BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KERANGKA TEORI
2.1.1. Definisi dan Morfologi Pterigium
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif (Ilyas, 2011). Pterigium merupakan pertumbuhan yang berbentuk segitiga yang terdiri dari epitel konjungtiva bulbi dan hipertropi jaringan ikat subkonjungtiva yang letaknya di medial dan lateral pada fissura palpebra dan menginvasi kornea(Donald,Sao-Bing&Jessica,2005). Gambarannya seperti sayap klasik (sesuai dengan asal katanya dari bahasa Yunani pteron) yang artinya sayap kecil (Holland & Mannis, 2002).
Pterigium dapat digolongkan sebagai pterigium primer atau pterigium berulang, Lesi berulang biasanya merupakan lesi yang lebih agresif, yang secara cepat terjadi beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah eksisi dari pterigium primer(Donald, Sao-Bing&Jessica2005).
Pterigium primer umumnya berasal dari konjungtiva yang merupakan perambahan berbentuk segitigadari jaringan konjungtiva bulbi menuju kornea dan telah diyakini bahwa pterigium merupakan gangguan kronik dengan distribusi geografis yang berbeda dan hubungannya dengan paparan sinar matahari (Holland & Mannis, 2002).
2.1.2. Faktor Risiko
dari partikel-partikel udara.Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya keterlibatan faktor herediter (Holland & Mannis, 2002).
1. Radiasi ultraviolet
Faktor risiko utama untuk perkembangan pterigium adalah paparan terhadap sinar ultraviolet (UV). Penipisan lapisan ozon pada dekade terakhir ini, memiliki efek pada peningkatan radiasi ultraviolet dan berikutnya memiliki efek pada peningkatan insidensi penyakit yang berhubungan dengan sinar matahari seperti pterigium, katarak dan keratopathy(Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
Cahaya matahari yang diabsorbsi oleh kornea dan konjungtiva memicu kerusakan sel yang selanjutnya berproliferasi. Percobaan yang dilakukan pada tikus telah menunjukkan bahwa radiasi ultraviolet menyebabkan hiperplasia sel dan degenerasi membran Bowman (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
Albedo merupakan istilah unuk mencerminkan radiasi cahaya matahari yang bertanggung jawab untuk sebagian besar cahaya yang melewati permukaan kornea dan faktor utama yang menentukan terpaparnya UVB pada mata. Coroneo telah menunjukkan efek albedo pada mata, yaitu bahwa sinar ultraviolet dari sisi temporal difokuskan pada limbus nasalis tepat sebagai lokasi pterigium(Holland & Mannis, 2002).
Tinggi rendahnya sinar matahari yang jatuh pada mata dipengaruhi oleh faktor lokal dan faktor eksternal. Kelengkungan kornea, kedalaman bilik anteriordan penonjolan okular merupakan faktor lokal, sementara faktor eksternal
2. Faktor genetik
Beberapa kasus dilaporkan bahwa ada sekelompok anggota keluarga mengalami pterigium. Dari penelitian case control menunjukkan apabila terdapat riwayat keluarga dengan pterigium, maka kemungkinan pterigium akan diturunkan secara autosomal dominan (Donald, Sao-Bing&Jessica,2005). Walaupunpada kasus, faktor risiko utama yakni radiasi ultraviolet tidak bisa dipisahkan. Disamping itu, onkogen p53 diduga sebagai marker yang mungkin
berperan dalam pterigium(Holland & Mannis, 2002).
3. Faktor Risiko Lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini mendukung teori baru patogenesis pterigium. Selain itu, debu,kelembaban yang rendah,dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu,dry eye dan virus papiloma juga diduga dapat menyebabkan pterigium. Wong juga menunjukkan adanya faktor angiogenesis pterigium dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi(Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
2.1.3. Patogenesis
Konjungtiva merupakan organ yang secara selektif memberikanperlindungan atas bagian dalam sistem mata terhadap dunia luar. Konjungtiva dalam tugasnya sebagai pelindung sering kali terpapar pada berbagai
jenis perusak, seperti kuman, debu, alergen, aerosol, gas toksik, dan berbagai jenis radiasi (Wlodarczyk et al, 2001).
Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal lalu ke pungtum lakrimalis dan dialirkan ke meatus nasi inferior. Disamping kontak langsung, nasal konjungtiva juga secara tidak langsung mendapat sinar UV akibat pantulan dari hidung sehingga bagian nasal lebih sering terkena daripada temporal pterigium (Zaki, 2011).
Menurut American Academy of Oplthalmology (2005), hingga saat ini etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas.Tetapi penyakit ini lebih sering
pada orang yang tinggal di daerah yang panas.Oleh karena itu gambaran yang paling dapat diterima tentang hal ini adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear
filmmenimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. .
Ultraviolet adalah mutagen untuktumor supresor gene p53pada limbal basal stem cell.Tanpa apoptosis, transforming growth factor-betadiproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan membentuk angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagendan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik, proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelyang selanjutnya menembus dan merusak kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, yang sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia (Khurana, 2007).
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan
manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra (Viso, Gude & Rodriguez-Ares, 2011).
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan phenotype, pertumbuhanlebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan.Pada fibroblast pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan mengapa pterigium cenderung terus bertumbuh, invasi ke stroma kornea, dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi (Zaki, 2011).
2.1.4. Patofisiologi
Pterigium ini biasanya bilateral karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior (Ilyas, 2011).
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena disamping kontak langsung,bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultraviolet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal (Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata, 2007).
Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotikkolagen dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epitel. Histopatologi
bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untukjaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase (Fisher, 2013).
Histologi pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan pada pewarnaan hematoksin dan eosin. Berbentuk seperti ulat atau degenerasi elastotik dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi.
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovaskular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet (Fisher, 2013).
Gambar 2.1 Histologi Pterigium dengan Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (Zaki, 2011)
2.1.5. Gejala Klinis
Pada fase awal, pterigiumtidak memberikan keluhan atau hanya menimbulkan keluhan mata merah, iritatif, dan keluhan kosmetik (Ilyas, 2011).
Pterigium memperlihatkan gambaran yang sama seperti pingekula. Bedanya, pada pterigium lapisan Bowman dirusak. Destruksi lapisan Bowman (panah 1) oleh
jaringan fibrovaskular menghasilkan sebuah luka di
Gangguan terjadi ketika pterigiummencapai daerah pupil atau menyebabkan astigmatisma karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata (Stephen & Antony, 2004).
Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterigium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun
pterigium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat tetapi jarang simetris.Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan yang menyebabkan penglihatan kabur (Zaki, 2011).
Secara klinis pterigiummuncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium(stoker's
line)(Kanski, 2003).
Pterigiumdibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head) dan cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterigiumdengan dasarnya ke arah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut
cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas
pinggir pterigium(Khurana, 2007).
A = Cap
B = Whitish
C = Badan
Gambar 2.2 Tiga Bagian Pterigium (Gondhowiardjo,2006)
Pembagianpterigiumberdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu progresif dan regresif (Fisher,2013).
- Regresifpterigium: tipis, atrofi, sedikit pembuluh darah. Akhirnya membentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.
Menurut Fisher(2013), jika dari tampilan klinisnya, pterigium bisa dibedakan menjadi dua kategori umum, yaitu:
1. Pasien dengan proliferasi minimal dan tampilan atrofik.
Pterigium pada grup ini tambah lebih datar dan tumbuh.lambat. Memiliki insidensi kekambuhan yang lebih rendah setelah dieksisi.
2. Pasien dengan riwayat pertumbuhan cepat dan komponen fibrovaskular yang meninggi secara signifikan.
Pterigium pada grup ini tumbuh lebih cepat dan memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi setelah dieksisi.
Sementara itu, menurut Kanski (2007), pembagian lain pterigiumyaitu:
1. Tipe I: meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
2. Type II: menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
Tipe I Tipe II Tipe III
Gambar 2.3 Tipe Pterigium (James,Chew&Bron,2006)
Menurut Donald, Sao-Bing&Jessica (2005), berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan slit lamp, pterigium dibagi menjadi 3 yaitu:
1. T1 (atrofi) :pembuluh darah episklera jelas terlihat
2. T2 (intermediet) :pembuluh darah episklera sebagian terlihat
3. T3 (fleshy, opaque) :pembuluh darah tidak jelas terlihat
Dari beberapa jenis pembagian pterigium, yang lebih umum digunakan adalah pembagian berdasarkan derajat pterigium. Pterigium juga dapat dibagi menjadi 4 ( Fisher, 2013).
