigium adalah salah satu penyakit mata yang kurang dikenal oleh
masyarakat awam. Dari asal katanya, pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu
pteron yang artinya wing atau sayap (Admin, 2008). Pterigium adalah
pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan
invasive, berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah
kornea. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea (Ilyas, 2011). dan
berpotensi menyebabkan kebutaan pada pertumbuhan lebih lanjut. (Holland &
Mannis, 2002).
Asosiasi geografis antara kejadian pterigium dan sinar matahari pertama
kali diusulkan oleh Talbot pada tahun 1948 dan hubungannya dengan keterlibatan
komponen radiasi ultraviolet pada tahun 1961. Paparan berlebihan terhadap sinar
ultraviolet, baik UVA ataupun UVB berperan penting dalam hal ini.Kemudian,
Cameron pada tahun 1965 meneliti distribusi pterigiumdi dunia menemukan
bahwa negara-negara yang panas, kering, danberdebu memiliki prevalensi
Dari hasil penelitian case controlyang dilakukan di Australia, didapati
bahwa pterigium dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko. Ditemukan bahwa
pasien pterigium 44 x lebih banyak pada pasien yang bermukim di daerah tropis
(< dari lintang 30°),11 x lebih banyak pada pekerja yang berhubungan dengan
pasir, 9 x lebih banyak pada pasien dengan riwayat tanpa memakai sun glasses
dan 2 x lebih banyak pada pasien tidak memakai topi (Stephen & Antony, 2004).
Sementara itu, dalam penelitiannya, Punjabi dkk menemukan bahwa
sejumlah pekerja di India yang berhubungan dengan debu yang bekerja didalam
rumah mempunyai prevalensi pterigium yang lebih tinggi daripada pekerja di luar
rumah yang terpapar ultraviolet lebih banyak (Gazzard et al, 2002). Menurut
Augustiana (2011), paparan sinar matahari dan sumber iritan seperti debu
merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadinya pterigium.
Distribusi frekuensi pterigium juga dipengaruhi usia. Pterigium jarang
ditemukan pada pasien berusia di bawah 20 tahun. Pterigium umumnya dialami
setelah usia 20 tahun, dan pasien di atas 40 tahun memiliki prevalensi pterigium
tertinggi (Fisher, 2013).
Salah satu yang paling menyolok dari pterigium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi banyak
penelitian selama setengah abad terakhir telah secara konsisten menunjukkan
bahwa negara-negara di dekat khatulistiwa, memiliki angka kejadian pterigium
yang lebih tinggi(Holland & Mannis, 2002).
Wilayah Indonesia, secara geografis dekat dengan garis khatulistiwa
bahkan ada beberapa wilayah di Indonesia berada dilewati garis khatulistiwa.
Selain itu, Indonesia adalah negara beriklim tropis dan letak Indonesia sendiri
yang terletak pada lintang rendah dengan paparan sinar ultraviolet yang tinggi.
Hal ini menyebabkan angka kejadian pterigium di Indonesia cukup tinggi
Berdasarkan Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
dalam Erry, Mulyani & Susilowati (2011), kejadian pterigium di Indonesia cukup
tinggi yakni 26. 989 kasus pterigium pada kedua mata dan 16. 045 pasien
mengalami pterigium pada salah satu matanya. Di Provinsi Sumatera Utara,
pasien yang mengalami pterigium pada kedua mata sebanyak 372 orang dan
pterigium pada salah satu mata sebanyak 204 orang.
Tingginya frekuensi pterigium di wilayah Indonesia baik pterigium primer
maupun pterigium berulang dan pertumbuhan yang agresif pada pterigium
berulang merupakan masalah klinis yang menjadi tantangan. Pterigium
menimbulkan keluhan kosmetik bahkan berpotensi mengganggu penglihatan pada
stadium lanjut yang memerlukan tindakan operasi untuk rehabilitasi penglihatan.
Pengetahuan tentang faktor risiko, penyebab dan distribusi penyakit, dapat
membantu dalam menyusun strategi pencegahan(Holland & Mannis, 2002).
