KALIMANTAN BARAT
SABAHAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Perencanaan Lanskap Kawasan Ekowisata Berbasis Masyarakat (Community-Based Ecotourism) di Wilayah Pesisir Paloh Kalimantan Barat” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012 Sabahan
Areas of Paloh Distric, West Kalimantan. Under the guidance of Dr. Ir. SETIA HADI, MS and Dr. Ir. SITI NURISJAH, MSLA.
District Paloh has a variety of coastal resources that potentially to be developed as ecotourism area. This study aims to plan this coastal landscape for community-based coastal ecotourism area. The research method used was a qualitative descriptive method to assess the potential of the ecotourism object and attraction, coastal suitability and the carrying capacity of the area. Assessing the potential objects and attractions utilized the modified method of Mc Kinnon (1986) and Gunn (1994), while assessing the suitability of ecotourism area used Bakosurtanal criteria (1996) and its carrying capacity used Boullion (1985) and WTO standards (1992). The study also assessing community participation used Participatory Rural Appraisal method (2006). The results of ecotourism objects and tourist attractions the assessment indicate that the coastal districts Paloh has six ecotourism objects and attractions (60%) with considerable potential category and four ecotourism objects and attractions (40%) with less potential category. Suitability analysis for coastal tourism categories have three class is highly suitable, moderately suitable, and marginally suitable, whereas for marine tourism categories there are three different classes of the class is moderately suitable, marginally suitable, and non suitable area. The assessment of the area shows that the attraction of tourists to the capacity of coastal tourism in total 305 visitors per trip or 1770 visitors per day and marine tourism as many as 55 visitors per visit for diving activity (330 total per day) and 218 visitors per visit (1308 total per day) for snorkeling activities in tourism object area. The ecotourism activities planned are tours of ecosystem observation, camping, boating, swimming, diving, snorkeling, fishing, and hunting photos, and facilities are tourist information center, restaurant, hotel, homestay, tower view, rest rooms and toilets, tourist interpretation boards, and souvenir center. To protect the coastal as touristic areas, so the government shoud have conservation rule and policy of the area. Community participation should be encouraged to give economic opportunity to local people.
(Community-Based Ecotourism) di Wilayah Pesisir Paloh Kalimantan Barat. Dibimbing oleh SETIA HADI dan SITI NURISJAH
Kecamatan Paloh merupakan satu-satunya wilayah pesisir perbatasan yang ada di Kalimantan Barat. Dengan panjang garis pantai 63 km (32% dari total panjang pantai kabupaten Sambas) dan berbagai sumber daya pesisir yang dimiliki, maka kecamatan Paloh mempunyai peluang besar dalam pengembangan ekowisata pesisir. Walaupun memiliki potensi yang tinggi tetapi sektor ekowisata masih belum berkembang sehingga tidak memberikan dampak signifikan terhadap pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah ini. Penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi, menzonasi, dan menganalisis potensi kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh; 2) menganalisis kesesuaian dan daya dukung kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh; 3) mengidentifikasi dan menganalisis keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan dan perencanaan kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh; 4) mengintegrasikan potensi sumber daya untuk pengembangan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat di kecamatan Paloh.
Data sumber daya ekowisata yang dikumpulkan meliputi potensi objek/atraksi, fisik kawasan, dan sosial budaya. Data ini selanjutnya dianalisis untuk menentukan objek/atraksi, jalur sirkulasi, aktivitas, dan fasilitas di kawasan yang akan dikembangkan.
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis terhadap objek/atraksi ekowisata, kesesuaian dan daya dukung kawasan ekowisata, serta pemetaan partisipatif masyarakat. Informasi tentang sumber daya wisata dianalisis untuk menilai potensi wisata yang dimiliki yang kemudian dijadikan dasar dalam menentukan konsep dan arah pengembangan lanskap kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh.
Berdasarkan hasil penilaian yang telah dilakukan, bahwa kecamatan Paloh memiliki (60 %) objek/atraksi ekowisata dengan kategori cukup potensial (S2) dan (40 %) objek/atraksi ekowisata dengan kategori kurang potensial (S3). Hasil analisis kesesuaian kawasan ekowisata diperoleh bahwa untuk kategori wisata pantai memiliki tiga kelas kesesuaian yaitu kategori kelas sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai bersyarat (S3), sedangkan untuk kategori wisata bahari juga terdapat tiga kelas yang berbeda yaitu kelas kesesuaian dengan kategori sesuai (S2), sesuai bersyarat (S3), dan tidak sesuai (N). Daya tampung wisatawan untuk wisata pantai dan wisata bahari menurut standar WTO ditentukan berdasarkan kelas sedang, nyaman dan mewah. Dengan demikian, operator ekowisata di kawasan ekowisata kecamatan Paloh dapat memilih standar daya tampung wisatawan yang akan digunakan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tampung wisatawan untuk wisata bahari
Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam kegiatan pariwisata karena mereka merupakan subjek utama yang mengendalikan keberadaan dan kemanfaatan sumber daya wisata yang ada di suatu kawasan wisata. Ada beberapa kegiatan yang telah dilakukan masyarakat di lokasi penelitian saat ini, diantaranya kegiatan memandu wisatawan, penyewaan homestay, penari budaya melayu, usaha rumah makan, jasa ojek dan penyeberangan motor air. Diharapkan peran serta masyarakat ini akan terus berkembang seiring dengan berkembangnya ekowisata di wilayah ini. Kegiatan lain yang berpotensi untuk dilakukan oleh masyarakat diantaranya adalah kegiatan seperti jasa foto dan video, jasa kesehatan, jasa keamanan laut, kerajinan dan cinderamata, penyewaan peralatan atau perlengkapan kegiatan wisata, pengelolaan usaha penginapan, dan lain sebagainya.
masyarakat di lokasi penelitian mempunyai komitmen untuk melakukan usaha pengembangan kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh. Masyarakat yang tergabung dalam kelompok pemetaan partisipatif melakukan interpretasi dan digitasi peta yang di dalamnya memuat objek/atraksi wisata, aktivitas, fasilitas, dan jalur sirkulasi yang menghubungkan antar desa dan objek/atraksi wisata.
Konsep perencanaan pengembangan ekowisata di kecamatan Paloh adalah ekowisata pesisir berbasis masyarakat dimana pengembangan wisata didasarkan pada potensi lingkungan dan masyarakat untuk melindungi sumber daya alam dan kualitas lingkungan serta dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat lokal. Konsep yang dikembangkan tersebut mengacu pada hasil analisis terhadap objek/atraksi wisata, kesesuaian dan daya dukung kawasan serta akseptibilitas dan pemberdayaan masyarakat sehingga diharapkan mampu memenuhi kebutuhan wisatawan dan dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat di kecamatan Paloh. Konsep ini harus juga didukung dengan pengelolaan lingkungan pesisir secara terpadu dan peningkatan kesadaran kepada masyarakat lokal dan wisatawan akan nilai penting lingkungan bagi keberlangsungan hidup manusia.
Konsep pengembangan aktivitas, fasilitas, dan jalur sirkulasi wisata didasari oleh keterhubungan ketiganya dalam pengembangan kawasan ekowisata sehingga ketiganya dianggap sebagai satu kesatuan yang utuh. Penggalian potensi ekowisata yang dimiliki untuk dapat terus menampilkan objek/atraksi ekowisata yang menarik bagi wisatawan sangatlah perlu untuk dilakukan sehingga perencanaan dan pengembangan aktivitas, fasilitas, dan jalur sirkulasi wisata dapat memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat tanpa harus merusak lingkungan.