1. Derajat 1
Jika pterigiumbelum melewati limbus, hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2
Jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. Pterigium belum mencapai pupil.
Sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupilmata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3– 4mm)
4. Derajat 4
Pertumbuhan pterigiummelewati pupil sehingga
Pterigium derajat 1 Pterigium derajat 2
Pterigium derajat 3 Pterigium derajat 4
Gambar 2.4 Derajat Ptrerigium (Ghondhowiardjo,2006) 2.1.6. Diagnosis
2.1.6.1. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan berupa gangguan penglihatan. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal atau alasan kosmetik.Pada kasus berat dapat terjadi diplopia, biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu tumbuh di kornea dan kuatir akan adanya keganasan(Ilyas, 2011).
2.1.6.2. Pemeriksaan fisik
vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskular dan datar (Zaki, 2011).
2.1.6.3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis pterigiumadalah topografi kornea, yang untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisma irregular yang disebabkan oleh pterigium (Fisher, 2013).
2.1.7. Diagnosis Banding
Secara klinis pterigium sering didiagnosis banding dengan kelainan mata yaitu pinguekula dan pseudopterigium (Perhimpuan Dokter Spesialis Mata Indonesia, 2010).
Pinguekula adalah kelainan mata yang terdapat pada kunjungtiva bulbi, pada bagian nasal maupun temporal, di daerah celah kelopak mata (James, Chew, Bron, 2006). Pinguekula terlihat sebagai penonjolan berwarna putih kuning keabu-abuan, berupa hipertrofi yaitu penebalan selaput lendir. Bentuknya kecil, meninggi dan kadang–kadang mengalami inflamasi. Secara histopatologik pada puncak penonjolan ini terdapat degenerasi hialin. Pinguekula tidak menimbulkan keluhan, kecuali apabila menunjukkan peradangan sebagai akibat iritasi. Dalam keadaan iritasi, maka dapat disertai seperti ada benda asing (Perhimpuan Dokter Spesialis Mata Indonesia, 2010).
Menurut Vaughan (2000), prevalensi insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki–laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan merupakan faktor risiko penyebab pinguekula.
pseudopterigium. Pseudopterigium merupakan kelainan terdapatnya perlengketan konjungtiva dengan kornea yang cacat (Ilyas, 2011).
Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah:
- puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedangkan pseudopterigium tidak.
- pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea sedangkan pterigium tidak.
Selain kedua hal di atas kadang-kadang dapat dibedakan dengan melihat pembuluh darah konjungtiva yang lebih menonjol pada pterigium daripada pseudopterigium. Pada pseudopterigium pembuluh darah konjungtiva sesuai dengan konjungtiva bulbi normal. Pada pseudopterigium dapat dimasukkan sonde di bawahnya, sedangkan pada pterigium tidak. Pterigium bersifat progresif sedangkan pseudopterigium tidak. Pseudopterigium tidak memerlukan pengobatan, serta pembedahan kecuali sangat menganggun visus, atau alasan kosmetik (Perhimpuan Dokter Spesialis Mata Indonesia, 2010).
C
Gambar 2.5 Diagnosa Banding Pterigium (Ilyas, 2011)
Diagnosis banding pterigium sangat luas. Massa pada limbus seperti
papilloma, squamous sel karsinoma, melanoma konjungtiva dan pagetoid atau
sebaceous karsinoma. Lesi yang jarang seperti kista epitel, pyogenic granuloma,
keratoacanthoma, adenoma, fibroma, fibrochondroma, fibrous histiocytoma,
angioma, lyphaangioma, Kaposi sarcoma, alveolar endothelioma,
neurolommoma, maligna schwanoma, mycosis fungioides, juvenile
xantthagranuloma, leukemia, episclera osseous christoma, ectopic lacrimal
tissue, lipoma, amyloid, blue nevus, nevus dan limbal dermoid. Namun lesi
tersebut mudah dibedakan dengan pterigium (Stephen & Antony, 2004).