Atas dasar latar belakang ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang pterigium, yang dalam hal ini peneliti melakukan penelitian tentang
proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012. Penelitian
mengenai pterigium merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan di RSUD
Dr. Pirngadi Medan.
1.2. Rumusan Masalah
Berapa proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahuiproporsipterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pterigium berdasarkan
usia di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.
b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pterigium berdasarkan
jenis kelamin di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.
c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pterigium berdasarkan
jenis pekerjaan di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.
d. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pterigium berdasarkan
derajat pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.
1.4. Manfaat Penelitian
a. Bagi RSUD Dr. Pirngadi Medan, data atau informasi hasil
penelitian ini dapat menjadi masukan tentang proporsi terjadinya
pterigium dan jumlah pasien pterigium pada tahun 2012.
b. Bagi pelayan kesehatan, data atau informasi hasil penelitian ini
dapat menjadi masukan dalam merencanakan tindakan dan upaya
pencegahan dalam menangani kasus pterigium.
c. Bagi mahasiswa, data atau informasi hasil penelitian dapat
digunakan sebagai sarana pembelajaran atau sebagai referensi.
d. Bagi peneliti, penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman dan
menambah wawasan serta kemampuan peneliti dalam melakukan
ABSTRAK
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pterigium dapat disebabkan oleh ultraviolet (UV) baik
UVA ataupun UVB, debu, atau faktor lainnya. Gejala yang ditimbulkan adalah
mata sering berair, tampak kemerahan, merasa seperti ada benda asing, dan dapat
timbul atigmatisma yang mengganggu penglihatan. Insiden pterigium tinggi pada
daerah dekat garis khatulistiwa yang beriklim tropis dan panas. Indonesia sendiri
terletak di dekat garis khatulistiwa sehinggga mempunyai faktor risiko yang tinggi
untuk terjadinya pterigium.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan menggunakan total
sampling, dimana seluruh populasi digunakan berdasarkan kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui proporsi pterigium di
RSUD Dr. Pirngadi Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
data sekunder dari data rekam medis RSUD Dr. Pirngadi Medan. Kemudian
analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 17,0.
Hasil penelitian didapatkan proporsi pterigum di RSUD Dr. Pirngadi Medan
sebesar 1,74%.
ABSTRACT
Pterygium is a growth fibrovaskular conjunctiva which is degenerative and invasive . Pterygium can be caused by ultraviolet ( UV ) either UVA or UVB rays , dust , or other factors . Symptoms are often watery eyes , looks red , feels like there is a foreign object , and can arise atigmatisma that interfere with vision.The incidence of pterygium high in areas near the equator and tropical heat. Indonesia is located near the equator, so it has high risk factor for the occurrence of pterygium.
This research is descriptive research and uses total sampling , where the entire population is used based on the criteria for inclusion and exclusion criteria . The purpose of this study was to determine the proportion of pterygium in RSUD Dr.Pirngadi Medan . The data was collected using secondary data medical records of RSUD Dr. Pirngadi Medan. Then the data analysis were performed using SPSS version 17.0
The results showed the proportion pterigum in RSUD Dr.Pirngadi Medan is 1,74%.
PROPORSI PTERIGIUM DI RSUD Dr.
PIRNGADI MEDAN TAHUN 2012
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh :
MARISA SINAMBELA
NIM: 100100192
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
PROPORSI PTERIGIUM DI RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN TAHUN 2012
Nama : Marisa Sinambela NIM : 100100192
________________________________________________________
Pembimbing Penguji I
dr. Laszuarni, Sp.M dr. Ali Nafiah Nst, Sp.JP
NIP. 140349520 NIP.198104142006041002
Penguji II
dr. Hafaz Zakky Abdilah,M.Ked(Ped), Sp.A NIP. 19831023201001019
Medan, Januari 2014
Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pterigium dapat disebabkan oleh ultraviolet (UV) baik
UVA ataupun UVB, debu, atau faktor lainnya. Gejala yang ditimbulkan adalah
mata sering berair, tampak kemerahan, merasa seperti ada benda asing, dan dapat
timbul atigmatisma yang mengganggu penglihatan. Insiden pterigium tinggi pada
daerah dekat garis khatulistiwa yang beriklim tropis dan panas. Indonesia sendiri
terletak di dekat garis khatulistiwa sehinggga mempunyai faktor risiko yang tinggi
untuk terjadinya pterigium.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan menggunakan total
sampling, dimana seluruh populasi digunakan berdasarkan kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui proporsi pterigium di
RSUD Dr. Pirngadi Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
data sekunder dari data rekam medis RSUD Dr. Pirngadi Medan. Kemudian
analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 17,0.