Kecamatan Paloh memiliki potensi ekowisata yang cukup tinggi sehingga perlu adanya kebijakan pemerintah daerah untuk dapat menjadikan wilayah ini sebagai kawasan ekowisata pesisir dengan arahan pengembangan ekowisata yang lebih memperhatikan perlindungan alam dan pelestarian budaya, serta adanya pembinaan bagi masyarakat ke arah masyarakat wisata untuk dapat lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan ekowisata yang sekaligus bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
©
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut
tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
KALIMANTAN BARAT
SABAHAN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kalimantan Barat Nama Mahasiswa : Sabahan
Nomor Pokok : A451090061
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga tesis dengan judul Perencanaan Lanskap Kawasan Ekowisata Berbasis Masyarakat (Community-Based Ecotourism) Di Wilayah Pesisir Paloh Kalimantan Barat ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Tesis ini merupakan suatu syarat yang digunakan untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Arsitektur Lanskap, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini dapat terselesaikan berkat dukungan, bantuan dan partisipasi berbagai pihak. Untuk itu, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada yang terhormat :
1. Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan dukungan dari awal penelitian hingga selesainya tesis ini.
2. Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA selaku Anggota Komisi Pembimbing sekaligus Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap atas arahan, saran dan masukan kepada penulis selama penelitian ini berlangsung.
3. Dr. Ir. Afra Makalew, MSc selaku dosen penguji luar komisi atas kritik dan saran yang sangat membangun bagi penelitian ini.
4. Seluruh staf dosen Arsitektur Lanskap atas ilmu, bimbingan dan arahannya selama penulis menimba ilmu di IPB.
5. Bupati dan Wakil Bupati kabupaten Sambas, beserta staf atas arahan, bantuan dan dukungan selama penelitian ini berlangsung.
6. Bappeda, Dinas Pariwisata (Disporabudpar), Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kimpraswil, Badan Pusat Statistik kabupaten Sambas, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika di kecamatan Paloh atas bantuan data dan dukungannya.
8. Ketua Yayasan Supersemar, terima kasih banyak atas bantuan biaya penelitiannya.
9. Teman-teman anggota Asrama Mahasiswa Rahadi Oesman Kalbar di Bogor, terima kasih atas kebersamaan dan dukungannya selama ini.
10. Teman-teman ARL Angkatan 11/2009 (Bu Sulis, Bu Devy, Kak Lina, Bang Jonni, Nahda Kanara, dan Putri Jasari Dona), teman-teman ARL 2008 dan 2010, serta rekan-rekan lainnya yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta ilmu selama penulis menyelesaikan studi di IPB.
Ucapan terima kasih tak terhingga juga penulis haturkan kepada kedua orang tua, saudara, keluarga, sahabat-sahabat, rekan-rekan, serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas saran dan dukungannya baik moril maupun materiil dari awal studi hingga terselesaikannya tesis ini. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, khususnya bagi masyarakat di kecamatan Paloh, di masa kini maupun masa yang akan datang.
ketujuh dari delapan bersaudara dari pasangan Mawazi H. Mamud (Alm.) dan Maniah H. Said. Penulis dibesarkan di desa Sekuduk kecamatan Sejangkung, Sambas dan menyelesaikan pendidikan dasar (Madrasah Ibtidaiyah) di desa tersebut.
Tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan menengah di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Terentang kabupaten Kubu Raya. Kemudian tahun 1999 penulis menyelesaikan sekolah di Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Siantan kabupaten Pontianak dan pada pertengahan tahun tersebut penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak pada Fakultas Pertanian, Jurusan Ilmu Tanah. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-1 pada tahun 2004. Selanjutnya pada tahun 2009 penulis memperoleh kesempatan meneruskan pendidikan Strata-2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada program studi Arsitektur Lanskap melalui beasiswa Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI).
Halaman 2.4. Ekowisata Berbasis Masyarakat ... . 2.5. Perencanaan Pariwisata ... . 2.6. Sistem Informasi Geografi (SIG) ... . 2.7. Metode PRA ...
III. KEADAAN UMUM KECAMATAN PALOH
3.1. Sejarah Wilayah ... . 3.2. Letak Geografis dan Administrasi... . 3.3. Kondisi Fisik Kawasan... 3.3. 1. Topografi ... .
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Potensi Ekowisata ………... . 5.1.1. Potensi Objek dan Daya Tarik Ekowisata ………… ……….
5.1.2. Potensi Wilayah ………
5.1.3. Potensi Sumber Daya Manusia ……… 5.2. Analisis Kawasan Ekowisata …….………
5.2.1. Analisis Objek/Atraksi Ekowisata ……… 5.2.2. Kesesuaian Kawasan Ekowisata ……….. 5.2.3. Daya Dukung Kawasan Ekowisata ………. 5.2.4. Pemetaan Partisipatif ……… 5.3. Keterlibatan Masyarakat dan Stakeholder Lain dalam Ekowisata
5.3.1. Masyarakat ……….
5.3.2. Pemerintah Daerah ………... 5.3.3. Lembaga Swadaya Masyarakat ……….
5.3.4. Dunia Usaha ………..
5.4. Konsep Pengembangan Ekowisata ……….
5.4.1. Arah Pengembangan ……….
5.4.2. Pengembangan Ekowisata Pantai dan Bahari …………...
1 Luas Wilayah Desa di Kecamatan Paloh ... 35
2 Rata-Rata Hari Hujan (HH) dan Curah Hujan (CH) di Kecamatan Paloh (Tahun 2000-2010)... 36
3 Penggunaan Lahan di Kecamatan Paloh ………...…... 39
4 Sarana Pendidikan dan Kesehatan di Kecamatan Paloh ……….. 40
5 Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kecamatan Paloh ……….. 40
6 Objek Wisata yang Ada di Kecamatan Paloh ……… 41
7 Sarana Rumah Makan/Cafe di Sekitar Lokasi Penelitian ………. 42
8 Sarana Penginapan/Perhotelan di Sekitar Lokasi Penelitian ………. 42
9 Perangkat Keras, Perangkat Lunak, dan Kegunaannya ... 46
10 Data Penelitian ………... 47
11 Pengumpulan dan Analisis Data pada Masing-Masing Tujuan Penelitian ... 50
12 Deskripsi Zona Ekowisata di Lokasi Penelitian ………. 55
13 Penilaian Terhadap Objek dan Atraksi Wisata ... 57
14 Matrik Kesesuaian Kawasan Ekowisata Pantai Di Kecamatan Paloh... 61
15 Matrik Kesesuaian Kawasan Ekowisata Bahari Di Kecamatan Paloh... 62
16 Gambaran Objek Wisata Pantai Tanjung Datok ………... 69
17 Gambaran Objek Wisata Pantai Mauludin ………... 70
18 Gambaran Objek Wisata Pantai Camar Bulan ……….. ….. 72
19 Gambaran Objek Wisata Pantai Bayuan ……….. 73
20 Gambaran Objek Wisata Pantai Tanjung Bendera ……….……... 74
21 Gambaran Objek Wisata Pantai Sungai Sungai Belacan ………. 75
22 Gambaran Objek Wisata Pantai Kemuning ……….……… 76
23 Gambaran Objek Wisata Pantai Selimpai ……… 78
24 Gambaran Objek Wisata Pantai Tanah Hitam ………. 79
25 Penilaian Kelayakan Objek dan Atraksi Ekowisata di Kecamatan Paloh………. 89
26 Daya Tampung Wisatawan Untuk Wisata Pantai Berdasarkan Tingkat Kenyamanan ……… 96
1 Kerangka Pikir Penelitian ... 9
2 Peta Lokasi Penelitian ………. 45
3 Peta Zona Ekowisata Pesisir di Kecamatan Paloh ……….. 54
4 Peta Sebaran Objek dan Atraksi Ekowisata di Lokasi Penelitian …… 90
5 Peta Kesesuaian Wisata Pantai di Kecamatan Paloh ………... 92
6 Peta Kesesuaian Wisata Bahari di Kecamatan Paloh ………... 95
7 Peta Hasil Pemetaan Partisipatif ……….. 102
8 Peta Pembagian Zona Ekowisata Pesisir Kecamatan Paloh ………… 122
9 Peta Rencana Pengembangan Kawasan Ekowisata di Kecamatan
1 Alat yang Digunakan dan Cara Pengukuran dalam Identifikasi Parameter Wisata Pantai dan Bahari ... 133
2 Identifikasi Parameter Kesesuaian Wisata Pantai di Kecamatan Paloh .... 134
3 Identifikasi Parameter Kesesuaian Wisata Bahari di Kecamatan Paloh .... 135
4 Hasil Penilaian Kesesuaian Untuk Wisata Pantai ... 136
5 Hasil Penilaian Kesesuaian Untuk Wisata Bahari ………. 137
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berbagai organisasi internasional antara lain PBB, World Tourism
Organization (WTO), dan The International Ecotourism Society (TIES) telah
mengakui bahwa pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia terutama menyangkut lingkungan, kegiatan sosial dan
ekonomi. Prospek pariwisata ke depanpun sangat menjanjikan bahkan sangat
memberikan peluang besar, terutama apabila menyimak angka perkiraan World
Tourism Organization (WTO) Tourism Vision 2020, kedatangan wisatawan
internasional (inbound tourism) dalam 15 tahun ke depan akan mencapai 1,56
milyar, dibandingkan dengan 703 juta di 2002 dan 565 juta pada tahun 1995.