2.1.8. Penatalaksanaan 2.1.8.1. Konservatif
Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat
diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea (Ilyas, 2011).
2.1.8.2. Bedah
Pada pterigium derajat 3 dan 4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium, bagian konjungtiva bekas
Keterangan:
A : Pseudopterigium
B : Pinguekula
pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium adalah memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah.
Penggunaan mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat
(Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata, 2007).
2.1.8.3.Indikasi Operasi
- Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus. - Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil.
- Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatisma.
- Kosmetik, terutama untuk penderita wanita (Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata, 2007).
2.1.8.4. Teknik Pembedahan
Banyak dokter mata lebihmemilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.Keuntungantermasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parutyang minimal dan halus dari permukaan kornea (American Academy of Oplthalmology, 2005).
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, dan memungkinkansklera
untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24% dan 89%, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbi superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah dieksisi pterigium tersebut. Komplikasi jarang terjadi dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva d, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft tersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterigium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini (Holland & Mannis, 2002).
3. Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan pterigium.Meskipun
Namun berdasarkan penelitian, tingkat kekambuhan teknik sangat beragam, diantaranya 2,6% dan 10,7% untuk pterigium primer dan setinggi 37,5% pterigium berulang (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
4. Simple Closure
Pinggir dari konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil).
5. Sliding Flap
Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk membentuk flap konjungtiva untuk menutup luka.
6. Rotational Flap
Insisi bentuk U dibuat di sekitar luka untuk membentuk lidah dari konjungtiva yang diputar untuk menutup luka.
7. Lamellar Keratoplasty
Excimer laser fototerapi keratektomi dan yang terbaru dengan mengunakan gabungan steroid angiostatik.
2.1.8.5. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan operasi terus menjadi masalah, karena itu terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterigium. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan telah berkurang dengan penambahan terapi ini, tetapi ada komplikasi dari terapi tambahan ini (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk menghambat fibroblast. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditemukan . Ada dua bentuk MMC yang saat ini digunakan,yaitu aplikasi intraoperatif MMC langsung ke sklera setelah eksisi pterigium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas (Imelda,
Sehingga, untuk mencegah kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan pemberian:
- Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.
- Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
2.1.9. Komplikasi
Menurut Fisher (2013), komplikasi pterigium antara lain :
- Distrorsi dan penglihatan sentral berkurang
- Mata merah
- Iritasi
- Scar (parut) kronis pada konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum eksisi,scarpada otot rectus medial yang dapat menyebabkan diplopia
Komplikasi setelah eksisi pterigium adalah:
- Infeksi,reaksi bahan jahitan (benang),diplopia,scar kornea,konjungtiva graft longgar,dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata,
vitreous hemmorage atau retinal detachment.
- Penggunaan mytomicin C setelah operasi dapat menyebabkan ektasis pada sklera dan kornea.
Komplikasi jangka panjang setelah operasipterigium, yaitu:
- Penipisan kornea atau sklera dapat terjadi bahkan puluhan tahun setelah operasi. Penatalaksanaan kasus ini sangat sulit.
- Beberapa kasus ,penggunaan MMC topikal sebagai terapi tambahan dan setelah operasi pterigium menyebabkan kelainan seperti mencairnya sklera dan atau kornea
Komplikasi yang paling umum dari pterigium adalah kekambuhan setelah operasi. Eksisi bedah sederhana memiliki tingkat kekambuhan tinggi sekitar 50-80%. Tingkat kekambuhan telah dikurangi menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva atau lumbal atau transplantasi membran pada saat eksisi.
Meskipun jarang,degenerasi ganas jaringan epitel yang melapisi pterigium dapat terjadi.
2.1.10. Prognosis
Penglihatan dan kosmetik setelah dieksisi adalah baik (Zaki, 2011). Rasa tidak nyaman pada hari pertama setelah operasi dapat ditoleransi,kebanyakan
pasien setelah 48 jam setelah operasi dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan pterigium berulang dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva
Pada beberapa kasus pterigium dapat berkembang menjadi degenerasi ke arah keganasan jaringan epitel (Salomon,2006).
2.1.11. Pencegahan
Pasien dengan risiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga mengalami pterigium atau penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti petani yang banyak kontak dengan debu dan UV disarankan memakai topi