Hasil penelitian didapatkan proporsi pterigum di RSUD Dr. Pirngadi Medan
sebesar 1,74%.
ABSTRACT
Pterygium is a growth fibrovaskular conjunctiva which is degenerative and invasive . Pterygium can be caused by ultraviolet ( UV ) either UVA or UVB rays , dust , or other factors . Symptoms are often watery eyes , looks red , feels like there is a foreign object , and can arise atigmatisma that interfere with vision.The incidence of pterygium high in areas near the equator and tropical heat. Indonesia is located near the equator, so it has high risk factor for the occurrence of pterygium.
This research is descriptive research and uses total sampling , where the entire population is used based on the criteria for inclusion and exclusion criteria . The purpose of this study was to determine the proportion of pterygium in RSUD Dr.Pirngadi Medan . The data was collected using secondary data medical records of RSUD Dr. Pirngadi Medan. Then the data analysis were performed using SPSS version 17.0
The results showed the proportion pterigum in RSUD Dr.Pirngadi Medan is 1,74%.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. KTI ini
disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di program
Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan KTI
ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD (KGEH) selaku dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
2. Prof. dr. Guslihan Dasa Tjipta, Sp. A(K) selaku pembantu dekan I atas ijin
penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. dr.Laszuarni, Sp.M selaku dosen pembimbing yang telah membimbing
penulis dalam penyusunan KTI ini,
4. Seluruh staf pengajar Departemen Kedokteran Komunitas Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan materi
penelitian dan statistika kedokteran sehingga penulis memiliki pengetahuan
untuk penyusunan KTI ini,
5. Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan moril dan materi,
6. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Kedokteran stambuk 2010 Grace Duma,
Jane, Fitriyani, Maria, Johannes, Carina yang telah memberikan saran, kritik
dan dukungan moril.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih memiliki kekurangan.
Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan ke depannya.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga KTI ini dapat
bermanfaat bagi kita.
Medan, Desember 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Persetujuan ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERANGKA TEORI ... 5
2.1.1 Definisi dan Morfologi Pterigium ... 5
2.1.2 Faktor Risiko ... 5
2.1.4 Patofisiologi ... 9
2.1.5 Gejala Klinis ... 11
2.1.6 Diagnosis ... 16
2.1.7 Diagnosis Banding ... 17
2.1.8 Penatalaksanaan ... 19
2.1.9 Komplikasi ... 23
2.1.10 Prognosis ... 25
2.1.11 Pencegahan ... 25
BAB 3KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 26
3.2 Definisi Operasional ... 26
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ... 28
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 28
4.3 Populasi dan Sampel ... 28
4.4 Metode Pengumpulan Data ... 29
4.5 Metode Analisis Data ... 29
BAB 5HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 30
5.1.2. Karakteristik Data Rekam Medis ... 30
5.2. Pembahasan ... 32
5.2.1. Proporsi Pterigium... 33
5.2.2. Distribusi Frekuensi Pterigium Berdasarkan Usia ... 35
5.2.3.Distribusi Frekuensi Pterigium Berdasarkan Jenis Kelamin 36 5.2.4. Distribusi Frekuensi Penderita Pterigium Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 37
5.2.5. Distribusi frekuensi penderita pterigium berdasarkan derajat pterigium ... 39
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 40
6.2 Saran ... 40
DAFTAR PUSTAKA ... 41
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul
Halaman
2.1 Histologi Pterigium dengan Pewarnaan Hematoksilin
dan Eosin ... 11
2.2 Tiga Bagian Pterigium ... 13
2.3 Tipe Pterigium ... 15
2.4 Derajat Ptrerigium ... 16
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Riwayat Hidup
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian
Lampiran 3 Surat Selesai Penelitian
Lampiran 4 Ethical Clearence