Selama periode 1995-2020, tingkat pertumbuhan rata-rata sektor ini diperkirakan
sebesar 4,1% yang diantaranya masing-masing 231 juta dan 438 juta orang berada
di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Dan akan mampu menciptakan pendapatan
dunia sebesar USD 2 triliun pada tahun 2020 (WTO, 2005).
Berdasarkan angka perkiraan tersebut, maka para pelaku pariwisata
Indonesia seyogyanya melakukan perencanaan yang tepat dan terarah untuk
menjawab tantangan sekaligus menangkap peluang yang ada. Pemanfaatan
peluang harus dilakukan dengan memperhatikan keberadaan kegiatan pariwisata
dimulai dari sejak investasi, promosi, pembuatan produk pariwisata, penyiapan
jaringan pemasaran internasional, dan penyiapan sumber daya manusia yang
berkualitas. Kesemuanya ini harus disiapkan untuk memenuhi standar
internasional sehingga dapat lebih kompetitif dan menarik, dibandingkan dengan
kegiatan yang serupa dari negara-negara di sekitar Indonesia. Dengan
meningkatnya kebutuhan masyarakat akan wisata, maka dewasa ini kegiatan
pariwisata lebih digiatkan. Selain untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan
juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Melihat kenyataan tersebut, maka untuk menciptakan suatu kawasan
industri pariwisata yang dapat dijual kepada wisatawan baik lokal, domestik
terutama dalam hal penyediaan ruang yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan
dan daya tariknya.
Menciptakan daya tarik ruang wisata pada dasarnya merupakan upaya
untuk memunculkan objek/atraksi yang dimiliki sebagai andalan kegiatan wisata.
Objek/atraksi wisata potensial berkembang dengan karakter wisata yang
berbeda-beda. Pengemasan objek/atraksi wisata dalam kerangka pengembangan kegiatan
wisata harus dilakukan sedemikan rupa secara selaras, seimbang dan
memperhatikan aspek keberlanjutan.
Sejak berkembangnya perhatian pada masalah lingkungan hidup, maka
terjadi juga perubahan pada industri pariwisata dengan mulai dikembangkannya
kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan. TIES (2008) mencatat, sejak
tahun 1990 wisata ekologis terutama ekowisata telah berkembang 20% - 24% per
tahun. Tingginya minat wisatawan terhadap sektor pariwisata berwawasan
lingkungan menyebabkan banyak negara yang mulai membatasi kegiatan yang
merusak lingkungan, dan menambah kualitas fasilitas pariwisata yang bersahabat
dengan lingkungan. Keseimbangan yang baik antara kebutuhan akan industri
pariwisata, lingkungan hidup yang harus dilestarikan serta kondisi sosial budaya
masyarakat setempat merupakan masalah yang harus segera diselesaikan.
Pariwisata sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya setempat serta
kualitas lingkungan alamiahnya. Dalam beberapa pengembangan kegiatan
ekonomi, kualitas lingkungan dapat ditukarkan dengan keuntungan (dalam nilai
uang) yang diharapkan, tetapi dalam kasus pariwisata, sangat penting untuk
tetap memelihara kualitas lingkungan alam. Lingkungan hidup merupakan
sumber daya yang besar untuk industri pariwisata, hampir di semua tempat
industri pariwisata menjual potensi pemandangan alam atau cara hidup
masyarakat setempat. Oleh sebab itu pemanfaatan dan pemeliharaan sumber
daya ini secara bijaksana akan mempertinggi nilai lingkungan hidup dan nilai
ekonominya.
Perkembangan sektor ekowisata belakangan ini haruslah didukung oleh
perencanaan kawasan yang optimal di suatu daerah. Dalam usaha
pengembangan sektor ekowisata tersebut sebaiknya memperhatikan tiga
dilakukan dalam suatu perencanaan jangka panjang, karena tujuan dari
perencanaan ini adalah untuk menyeimbangkan ketiga aspek tersebut.
Dalam perencanaan kawasan ekowisata, daya dukung (carrying capacity)
perlu diperhatikan untuk mengantisipasi timbulnya dampak negatif terhadap alam
(dan budaya) karena pengembangan ekowisata setempat. Aspek dari daya dukung
akan sangat menentukan dalam kesesuaian ruang untuk kegiatan wisata. Zonasi
dan pengaturannya adalah salah satu pendekatan yang akan membantu menjaga
nilai konservasi dan keberlanjutan kawasan ekowisata. Selain aspek daya dukung,
keterlibatan masyarakat sangat penting dalam penentuan zona-zona wisata, hal ini
mengingat masyarakat adalah salah satu stakeholder utama dan akan
mendapatkan manfaat secara langsung dari pengembangan dan pengelolaan
ekowisata di suatu daerah.
Pengembangan ekowisata yang baik didasarkan atas sistem pandang yang
mencakup di dalamnya prinsip kesinambungan dan pengikutsertaan masyarakat
setempat dalam proses pengembangan ekowisata tersebut. Pemberdayaan
masyarakat ini berarti upaya memperkuat kelompok-kelompok masyarakat untuk
mengontrol dan mengelola sumber daya ekowisata yang sangat bernilai dengan
cara-cara yang tidak hanya dapat melestarikan sumber daya yang ada akan tetapi
juga mampu memenuhi kebutuhan kelompok tersebut secara sosial, budaya dan
ekonomi (Lindberg et al,1993). Oleh sebab itu peran serta masyarakat dalam
pengembangan ekowisata sangatlah penting untuk diperhatikan.
Ekowisata berbasis masyarakat (Community-Based Ecotourism)
merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal
tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan
tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik
wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Masyarakat dalam hal ini
dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi
kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk
wisatawan. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan
dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu
akibat peningkatan kegiatan ekowisata (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,
2009).
Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat menggunakan pendekatan
para pihak yang terkait, terutama pada tahap awal. Pendampingan masyarakat
dibutuhkan agar masyarakat terlibat dalam proses pengembangan yang dimulai
dari tahap perencanaan. Pemilihan kawasan juga menjadi hal yang penting untuk
diperhatikan dalam rangka keberlanjutan ekowisata di suatu wilayah.
Indonesia adalah negara bahari dan kepulauanterbesar di dunia, yang terdiri
dari 17.500 pulau serta memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km (DKP, 2001).
Dengan garis pantai yang panjang ini, maka Indonesia merupakan negara kedua
yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. Wilayah pesisir
Indonesia (termasuk perairan dan daratan) yang mencakup daerah yang sangat
luas memiliki beragam sumber daya di dalamnya sehingga sangat berpotensi
untuk dikembangkannya sektor ekowisata. Di antara kabupaten di Indonesia yang
merupakan kawasan pesisir dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan
ekowisata adalah kabupaten Sambas.
Dengan panjang garis pantai 199,75 km (0,25% dari total panjang pantai
Indonesia) dan berbagai sumber daya yang dimiliki, maka kabupaten Sambas
mempunyai peluang besar dalam pengembangan ekowisata pesisir. Dari panjang
total garis pantai tersebut, 63,25 km diantaranya merupakan garis pantai yang
berada di kecamatan Paloh yang juga merupakan satu-satunya wilayah pesisir di
Kalimantan Barat yang wilayah administrasinya berbatasan langsung dengan
negara tetangga Malaysia.
Potensi yang dimiliki kecamatan Paloh didukung oleh sumber daya yang
kaya untuk ekowisata terutama sumber daya alamnya. Di kalangan masyarakat
kabupaten Sambas, kecamatan ini dikenal dengan istilah kawasan pantai putih
serta terkenal juga dengan sebutan pulau penyu karena memang hampir
sepanjang pantainya tersusun oleh struktur pasir berwarna putih yang
sebagiannya juga menjadi habitat berbagai spesies penyu. Dengan berbagai
potensi ekowisata yang dimiliki dan keberadaannya yang berbatasan langsung
dengan negara Malaysia menjadikan Paloh cukup dikenal oleh wisatawan.
menjadikan sektor ekowisata berkembang sesuai dengan harapan masyarakat
di wilayah ini. Permasalahan ini timbul salah satunya sebagai akibat kurangnya
pelibatan masyarakat dalam proses pengembangan kawasan ekowisata di
wilayah tersebut.
Pengembangan kawasan ekowisata memang tidak terlepas dari peran
serta masyarakat, oleh sebab itu potensi yang dimiliki masyarakat hendaknya
harus menjadi pertimbangan penting dalam proses pengembangan kawasan
ekowisata terutama menyangkut proses perencanaan. Adanya dukungan
masyarakat dengan terbentuknya beberapa kelompok sosial yang ada di
kecamatan Paloh merupakan bukti kepedulian masyarakat terhadap potensi
wilayahnya. Dengan upaya perencanaan kawasan ekowisata yang berbasiskan
masyarakat, maka diharapkan kegiatan ekowisata bisa dijadikan pilihan yang tepat
untuk pengembangan kegiatan kepariwisataan di kecamatan Paloh.
1.2. Perumusan Masalah
Masyarakat di kecamatan Paloh pada umumnya sangat menyadari akan
potensi ekowisata di wilayah tersebut. Keberadaan pantai yang terbentang luas dan
letak geografis kecamatan Paloh yang berbatasan langsung dengan negara tetangga
Malaysia sehingga menjadi perhatian khusus pemerintah pusat dan daerah, hal ini
mengindikasikan akan besarnya potensi pengembangan sektor ekowisata di wilayah
tersebut. Ekosistem pesisir pantai yang berbeda dari daerah lainnya dengan struktur
pasir putih yang hampir terbentang sepanjang garis pantai, kondisi air lautnya yang
bersih (jernih), keberadaan hutan mangrove, cemara laut dan habitat beragam jenis
satwa penyu, ikan, dan kekayaan keanekaragaman hayati lainnya dapat menjadi daya
tarik ekowisata tersendiri bagi kawasan ini.
Namun, di tengah berbagai potensi ekowisata yang dimiliki, sektor
ekowisata masih belum berkembang sehingga tidak memberikan dampak signifikan
terhadap pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah ini.
1.
Oleh sebab itu penelitian ini diperlukan untuk menjawab pertanyaan :
2.
Bagaimana sumber daya ekowisata pesisir yang ada di kecamatan Paloh?
Bagaimana kesesuaian dan daya dukung kawasan ekowisata pesisir di
3.
4.
Bagaimana peran serta masyarakat dalam kegiatan dan perencanaan kawasan
ekowisata pesisir di kecamatan Paloh?
Bagaimana mengintegrasikan potensi sumber daya untuk pengembangan
kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh?
1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk merencanakan lanskap kawasan ekowisata
pesisir berbasis masyarakat di kecamatan Paloh kabupaten Sambas.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi, menzonasi, dan menganalisis potensi kawasan ekowisata
pesisir di kecamatan Paloh.
2. Menganalisis kesesuaian dan daya dukung kawasan ekowisata pesisir di
kecamatan Paloh.
3. Mengidentifikasi dan menganalisis keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan
dan perencanaan kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh.
4. Mengintegrasikan potensi sumber daya ekowisata untuk pengembangan
lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat di kecamatan Paloh.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah untuk :
a. Pemerintah Kabupaten Sambas
1. Dapat dijadikan salah satu solusi alternatif dalam mengatasi permasalahan
wilayah pesisir perbatasan Kalimantan Barat.
2. Dapat menjadi pedoman pengembangan potensi pariwisata dalam usaha
peningkatan perannya sebagai penyeimbang lingkungan.
3. Dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan kebijakan
pengelolaan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat di
b. Masyarakat
1. Sebagai usaha untuk menggali potensi masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya ekowisata di kecamatan Paloh.
2. Sebagai usaha untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses
perencanaan lanskap kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh.
3. Dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan referensi untuk penelitian
selanjutnya.
1.5. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini didasarkan oleh suatu pemikiran akan perlunya perencanaan
lanskap kawasan ekowisata yang melibatkan peran serta masyarakat di suatu
daerah yang merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumber daya alam dan manusia
dalam usaha pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat.
Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat di
suatu wilayah, maka juga akan terus mengalami pembangunan dan pengembangan
sarana dan prasarana menuju kondisi wilayah yang lebih kompleks, sehingga
aktivitas masyarakat juga akan mengalami peningkatan. Hal tersebut tentulah
akan menimbulkan perubahan pada kualitas lingkungan dan permasalahan sosial
di wilayah tersebut, tidak terkecuali dengan wilayah di kecamatan Paloh.
Kecamatan yang merupakan wilayah pesisir di kabupaten Sambas ini
adalah wilayah yang terus mengalami perubahan sebagai akibat peningkatan
jumlah penduduk dan pengaruh dari luar. Dengan kondisi yang demikian, maka
diperluka n berbagai solusi alternatif dalam mengatasi berbagai permasalahan
lingkungan yang selaras dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah
satu usaha yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut adalah dengan
pengembangan kawasan wisata yang berbasis ekologis atau yang sering disebut
dengan istilah ekowisata. Selain berkontribusi besar dalam hal pelestarian
lingkungan, sektor ekowisata diharapkan juga dapat meningkatkan nilai tambah
secara ekonomi bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat di kecamatan Paloh.
masyarakat lokal sehingga diperlukan rencana pengembangan ekowisata berbasis
masyarakat.
Untuk membuat sebuah perencanaan lanskap kawasan ekowisata harus
diketahui terlebih dahulu potensi sumber daya alam, budaya masyarakat
setempat, arah pengelolaan kawasan dan fasilitas pendukung yang ada. Data
sumber daya ekowisata yang dikumpulkan meliputi potensi fisik, biologi dan
potensi masyarakat. Data potensi masyarakat yang dikumpulkan berupa budaya,
partisipasi dan keinginan masyarakat terhadap usaha pengembangan
ekowisata.
Kecamatan Paloh sendiri memiliki berbagai pot ensi sumber daya ekowisata,
selain merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga
Malaysia, kecamatan Paloh juga masih mempunyai kawasan pengembangan
pembangunan yang cukup luas yang diharapkan dapat mendukung aspek
ekonomi, sosial maupun aspek lingkungan di kabupaten Sambas. Letak geografis
yang strategis, kondisi biofisik dan sosial budaya masyarakat yang mendukung
dapat dijadikan daya tarik ekowisata yang menjanjikan bagi kecamatan Paloh. Informasi tentang rencana pengembangan kawasan dianalisis dalam
rangka menilai apakah objek/atraksi yang mungkin dikembangkan serta
objek/atraksi ekowisata yang diinginkan oleh masyarakat dapat dipadukan
dengan potensi kawasan melalui kajian yang dilakukan terutama menyangkut
aktivitas yang akan dikembangkan.
Berdasarkan hasil analisis terhadap potensi kawasan yang dimiliki maka
diperlukan perencanaan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat
(Community-Based Ecotourism) di kecamatan Paloh. Secara skematis, kerangka
pemikiran perencanaan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat di
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Kecamatan Paloh
Identifikasi Kondisi Aktual Kawasan
Potensi Objek/Atraksi
Ekowisata
Potensi Kawasan Potensi Sumber
Daya Manusia
Zonasi Ruang Ekowisata
Perencanaan Lanskap Kawasan Ekowisata Pesisir Berbasis Masyarakat di Kecamatan Paloh
Penentuan Sasaran, Tujuan, dan
Penyiapan Perangkat Penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pariwisata dan Ekowisata
Organisasi pariwisata sedunia, World Tourism Organization (WTO),
mendefinisikan pariwisata (tourism) sebagai "activities of person traveling to and
staying in places outside their usual environment for not more than one
consecutive year for leisure, business and other purposes".
Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2009 Bab I pasal 1 tentang
Kepariwisataan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan
didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, pemerintah (pusat), dan pemerintah daerah. Sedangkan wisata
didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,
pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang
dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Pariwisata (tourism) sering diasosiasikan sebagai rangkaian perjalanan
seseorang atau kelompok orang (wisatawan/turis) ke suatu tempat untuk berlibur,
menikmati keindahan alam dan budaya (sightseeing), bisnis, mengunjungi kerabat
dan tujuan lainnya (Ramly, 2007).
Pariwisata juga didefinisikan sebagai kegiatan rekreasi di luar domisili
untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Sebagai
aktivitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar
masyarakat maju dan sebagian kecil masyarakat negara berkembang (Damanik
dan Weber, 2006).
Lebih lanjut Damanik dan Weber (2006) menjelaskan bahwa dari sisi
ekonomi, pariwisata muncul dari empat unsur pokok yang saling terkait erat atau
menjalin hubungan dalam suatu sistem, yaitu permintaan, penawaran, pasar dan
kebutuhan, serta pelaku atau aktor wisata. Unsur penting dalam permintaan dan
penawaran wisata yang harus dipertimbangkan adalah wisatawan, penduduk lokal,
meliputi wisatawan, industri wisata, jasa pendukung wisata, pemerintah, lembaga
swadaya masyarakat, dan masyarakat lokal.
Sektor pariwisata juga mempunyai signifikansi dalam hal perbaikan
lingkungan dan pelestarian budaya suatu negara. Secara konseptual sektor
pariwisata mempunyai peran dalam perbaikan lingkungan dijabarkan dalam
konsep ekowisata yang dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan
pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya
pelestarian lingkungan (alam dan lingkungan) dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada
masyarakat setempat (Fandeli, 2000). Sementara ditinjau dari segi
pengelolaannya, ekowisata dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan kegiatan
wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah
yang dibuat berdasarkan kaidah alam dan secara ekonomi berkelanjutan yang
mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat (Depdagri, 2000).
The International Ecotourism Society (2008) mendefinisikan ekowisata
sebagai suatu bentuk wisata yang terfokus pada daerah yang masih alami dengan
tujuan untuk melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat.
Sedangkan menurut Direktorat Jendral Pembangunan Daerah (2000) bahwa
Ekowisata adalah suatu model pengembangan wisata yang bertanggung jawab di
daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola secara kaidah alam
dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya, juga melibatkan unsur
pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber
daya alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat. Ekowisata
merupakan kontrol pembangunan yang diperlukan berdasarkan daya dukung
untuk menjamin sumber daya alam agar tidak dimanfaatkan berlebihan oleh
pengunjung (Clark, 1996).
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) mendefinisikan
ekowisata sebagai wisata dalam bentuk perjalanan ke tempat-tempat di alam
terbuka yang relatif belum terjamah atau tercemar dengan khusus untuk
satwa liarnya (termasuk potensi kawasan ekosistem, keadaan iklim, fenomena
alam, kekhasan jenis tumbuhan dan satwa liar) juga semua manifestasi
kebudayaan yang ada (termasuk tatanan lingkungan sosial budaya) baik dari masa
lampau maupun masa kini di tempat-tempat tersebut dengan tujuan untuk
melestasikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Konsep ekowisata bertujuan untuk mencapai keberlanjutan wisata, yang
dalam pelaksanaannya menggunakan pertimbangan dampak pada ekosistem,
sosial budaya dan ekonomi (Ecosystem, socio-cultural and Economic
Consideration), menggunakan pendekatan ekologik, termasuk keragaman hayati –
(Ecological and Bio-diversity Approach), melibatkan tanggung jawab seluruh
pemangku kepentingan pariwisata, bukan hanya pihak pemerintah dan swasta
penyedia jasa pariwisata semata, melainkan juga masyarakat setempat dan
wisatawan, atas alasan ini berbagai pihak menyebutnya sebagai “Responsible
Tourism”, meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan alam dan sosial
budaya, seperti konflik yang acapkali terjadi serta memaksimalkan dampak positif
bagi kelestarian lingkungan alam, sosial budaya dan ekonomi, lokal, daerah dan
nasional sehingga menciptakan kehidupan pariwisata yang dapat bertahan dengan
langgeng (http ://caretuorism.wordpress.com.).
Low Choy dan Heillbronn (1996), merumuskan lima faktor batasan yang
mendasar dalam penentuan prinsip utama ekowisata, yaitu :
1. Lingkungan; ekowisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang belum
tercemar.
2. Masyarakat; ekowisata bermanfaat ekologi, sosial dan ekonomi pada
masyarakat.
3. Pendidikan dan pengalaman; ekowisata harus dapat meningkatkan
pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman
yang dimiliki.
4. Berkelanjutan; ekowisata dapat memberikan sumbangan positif bagi
keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka
5. Manajemen; ekowisata harus dikelola secara baik dan menjamin sustainability
lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan
sekarang maupun generasi mendatang.
Konsep pengembangan ekowisata sejalan dengan misi pengelolaan
konservasi yang mempunyai tujuan menjaga tetap berlangsungnya proses
ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan, melindungi keanekaragaman
hayati, menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, serta
memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat (Yulianda, 2007).
2.2. Lanskap dan Kawasan Pesisir
Menurut Forman dan Godron (1986), lanskap dapat didefinisikan sebagai
area lahan heterogen yang tersusun dari suatu cluster ekosistem yang saling
berinteraksi yang berulang dalam bentuk yang serupa. Dinyatakan lebih lanjut
lanskap adalah suatu unit yang menonjol atau nyata, dapat diukur yang ditentukan
oleh cluster ekosistem yang saling berinteraksi yang dapat dikenali dan secara
spasial berulang, secara geomorfologi dan sistem yang terganggu.
Berdasarkan Porteous (1996) lanskap adalah bagian dari subset alam, yang
selanjutnya membutuhkan kesenangan dan pendidikan untuk mengapresiasinya.
Tipe lanskap berdasarkan apresiasi dibagi menjadi pegunungan (mountains), alam
bebas (wilderness), pedesaan (the middle landscape/rural). Taman-taman
(gardens), dan lanskap perkotaan (townscape).
Menurut Von Humboldt dalam Farina (1998) lanskap adalah karakter total
suatu wilayah. Sedangkan (Naveh dalam Farina, 1998) mengemukakan bahwa
lanskap selalu berhubungan dengan totalitas keseluruhan secara fisik, ekologis,
dan geografi, pengintegrasian seluruh proses-proses dan pola-pola manusia dan
alam.
Suatu area dikatakan memiliki karakter lanskap alami apabila area tersebut
memiliki keharmonisan atau kesatuan diantara elemen-elemen alami seperti
bentukan lahan, formasi batuan, vegetasi, dan kehidupan satwa. Lanskap alami
memiliki karakter indah, unik, idealis, lembut, anggun, tenang, asli, megah, dan
sungai, danau, hutan, jurang, dataran, gurun pasir, rawa, bukit, lembah, aliran air,
padang rumput, dan gunung (Simon, 1983).
Kawasan pesisir menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 diartikan
sebagai bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi
tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial,
dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
Wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976) adalah daerah pertemuan antara
darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering
maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang
surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir
mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di
darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh
kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Menurut
kesepakatan internasional, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan
antara laut dan darat, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena
pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah
paparan benua (continental shelf) (Beatley et al.1994).
Penentuan batas wilayah pesisir ini masih tergantung kepada isu
pengelolaan. Dalam rapat kerja nasional proyek MREP (Marine Resources
Evaluation and Planning / Perencanaan dan Evaluasi Sumber Daya Kelautan) di
Manado Agustus 1994, telah ditetapkan bahwa batas ke arah laut suatu wilayah
pesisir adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam Peta Lingkungan
Pantai Indonesia (PLPI) dengan skala 1: 50.000 yang telah diterbitkan oleh Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), sedangkan batas ke
arah darat adalah mencakup batas administratif seluruh desa pantai (Dahuri etal.,
2008).
Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah kawasan
peralihan (interface area) antara ekosistem laut dan darat, batas ke arah darat; dari
segi ekologis adalah merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses kelautan, seperti; pasang surut, intrusi air laut dan lain-lain, dari
segi administratif adalah merupakan batas terluar sebelah hulu dari desa pantai
perencanaan adalah bergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi
fokus pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan batas ke arah laut; dilihat dari segi
ekologis adalah kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah
di darat seperti; (aliran air sungai, run off , aliran air tanah, dan lain-lain), atau
dampak kegiatan manusia di darat (bahan pencemar, sedimen dan lain-lain); atau
kawasan laut yang merupakan paparan benua (Continental shef), dari segi
administratif adalah sejauh 4 mil, atau 12 mil, dari garis pantai ke arah laut, dan
dari segi perencanaan adalah bergantung pada permasalahan atau substansi yang
menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir (Dahuri et al, 2008). Struktur kawasan
pesisir terdiri dari: (a) kawasan estauria, (b) kawasan padang lamun, (c) kawasan
mangrove, (d) kawasan terumbu karang dan (e) kawasan laut (Bengen, 2000).
Dalam pengelolaan ekowisata pesisir dan bahari, maka cakupan atau
batasan pemberdayaan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang
komprehensif, menurut Asian Development Bank (ADB) dalam Nikijuluw (1994),
adalah pembangunan dengan memiliki ciri-ciri (1) berbasis lokal; (2) berorientasi
pada peningkatan kesejahteraan; (3) berbasis kemitraan; (4) secara holistik; dan
(5) berkelanjutan. Pengelolaan berbasis masyarakat setempat atau biasa disebut
Community-Based Management (CBM). Pemanfaatan secara lestari hanya akan
dicapai jika sumber daya dikelola secara baik, proporsional dan transparan,
sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya manusia, alam, buatan dan sosial
(Keraf, 2000).
Konsep ekowisata pesisir merupakan salah satu pendekatan pengelolaan
sumber daya alam, pemikiran ini sangat didukung oleh tujuan jangka panjang
pembangunan wilayah pesisir dan bahari di Indonesia antara lain: (a) peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan
usaha, (b) pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada
peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumber daya di wilayah
pesisir dan lautan, (c) peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pantai
dalam pelestarian lingkungan, (d) peningkatan pendidikan, latihan, riset dan
pengembangan di wilayah pesisir dan lautan. Pengelolaan sumber daya pesisir dan
bahari yang terpadu berbasis masyarakat diharapkan akan mampu untuk (1)
kehidupan mereka (2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu
berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan dan (3) meningkatkan
pendapatan masyarakat, dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan
berkelanjutan serta berwawasan lingkungan (Zamani dan Darmawan, 2000).
2.3.
Sumber daya pariwisata (tourism resources) atau sering disebut juga modal
dan potensi pariwisata adalah sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi atraksi
wisata di suatu daerah atau tempat tertentu (Soekadijo, 2000). Lebih lanjut
Soekadijo (2000) menyatakan bahwa sumber daya pariwisata yang menarik
kedatangan wisatawan ada tiga, yaitu sumber daya alam, sumber daya
kebudayaan, dan sumber daya manusia.
Sumber Daya Wisata
Menurut Freeyer dalam Damanik dan Weber (2006), bahwa sumber daya
pariwisata menyangkut produk dan jasa wisata. Produk wisata adalah semua
produk yang diperuntukkan bagi atau dikonsumsi oleh seseorang selama
melakukan kegiatan wisata. Adapun jasa tidak lain adalah layanan yang diterima
wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi) produk tersebut yang
terangkum dalam aspek atraksi, transportasi, akomodasi, dan aspek hiburan.
Umumnya wisatawan mempunyai kriteria yang berbeda terhadap penilaian
produk dan jasa wisata, hal ini juga berkaitan dengan objek dan daya tarik wisata
yang ditawarkan.
Menurut Nurisjah et al. (2003), bahwa objek wisatamerupakan perwujudan
dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat atau
keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan.
Sedangkan atraksi wisata adalah semua perwujudan, sajian alam dan kebudayaan
yang dapat dinikmati keberadaannya oleh wisatawan, yang alami atau buatan
(man made) melalui suatu bentuk pertunjukan/peragaan atau kebiasaan (pasif,
aktif) yang khusus diselenggarakan untuk wisatawan di suatu kawasan. Dalam
menentukan keterpakaian objek dan atraksi untuk diakomodasi dalam
perencanaan kawasan wisata diperlukan penilaian potensi objek dan atraksi wisata
yang dimiliki kawasan tersebut. Gunn (1994) menyatakan bahwa ada beberapa
yang meliputi aspek estetika, keunikan, fasilitas pendukung, transportasi dan
aksessibilitas, serta dukungan masyarakat.
Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2009 Bab I pasal 1, bahwa daya
tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai
yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia
yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Daya tarik wilayah pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian
lingkungan, seperti misalnya kehidupan di bawah air, bentuk pantai (gua-gua, air
terjun, pasir, dan sebagainya), dan hutan-hutan pantai dengan kakayaan jenis-jenis
tumbuhan, burung, dan hewan-hewan lain. Keindahan dan keaslian lingkungan ini
menjadikan perlindungan dan pengelolaan merupakan bagian integral dari rencana
pengembangan pariwisata, terutama bila di dekatnya dibangun penginapan/hotel,
toko, pemukiman dan sebagainya yang membahayakan atau mengganggu
keutuhan dan keaslian lingkungan pesisir tersebut (Dahuri et al, 2008).
Lebih lanjut Dahuri et al ( 2008) menyatakan bahwa ekosistem pesisir yang
berpotensi untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata diantaranya adalah:
1. Hutan mangrove, merupakan tipe hutan khas tropika yang tumbuh di
sepanjang pantai atau muara sungai. Kehidupan tumbuhan ini sangat
dipengaruhi oleh suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien dan stabilitas
substrat. Hutan mangrove banyak dijumpai di pantai yang landai dengan
muara sungai yang berlumpur dengan kondisi perairan yang tenang dan
terlindung dari ombak. Arti penting hutan mangrove adalah sebagai sumber
makanan bagi berbagai macam hewan laut. Sistem perakaran yang kokoh akan
melindungi pantai dari erosi, gelombang angin, dan ombak. Hutan mangrove
juga merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan pemijahan (spawning
ground) bagi udang, ikan dan kerang-kerangan.
2. Padang lamun, merupakan tumbuhan yang hidup terbenam di perairan
dangkal yang agak berpasir. Secara ekologis padang lamun memiliki beberapa
fungsi penting bagi daerah pesisir yaitu ; sumber utama produktivitas primer,
sumber makanan penting bagi organisme, dengan sistem perakaran yang rapat
menstabilkan dasar perairan yang lunak, tempat berlindung organisme, tempat
sebagai tudung pelindung panas matahari. Kehidupan padang lamun sangat
dipengaruhi oleh kondisi kecerahan air laut, temperatur air laut, salinitas,
substrat dan kecepatan arus.
3. Terumbu karang (coral reef), merupakan ekosistem khas di daerah tropis.
Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan massif terutama kalsium
carbonat yang dihasilkan oleh organisme karang, alga berkapur dan organisme
lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Ekosistem terumbu karang
memiliki produktivitas organik yang tinggi dan kaya akan keragaman spesies
penghuninya seperti ikan karang. Terumbu karang merupakan ekosistem
pesisir yang memiliki nilai estetika alam yang sangat tinggi. Terumbu karang
juga berfungsi sebagai pelindung ekosistem pesisir dan laut dari tekanan
gelombang. Keberadaan terumbu karang sangat ditentukan oleh kondisi
kecerahan perairan, temperatur, salinitas, kecepatan arus air, sirkulasi dan
sedimentasi.
4. Estuaria,adalah teluk di pesisir yang sebagian tertutup, tempat air tawar dan
air laut bercampur. Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berlumpur
yang kaya bahan organik dan menjadi cadangan makanan utama bagi
organisme estuaria. Karena merupakan kawasan pertemuan antara air laut dan
air tawar, maka organisme dan tumbuhan yang berkembang di estuaria relatif
sedikit.
5. Pantai pasir, terdiri dari kwarsa dan feldspar, yang merupakan sisa-sisa
pelapukan batuan di gunung yang dibawa oleh aliran sungai. Pantai pasir
lainnya terbentuk oleh rombakan pecahan terumbu karang yang diendapkan
oleh ombak. Partikel yang kasar menyebabkan hanya sebagian kecil bahan
organik yang terserap sehingga organisme yang hidup di pantai berpasir relatif
sedikit. Meskipun demikian pantai berpasir sering dijadikan beberapa biota
untuk tumbuh dan berkembang. Parameter utama dari pantai berpasir adalah
pola arus yang mengangkut pasir, gelombang yang melepas energinya dan
angin yang mengangkut pasir ke arah darat.
6. Pantai Berbatu (Rocky Beach), merupakan pantai dengan batu-batu
memanjang ke laut dan terbenam di air. Batuan yang terbenam ini
pengaruh pasang. Parameter utama yang mempengaruhi pantai berbatu adalah
pasang laut dan gelombang laut yang mengenainya.
7. Pulau-Pulau Kecil (Small Island), merupakan pulau yang berukuran kecil
yang secara ekologis terpisah dengan pulau induknya. Pulau kecil ini akan
memiliki karakteristik ekologi yang bersifat insular karena terisolasi dengan
pulau induknya.
Atraksi wisata pesisir ialah daya tarik yang paling penting dalam wisata
pesisir didasarkan pada daya tarik sumber daya alam kelautan dan daya tarik
sumber daya alam daratan. Selain itu, adat istiadat dan budaya masyarakat pesisir
juga dapat merupakan bagian dari objek dan daya tarik wisata pesisir (Nurisjah et
al. 2003).
2.4. Ekowisata Berbasis Masyarakat
Masyarakat lokal terutama penduduk asli yang bermukim di kawasan
wisata menjadi salah satu pemain kunci dalam pariwisata, karena sesungguhnya
merekalah yang akan menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan
kualitas produk wisata. Selain itu masyarakat lokal biasanya juga mempunyai
tradisi dan kearifan lokal dalam pemeliharaan sumber daya periwisata yang tidak
dimiliki oleh pelaku pariwisata lainnya (Damanik dan Weber, 2006).
Menurut Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2009) bahwa adanya
pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan
menjalankan usaha ekowisata sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu
dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan
di suatu daerah. Untuk itu, pelibatan para pihak terkait mulai dari level komunitas,
masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan
membangun suatu jaringan dan menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai
peran dan keahlian masing-masing. Beberapa aspek kunci dalam ekowisata
berbasis masyarakat adalah:
1. Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan
ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi
2. Prinsip local ownership (pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat
setempat) diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan prasarana
ekowisata, kawasan ekowisata, dan lain-lain (nilai partisipasi masyarakat)
3. Homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata
(nilai ekonomi dan edukasi)
4. Pemandu adalah orang setempat (nilai partisipasi masyarakat)
5. Perintisan, pengelolaan dan pemeliharaan objek wisata menjadi tanggung
jawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya (fee) untuk wisatawan
(nilai ekonomi dan wisata).
Menurut Warta KEHATI (1998), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan ekowisata berbasiskan masyarakat diantaranya adalah :
1. Partisipasi; selayaknya ekowisata melibatkan seluruh masyarakat yang tinggal
di kawasan wisata. Namun, seringkali partisipasi masyarakat terhambat oleh
masalah afiliasi politik, kepemilikan tanah, gender dan terkadang pendidikan;
2. Gender; kesetaraan pria-wanita sebaiknya diutamakan oleh pengelola
proyek-proyek ekowisata yang berbasiskan masyarakat, meski pada kenyataannya
sulit dicapai sepenuhnya;
3. Transparansi; adanya usaha ekowisata di suatu daerah mutlak menerapkan
transparansi khususnya di bidang keuangan, mengingat hal itu dapat memicu
perpecahan di antara kelompok-kelompok masyarakat dan menciptakan
kecemburuan serta kesenjangan sosial;
4. Pengambilan keputusan; walaupun untuk kebaikan seluruh masyarakat, tidak
seluruh anggota masyarakat bisa berperan aktif secara terus menerus sebagai
panitia pengelola dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
ekowisata;
5. Proses perencanaan; membangun sebuah ekowisata di sebuah kawasan tak
bisa lepas dari pentingnya memperhitungkan masalah partisipasi dan distribusi
keuntungan. Karena itu, sejak masa perencanaan, para pengelola sudah
menentukan siapa “masyarakat” yang dimaksud, siapa yang berpartisipasi,
siapa yang akan mengambil keputusan, bagaimana keuntungan akan
diperoleh, seberapa besar investasi uang yang diperlukan, dan dari mana dana
6. Promosi; hal yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pengelola dalam
mempromosikan ekowisata yang dikelola kepada masyarakat luas.
Diselenggarakannya kegiatan-kegiatan yang terkait dengan budaya setempat
sekaligus dapat menjadi suatu momentum untuk pemberitaan keunikan alam
suatu wilayah ekowisata.
Pengelolaan kawasan pesisir berbasis masyarakat hendaknya menjadi satu
kesatuan perencanaan pembangunan daerah yang sejalan dengan konsep
pengelolaan secara terpadu (integrated) dimana semua stakeholder di kawasan
pesisir, tidak hanya berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan pesisir, namun
juga turut aktif (bernegosiasi) dalam perumusan kebijakan dan konsep
pengelolaan kawasan tersebut, sesuai dengan kondisi lokal di masing-masing
kawasan (Dahuri et al., 2008).
2.5. Perencanaan Pariwisata
Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan
untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan
atau pengendalian terhadap proses pengembangan dan pembangunan.
Perencanaan memuat rumusan dari berbagai tindakan yang dianggap perlu untuk
mencapai hasil yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Perencanaan
berorientasi pada kepentingan masa depan terutama untuk mendapatkan suatu
bentuk social good, dan umumnya dikategorikan juga sebagai pengelolaan
(Nurisjah, 2001).
Arahan pengembangan wisata saat ini dituntut untuk mampu mewujudkan
pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Pengembangan pariwisata yang
berkelanjutan tidak terlepas dari adanya pengelolaan wilayah pesisir untuk wisata
yang mengikutsertakan masyarakat lokal. Namun kegiatan wisata dapat
menimbulkan masalah ekologis padahal keindahan dan keaslian alam merupakan
modal utama. Oleh karena itu, perencanaan pengembangan wisata hendaknya
dilakukan secara menyeluruh, termasuk di antaranya inventarisasi dan penilaian
sumber daya yang cocok untuk wisata, perkiraan tentang berbagai dampak
lahan disertai dengan perincian kegiatan untuk masing-masing tata guna, serta
pilihan pemanfaatannya (Dahuri et al., 2008).
Perencanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan dilakukan dengan
mengelola sumber daya pariwisata (Tourism Resources) yang tersebar di seluruh
wilayah tanah air. Sebelum suatu rencana akan dilakukan, untuk pembangunan
pariwisata berkelanjutan mutlak kiranya terlebih dahulu dilakukan pendekatan
pada pemuka adat setempat (A.Yoeti, 2008), perlu dilakukan penjelasan dengan
melakukan sosialisasi manfaat dan keuntungan proyek bagi penduduk setempat.
Verseci dalam A.Yoeti (2008) perencanaan strategis pembangunan pariwisata
berkelanjutan memberikan kerangka kerja sebagai berikut :
1. Future Generation, yaitu generasi yang akan datang yang perlu diperhatikan
kecukupan sumber daya untuk memperoleh kehidupan yang berimbang
2. Tourism Resources, yaitu sumber daya pariwisata yang dikelola dengan
memperhatikan keempat faktor lainnya : future generation, equity,
partnership, dan carrying capacity.
3. Equity, yaitu sikap perencana dan pengelola yang dituntut selalu
memperhatikan unsur keadilan untuk mencapai pembangunan yang
berkesinambungan di waktu yang akan datang.
4. Carrying Capacity, yaitu kemampuan suatu kawasan untuk menampung
kunjungan wisatawan dan semua permasalahan yang terjadi sebagai akibat
kunjungan wisatawan ini.
5. Partnership, yaitu kemitraan yang perlu diciptakan antara generasi sekarang
dengan generasi yang akan datang.
Lebih lanjut Yoeti (2008) menyatakan bahwa perencanaan kawasan
pariwisata pada dasarnya merupakan kegiatan membangun dan menggali potensi
pariwisata itu sendiri, untuk dapat digunakan sebagai kegiatan ekonomi yang
mengarah pada pengupayaan pemanfaatan objek dan atraksi wisata sehingga
dapat meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat di sekitar
lokasi objek wisata tersebut. Perencanaan kawasan pariwisata berarti menyangkut
pula pada kegiatan melestarikan, menata dan memelihara objek dan atraksi wisata
yang ada, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Melalui
pembangunan yang tidak terkendali pada kawasan wisata yang memiliki tingkat
perkembangan yang cepat.
Menurut Gunn (1994), perencanaan pengembangan pariwisata ditentukan
oleh keseimbangan potensi sumber daya dan jasa wisata yang dimiliki
(supply) dan permintaan atau minat wisatawan (demand). Komponen supply
terdiri dari atraksi (potensi keindahan alam dan budaya serta bentuk kegiatan
wisata), transportasi, pelayanan, informasi dan promosi. Sedangkan Komponen
demand terdiri dari pasar wisata (keinginan atau tujuan wisatawan) dan
karakteristik wisatawan. Perencanaan lanskap wisata bertujuan untuk
mengembangkan kawasan wisata untuk mengakomodasi keinginan
pengunjung, pemerintah daerah, penduduk atau masyarakat sekitar
Secara garis besar perencanaan wisata digambarkan dengan pendekatan
pengembangan. Perencanaan ini bersifat spasial karena berbasis pada lahan dan
semua elemen pembentuknya.
Lebih lanjut Gunn (1994) mengutarakan bahwa perencanaan untuk wisata
harus dilakukan pada tiga skala. Pertama adalah skala tapak (site scale), yang telah
banyak dilakukan pada tapak dengan luasan tertentu seperti pada resor, hotel, taman
dan tapak wisata lainnya. Skala kedua adalah tujuan (destination : scale), dimana
atraksi-atraksi wisata dikaitkan dengan keberadaan masyarakat sekitar, pemerintah
daerah, dan sektor swasta juga dilibatkan. Skala ketiga adalah wilayah, atau
bahkan suatu negara (regional scale), dimana pengembangan lebih terarah pada
kebijakan tata guna lahan yang terkait dengan jaringan transportasi, sumber daya yang
harus dilindungi dan dikembangkan sebagai daerah yang sangat potensial.
Pendekatan perencanaan diperlukan untuk menilai
dampak lingkungan dan sosial budaya akibat pembangunan sektor pariwisata
sampai pada tahap pemantauan dampak setelah pembangunan sektor pariwisata
tersebut. Hal ini dilakukan guna memastikan agar setiap dampak negatif yang
mungkin terjadi dapat diminimalkan dengan tindakan perbaikan dan yang positif
dapat diperkuat
Perencanaan lanskap yang baik menurut Simonds (1983) harus melindungi
badan air dan menjaga air tanah, mengkonservasi hutan dan sumber mineral,
menghindari erosi, menjaga kestabilan iklim, menyediakan tempat yang cukup untuk
keindahan dan ekologi. Proses perencanaan meliputi tahapan riset, analisis,
sintesis, serta pembangunan dan operasional hasil perencanaan. Riset terdiri dan
survei dan pengumpulan data lainnya. Sedangkan analisis dilakukan pada tapak,
meninjau peraturan pemerintah, peluang, hambatan, dan program pengembangan.
Sintesis yang dilakukan mengacu pada dampak implementasi metode. Kegiatan
pembangunan dan operasional meliputi juga observasi pada hasil perencanaan.
Perencanaan dengan pendekatan unit lanskap yang dikemukakan Lyle
(1985) merupakan salah satu bentuk untuk pengembangan lanskap alami yang
dimulai dengan klasifikasi karakteristik fisik. Setelah dilakukan klasifikasi unit lanskap,
kemudian dilakukan analisis yang bertujuan untuk menentukan batasan dan potensi,
yang selanjutnya diperoleh kesesuaian bagi perencanaan dan pengembangan sumber
daya yang dimiliki. Salah satu cara untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan
sumber daya dan kebutuhan manusia adalah dengan menetapkan jenis dan besaran
aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan lingkungan untuk menampungnya
(Bengen, 2005). Hal ini mempunyai makna bahwa setiap aktivitas pembangunan di
suatu wilayah harus didasarkan pada analisis kesesuaian lingkungan.
Dalam pengembangan pariwisata, istilah kebijakan (policy) dan
perencanaan (planning) berkaitan erat. Perencanaan berkenaan dengan strategi
sebagai implementasi dari kebijakan. Perencanaan merupakan prediksi dan oleh
karenanya memerlukan beberapa perkiraan persepsi akan masa depan. Walau
prediksi dapat diturunkan dari obeservasi dan penelitian, namun demikian juga
sangat tergantung pada nilai. Perencanaan seharusnya mengandung informasi
yang cukup untuk pengambilan keputusan. Perencanaan merupakan bagian dari
keseluruhan proses perencanaan pengambilan keputusan (Pitana et al, 2009).
Menurut Gunn (1994) dalam proses perencanaan kawasan wisata, bantuan
dari teknologi komputer cukup dapat membantu, dengan program sistem informasi
geografis (SIG) akan diperoleh peta yang memperlihatkan sumber daya yang paling
sesuai bagi kegiatan wisata dan yang paling sensitif. Selanjutnya hasil dari proses
penentuan ini akan dapat membantu pembuat kebijakan (policy makers) untuk
membuat perencanaan wisata secara lebih lokal. Pembuat kebijakan dalam hal ini
pemerintah membuat suatu kebijakan dan peraturan yang menentukan mekanisasi